Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH TINDAK PIDANA MAYANTARA

ANALISIS KASUS ROCKY GERUNG

Oleh :

HADI B.M ALKATIRI

2202010011

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkatnya saya dapat
menyelesaikan makalah tentang “ Analisis Kasus Rocky Gerung”. Tidak lupa juga saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan kontribusi dalam
penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika mendapat dukungan dari
berbagai pihak.

Sebagaimana saya penyusun makalah ini, kami meyadari bahwa masihi terdapat
kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata Bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh
karena itu, kami dengan rendah hati saya meminnta saran dan kritik dari pembaca agar saya
dapat memperbaiki makalah ini. Saya berharap semoga makalah yang saya susun ini sapat
bermanfaat bagi kita semua.

Kupang, 17 November 2023

Penulis
DASTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................2
BAB I.............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN........................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................................................6
1.3 Tujuan Pembahasan..................................................................................................................6
BAB II...........................................................................................................................................................7
LANDASAN TEORI...................................................................................................................................7
1.4 Pragmatik...................................................................................................................................7
1.5. Etika dan Etiket.......................................................................................................................10
1.6. Ujaran Kebencian (Hate Speech)...........................................................................................11
BAB III........................................................................................................................................................12
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................12
1.7. Menganalisis tuturan Rocky Gerung yang diduga mengandung ujaran kebencian dan
merugikan nama baik Presiden Joko Widodo...................................................................................12
1.8. Memahami kerangka hukum Indonesia yang mengatur kasus ujaran kebencian,
khususnya dalam UU ITE No. 19 Tahun 2016..................................................................................13
1.9. Mengevaluasi apakah tindakan Rocky Gerung dapat dianggap melanggar regulasi yang
ada dan apakah ada konsekuensi hukum yang dapat diterapkan dalam kasus ini........................14
BAB IV........................................................................................................................................................17
PENUTUP...................................................................................................................................................17
2.1. KESIMPULAN........................................................................................................................17
2.2. SARAN.....................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan teknologi internet memainkan peran penting dalam evolusi bahasa.
Media internet yang terus berkembang memengaruhi penggunaan bahasa, dengan
masyarakat memilihnya sebagai media komunikasi utama karena efisiensi waktu dan
kebebasan tak terbatas oleh jarak. Meskipun demikian, penggunaan bijak media sosial
menjadi krusial, mengingat potensi dampak negatif seperti ujaran kebencian dan kejahatan
siber yang dapat muncul. Terkait hal tersebut, media sosial menjadi platform untuk
bertindak tutur, di mana setiap pengguna memiliki motivasi dan kesengajaan untuk
berkomunikasi dengan tujuan menyampaikan pemikiran. Di Indonesia, seiring dengan
perubahan era demokrasi, gaya berbicara yang sebelumnya santun dan menggunakan
eufimisme mulai mengalami perubahan, dengan masyarakat cenderung beralih ke gaya
berterus terang dan transparan yang terkesan mengesampingkan etiket dan etika berbahasa.

Berkaitan dengan hal tersebut, ujaran kebencian menjadi perhatian utama dalam
pemberitaan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Kebebasan berpendapat, terutama
di media internet dan sosial, memberikan pengguna kemerdekaan besar untuk
mengekspresikan pendapat atau ketidaksetujuan terhadap suatu hal. Meskipun demikian,
penggunaan media sosial yang memicu konflik atau dianggap sebagai kejahatan siber dapat
membawa dampak negatif bagi mereka yang menggunakannya. Untuk itu, masyarakat perlu
mengetahui regulasi pemerintah tentang berinteraksi di media internet diatur dalam UU ITE
No. 19 Tahun 2016 yang merupakan perubahan dari UU No. 11 Tahun 2008.

