Anda di halaman 1dari 39

PROPOSAL SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENERAPAN PERATURAN

PENGGUNAAN GAS AIR MATA OLEH ANGGOTA POLRI DI

INDONESIA

Oleh :

MUHAMMAD FIRMANSYAH

NPM 19742010010

UNIVERSITAS ACHMAD YANI BANJARMASIN

FAKULTAS HUKUM

2022
A. Judul Penelitian

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENERAPAN PERATURAN

PENGGUNAAN GAS AIR MATA OLEH ANGGOTA POLRI DI

INDONESIA

B. Latar Belakang Masalah

Kepolisian merupakan suatu institusi yang memiliki ciri umum yang bisa

ditelusuri dari sejarah lahirnya polisi, baik secara fungsi maupun organ. Pada

mulanya polisi lahir bersama masyarakat untuk menjaga kepatuhan

masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu sendiri terhadap

kemungkinan adanya penyimpangan perilaku kriminal dari masyarakat.

Ketika masyarakat sepakat untuk hidup di dalam suatu negara, pada saat itulah

polisi dibentuk sebagai lembaga formal yang disepakati untuk bertindak

sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.

Keberadaan polisi sebagai organisasi sipil yang dipersenjatai agar bisa

memberikan efek dari pematuhan itu sendiri.1

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian merupakan segala hal yang

berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Kepolisian juga merupakan salah satu dari institusi

negara yang tujuan utamanya untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat. 2

Sebagai institusi pelindung masyarakat, aparat kepolisian haruslah


1
Bibit Samad Rianto. 2006. Pemikiran Menuju POLRI Yang Profesional, Mandiri, Berwibawa
Dan Dicintai Rakyat. Jakarta: PTIK Press & Restu Agung, hal. 36.
2
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

1
memberikan contoh yang baik dalam menciptakan rasa aman tersebut, yaitu

dengan menjalankan tugas serta kewajibannya aparat kepolisian harus

bertindak berdasarkan norma hukum dan menjunjung tinggi hak asasi manusia

Namun, dalam menjalankan tugasnya polisi memiliki keterbatasan, salah

satunya ketersediaan anggota dan peralatan, namun di saat yang bersamaan

masyarakat juga memerlukan jaminan terkait keamanan jiwa dan raga serta

terhindar dari tindak kekerasan di dalam masyarakat yang bisa dilakukan oleh

siapapun. Polisi sering dihadapkan pada situasi, atau kondisi yang sulit dimana

polisi harus mengambil sebuah keputusan untuk melakukan sebuah tindakan

yang menggunakan kekuatan ataupun peralatan. Dan di saat yang bersamaan

pula masyarakat juga ingin agar polisi melakukan tugasnya tanpa

menggunakan kekuatan atau peralatan untuk menjaga rasa aman dari

masyarakat itu sendiri.

Terlepas dari keterbatasan polisi dalam menjalankan tugas, maka sah-sah

saja apabila polisi menggunakan kekuatan atau peralatan selama tindakan

kekuatan itu dianggap perlu dan dilakukan secara bertanggungjawab agar

tidak terjadi penyalahgunaan kekuatan dan kewenangan, dan apabila terjadi

penyalahgunaan tindakan tersebut maka polisi harus bertanggungjawab.3

Sebagai contoh ketika polisi melakukan pengamanan di stadion sepak bola

oleh para supporter dari kedua tim yang berlaga, biasanya ada saja supporter

yang berperilaku negatif yang dampaknya benar-benar dirasakan oleh

masyarakat, yaitu perilaku anarkis seperti tindak kekerasan/tawuran antar


3
Majin Harianto Sinaga, 2020, ”Pertanggunjawaban Polisi terhadap Penyalahgunaan Senjata
Kimia berupa Gas Air Mata dalam Menjalankan Tugas Kepolisian” (Tesis Pasca Sarjana tidak
diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta) hlm. 2-3.

2
suporter, perusakan fasilitas umum dan melakukan tindakan kriminal seperti

penjarahan di mana perilaku mereka ini tidak hanya merugikan mereka dan

klub, tetapi juga berdampak pada masyarakat dengan menyisakan rasa

takut/cemas masyarakat terhadap suporter sepakbola hingga masyarakatpun

memunculkan stigma terhadap mereka, selain itu kerugian materil akibat

kerusuhan suporter dan juga perusakan fasilitas umum tentunya menjadi hal

yang sangat disayangkan. Hal tersebut biasanya melibatkan jumlah masa yang

banyak, bahkan bisa mencapai ratusan hingga ribuan, pada situasi seperti ini

yang menyebabkan kepolisian memiliki keterbatasan dalam menjalankan

tugas. Polisi yang mengamankan biasanya jumlahnya lebih sedikit dari pelaku.

