MAKALAH
OLEH:
1
A. LATAR BELAKANG
2
B. PEMBAHASAN
3
ketentuan mengenai arbitrase untuk sengketa penanaman modal, investor asing
akan melihat aturan arbitrase penanaman modal yang ada di lingkup
internasional sebagai pedoman untuk menyelesaikan sengketanya 1.
Perancang Konvensi dalam hal ini menyadari bahwa sengketa antara negara
dengan penanam modal asing akan lebih tepat untuk diselesaikan dalam metode
internasional, walaupun pada umumnya sengketa mengenai penanaman modal
asing diselesaikan melalui proses hukum nasional masing-masing host state3.
Namun, dalam Konvensi menegaskan walaupun negara penandatangan
meratifikasi Konvensi ini, tidak secara otomatis mengikat negara atau
investornya itu untuk terikat kepda Konvensi. Prinsip kesepakatan tetap
disyaratkan untuk menyelesaikan suatu sengketa penanaman modal
berdasarkan ketentuan Konvensi meskipun suatu negara sudah menandatangani
dan meratifikasi Konvensi4,
Konvensi terdiri dari 10 Bab, terdiri atas 75 Pasal yang mengatur mengenai
International Centre for Settlement of Invesment Dispute, Yurisdiksi, Prosedur
Konsiliasi, Prosedur Arbitrase, Penggantian dan Diskualifikasi Konsiliator dan
Arbiter, Biaya Prosesi, Lokasi Prosesi, Perselisihan Antar Negara Peserta,
Amandemen, serta ketentuan-ketentuan lainnya.
Untuk ketentuan mengenai Arbitrase diatur dalam Konvensi Bab IV Pasal 36
sampai dengan Pasal 55. Dalam Pasal 41 Konvensi, disebutkan Pasal ini
menyatakan bahwa badan arbitrase ICSID adalah hakim untuk menentukan
kewenangannya dan Aturan hukum yang berlaku (applicable law) yang termuat
dalam Pasal 42. Pasal ini menyatakan bahwa badan arbitrase ICSID harus
memutus sengketa sesuai dengan aturan-aturan hukum yang disepakati para
pihak. Apabila tidak ada kesepakatan ini, badan arbitrase ICSID harus
menerapkan hukum dari negara peserta konvensi dan aturan-aturan hukum
internasional yang dapat diterapkan.
1
Huala Adolf, “Sengketa Penanaman Modal antara Investor Melawan Pemerintah Indonesia di Arbitrase ICSID,”
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 3 (2014), hlm. 431-432.
2
ICSID Convention, Preamble
3
Ibid
4
Ibid
4
Putusan arbitrase akan mengikat para pihak dan tidak akan tunduk pada banding
atau upaya hukum lainnya kecuali yang diatur dalam Konvensi ini. Masing-
masing pihak harus mematuhi dan mematuhi syarat-syarat putusan kecuali
sejauh penegakan harus tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang relevan dari Konvensi5. Setiap Negara akan mengakui suatu putusan yang
diberikan sesuai dengan Konvensi sebagai sesuatu yang mengikat dan
menegakkan kewajiban-kewajiban yang dikenakan oleh putusan itu di dalam
wilayahnya seolah-olah putusan tersebut merupakan keputusan akhir dari
pengadilan di Negara tersebut6.
5
Pasal 53 ayat (1) ICSID Convention
6
Pasal 54 ayat (1) ICSID Convention
5
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri7.
Menganalisa ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa perbuatan penanaman
modal asing sejatinya adalah suatu perikatan yang dibentuk antara Pihak Asing
dalam hal ini adalah negara asing atau investor asing dengan Pihak Pemerintah
Indonesia.
Instrumen perjanjian penanaman modal asing pada mulanya di abad ke-18 dikenal
dengan perjanjian persahabatan, perdagangan dan navigasi atau dikenal dengan
Friendship, Commerce and Navigation Agreement (FCN) yang dipraktikan oleh
negara Amerika Serikat. Paska terjadinya Perang Dunia I Pemerintah Amerika
Serikat secara sporadis mulai melakukan penanaman modal asing kepada beberapa
negara dengan menggunakan instrumen perjanjian FCN, oleh karena itu
Pemerintah Amerika Serikat mengatur ketentuan perlindungan dalam FCN yang
dibuat dengan tujuan untuk melindungi pelaksanaan penanaman modal asing
tersebut dengan lingkup perlindungan:
7
Pasal 1 angka 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Lembar
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67
8
Pasal 32 (ayat) 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Lembar
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67.
