Anda di halaman 1dari 97

PEDOMAN INTEGRASI LAYANAN

UBM DAN TUBERKULOSIS DI


FASYANKES

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


2022

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABE
DAFTAR GRAFIK
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN……………………………………… 4
1.1 Latar Belakang………………………………… 4
1.2 Dasar Hukum…………………………………. 10
1.3 Tujuan…………………………………………. 11
1.4 Sasaran…………………………………………. 12
1.5 Ruang Lingkup………………………………… 13
BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI INTEGRASI LAYANAN
UBM-TUBERKULOSIS DI FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN………………………………………….. 14
2.1 Kebijakan Integrasi Layanan UBM-
Tuberkulosis…………………………………… 14
2.2 Tujuan Pelaksanaan Integrasi Layanan UBM-
Tuberkulosis………………………………….. 15
2.3 Perencanaan Layanan UBM di Daerah/
Integrasi Layanan UBM dalam Dokumen
Perencanaan Di Daerah………………………. 15
BAB III PENGORGANISASIAN DAN JEJARING KOLABORASI
INTEGRASI LAYANAN UBM-TUBERKULOSIS……….. 18
3.1 Organisasi Pelaksanaan Integrasi…………….. 18
3.2 Model Integrasi Layanan UBM di Fasilitas
Kesehatan……………………………………… 24
3.3 Tindak Lanjut dan Sistem Rujukan……………. 61
3.4 Tugas dan Fungsi Petugas Konselor di
Fasyankes……………………………………… 73
BABIV DUKUNGAN LAYANAN UBM-TUBERKULOSIS……… 75
4.1 Dukungan rumah dan lingkungan……………. 75

2
4.2 Jejaring antara layanan Integrasi UBM-
Tuberkulosis…………………………………… 79
4.3 Dukungan untuk layanan Integrasi UBM-
Tuberkulosis……………………………………. 80
BAB V MONITORING DAN EVALUASI………………………. 83
5.1 Ruang Lingkup Monitoring dan Evaluasi…….. 83
5.2 Indikator Untuk Monitoring…………………… 86
5.3 Pencatatan dan Pelaporan Kegiatan Integrasi
UBM-Tuberkulosis…………………………….. 87
LAMPIRAN-LAMPIRAN
REFERENSI

3
KATA PENGANTAR
DIRJEN P2P KEMENKES

4
KATA PENGANTAR
DIRJEN BANGDA KEMENDAGRI

5
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Dilihat dari beban penyakit (disease burden) yang diukur


dengan Disability Life Years (DALYs) Loss, telah terjadi transisi
epidemiologi dalam tiga dekade terakhir; penyakit menular/KIA/gizi
telah menurun dari 51,6% pada tahun 1990 menjadi 20,8% pada tahun
2019, Penyakit Tidak Menular (PTM) naik dari 39,7% pada tahun 1990
menjadi 72,3% pada tahun 2019, serta cedera turun dari 8,7% pada
tahun 1990 menjadi 6,9% pada tahun 2019. Prevalensi
overweight/obesitas pada populasi usia >18 tahun meningkat dari
26,3% pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013) menjadi 35,4% pada tahun
2018 (Riskesdas, 2018). Indonesia mengalami beban ganda, di satu
sisi PTM naik dengan signifikan, namun masih dihadapkan pada
penyakit menular yang belum tuntas.

Dalam tiga dekade terakhir, Indonesia mengalami transisi


epidemiologi yang diukur dari kontribusi penyakit penyebab
kematian dan Disability Adjusted Life Years (DALYs). Data Global
Burden Disease 2019 yang dirilis oleh Institute for Health Metrics and
Evaluation (IHME) menyatakan bahwa selama 1990-2019 kematian
yang disebabkan penyakit menular serta kondisi maternal, perinatal
dan neonatal menurun sebesar 60%; kematian akibat penyakit tidak

6
menular meningkat sebesar 82%; dan kematian akibat cedera
menurun 20,4%. Tiga penyakit penyebab kematian dan berkontribusi
terhadap tingginya DALYs pada penyakit tidak menular adalah
stroke, jantung iskemik, dan diabetes. Sedangkan tiga penyakit
penyebab kematian dan tingginya DALYs untuk kondisi maternal
neonatal dan penyakit menular adalah masalah neonatal,
tuberkulosis, diare, dan infeksi saluran pernafasan bawah. Meski
penyakit menular menurun, tantangan masih persisten
(berkontribusi pada 21% kematian).

Di lain pihak, Indonesia berhasil menurunkan kematian akibat


penyakit menular dan kondisi maternal dan neonatal sedikit lebih
baik dari rerata yang dicapai negara-negara Asia Tenggara (58%).
Penyebab kematian sebesar 72,3% merupakan kontribusi dari
penyakit tidak menular. Angka ini di atas rerata angka kematian
penyakit tidak menular di negara-negara di Asia Tenggara (70,7%).
Perlu diantisipasi dengan peningkatan tajam beberapa penyakit tidak
menular penyebab kematian seperti diabetes dengan peningkatan
DALY lost dari 1990- 2019 sebesar 162,5%, dan kardiovaskular
(termasuk stroke dan penyakit jantung iskemik) sebesar 127,4%.
Upaya pencegahan dan diagnosis dini akan sangat strategis dalam
mencegah terjadinya pembiayaan pelayanan kesehatan yang tinggi,
termasuk pengeluaran katastropik pada masyarakat.

7
Berbagai Penyakit Tidak Menular (PTM) ini disebabkan karena
perilaku gaya hidup yang tidak sehat, seperti merokok, kurang
aktivitas fisik, pola makan dengan tinggi gula, garam, dan lemak
(GGL). Indonesia menghadapi tantangan yang besar dalam
perubahan gaya hidup ini, di mana data Riskesdas 2018 menunjukkan
proporsi penduduk Indonesia usia lebih dari 10 tahun yang kurang
melakukan aktivitas fisik jumlahnya meningkat dari 26,1% pada 2013
menjadi 33,5% pada 2018. Kecenderungan peningkatan prevalensi
merokok terlihat lebih besar pada kelompok anak-anak dan remaja,
dengan jumlah perokok di atas 15 tahun sebanyak 33,8%, terbagi
menjadi perokok laki-laki sebanyak 62,9% dan perokok perempuan
sebanyak 4.8%. Hal ini merupakan fenomena yang dialami oleh
sebagian besar negara berkembang oleh karena terjadinya
perubahan status sosial ekonomi masyarakat serta berkembangnya
lingkungan dan berbagai aspek kehidupan yang berujung pada
perubahan gaya hidup.

Merokok adalah faktor risiko keempat yang berkontribusi


terhadap DALYs lost dengan prevalensi perokok pada remaja (usia 10-
18 tahun) naik dari 7,2% pada tahun 2013 menjadi 9,1% pada tahun
2018 (Riskesdas, 2018). Angka ini semakin menjauh dari target
RPJMN 2029 yakni sebesar 5,4%. Prevalensi perokok lebih tinggi pada
penduduk miskin, tinggal di perdesaan, dan kelompok usia yang lebih
tua. Harus diwaspadai penggunaan rokok elektrik pada remaja,
karena uap rokok elektrik mengandung zat-zat toksik yang

8
berbahaya untuk kesehatan. Sebagai upaya menurunkan prevalensi
perokok, termasuk perokok pemula (remaja), perlu dilakukan upaya:
(i) mengadopsi Konvensi Kerangka Kerja WHO tentang Pengendalian
Tembakau, (ii) menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), (iii)
program stop merokok (quit smoking), (iv) menaikkan cukai dan
harga rokok (pemberlakuan sin tax), dan (v) pelarangan iklan,
promosi dan sponsor rokok.

Indonesia menduduki peringkat ketiga untuk jumlah perokok


terbesar dari jumlah perokok dunia dan nomor satu di ASEAN
(4,8%) setelah Cina (30%) dan India (11,2%). Data Global Adult Tobacco
Survey (GATS) 2011, menunjukkan bahwa prevalensi merokok
diIndonesia adalah sebesar 36,1% (67,4% laki-laki dan 4,5%
perempuan), dan rata-rata jumlah batang rokok yang dikonsumsi
pada tahun 2010 adalah 10 batang per hari (10 batang pada laki-laki
dan 6 batang pada perempuan). Menurut WHO 2010, data hasil dari
Global Report on NCD (Non Communicable Disease) menunjukkan
bahwa prosentase kematian akibat penyakit tidak menular (PTM)
menempati proporsi yang cukup besar yaitu 63%.

Indonesia dengan jumlah penduduk lebih kurang 251 juta


jiwa merupakan pasar potensial bagi pengusaha rokok,
dikarenakan adanya kebebasan bagi pengusaha rokok untuk
mengiklankan, mempromosikan, dan mensponsori berbagai
kegiatan di masyarakat. Tidak hanya itu, hal lain yang juga sangat

9
memprihatinkan adalah rokok dapat dijual bebas secara eceran
terhadap anak-anak. Merokok menimbulkan beban kesehatan,
sosial, ekonomi, dan lingkungan tidak saja bagi perokok tetapi
bagi orang lain. Konsumsi rokok di Indonesia naik tujuh kali lipat dari
33 milyar batang menjadi 240 milyar batang, dengan tingkat
konsumsi 240 milyar batang/ tahun sama dengan 658 juta batang
rokok per hari, atau sama dengan senilai uang 330 milyar rupiah
dibakar oleh para perokok Indonesia setiap hari.

Pada tahun 2010 penerimaan negara dari cukai tembakau


adalah sebesar 55 triliun, sementara pengeluaran makro akibat
tembakau adalah sebesar 245,41 triliun. Tentunya pemasukkan dan
pengeluaran negara sangat tidak sebanding, oleh karena itu
Pemerintah Pusat, Daerah, dan Masyarakat harus melakukan upaya
pengendalian tembakau termasuk rokok sebagai akibat tingginya
penyakit tidak menular terkait dampak tembakau. Rokok terbukti
sebagai faktor risiko utama penyakit stroke dengan kecenderungan
kesakitan sebesar 12,1%, penyakit hipertensi 31,7%, dan penyakit
jantung 0,3% (Riskesdas, 2013).

Fakta menunjukkan bahwa jumlah perokok di Indonesia


terus meningkat. Data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan
prevalensi perokok meningkat dari 34,2% pada tahun 2007 menjadi
36,3% pada tahun 2013 dengan peningkatan prevalensi perokok
perempuan dari 5,2% menjadi 6,7%.

10
Proporsi penduduk yang terkena paparan asap rokok
lingkungan/ Environmental Tobacco Smoke (ETS) adalah sebesar
76,1%. Perokok pasif terbanyak terdapat pada usia balita dan anak
(0-14 tahun) baik laki-laki maupun perempuan dan usia 50 tahun
keatas. Terjadi peningkatan perokok pasif sekitar satu juta orang
dalam kurun waktu 3 tahun ( tahun 2007 – 2010).

Secara umum, kebisaaan merokok pada masyarakat


Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan karena
konsumsi rokok yang masih cenderung tinggi. Sementara beban
biaya yang berkaitan dengan penyakit akibat rokok dan dapat
menyebabkan terjadinya penyakit tidak menular (PTM) seperti
gangguan pernapasan (PPOK, Asma ), Penyakit Jantung, Stroke dan
Kanker Paru, dan ini bukan hanya dari biaya pengobatan tetapi juga
biaya hilangnya hari atau waktu produktivitas. Semakin banyak
generasi muda yang terpapar dengan asap rokok tanpa disadari
terus menumpuk zat toksik dan karsinogenik yang bersifat fatal.
Apalagi saat ini anak-anak dan kaum muda kita semakin dijejali
dengan ajakan merokok oleh iklan, promosi dan sponsor rokok
yang sangat gencar.

Melihat kondisi tersebut, maka dipandang perlu untuk


melakukan pengendalian dampak bahaya rokok. Diantara program
pengendalin dampak bahaya merokok adalah melakukan Upaya

11
Berhenti Merokok (UBM). Agar pelaksanaan UBM dapat dijalankan
dengan baik perlu berkolaborasi dengan program lain diantaranya
dengan program Tuberkulosis,

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, perlu disusun


Pedoman Integrasi UBM dan Tuberkulosis di fasilitas kesehatan
yang dapat menjadi acuan pagi instansi di Provinsi, Kabupaten/Kota
dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit.

1.2 Dasar Hukum

1. Undang-Undang RI No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah


Daerah;
2. Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 109 tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa
Produk Tembakau Bagi Kesehatan
4. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang Kementerian
Kesehatan
5. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024
6. Instruksi Presiden No 1 tahun 2017 Gerakan Masyarakat Hidup
Sehat (GERMAS)
7. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 5 Tahun

12
2019 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Strategis
Kementerian/Lembaga Tahun 2020-2024
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2022 tentang
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 71 Tahun 2015 Tentang
Penanggulangan Penyakit Tidak Menular
11. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.64 Tahun
2015 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah
12. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 40 tahun 2013 tentang
Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi
Kesehatan
13. SE Menteri Dalam Negeri Nomor 523/7818/SJ tentang
Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

1.3 Tujuan

Upaya berhenti merokok merupakan perpaduan antara upaya


kesehatan masyarakat (UKM) yang berorientasi kepada upaya
promotif dan preventif dan upaya kesehatan perseorangan (UKP)
sebagai bagian dari tatalaksana dalam pengendalian konsumsi rokok.
UKM dilakukan dengan melibatkan masyarakat sebagai sasaran
kegiatan, target perubahan, agen pengubah sekaligus sebagai
sumber daya. Dalam pelaksanaan UBM selanjutnya dilakukan

13
kegiatan konseling upaya berhenti merokok yang dilaksanakan di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan jika tidak dapat
ditanggulangi akan dirujuk ke Rumah Sakit.