Dalam makalah ini, saya akan membahas mengenai seorang pengamat politik
yaitu Rocky Gerung, yang kini menjadi sorotan media sosial di Tanah Air. Ia dilaporkan ke
Bareskrim Polri oleh DPP PDIP dan sejumlah relawan Jokowi karena dinilai telah
melontarkan hinaan dan membuat fitnah serta narasi hoaks tentang Presiden Joko Widodo.
Berikut ini beberapa tuturan yang dikutip dalam saluran youtube Rocky Gerung Official
yang diduga memiliki muatan ujaran kebencian.
 “… Jadi kan presiden mestinya dari awal saya menganggap ini peristiwa di mana
presiden di mana presiden mestinya dari awal saya menganggap ini peristiwa di
mana di mana presiden menjadikan peristiwa ini sebagai kasus belie untuk dia
mengucapkan demokrasi itu kan. Ini justru bagian yang paling bagus momentum
yang dia peroleh, tapi kalau dia cuman happy-happy dan tetap bisu karena nggak
bisa menghubungkan akalnya dengan mulutnya, maka orang anggap presiden hanya
bisa geleng geleng eh planga-plongo. Jadi nggak kaget lagi kalau Mahfud jadi
akhirnya harus mengucapkan hal yang sama. Happy-happy kan artinya nggak ngerti
apa-apa kan?”
Tuturan tersebut mengandung ujaran kebencian bentuk penghinaan
ditandai dengan diksi ‘bisu’ dan ‘planga-plongo’ yang ditujukan kepada presiden di
media massa adalah bentuk penghinaan terhadap kepala negara. Hal itu dapat
merendahkan kehormatan diri presiden. Maksud dari tuturan tersebut adalah
mengkritik sikap presiden yang tidak berkomentar terkait peristiwa yang sedang
terjadi. Bentuk tindak tutur ilokusi pada tuturan tersebut adalah asertif. Hal ini
karena tuturan tersebut memiliki daya ujaran yang menyatakan pendapat kepada
mitra tutur dengan maksud mendengarkan berubah penilaiannya terhadap presiden.
Akan tetapi tidak benar sikap megkritik dengan muatan penghinaan bila dilakukan di
media massa. Seyogianya dalam menyampaikan kritik perlu memperhatikan etika
agar tidak menjadi contoh yang tidak baik bagi penonton sebagai mitra tutur.

 “ Tapi juga yang diperlihatkan di jalan raya di Tanggerang di mana mahasiswa


dibanting dan presiden coba dengan apa yang dia mau ucapkan dari kejeniusan dia
tentang praktek demokrasi yang kasar seperti itu? Itu sebetulnya yang jadi
kemarahan kita hari ini. Kemarahan terhadap ketidakmampuan Presiden Jokowi
untuk mengarahkan bangsa ini pada peradaban demokrasi yang otentik.”
Tuturan tersebut adalah bentuk ujaran kebencian berupa provokasi.
Kalimat deklaratif “Itu sebetulnya yang jadi kemarahan kita hari ini” menjadi
penanda provokasi RG kepada penonton. Pengulangan frasa ‘kemarahan kita’
sebanyak dua kali dapat dimaknai bahwa RG menyatakan kemarahan terhadap
presiden atas apa yang terjadi. Bentuk tindak tutur ilokusi pada tuturan tersebut
adalah ekspresif. Tindak tutur tersebut memiliki daya ujaran yang bermaksud
mengkritik pemerintahan Presiden Jokowi yang dianggap tidak mampu. RG
menggunakan pronominal kita seakan menunjukkan bahwa penonton sebagai mitra
juga merasakan psikologi yang sama.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimanakah hukum Indonesia menanggapi kasus ujaran kebencian yang
dilakukan oleh Rocky Gerung melalui saluran YouTube dan media sosialnya, serta apakah
tindakan tersebut melanggar UU ITE No. 19 Tahun 2016?

1.3 Tujuan Pembahasan


 Untuk menganalisis tuturan Rocky Gerung yang diduga mengandung ujaran kebencian
dan merugikan nama baik Presiden Joko Widodo.
 Untuk memahami kerangka hukum Indonesia yang mengatur kasus ujaran kebencian,
khususnya dalam UU ITE No. 19 Tahun 2016.
 Untuk mengevaluasi apakah tindakan Rocky Gerung dapat dianggap melanggar regulasi
yang ada dan apakah ada konsekuensi hukum yang dapat diterapkan dalam kasus ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam makalah ini akan dikemukakan beberapa teori sebagai penunjang makalah.
Teori yang digunakan dalam makalah ini, yaitu teori ujaran kebencian Fasold dan teori tindak
tutur Searle. Selain itu buku Kitab Undang Undang Hukum Pidana Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, dan Surat Edaran Nomor; SE/6/X/2015 tentang
Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) juga menjadi penunjang dalam penelitian ini.
Berikut ini merupakan uraian teori teori tersebut.
1.4 Pragmatik
Levinson (dalam Nababan, 1987;2) menyatakan bahwa pragmatik memilikki 2
pengertian :
 Pragmatik sebagai kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari
penjelasan pengertian bahasa. Pengertian bahasa menunjukkan kepada fakta bahwa
untuk mengerti suatu ungkapan atau ujaran bahasa diperlukan pengetahuan di luar
makna kata dan atau ujaran bahasa diperlukan pengetahuan di luar makna kata dan
hubungannya dengan konteks penggunaannya.
 Pragmatik sebagai kajian tentang kemampuan menggunakan bahasa dan mengaitkan
kalimat kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.
Pragmatik mengkaji tentang makna kalimat yang dituturkan oleh penutur
disesuaikakn dengan konteks dan situasi

Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek
pemakaian aktualnya. Pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu
dilakukan; menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan
mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepad siapa, di mana, bilamana, dan
bagaimana).
Berdasarkan beberapa pengertian pragmatik di atas, dapat disimpulkan bahwa
prakmatig ialah ilmu yang membahas makna berdasarkan maksud tuturan pembicaara
sesuai dengan konteks yang ada. Pragmatik yang mengkaji mengenai tuturan dan makna
sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatik merupakan ilmu yang membahas mengenai
tindak tutur. Dalam tindak tutur tersebut, dapat dipahami tentangpra anggapan tutran
yang disampaikan dan implikasi yang muncul dari tuturan tersebut. Selain itu, peerlu
untuk diketahui acuan dari tuturan yang disampaikan dan implikasi yang muncul dari
tuturan yang disampaikan.
a. Tindak Tutur
Tuturan adalah suatu ujaran dari seorang penuturan terhadap mitra tutur ketika
sedang berkomunikasi. Tuturan dalam pragmatik diartikan sebagai produk suatu
tindak verbal (bukan tindak verbal itu sendiri). Austin ( dalam Leech, 1993:280)
menyatakan bahwa semua tuturan adalah bentuk tindakan dan tidak sekedar sesuatu
tentang dunia tindak ujar atau tutur(speech act) adalah fungsi bahasa sebagai sarana
penindak, semua kalimat atau ujaran yang diucapkan oleh penutur sebenarnya
mengandung fungsi komunikatif tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat
dikatakan bahwa mengujarkan sesuatu dapat disebut aktivitas atau tindakan. Hal ini
tersebut dimungkinkan karena dalam setiap tuturan memiliki maksud tertentu yang
berpengaruh pada orang lain. Selanjutnya, Searle mengemukakan 3 jenis tindakan
dalam tindak tutur yang dapat diwujudkan oleh penutur secara pragmatis, yang diatur
oleh norma aturan penggunaan bahasa sesuai tuturan atau percakapan, yakni :
1) Tindak Lokusi
Tindak lokusi (locutionary act) adalah tindak proposisi yang berada pada
kategori mengatakan sesuatu (the act of saying something) karena tindak
tutur ini hanya berkaitan dengan makna. Yang diutamakan dalalm tindak
lokusi adalah isi dari tuturan yang diungkapkan oleh penutur sehingga dapat
didefinisikan bahwa tindak lokusi adalah tindak tutur yang didefinisikan
bahwa tindak lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti
berkata atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat
dipahami. Pada tindak tutur, seorang penutur mengatakan sesuatu secara pasti
dan gaya bahasa si penutur mengatakan sesuatu secara pasti dan gaya bahasa
si penutur langsung dihubungkan dengan sesuautu yang diutamakan dalam isi
ujaran. Dengan demikian, tuturan yang diutumakan dalam tindak tutur lokusi
adalah isi ujuran yang diungkapkan oleh penutur.
2) Tindak Ilokusi
Tindak tutur ilokusi merupakan tuturan yang berfungsi untuk menyatakan
atau menginformasikan sesuatu. Ilokusi juga dapat digunakan untuk
diidentifikasi jika dibandingkan dengan tindak lokusi karena terlebih dahulu
harus mempertingkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan di mana
tuturan itu terjadi, serta saluran apa yang digunakan. Oleh karena itu, tindak
ilokusi merupakan bagian penting dalam memahami tindak tutur. Berkaitan
dengan ilokusi, Austin melihat tindak tutur dari pembicara. Dalam hal
penutur dan tuturannya mengandung maksud dan daya ujaran yang
bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan.
3) Tindak Perlokusi
Tindak perlokusi adalah efek yang ditimbulkan oleh tuturan terhadap
mitra tutur sehingga mitra tutur melakukan tindakan berdasarkan isi tutur
melakukan tindakan berdasarkan isi tuturan. Levinson mengemukakan bahwa
tindak perlokusi lebih mementingkan hasil sebab tindak ini dikatakan berhasil
jika mitra tutur melakukan sesuatu tindak ini dikatakan berhasil jika mitra
tutur melakukan sesuatu yang berkaitan dengan penutur. Dengan kat lain,
penutur melakukan apa yang dikehendaki oleh penutur. Tindak perlokusi
adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain
sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain tersebut.