9
Sornarajah, M.. The International Law on Foreign Investment. United Kingdom: Cambridge University
Press, 2010, hlm 833.
6
2) Perlunya suatu mekanisme penyeelesaian sengketa yang adil; dan
3) Perlindungan hak kekayaan intelektual.10
Seiring dengan perkembangan zaman perjanjian FCN mulai tidak diminati oleh
negara-negara lain sejak 1967 karena ketentuan perlindungan yang diatur lebih
menguntungkan negara Amerika Serikat selaku home country, menurut
Vandeverde hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya negara yang menyepakati
perjanjian FCN dengan negara Amerika Serikat11. Sejak saat mulai kurangnya
peminat untuk menggunakan instrumen perjanjian FCN sebagai dasar pelaksanaan
penanaman modal asing terbentuk Bilateral Investment Treaties (BIT) yang
mengatur ketentuan pelaksanaan penanaman modal asing dengan linkup
perlindungan yang lebih seimbang antara penanam modal asing yang dalam hal ini
adalah investor asing bersama dengan Pemerintah negara asalnya, dan negara
penerima modal atau host country.
Salah satu muatan dasar dalam BIT adalah terkait dengan klausul penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dalam hal ini badan arbitrase yang maksud adalah badan
arbitrase internasional ICSID. Trackman dan Ranieri mengemukakan bahwa
penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan salah satu prinsip utama BIT
(“Core BIT Principles’) yaitu:
a. Prinsip Konsensualisme
10
Chandrawulan, An-An., Adolf, Huala. Mekanisme penyelesaian sengketa penanaman modal. Indonesia: CV Keni
Media, 2015, hlm. 33
11
Ibid, hlm. 34
12
Ibid, hlm 49
13
Ibid, hlm 5
7
suatu hal yang diperjanjikan.
Dalam hal ini mekanisme penyelesaian sengketa yang akan ditempuh, baik
melalui lembaga peradilan host-state atau menggunakan lembaga penyelesaian
sengketa alternatif merupakan suatu kesepakatan antara Para Pihak.
14
M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, Cambridge University Press (2010), hlm. 276
15
Pendekatan ini sesuai dengan prinsip bahwa suatu kontrak harus di hargai (a contract must be honoured)
8
modal investasi ditanamkan investor tersebut, yang biasa dirujuk dengan istilah
Investor-State Dispute Settlement (ISDS).
Article 11
(1) Dispute concerning the interpretation or application of the present Treaty,
should, if possible, be settled by the Governments of the two contracting
parties.
(2) If a dispute cannot thus be settled, it shall upon the request of either
contracting party be submitted to an arbitral tribunal.
(3) Such arbitral tribunal shall, in each individual case, be constituted as
follows: Each contracting party shall appoint one member, and these two
members, so appointed, shall agree upon a national of a third State as their
chairman to be appointed by the Governments of the two contracting parties
…
Pasal 11 BIT antara Jerman-Liberia di atas secara tegas menyebutkan bahwa
sengketa terkait penafsiran atau penerapan treaty diselesaikan oleh, terlebih
dahulu, Pemerintah dari kedua negara yang merupakan pihak dalam treaty.
Apabila tidak tercapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat meminta
sengketa diselesaikan secara arbitrase.
16
Bernasconi-Osterwalder, Nathalie. State-State Dispute Settlement in Investment Treaties, Canada: IISDS (2014),
hlm. 3
17
Dewi, Yetty Komalasari dan Afriansyah, Arie, Dispute Settlement Mechanism in Bilateral Investment Treaties
(BITs), Yuridika: Vol. 34 No. 1, January 2019, hlm. 155.