Agar kegiatan upaya berhenti merokok dapat dimanfaatkan


dengan baik perlu diintegrasikan dengan pelaksanaan program yang
lain, diantaranya dengan programTuberkulosis.

Tujuan disusunnya pedoman integrasi layanan UBM dan


Tuberkulosis adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian
akibat penyakit yang disebabkan foktor resiko merokok dan
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit
tuberkulosis.

Tujuan khusus:
⚫ Memperkuat kolaborasi layanan UBM dan Tuberkulosis di Faskes
⚫ Memperjelas peran masing-masing pemangku kepentingan
dalam pelaksanaan layanan integrasi
⚫ Panduan aspek manajerial (perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan dan monitoring evaluasi) dalam integrasi

1.4 Sasaran

Sasaran pengguna pedoman integrasi layanan UBM dan


Tuberkulosis di fasilitas pelayanan kesehatan ditujukan kepada pihak

14
yang bertanggungjawab dalam perencanaan, pelaksanaan dan
penilaian kegiatan integrasi layanan UBM dan Tuberkulosis pada
tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan fasilitas pelayanan
kesehatan, antara lain: Pimpinan program, pengelola program,
petugas di Fasiitas pelayanan Kesehatan, konselor dan Institusi
terkait.

1.5 Ruang Lingkup

Pedoman integrasi layanan UBM dan Tuberkulosis di Fasiitas


pelayanan Kesehatan membahas kebijakan operasional integrasi
layanan UBM dan Tuberkulosis di fasilitas pelayanan kesehatan
dengan sub pembahasan meliputi dasar hukum integrasi, tujuan,
sasaran dan ruang lingkup integrasi UBM dan Tuberkulosis, kebijakan
dan strategi integrasi layanan UBM dan tuberkulosis,
pengorganisasian dan jejaring kolaborasi integrasi layanan UBM dan
tuberkulosis, dukungan dan layanan UBM dan tuberkulosis serta
monitoring dan evaluasi integrasi UBM dan Tuberkulosis.

15
BAB II.
KEBIJAKAN DAN STRATEGI INTEGRASI LAYANAN UBM-
TUBERKULOSIS DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN

2.1 Kebijakan Integrasi Layanan UBM-Tuberkulosis

Landasan pelaksanaan integrasi layanan UBM dan


Tuberkulosis mengacu kepada Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan, Peraturan Presiden nomor 18 Tahun 2020
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2020-2024, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2022
tentang perubahan atas peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21
Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
Tahun 2020-2024 serta berbagai kebijakan lainnya sebagaimana
terdapat pada bagian dasar hukum di atas.

Berdasarkan berbagai landasan kebijakan tersebut diatas


dikembangkan strategi pelaksanaan integrasi UBM dan tuberkulosis
di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai berikut
1. Peningkatan Kapasitas Pelayanan Kesehatan di Puskesmas dan
Rumah Sakit.
2. Peningkatan Upaya Promotif dan Preventif dengan mendorong
kreativitas dan kapasitas fasilitas kesehatan dalam upaya
promotif dan preventif di tPuskesmas dan Rumah Sakit
3. Memperhatikan manajemen Risiko

16
4. Memobilisasi dan memberdayakan masyarakat dalam
pengendalian faktor risiko merokok dan Tuberkulosis
5. Meningkatkan akses yang berkualitas kepada masyarakat
untuk deteksi dini dan tindak lanjut dini faktor risiko
6. Memperkuat jejaring kerja dan kemitraan
7. Mengembangkan penelitian dan pengembangan kesehatan
8. Mengembangkan dan memperkuat monitoring dan sistem
informasi
9. Meningkatkan dukungan dana yang efektif dan efisien sesuai
kebutuah dan prioritas.

2.2 Tujuan Pelaksanaan Integrasi Layanan UBM-Tuberkulosis

Tujuan pada pelaksanaan integrasi layanan UBM dan


Tuberkulosis adalah membantu tenaga kesehatan dalam
pengelolaan Layanan Konseling UBM di Fasyankes dalam
memberikan bantuan kepada klien untuk berhenti merokok
terutama bagi perokok usia kurang dari 18 sekaligus mendukung
pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian Tuberkulosis.

2.3 Perencanaan Layanan UBM di Daerah / Integrasi Layanan UBM


dalam Dokumen Perencanaan Di Daerah.

Kebijakan dan strategi Perencanaan Integrasi UBM dan


Tuberkulosis tergantung dari kebijakan masing-masing daerah.

17
Namun, diharapkan pada penyusunan dokumen perencanaan
daerah berupa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Rencana Strategis Organisasi Perangkat Daerah (Renstra
OPD) dan Rencana Kerja Organisasi Perangkat Daerah (Renja OPD)
sudah memuat arah kebijakan yang mencakup:
1. Perencanaan untuk memperkuat deteksi dini faktor risiko
PTM melalui program Upaya Berhenti Merokok (UBM)
terintegrasi pelaksanaan program Tuberkulosis.
2. Perencanaan untuk meningkatkan manajemen termasuk
kualitas sarana dan prasarana penyelenggaraan program
Upaya Berhenti Merokok (UBM) dan pelaksanaan program
Tuberkulosis.
3. Perencanaan untuk meningkatkan profesionalisme sumber
daya manusia untuk penyelenggaraan program Upaya
Berhenti Merokok (UBM) dan pelaksanaan program
Tuberkulosis.
4. Perencanaan untuk mengembangkan kegiatan layanan
konseling upaya berhenti merokok pada pelayanan
kesehatan tingkat pertama dan klinik berhenti merokok di
Rumah Sakit,
5. Perencanaan untuk meningkatkan pemantauan program
Upaya Berhenti Merokok (UBM) dan pelaksanaan program
Tuberkulosis.

18
6. Perencanaan untuk mengembangkan dan memperkuat
pengelolaan sistem informasi program Upaya Berhenti
Merokok (UBM) dan pelaksanaan program Tuberkulosis.
7. Perencanaan untuk mengembangkan dan memperkuat
jejaring untuk penyelenggaraan program Upaya Berhenti
Merokok (UBM) dan pelaksanaan program Tuberkulosis.
8. Perencanaan untuk meningkatkan advokasi dan diseminasi
penyelenggaraan program Upaya Berhenti Merokok
(UBM) dan pelaksanaan program Tuberkulosis.
9. Perencanaan untuk mengembangkan dan memperkuat
sistem pendanaan penyelenggaraan program Upaya
Berhenti Merokok (UBM) dan pelaksanaan program
Tuberkulosis.

19
BAB III.
PENGORGANISASIAN DAN JEJARING KOLABORASI
INTEGRASI LAYANAN UBM-TUBERKULOSIS

3.1 Organisasi Pelaksanaan Integrasi

Pengorganisasian untuk melaksanakan integrasi layanan


UBM dan Tuberkulosis di fasilitas pelayanan kesehatan
melibatkan semua komponen dan memerlukan peran lintas
program dan lintas sektor seperti Kementerian Kesehatan,
Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dan pemangku kepentingan lainnya seperti pihak swasta,
akademi dan organisasi profesi. Adapun peran tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Pusat
a. Menyusun norma, standar, prosedur, modul, dan
pedoman termasuk pendistribusiannya.
b. Melakukan sosialisasi dan advokasi baik kepada lintas
program, lintas sektor dan pemegang kebijakan baik di
Pusat dan Daerah dalam pengembangan integrasi
layanan UBM dan Tuberkulosis di fasilitas pelayanan
kesehatan,
c. Membentuk dan memfasilitasi jejaring kerja dalam
pelaksanaan integrasi layanan UBM dan Tuberkulosis
di fasilitas pelayanan kesehatan

20
d. Memfasilitasi sarana dan prasarana termasuk logistik
untuk mendukung pelaksanaan kegiatan layanan
integrasi layanan UBM dan Tuberkulosis di fasilitas
pelayanan kesehatan,
e. Melakukan bimbingan teknis dan pembinaan program
f. Melakukan pemantauan dan penilaian.

2. Satuan Kerja dan UPT Kementerian Kesehatan


a. Melakukan sosialisasi dan advokasi baik kepada
lintas program, lintas sektor dan pemegang kebijakan
di wilayah kerjanya,
b. Membentuk dan memfasilitasi jejaring kerja,
c. Melakukan bimbingan teknis dan pembinaan,
d. Memfasilitasi sarana dan prasarana termasuk logistik
dan perbekalan dalam mendukung pengembangan
layanan integrasi UBM dan Tuberkulosis di fasilitas
pelayanan kesehatan,
e. Melakukan pemantauan dan penilaian,
f. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan.

3. Dinas Kesehatan provinsi


a. Melaksanakan kebijakan, peraturan dan perundang-
undangan
b. Mensosialisasikan pedoman integrasi UBM dan
Tuberkulosis

21
c. Melakukan sosialisasi dan advokasi kegiatan kepada
Pemerintah Daerah, DPRD, lintas program, lintas sektor,
dan swasta,
d. Memfasilitasi pertemuan baik lintas program maupun
lintas sektor,
e. Membangun dan memantapkan kemitraan dan jejaring
kerja secara berkesinambungan.
f. Memfasilitasi Kabupaten/ Kota dalam mengembangkan
layanan integrasi layanan UBM dan Tuberkulosis di
fasilitas pelayanan kesehatan di wilayahnya,
g. Memfasilitasi sarana dan prasarana termasuk logistik
dan perbekalan dalam mendukung pengembangan
layanan konseling upaya berhenti merokok bersumber
dana APBD,
h. Melaksanakan pemantauan, penilaian dan pembinaan,
i. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan serta
mengirimkan kePusat.

4. Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota


a. Memfasilitasi sarana dan prasarana termasuk logistik
dan perbekalan dalam mendukung pengembangan
layanan upaya berhenti merokok di wilayah kerjanya,
b. Melakukan pemantauan dan penilaian,
c. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan

22
d. Mensosialisasikan pedoman integrasi UBM dan
Tuberkulosis,
e. Melakukan Advokasi kegiatan layanan konseling
upaya berhenti merokok kepada Pemerintah
Kabupaten/ Kota dan DPRD, lintas program, lintas
sektor, swasta, dan masyarakat,
f. Melaksanakan pertemuan lintas program maupun
lintas sektor,
g. Membangun dan memantapkan jejaring kerja serta
forum masyarakat psecara berkelanjutan,
h. Melaksanakan bimbingan dan pembinaan teknis ke
Puskesmas dan jaringannya,
i. Memfasilitasi Puskesmas dan jaringannya dalam
mengembangkan layanan integrasi layanan UBM dan
Tuberkulosis di fasilitas pelayanan kesehatan di
wilayah kerjanya.
j. Melaksanakan monitoring dan evaluasi kegiatan
layanan konseling upaya berhenti merokok,
k. Menyelenggarakan pelatihan penyelenggaran layanan
konseling upaya berhenti merokok bagi petugas
Puskesmas
l. Melaksanakan promosi
m. Melaksanakan dan memfasilitasi kegiatan
pemberdayaan dan peningkatan partisipasi
masyarakat

23
n. Melakukan pemantauan, penilaian dan pembinaan,
o. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan serta
mengirimkan ke Provinsi.

5. Puskesmas
a. Melakukan sosialisasi dan advokasi tentang layanan
upaya berhenti merokok dan tuberkulosis kepada
pimpinan wilayah, pimpinan organisasi, kepala/ ketua
kelompok dan para tokoh masyarakat yang
berpengaruh.
b. Mempersiapkan sarana dan tenaga di Puskesmas
c. Memastikan ketersediaan sarana dan prasarana
termasuk logistik dan perbekalan lainnya untuk
menunjang kegiatan layanan konseling upaya
berhenti merokok
d. Menyelenggarakan pelatihan tenaga kesehatan.
e. Menyelenggarakan pembinaan dan fasilitasi teknis
kepada petugas kesehatan.
f. Melakukan pemantauan dan penilaian
g. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan dan
mengirimkan ke provinsi.

6. Profesi/ Akademisi/ Perguruan Tinggi


a. Mendukung implementasi kebijakan Pemerintah
Pusat dan Daerah,

24
b. Mengadvokasi dan mensosialisasikan kegiatan
layanan konseling upaya berhenti merokok,
c. Menginisiasi terselenggaranya layanan konseling
upaya berhenti merokok,
d. Membina kegiatan layanan konseling upaya berhenti
merokok di suatu wilayah,
e. Memberikan umpan balik pengembangan program
layanan konseling upaya berhenti merokok kepada
Pemerintah Pusat dan Daerah.
f. Melakukan penilaian kebutuhan dan sumber daya
masyarakat, termasuk identifikasi kelompok potensial
di masyarakat untuk menyelenggarakan layanan
konseling upaya berhenti merokok, misalnya swasta/
dunia usaha, PKK/ dasa wisma, LSM, organisasi
profesi, serta lembaga pendidikan misalnya Sekolah,
Perguruan Tinggi.