b. Praanggapan
Praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose yang dalam
bahasa inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), ia sudah
memiliki dugaan sebelumnya tentang lawan bicara atau hal yang dibicarakan. Selain
definisi tersebut, beberapa definisi lain tentang praanggapapn di antaranya Levinson
memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan maknanya dengan presuposisi
sebagai suatu macam anggapapn atau pengetahuan latar belakang yang membuat
suatu anggapan atau pengetahuan latar belakang latar belakang yang membuat suatu
indakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna. Yule menyatakan bahwa
praanggapan atau presuposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai
presuposisi adalah penutur bukan kalimat. Dengan kata lain , praanggapan yangtepat
dapat menungkatkan nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Makin tepat
praanggapan yang dihipotesiskan, makin tinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang
diungkapkan.

c. Implikator
Konsep implikator pertama kali diperkenalkan oleh H.P. Grice pada tahun
1975 untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak diselesaikan oleh teori
semantik biasa. Implikatur digunakan untuk memperhitungkan apa yang disarankan
atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang
dinyatakan secara harafiah. Di dalam teori tersebut, dibedakan dua jenis implikatur :
1. Impilikatur konvesional adalah implikatur yang diperoleh langsung dari
makna kata, bukan dari prinsip percakapan
2. Implikator nonkonvensial atau implikatur percakapan adalah implikasi
pragmatik yang tersirat di dalam suatu percakapan. Di dalam komunikasi,
tuturan percakapan itulah terimplikasi suatu maksud atau tersirat fungsi
pragmatik lain yang dinamakan implikatur percakapan.

d. Deiksis
Deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos yang berarti hal yang
menunjuk secara langsung. Dalam bahasa Yunani, deiksis merupakan istilah teknis
untuk salah satu hal yang mendasar yang dilakukan dalam tuturan. Dektikos dalam
pengertian bahasa Indonesia dimaknai dengan kata demonstratif.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa deiksis adalah
bentuk bahasa baik berupa kata maupun lainnya deiksis apabila acuan atau rujukan
atau referennya berpindah pindah atau berganti ganti pada siapa yang menjadi si
pembicara dan bergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu.

1.5. Etika dan Etiket


Kata etika berasal dari bahsa Yunani, ethos yang berarti tempat tinggal yang
biasa, pada rumput, kendang, kebiasaan, adat, akhlak, perasaan, dan car berpikir. Dalam
bentuk jamak, ta etha berarti adat kebiasaan. Dalam filsafat, etika berarti ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam KBBI, etika adalah ilmu
pengetahuan tentang asas asas akhlak. Ada 3 pengertian utama etika yaitu (1) ilmu tentang
apa yang baik dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkembang tentang
akhlak; dan (3) mengenal benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat,
maka etika dapat diartikan sebagai nilai nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Etiket adalah tata cara sopan/santun yang berlaku dalam pergaulan antara
individu/perorangan dalam masyarakat. Dalam KBBI, etikat diartikan sebagai tata cara
dalam masyarakat beradab dalam memelihara hubungan baik antar sesama manusia. Istilah
etika dan etiket pun dering kali dicampurpadukkan, padahal perbedaan keduanya sangat
jelas, ‘etika’ berarti moral dan ‘etiket’ berarti sopan santun.
Persamaan anatara etika dan etikat adalah keduanya bertalian dengan tindakan
dan perilaku manusia. Menurut, Darmodiharjo dan Shidarta perbedaan etika dan eriket yaitu:
(1) etika berkaitan dengan cara perbuatan yang harus dilakukan seorang atau kelompok
tertentu, sedangkan etikat memberikan dan menunjukkan cara yang tepat dalam bertindak,
(2) etiket hanya berlaku dalam pergaulan sosial, (3) etiket bersifat relatif, dan (4) etiket
hanya bertalian dengan lahiriah saja dan etika bertalian dengan dimensi internal manusia.