Apabila hal tersebut diduga akan mengarah kepada tindak kejahatan seperti

perusakan baik itu fasilitas umum maupun pribadi, ataupun kekerasan yang

menimbulkan korban masyarakat, atau bisa diduga dapat mengganggu

keamanan dan ketertiban masyarakat, maka polisi dapat menggunakan

kekuatan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam

hal ini apabila keadaan diduga sudah tidak kondusif, biasanya kepolisan

menembakkan senjata kimia yang berupa gas air mata. Menimbang dari situasi

tersebut maka dipandang perlu dibentuk pengaturan terhadap penggunaan

kekuatan polisi dalam menjalankan tugas kepolisian. Pengaturan penggunaan

kekuatan oleh Polisi dalam menjalankan tugas kepolisian diatur dalam

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009

tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

3
Penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian tersebut dalam penilaian

masyarakat seringkali menimbulkan dampak negatif yang bersifat merusak

bagi masyarakat. Dalam beberapa kejadian penggunaan kekuatan bisa

menimbulkan luka ringan, luka berat, kerusakan organ tubuh, hingga bisa

mencapai kematian. Dampak tersebut dapat menimbulkan rasa

ketidakpercayaan dan bahkan sampai rasa benci dari masyarakat terhadap

anggota kepolisian itu sendiri. Namun di sisi lain pihak polisi menggunakan

kekuatan itu semata-mata hanya untuk menjalankan tugas berdasarkan

Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku

Seringkali masyarakat dibuat kebingungan terkait dengan penggunaan

kekuatan yang dilakukan oleh kepolisian dalam menjalankan tugas nya,

apakah sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku dan apabila menimbulkan

dampak bagi masyarakat, maka siapa yang bisa di beri pertanggungjawaban

dan bagaimana pertanggungjawabannya.

Adanya masalah yang timbul akibat penggunaan kekuatan dalam

menjalankan tugasnya maka penulis tertarik untuk mengkaji tentang

pengaturan gas air mata di Indonesia dan bagaimana bentuk

pertanggungjawaban akibat dari penggunaan kekuatan tersebut mengingat

polisi hanya menjalankan tugasnya sebagai apparat penegak hukum.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan

rumusan masalah sebagai berikut :

4
1. Bagaimana pengaturan penggunaan gas air mata dalam Aspek Hukum

Indonesia?

2. Bagaimana pertanggungjawaban Pidana terhadap penggunaan gas air

mata?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam rangka penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan yang mengatur tentang penggunaan gas air

mata di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap

penggunaan gas air mata.

Kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah di bidang

ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum pidana pada

khususnya yang berkenaan dengan penerapan gas air mata di Indonesia.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan bagi aparat penegak

hukum agar terwujudnya penerapan penggunaan kekuatan sebagaimana

sesuai denga peraturan undang-undang yang berlaku, mengingat aparat

5
adalah penegak hukum, dan dapat mempertanggungjawabkan tindakannya

apabila terjadi penyalahgunaan kekuatan dalam menjalankan tugasnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum Tentang Gas Air Mata

a. Pengertian Gas Air Mata

Gas air mata atau yang kerap disebut CS dengan rumus kimia 2-

Clorobenzalden Malononitril merupakan salah satu senjata kimia yang

sering sekali digunakan untuk melawan musuh, menghadapi hewan

berbahaya, atau pun melawan penjahat dalam keadaan berbahaya.Gas

air mata memiliki panjang hanya sekitar 10 Cm atau sebesar ukuran

telapak tangan orang dewasa. Biasanyan gas air mata berbentuk seperti

peluru dan ditembakkan melalui pistol pelontar. Setelah ditembakkan

dan jatuh, gas air mata akan mengeluarkan asap tebal berwarna putih

dan jika manusia yang terkena asap ini secara langsung maka organ

tubuh seperti mata, hidung, dan mulut akan langsung bereaksi.

Umumnya kandungan utama gas air mata adalah CN

(chloroacetophenone) atau CS (chlorobenzylidenemalononitrile) dan

membutuhkan proses kimia yang rumit untuk menghasilkan. Namun,

gas air mata juga dapat dibuat menggunakan bahan Oleoresin

Capsicum (OC) yang biasanya terdapat pada paprika merah dan hijau

sebagai bahan utamanya. Senyawa lain yang digunakan atau

disarankan untuk digunakan adalah bromoacetone, benzyl bromide,

6
ethyl bromoacetate, xylyl bromide, dan α-bromobenzyl

cyanide. Sedangkan kandungan gas air mata yang digunakan pada

perang “Battle of the Frontiers” yang dilansir dari laman

situs Encyclopedia Britannica mengatakan bahan utama dalam gas air

mata adalah halogen sintetis, cairan yang bisa ditembakkan lewat

beberapa senjata seperti granat dan spray.

Jadi, gas air mata yang umum digunakan adalah oleoresin

capsicum (semprotan merica) dimana semprotan merica OC

belakangan ini menjadi semakin populer setelah menggantikan kedua

bahan CN dan CS untuk penggunaan sipil, kemudian benzoxazepine

(gas CR), dan chloroacetophenone (gas CN). Bentuk gas air mata yang

paling sering digunakan adalah 2-chlorobenzalmonolonitrile (gas CS).4

b. Dasar Hukum Penggunaan Gas Air Mata

Aturan penggunaan gas air mata oleh Kepolisian diatur

dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 1 Tahun

2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Pasal

5 ayat (1) dalam peraturan tersebut menjelaskan tahapan penggunaan

kekuatan Kepolisian, yaitu sebagai berikut:

1) Tahap 1 : kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan.

2) Tahap 2 : perintah lisan.

3) Tahap 3 : kendali tangan kosong lunak.

4
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,”Ketahui Dampak dan Cara Penanganan Gas Air Mata,
12 Oktober 2020, http://hmjkimia.uin-malang.ac.id/?p=1572, Diakses tanggal 9 Desember 2022.

7
4) Tahap 4 : kendali tangan kosong keras.

5) Tahap 5: kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air

mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri.

6) Tahap 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain

yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau

tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian

anggota Polri atau anggota masyarakat.

Kemudian dalam ayat (2) dalam pasal tersebut menjelaskan,

anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan sesuai

bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka.

