Anda di halaman 1dari 21

UJIAN AKHIR SEMESTER

MAKALAH

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI DALAM SUDUT PANDANG

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

OLEH:

KEVIN IQBAL RIZALDI


(2106800223)

PROGRAM MAGISTER HUKUM EKONOMI


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
2023

1
A. LATAR BELAKANG

Pada prinsipnya penyelesaian sengketa investasi terbagi atas dua, yakni


penyelesaian sengketa investasi dengan penanam modal di dalam negeri dan penyelesaian
sengketa investasi dengan penanam modal luar negeri. Kedua sengketa tersebut sewajarnya
dimulai dengan musyawarah/rekonsiliasi untuk mencapai kesepakatan (mufakat), namun
yang membedakan adalah ketika tidak tercapainya kesepakatan setelah dilakukannya
rekonsiliasi. Pada sengketa investasi di dalam negeri, ketika tidak adanya kesepakatan
dalam musyawarah maka hukum acara yang akan berlaku dalam penyelesaian sengketa
akan kembali kepada ketentuan hukum nasional masing-masing negara diantaranya dapat
melalui pengadilan di dalam negeri, arbitrase di dalam negeri, maupun alternatif
penyelesaian sengketa lainnya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
maupun kebiasaan setiap negara. Lain halnya dengan Sengketa terhadap penanaman modal
dari luar negeri yang apabila tidak mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat
pada umumnya akan diserahkan pada mekanisme arbitrase internasional yang menurut
Sornarajah merupakan suatu mekanisme yang efektif dan efisien dalam memutus suatu
sengketa investasi dengan pendekatan bisnis dan keekonomian yang optimal.
Dari segi asalnya, suatu sengketa investasi dapat berasal dari kontrak bisnis yang
disepakati suatu MNC dengan pihak di dalam negeri maupun yang berasal dari BIT yang
telah disepakati oleh kedua negara. Di dalam berbagai BIT (Bilateral Investment Treaties),
klausa terkait arbitrase di forum yang netral dipilih sebagai suatu metode penyelesaian
sengketa antara para pihak. klausul yang dimaksud memiliki beberapa tipe yang berbeda.
Yang paling rendah, klausa tersebut hanya meengalihkan para pihak ke arbitrasi sebagai
suatu jalan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul akibat transaksi foreign investment.
Dalam klausa ini, hanya ada aturan yang menyebutkan bahwa arbitrase sebagai metode
penyelesaian sengketa tanpa dengan cara apapun memberikan kewajiban bagi pihak
manapun untuk secara wajib tunduk pada arbitrase.
Tipe berikutnya, adalah tipe klausul tertinggi dimana dalam perjanjian terdapat
ketentuan yang memperbolehkan investor asing secara sepihak untuk mengajukan proses
sengketa di tribunal ICSID. Keberadaan ketentuan tersebut dalam BIT merupakan suatu
langkah besar yang diambil untuk memastikan perlindungan terhadap investor asing
dengan memperbolehkannya memiliki akses langsung terhadap forum netral untuk
penyelesaian sengketa yang dapat timbul antara investor asing tersebut dengan host
country. Hal ini disebut juga depolitisasi, sehingga sengketa yang terjadi antara host state
dengan investor asing tidak menimbulkan sengketa antara host state dengan home state
karena sengketa tersebut tidak mempengaruhi hubungan antara kedua negara.
Makalah ini akan mencoba mengidentifikasi bagaimana penyelesaian sengketa
investasi dilakukan baik secara SSDS (State to State) maupun secara ISDS (Investor to
State) beserta prinsip-prinsip penyelesaiannya, kemudian juga akan mengidentifikasi dasar
hukum di Indonesia yang mengatur penyelesaian sengketa investasi. Hingga pada akhirnya
akan mencoba mengupas salah satu contoh kasus sengketa investasi yakni antara IMFA vs
GoI yang dilakukan pada tribunal UNCITRAL yang dalam hal ini IMFA mendalilkan
adanya pelanggaran BIT antara Indonesia dan India.

2
B. PEMBAHASAN

I. Peraturan yang Terkait dengan Penyelesaian Sengketa Investasi Asing

Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Penyelesaian Sengketa


Investasi Asing di Indonesia merujuk kepada aturan-aturan sebagai berikut:

a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;


b. Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and
Nationals of other States (ICSID Convention)
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan
Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal.

Selain daripada ketiga peraturan tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 30 Tahun


1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa juga menjadi salah
satu acuan dalam penyelesaian sengketa investasi asing dalam konteks eksekusi
putusan arbitrase internasional. Uraian mengenai peraturan perundang-undangan
tersebut akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini:

a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Penyelesaian sengketa dibidang penanaman modal diatur secara singkat dalam


Pasal 32 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa dalam hal terjadi sengketa di bidang
penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, maka para pihak
terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan
mufakat. Sedangkan apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan
mufakat tersebut tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan
melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal tersebut juga menjelaskan apabila sengketa terjadi antara Pemerintah


dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa
tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika
penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa
tersebut akan dilakukan di pengadilan. Sedangkan untuk sengketa antara
Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan
sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh
para pihak.

Menurut Huala Adolf dalam jurnalnya yang berjudul “Sengketa Penanaman


Modal antara Investor Melawan Pemerintah Indonesia di Arbitrase ICSID”,
Pasal mengenai penyelesaian sengketa penanaman modal masih jauh dari kata
lengkap. Pasal ini membutuhkan aturan yang lebih lengkap untuk dapat
memanfaatkan arbitrase untuk kepentingan pemerintah. Dengan minimnya

3
ketentuan mengenai arbitrase untuk sengketa penanaman modal, investor asing
akan melihat aturan arbitrase penanaman modal yang ada di lingkup
internasional sebagai pedoman untuk menyelesaikan sengketanya 1.

b. Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and


Nationals of other States (ICSID Convention)

Konvensi Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warganegara Asing


mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment
Disputes between States and Nationals of other States) atau selanjutnya disebut
Konvensi disahkan pada tahun 1965. Latar belakang diadakannya konvensi ini
adalah untuk memenuhi kebutuhan kerjasama internasional untuk
perkembangan ekonomi dan peran penanaman modal internasional2.

Perancang Konvensi dalam hal ini menyadari bahwa sengketa antara negara
dengan penanam modal asing akan lebih tepat untuk diselesaikan dalam metode
internasional, walaupun pada umumnya sengketa mengenai penanaman modal
asing diselesaikan melalui proses hukum nasional masing-masing host state3.
Namun, dalam Konvensi menegaskan walaupun negara penandatangan
meratifikasi Konvensi ini, tidak secara otomatis mengikat negara atau
investornya itu untuk terikat kepda Konvensi. Prinsip kesepakatan tetap
disyaratkan untuk menyelesaikan suatu sengketa penanaman modal
berdasarkan ketentuan Konvensi meskipun suatu negara sudah menandatangani
dan meratifikasi Konvensi4,

Konvensi terdiri dari 10 Bab, terdiri atas 75 Pasal yang mengatur mengenai
International Centre for Settlement of Invesment Dispute, Yurisdiksi, Prosedur
Konsiliasi, Prosedur Arbitrase, Penggantian dan Diskualifikasi Konsiliator dan
Arbiter, Biaya Prosesi, Lokasi Prosesi, Perselisihan Antar Negara Peserta,
Amandemen, serta ketentuan-ketentuan lainnya.
Untuk ketentuan mengenai Arbitrase diatur dalam Konvensi Bab IV Pasal 36
sampai dengan Pasal 55. Dalam Pasal 41 Konvensi, disebutkan Pasal ini
menyatakan bahwa badan arbitrase ICSID adalah hakim untuk menentukan
kewenangannya dan Aturan hukum yang berlaku (applicable law) yang termuat
dalam Pasal 42. Pasal ini menyatakan bahwa badan arbitrase ICSID harus
memutus sengketa sesuai dengan aturan-aturan hukum yang disepakati para
pihak. Apabila tidak ada kesepakatan ini, badan arbitrase ICSID harus
menerapkan hukum dari negara peserta konvensi dan aturan-aturan hukum
internasional yang dapat diterapkan.

