Anda di halaman 1dari 5

PENERAPAN INTEGRATED CARE PATHWAYS (ICP) SEBAGAI

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN KEPERAWATAN

DI RUMAH SAKIT

Oleh: Ns. Yulia Yasman, S.Kep

Mahasiswa Program Magister Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Integrated Care Pathway (ICP) merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk meningkatkan mutu
pelayanan dengan mencegah adanya variasi pelayanan yang tidak perlu. Akan tetapi, pengembangan dan
penerapan ICP bukan hal yang mudah dilakukan bahkan meski hanya untuk satu jenis pelayanan saja.
Karena ICP merupakan dokumentasi multidisiplin. Sistem informasi yang terintegrasi akan memudahkan
setiap tim kesehatan untuk dapat mengetahui informasi pasien secara lengkap dan mengurangi
pengumpulan data secara berulang – ulang yang dilakukan oleh setiap tim kesehatan. Namun demikian
evaluasi proses pengembangan dan penerapan ICP tersebut belum dilakukan. Artikel ini akan
menjabarkan secara garis besar apa yang menjadi konsep dari ICP dan instrumen yang telah digunakan di
beberapa negara untuk melakukan evaluasi ICP. Sehingga diharapkan akan ada standar baku yang dapat
dipakai oleh rumah sakit-rumah sakit di Indonesia dalam mengembangkan, menerapkan dan
mengevaluasi ICP (audit ICP) yang ada sehingga pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan mutu
pelayanan keperawatan.

LATAR BELAKANG

Filosofi dari manajemen mutu menyebutkan bahwa cara paling efektif dalam meningkatkan mutu adalah
dengan mengurangi variasi (Cheah, 2000), namun variasi dalam tindakan medis untuk kondisi klinis yang
sama dipengaruhi oleh banyak hal, adanya perubahan kondisi klinis, kompleksitas masalah klinis,
perbedaan sumber daya institusi, dan kemampuan pasien merupakan penyebab munculnya variasi medis.
Integrated Care Pathway (ICP) atau Clinical Pathway dikenal sebagai salah satu upaya atau instrument
yang dapat digunakan untuk meningkatkan mutu pelayanan dengan mencegah adanya variasi pelayanan
yang tidak perlu. Namun demikian pengembangan dan penerapan clinical pathway bukan hal yang mudah
dilakukan bahkan meski hanya untuk 1 jenis pelayanan saja (Ransom et al, 1998).

Sistem informasi yang terintegrasi akan memudahkan setiap tim kesehatan untuk dapat mengetahui
informasi pasien dan juga rencana pengobatan maupun perawatan berdasarkan apa yang terjadi pada saat
itu dan apa rencana yang diinginkan di kemudian hari. Perawatan pasien akan lebih baik dikarenakan
akan mengurangi pengumpulan data secara berulang – ulang yang dilakukan oleh setiap tim kesehatan
(Yoder-Wise, 2011). Peranan Sistem Informasi Manajemen didalam keperawatan adalah untuk
mendukung segala aspek dari praktik keperawatan itu sendiri. Termasuk didalamnya pemberian asuhan
keperawatan, pendidikan, penelitian, dan manajemen (McHaney, 2008).

Di Indonesia penerapan ICP terkait penerapan INA-DRG yang merupakan versi Departemen Kesehatan
RI untuk Diagnostic Related Group (DRG’s Casemix) yaitu sistem pembiayaan berdasarkan pendekatan
sistem casemix, dimana diharapkan akan muncul efisiensi dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan di
rumah sakit (Adisasmito, 2008). Maka, pada tahun 2010 telah dilakukan pertemuan konsolidasi kelompok
kerja clinical pathway dalam pelaksanaan INA-DRG pada 15 rumah sakit vertikal Depkes sebagai Pilot
Project di Indonesia (Depkes, 2010).

Berdasarkan hasil sejumlah studi terkait manfaat ICP, antara lain seperti konsistensi praktek lebih besar,
kontinuitas peningkatan pelayanan, pemantauan standar perawatan, dokumentasi yang baik, pelaksanan
evidence-based best practice, meningkatkan kerjasama tim, mengurangi duplikasi, perbaikan manajemen
resiko, dan pemberian perawatan berfokus pada pasien. Selain itu, ICP dapat mendukung infrastruktur
kesehatan dengan menyediakan informasi yang relevan, akurat, dan tepat waktu yang diperlukan untuk
memenuhi pemantauan strategis pelayanan pasien dan outcome.