Di dalamnya memuat ketentuan “Anggota Polri harus memilih

tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka

dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3”.5

Penggunaan senjata kimia seperti gas air mata juga diatur dalam

Prosedur Tetap RI No. 1 /X/2010 tentang Penanggulangan Anarki

dimana diatur bahwa penggunaan senjata kimia seperti gas air mata

harus digunakan sesuai dengan standar Kepolisian. Artinya, bahwa

Kepolisian RI sendiri mengatur standar yang harus dipenuhi dalam

5
Willa Wahyuni, “Aturan Penggunaan Gas Air Mata oleh Kepolisian, 3 Oktober 2022”,
https://www.hukumonline.com/berita/a/aturan-penggunaan-gas-air-mata-oleh-kepolisian-
lt633a5df23a816/?page=all, Diakses tanggal 8 Desember 2022.

8
penggunaan senjata kimia dan penggunaan gas air mata yang sudah

melewati kedaluwarsa pastinya bukan termasuk standar penggunaan. 6

Kemudian, Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 22 Tahun 2016

juga diatur tentang gas air mata dimana dijelaskan bahwa dampak-

dampak dari penggunaan bahan kimia berupa gas air mata juga

merupakan pengaruh kuat yang bisa mendatangkan akibat negatif yang

disebabkan oleh bahan kimia tersebut.

c. Akibat Penggunaan Gas Air Mata

Gas air mata adalah senyawa kimia yang untuk sementara dapat

membuat orang kehilangan kemampuannya melihat, menyebabkan

iritasi pada mata, mulut, gangguan kesehatan tenggorokan, paru-paru

dan kulit. Gas air mata bisa disimpan dalam bentuk semprotan ataupun

granat. Gas air mata atau yang kerap disebut CS dengan rumus kimia

2-Clorobnzalden Malononitril dengan memiliki panjang hanya sekitar

10 cm atau sebesar ukuran telapak tangan orang dewasa, biasanya gas

air mata berbentuk seperti peluru dan ditembakkan melalui pistol

pelontar atau ditembakkan dari tabung, setelah ditembakkan dan jatuh,

gas air mata akan mengeluarkan asap tebal berwarna putih. Gas air

mata sendiri sebenarnya bukan merupakan gas, itu adalah bubuk yang

mengembang ke udara sebagai kabut halus dan biasanya untuk

6
Institute for Criminal Justice Reform, “Penggunaan Gas Air Mata yang sudah Kedaluwarsa
Berulang: Presiden Harus Evaluasi Penggunaan Kekuatan Polisi, 13 Oktober 2022”,
https://icjr.or.id/penggunaan-gas-air-mata-yang-sudah-kedaluwarsa-berulang-presiden-harus-
evaluasi-penggunaan-kekuatan-polisi/ , Diakses tanggal 8 Desember 2022.

9
membubarkan kerumunan atau sekelompok orang yang dianggap

sebagai ancaman. Umumnya digunakan dalam peristiwa demonstrasi.

Paparan terhadap gas air mata menyebabkan dampak jangka

pendek dan jangka panjang termasuk pengembangan penyakit

pernafasan, luka, dan penyakit mata parah, sebagai senjata tidak

mematikan atau kurang mematikan ada risiko cedera serius permanen,

gas air mata bekerja membuat iritasi membran mucus pada mata,

hidung, mulut, dan paru-paru, serta menyebabkan tangis, bersin, batuk,

kesulitan bernafas, dan nyeri di mata.

Gejala-gejala awal dari paparan gas air mata sensasi terbakar yang

menimbulkan rasa perih dan membuat keluaranya air mata, pandangan

buram, hingga batuk atau dada sesak biasanya muncul sekitar 20

hingga 60 detik setelah tubuh terekspos. Meski dampak gas air mata

biasanya hanya peradangan kulit ringan, iritasi biasa, komplikasi

tertunda juga mungkin terjadi. Paparan tinggi atau frekuensi tinggi

dapat meningkatkan risiko penyakit pernafasan seperti para pengidap

penyakit pernafasan seperti asma sangat berisiko tinggi mungkin butuh

pertolongan medis. Paparan kulit terhadap gas CS juga dapat

menyebabkan luka bakar kimia atau memicu alergi pada kulit. Dan

ketika orang terkena dalam jarak dekat atau terpapar parah, cedera

mata dapat menyebabkan kehilangan ketajaman penglihatan permanen.

Sebagian besar kasus dari paparan gas air mata biasanya terjadi secara

langsung dan cepat. Gas air mata ini juga bisa menyebabkan dampak

10
kronis atau berkepanjangan, paparan yang berlangsung panjang atau

dalam dosis tinggi dan paparan yang terjadi di ruangan tertutup juga

bisa memberikan dampak kronis.

Beragam cara untuk menghilangkan zat kimia dan meredakan

gejala, pertolongan pertama untuk rasa terbakar pada mata adalah

irigasi (menyemprot atau membilas) dengan air untuk membuang zat

kimianya, mandi, dan menggosok seluruh tubuh dengan sabun dan air

dapat menghilangkan partikel yang melekat pada kulit, pakaian, sepatu

dan aksesoris yang terkena uapnya harus dicuci bersih karena partikel

yang melekat dapat tetap aktif selama sepekan. Menghindari atau pergi

dari daerah terpapar gas ke tempat berudara segar, melepas pakaian

yang terpapar, dan menghindari pemakaian handuk bersama dapat

mengurangi reaksi kulit dan langsung melepas lensa kontak karena

dapat tertempeli partikel.