1
Huala Adolf, “Sengketa Penanaman Modal antara Investor Melawan Pemerintah Indonesia di Arbitrase ICSID,”
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 (2014), hlm. 431-432.
2
ICSID Convention, Preamble
3
Ibid
4
Ibid

4
Putusan arbitrase akan mengikat para pihak dan tidak akan tunduk pada banding
atau upaya hukum lainnya kecuali yang diatur dalam Konvensi ini. Masing-
masing pihak harus mematuhi dan mematuhi syarat-syarat putusan kecuali
sejauh penegakan harus tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang relevan dari Konvensi5. Setiap Negara akan mengakui suatu putusan yang
diberikan sesuai dengan Konvensi sebagai sesuatu yang mengikat dan
menegakkan kewajiban-kewajiban yang dikenakan oleh putusan itu di dalam
wilayahnya seolah-olah putusan tersebut merupakan keputusan akhir dari
pengadilan di Negara tersebut6.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan


Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 menyatakan bahwa Indonesia


menyetujui Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan
Warganegara Asing mengenai Penanaman Modal (Convention on the
Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of other
States), yang selanjutya akan disebut sebagai Konvensi. Tujuan pembuatan
Undang-Undang ini adalah sebagai pemenuhan syarat dari Konvensi tersebut
agar Indonesia dapat menggunakan fasilitas penyelesaian perselisihan melalui
Mahkamah Arbitrase ICSID.

Dalam hal penyelesaian dilakukan melalui Mahkamah Arbitrase ICSID,


Pemerintah memiliki wewenang untuk dapat menyetujui penyelesaian
perselisihan tentang penanaman modal diputuskan melalui Mahkamah
Arbitrase ICSID serta mewakili Indonesia dalam perselisihan tersebut dengan
hak subtitusi.

Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968, dijelaskan terkait dengan


pelaksanaan putusan Mahkamah Arbitrase ICSID, dimana untuk melaksanakan
putusan Mahkamah Arbitrase ICSID, diperlukan surat pernyataan dari
Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa putusan tersebut dapat
dilaksanakan. Setelah itu, Mahkamah Agung mengirimkan surat pernyataan
tersebut ke Pengadilan Negeri dalam daerah hukum mana putusan tersebut
harus dijalankan melalui Pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya meliputi
daerah hukum Pengadilan Negeri tersebut dan memerintahkan untuk
melaksanakannya.

II. Prinsip Penyelesaian Sengketa Investasi

Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal,


Penanaman Modal Asing didefinisikan sebagai sebagai suatu kegiatan menanam
modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing

5
Pasal 53 ayat (1) ICSID Convention
6
Pasal 54 ayat (1) ICSID Convention

5
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri7.
Menganalisa ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa perbuatan penanaman
modal asing sejatinya adalah suatu perikatan yang dibentuk antara Pihak Asing
dalam hal ini adalah negara asing atau investor asing dengan Pihak Pemerintah
Indonesia.

Dalam hubungan hukum tentunya dimungkinkan timbul sengketa, tidak terkecuali


pada hubungan hukum penanaman modal asing. Ketentuan mengenai penyelesaian
sengketa,yang diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman modal mengatur apabila terjadi sengketa di bidang penanaman modal
antara Pemerintah dengan penanam modal maka harus diupayakan untuk
penyelesaian secara musyawarah dan mufakat terlebih dahulu sebelum masuk ke
ranah badan peradilan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa 8. Lebih lanjut
untuk penyelesaian sengketa penanaman modal asing, Para Pihak dapat
menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus
disepakati oleh Para Pihak menyesuaikan ketentuan yang telah diatur dalam
perjanjian penanaman modal yang disepakati.

Sejalan dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang


Penanaman Modal Soernarajah menyatakan bahwa kontrak merupakan dasar
hukum untuk melaksanakan penanaman modal asing, umumnya forum
penyelesaian sengketa yang dipilih adalah arbitrase merujuk pada ICSID9.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditentukan bahwa asas dan prinsip utama
yang mendasar pada penyelesaian sengketa penanaman modal asing adalah
konsensualisme antar para pihak, dimana mekanisme penyelesaian sengketa dapat
diberlakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengacu pada ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku.

Instrumen perjanjian penanaman modal asing pada mulanya di abad ke-18 dikenal
dengan perjanjian persahabatan, perdagangan dan navigasi atau dikenal dengan
Friendship, Commerce and Navigation Agreement (FCN) yang dipraktikan oleh
negara Amerika Serikat. Paska terjadinya Perang Dunia I Pemerintah Amerika
Serikat secara sporadis mulai melakukan penanaman modal asing kepada beberapa
negara dengan menggunakan instrumen perjanjian FCN, oleh karena itu
Pemerintah Amerika Serikat mengatur ketentuan perlindungan dalam FCN yang
dibuat dengan tujuan untuk melindungi pelaksanaan penanaman modal asing
tersebut dengan lingkup perlindungan:

1) Perlindungan warga negara dan modal yang ditanamkannya dari tindakan-


tindakan merugikan oleh negara penerima;

7
Pasal 1 angka 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Lembar
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67
8
Pasal 32 (ayat) 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Lembar
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67.
9
Sornarajah, M.. The International Law on Foreign Investment. United Kingdom: Cambridge University
Press, 2010, hlm 833.

6
2) Perlunya suatu mekanisme penyeelesaian sengketa yang adil; dan
3) Perlindungan hak kekayaan intelektual.10

Seiring dengan perkembangan zaman perjanjian FCN mulai tidak diminati oleh
negara-negara lain sejak 1967 karena ketentuan perlindungan yang diatur lebih
menguntungkan negara Amerika Serikat selaku home country, menurut
Vandeverde hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya negara yang menyepakati
perjanjian FCN dengan negara Amerika Serikat11. Sejak saat mulai kurangnya
peminat untuk menggunakan instrumen perjanjian FCN sebagai dasar pelaksanaan
penanaman modal asing terbentuk Bilateral Investment Treaties (BIT) yang
mengatur ketentuan pelaksanaan penanaman modal asing dengan linkup
perlindungan yang lebih seimbang antara penanam modal asing yang dalam hal ini
adalah investor asing bersama dengan Pemerintah negara asalnya, dan negara
penerima modal atau host country.

Salah satu muatan dasar dalam BIT adalah terkait dengan klausul penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dalam hal ini badan arbitrase yang maksud adalah badan
arbitrase internasional ICSID. Trackman dan Ranieri mengemukakan bahwa
penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan salah satu prinsip utama BIT
(“Core BIT Principles’) yaitu:

“The right of the investor to submit investment dispute to international arbitration,


without need to resort to domestic court12.”