7. Kelompok/ Organisasi/ Lembaga Masyarakat/ Swasta


a. Menyelenggarakan layanan konseling upaya berhenti
merokok di lingkungannya,
b. Mendorong secara aktif anggota kelompoknya untuk
menerapkan gaya hidup sehat dan mawas diri
c. Memfasilitasi pembentukan, pembinaan dan
pemantapan jejaring kerja,

25
d. Mendukung implementasi kebijakan Pemerintah
Pusat dan Daerah,
e. Berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Dinas
Kesehatan Kabupaten/ Kota dan Puskesmas dalam
menyelenggarakan kegiatan,
f. Berpartisipasi mengembangkan rujukan,
g. Berkontribusi melalui dana CSR.

Selain komponen di atas yang paling penting dalam


penyelenggaraan Integrasi Upaya Berhenti Merokok dan
Tuberkulosis adalah adanya kelompok konseling layanan UBM-
Tuberkulosis dibawah Kementerian Kesehatan dan dibawah
Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota sampai dengan
Puskesmas.

3.2 Model Integrasi Layanan UBM di Fasilitas Kesehatan

Integrasi layanan UBM dengan pelaksanaan program


tuberkulosis di Fasilitas kesehatan dilaksanakan melalui mekanisme
konseling.

Kata konseling (counseling) berasal dari kata counsel yang


diambil dari bahasa latin yaitu counselium, artinya ”bersama” atau
”bicara bersama”. Pengertian ”berbicara bersama- sama” dalam
hal ini adalah pembicaraan antara konselor (counselor) dengan

26
seseorang atau beberapa klien (Counselee). Dengan demikian
counselium berarti, ”people coming together to gain an
understanding of problem that best them were evident”, (orang
yang datang bersama-sama untuk mendapatkan pemahaman
tentang masalah yang menimpa mereka yang jelas), yang ditulis
oleh Baruth dan Robinson (1987:2) dalam bukunya An
Introduction to The Counseling Profession.

Frank Parsons pada tahun 1908, mengemukakan bahwa


konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh
seorang ahli (disebut konselor/pembimbing) kepada individu yang
mengalami sesuatu masalah (disebut konsele) yang bermuara
pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Carl Rogers, seorang
psikolog humanistik terkemuka, berpandangan bahwa konseling
merupakan hubungan terapi dengan klien yang bertujuan untuk
melakukan perubahan self (diri) pada pihak klien. Pada intinya
Rogers dengan tegas menekankan pada perubahan system self
klien sebagai tujuan konseling akibat dari struktur hubungan
konselor dengan kliennya. Ahli lain, Cormier (1979) lebih
memberikan penekanan pada fungsi pihak-pihak yang terlibat.
Mereka menegaskan konselor adalah tenaga terlatih yang
berkemauan untuk membantu klien.

Pietrofesa (1978) dalam bukunya The Authentic Counselor,


sekalipun tidak berbeda dengan rumusan sebelumnya,

27
mengemukakan dengan singkat bahwa konseling adalah proses
yang melibatkan seorang profesional berusaha membantu orang
lain dalam mencapai pemahaman dirinya, membuat keputusan dan
pemecahan masalah.

Prinsip Dasar Konseling


Dalam melakukan konseling upaya berhenti merokok perlu
diketahui prinsip-prinsip dasar konseling meliputi tujuan, proses,
dan durasi konseling sebagai berikut:
1. Tujuan Konseling
a. Membantu kemampuan klien untuk mengambil
keputusan yang bijaksana dan realistik.
b. Menuntun perilaku klien agar mampu menerima
konsekuensinya.
c. Memberikan informasi dan edukasi.

Didalam konseling terdapat beberapa hal dibawah ini:


a. Hubungan yang interaktif (dua arah) antara konselor
dengan klien
b. Kolaborasi/ kerjasama antara konselor dengan klien
c. Proses mengajar
d. Memberi penguatan positif
e. Mendukung secara emosional
f. Terdokumentasi dengan baik

28
g. Tahapan tatap muka konseling terdokumentasi dan
ada pemantauan serta penilaian.

Hasil konseling sangat tergantung pada hubungan antara klien


dengan konselor. Pertemuan antara konselor dan klien
bergantung pada situasi dan kenyamanan yang dirasakan oleh
klien sehingga penting bagi konselor untuk membuat klien
merasa nyaman sehingga klien percaya dan konselor dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan tentang diri klien.

2. Proses Konseling
a. Menggunakan pendekatan yang menghormati semua
klien.
b. Menganggap perilaku merokok merupakan masalah
yang terus -menerus.
c. Memberikan penatalaksanaan yang bersifat individual.
d. Memberikan penatalaksanaan yang bersifat multi
dimensional
e. Tetap terbuka pada metode baru.
f. Menggunakan perspektif multikultural untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari populasi klien
yang berbeda.
g. Apabila konselor tidak tahu jawaban dari pertanyaan
klien, maka sebaiknya konselor mengatakan tidak

29
tahu dan akan memberitahukan jawaban tersebut
pada pertemuan berikutnya.

3. Durasi Konseling
Proses konseling hendaknya dijalankan dengan durasi waktu
15-30 menit. Upayakan untuk selalu memulai konseling dengan
mengulas apa yang telah diperoleh pada sesi sebelumnya dan
sejauh mana keterampilan baru telah diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Klien sebaiknya diberitahu bila waktu
konseling akan habis. Proses konseling yang optimal dilakukan
minimal 6 kali pertemuan untuk setiap klien. Jarak antara satu
sesi dengan sesi lain idealnya 2 minggu.

Teknik Konseling Berhenti Merokok


Teknik konseling merupakan taktik dan strategi melakukan
konseling yang berhasil. Konseling yang berhasil adalah klien
yang mampu menerapkan keputusan yang baik, mau
melakukan keputusannya dengan tidak terpaksa, merasa
nyaman dan terjaga kerahasiaannya, merasa dihormati serta
dalam prosesnya sistematis. Pada prinsipnya teknik konseling
diarahkan pada setiap langkah konseling dengan memberikan
“personal touch” pada klien secara wajar.
1. Langkah-langkah Teknik Konseling Berhenti Merokok adalah
Pembukaan, memperkenalkan diri, bina rapor (membina
hub. dengan baik ex kalau ditanya klien menjawab dengan

30
baik antara konselor dan konselii, menanyakan identitas
konselii/ klien).
Wawancara/ konseling inti (mendiskusikan masalah klien—
konselor) mengidentifikasi apakah ada resistensi dan
bagaimana mengatasi teknis resistensi klien. Konseling
terfokus sehingga tidak diperlukan psikoterapi. Sesi
konseling pertama klien dibagi dua (keluhan merokok dan
keluhan lain dengan faktor risiko rokok) sebagai berikut :
a. Bila klien datang dengan keluhan merokok/ingin
berhenti merokok, maka dilakukan evaluasi
mengenai merokok, faktor pencetus merokok,
keinginan berhenti merokok dan alasan berhenti
merokok.
1) Bila klien mau berhenti maka lakukan konseling
dan tingkatkan motivasi untuk berhenti merokok
dengan menghitung keuntungan - keuntungan
berhenti merokok, dampak berhenti merokok
terhadap kesehatan. Konseling mengatasi faktor
pencetus, dan mengatasi masalah negatif yang
berkaitan dengan merokok. Sesi konseling
dilakukan selama 30 menit dan selanjutnya
dilakukan 2 (dua) minggu sekali dengan durasi
20-30 menit setiap sesinya.
2) Bila klien belum mau berhenti (fase pra/
kontemplasi) maka dilakukan konseling dengan

31
mendiskusikan dampak rokok terhadap
kesehatan dan keluarga (diharapkan
pertanyaan terbuka). Konselor jangan
memaksakan kehendak dan pendapat kepada
klien. Sesi konseling lebih banyak meminta
pendapat dan pandangan klien mengenai rokok
dan masalahnya. Sesi konseling dilakukan selama
20- 30 menit dan selanjutnya dilakukan 2 (dua)
minggu sekali sambil merencanakan konseling
kepada keluarga sebagai kelompok pendukung.
b. Bila klien datang dengan keluhan medik dan faktor
risiko merokok, lakukan evaluasi dan tatalaksana
kondisi mediknya terlebih dahulu, kemudian
hubungkan kondisi mediknya dengan faktor risiko
merokok. Lakukan konseling mengenai dampak
rokok terhadap kesehatan dan hubungkan dengan
kondisi medik tersebut. Selanjutnya dilakukan
evaluasi tentang motivasi upaya berhenti merokok.

2. Wawancara Motivasional
Setelah dilakukan identifikasi tahap perilaku klien, konselor
dapat memberikan wawancara motivasional sesuai dengan
tahap perilaku klien tersebut (perilaku pada tahap
Prakontemplasi, Kontemplasi,dan Rumatan).

32
Dalam penerapan teknik konseling berhenti merokok dapat
dilakukan secara khusus membahas pentingnya berhenti
merokok. Namun dapat pula dilakukan secara terintegrasi
dengan masalah lain yang berkaitan dengan masalah
berhenti merokok sebagai berikut :
a. Persiapan Konseling
1) Petugas berpenampilan bersih dan sopan
2) Menguasai materi
3) Bisa menjaga rahasia
4) Mengenal sosial budaya
b. Tempat
1) Tidak bising dan ramai
2) Tidak menjadi tempat lalu lalang orang
3) Aman dan nyaman
c. Etika Petugas
1) Empati
2) Menghormati klien
3) Tidak bergosip
d. Media Konseling
1) Bisaanya lembar balik dan bisa juga jenis media
lainnya
2) Isi media konseling telah dikuasai oleh petugas

Dari berbagai pedoman ataupun guideline program


berhenti merokok secara umum terdapat langkah-langkah

33
dasar dalam upaya berhenti merokok. Langkah-langkah
tersebut umumnya meliputi identifikasi awal klien, evaluasi
motivasi klien di setiap pertemuan, menentukan pilihan
terapi dan terakhir adalah tindak lanjut atau follow up
program yang dilakukan. Bentuk UBM dibuat dalam
pendekatan yang mudah dipahami untuk pelaksanaannya
dilapangan. Diantaranya teknik yang diperkenalkan teknik
pendekatan 4T dalam UBM di pelayanan kesehatan primer
di Indonesia yaitu Tanyakan, Telaah, Tolong dan nasehati
dan Tindak lanjut.

Langkah-Langkah Upaya Berhenti Merokok


1. Identifikasi awal
Identifikasi awal akan sangat menentukan strategi dan
pilihan terapi yang akan diambil untuk upaya berhenti
merokok. Pada fasyankes primer, identifikasi awal
umumnya adalah menilai status/ tipe klien, menilai
profil perokok, menilai tingkat adiksi/ ketergantungan
nikotin dan menilai tingkat motivasi.
2. Identifikasi tipe klien menentukan strategi dan tindak
lanjut sebagai berikut:

34
Tabel
Identifikasi Tipe Klien

Identifikasi Tipe Klien Strategi


Klien yang mau berhenti Bantu dengan langkah 4T
merokok (modifikasi 5A’sdan ABC)
Klien yang belum ingin Tingkatkan motivasi klien (contoh
berhenti merokok dengan wawancara/ konseling
motivation)
Klien yang baru berhenti Lanjutkan kegiatan berhenti
merokok merokok
Klien tidak pernah Berikan SELAMAT jaga pola hidup
merokok bebas
dari rokok

3. Menilai profil perokok


Penilaian profil perokok diperlukan untuk melihat berat
ringannya kebisaaan merokok pada klien. Secara
sederhana dapat ditanyakan
jumlah batang rokok yang dihisap dalam sehari atau
seminggu, usia mulai merokok, jenis rokok yang dihisap
dll.