Efek lain yang perlu diantisipasi adalah sesak nafas, gangguan

paru-paru, radang tenggorokan dan lainnya akibat gas air mata,

pembengkakan kornea dibagian mata akibat paparan zat kimia gas air

mata sangat membuat penderita tidak nyaman.7

2. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian

7
Kementerian Kesehatan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, dr. Soeradji Tirtonegoro
Klaten ”Menulis Referensi dari Internet, 18 Oktober 2022,
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1699/apa-sih-gas-air-mata-itu, Diakses tanggal 7
Desember 2022.

11
a. Pengertian Polisi

Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terdapat rumusan

mengenai defenisi dari berbagai hal yang berkaitan dengan polisi,

termasuk pengertian kepolisian. Hanya saja defenisi tentang kepolisian

tidak dirumuskan secara lengkap karena hanya menyangkut soal fungsi

dan lembaga polisi sesuai yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian Republik Indonesia yang dimaksud kepolisian

adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga

polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.8

Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata

polisi adalah suatu badan yang bertugas memelihara keamanan,

ketentraman, dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar

hukum), merupakan suatu anggota badan pemerintah (pegawai negara

yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban).9

Istilah “polisi” pada semulanya berasal dari perkataan Yunani

“Politeia”, yang berarti seluruh pemerintahan negara kota. Seperti

diketahui di abad sebelum masehi negara Yunani terdiri dari kota-kota

yang dinamakan “Polis”. Jadi pada jaman itu arti “Polisi” demikian

luasnya bahkan selain meliputi seluruh pemerintahan negara kota,

8
H. Pudi Rahardi, 2007, Hukum Kepolisian [Profesionalisme dan Reformasi Polri], penerbit
Laksbang Mediatama, Surabaya, hlm.53.
9
W.J.S Purwodarminto, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, Jakarta,
hlm. 763.

12
termasuk juga di dalamya urusan-urusan keagamaan seperti

penyembahan terhadap dewa-dewanya. Di karenakan pada jaman itu

masih kuatnya rasa kesatuan dalam masyarakat, sehingga urusan

keagamaan termasuk dalam urusan pemerintahan. Selain itu di Jerman

dikenal kata “Polizey” yang mengandung arti luas yaitu meliputi

keseluruhan pemerintahan negara. Istilah “Polizey” di Jerman masih

ditemukan sampai dengan akhir abad petengahan yang dipergunakan

dalam “Reichspolizei ordnugen” sejak tahun 1530 di negara-negara

bagian Jerman.10

Pengertian istilah polisi di berbagai negara mempunyai tafsiran

atau pengertiannya masing-masing seperti di Belanda dalam rangka

Catur Praja dari Van Vollenhoven maka istilah “Politie” dapat kita

temukan sebagai bagian dari pemerintahan. Diketahui Van

Vollenhoven membagi pemerintahan dalam 4 (empat) bagian, yaitu

1) Bestuur

2) Politie

3) Rechtspraak

4) Regeling

Dari sini dapat kita lihat bahwa menurut ajaran Catur Praja maka

polisi tidak lagi termasuk dalam bestuur, tetapi sudah merupakan

pemerintahan yang tersendiri. Untuk lebih jelasnya tentang arti

10
Momo Kelana, 1994, Hukum Kepolisian, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm.
13

13
“Politei” dapat kita temukan dalam defenisi Van Vollenhoven dalam

bukunya Politei Overzee halaman 135 yang berbunyi :

“Didalam pengertian polisi termasuk organ-organ pemerintahan

yang berwenang dan berkewajiban untuk mengusahakan dengan jalan

pengawasan dan bila perlu dengan paksaan bahwa yang diperintah

berbuat atau tidak berbuat menurut kewajibannya masing-masing yang

terdiri dari :

1) Melihat cara menolak bahwa yang diperintah itu melaksanakan

kewajiban umumnya;

2) Mencari secara aktif perbuatan-perbuatan yang tidak melaksanakan

kewajiban umum tadi;

3) Memaksa yang di perintahkan itu untuk melaksanakan kewajiban

umumnya dengan melalui pengadilan;

4) Memaksa yang diperintahkan itu untuk melaksanakan kewajiban

umum itu tanpa perantara pengadilan;

5) Memberi pertanggung jawaban dari apa yang tercantum dalam

pekerjaan tersebut.”11

Van vollenhoven memasukkan “polisi” (“politei”) kedalam salah

satu unsur pemerintahan dalam arti luas, yakni badan pelaksana

(executive-bestuur), badan perundang-undangan, badan peradilan dan

badan kepolisian. Badan pemerintahan termasuk di dalamnya

kepolisian bertugas membuat dan mempertahankan hukum, dengan


11
Ibid, hlm. 14-16.

14
kata lain menjaga ketertiban dan ketentraman (orde en rust) dan

menyelenggarakan kepentingan umum.12

Di Indonesia istilah “polisi” dikemukakan oleh salah satu pakar

ilmu hukum yang bernama Dr.Sadjijono, menurut Sadjijono istilah

“polisi” adalah sebagai organ atau lembaga pemerintah yang ada dalam

negara, sedangkan istilah “Kepolisian” adalah sebagai organ dan

sebagai fungsi. Sebagai organ, yakni suatu lembaga pemerintahan yang

teroganisasi dan terstruktur dalam organisasi negara. Sedangkan

sebagai fungsi, yakni tugas dan wewenang serta tanggungjawab

lembaga atas kuasa undang-undang untuk menyelenggarakan

fungsinya, antara lain memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayom dan pelayan

masyarakat.13

Pengertian kepolisian menurut ketentuan pasal 5 ayat (1)

Undangundang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat

negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka

tereliharanya keamanan dalam negeri.