Prinsip tersebut di atas dalam pelaksanaannya dapat sedikit disimpangi dengan


ketentuan pemilihan lembaga penyelesaian sengketa diluar lembaga arbitrase
ICSID, hal ini dapat dijumpai pada BIT antara negara Argentina dengan Inggris
yang dalam klausul penyelesaian sengketanya memasukan ketentuan penyelesaian
sengketa melalui pengadilan nasionalnya terlebih dahulu, apabila kemudian Prinsip
tersebut di atas dalam pelaksanaannya dapat sedikit disimpangi dengan ketentuan
pemilihan lembaga penyelesaian sengketa diluar lembaga arbitrase ICSID, hal ini
dapat dijumpai pada BIT antara negara Argentina dengan Inggris yang dalam
klausul penyelesaian sengketanya memasukan ketentuan penyelesaian sengketa
melalui pengadilan nasionalnya terlebih dahulu, apabila kemudian putusan
pengadilan tersebut gagal penyelesaian sengketa melalui arbitrase ICSID dapat
diberlakukan13.

a. Prinsip Konsensualisme

Pada prinsipnya sengketa investasi timbul atas penyimpangan suatu perjanjian


investasi, oleh karenanya bentuk penyelesaian sengketa investasi merupakan

10
Chandrawulan, An-An., Adolf, Huala. Mekanisme penyelesaian sengketa penanaman modal. Indonesia: CV Keni
Media, 2015, hlm. 33
11
Ibid, hlm. 34
12
Ibid, hlm 49
13
Ibid, hlm 5

7
suatu hal yang diperjanjikan.

Dalam hal ini mekanisme penyelesaian sengketa yang akan ditempuh, baik
melalui lembaga peradilan host-state atau menggunakan lembaga penyelesaian
sengketa alternatif merupakan suatu kesepakatan antara Para Pihak.

b. Prinsip The Fork In The Road

Pada beberapa ketentuan penyelesaian sengketa dalam BIT diterapkan


ketentuan “the fork in the road”, yang dimaksud dengan ketentuan tersebut
adalah timbulnya choice of forum untuk penyelesaian sengketa antara lembaga
peradilan yang dilmiliki host-state atau lembaga arbitrase internasional.

Ketentuan tersebut bersifat “final”, dimana saat setelah disepakati bersama


lembaga penyelesaian mana yang akan menyelesaikan sengketa, Para Pihak
wajib untuk patuh terhadap kesepakatan tersebut.

III. Jenis-Jenis Perselisihan Investasi

Sebelum munculnya investment treaty system di tahun 1959, perusahaan


multinasional (multi-national companies/MNC) telah melakukan upaya-upaya
untuk melindungi investasinya, yang mana dasar perlindungannya adalah
berdasarkan pada struktur kontraktual yang dinegosiasikan antara MNC dengan
negara tempat investasi ditanamkan (host state) pada saat masuknya investasi dari
investor asing14. Pada masa-masa tersebut, dibutuhkan hukum yang lebih kuat
dibandingkan sekedar hukum yang diterapkan di host state mengingat hukum
domestik/lokal host state dapat dengan mudah diubah secara sepihak oleh pihak
host state yang akan merugikan kepentingan investor asing. Untuk memastikan
perlindungan kontraktual terhadap investasi dapat tercapai, maka para pihak
merujuk pada hukum internasional atau sistem hukum supranasional tertentu untuk
melindungi ketentuan yang disepakati dalam kontrak.

Sebelum abad ke 20, penyelesaian sengketa terkait kegagalan melunasi


utang/tagihan dilakukan melalui proses negosiasi dan persuasi, serta intervensi dari
militer sebagai upaya terakhir, dengan tujuan utama untuk mengamankan
pembayaran yang diperlukan15. Namun, metode intervensi militer tidak lagi
digunakan pasca perang dunia kedua dengan pertimbangan telah berakhirnya
kolonialisme dan adanya larangan menggunakan tindakan memaksa.

Secara umum, Perjanjian Investasi Antar dua negara (Bilateral Investment


Treaties/BIT) mencakup 2 (dua) mekanisme penyelesaian sengketa yakni (i)
penyelesaian sengketa antara negara yang menandatangani BIT, biasa dikenal
dengan istilah State-State Dispute Settlement (SSDS) dan (ii) penyelesaian
sengketa antara investor dari negara penandatangan BIT dengan negara lain dimana

14
M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, Cambridge University Press (2010), hlm. 276
15
Pendekatan ini sesuai dengan prinsip bahwa suatu kontrak harus di hargai (a contract must be honoured)

8
modal investasi ditanamkan investor tersebut, yang biasa dirujuk dengan istilah
Investor-State Dispute Settlement (ISDS).

a. Perselisihan Negara dengan Negara (State v State Dispute/SSDS)


Dalam berbagai BIT, perselisihan antar negara dalam sengketa investasi
biasanya didasarkan pada ketidaksepakatan para pihak terhadap interpretasi
atau penerapan dari BIT. Sebelum tahun 1969, banyak BIT yang memuat
klausul arbitrase antar negara secara ekslusif (state-state arbitration), misalnya,
BIT antara Jerman-Liberia (1961) sebagai berikut16:

Article 11
(1) Dispute concerning the interpretation or application of the present Treaty,
should, if possible, be settled by the Governments of the two contracting
parties.
(2) If a dispute cannot thus be settled, it shall upon the request of either
contracting party be submitted to an arbitral tribunal.
(3) Such arbitral tribunal shall, in each individual case, be constituted as
follows: Each contracting party shall appoint one member, and these two
members, so appointed, shall agree upon a national of a third State as their
chairman to be appointed by the Governments of the two contracting parties

Pasal 11 BIT antara Jerman-Liberia di atas secara tegas menyebutkan bahwa
sengketa terkait penafsiran atau penerapan treaty diselesaikan oleh, terlebih
dahulu, Pemerintah dari kedua negara yang merupakan pihak dalam treaty.
Apabila tidak tercapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat meminta
sengketa diselesaikan secara arbitrase.

Berdasarkan hasil studi terhadap 63 BIT yang ditandatangani oleh Indonesia,


beberapa contoh penyelesaian sengketa antar negara pihak (SSDS) adalah BIT
dengan Kanada, Prancis dan Amerika Serikat, yang mencakup hal yang sama,
yakni setiap sengketa berkaitan dengan interpretasi atau penerapan ketentuan
dalam BIT atau klaim yang muncul berdasarkan investasi yang dilindungi yang
diselesaikan secara diplomatis17. Seluruh BIT Indonesia yang mengandung
klausul SSDS menyebutkan bahwa apabila dalam suatu periode tertentu tidak
ada kesepakatan yang tercapai, maka sengketa dapat diajukan ke majelis
arbitrase ad-hoc yang terdiri atas 3 (tiga) arbiter. Klausul tersebut juga mengatur
prosedur pembentukan majelis arbitrase dan bahwa ketentuan untuk
menyelesaikan sengketa tergantung pada diskresi majelis arbitrase yang
dibentuk. Seluruh klausul terkait SSDS di BIT Indonesia menentukan bahwa
putusan majelis arbitrase adalah mengikat.

16
Bernasconi-Osterwalder, Nathalie. State-State Dispute Settlement in Investment Treaties, Canada: IISDS (2014),
hlm. 3
17
Dewi, Yetty Komalasari dan Afriansyah, Arie, Dispute Settlement Mechanism in Bilateral Investment Treaties
(BITs), Yuridika: Vol. 34 No. 1, January 2019, hlm. 155.