35
4. Menilai tingkat adiksi/ ketergantungan nikotin
Penilaian tingkat adiksi/ ketergantungan nikotin penting
untuk memberikan gambaran beratnya adiksi atau
ketergantungan klien terhadap nikotin. Berat ringannya
adiksi seseorang memberikan gambaran strategi yang
akan digunakan dalam upaya berhenti merokok. Disisi
lain, berat ringannya adiksi juga bisa memberikan
gambaran withdrawal effect/ gejala putus nikotin yang
mungkin akan terjadi bila berhenti merokok sehingga
dapat diantisipasi sejak awal. Penilaian tingkat adiksi
bisa menggunakan kuesioner fagerstroom.
5. Menilai tingkat motivasi
a. Motivasi awal merupakan modal awal dalam upaya
berhenti merokok. Penelitian menunjukkan bahwa
tingkat motivasi berperan penting dalam
keberhasilan berhenti merokok, sehingga harus
dilakukan sejak awal. Secara sederhana, klien
ditanyakan mengenai berapa besar motivasi untuk
berhenti merokok dengan skala angka “0“ sampai
“10”.
0 = Tidak ada motivasi sama sekali
10 = Sangat termotivasi/ motivasi sangat
tinggi

36
b. Menilai tahap kesiapan

Grafik
Penilaian Tahap kesiapan Klien

Menilai keinginan dan kesiapan klien untuk berhenti


merokok, apakah pada tahap prekontemplasi,
kontemplasi, siap, tindakan dan pemeliharaan.
6. Evaluasi dan dukungan motivasi.
Evaluasi dan dukungan motivasi dilakukan sejak awal
ketika melakukan upaya berhenti merokok dan saat
klien kontrol kembali. Diperlukan konseling khusus
untuk meningkatkan motivasi setiap pertemuan,
terutama jika tingkat motivasi seseorang
kurang/rendah. Dukungan motivasi juga diperlukan
dari anggota keluarga atau orang terdekat dalam
bentuk mengingatkan agar selalul berhenti merokok,
memberikan dukungan jika timbul kendala saat
berhenti merokok, menghilangkan stimulus di

37
lingkungan rumah yang membuat ingin merokok
kembali, serta memberikan rewards and punishment.
7. Pilihan terapi
Secara umum terapi berhenti merokok terdiri atas
terapi nonfarmakologi dan farmakologi. Terapi
nonfarmakologi adalah pendekatan tanpa pemberian
obat sedangkan terapi farmakologi adalah pemberian
obat untuk membantu berhenti merokok.
a. Terapi nonfarmakologi
Beberapa terapi nonfarmakologi antara lain :
1) Self help (usaha sendiri)
2) Memberikan nasehat singkat (brief
advice)
3) Konseling, baik konseling individu
ataupun kelompok
4) Terapi perilaku
5) Terapi Pendukung/Supporting
a) Hipnoterapi
b) Akupuntur
c) Akupresur
b. Terapi farmakologi

Pemberian obat yang direkomendasikan dengan


evidence A yaitu terapi penggantian nikotin (Nicotine
Replacement Therapy/ NRT dalam bentuk gum,

38
patch, inhaler, spray, lozenge), bupropion, dan
varenicline. Terapi NRT memberikan pengganti
nikotin yang berasal dari obat sebagai pengganti
nikotin yang disuplai dari rokok.Dengan memberikan
pengganti nikotin yang berasal dari rokok, maka
diharapkan withdrawal effect yang muncul dapat
diatasi. Bupropion merupakan obat golongan
depresan Norephinphrine Dopamine Reuptake
Inhibitor, dengan mekanisme kerja menghambat
reuptake dari dopamin sehingga dapat mengurangi
gejala withdrawal effect. Varenicline mempunyai
mekanisme kerja sebagai agonis parsial yang
berikatan dengan reseptor sehingga menyebabkan
pelepasan dopamin yang parsial juga sehingga
mengurangi efek adiksi dan withdrawal effect lain
sebagai antagonis yaitu ikatannnya dengan reseptor
mencegah nikotin sehingga akan mengurangi rasa
nikmat yang diperoleh dari rokok.
8. Cara berhenti merokok
Klien dapat mulai berhenti merokok dengan cara :
a. Cold Turkey
Cara ini dapat dilakukan dengan berhenti merokok
seketika. Seorang perokok yang secara tiba-tiba
berhenti merokok sama sekali pada hari yang

39
sudah ditentukan. Banyak perokok yang berhenti
merokok dengan menggunakan cara ini.
b. Cara Penundaan
Dengan cara ini, anda menunda saat merokok
pertama yang anda hisap setiap harinya misalnya
hari pertama merokok jam 7, besoknya jam 9 dan
jam berikutnya jam 11.00 sampai seterusnya
sampai anda tidak merokok sama sekali sehari
penuh.
c. Cara Pengurangan
Dengan cara pengurangan, anda mengurangi
jumlah rokok yang anda hisap setiap harinya,
sebagai contoh: beri waktu 6 hari bagi anda untuk
berhenti merokok. Pada hari pertama anda
merokok seperti bisaa hari ke misalnya 20 batang,
hari ke dua 20 batang, hari ke tiga 15 batang, hari
keempat 10 batang, hari kelima 5 batang, hari
keenam adalah hari tanpa rokok seperti yang anda
tentukan
Catatan :
▪ Pilih cara anda sendiri
▪ Cara apapun yang anda pilih tidak menjadi
soal, yang penting tetapkan hari anda berhenti
merokok dan tepatilah.

40
9. Tindak Lanjut
Tindak lanjut atau follow up merupakan hal penting
dan menentukan keberhasilan jangka panjang dalam
upaya berhenti merokok. Klien harus dijadwalkan
secara reguler/ rutin untuk datang kembali dalam
jangka waktu tertentu misalnya setiap 2 minggu
sekali. Pada tindak lanjut dilakukan penilaian tingkat
keberhasilan berhenti merokok, menilai motivasi,
kendala yang timbul, gejala withdrawal effect dan
penanganannya, penilaian parameter klinis (seperti
berat badan, tekanan darah, pengukuran Arus Puncak
Ekspirasi dengan Peak Flow Meter, kadar CO udara
ekspirasi dengan CO Analyzer). Jika diperlukan terapi
tambahan untuk berhenti, maka dilakukan rujukan ke
fasilitas pelayanan yang lebih tinggi.
10. Pendekatan “4T”
Dalam berbagai pedoman umumnya istilah
pendekatan 5A’s yaitu Ask, Advice, Assess, Assist dan
Arrange untuk membantu seseorang berhenti
merokok. Meskipun begitu ada beberapa pedoman
lain yang memperkenalkan pendekatan ABC yaitu Ask,
Brief advice dan Cessation support. Pada prinsipnya
kedua pendekatan tersebut sama dalam upaya
membantu berhenti merokok.

41
Modifikasi dari kedua pendekatan tersebut di
Indonesia diperkenalkan dengan istilah pendekatan
4T yaitu Tanyakan, Telaah, Tolong dan nasihati serta
Tindak Lanjut dalam membantu kegiatan berhenti
merokok. Hal ini penting dan sangat diperlukan bagi
tenaga medis untuk ber ”Tanya” kepada klien apakah
yang bersangkutan merupakan perokok atau bukan,
tanyakan apakah ada anggota keluarga yang merokok
di rumah. Apabila merokok, ”Telaah” keinginan klien
untuk berhenti merokok, kemudian ”Tolong nasehati
” untuk berhenti merokok dan menciptakan
lingkungan rumah bebas asap rokok. Langkah 3T
pertama ini dilakukan untuk memastikan apakah
seorang klien merupakan perokok dan
mengkaitkannya agar perokok tersebut dapat
berhenti. Jika klien ingin berhenti maka seorang
tenaga medis harus membantu (Tolong) dengan
menyediakan terapi yang tepat dan mengarahkan
klien untuk bergabung dengan suatu konseling,
kemudian susun Tindak lanjut untuk menindaklanjuti
terapi yang sudah diberikan.

42
Penyelenggaraan Layanan Konseling Upaya Berhenti Merokok

Pelaksanaan layanan konseling upaya berhenti merokok di


fasilitas pelayanan ke sehatan tingkat pertama, meliputi kegiatan
wawancara, pemeriksaan fisik meliputi TB, BB, TD dan pemeriksaan
fungsi paru sederhana, kadar CO dalam paru, nikotinin urin serta
melakukan pendekatan 4 T, yaitu Tanyakan, Telaah, Tolong dan
nasehatidan Tindak lanjut.

Layanan konseling UBM pada tahap awal dilaksanakan 2


minggu sekali sampai 3 bulan pertama. Jika klien sudah dapat
berhenti merokok di bulan ke-tiga, maka disebut klien sudah
mencapai berhenti merokok, klien masih akan terus diminta datang
ke fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama setiap 3 bulan,
untuk dapat dipantau apakah masih tetap berhenti merokok, sampai
1 tahun pertama. Klien yang tetap berhenti merokok selama 1 (satu)
tahun pertama telah mencapai sukses berhenti merokok, dan tidak
perlu kontrol lagi, namun tetap diberikan nasehat untuk pola hidup
bersih dan sehat, serta segera kembali jika klien merokok kembali
(relaps).

Klien yang berasal dari layanan konseling upaya berhenti


merokok di luar gedung akan dirujuk kembali setelah dapat mencapai
berhenti merokok dalam 3 bulan pertama, dengan catatan agar
dipantau keadaaannya setiap 3 bulan. Khusus untuk klien yang

43
berasal dari rujukan sekolah, maka akan disampaikan kemajuan setiap
kali kunjungan, sebagai bahan pemantauan guru dalam penerapan
upaya berhenti merokok di sekolah.Jika dalam waktu 3 bulan
pertama klien tidak dapat berhenti merokok, maka klien akan dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder.

Konsep ABC

Selain pendekatan 4 T, terdapat juga pendekatan yang


sistematis (Metode ABC) untuk memandu upaya berhenti merokok,
pendekatan ABC meliputi A=Ajukan pertanyaan; B=Berikan saran
singkat; C=Cepat dukung berhenti.

Prinsip integrasi UBM pendekatan ABC dalam program


Tuberkulosis adalah:
1. Mengajukan pertanyaan, memberikan saran singkat 5-7 menit
dan cepat dukung berhenti merokok pada setiap kunjungan
terduga, orang dengan TBC dan kontak
2. Melibatkan anggota keluarga untuk mendukung berhenti
merokok,
3. Pemantauan perilaku merokok melalui interaksi membangun
kepercayaan
4. Penerapan ABC dalam layanan TBC sangat sederhana dan dapat
dilakukan dengan sumber daya yang ada

44
5. Penerapan ABC untuk UBM menjadi bagian integral dari edukasi
tentang TBC di layanan kesehatan primer
6. Petugas kesehatan (dokter, petugas TBC, lapangan) berada di
garis depan.

ABC adalah metode tiga langkah sederhana yang digunakan


setiap kali pasien datang ke layanan kesehatan. ABC Singkatan dari
Ask, Brief advice and, Cessation support, Dalam Bahasa Indonesia
Ajukan pertanyaan, Berikan saran singkat, Cepat dukung berhenti.

Penerapan ABC untuk Upaya Berhenti Merokok di Fasilitas


Kesehatan dan Rumah Tanpa Rokok dilaksanakan:
1. Diawali dengan mewujudkan fasilitas kesehatan sebagai 100%
KTR
2. Bantuan sederhana yang menggabungkan langkah-langkah
kunci untuk menyaring perokok dan memberikan saran untuk
berhenti.
3. Memberikan praktik klinis yang baik dan perawatan berkualitas
kepada pasien yang merokok untuk berhenti
4. Mendorong mereka yang terpapar asap rokok di dalam rumah
untuk membuat rumah mereka sehat tanpa asap rokok
5. Mendukung pasien yang tidak merokok untuk tetap tidak
merokok

45
Tujuan dari Metode ABC adalah:
a. Membangun layanan kesehatan dalam upaya pengendalian
bahaya rokok untuk menawarkan lingkungan yang sehat kepada
pasien, pengunjung, dan petugas kesehatan
b. Menawarkan saran singkat untuk membantu perokok berhenti
merokok
c. Mendukung pasien dan pengunjung untuk membuat rumah
mereka sehat tanpa rokok

Target Pengguna Panduan ABC adalah:


1. Petugas TBC atau penyedia layanan DOTS
2. Semua dokter dan perawat di setiap fasilitas kesehatan
termasuk rumah sakit
3. Relawan Kesehatan
4. Anggota keluarga dan relawan komunitas

Implementasi Panduan ABC dilaksanakan oleh:


a. Klinik TBC di Puskesmas dan Rumah Sakit menjadi fokus utama
penerapan metode ABC.
b. Panduan ABC dapat diterapkan di lingkungan masyarakat oleh
relawan (kader) atau petugas lapangan.
c. Panduan ABC dapat diterapkan di Klinik PTM, klinik HIV, klinik
kesehatan ibu dan anak dan fasilitas kesehatan lainnya di mana
ada kesempatan untuk interaksi secara berkesinambungan
antara penyedia layanan kesehatan dan pengguna layanan.

46
Menerapkan metode ABC untuk Upaya Berhenti Merokok
dilaksanakan dengan tahapan:
A = Ajukan pertanyaan
• Petugas TBC mengajukan pertanyaan (Ask) tentang perilaku
merokok pada terduga, orang dengan TBC dan kontak
melalui tatap muka atau online/interview via telepon
• Pada bulan awal – bulan ke-0 (saat pertamakali
pemeriksaan) tanyakan:
i. Apakah Anda merokok?
ii. Apakah Anda pernah merokok-bahkan hanya mencoba
satu hisapan, dalam 3 bulan terakhir?
iii. Apakah ada seseorang yang merokok di dalam rumah
Anda?
• Pada tindak lanjut bulan berikutnya bulan ke-1, 2, 3, 4, 5, 6,
tanyakan
I. Apakah Anda pernah merokok-bahkan hanya mencoba
satu hisapan dalam 30 hari terakhir?
II. Apakah ada seseorang yang merokok di dalam rumah
Anda?
• Setelah 6 bulan pengobatan TB, pasien di ditindaklanjuti pada
bulan 8, 10 dan 12 untuk menilai status TB dan status
merokok.
i. Apakah Anda pernah merokok-bahkan hanya mencoba
satu hisapan dalam 30 hari terakhir?

47
ii. Apakah ada seseorang yang merokok di dalam rumah
Anda?