Dari uraian-uraian tentang istilah “polisi” dan “kepolisian” di atas

maka dapat di simpulkan, yakni polisi merupakan organ atau lembaga

12
Sadjijono, 2005, Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Govenance, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, hlm 39.
13
Sadjijono, 2006, Hukum Kepolisian, Perspektif Kedudukan Dan Hubungan Dalam Hukum
Administrasi, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 6.

15
pemerintah yang ada dalam negara. Sedangkan istilah Kepolisian

sebagai organ dan fungsi. Sebagai organ, yakni suatu lembaga

pemerintah yang terorganisasi dan terstruktur dalam ketatanegaraan

yang diatur oleh undang-undang diberi tugas dan wewenang serta

tanggung jawab untuk menyelenggarakan kepolisian. Sebagai fungsi

yang merujuk pada tugas dan wewenang yang diberikan undang-

undang, yakni fungsi preventif dan fungsi represif. Fungsi preventif

melalui pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat, dan fungsi represif dalam rangka penegakan hukum. Dan

apabila dikaitkan dengan tugas maka intinya menunjuk pada tugas

yang secara universal untuk menjamin ditaatinya Norma-Norma yang

berlaku di masyarakat.

b. Fungsi Kepolisian

Fungsi kepolisian diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia yang berbunyi :

“fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di

bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan

hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan dalam masyarakat.”

Fungsi kepolisian terdiri dari 2 dimensi yakni dimensi yuridis dan

dimensi sosiologis. Dalam dimensi yuridis fungsi kepolisian terdiri

dari atas fungsi kepolisian umum dan fungsi kepolisian khusus. 14

Fungsi kepolisian umum berkaitan dengan kewenangan kepolisian


14
H. Pudi Rahardi, Op. Cit,. hlm.57.

16
berdasarkan undang-undang dan atau peraturan perundang-undangan

yang meliputi semua lingkungan kuasa hukum yaitu: (1) lingkungan

kuasa soal-soal yang termasuk kompetensi hukum publik; (2)

lingkungan kuasa orang; (3) lingkungan kuasa tempat; dan (4)

lingkungan kuasa waktu.

Fungsi kepolisian khusus, berkaitan dengan kewenangan

kepolisian yang oleh atau kuasa undang-undang secara khusus

ditentukan untuk satu lingkungan kuasa. Badan-badan pemerintahan

yang oleh atau atas kuasa undang-undang diberi wewenang untuk

melaksanakan fungsi kepolisian khusus dibidangnya masing-masing

dinamakan alat-alat kepolisian khusus, sesuai dengan undang-undang

yang menjadi dasar hukumnya.

Fungsi kepolisian dari dimensi sosiologis, terdiri atas

pekerjaanpekerjaan tertentu yang dalam praktek kehidupan masyarakat

dirasakan perlu dan ada manfaatnya, guna mewujudkan keamanan dan

ketertiban di lingkungannya, sehingga dari waktu kewaktu

dilaksanakan atas dasar kesadaran dan kemauan masyarakat sendiri

secara swakarsa serta kemudian melembaga dalam tata kehidupan

masyarakat.15

Untuk melaksanakan tanggung jawabnya menjaga kemanan dan

ketertiban masyarakat, maka polisi mempunyai tiga fungsi utama

yaitu:16
15
H. Pudi Rahardi, Op. Cit,. hlm.58.
16
Awaloedi Djamin, 1995, Administasi Kepolisian Republik Indonesia: Kenyataan dan
Harapan, POLRI, Bandung, hlm. 255.

17
1) Fungsi Pre-emptif, yaitu segala usaha dan pembinaan masyarakat

dalam rangka usaha ikut serta aktif menciptakan terwujudnya

situasi dan kondisi yang mampu mencegah dan menangkal

terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat terhadap

peraturan negara.

2) Fungsi Preventif, yaitu segala upaya dibidang kepolisian untuk

memulihkan keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara

keselamatan orang-orang dan harta bendanya termasuk

memberikan perlindungan dan pertolongan, khususnya mencegah

dilakukannya perbuatan-perbuatan lain yang pada hakekatnya

dapat mengancam atau membahayakan ketertiban dan ketentraman

umum.

3) Fungsi Represif, yaitu melakukan penindakan terhadap

pelanggaran hukum untuk diproses sampai ke pengadilan yang

meliputi:

a) Penyelidikan, merupakan serangkaian tindakan-tindakan

penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa

yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau

tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang.

b) Penyidikan, merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam

hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk

mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu

18
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangka.

c. Tugas dan Wewenang Kepolisian

Dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan, bahwa tugas pokok

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

2) Menegakkan hukum

3) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat.

Tugas kepolisian dalam melaksanakan tanggung jawabnya di

masyarakat juga tercantum dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang

Nomor. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka kepolisan

bertugas :

1) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum, mencegah

dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat,

memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat, termasuk

memeberikan perlindungan dan pertolongan, mengusahakan

ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturan-

peraturan negara.

19
2) Dalam bidang peradilan mengadakan penyelidikan atas kejahatan

dan pelanggaran menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-

Undang Hukum Acara Pidana dan peraturan Negara lainnya.

3) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang daat membahayakan

masyarakat dan negara.

4) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya

oleh suatu peraturan negara.