1.6. Ujaran Kebencian (Hate Speech)


Fasold mendefinisi ungkapan kebencian (hate speech) merupakan ujaran yang
mengintimidasi orang dari kelompok kelompok sosial tertentu yang mengintimidasi orang
dari kelompok kelompok sosial tertentu yang berorientasi pada perbedaan ras, asal negara,
agama, dan jenis kelamin. Tuturan yang mengandung kebncian dapat memprovokasi orang
untuk menggunakan kekerasan, memancing permusuhan antargrup, dan masih banyak yang
memicu adanya tindakan kriminalitas.
Dalam arti hukum, ujaran kebencian adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun
pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap
prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan
tersebut. Konsep ini kadang diperluas pada ekspresi yang menumbuhkan iklim prasagka dan
intoleransi yang diasumsikan menjadi bahan bakar diskriminasi permusuhan, dan sesrangan
kekerasan. Dalam bahasa umum, definisi kebencian cenderung meluas bahkan mencakup
kata kata yang menghina penguasa atau individu. Kejahatan ujaran kebencian yang
dimaksud di atas dapat dilakukan diberbagai media, anatara lain dalam spanduk, baliho,
jejaring media sosial, media massa, hingga penyampaian di hadapan publik.
BAB III
PEMBAHASAN
1.7. Menganalisis tuturan Rocky Gerung yang diduga mengandung ujaran kebencian dan
merugikan nama baik Presiden Joko Widodo.

Analisis terhadap tuturan Rocky Gerung yang diduga mengandung ujaran kebencian dan
merugikan nama baik Presiden Joko Widodo dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa unsur
bahasa dan konteks.

1. Tuturan Pertama:
 Penggunaan Diksi: Penggunaan diksi 'bisu' dan 'planga-plongo' dapat dianggap
sebagai bentuk penghinaan terhadap Presiden. Istilah-istilah tersebut dapat
merendahkan dan merugikan nama baik kepala negara.
 Asertif dan Provokatif: Tuturan tersebut bersifat asertif dengan maksud
menyatakan pendapat Rocky Gerung. Namun, provokatif karena menggunakan
ungkapan yang dapat memancing emosi negatif terhadap Presiden.
2. Tuturan Kedua:
 Penggunaan Diksi: Ungkapan "praktek demokrasi yang kasar" dapat dianggap
sebagai nilai subjektif yang merendahkan dan merugikan nama baik Presiden.
Penggunaan kata "kasar" bersifat mengecam dan provokatif.
 Ekspresif dan Provokatif: Tuturan ini bersifat ekspresif dengan menyatakan
ketidakpuasan terhadap Presiden. Namun, pengulangan frasa 'kemarahan kita'
memiliki unsur provokasi terhadap penonton untuk turut merasa marah terhadap
pemerintahan.
Analisis Terhadap UU ITE No. 19 Tahun 2016:
 Pasal 27 Ayat (3): Tuturan Rocky Gerung dapat dianggap melanggar pasal ini karena
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap Presiden.
 Pasal 28 Ayat (2): Penggunaan media sosial dan saluran YouTube untuk
menyampaikan tuturan yang merugikan nama baik Presiden dapat melanggar pasal
ini.
Potensi Konsekuensi Hukum:
 Pidana: Jika terbukti bersalah, Rocky Gerung dapat dikenakan sanksi pidana sesuai
dengan UU ITE, termasuk denda dan/atau pidana penjara.
 Pencabutan Konten: Pemerintah dapat meminta penyedia platform, seperti
YouTube, untuk mencabut konten yang melanggar aturan hukum.