9
Dalam berbagai klausul yang berkaitan dengan SSDS, sengketa antar negara
dalam BIT dianggap terjadi apabila adanya perbedaan “penafsiran
(interpretation)” atau “penerapan (application)” terhadap ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam BIT. Merujuk pada UNCTAD (2003), “interpretation”
adalah penentuan arti dari ketentuan-ketentuan tertentu dari suatu perjanjian
secara kongkrit atau sesuai situasi yang diusulkan. Sedangkan “application”
berkaitan pada sejauh mana aksi atau tindakan yang diambil atau diusulkan oleh
para pihak yang berkontrak memenuhi syarat-syarat perjanjian, obyek dan
tujuannya. Baik “interpretation” maupun “application” berinteraksi erat karena
pada dasarnya, penerapan ketentuan dalam perjanjian melibatkan
penafsiran/interpretasi pihak yang berkontrak terhadap ketentuan treaty
begitupun sebaliknya, penerapan ketentuan treaty tersebut dapat menjadi suatu
interpretasi18.

Merujuk pada kasus-kasus yang terkait, setidaknya ada 3 (tiga) tipe klausul
penyelesaian sengketa antara negara dengan negara dalam suatu BIT yakni:

1) Klaim terhadap perlindungan diplomatik yang diajukan oleh home


states (negara asal investor) yang meminta ganti rugi/pemulihan
mewakili investor (diplomatic protection claims);
2) Klaim interpretatif yang mencari suatu keputusan yang dapat
menafsirkan suatu perjanjian (treaty) investasi (interpretive claims)
dan;
3) Permintaan adanya declaratory relief yang meminta penetapan bahwa
treaty telah dilanggan dengan suatu tindakan spesifik tertentu (claims
for declaratory relief)19.

Diplomatik Protection Claims


Pada hakikatnya, “diplomatic protection” atau “perlindungan diplomatik”
adalah prosedur yang dijalankan oleh negara asal investor yang diduga haknya
dilanggar (home state of the investors) untuk memberikan perlindungan
terhadap investor tersebut dan menerima ganti rugi atas tindakan yang salah
secara internasional20. Perlindungan diplomatik sebagaimana dimaksud
merupakan praktik yang umum dalam hukum kebiasaan internasional
didasarkan pada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi yakni
nasionalitas/kewarganegaraan dan pengurusan local remedies. Suatu negara
(home state) hanya dapat mengajukan klaim mewakili warga negaranya dan
tidak dapat bertindak untuk dan atas nama warga negara lain. Kendati demikian,
yang perlu dicermati adalah bahwa pengajuan klaim berdasarkan perlindungan
diplomatik oleh home state bagi investornya ini bersifat sukarela (voluntary)

18
https://unctad.org/system/files/official-document/iteiit20031_en.pdf diakses pada 23 Maret 2022
19
Roberts, A. State-to-State Investment Treaty Arbitration: A hybrid theory of interdependent rights and shared
interpretive authority, Harvard International Law Journal, 55(1), hlm. 3.
20
Pengertian perlindungan diplomatic tersebut merujuk pada the 2006 ILC Draft Articles on Diplomatic Protection
with commentaries, Yearbook of the International Law Commission, 2006, Vol. II, Part Two, hlm. 24.

10
dan tidak ada kewajiban bagi home state untuk memberikan perlindungan
diplomatik bagi investor yang merupakan warga negaranya.

Perlindungan diplomatik merupakan suatu teknik tradisional/konvensional


untuk menyelesaikan sengketa internasional yang bersumber dari
ketidaksepakatan antara negara-negara dan pihak swasta (private parties)
dalam konteks pelaksanaan perjanjian investasi. Prinsipnya adalah bahwa
metode ini menjadi diskresi dari negara asal (home state) dari subyek hukum
(biasanya adalah investor), untuk menjadikan sengketa yang bersifat privat ini
menjadi sengketa antara negara, yakni home state dengan host state yang
dituduh telah melanggar hak warga negaranya/investor tersebut21. Satu-satunya
syarat prosedural berdasarkan hukum kebiasaan internasional adalah adanya
continuity of claims (didasarkan pada kontinuitas kewarganegaraan pihak privat
yang dilanggar) dan pemenuhan local remedies.

Hukum internasional menganggap bahwa perlindungan diplomatik adalah hak


dari home state, bukan warganegaranya, dalam hal ini adalah investor yang
tengah bersengketa dengan pihak host state. Dengan kata lain, investor tidak
dapat, atas keinginan atau kehendaknya sendiri, membawa sengketa klaim
privatnya menjadi sengketa antar negara apabila tidak ada kehendak dari
negaranya (home state) untuk bertindak demikian. Istilah ini dikenal juga
dengan “espousal of claims” yakni suatu kondisi dimana home state dari
investor asing mengambil alih sengketa klaim yang awalnya merupakan
sengketa antara investor (pihak privat) dengan host state (negara tempat
investor tersebut menanamkan investinya), kemudian menjadi sengketa antar
negara yakni home state dengan host state22. Dari perspektif ICSID, para pihak
dalam Konvensi ICSID tidak secara otomatis dilarang memberikan
perlindungan diplomatiknya terhadap sengketa investasi yang melibatkan
warga negaranya berhadapan dengan negara anggota lainnya. Kendati
demikian, negara anggota ICSID dapat dilarang menjalankan hak atas
perlindungan diplomatiknya tersebut dalam hal para pihak terhadap sengketa
(investor dengan home state) telah setuju atau telah memulai proses arbitrase
berdasarkan Konvensi ICSID. Hal ini tercantum dalam Pasal 27 Ayat (1)
Konvensi ICSID yang menyebutkan:

1. No Contracting State shall give diplomatic protection, or bring an


international claim, in respect of a dispute which one of its nationals and
another Contracting State shall have submitted to arbitration under this
Convention, unless such other Contracting State shall have failed to abide
by and comply with the award rendered in such dispute.

21
Reinisch, August dan Malintoppi, Loretta, Methods of Dispute Resolution in The Oxford Handbook of
International Investment Law, Oxford University Press (2008), hlm. 1217
22
Ibid.

11
2. Diplomatic protection, for the purposes of paragraph (1), shall not include
informal diplomatic exchanges for the sole purpose of facilitating a
settlement of the dispute23.

Berdasarkan Pasal 27 Ayat (1) di atas, ketika pengajuan arbitrase telah dibuat
kepada mekanisme arbitrase ICSID, maka perlindungan diplomatik atau klaim
international dianggap di kesampingkan, kecuali dalam hal ketidakpatuhan
terhadap putusan arbitrase investor-state. Perbedaan antara frasa “international
claim” dengan “diplomatic protection” bertujuan untuk mencegah timbulnya 2
(dua) prosedur arbitrase yang berbeda yang muncul dari klaim yang sama
sebagai akibat dari keberadaan klausul state-state arbitration di banyak BIT:
Yang pertama berdasarkan ICSID, antara investor dengan host state dan yang
kedua antara dua negara yang juga berdasarkan pada dugaan pelanggaran BIT24.