Di dalam menjalankan tugas pokok memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, polisi mengupayakan untuk terciptanya suatu

kondisi yang aman dan tertib di dalam mayarakat. Mengenai paham

dan pandangan tentang “Keamanan” didapatkan pula didalam konsepsi

Kepolisian Republik Indonesia, Tata Tentram Karta Raharja dimana

disebutkan bahwa arti “Aman” mengandung 4 unsur pokok yakni :

1) Securty : adalah perasaan bebas dari gangguan baik fisik maupun

psikis.

2) Surety : adalah perasaan bebas dari kekhwatiran.

3) Safety : adalah perasaan bebas dari resiko.

4) Peace : adalah perasaan damai lahiriah dan batiniah.17

Keempat unsur ini menimbulkan kegairahan kerja dan akhirnya

tercapainya kesejahteraan masyarakat materiil dan spirituil. Sedangkan

17
Momo Kelana, Op. Cit., hlm. 35.

20
istilah “Ketertiban” terdapat dalam kamus Poerwadarminta yaitu

terbagi menjadi dua kata “Tertib” dan “Ketertiban” :

Tertib : 1. Aturan ; Peraturan yang baik ;

2. Teratur; dengan aturan; menurut aturan; rapi, apik.

Ketertiban : 1. Aturan; peraturan (dalam Masyarakat)

2. Adat, Kesopanan; peri kelakuan yang baik dalam

pergaulan.

Menurut pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam melaksanakan

tugas pokok tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara

umum bertugas :

1) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli

terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;

3) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat

terhadap hukum dan Peraturan Perundangundangan;

4) Turut serta dalam pembinaan hukum masyarakat;

5) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

21
6) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis

terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan

bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

7) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak

pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan

perundang- undangan lainnya;

8) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan

tugas kepolisian;

9) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan atau atau bencana

termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan

menjunjung tinggi hak asasi manusia;

10) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang;

11) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepenti-

ngannya dalam lingkup kepolisian; serta

12) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan Peraturan Perundang-

Undangan.

Kewenangan polisi dalam rangka menyelenggarakan tugasnya

secara umum tercantum pada Pasal 15 ayat (1), Kepolisian Negara

Republik Indonesia berwenang untuk:

22
1) Menerima laporan dan atau pengaduan;

2) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang

dapat menganggu ketertiban umum;

3) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

4) Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

5) Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan

administrasi kepolisian;

6) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan

kepolisian dalam rangka pencegahan;

7) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

8) Mengambil sidik jari dari identitas lainnya serta memotret

seseorang;

9) Mencari keterangan dan barang bukti;

10) Menyelenggarakan Pusat Informasi Keterangan Kriminal Nasional;

11) Mengeluarkan surat izin dan atau surat keterangan yang diperlukan

dalam rangka pelayanan masyarakat;

12) Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan

putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan

masyarakat;

13) Menerima dan menyimpan barang temuan sebagai barang bukti

untuk sementara waktu.

23
Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) dinyatakan Kepolisian Negara

Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan

lainnya berwenang :

1) Memberi izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan

kegiatan masyarakat lainnya;

2) Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;

3) Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor:

4) Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

5) Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan

peledak, dan senjata tajam.

6) Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap

badan usaha di bidang jasa pengamanan.

7) Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih kepolisian khusus

dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

8) Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam

menyelidiki dan menberantas kejahatan internasional;

9) Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing

yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi

terkait;

10) Mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi

kepolisian internasional;

11) Melaksanakan tugas lain yang termasuk dalam lingkup tugas

kepolisian.

24
Selain Kewenangan Kepolisian yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

di atas, wewenang polisi dalam melakukan penyelidikan dan

penyidikan tindak pidana juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Wewenang

polisi selaku penyelidik dirumuskan dalam pasal 5 ayat (1), yaitu:

1) Menerima laporan atau pengduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana;

2) Mencari keterangan dan barang bukti;

3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri dan;

4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

Wewenang polisi sebagai penyidik dalam melakukan penyidikan

dirumuskan dalam pasal 7 ayat (1) KUHAP adalah :

1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana;

2) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;

3) Menyuruh berhenti seseroang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka;

25
4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan

penyitaan;

5) Melakukan pemeriksaan dan peyitaan surat;

6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi;

8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

9) Mengadakan penghentian penyidikan;

10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

3. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Perundang-Undangan

a. Pengertian Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan.Pengertian peraturan perundang-

undangan menurut para ahli sendiri sangatlah beragam.Seperti

pendapat Bagir Manan, bahwa peraturan perundang-undangan adalah

keputusan tertulis negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau

pola tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum.18

18
Bagir manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind-Hill-Co, Jakarta,
hlm.18.

26
Pengertian lain mengenai peraturan perundang-undangan menurut

Attamimi adalah peraturan Negara, di tingkat Pusat dan di tingkat

Daerah, yang dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan,

baik bersifat atribusi maupun bersifat delegasi.19

Menurut Maria Farida Indrati, istilah perundang-undangan

(legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian

yang berbeda, yaitu:20

1) Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses

membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat

maupun di tingkat daerah;

2) Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang

merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat

Pusat maupun di Tingkat Daerah.

b. Asas-Asas Pembentukan Peraturang Perundang-Undangan

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal

beberapa asas umum, antara lain:21

Pertama, Undang-undang tidak berlaku surut. Asas ini dapat dibaca

dalam Pasal 13 Algemene Bepalingen van Wetgeving (selanjutnya

disebut A.B.) yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut: “Undang-

19
Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Mandar
Maju, Bandung, hlm.19.
20
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2006, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 3.
21
Ni‟matul Huda, 2011, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Nusamedia,
Bandung, hlm.12.