B = Berikan saran singkat


• Petugas segera memberikan saran singkat yang mencakup
informasi umum dan khusus, diberikan pada setiap kali
pertemuan atau interaksi lainnya
• Untuk para perokok, Informasi khusus mencakup hal
berikut:
a) Merokok adalah salah satu faktor mempermudah
seseorang mengalami TBC
b) Berhenti merokok segera dapat mencegah terjadinya
TBC dan penyakit berbahaya lain
c) Jika positif TBC, berhenti merokok segera dapat pulih
dengan lebih baik
d) Setelah Anda berhenti merokok, kondisi jantung dan
tekanan darah Anda lebih baik
e) Setelah Anda berhenti merokok, batuk akan berkurang.
f) Segera berhenti merokok, pada awal akan ada efek
kecanduan, harus kuat karena setelah seminggu akan
hilang
• Untuk para perokok dan bukan perokok, nasihat umum
mencakup:

48
a) Merokok dan atau menghirup asap rokok orang lain
berbahaya bagi kesehatan Anda dan keluarga; mari
berhenti merokok!
b) Merokok menyebabkan penyakit seperti kanker,
jantung, penyakit paru, asma, pneumonia pada anak
dan TBC. Mari berhenti merokok!
c) Untuk meningkatkan kesehatan Anda dan keluarga,
mari berhenti merokok dan jangan ijinkan siapapun
merokok di dalam rumah!
d) Perokok berisiko lebih besar mengalami COVID-19 dan
jika positif berisiko lebih parah dan meninggal. Mari
berhenti merokok!
e) Berhenti merokok dapat menghemat uang terutama
pada situasi ekonomi dimasa sulit ini.

C = Cepat dukung berhenti merokok


• Petugas menyediakan dukungan berhenti merokok kepada
terduga, orang dengan TBC dan kontak
• Petugas Kesehatan menyarankan terduga, orang dengan
TBC, kontak untuk:
a) Memberitahu keluarga, teman dan koleganya bahwa ia
telah berupaya berhenti merokok, sehingga mereka
akan memberikan dukungan;
b) Menyingkirkan perlengkapan merokok (seperti asbak)
dari rumah dan tempat kerja;

49
c) Menciptakan rumahnya agar menjadi rumah tanpa
rokok dan menghindari paparan asap rokok orang lain.
d) Selain itu berikan media edukasi berupa leaflet,
pamphlet dan tanda “Dilarang Merokok” untuk
dipasang di rumah mereka.

• Petugas Kesehatan memberikan informasi tentang masalah


kesehatan perokok pasif pada setiap kunjungan (tatap muka
atau online/telepon)
• Informasi kesehatan harus mencukup:
a) Asap rokok menyebabkan masalah kesehatan pada bayi
dan anak-anak, termasuk serangan asma yang lebih
sering, parah dan infeksi saluran pernapasan.
b) Bukan perokok yang terpapar asap rokok di rumah atau
di tempat kerja lebih berisiko kanker paru-paru dan
kanker lainnya, penyakit jantung dan pembuluh darah,
diabetes melitus
c) Bukan perokok yang terpapar asap rokok di rumah atau
di tempat kerja meningkatkan risiko penyakit infeksi
seperti TBC, Pneumonia, COVID-19
d) Bayi yang terpapar asap rokok berisiko mengalami
sindrom kematian bayi mendadak (SIDS)
• Saran kesehatan harus mencakup;
a) Pasien dan pengunjung dihimbau untuk tidak merokok
di dalam rumah dan tempat kerja,

50
b) Pasien dan pendamping diminta untuk memasang tanda
dilarang merokok di pintu masuk rumah mereka
c) Tanda dan stiker “Dilarang Merokok” diberikan kepada
pasien dan pengantarnya

Gambar
Framework UBM dalam Pengendalian TB

Konsep Komunikasi Informasi dan Edukatif (KIE)


Pengertian Komunikasi efektif adalah jika sudah terjadi kesamaan
persepsi atas informasi yang disampaikan antara komunikator
dengan komunikan. Informasi yang sebaiknya disampaikan
kepada klien terkait.

51
Dalam komunikasi perlu juga diberi informasi sebagai berikut:
1. Dampak konsumsi rokok bagi kesehatan
2. Manfaat berhenti merokok
3. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Tabel
Keterampilan dalam KIE

Keterampilan Tujuan yang ingin


dicapai
1. Bertanya dan Memahami keluhan dari
mendengarkan klien
Mengetahui sejauh mana
klien mengenalkeluhannya
Mengidentifikasi dan
menolong klien untuk
memecahkan masalah.
2. Menunjukkan sikap Memotivasi klien untuk
peduli danhormat datang fasilitas

3. Memujidan berikan kesehatan dengan teratur


semangatpada klien

4. Bicara jelas dan dengan ▪ Memastikan klien mengerti dan


sederhana mengingat pesan-pesan yang
penting mengenai dan mengingat
▪ keluhan

52
5. Mendorong klien untuk ▪ Memastikan klien/ pasien mengerti
bertanya apa
▪ yang harus dilakukan
terkait dengan terapi dan
6. Berikan pertanyaan upaya pencegahan.
untuk menilai
pemahaman klien

Mengkomunikasikan pesan kesehatan untuk pasien dan


keluarganya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pelayanan kesehatan disemua tingkatan. Tenaga kesehatan harus
memberikan KIE kepada setiap klien yang datang ke Fasilitas
Kesehatan, dalam bahasa yang jelas dan tepat sesuai dengan latar
belakang budaya, tingkat pendidikan dan keluarga.

Keterampilan berkomunikasi secara efektif dengan klien


sebagai berikut:
a. Cara melakukan pendekatan kepada klien
1) Kewajiban anda sebagai konselor adalah menyediakan
informasidan bantuan,
2) Hargai hak klien,untuk memiliki pendapat pilihan sendiri,
3) Terima apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh klien.
Berlakulahfleksibel, sabar serta tidak menghakimi,
4) Jangan memaksakan pendapat dan nilai-nilai anda kepada
klien.

53
b. Mendengarkan
1) Efektif dalam mendengarkan adalah dasar membangun
relasi dalam konseling,
2) Dengarkan bahasa verbal maupun non-verbal klien dan
perhatikan ekspresi wajahnya, gerak tubuh dan kontak
gerakan matanya,
3) Konseling seyogyanya dilakukan dalam ruangan dengan
suasana tenang,
4) Bila klien bicara, berikan semua perhatian anda (jangan
melihat catatan, melayani telepon/ SMS atau membaca
pedoman),
5) Jangan bicara terlalu banyak. Beri waktu untuk klien
menanggapi atau bertanya
6) Gunakan bahasa non-verbal:
7) Pandang klien, lakukan kontak mata,pastikan klien
nyaman,dengan sikap anda
8) Lakukan gerak tubuh dan pandangan mata yang
menyatakandukungan,
9) Arahkan tubuh anda menghadap klien untuk
menunjukkan bahwa anda menaruh perhatian pada apa
yang perlu dikatakannya.
c. Beberapa hal yang perlu dikatakan
1) Mulailah dengan pernyataan pembuka yang umum atau
dengan pertanyaan yang membuat klien memberi

54
penjelasan tentang dirinya atau masalahnya, Contoh: ”Apa
yang dapat saya bantu?”
2) Ulangi apa yang dikatakan klien. Ini akan membantu
memastikan bahwa anda telah memahami apa yang
dikatakan klien,
3) Ucapkan penghargaan, pujian dan dorongan pada apa
yang dilakukan dengan benar oleh klien,
4) Bantu klien untuk melakukan identifikasi dan eksplorasi
beberapa kemungkinan dan alternative upaya berhenti
merokok,
5) Klien menyimpulkan diskusi, mengambil keputusan dan
merencanakan hal-hal perlu dilakukan. Bantu klien
denganmenuliskan daftar upaya yang akan dijalankannya.
d. Cara Berbicara dengan klien
1) Gunakan bahasa sederhana sesuai dengan tingkat
pendidikan klien,
2) Berbicaralah dengan sungguh-sungguh, hangat dan
empati. Empati tak sama dengan simpati. Empati adalah
kemampuan untuk melihat situasi klien sebagaimana
dilihat oleh pasien sendiri,
3) Bantu dan dukung klien bahwa ia diterima dan mampu
mengatasi masalahnya,
4) Berikan pertanyaan untuk jawaban terbuka (yang
membuat klien menguraikan jawaban bukan hanya

55
mengatakan ya atau tidak). Hindari perdebatan dan ajukan
usul, bukan memberikan instruksi.

Tahap Perubahan Perilaku


Kesiapan untuk berubah dan dinamik dari tahap-tahap
perubahan dikembangkan oleh Prochaska, Norcross, dan
Diclemente (1994). Tahapan perubahan tersebut adalah
precontemplation, contemplation, preparation, action,
maintenance, dan recycling dan relapse (lihat gambar).

Grafik
Tahap Perubahan Perilaku

Konselor tidak hanya perlu untuk memahami tahap kesiapan,


tapi harus mengetahui bagaimana berespons secara tepat untuk
memfasilitasi individu bergerak ke sebuah tahap kesiapan yang
lebih tinggi.

56
1. Tahap pra-perenungan (Precontemplation)
Pada tahap pertama, klien masih menyangkal atau
belum menyadari perlunya upaya berhenti merokok.
Klien tidak mempunyai pikiran untuk berhenti
merokok, klien menggunakan penyangkalan sebagai
mekanisme pertahanan diri yang paling utama.
Precontemplation merupakan taraf kesiapan paling
rendah untuk berubah. Pada tahap ini, strategi paling
baik adalah memberikan informasi, membentuk trust,
dan menjauhkan keraguan.
Tugas konselor menghadapi klien di tahap pra-
perenungan:
a. Konselor dapat mendidik klien mengenai efek dari
perilaku merokok, efek adiksinikotin, bahaya yang
berhubungan dengan adiksi nikotin.
b. Konselor membangkitkan keinginan klien untuk
sebuah gaya hidup yang berbeda,
mengidentifikasikan hambatan untuk kesembuhan,
dan membantu klien untuk mengidentifikasi cara
untuk memperkuat harga diri (self esteem),
c. Konselor melakukan pendekatan 5Rs untuk klien
yang masih menolak/ belum ingin berhenti merokok
sebagai berikut: Relevance: Diskusikan dampak
rokok terhadap kesehatan sendiridan keluarga,

57
Risk: Diskusikan dampak negatif dari rokok
Rewards: Diskusikan keuntungan/ manfaat berhenti
merokok darisisi kesehatan dan finansial,
Readblocks: Tanyakan tantangan yang dihadapi pada
saatberhenti merokok,
Repetition : Berikan perhatian, tanyakan status dan
keluhansecara terus menerus.

2. Tahap Perenungan (Contemplation)


Di tahap ini klien sudah memiliki kesadaran bahwa
merokok merupakan sebuah masalah. Klien
mempertimbangkan untuk menerima atau menolak
perubahan perilaku dalam mengatasi masalahnya
tersebut.

Pada tahap ini dapat dilakukan identifikasi hal-hal yang


bersifat positif dan negatif dari perubahan yang akan
dibuat. Sebuah pertanyaan yang masuk akal pada tahap
ini adalah: “Apakah berhenti merokok akan berguna
bagi saya?”, “Bagaimana akibatnya bila saya tidak
berhenti merokok?”, “Apakah yang akan saya lakukan
untuk memulai program berhenti merokok?”.

58
Tugas konselor menghadapi klien di tahap perenungan:
a. Memelihara proses perubahan dengan
memberikan dukungan.
b. Memberikan umpan balik, melakukan
konfrontasi denganramah, lemah lembut, humor
c. Memberikan penghargaan (reward) untuk
perjuangan dan
keberhasilan klien.
d. Konselor melakukan pendekatan 5Rs untuk klien
yang masihmenolak/belum ingin berhenti merokok
sebagai berikut: Relevance: Diskusikan dampak
rokok terhadap kesehatansendiri dan keluarga,
Risk: Diskusikan dampak negatif dari rokok
Rewards: Diskusikan keuntungan/manfaat
berhenti merokokdari sisi kesehatan dan finansial,
Readblocks: Tanyakan tantangan yang dihadapi
pada saatberhenti merokok,
Repetition: Berikan perhatian, tanyakan status dan
keluhansecara terus menerus.

3. Tahap Persiapan (Preparation)

Pada tahap ini, klien memutuskan untuk berubah.


Klien tidak hanya mengakui adanya masalah dan
kebutuhan untuk melakukan sesuatu akan

59
masalahnya, tetapi ia juga memutuskan untuk
memulai berhenti merokok.
Tugas konselor menghadapi klien di tahap persiapan:
a. Membantu klien untuk melakukan upaya berhenti
merokok
b. Mengidentifikasi hambatan yang ada
c. Membantu klien untuk merencanakan berhenti

merokok.

4. Tahap Aksi (Action.)

Tahap aksi merupakan awal dari berhenti merokok


yang dilakukan oleh klien. Di tahap aksi ini klien
secara aktif terlibat di dalam proses berhenti
merokok. Pada tahap ini, klien dapat bekerja sama
dengan konselor untuk mengevaluasi,
merencanakan, dan mengimplementasikan sebuah
rencana konseling.
Tugas utama konselor adalah mendukung upaya
berhenti merokok dan menguatkan komitmen klien.
Pertanyaan mendasar yang diajukan pada tahap ini
adalah: “Apakah yang akan anda lakukan dalam
upaya berhenti merokok?” Selama tahap ini, dapat
terjadi kekambuhan, namun hal ini bisaa terjadi.
Tugas konselor menghadapi klien di tahap aksi:

60
Klien dapat mengidentifikasikan faktor yang
mencetuskan kekambuhan.

5. Tahap Mempertahankan (Maintenance)

Di dalam tahap ini, klien sudah dalam proses berhenti


merokok. Klien mempelajari perilaku yang dapat
mendukung mereka untuk bebas dari perilaku
merokok yang merugikan.
Tugas konselor menghadapi klien di tahap ini:
Konselor harus mengenali ketidaknyamanan yang
dialami klien selama melakukan upaya berhenti
merokok. Gejala akibat putus nikotin yang timbul
selama proses berhenti merokok harus disampaikan/
diinformasikan dan dibantu untuk mengatasinya.
Sebuah pertanyaan dasar pada tahap ini adalah: “Apa
yang dapat menolong anda ketika menghadapi
masalah itu?”. Disini Tahap mempertahankan tidak
mempunyai batas khusus, tapi secara optimal terus
berlangsung selama hidup klien.
Beberapa klien bahkan akan membutuhkan
pertolongan seperti:
a. Melakukan komunikasi yang efektifdan cara untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dalam upaya
berhenti merokok.