9
Dalam berbagai klausul yang berkaitan dengan SSDS, sengketa antar negara
dalam BIT dianggap terjadi apabila adanya perbedaan “penafsiran
(interpretation)” atau “penerapan (application)” terhadap ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam BIT. Merujuk pada UNCTAD (2003), “interpretation”
adalah penentuan arti dari ketentuan-ketentuan tertentu dari suatu perjanjian
secara kongkrit atau sesuai situasi yang diusulkan. Sedangkan “application”
berkaitan pada sejauh mana aksi atau tindakan yang diambil atau diusulkan oleh
para pihak yang berkontrak memenuhi syarat-syarat perjanjian, obyek dan
tujuannya. Baik “interpretation” maupun “application” berinteraksi erat karena
pada dasarnya, penerapan ketentuan dalam perjanjian melibatkan
penafsiran/interpretasi pihak yang berkontrak terhadap ketentuan treaty
begitupun sebaliknya, penerapan ketentuan treaty tersebut dapat menjadi suatu
interpretasi18.
Merujuk pada kasus-kasus yang terkait, setidaknya ada 3 (tiga) tipe klausul
penyelesaian sengketa antara negara dengan negara dalam suatu BIT yakni:
18
https://unctad.org/system/files/official-document/iteiit20031_en.pdf diakses pada 23 Maret 2022
19
Roberts, A. State-to-State Investment Treaty Arbitration: A hybrid theory of interdependent rights and shared
interpretive authority, Harvard International Law Journal, 55(1), hlm. 3.
20
Pengertian perlindungan diplomatic tersebut merujuk pada the 2006 ILC Draft Articles on Diplomatic Protection
with commentaries, Yearbook of the International Law Commission, 2006, Vol. II, Part Two, hlm. 24.
10
dan tidak ada kewajiban bagi home state untuk memberikan perlindungan
diplomatik bagi investor yang merupakan warga negaranya.
21
Reinisch, August dan Malintoppi, Loretta, Methods of Dispute Resolution in The Oxford Handbook of
International Investment Law, Oxford University Press (2008), hlm. 1217
22
Ibid.
11
2. Diplomatic protection, for the purposes of paragraph (1), shall not include
informal diplomatic exchanges for the sole purpose of facilitating a
settlement of the dispute23.
Berdasarkan Pasal 27 Ayat (1) di atas, ketika pengajuan arbitrase telah dibuat
kepada mekanisme arbitrase ICSID, maka perlindungan diplomatik atau klaim
international dianggap di kesampingkan, kecuali dalam hal ketidakpatuhan
terhadap putusan arbitrase investor-state. Perbedaan antara frasa “international
claim” dengan “diplomatic protection” bertujuan untuk mencegah timbulnya 2
(dua) prosedur arbitrase yang berbeda yang muncul dari klaim yang sama
sebagai akibat dari keberadaan klausul state-state arbitration di banyak BIT:
Yang pertama berdasarkan ICSID, antara investor dengan host state dan yang
kedua antara dua negara yang juga berdasarkan pada dugaan pelanggaran BIT24.
Untuk menjawab apakah klaim Italia tersebut diterima atau tidak, majelis
menganalisis berdasarkan pemenuhan terhadap 2 (dua) aspek yakni nasionalitas
dan pengurusan local remedies. Terhadap aspek nasionalitas, majelis hanya
mengizinkan home state dari investor untuk mengajukan klaim atas
perlindungan diplomatik sehubungan dengan kerugian (injury) yang mengarah
pada korporasi/investor tersebut. Terhadap aspek pemenuhan local remedies,
majelis menolak argument Italia bahwa klausul penyelesaian sengketa investor-
state dalam BIT Cuba-Italia telah mengenyampingkan persyaratan terkait
pemenuhan local remedies tersebut. Majelis tidak menganggap bahwa adanya
23
Pasal 27 Ayat (1) Konvensi ICSID
24
Bernasconi-Osterwalder, Nathalie, op.cit., hlm. 17
25
Kasus ini disarikan dari buku yang ditulis Nathalie Bernasconi-Osterwalder, State-State Dispute Settlement in
Investment Treaties, Canada: IISDS (2014), p. 10
12
klausul investor-state mengindikasikan bahwa negara telah
mengenyampingkan kewajiban pengurusan local remedies untuk tujuan
perlindungan diplomatik. Pada akhirnya, majelis memutuskan bahwa klaim
terkait perlindungan diplomatik tersebut ditolak.