27
undang hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai

kekuatan yang berlaku surut.” Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-undang

Hukum Pidana,yang berbunyi sebagai berikut: “Tiada peristiwa dapat

dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-

undangan pidana yang mendahulukan.” Artinya dari asas ini adalah,

bahwa undangundang hanya boleh dipergunakan terhadap peristiwa

yang disebut dalam undang-undang tersebut, dan terjadi setelah

undang-undang dinyatakan berlaku.

Kedua, Undang-undang yang tidak dapat diganggu gugat. Makna

asas ini adalah sebagai berikut: a) adanya kemungkinan isi undang-

undang menyimpang dari Undang-Undang Dasar; dan b) Hakim atau

siapapun juga tidak mempunyai hak uji materiil terhadap undang-

undang tersebut. Hak tersebut hanya dimiliki oleh si pembuat Undang-

undang.

Ketiga, Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin

untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil bagi masyarakat

maupun individu, melalui pembaharuan (asas welvarstaat).

Keempat, Undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan

undang-undang yang lebih rendah (lex superiori derogate lex inferiori).

Menurut asas ini bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundangundangan yang lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama.

Konsekuensi hukum asas lex superiori derogate lex inferiori ialah: a)

28
undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula; b) undang-undang yang

lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang


22
lebih tinggi; c) Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah,

atau ditambah oleh atau dengan peraturan perundang-undangan yang

sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya. Tidak ditaatinya asas

tersebut akan dapat menimbulkan ketidak-tertiban dan ketidakpastian

dari sistem perundang-undangan. Bahkan dapat menimbulkan

kekacauan atau kesimpangsiuran perundangundangan.23

Kelima, Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan

undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogate lex

generalis). Menurut asas ini apabila ada dua macam ketentuan

peraturan perundangan yang setingkat atau kedudukannya sama dan

berlaku dalam waktu yang bersamaan serta saling bertentangan, maka

hakim harus menerapkan atau menggunakan yang khusus sebagai

dasar hukum, dan mengesampingkan yang umum.24

Keenam, undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan

undang-undang terdahulu (lex posteriori derogate lex priori).

Maksudnya adalah undang-undang atau peraturan yang terdahulu

(lama) menjadi tidak berlaku apabila penguasa yang berwenang

memberlakukan undangundang atau peraturan yang baru dalam hal

22
Umar Said Sugiarto, 2013, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.62.
23
Amiroeddin Sjarif, Perundang-Undangan Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya, Op.cit,
hlm.78-79.
24
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, Op.cit, hlm.64.

29
mengatur objek yang sama, dan kedudukan undang-undang atau

peraturannya sederajat.25

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus

dilakukan berdasarkan asas-asas yang sebagaimana disebutkan dalam

UU pembentukan Peraturan Perundang-undangan yakni:

1) kejelasan tujuan;

2) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

3) kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

4) dapat dilaksanakan;

5) kedayagunaan dan kehasilgunaan;

6) kejelasan rumusan; dan

7) keterbukaan.

Materi muatan yang terkandung dalam suatu peraturan

perundangundangan juga harus mencerminkan asas-asas meliputi:

1) pengayoman;

2) kemanusiaan;

3) kebangsaan;

4) kekeluargaan;

5) kenusantaraan;

6) bhinneka tunggal ika;

7) keadilan;

8) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;


25
Ibid., hlm.64-65.

30
9) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

10) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah

penelitian hukum normatif. Menurut Peter Mahmud bahwa “penelitian

hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan

hukum, prinsip-prisip hukum maupun doktrin-doktrin hukum untuk

menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.” Sedangkan menurut

Saerjono Saekanto dan Sri Mamuji, yaitu “penelitian hukum normatif atau

penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.”

Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang menjadi fokus penelitian

di sini adalah mengenai pengaturan penggunaan gas air mata di Indonesia

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Tipe Penelitian

3. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute

approach), dan pendekatan konseptual (conceptul approach). Pendekatan

perundang-undangan (statute approach) adalah pendekatan yang

31
menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar melakukan

analisis terhadap masalah yang diteliti. Pendekatan konseptual (conceptul

approach) adalah suatu pendekatan yang bersumber dari pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan

mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin maka akan

ditemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-

konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan masalah yang

diteliti.

4. Sumber Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan

hukum mengikat yang berupa :

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan

Kekuatan dalam Tindakan Polisi

2. Prosedur Tetap Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor : PROTAP/1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki.

3. Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 22 Tahun 2016 tentang

Penanggulangan Dampak Bahaya Bahan Kimia dari Aspek

Kesehatan di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara

Nasional Indonesia

32
b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku-buku,

teks hukum, jurnal hukum, pendapat-pendapat sarjana hukum yang

relevan dengan masalah yang diteliti.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum primer dan sekunder dalam penelitian dikumpulkan

melalui studi pustaka, yaitu suatu penelitian dengan cara mempelajari dan

mengkaji peraturan perundang-undangan maupun bahan pustaka yang

relevan dengan masalah yang diteliti. Untuk peraturan perundang-

undangan akan diambil kaidah hukumnya dari masing-masing isi pasalnya

yang terkait dengan pokok bahasan, sementara bahan pustaka akan diambil

teori, dan akhirnya semua bahan tersebut disusun secara sistematis agar

memudahkan proses analisis.

6. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini digunakan pengolahan bahan hukum dengan cara

editing, yaitu pemeriksaan kembali bahan hukum yang diperoleh terutama

dari kelengkapannya, kejelasan makna, kesesuaian, serta relevansinya

dengan kelompok yang lain. Setelah melakukan editing, langkah

selanjutnya adalah coding yaitu memberi catatan atau tanda yang

menyatakan jenis sumber bahan hukum (literatur, Undang-undang,atau

33
dokumen), pemegang hak cipta (nama penulis, tahun penerbitan) dan

urutan rumusan masalah.

Selanjutnya adalah rekonstruksi bahan (reconstructing) yaitu

menyusun ulang bahan hukum secara teratur, berurutan, logis, sehingga

mudah dipahami dan diinterpretasikan. Dan langkah terakhir adalah

sistematis bahan hukum (systematizing) yakni menempatkan bahan hukum

berurutan menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan

masalah.

Dalam penelitian ini, setelah bahan hukum terkumpul maka bahan

hukum tersebut dianalisis untuk mendapatkan konklusi, bentuk dalam

teknik analisis bahan hukum adalah Content Analysis. Sebagaimana telah

dipaparkan sebelumnya, bahwa dalam penelitian normatif tidak diperlukan

data lapangan untuk kemudian dilakukan analisis terhadap sesuatu yang

ada di balik data tersebut. Dalam analisis bahan hukum jenis ini dokumen

atau arsip yang dianalisisb disebut dengan istilah “teks”. Content analysis

menunjukkan pada metode analisis yang integratif dan secara konseptual

cenderung diarahkan untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah, dan

menganalisis bahan hukum untuk memahami makna, sgnifikansi, dan

relevansinya.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini dibagi atas empat bab pembahasan, dan secara global dapat

dikemukakan, yaitu :

34
BAB I Pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika

penelitian.

BAB II Tinjauan Pustaka yang berisikan tentang tinjauan umum tentang gas

air mata, tinjauan umum tentang penegak hukum dan tinjauan umum

tentang peraturan perundang-undangan.

BAB III Pembahasan terhadap masalah penggunaan gas air mata dan

pertanggungjawabannya terhadap penggunaan gas air mata.

BAB IV Penutup yang berisikan beberapa kesimpulan dan saram terhadap

masalah penelitian dalam skripsi ini.

35
DAFTAR PUSTAKA

Amiroeddin Sjarif, 1997, Perundang-Undangan Dasar, Jenis, dan Teknik

Membuatnya, Jakarta ; Bina Aksara

Awaloedi Djamin, 1995, Administasi Kepolisian Republik Indonesia: Kenyataan

dan Harapan, , Jakarta ; Sanyata Sumanasa Wira Sespim Polri

Bagir manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta ; Ind-

Hill-Co

Bibit Samad Rianto. 2006. Pemikiran Menuju POLRI Yang Profesional, Mandiri,

Berwibawa Dan Dicintai Rakyat. Jakarta ; PTIK Press & Restu Agung

H. Pudi Rahardi, 2007, Hukum Kepolisian [Profesionalisme dan Reformasi Polri],

Surabaya ; Laksbang Mediatama

Institute for Criminal Justice Reform, “Penggunaan Gas Air Mata yang sudah

Kedaluwarsa Berulang: Presiden Harus Evaluasi Penggunaan Kekuatan

Polisi, 13 Oktober 2022”, https://icjr.or.id/penggunaan-gas-air-mata-yang-

sudah-kedaluwarsa-berulang-presiden-harus-evaluasi-penggunaan-

kekuatan-polisi/ , Diakses tanggal 8 Desember 2022

Kementerian Kesehatan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, dr. Soeradji

Tirtonegoro Klaten ”Menulis Referensi dari Internet, 18 Oktober 2022,

https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1699/apa-sih-gas-air-mata-itu,

Diakses tanggal 7 Desember 2022

Majin Harianto Sinaga, 2020, ”Pertanggunjawaban Polisi terhadap

Penyalahgunaan Senjata Kimia berupa Gas Air Mata dalam Menjalankan

36
Tugas Kepolisian” (Tesis Pasca Sarjana tidak diterbitkan, Fakultas Hukum

Universitas Atma Jaya, Yogyakarta)

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2006, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar

dan Pembentukannya, Yogyakarta ; Kanisius

Momo Kelana, 1994, Hukum Kepolisian, Jakarta ; PT Gramedia Widiasarana

Indonesia

Ni‟matul Huda, 2011, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan,

Bandung ; Nusamedia

Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, ,

Bandung ; Mandar Maju

Sadjijono, 2005, Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Govenance,

Yogyakarta ; Laksbang Pressindo

Sadjijono, 2006, Hukum Kepolisian, Perspektif Kedudukan Dan Hubungan

Dalam Hukum Administrasi, Yogyakarta ; Laksbang Pressindo

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,”Ketahui Dampak dan Cara Penanganan

Gas Air Mata, 12 Oktober 2020, http://hmjkimia.uin-malang.ac.id/?

p=1572, Diakses tanggal 9 Desember 2022

Umar Said Sugiarto, 2013, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta ; Sinar Grafika

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia

W.J.S Purwodarminto, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta ; Balai

Pustaka Jakarta

37
Willa Wahyuni, “Aturan Penggunaan Gas Air Mata oleh Kepolisian, 3 Oktober

2022”, https://www.hukumonline.com/berita/a/aturan-penggunaan-gas-air-

mata-oleh-kepolisian-lt633a5df23a816/?page=all, Diakses tanggal 8

Desember 2022

38

Anda mungkin juga menyukai