1.8. Memahami kerangka hukum Indonesia yang mengatur kasus ujaran kebencian,
khususnya dalam UU ITE No. 19 Tahun 2016
Kerangka hukum Indonesia yang mengatur kasus ujaran kebencian, termasuk dalam UU ITE
No. 19 Tahun 2016, memberikan landasan untuk menanggapi dan menindak tindakan yang dapat
merugikan individu atau kelompok dalam ranah digital.
UU ITE No. 19 Tahun 2016:
1. Pasal 27 Ayat (3):
 Isi:
 "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
 Implikasi:
 Melarang penyebaran informasi yang dapat menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
2. Pasal 28 Ayat (2):
 Isi:
 "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
 Implikasi:
 Melarang distribusi, transmisi, dan pembuatan informasi elektronik
yang mengandung penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Aspek Penting Lainnya:
1. Perlindungan Nama Baik:
 Hukum Indonesia memberikan perlindungan terhadap nama baik seseorang
atau kelompok, baik dalam bentuk informasi elektronik maupun media
lainnya.
2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia:
 Kasus ujaran kebencian dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi
manusia, terutama hak atas kebebasan berekspresi, sehingga perlindungan
harus seimbang dengan hak-hak tersebut.
3. Proses Hukum dan Sanksi:
 Kasus ujaran kebencian dapat diproses secara hukum, dan pelakunya dapat
dikenakan sanksi pidana dan/atau denda sesuai dengan ketentuan UU ITE.
4. Kewajiban Penyedia Layanan:
 Penyedia layanan digital, seperti platform media sosial dan situs web,
memiliki kewajiban untuk mengawasi dan menghapus konten yang
melanggar hukum.
Tantangan dan Pertimbangan:
1. Kebebasan Berekspresi:
 Dalam menanggapi kasus ujaran kebencian, penting untuk
mempertimbangkan dan menjaga kebebasan berekspresi sejalan dengan
norma-norma hak asasi manusia.
2. Tinjauan Hukum Internasional:
 Perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dalam konteks digital
sebaiknya sejalan dengan prinsip-prinsip hukum internasional terkait hak
asasi manusia.
3. Edukasi Masyarakat:
 Selain tindakan hukum, edukasi masyarakat mengenai bahaya dan dampak
ujaran kebencian dapat membantu mencegah terjadinya kasus serupa di masa
depan.

1.9. Mengevaluasi apakah tindakan Rocky Gerung dapat dianggap melanggar regulasi yang ada
dan apakah ada konsekuensi hukum yang dapat diterapkan dalam kasus ini
Evaluasi atas tindakan Rocky Gerung perlu mempertimbangkan ketentuan dalam
UU ITE No. 19 Tahun 2016 serta norma-norma hukum lainnya. Berdasarkan tuturan yang
disajikan, terdapat indikasi ujaran kebencian dan pencemaran nama baik terhadap Presiden
Joko Widodo.
Potensi Pelanggaran Hukum:
1. Ujaran Kebencian:
 Tuturan Rocky Gerung mencakup ekspresi-ekspresi yang dapat diartikan
sebagai ujaran kebencian terhadap Presiden. Dalam UU ITE, penyebaran
informasi untuk menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA dapat
dianggap sebagai pelanggaran.
2. Pencemaran Nama Baik:
 Frasa-frasa dan ekspresi yang merendahkan seperti "bisu" dan "planga-
plongo" dapat dianggap mencemarkan nama baik Presiden Joko Widodo.
3. Provokasi:
 Pernyataan Rocky Gerung yang menyatakan "Itu sebetulnya yang jadi
kemarahan kita hari ini" dapat dianggap sebagai provokasi, yang dapat
memperkeruh opini masyarakat terhadap pemerintahan.
Konsekuensi Hukum:
1. Pidana Penjara dan Denda:
 Jika terbukti bersalah, Rocky Gerung dapat dikenakan pidana penjara
maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp1.000.000.000,00 berdasarkan
Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.