Italia vs Cuba (2003)25


Salah satu contoh kongkrit klaim terhadap perlindungan diplomatik adalah
penyelesaian sengketa berdasarkan BIT Cuba-Italia (1993) dimana Italia
mengajukan dua tipe klaim yakni 1) klaim atas perlindungan diplomatik yang
menegaskan perlindungan investasi terhadap investor Italia dan 2) klaim
langsung untuk mempertahankan hak-hak substantifnya sendiri. Terhadap
klaim Italia tersebut, Cuba berargumen bahwa Italia tidak dapat mengajukan
klaim atas perlindungan diplomatik karena dalam treaty tersebut ada ketentuan
terkait penyelesaian antara investor dengan negara (investor-state settlement
provision). Majelis arbitrase kemudian memutuskan bahwa dalam hal tidak
adanya ketentuan terkait hubungan penyelesaian sengketa antara investor-state
dan state-state dalam BIT Cuba-Italia, maka home country dari investor dapat
mengajukan haknya terkait klaim perlindungan diplomatik sepanjang investor
tersebut belum setuju untuk melakukan arbitrase dengan host state maupun
mengajukan sengketa melalui forum investor-state arbitration. Majelis
beranggapan karena tidak adanya proses arbitrase antara investor dengan
negara host state yang telah berlangsung, maka Italia dapat mengajukan klaim
perlindungan diplomatik tersebut.

Untuk menjawab apakah klaim Italia tersebut diterima atau tidak, majelis
menganalisis berdasarkan pemenuhan terhadap 2 (dua) aspek yakni nasionalitas
dan pengurusan local remedies. Terhadap aspek nasionalitas, majelis hanya
mengizinkan home state dari investor untuk mengajukan klaim atas
perlindungan diplomatik sehubungan dengan kerugian (injury) yang mengarah
pada korporasi/investor tersebut. Terhadap aspek pemenuhan local remedies,
majelis menolak argument Italia bahwa klausul penyelesaian sengketa investor-
state dalam BIT Cuba-Italia telah mengenyampingkan persyaratan terkait
pemenuhan local remedies tersebut. Majelis tidak menganggap bahwa adanya

23
Pasal 27 Ayat (1) Konvensi ICSID
24
Bernasconi-Osterwalder, Nathalie, op.cit., hlm. 17
25
Kasus ini disarikan dari buku yang ditulis Nathalie Bernasconi-Osterwalder, State-State Dispute Settlement in
Investment Treaties, Canada: IISDS (2014), p. 10

12
klausul investor-state mengindikasikan bahwa negara telah
mengenyampingkan kewajiban pengurusan local remedies untuk tujuan
perlindungan diplomatik. Pada akhirnya, majelis memutuskan bahwa klaim
terkait perlindungan diplomatik tersebut ditolak.

Kasus Italia vs Cuba ini mengindikasikan bahwa ketika suatu treaty memuat
ketentuan penyelesaian sengketa baik antara state-state maupun investor-state
dan treaty tersebut tidak mengklarifikasi secara jelas hubungan antara dua
konsep tersebut, keberadaan klausul penyelesaian sengketa investor-state tidak
dapat menghalangi klaim terhadap perlindungan diplomatik berdasarkan
ketentuan penyelesaian sengketa antar negara (state-state dispute settlement
clause) sampai kasus investor-state diajukan. Kasus ini juga menjabarkan
bahwa kecuali ditentukan berbeda dalam BIT, klaim perlindungan diplomatik
berdasarkan state-state dispute settlement clause harus mematuhi persyaratan
yang sama yang diperlukan berdasarkan hukum kebiasaan internasional yakni
persyaratan terkait nasionalitas dan pengurusan local remedies.

Interpretive Claims
Definisi yang luas terkait klausul state-state dispute settlement
memperbolehkan para pihak (negara) mengajukan klaim sengketa yang timbul
atas interpretasi terhadap treaty. Penafsiran tersebut dapat dianggap baik
sebagai aturan yang bersifat umum atau klarifikasi atas ketentuan treaty yang
relevan terhadap sengketa. Klaim interpretatif ini bersifat substansial dalam
konteks pelaksanaan BIT karena dapat memunculkan ketidakpastian bagi para
pihak terkait ruang lingkup dan arti dari hak-hak dan kewajibannya, baik bagi
negara maupun bagi investor.

Ekuador vs United States (2011)26.


Awal dari kasus ini adalah adanya sengketa antara investor dengan negara yang
melibatkan Chevron (perusahaan USA) dengan Ekuador terkait interpretasi dari
ketentuan “effective means” yang mana tidak disetujui Ekuador. Pada kasus
antara investor-state ini, putusan yang dijatuhkan oleh majelis UNCITRAL
yang sifatnya menguntungkan investor, Ekuador kemudian menginisiasi state-
state arbitration melawan US berdasarkan BIT yang sama yakni BIT antara
Ekuador-US (1993). Ketidaksepakatan timbul terhadap penafsiran Pasal II (7)
BIT yang menyatakan:
“Each Party shall provide effective means of asserting claims and enforcing
rights with respect to investment, investment agreements, and investment
authorizations”.

Putusan secara parsial (partial award) dalam kasus Chevron vs. Ekuador
menyimpulkan bahwa Ekuador telah melanggar Pasal II (7) karena gagal
memfasilitasi Chevron terhadap sarana/upaya (means) dalam sistem hukum
domestiknya karena adanya penundaan yang tidak semestinya (undue delays)

26
Kasus ini disarikan dari buku yang ditulis Nathalie Bernasconi-Osterwalder, State-State Dispute Settlement in
Investment Treaties, Canada: IISDS (2014), hlm. 11-13.

13
dalam menjatuhkan putusan domestic terkait kasus Chevron. Ekuador tidak
setuju terhadap penafsiran majelis tersebut dan beberapa bulan sejak terbitnya
putusan majelis, Ekuador mengirimkan nota diplomatik kepada US yang
meminta kejelasan terkait interpretasi Pasal II (7) BIT dimana Ekuador
berargumen bahwa ketentuan BIT tersebut mencerminkan niat para pihak untuk
mencantumkan “pre-existing obligations under customary international law
relating to the prohibition against denial of justice”. Nota diplomatik ini
kemudian tidak mendapat respon dari US.

Ekuador menginisiasi proses arbitrase antar kedua negara dengan alasan bahwa
adanya sengketa dengan US berdasarkan interpretasi yang tepat terhadap Pasal
II (7) BIT dan oleh karenanya, Ekuador meminta interpretasi otoritatif dari
majelis internasional. Ekuador berdalih bahwa tujuan dari klaim state-state nya
ini bukan merupakan upaya banding terhadap putusan yang telah dijatuhkan
sebelumnya tahun 2010 melainkan untuk mendapatkan kepastian atas
kewajiban-kewajibannya berdasarkan BIT Ekuador-US. Sengketa ini memuat
beberapa pertanyaan hukum penting, termasuk apakah negara dapat
menggunakan state-state arbitration untuk menerapkan interpretasi yang pasti
terhadap klausul dalam treaty dan apakah interpretasi tersebut, dapat,
mempengaruhi status atau dampak dari putusan yang telah dijatuhkan
sebelumnya dalam konteks sengketa investor-state.