61
b. Pada saat maintenance ini disampaikan beberapa
kegiatan yang bersifat positif untuk mengatasi
perilaku merokok selama ini misalnya berolah raga
, berkebun, melukis, menulis dll.
c. Dukungan anggota keluarga untuk menciptakan
lingkungan rumah yang kondusif dalam upaya
dalam mempertahankan berhenti merokok.

6. Kekambuhan ( Recyling and Relapse)

Pada tahap ini klien kembali merokok setelah berhasil


berhenti merokok untuk beberapa waktu.
Kekambuhan berarti bahwa upaya berhenti merokok
gagal dan belum menetap karena klien berada pada
situasi risiko tinggi misalnya tidak mendapatkan
dukungan sosial dari anggota keluarga ataupun
lingkungan. Situasi berisiko ini membuat klien
tergelincir kembali pada tahap yang lebih rendah,
bisaanya kembali pada tahap perenungan.Selama
tahap ini klien memiliki ambivalensi untuk mencoba
lagi.
Tugas konselor menghadapi klien di tahap ini:
Konselor membantu klien untuk menghadapi
ambivalensi, mengevaluasi komitmen untuk berhenti
merokok, mengidentifikasi dan mengatasi hambatan

62
yang ada. Sebuah pertanyaan penting untuk diajukan
di tahap ini adalah: ”Apakah tujuan dari upaya
berhenti merokok saat ini?” .

3.3 Tindak Lanjut dan Sistem Rujukan

TindakLanjut Upaya Berhenti Merokok


Tindak lanjut atau follow up merupakan hal penting dan
menentukan keberhasilan jangka panjang dalam upaya berhenti
merokok. Kunjungan klien secara teratur merupakan hal yang
penting dan berhubungan dengan tingkat keberhasilan
berhenti merokok. Klien dijadwalkan datang secara rutin untuk
menjalani konsultasi setiap 2 minggu. Kegiatan yang dilakukan
pada tahap ini adalah menilai keberhasilan berhenti merokok,
menilai kendala, menguatkan motivasi, mencegah kambuh
(relaps), menilai efek putus nikotin (withdrawal effect),
mengatasi gejala tersebut, dan penilaian parameter klinis
seperti pemeriksaan kadar CO udara pernapasan dengan
menggunakan CO Analyzer dan pemeriksaan arus puncak
ekspirasi dengan menggunakan peak flowmeter.

Berbeda dengan tahap awal, dimana seorang konselor lebih


banyak menggali informasi dari klien, maka pada tahap tindak
lanjut seorang konselor lebih banyak mendengarkan apa yang
disampaikan oleh klien dan memberikan saran dan motivasi

63
agar keberhasilan berhenti merokok dapat tercapai. Selain itu,
seorang konselor mungkin menemukan kondisi khusus yang
memerlukan penanganan atau rujukan ke layanan kesehatan
sekunder.

Setelah klien menjalani program upaya berhenti merokok


(UBM), diperlukan penilaian tindak lanjut upaya berhenti
merokok. Tindak lanjut ini sebaiknya dijadwalkan setiap 2
minggu. Pada setiap pertemuan berikan klien dukungan untuk
menjalankan prilaku hidup sehat menggunakan dan
mempraktekkan strategi dalam mengatasi masalah (stres,
sedih) dan menghindarkan diri dalam menggunakan rokok.

Langkah-langkah yang dilakukan pada saat klien kembali


menjalani tindak lanjut seperti :
1. Menilai apakah sudah berhasil berhenti merokok
atau seberapa besar sudah dapat mengurangi jumlah
rokok yang dikonsumsi
2. Menilai kendala utama apabila belum berhasil
3. Menilai motivasi dan memberikan dukungan motivasi
4. Menilai withdrawal effect/ efek putus nikotin yang
timbul dan caramengatasinya
5. Mencegah relaps

64
6. Mengukur ulang beberapa parameter klinis seperti
berat badan, tekanan darah, kadar CO udara
pernapasan, peak flow meter, tes nikotin urin.

Terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan dalam penilaian


tindak lanjut adalah sebagai berikut:
1. Menilai keberhasilan berhenti merokok

Konselor harus menilai apakah klien sudah berhenti


merokok atau seberapa besar sudah dapat
mengurangi jumlah rokok yang dikonsumsi. Penilaian
dilakukan secara subjektif dengan wawancara secara
langsung kepada klien dan secara objektif dengan
pemeriksaan kadar CO udara pernapasan. Kadar CO
udara pernapasan < 10 ppm mengindikasikan bahwa
klien sudah tidak merokok.
2. Menilai kendala utama dalam UBM
Konselor meminta klien yang belum berhasil
merokok untuk menjelaskan kendala atau masalah
utama yang menghambat dalam upaya berhenti
merokok. Beberapa kendala yang sering ditemui
adalah:
a. Adiksi atau ketagihan yang menyebabkan klien
sulit berhenti merokok
b. Motivasi yang masih kurang
c. Kebisaaan yang sulit dihilangkan

65
d. Pengaruh faktor sosial
e. Perasaan tidak nyaman saat berhenti merokok
terkait efek putus nikotin.

Berbagai kendala yang ditemui tersebut di atas harus


dibantu di dalam mengatasinya untuk meningkatkan
keberhasilan berhenti merokok sebagai berikut:

1. Menilai motivasi dan memberikan dukungan


Setiap pertemuan terdapat proses pembicaraan
penting untuk menelaah sejauh mana klien
termotivasi untuk tetap berhenti merokok. Bila
motivasi masih rendah, diperlukan dukungan
motivasi dari konselor dan keluarga atau teman
terdekat. Mempertahankan dan meningkatkan
motivasi dapat dilakukan dengan :
1) Pikirkan keuntungan yang diperoleh dari sisi
kesehatan, ekonomi dan keluarga dengan
berhenti merokok
2) Buat rencana aktivitas dan lakukan untuk
mengisi waktuluang
3) Dukungan keluarga dan orang lain
a) Mendatangkan pernyataan yang
diucapkan pasien yang menunjukkan
motivasinya untuk berhenti dan

66
bangkitkan respons pasien berupa
pernyataan self motivated
b) Ketersediaan pasien untuk terbuka dan
mendapatkan masukan tentang efek
rokok
c) Mengutarakan kemauan kebutuhan
untuk berubah dan mengutarakan
optimisme
d) Pengakuan adanya problem akibat
rokok.
2. Menilai withdrawal effect atau efek putus nikotin
Withdrawal effect bisaanya timbul ketika klien
mulai berhenti merokok. Umumnya terjadi 4
(empat) minggu. Gejala-gejala yang mungkin
timbul akibat efek putus nikotin/ withdrawal
effect adalah sebagai berikut:

Tabel
Efek Putus Nikotin

Efek Putus Nikotin Waktu


(Withdrawal Effect) (Setelah Berhenti
Merokok)
Rasa cemas/ anxietas 1-2
Minggu
Mudah tersinggung, frustasi, dan ≥ 4
marah Minggu

67
Gangguan tidur/Insomnia,Tidak
sabar, Sulit konsentrasi, dan ≥ 4 Minggu
Depres(dysphoric)
Nafsu makan meningkat ≥ 10
(BeratBadan naik) Minggu

3. Mencegah kambuh (relaps) :


Saat evaluasi bila klien sudah berhasil berhenti
merokok, perlu langkah-langkah untuk
mencegah terjadinya relaps atau kambuh.
Beberapa hal yang bisa disampaikan untuk
mencegah relaps adalah :
a. Menahan godaan dan tawaran orang lain yang
menawarkan rokok
b. Mengembangkan rencana prilaku apabila
terjebak dalam situasi risiko tinggi
menggunakan rokok
c. Menggali semua kemungkinan penyebab
relaps dan pilihan strategi untuk
mengatasinya.
d. Misalnya mampu bertahan tidak merokok
pada saat kumpul keluarga, saat cuaca dingin,
setelah makan pada saat istirahat jam kantor,
pada saat muncul perasaan stres, dan sedih.
4. Mengukur ulang beberapa parameter klinis

68
Pada tiap pertemuan sebaiknya dilakukan
penilain parameter klinis seperti : seperti berat
badan, tekanan darah, kadar CO udara
pernapasan, peak flow meter, tes nikotinin urin.
Penilaian parameter klinis dapat dijadikan sarana
untuk edukasi dan meningkatkan motivasi klien
terkait keuntungan secara klinis ketika seseorang
berhenti merokok.
5. Memberikan terapi tambahan atau merujuk
Jika diperlukan berikan terapi tambahan sesuai
dengan hasil evaluasi penyebab belum
berhasilnya berhenti merokok. Terapi tambahan
disediakan sesuai dengan kondisi pelayanan
kesehatan setempat. Beberapa contoh terapi
tambahan seperti terapi perilaku, hipnoterapi
dan lain-lain. Seseorang yang menjalani program
berhenti merokok selain berhasil berhenti
merokok, masih memiliki beberapa kemungkinan
yaitu :
a. Putus di tengah jalan (drop out) dari program
berhenti merokok
b. Relaps atau kembali merokok setelah berhasil
berhenti
c. Tidak berhasil berhenti, hanya mengurangi
konsumsi batang rokok.

69
d. Pada kondisi tersebut, maka pasien harus
dirujuk ke fasilitas kesehatan sekunder/
tersier.

Rujukan Upaya Berhenti Merokok

Rujukan dilakukan dalam kerangka pelayanan


kesehatan berkelanjutan (Continuum of Care) dari masyarakat
hingga ke fasilitas pelayanan kesehatan baik di tingkat pertama
maupun sekunder termasuk rujuk balik ke masyarakat untuk
pemantauannya.

UBM di Puskesmas umumnya hanya menggunakan


pendekatan tata laksana sederhana (simple) yaitu konseling.
Rujukan UBM ke Rumah Sakit diperlukan pada kondisi perokok
dengan tingkat ketergantungan nikotin yang sedang sampai
berat, perokok dengan komorbid atau komplikasi penyakit
yang berat atau perokok yang gagal berhenti merokok di
Puskesmas. Umumnya pelayanan di Rumah Sakit, pendekatan
dengan multidisiplin dan tenaga spesialis.

Sistem rujukan pada prinsipnya adalah managemen


pelayanan kesehatan yang memungkinkan penyerahan
otoritas/ tanggung jawab dan bersifat timbal balik mengenai
masalah kesehatan masyarakat atau penyakit baik secara

70
vertikal pada pelayanan kesehatan yang lebih tinggi atau
horizontal kepada yang lebih kompeten. Sistem rujukan dalam
UBM adalah sistem rujukan vertikal, dimana pelayanan
kesehatan primer merujuk ke fasilitas kesehatan di atasnya,
pelayanan kesehatan sekunder. Pemahaman tentang jenis
rujukan, hasil dan evaluasi tatalaksana/ konseling upaya
berhenti merokok dipelayanan kesehatan primer serta kriteria
klien untuk dirujuk, membantu tenaga konselor dalam
membuat keputusan untuk melakukan rujukan upaya berhenti
merokok kepelayanan kesehatan lebih tinggi.

Secara khusus, dalam Upaya Berhenti Merokok rujukan


yang berlaku adalah rujukan kesehatan perorangan dan
merupakan rujukan medis. Jenis Rujukan Upaya Berhenti
Merokok sebagai berikut:
1. Rujukan untuk penanganan medis Efek Putus Nikotin/
Withdrawal Effect.
Rujukan dapat dilakukan dari pelayanan kesehatan
primer apabila dalam upaya berhenti merokok yang
dilakukan ditemukan gejala putus nikotin (withdrawal
effect) yang tidak dapat ditangani misalnya timbul
insomnia, depresi atau peningkatan berat badan
berlebihan dan lainnya. Rujukan adalah rujukan medis
untuk penanganan withdrawal effect, bisa langsung
ke dokter spesialis di pelayanan kesehatan skunder.

71
Dalam dal ini, upaya berhenti merokok masih
ditangani dilayanan primer, rujukan hanya untuk
penanganan withdrawal effect.

