Penyakit tidak menular, yang salah satu risikonya adalah perilaku merokok, menjadi
penyumbang kematian tertinggi (Atlas Tembakau 2020). Indonesia mengalami transisi
epidemiologi selama tahun 1990-2017, di mana kematian akibat penyakit menular menurun
dari 47,42% menjadi 16,68% dan kematian akibat penyakit tidak menular (PTM) naik dari
40,76% menjadi 75,02%.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi di dunia.
Global Adults Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan bahwa prevalensi perokok di
Indonesia sebanyak 33,5% atau setara dengan 68,8 juta penduduk. Selain itu, terjadi
peningkatan prevalensi penggunaan rokok elektronik 10x lipat dari 0,3% pada 2011 menjadi
3,0% pada 2021.
Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 menunjukkan bahwa sekitar 3 dari 5 pelajar
sekolah berusia 13-15 tahun terpapar asap rokok orang lain, baik di rumah maupun di
tempat-tempat umum. Sebesar 57,8% terpapar di rumah, 66,2% terpapar di dalam ruangan
di tempat umum, dan 67,2% terpapar di ruang terbuka, sementara itu 56% remaja melihat
orang merokok dilingkungan sekolahnya
Riskesdas 2018 juga mencatat prevalensi perokok nasional sebesar 33,8%, terjadi
peningkatan jumlah perokok secara absolut dari 64,9 juta tahun 2013 menjadi 65,7 juta
tahun 2018. Sedangkan prevalensi perokok usia 10 – 18 tahun dari 7,2% tahun 2013 menjadi
9,1% pada tahun 2018.
Merokok menimbulkan beban kesehatan, sosial, ekonomi dan lingkungan tidak saja bagi
perokok tetapi juga bagi orang lain. Perokok pasif terutama bayi dan anak-anak perlu
dilindungi haknya dari kerugian akibat paparan asap rokok. Peningkatan konsumsi rokok
berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok dan bertambahnya angka
kematian akibat rokok. Setiap tahun, sekitar 225.700 orang di Indonesia meninggal akibat
merokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau.
Meskipun masih banyak perokok aktif, ternyata ada kecenderungan perokok yang ingin
berhenti merokok. Menurut penelitian Badan Kesehatan Dunia (WHO) sekitar 70-80%
perokok mempunyai keinginan untuk berhenti merokok, tapi hanya 3% yang benar-benar
bisa berhenti dalam waktu 6 bulan tanpa bantuan orang lain. Hal ini menguatkan kesimpulan
bahwa memang untuk berhenti merokok membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh.
Diketahui sebanyak 63,4% perokok ingin berhenti merokok, dimana 43,8% nya mencoba
berhenti sendiri tapi belum berhasil. Tentu ini menjadi tugas kita sebagai tenaga kesehatan.
Kementerian Kesehatan telah melakukan berbagai upaya dalam rangka mengurangi jumlah
perokok di Indonesia, salah satunya menyediakan layanan UBM. UBM menjadi salah satu
indikator Rencana Strategis Kementerian Kesehatan pada periode tahun 2020-2024 dengan
menargetkan Jumlah Kabupaten Kota ≥ 40% FKTP yang menyelenggarakan Layanan UBM
dengan target tahun 2024 sebanyak 350 Kabupaten/Kota.
Layanan UBM ini tidak hanya di FKTP, tetapi juga melalui konseling telepon tidak berbayar
(Quitline.INA) yang sudah berjalan sejak 1 Oktober tahun 2016 sebagai layanan berhenti
merokok yang bersifat nasional dalam bentuk konsultasi secara langsung melalui
sambungan telepon bebas biaya pulsa dengan nomor 0-800-177-6565.
3. Sasaran Semua lapisan masyarakat, termasuk generasi muda pengguna media sosial, petugas
kesehatan pada institusi pusat, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
Puskemas, Rumah Sakit, Klinik, Profesi kesehatan dan Fasyankes lainnya.