Dalam putusan finalnya terkait state-state arbitration ini, mayoritas majelis


menolak klaim terkait yurisdiksi karena majelis beranggapan tidak adanya
sengketa antara Ekuador dengan US. Untuk dapat menginisiasi adanya state-
state dispute settlement, maka harus ada sengketa terlebih dahulu27. Sedangkan
pada klaim yang diajukan Ekuador ini, US berpendapat bahwa tidak ada
sengketa yang kongkrit karena tidak adanya respon tidak dapat diartikan
sebagai perbedaan pendapat atau ketidaksepakatan terhadap interpretasi.
Mayoritas majelis setuju dengan argumentasi US dan menyatakan bahwa tidak
adanya respon dari US terhadap nota diplomatik yang dikirimkan Ekuador tidak
secara serta merta merefleksikan adanya sengketa antar negara, namun majelis
juga berpendapat bahwa apabila US tidak sepakat dengan pendapat Ekuador
terhadap interpretasi Pasal II (7) atau secara aktif mendukung putusan yang
menguntungkan Chevron, maka hal itu dapat menjadi dasar adanya sengketa
berdasarkan state-state arbitration ini. Pada faktanya, US tidak memberikan
respon apapun terhadap ketidaksetujuan Ekuador tersebut sehingga mayoritas
majelis menganggap tidak adanya sengketa. Kendati demikian, salah satu
majelis yang mewakili Ekuador menyampaikan dissenting opinion nya dimana
ia beranggapan bahwa sengketa telah terjadi karena tidak adanya respon dari
US dapat dianggap meningkatkan potensi terjadinya sengketa, karena hanya
ada 2 (dua) pilihan bagi US untuk merespon, entah itu setuju atau tidak setuju
(yang kemudian menimbulkan sengketa). Lebih lanjut, mayoritas majelis juga

27
Merujuk pada Pasal VII BIT yang menyebutkan bahwa “any dispute between the Parties concerning the
interpretation or application of the Treaty”.

14
berpendapat bahwa kasus state-state arbitration tidak dapat secara parallel
mempengaruhi investor-state case yang sudah ada terlebih dahulu.

Secara singkat, kasus Ekuador vs US ini menegaskan bahwa isu utama dalam
interpretasi state-state arbitration adalah wajib adanya “dispute/sengketa”
antara negara-negara yang berkontrak. Tidak adanya respon atau silence
measure dari salah satu pihak terhadap permintaan interpretasi yang diajukan
pihak lainnya tidaklah cukup untuk dianggap telah terjadinya sengketa. Untuk
kepastian para pihak dan menghindari keragu-raguan, perlu adanya ketentuan
dalam treaty yang secara eksplisit menegaskan bahwa silence berarti
ketidaksetujuan terhadap interpretasi yang mana hal ini dapat mengarah pada
adanya sengketa, dimana hal ini dapat menjadi dasar state-state arbitration.
Apabila dalam treaty tercantum ketentuan baik state-state arbitration maupun
investor-state arbitration, perlu juga menjelaskan secara eksplisit terkait
dampak dari prosedur state-state arbitration terhadap sengketa antara investor
dengan host state.

Claims for Declaratory Relief 28


Home state dapat meminta pernyataan bahwa tindakan host state atau tidak
adanya tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan oleh host state telah
melanggar satu atau beberapa ketentuan dalam treaty. Tidak seperti klaim
perlindungan diplomatik, klaim terhadap declaratory relief yang diajukan home
state menitikberatkan pada tujuan meminta pernyataan (bersifat bukan
uang/materi) dan tidak berfokus pada apakah investor tertentu telah mengalami
kerugian dan apakah ada kompensasi yang ditangguhkan. Dari perspektif home
state, declaratory claims memberikan kemungkinkan adanya kepastian terkait
tindakan-tindakan host state, misalnya, apabila penggugat menganggap
tindakan host state tersebut berpotensi mempengaruhi beberapa investor home
state yang berinvestasi di host state. Declaratory relief claims juga dapat
diajukan oleh pihak host state, melalui state-state mechanism, untuk
menentukan bahwa suatu tindakan telah konsisten dengan kewajibannya
berdasarkan treaty, misalnya untuk menghindari klaim dari investor di masa
depan terkait ancaman adanya investor-state arbitration.

Beberapa treaty mencantumkan aturan spesifik terkait sengketa yang bersifat


declaratory. Misalnya, treaty tersebut secara tegas menyebutkan bahwa
beberapa tindakan pemerintah tertentu, misalnya perpajakan dan finansial,
dapat diajukan melalui state-state dispute settlement mechanism dibandingkan
melalui investor-state mechanism, untuk menentukan apakah adanya
pelanggaran terhadap treaty. State-state process ini biasanya diawali dengan
adanya joint-determination procedure oleh otoritas dari negara-negara pihak.
Ketika prosedur ini tidak dapat memberi keputusan dalam batas waktu yang
telah ditentukan, salah satu pihak dapat mengajukan declaratory relief melalui
state-state arbitral process. Misalnya, Pasal 20(2) dari Canada-China foreign

28
Kasus ini disarikan dari buku yang ditulis Nathalie Bernasconi-Osterwalder, State-State Dispute Settlement in
Investment Treaties, Canada: IISDS (2014), hlm. 14-15.

15
investment promotion and protection agreement (FIPA) merujuk pada state-
state arbitral process untuk menentukan apakah sengketa yang diperselisihkan
dalam kasus investor-state merupakan tindakan finansial yang hati-hati dan
oleh karenanya memenuhi syarat sebagai suatu pengecualian dalam treaty.
Apabila para pihak gagal mencapai kesepakatan (joint-determination) dalam
waktu 60 hari, maka proses state-state arbitration dapat dimulai. Pasal 20 (2)
tersebut juga menegaskan bahwa putusan dari state-state arbitral tribunal dapat
di alihkan ke investor-state tribunal dan mengikat pada investor-state tribunal.

b. Perselisihan Investor dengan Negara (Investor v State Dispute


Resolution/ISDS)

Pada prinsipnya, Investor-State Dispute Settlement atau penyelesaian sengketa


antara investor dengan negara (host state) adalah mekanisme procedural yang
memperbolehkan seorang investor dari suatu negara untuk mengajukan klaim
sengketa secara langsung melalui prosedur arbitrase internasional terhadap host
state tempat dimana ia menanamkan investasinya. Apabila seorang investor
berinvestasi di host state, yang mana para pihak telah setuju terhadap
mekanisme ISDS, dan pada suatu waktu host state melanggar hak-hak yang
diberikan kepada investor berdasarkan hukum internasional publik, maka
investor tersebut dapat menggugat host state di forum arbitrase yang netral
dibandingkan semata-mata bergantung pada pengadilan domestik/lokal dari
host state29. Ketergantungan pada sistem hukum nasional yang digunakan
pengadilan domestik host state tersebut cenderung tidak menjadi preferensi dari
investor asing mengingat kemungkinan adanya isu imparsialitas dan non-
obyektif yang dikhawatirkan cenderung berpihak pada host state.
Ketergantungan terhadap sistem hukum domestik tersebut juga relatif
merugikan investor asing karena pihak host state dapat secara sepihak
mengubah hukum domestiknya yang memfasilitasi kepentingan nasionalnya.
Oleh karenanya, klausul ISDS dalam perjanjian investasi menjadi penting untuk
memfasilitasi adanya suatu mekanisme bagi investor asing (baik perorangan
maupun korporasi) untuk menggugat host state secara langsung di forum
arbitrase internasional terkait dugaan pelanggaran hak-haknya dalam perjanjian
investasi dengan host state. Dari perspektif host state, klausul ISDS juga
mencerminkan komitmennya dalam menghargai suatu perjanjian investasi dan,
dengan adanya jaminan tersebut, menjadi elemen yang diharapkan dapat
menarik investor asing untuk dapat berinvestasi di negaranya. Ketentuan ISDS
ini bertujuan untuk mencegah adanya state-to-state conflict, melindungi warga
negara yang berinvestasi di luar negeri dan merupakan sinyal bagi investor
potensial bahwa rule of law akan dihormati30. Tanpa adanya klausul ISDS,
investor asing harus membutuhkan intervensi dari pemerintah home state nya
(negara asal) untuk memperoleh hak-haknya yang diduga dilanggar oleh host
state.