2. Rujukan untuk upaya berhenti merokok lanjutan


Rujukan ini adalah rujukan untuk upaya berhenti
merokok lanjutan di pelayanan kesehatan sekunder
atau tersier apabila upaya berhenti merokok pada
pelayanan kesehatan primer dikategorikan gagal atau
tidak berhasil. Pertimbangkan merujuk ke fasilitas
kesehatan lanjutan jika dipikirkan memerlukan terapi
tambahan, memerlukan penanganan khusus
withdrawal effect yang menghambat upaya berhenti
merokok atau jika dalam 3 (tiga) bulan belum
berhasil berhenti merokok (gagal).
Secara umum ada beberapa jenis rujukan dalam
pelayanan kesehatan sebagai berikut:
a. Rujukan medis
Rujukan medis adalah rujukan terkait masalah
penyakit (diagnosis, tatalaksana), pengetahuan
(khususnya masalah SDM) dan rujukan sampel
medis.
b. Rujukan kesehatan perorangan
Rujukan kesehatan perorangan adalah rujukan
yang diberikan terkait masalah kesehatan

72
perorangan, umumnya adalah rujukan medis.
Misalnya rujukan dari praktek dokter terkait
kesehatan seseorang ke RS atau laboratorium dan
lainnya.
c. Rujukan kesehatan masyarakat
Rujukan kesehatan masyarakat adalah rujukan
untuk program pencegahan, promosi kesehatan
termasuk masalah teknologi kesehatan dan
peralatannya.
d. Rujukan pelayanan kesehatan (program asuransi
kesehatan).
Rujukan pelayanan kesehatan terkait asuransi
adalah rujukan berjenjang dari primer, skunder dan
tersier dalam sistem asuransi sesuai tingkat
kompetensi fasilitas pelayanan kesehatannya.’

Ada 2 kriteria rujukan dalam penanganan upaya berhenti


merokok adalah:
1. Kriteria Rujukan Penanganan Medis efek putus
nikotin withdrawal effect.
Klien yang dalam proses upaya berhenti merokok
mengalami gejala putus nikotin (withdrawal effect)
yang sulit ditangani sehingga perlu penanganan
lanjutan. Beberapa jenis withdrawal effect tantara lain
sebagai berikut :

73
a. Depresi
b. Cemas
c. Insomnia
d. Mudah tersinggung dan mudah marah
e. Peningkatan berat badan berlebihan.

2. Kriteria rujukan upaya berhenti merokok

Klien yang sudah menjalani proses upaya berhenti


merokok dalam periode tertentu tetapi belum
berhasil dan atau perlu upaya lanjutan untuk
berhenti merokok. Adapun kriteria rujukan adalah :
a. Klien sudah menjalani upaya berhenti merokok
(UBM) dan konseling yang diberikan dirasakan
tidak efektif, sehingga memerlukan terapi
tambahan untuk meningkatkan keberhasilan
meskipun belum selesai program UBM 3 (tiga)
bulan,
b. Klien yang mengalami withdrawal effect berat
yang menghambat upaya berhenti merokok dan
memerlukan penanganan UBM lanjutan,

Mekanisme Rujukan
Jika klien setelah dilakukan konseling upaya berhenti merokok
di fasilitas pelayanan kesehatan primer sebanyak 6 (enam) kali
pertemuan dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan belum berhasil

74
untuk berhenti merokok, perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan lebih lanjut.

3.4 Tugas dan Fungsi Petugas Konselor di Fasyankes

Karakteristik, tugas dan fungsi konselor dalam pelaksanaan


layanan terintegrasi UBM dengan Tuberkulosis di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan perlu dipahami agar pelaksanaan
konseling dapat berjalan dengan baik.

Karakteristik konselor
a. Dapat menjadi pendengar aktif
b. Dapat berempati pada klien. Berempati artinya
konselor mampu menempatkan diri pada posisi
klien.
c. Dapat menjaga kerahasian proses konseling
d. Tidak bersikap menghakimi
e. Menghormati/ menghargai klien
f. Bertanggungjawab
g. Bersikap jujur
h. Memiliki sensitivitas/ peka terhadap kebutuhan
klien
i. Dapat bersikap fleksibel.

75
Konselor harus bisa membangun “Therapeutic Alliance”
dimana terjadi suatu bentuk hubungan profesional yang
terapeutik antara konselor dan klien dengan ciri sebagai
berikut:
1. Adanya kelekatan interpersonal yang positif
antara konselor dan klien,
2. Adanya pengertian yang empatik dalam
keterlibatan konselor,
3. Adanya keterlibatan yang aktif antara konselor
dan klien dalam proseskonseling,
4. Adanya kesepakatan tujuan dari proses konseling
antara konselor danklien,
5. Konselor dan klien memahami batasan hubungan
diantara mereka.
6. Kompetensi Konselor (Counselor Competencies)

Konselor harus melalui serangkaian pelatihan yang


tersertifikasi dan diakui oleh Kementerian Kesehatan dan
mendapatkan supervisi dari pelatih pada awal
penerapannya.

76
BAB IV.
DUKUNGAN LAYANAN UBM-TUBERKULOSIS

4.1 Dukungan rumah dan lingkungan

Hasil penelitian di dunia menunjukkan bahwa 70% perokok


memiliki keinginan untuk berhenti merokok, sebagian besar
hanya berdasarkan komitmen sendiri 5% (WHO,2008). Kendala
utama berhenti merokok dikelompokkan dalam 3 faktor utama
yaitu: biologis, psikologis dan lingkungan sebagai berikut:
1. Adiksi nikotin dan dampak fisiologis
Adiksi nikotin merupakan salah satu faktor kendala
berhenti merokok dari aspek biologis atau fisiologis. Nikotin
menempati ranking pertama yang menyebabkan kematian,
adiksi, dan tingkat kesulitan untuk tidak menggunakan lagi
dibandingkan dengan 4 zat lain seperti kokain, morfin,
kafein dan alkohol. Adiksi nikotin dapat membuat klien
kembali merokok meskipun telah mengalami berbagai
penyakit. Hal ini ditunjukkan oleh terjadinya kekambuhan
merokok pada 60% klien infark miokard, 50% klien pasca
laringektomi dan 50% klien pasca pneumonektomi yang
telah sembuh. Nikotin mempengaruhi perasaan, pikiran dan
fungsi pada tingkat seluler. Dalam waktu 4-10 detik setelah
seorang perokok menghisap sebatang rokok, nikotin pada
asap rokok dapat mencapai otak. Konsentrasi nikotin

77
meningkat 10 kali lipat dalam sirkulasi arteri sistemik
setiap hisapan rokok. Saat seseorang menghisap asap
rokok, nikotin terekstraksi dari tembakau, terbawa masuk
ke dalam sirkulasi arteri dan sampai ke otak. Nikotin
berdifusi cepat ke dalam jaringan otak dan terikat dengan
reseptor asetilkolin nikotinik (nAChRs) subtipe α4β2 dan
melepaskan dopamin yang memberikan rasa nyaman.
Perokok regular memicu peningkatan jumlah reseptor α4β2
sebanyak 300%. Kadar nikotin akan turun dalam 2 jam
sehingga kadar dopamin juga turun dan akan terjadi gejala
putus nikotin. Perokok akan ingin mengulang rasa nyaman
tersebut dengan kembali merokok.
2. Efek putus nikotin (Withdrawal Effect Nicotin)
Selain faktor adiksi, faktor withdrawal juga menjadi kendala
berhenti merokok. Rewards fisiologis (produksi dopamin
yang tinggi) dan tidak tahan pada gejala putus nikotin
membuat perokok terus merokok. Pada saat seseorang
berhenti merokok, maka jumlah nikotin yang mencapai
reseptor di otak menurun dan hal ini menyebabkan
penurunan pelepasan dopamin dan neurotransmitter
lainnya sehingga terjadi gejala putus nikotin (withdrawal
effect/ nicotine withdrawal), seperti uring- uringan,
perubahan emosi, perubahan nafsu makan, sakit kepala dan
lain-lain.

78
3. Psikologis dan Perilaku
Berhenti merokok bagi perokok merupakan pengalaman
yang tidak menyenangkan atau lebih ekstrim
menyengsarakan secara psikologis. Bagian paling sulit dari
berhenti merokok adalah kemampuan untuk menahan diri
dari kebisaaan yang dilakukan karena telah menjadi bagian
integral dari kehidupan sehari-hari mereka seperti merokok
setelah bangun pagi, sebelum sarapan dan selama mereka
istirahat di tempat kerja dan lain-lain. Perilaku merokok ini
terbentuk dari waktu/ jam tertentu, jumlah rokok dan jenis
rokok. Gejala yang timbul saat berhenti merokok sangat
erat kaitannya dengan faktor perilaku dan psikologis
sehingga menjadi penting melakukan pendekatan psikologis
dan terapi perilaku.
4. Lingkungan Sosial
Tidak adanya dukungan orang terdekat seperti teman atau
keluarga dapat menurunkan motivasi seseorang untuk
berhenti merokok. Klien akan mencoba kembali merokok
setelah berhasil berhenti untuk sementara waktu atau tidak
juga berhasil mengurangi jumlah rokok yang dihisapnya tiap
hari menjelang tanggal berhenti yang telah ditetapkan. Pada
keadaan ini perlu dipertimbangkan peran teman-teman dan
keluarganya yang mungkin masih bisa membantu.
Lingkungan yang tidak mendukung untuk berhenti

79
merokok akan memberikan stimulasi untuk tetap merokok
sehingga klien akan sulit untuk melepaskan merokok.

Oleh karena itu diperlukan dukungan rumah dan lingkungan agar


dapat berhenti merokok.

Manfaat upaya berhenti merokok sebagai berikut:


1. Manfaat Dari Sisi Kesehatan
Risiko kematian akan jauh lebih berkurang dengan
menghentikan perilaku merokok dibandingkan dengan
menurunkan kadar kolesterol atau menurunkan tekanan darah
saja. Sejak 20 menit pertama, manfaat berhenti merokok sudah
mulai ada, sehingga makin cepat seseorang berhenti merokok
akan mendapatkan banyak manfaat serta memberikan usia
harapan hidup yang lebih panjang.
2. Manfaat Secara Sosial
Hasil penelitian di Inggris dan Amerika menunjukkan bahwa
seorang mantan perokok akan lebih dihormati dibandingkan
orang yang masih merokok. Mantan perokok perempuan akan
dipandang lebih bijak, lebih berdisipin diri, dan lebih menarik.
Penelitian lain menunjukkan mantan perokok dipandang lebih
dewasa, lebih menarik dan lebih diinginkan oleh responden non
perokok.

80
4.2 Jejaring antara layanan Integrasi UBM-Tuberkulosis

Untuk mendukung Jejaring layanan integrasi UBM-


Tuberkulosis di Puskesmas dan Rumah Sakit dan Fasilitas
Kesehatan lainnya perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
1. Melaksanakan review dan memperkuat aspek legal layanan
integrasi UBM-Tuberkulosis di Unit Pelaksana Teknis (UPT),
Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/
Kota, dan puskesmas.
2. Advokasi layanan integrasi UBM-Tuberkulosis kepada
Pemerintah (pusat dan daerah) secara intensif dan efektif
3. Promosi kesehatan dan perlindungan dengan kerja sama
lintas program, kemitraan lintas sektor, pemberdayaan
swasta/industri dan kelompok masyarakat
4. Mengembangkan sistim rujukan dan regulasi memadai,
dengan kerja sama lintas profesi dan keilmuan, lintas
5. program, kemitraan, lintas sektor, pemberdayaan swasta/
industry dan kelompok masyarakat madani
6. Tatalaksana pasien merokok yang efektif dan efisien,
yang didukung kecukupan sumber daya
7. Jejaring kerja dan kemitraan pengendalian merokok dan
tuberkulosis yang terdiri sub jejaring surveilans, promosi
kesehatan, dan manajemen upaya kesehatan, baik di tingkat
pusat maupun daerah

81
8. Penelitian dan pengembangan kesehatan yang menjamin
ketersediaan informasi, insidensi, dan prevalensi PTM dan
determinannya, yang menghasilkan teknologi intervensi
kesehatan masyarakat/ pengobatan/ rehabilitasi dalam
bentuk “Best Practice”, dan intervensi kebijakan yang
diperlukan.

4.3 Dukungan untuk layanan Integrasi UBM-Tuberkulosis

Agar pelaksanaan layanan integrasi UBM dan Tuberkulosis


dapat berjalan optimal, diperlukan dukungan Sumber daya yang
meliputi SDM atau Tenaga Kesehatan, ketersediaan sarana
prasana serta terpenuhinya Anggaran dan pembiayaan.

Penyediaan Sumber Daya Manusia


Untuk memenuhi kebutuhan Sumber Daya Manusia dalam
pelaksanaan Integrasi UBM dan tuberkulosis perlu dilakukan
upaya pembentukan Tim Konseling. Pimpinan di fasilitas
pelayanan kesehatan dapat menerbitkan surat keputusan
tentang pembentukan Tim Konseling yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan layanan konseling upaya berhenti merokok
terintegrasi dengan pelaksanaan program Tuberkulosis. Tim
tersebut perlu mendapatkan peningkatan kapasitas tentang
layanan UBM terintegrasi.

82
Unsur Tim dapat terdiri dari :
• Dokter/ Dokter Gigi
• Perawat
• Bidan
• Nutrisionist
• Tenaga Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
• Tenaga lain yang ditunjuk oleh Pimpinan Fasyankes

Penyediaan Sarana dan Pra Sarana


Hal-hal yang diperlukan dalam penyediaan layanan adalah:
a. Ruangan Konseling idealnya adalah suatu tempat yang
tenang dan terjaga privasi klien, namun apabila tidak
tersedia dapat dikondisikan pada ruangan lainnya.
b. Tersedianya alat ukur berat badan, tinggi badan, tekanan
darah, pengukur CO ekspirasi, peakflflow meter, formulir
Fagerstorm, dan skala motivasi.
c. Formulir monitoring konseling .
d. Media KIE yang diperlukan seperti buku saku, lembar balik,
Banner, Leaflfleat, poster, fifilm terkait dampak buruk rokok
bagi kesehatan (jika tersedia), dll.