2. Pencemaran Nama Baik:


 Pasal 28 Ayat (2) UU ITE juga memberikan dasar hukum untuk menindak
pencemaran nama baik melalui media elektronik.
3. Pelaporan ke Bareskrim Polri:
 Jika sudah dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh DPP PDIP dan relawan Jokowi,
penegak hukum dapat melakukan penyelidikan dan memproses kasus ini
sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
4. Kewajiban Penyedia Layanan:
 Platform media sosial atau saluran YouTube tempat konten tersebut diunggah
juga dapat diminta untuk mengambil tindakan, termasuk penghapusan konten
yang melanggar ketentuan.
Pertimbangan:
1. Kebebasan Berekspresi:
 Meskipun hukum memberikan landasan untuk menanggapi ujaran kebencian,
perlu diperhatikan juga kebebasan berekspresi. Namun, kebebasan ini
bukanlah hak untuk merugikan atau mencemarkan nama baik individu atau
kelompok.
2. Proses Hukum yang Adil:
 Setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan proses hukum yang adil dan
setimpal dengan perbuatan yang dilakukan.
 Presiden atau pihak yang merasa dirugikan berdasarkan tuturan Rocky Gerung
memiliki hak untuk memberikan jawaban atau membela diri dalam ranah hukum atau
melalui media yang sesuai.
a. Proses hukum yang adil dan transparan perlu dijamin, termasuk
pengumpulan bukti yang akurat dan pendekatan yang tidak memihak.
b. Pengawasan Media Sosial:
Pentingnya upaya pengawasan dan regulasi terhadap konten yang
diunggah di media sosial untuk mencegah penyebaran ujaran
kebencian dan informasi palsu.
c. Edukasi Publik:
Edukasi masyarakat mengenai bahaya ujaran kebencian dan
pentingnya berkomunikasi dengan etika dapat membantu mencegah
kasus serupa di masa depan.
d. Peran Penegak Hukum:
Penegak hukum perlu menjalankan tugasnya tanpa tekanan politik dan
memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip-
prinsip keadilan.
e. Penilaian Ahli:
Pendapat dan penilaian dari ahli hukum dan ahli bahasa dapat
memberikan pandangan yang lebih mendalam terkait dengan kasus ini.
BAB IV

PENUTUP

1.1. KESIMPULAN
Melalui analisis tuturan Rocky Gerung yang diduga mengandung ujaran
kebencian dan merugikan nama baik Presiden Joko Widodo, dapat disimpulkan
bahwa terdapat indikasi pelanggaran terhadap UU ITE No. 19 Tahun 2016.
Penggunaan diksi, asertif, provokatif, serta potensi dampak buruk terhadap nama
baik Presiden menjadi pokok evaluasi. Selain itu, kerangka hukum Indonesia telah
memberikan dasar untuk menanggapi kasus ujaran kebencian melalui UU ITE,
terutama Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2).
1.2. SARAN
Saran yang dapat disampaikan meliputi:
1. Peningkatan Kesadaran Hukum: Masyarakat perlu lebih sadar akan
regulasi hukum terkait ujaran kebencian, sehingga dapat menggunakan
kebebasan berekspresi dengan bijak dan bertanggung jawab.
2. Pendidikan Hukum Digital: Edukasi mengenai hukum digital, termasuk
aspek hukum dalam media sosial, perlu ditingkatkan agar masyarakat
dapat memahami konsekuensi hukum dari tindakan online.
3. Peran Penyedia Layanan: Platform media sosial dan penyedia layanan
digital memiliki peran penting dalam mengawasi konten yang diunggah
pengguna, termasuk menghapus konten yang melanggar aturan hukum.
4. Pendekatan Berbasis Hak Asasi Manusia: Penegakan hukum terhadap
ujaran kebencian sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-
prinsip hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.
5. Pemberdayaan Masyarakat: Memberdayakan masyarakat untuk berperan
aktif dalam melaporkan kasus ujaran kebencian dapat menjadi langkah
preventif dalam menjaga toleransi dan kerukunan sosial.
Demikianlah makalah ini disusun dengan penuh kesadaran akan keterbatasan dan
kekurangan. Semoga makalah ini dapat memberikan pemahaman lebih dalam
mengenai kasus ujaran kebencian dan kerangka hukum yang mengaturnya di
Indonesia. Penulis menyadari bahwa pembacaan dan penilaian terhadap kasus ini
dapat bervariasi, dan saran serta masukan untuk perbaikan selalu diharapkan.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.rri.co.id/jakarta/hukum/423013/kasus-dugaan-ujaran-kebencian-
rocky-gerung-naik-ke-penyidikan

https://news.detik.com/berita/d-6994336/kasus-rocky-gerung-naik-penyidikan-
pasal-sangkaan-sebar-hoax-picu-onar

https://www.hukumonline.com/berita/a/pelaporan-terhadap-rocky-gerung-
dianggap-tak-penuhi-unsur-ujaran-kebencian-lt64cb1a58eb241/

https://megapolitan.kompas.com/read/2023/08/03/10211071/rocky-gerung-
dilaporkan-pakai-uu-ite-karena-diduga-hina-jokowi-pakar

https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/download/128/pdf

Anda mungkin juga menyukai