29
https://uk.practicallaw.thomsonreuters.com/0-624-
6147?transitionType=Default&contextData=(sc.Default)&firstPage=true diakses pada 23 Maret 2022.
30
Ibid.

16
Sejak pertengahan abad ke-20, mekanisme perselisihan sengketa investasi
antara investor vs state telah berkembang cukup pesat dan dewasa ini, baik
negara host state maupun investor familier terhadap sistem ISDS tersebut. Di
tahun 2012, Organisation for Economic Cooperation and Development
(OECD) mengestimasi bahwa 93% dari BIT mengandung ketentuan terkait
ISDS. Di tahun 2020, setidaknya ada 68 kasus ISDS yang diajukan dimana
kebanyakan bersumber dari perjanjian investasi internasional yang
ditandatangani pada tahun 1990 atau sebelumnya. Sampai saat ini, tercatat 124
negara telah menjadi pihak tergugat dari satu atau lebih klaim ISDS31.

Secara harfiah, mekanisme ISDS ditujukan untuk memberikan perlindungan


hukum terhadap investor asing yang menanamkan modalnya atau berinvestasi
di negara tujuan/negara penerima investasi (host state). Pemberian
perlindungan hukum tersebut dapat dilaksanakan melalui sejumlah instrument
investasi yang disepakati antara negara asal investor (home state) dengan pihak
host state dalam bentuk BIT, perjanjian perdagangan regional, WTO, atau
bahkan melalui Undang-undang Penanaman Modal (hukum nasional) milik
host state32. Salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap investor asing
adalah dengan adanya klausul penyelesaian sengketa antara investor dengan
host state apabila terjadi sengketa berdasarkan perjanjian investasi dengan
menitikberatkan penggunaan hukum internasional melalui arbitrase
internasional.

Lembaga Penyelesaian Sengekta ISDS

Arbitrase Internasional antara investor dengan host country dalam BIT biasanya
bertempat di International Centre for Settlement of Investment Disputes
(ICSID). Secara spesifik, ICSID menangani sengketa arbitrase (melalui majelis
arbiter) dan konsiliasi (melalui komisi konsiliasi) untuk sengketa investasi
berdasarkan Konvensi ICSID. Tetapi ICSID bukan satu-satunya institusi bagi
investor untuk mengajukan klaim sengketa terhadap host country berdasarkan
BIT karena beberapa BIT memberikan opsi lain bagi investor, termasuk
arbitrase ad-hoc atau arbitrase berdasarkan Internasional Chamber of
Commerce (ICC). Sampai saat ini, sepanjang arbitrase melalui ICSID
memungkinkan, biasanya investor lebih memilih ICSID karena ketentuan untuk
menerapkan putusan arbitrase yang didasarkan pada Konvensi ICSID lebih baik
dibandingkan implementasi putusan arbitrase berdasarkan ICC dan arbitrase
internasional lainnya.33

Merujuk pada Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID, dinyatakan bahwa yurisdiksi
ICSID adalah mencakup setiap sengketa hukum yang timbul secara langsung

31
https://unctad.org/system/files/official-document/diaepcbinf2021d7_en.pdf diakses pada 23 Maret 2022
32
https://www.hukumonline.com/stories/article/lt608fe5d120ab4/investor-state-dispute-settlement-dan-sejumlah-
gugatan-yang-dihadapi-host-state/ diakses pada 23 Maret 2022
33
Komalasari, Yetty dan Afriansyah, Arie, op.cit, hlm. 156-157

17
akibat adanya investasi antara negara yang berkontrak dan nasional/warga
negara dari negara berkontrak lainnya, yang mana para pihak terhadap sengketa
telah menyetujui secara tertulis untuk menyelesaikan sengketanya di ICSID.
Apabila para pihak telah memberikan persetujuannya, maka persetujuan
tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak34. Agar sengketa investasi
memenuhi kualifikasi terkait yurisdiksi dan dapat diselesaikan di hadapan
ICSID, maka para pihak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut 35:

1. Harus adanya yurisdiksi terkait subyek permasalahan sengketa (jurisdiction


ratione materiae);
2. Harus adanya yurisdiksi berdasarkan kedudukan penggugat untuk
menggugat (jurisdiction ratione personae);
3. Harus adanya yurisdiksi berdasarkan persetujuan para pihak (jurisdiction
voluntatis); dan
4. Sengketa harus memenuhi batasan waktu dalam treaty baik yang timbul
akibat dari suatu tindakan (jurisdiction temporis).

Ruang lingkup dan cakupan dari ISDS biasanya menjelaskan tipe sengketa
mana yang dapat diselesaikan dengan mengimplementasikan mekanisme ISDS
tersebut, dan beberapa BIT menerapkan mekanisme ISDS dengan kewajiban
untuk bernegosiasi secara damai atas seluruh sengketa yang timbul antara
investor dengan host country. Dalam konteks BIT Indonesia yang cenderung
masih menggunakan pendekatan tradisional/konvensional, klausul dimaksud
biasanya direfleksikan dengan frasa “related to”, “concerned with”, “connected
to”, “arising out of” investasi dan sebagainya36.

IV. CASE STUDY (IMFA vs Indonesia)

Pada kesempatan kali ini, sengketa yang akan kami bahas adalah sengketa antara
Indian Metals & Ferro Alloys Limited (IMFA) dengan Pemerintah Indonesia,
dimana kasus ini berawal dari anak Perusahaan IMFA melakukan akuisisi 70%
Saham perusahaan tambang Indonesia (PT SRI) pada 7 Juni 2010, dimana PT SRI
menjanjikan IMFA atas Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) milik
PT SRI yang telah diperoleh dari Bupati Barito Timur, Kalimantan Tengah.
Tercatat izin tersebut diterbitkan 31 Desember 2009.

Pada April 2011, PT SRI merasa baru mengetahui bahwa wilayah dari IUP yang
dimilikinya tumpang tindih dengan tujuh perusahaan tambang lainnya. Tumpang
tindih wilayah ini meliputi wilayah dari tiga Kabupaten lainnya di provinsi yang

34
Merujuk pada terjemahan bebas dari Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID yang berbunyi sebagai berikut: “The
jurisdiction of the Centre shall extend to any legal dispute arising directly out of an investment, between a
Contracting State (or any constituent subdivision or agency of a Contracting State designated to the Centre by the
State) and a national of another Contracting State, which the parties to the dispute consent in writing to submit to the
Centre. When the parties have given their consent, no party may withdraw its consent unilaterally.”
35
M. Sornarajah, op.cit., hlm. 307
36
Komalasari, Yetty dan Afriansyah, Arie, op.cit, hlm. 159.

18
sama serta wilayah lintas provinsi dengan Kalimantan Selatan, PT SRI mengajukan
gugatan arbitrase internasional atas nama IMFA ke PCA. Forum PCA dipilih
dengan dalih perjanjian Bilateral Investment Treaty yang pernah dibuat antara
Indonesia dengan India di tahun 1999. Masalah tumpang tindih wilayah dalam IUP
OP yang diterbitkan pemerintah dianggap IMFA melanggar Pasal 9 Bilateral
Investment Treaty antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah India untuk
Promosi dan Proteksi Investasi tahun 1999. Penyelesaian sengketa dilaksanakan
pada Permanent Court of Arbitration (PCA) dengan aturan arbitrase UNCITRAL,
1976.