Penyediaan Pembiayaan
Biaya penyelenggaraan layanan UBM terintegrasi diperoleh dari
berbagai sumber:

83
a. Pemerintah misalnya dalam bentuk APBN, APBD, Dana
Alokasi Khusus, Dana Desa, pajak rokok daerah atau masuk
dalam pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
b. Non Pemerintah misalnya Corporate Social Responsibility
(CSR), dana kesehatan perusahaan, donor dan lain-lain.
c. Iuran masyarakat yang tergantung dari pemerintah daerah
setempat, serta bantuan yang tidak mengikat lainnya.
d. Pembiayaan klien secara Mandiri

Puskesmas juga dapat memanfaatkan sumber-sumber


pembiayaan yang potensial untuk mendukung dan memfasilitasi
penyelenggaraan kegiatan layanan konseling UBM secara
terintegrasi selaku pembina kesehatan di wilayah kerjanya. Salah
satunya melalui pemanfaatan Bantuan Operasional Kesehatan
(BOK) yang merupakan bagian dari Dana Alokasi Khusus (DAK)
Non Fisik yang ada di Puskesmas untuk memfasilitasi transportasi
petugas Puskesmas untuk melakukan pemantauan atau penilaian
terhadap klien. Disamping itu Puskesmas juga dapat
memanfaatkan dana BPJS yang bersumber kapitasi untuk
dialokasikan kepada kegiatan di luar kuratif.

Puskesmas juga diharapkan mampu melakukan advokasi


ke pemerintah daerah, melalui Dinas Kesehatan Kabupaten/
Kota, untuk memanfaatkan dana pajak rokok daerah dalam
pelaksanaan layanan UBM secara terintegrasi

84
BAB V.
MONITORING DAN EVALUASI

5.1 Ruang Lingkup Monitoring dan Evaluasi

Monitoring bertujuan untuk mengetahui apakah


kegiatan sudah dilaksanakan sesuai dengan perencanaan,
apakah hasil kegiatan sudah sesuai dengan target yang
diharapkan dan mengidentifikasi masalah dan hambatan yang
dihadapi, serta menentukan alternatif pemecahan masalah.
Monitoring dan Evaluasi dilakukan secara menyeluruh
terhadap aspek masukan, proses, keluaran atau output
termasuk kontribusinya terhadap tujuan kegiatan. Tujuan
Monitoring dan Evaluasi adalah untuk mengetahui sejauh
mana tingkat perkembangan kegiatan layanan integrasi UBM
dan tuberkulosis dalam penyelenggaraannya dapat
dilaksanakan dengan baik, sehingga jika terdapat kendala dan
hambatan dapat dilakukan pembinaan dan tidanakan korektif..

Monitoring dan Evaluasi dilakukan sebagai berikut:


1. Pelaksana Monitoring dan Evaluasi adalah petugas
Puskesmas, Dinkes Kabupaten/ Kota, Dinkes Provinsi dan
Kementerian Kesehatan,
2. Sasaran Monitoring dan Evaluasi adalah para petugas
pelaksana,

85
3. Monitoring kegiatan dilakukan secara periodik setiap 3
(tiga) bulan sekali dan evaluasi indikator dilakukan setiap 1
tahun sekali,
4. Hasil Monitoring dan Evaluasi ini dipergunakan sebagai
bahan evaluasi kegiatan yang lalu dan sebagai bahan
informasi besaran masalah merokok di masyarakat serta
tingkat perkembangan kinerja kegiatan layanan UBM dan
tuberkulosis terintegrasi. Disamping untuk bahan
menyusun perencanaan pengendalian PTM dan program
tuberkulosis di masa akan datang
5. Hasil Monitoring dan Evaluasi disosialisasikan kepada
lintas program, lintas sektor terkait dan masyarakat untuk
mengambil langkah-langkah upaya tindak lanjut.
6. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi hasil pelaksanaan
Kegiatan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi dilakukan
secara profesional berdasarkan analisis data yang
lengkap dan akurat agar menghasilkan penilaian
secara obyektif dan masukan yang tepat terhadap
pelaksanaan kegiatan layanan integrasi UBM dan
tuberkulosis.
b. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi dilakukan secara
terbuka/ transparan dan dilaporkan secara luas melalui
berbagai media yang ada agar masyarakat dapat

86
mengakses dengan mudah tentang informasi dan hasil
kegiatan pemantauan dan penilaian
c. Pelaksanaan kegiatan Monitoring dan Evaluasi
dilakukan dengan melibatkan secara aktif dan
interaktif para pelaku layanan konseling.
d. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi harus dapat
dipertanggungjawabkan secara internal maupun
eksternal.
e. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi harus dilakukan
sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.
f. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi dilakukan secara
berkesinambungan agar dapat dimanfaatkan sebagai
umpan balik bagi penyempurnaan kebijakan.
g. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi dilakukan
berdasarkan kriteria kinerja, baik indikator masukan,
proses, keluaran, manfaat maupun dampak.

Indikator yang dinilai dalam kegiatan layanan konseling UBM


terintegrasi adalah:
a. Proporsi/ tingkat capaian berhenti merokok dalam 3 bulan
pertama
b. Drop out rate
c. Relaps Rate
d. Sukses Rate
e. Tingkat Rujukan

87
Pembinaan dilakukan secara berjenjang oleh
Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi, dan
Pusat. Dukungan Pemerintah Pusat dan Daerah terhadap
kegiatan layanan UBM dan Tuberkulosis terintegrasi harus
berjalan optimal untuk menjamin keberlangsungan
penyelenggaraan kegiatan ini termasuk memotivasi dan
memfasilitasi organisasi masyarakat/profesi/swasta/dunia
usaha sesuai dengan kearifan lokal.

5.2 Indikator Untuk Monitoring

Indikator menilai kemajuan dan keberhasilan kegiatan


integrasi layanan Integrasi UBM-Tuberkulosis di daerah yang dapat
dipantau adalah
a. Terbentuknya jejaring/ kemitraan kerja antara pelaksanaan
UBM dengan program Tuberkulosis di Puskesmas
b. Adanya regulasi daerah yang mendukung pelaksaan
program konseling upaya berhenti merokok terintegrasi
dengan Tuberkulosis
c. Menurunnya faktor risiko penyakit tidak menular terkait
rokok dan menurunnya kesakitan dan kematian akibat
Tuberkulosis.
d. Tersedianya tenaga konseling (konselor) yang terlatih

88
e. Terlaksananya kegiatan layanan konseling UBM terintegrasi
dengan Tuberkulosis
f. Tercapainya Puskesmas dengan layanan konseling upaya
berhenti merokok
g. Tersedianya quit line layanan konseling upaya berhenti
merokok

5.3 Pencatatan dan Pelaporan Kegiatan Integrasi UBM-


Tuberkulosis

Dalam menunjang pelaksanaan integrasi layanan UBM


dan Tuberkulosis perlu pencatatan dan pelaporan sebagai salah
satu upaya tertib administrasi kegiatan. Pencatatan dan
pelaporan ini dapat dijadikan sebagai bahan analisa dan
perbaikan untuk kegiatan saat ini dan yang akan datang,
sehingga dapat terselenggara dengan optimal, baik, dan terukur.

Pencatatan dan Pelaporan Konseling


a. Pengertian Pencatatan
Pencatatan adalah kegiatan atau proses
pendokumentasian suatu kegiatan/ aktivitas dalam
bentuk tulisan.
1) Bentuk catatan dapat berupa :
a) Tulisan
b) Grafik

89
c) Gambar
d) Suara
2) Kriteria Pencatatan adalah :
a) Sistematis, jelas, dan respon kepada klien
b) Ditulis dengan baik
c) Tepat waktu
d) Mencantumkan nama jelas dan tanda
tangan setelah melakukan pencatatan.
3) Manfaat Pencatatan adalah :
a) Sebagai Bukti Kegiatan
b) Memberikan Informasi Tentang Kegiatan
c) Sebagai Pertanggungjawaban
d) Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi
e) Sebagai Alat Komunikasi
f) Bahan Pembuat Laporan
g) Bukti Hukum

Pengertian Pelaporan
Pelaporan adalah Catatan yang memberikan data dan informasi
tentang kegiatan tertentu hasilnya disampaikan ke pihak yang
berwenang atau berkaitan dengan kegiatan tersebut.
Bentuk Pelaporan adalah :
1. Lisan
▪ Tidak Obyektif
▪ Hal-hal yang baik saja disampaikan

90
▪ Tindak lanjut cepat (+)
2. Tertulis
▪ Waktu lama
▪ Biaya besar
▪ Bersifat Objektif (+).

Mekanisme Pelaporan Tingkat Puskesmas


Laporan dari Puskesmas pembantu dan klinik upaya berhenti
merokok disampaikan ke pelaksana kegiatan pengelola layanan
UBM dan Tuberkulosis di Puskesmas Pengelola merekapitulasi
yang dicatat baik di dalam maupun di luar gedung serta laporan
yang diterima dari Puskesmas pembantu dan klinik upaya
berhenti merokok. Hasil rekapitulasi pelaksanaan kegiatan
dimasukkan ke formulir laporan telah ditentukan sebanyak dua
rangkap, Hasil rekapitulasi pelaksanaan kegiatan diolah dan
dimanfaatkan untuk tindak lanjut yang diperlukan untuk
meningkatkan kinerja kegiatan.

Tingkat Kabupaten/ Kota


Laporan menggunakan Format yang ditetapkan oleh Kemenkes
RI dari Puskesmas yang diterima Dinas Kesehatan Kabupaten/
Kota disampaikan kepada pelaksana pengelola program UBM
dan Tuberkulosis. Hasil rekapitulasi dikoreksi, diolah, serta
dimanfaatkan sebagai bahan untuk umpan balik, bimbingan

91
teknis ke Puskesmas dan tindak lanjut untuk meningkat kinerja
program.

Tingkat Provinsi
Laporan mempergunakan formulir sama dengan Kabupaten/
Kota. Laporan dari dinkes Kabupaten/ Kota, diterima oleh Dinas
Kesehatan Provinsi dalam bentuk formulir dikompilasi/
direkapitulasi. Hasil rekapitulasi disampaikan ke pengelola
program PTM dan PPM Provinsi untuk diolah dan dimanfaatkan
serta dilakukan tindak lanjut, bimbingan dan pengendalian.

Hasil pelaporan rekapitulasi kegiatan upaya berhenti merokok


dari seluruh Dinas Kesehatan Provinsi, dilakukan rekapitulasi
kembali dan dianalisis kemudian dilaporkan ke Menteri
Kesehatan melalui Pusat Data Informasi (Pusdatim) Kementerian
Kesehatan per tiga bulan atau per triwulan melalui Direktorat
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI.

92
LAMPIRAN-LAMPIRAN

93
REFERENSI
1. Undang-Undang RI No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah;
2. Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 109 tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa
Produk Tembakau Bagi Kesehatan
4. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang Kementerian
Kesehatan
5. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024
6. Instruksi Presiden No 1 tahun 2017 Gerakan Masyarakat Hidup
Sehat (GERMAS)
7. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 5 Tahun
2019 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Strategis
Kementerian/Lembaga Tahun 2020-2024
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2022 tentang
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 71 Tahun 2015 Tentang
Penanggulangan Penyakit Tidak Menular
11. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.64 Tahun
2015 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah

94
12. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 40 tahun 2013 tentang
Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi
Kesehatan
13. SE Menteri Dalam Negeri Nomor 523/7818/SJ tentang
Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
14. Petunjuk Teknis Upaya Berhenti Merokok Pada Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer, Kementerian Kesehatan RI 2013,
15. Buku Saku Hidup sehat Tanpa Rokok, Kementerian Kesehatan
RI, 2013
16. Buku Lembar Balik Upaya berhenti Merokok, Kementerian
Kesehatan RI, 2013
17. Modul Pelatihan Konseling Upaya Berhenti Merokok Pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, Kementerian Kesehatan
2014,
18. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),
Kementerian Kesehatan 2008
19. Prevention and Control of Non Communicable Diseases in
Indonesia, Ministry Of Health 2011
20. Berhenti Merokok, Pedoman Penatalaksanaan Untuk Dokter Di
Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2011
21. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),
Kementerian Kesehatan 2008
22. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2011, Berhenti Merokok,
Pedoman Penatalaksanaan Untuk Dokter Di Indonesia;

95
23. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 4 th.ed.
Washington D.C: Author.175- 191;175-272; American Psychiatric
Association.1994
24. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak menular; Kementerian
Kesehatan 2008
25. Prevention and Control of Non Communicable Diseases in
Indonesia; Ministry Of Health 2011
26. Berhenti Merokok, Pedoman Penatalaksanaan Untuk Dokter Di
Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2011
27. Buku Petunjuk Teknis Layanan Konseling Upaya Berhenti
Merokok (UBM di Fasyankes,) 2021, Kementerian Kesehatan

96
97

Anda mungkin juga menyukai