ICP menjadi perkembangan yang popular saat ini termasuk di Indonesia. Agar ICP yang digunakan efektif
maka perlu pengawasan yang ketat dalam perkembangannya. Karenanya ada potensi variabilitas dalam isi
dan kualitas ICP yang sedang dikembangkan. Variabilitas tersebut dapat mempengaruhi dampak dan
manfaat dari ICP itu sendiri terhadap kualitas pelayanan. Artikel ini akan menjabarkan secara garis besar
apa yang menjadi konsep dari clinical pathway dan instrument yang telah digunakan di beberapa negara
untuk melakukan evaluasi atau audit ICP.
KAJIAN LITERATUR

Pengertian dan Konsep Integrated Care Pathway (ICP)

Integrated Care Pathway atau dikenal juga dengan nama lainseperti clinical pathway, critical care
pathway, coordinated care pathway, atau caremaps. ICP pertama dikembangkan pada tahun 1985-1986
oleh New England Medical Centre, Boston, kemudian diadopsi oleh rumah sakit - rumah sakit di Arizona,
Florida, dan Rhode Island di USA pada tahun 1986-1988. Australia dan UK mulai mengaplikasikan ICP
ini pada tahun 1989 dan pada pertengahan tahun 1990 mulai berkembang ke Negara-negara di Afrika dan
Asia seperti South Afrika, Saudi Arabia, Jepang, Korea, dan Singapura (Davis, 2005).

Wilson (1995) mendefinisikan “care pathway” sebagai proses multidisiplin yang berfokus pada perawatan
pasien, yang terjadi tepat waktu untuk menghasilkan hasil terbaik yang telah ditentukan, dalam sumber
daya dan kegiatan yang tersedia, untuk sebuah episode perawatan yang tepat. Jhonson (1997)
memperkenalkan ide menggunakan ICP sebagai alat untuk meningkatkan kualitas dan mendefinisikan
ICP sebagai semua elemen perawatan dan pengobatan yang diantisipasi dari semua anggota tim
multidisiplin, bagi pasien dengan kasus tertentu dalam jangka waktu yang disepakati untuk pencapaian
outcome yang telah disepakati. Sedangkan menurut Middleton (2000), ICP harus mencakup serangkaian
intervensi yang diharapkan, ditempatkan dalam kerangka waktu yang tepat, ditulis dan disepakati oleh tim
multidisiplin, untuk membantu pasien dengan kondisi tertentu melalui diagnosis pengalaman klinis untuk
hasil yang positif. Dapat disimpulkan bahwa ICP adalah sebuah rencana yang menyediakan secara detail
tahap penting dari pelayanan kesehatan, bagi sebagian besar pasien dengan masalah klinis (diagnosis dan
prosedur) tertentu, berikut dengan hasil yang diharapkan.

ICP merupakan format dokumentasi multidisiplin. Format ini dikembangkan untuk pengembangan
multidisiplin (dokter, perawat, rehabilitasi, gizi, dan tenaga kesehatan lain) yang diciptakan tidak terlalu
rumit dan panjang. Pada format pengkajian multidisiplin menunjukkan format pengkajian awal yang
memungkinkan diisi oleh berbagai disiplin ilmu. Pengisian ini terdiri dari data riwayat pasien,
pemeriksaan fisik dan pengkajian skrining lainnya yang diisi oleh multidisiplin sesuai kesepakatan
(Croucher, 2005).

Sasaran dari ICP adalah benar orang (the right people), benar instruksi (the righat order), benar tempat (in
the right place), melakukan hal yang benar (doing the right thing), pada waktu yang tepat (in the right
time), dengan hasil yang benar (with the right outcomes), dan semua berfokus pada pengalaman pasien
(all with attention to the patient experience) (Davis, 2005).
ICP bekerja sebagai alat untuk memandu tenaga kesehatan dan social care professional melalui garis
perawatan yang direncanakan baik untuk sekelompok pasien, atau proses tertentu, melalui system yang
kompleks. Secara detail dalam ICP tenaga kesehatan professional harus bekerja sesuai dengan outcome
yang diinginkan. Dan setiap variasi dalam praktek harus didokumentasikan. Variasi adalah setiap
penyimpangan dari rencana yang telah disusun. Analisis dari variasi dalam ICP memungkinkan penilaian
terus menerus terhadap proses dan hasil pedoman atau standar, sehingga memberikan evaluasi terhadap
praktek yang dilakukan (Croucher, 2005).

Tujuan utama implementasi ICP menurut Depkes RI (2010) adalah untuk:

1.Memilih “best practice” pada saat pola praktek diketahui berbeda secara bermakna.

2.Menetapkan standar yang diharapkan mengenai lama perawatan dan penggunaan pemeriksaan klinik
serta prosedur klinik lainnya.

3.Menilai hubungan antara berbagai tahap dan kondisi yang berbeda dalam suatu proses serta menyusun
strategi untuk mengkoordinasikan agar dapat menghasilkan pelayanan yang lebih cepat dengan tahapan
yang lebih sedikit.

4.Memberikan peran kepada seluruh staf yang terlibat dalam pelayanan serta peran mereka dalam proses
tersebut.

5.Menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan menganalisa data proses pelayanan sehingga
provider dapat mengetahui seberapa sering dan mengapa seorang pasien tidak mendapatkan pelayanan
sesuai standar.

6.Mengurangi beban dokumentasi klinik.

7.Meningkatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada pasien, misalnya dengan
menyediakan informasi yang lebih tepat tentang rencana pelayanan.

Anda mungkin juga menyukai