Setelah mempertimbangkan dengan cermat argumen Para Pihak dalam pembelaan


tertulis dan lisan mereka, dan setelah mempertimbangkan, untuk alasan yang
disebutkan di atas, Majelis Arbitrase dengan suara bulat memutuskan sebagai
berikut:

a. Menegakkan Keberatan Sementara Termohon sehubungan dengan dugaan


perbuatan yang terjadi sebelum penanaman modal Pemohon.
b. Menolak segala tuntutan Pemohon sehubungan dengan perbuatan Termohon
yang diduga terjadi setelah Penggugat melakukan investasinya.
c. Untuk menolak semua klaim untuk kerusakan dan bunga.
d. Pemohon harus membayar sejumlah US$2.975.017 dan GBP 361.247,23
kepada Termohon sehubungan dengan biaya dan pengeluaran Termohon dari
arbitrase ini.

Pandangan kami akan kasus sengketa di atas kurang lebih sama dengan yang
ditentukan oleh majelis arbitrase, dimana pada prinsipnya IMFA selaku investor
tidak melakukan kelaziman bisnis berupa legal due diligence yang cukup terkait
dengan akuisisi yang akan dilakukan terhadap PT SRI. Ketidak hati-hatian ini
berimbas pada risiko bisnis yang ditanggung oleh IMFA dan tidak berkaitan dengan
investasi yang dijamin dalam BIT antara Indonesia dengan India. Lebih jauh,
bahwa objek sengketa yang menjadi pokok permasalahan tumpang tindih IUP
IMFA berada pada ranah pengadilan Tata Usaha Negara mengenai keputusan
penerbitan izin yang ternyata tumpang tindih dengan 7 perusahaan lain. Dalil yang
diklaim IMFA bahwa Indonesia telah:
a. melakukan perlakuan diskriminatif atas investasi yang dilakukan IMFA tidak
terbukti, karena tidak adanya pembedaan penerapan hukum;
b. melakukan ekspropriasi terhadap investasi IMFA, tidak terbukti karena tidak
adanya upaya aktif dari Pemerintah untuk menggangu atau mengambil alih
bisnis/investasi yang telah dilakukan IMFA;
c. melakukan perlakuan tidak adil dan setara terhadap IMFA juga tidak terbukti
karena tumpang tindih yang terjadi juga melibatkan 7 (tujuh) perusahaan lain
dan tidak adanya keberpihakan negara terhadap salah satu perusahaan yang
tumpang tindih, melainkan sepenuhnya diserahkan kepada putusan
pengadilan berdasarkan prinsip first come first serve pada Izin Usaha
Pertambangan

19
C. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan


bahwa sengketa penanaman modal asing sudah diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yaitu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian
Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal sebagai
ratifikasi dari ICSID Convention. Terdapat dua prinsip penyelesaian sengketa penanaman
modal asing, antara lain adalah Prinsip Konsensualisme dan Prinsip The Fork in The Road.

Mayoritas BIT mencakup komitmen atau janji untuk melindungi investasi dan investor di
wilayah negara lain (host country). Perlindungan ini mencakup perlakuan yang adil, sama
dan tidak diskriminatif dalam pelaksanaan perjanjian investasi dan kewajiban lainnya
terkait dengan investasi. Yang terpenting, dalam berbagai kasus, perlindungan ini
dilengkapi dengan mekanisme arbitrase internasional yang sangat kuat yang mengizinkan
investor mengajukan klaim secara langsung terhadap host country yang dicurigai
melanggar perlindungan berdasarkan hukum internasional. Seperti negara lain, BIT yang
ditandatangani Indonesia telah berlangsung sejak 50 tahun yang lalu. Jumlah kasus yang
diajukan melalui ISDS (Investor-State dispute settlement mechanism) menunjukkan
adanya kekurangan dalam penyusunan BIT saat ini yang hanya fokus pada perlindungan
terhadap investor dibandingkan memastikan adanya keseimbangan dengan kebutuhan dari
host country. 37

Terdapat dua jenis sengketa penanaman modal asing, yaitu Perselisihan Negara dengan
Negara (State v State Dispute/SSDS) dan Perselisihan Investor dengan Negara (Investor v
State Dispute Resolution/ISDS). Untuk menyelesaikan sengketa SSDS, ada 3 (tiga) tipe
klausul penyelesaian sengketa antara negara dengan negara dalam suatu BIT yakni Klaim
terhadap perlindungan diplomatik yang diajukan oleh home states (negara asal investor)
yang meminta ganti rugi/pemulihan mewakili investor (diplomatic protection claims),
Klaim interpretatif yang mencari suatu keputusan yang dapat menafsirkan suatu perjanjian
(treaty) investasi (interpretive claims) dan Permintaan adanya declaratory relief yang
meminta penetapan bahwa treaty telah dilanggan dengan suatu tindakan spesifik tertentu
(claims for declaratory relief). Sedangkan untuk menyelesaikan sengketa ISDS dapat
dilaksanakan melalui konsiliasi maupun arbitrase internasional. Salah satu instrumen
penyelesaian sengketa penanaman modal asing dilaksanakan melalui ICSID.

37
Dewi, Yetty Komalasari dan Afriansyah, Arie, Dispute Settlement Mechanism in Bilateral Investment Treaties
(BITs), Yuridika: Vol. 34 No. 1, January 2019

20
DAFTAR PUSTAKA

• Indonesia, Undang-undang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007, LN No.67 Tahun


2007, TLN No.4724 ;
• Indonesia, Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara
Asing Mengenai Penanaman Modal, UU No.5 Tahun 1968 , LN No.32 Tahun 1968, TLN
No.2852,
• Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of
other States
• Sornarajah, M.. The International Law on Foreign Investment. United
Kingdom: Cambridge University Press, 2010
• Chandrawulan, An-An., Adolf, Huala. Mekanisme penyelesaian sengketa penanaman
modal. Indonesia: CV Keni Media, 2015
• Bernasconi-Osterwalder, Nathalie. State-State Dispute Settlement in Investment Treaties,
Canada: IISDS (2014)
• Dewi, Yetty Komalasari dan Afriansyah, Arie, Dispute Settlement Mechanism in Bilateral
Investment Treaties (BITs), Yuridika: Vol. 34 No. 1, January 2019
• Roberts, A. State-to-State Investment Treaty Arbitration: A hybrid theory of
interdependent rights and shared interpretive authority, Harvard International Law Journal,
55(1)
• Adolf, Huala, “Sengketa Penanaman Modal antara Investor Melawan Pemerintah
Indonesia di Arbitrase ICSID,” Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 (2014),
hlm. 431-432.
• https://unctad.org/system/files/official-document/iteiit20031_en.pdf diakses pada 23
Maret 2022.
• https://uk.practicallaw.thomsonreuters.com/0-624-
6147?transitionType=Default&contextData=(sc.Default)&firstPage=true diakses pada 23
Maret 2022
• https://unctad.org/system/files/official-document/diaepcbinf2021d7_en.pdf diakses pada
23 Maret 2022.
• https://www.hukumonline.com/stories/article/lt608fe5d120ab4/investor-state-dispute-
settlement-dan-sejumlah-gugatan-yang-dihadapi-host-state/ diakses pada 23 Maret 2022

21

Anda mungkin juga menyukai