Kasus Italia vs Cuba ini mengindikasikan bahwa ketika suatu treaty memuat
ketentuan penyelesaian sengketa baik antara state-state maupun investor-state
dan treaty tersebut tidak mengklarifikasi secara jelas hubungan antara dua
konsep tersebut, keberadaan klausul penyelesaian sengketa investor-state tidak
dapat menghalangi klaim terhadap perlindungan diplomatik berdasarkan
ketentuan penyelesaian sengketa antar negara (state-state dispute settlement
clause) sampai kasus investor-state diajukan. Kasus ini juga menjabarkan
bahwa kecuali ditentukan berbeda dalam BIT, klaim perlindungan diplomatik
berdasarkan state-state dispute settlement clause harus mematuhi persyaratan
yang sama yang diperlukan berdasarkan hukum kebiasaan internasional yakni
persyaratan terkait nasionalitas dan pengurusan local remedies.
Interpretive Claims
Definisi yang luas terkait klausul state-state dispute settlement
memperbolehkan para pihak (negara) mengajukan klaim sengketa yang timbul
atas interpretasi terhadap treaty. Penafsiran tersebut dapat dianggap baik
sebagai aturan yang bersifat umum atau klarifikasi atas ketentuan treaty yang
relevan terhadap sengketa. Klaim interpretatif ini bersifat substansial dalam
konteks pelaksanaan BIT karena dapat memunculkan ketidakpastian bagi para
pihak terkait ruang lingkup dan arti dari hak-hak dan kewajibannya, baik bagi
negara maupun bagi investor.
Putusan secara parsial (partial award) dalam kasus Chevron vs. Ekuador
menyimpulkan bahwa Ekuador telah melanggar Pasal II (7) karena gagal
memfasilitasi Chevron terhadap sarana/upaya (means) dalam sistem hukum
domestiknya karena adanya penundaan yang tidak semestinya (undue delays)
26
Kasus ini disarikan dari buku yang ditulis Nathalie Bernasconi-Osterwalder, State-State Dispute Settlement in
Investment Treaties, Canada: IISDS (2014), hlm. 11-13.
13
dalam menjatuhkan putusan domestic terkait kasus Chevron. Ekuador tidak
setuju terhadap penafsiran majelis tersebut dan beberapa bulan sejak terbitnya
putusan majelis, Ekuador mengirimkan nota diplomatik kepada US yang
meminta kejelasan terkait interpretasi Pasal II (7) BIT dimana Ekuador
berargumen bahwa ketentuan BIT tersebut mencerminkan niat para pihak untuk
mencantumkan “pre-existing obligations under customary international law
relating to the prohibition against denial of justice”. Nota diplomatik ini
kemudian tidak mendapat respon dari US.
Ekuador menginisiasi proses arbitrase antar kedua negara dengan alasan bahwa
adanya sengketa dengan US berdasarkan interpretasi yang tepat terhadap Pasal
II (7) BIT dan oleh karenanya, Ekuador meminta interpretasi otoritatif dari
majelis internasional. Ekuador berdalih bahwa tujuan dari klaim state-state nya
ini bukan merupakan upaya banding terhadap putusan yang telah dijatuhkan
sebelumnya tahun 2010 melainkan untuk mendapatkan kepastian atas
kewajiban-kewajibannya berdasarkan BIT Ekuador-US. Sengketa ini memuat
beberapa pertanyaan hukum penting, termasuk apakah negara dapat
menggunakan state-state arbitration untuk menerapkan interpretasi yang pasti
terhadap klausul dalam treaty dan apakah interpretasi tersebut, dapat,
mempengaruhi status atau dampak dari putusan yang telah dijatuhkan
sebelumnya dalam konteks sengketa investor-state.
27
Merujuk pada Pasal VII BIT yang menyebutkan bahwa “any dispute between the Parties concerning the
interpretation or application of the Treaty”.
14
berpendapat bahwa kasus state-state arbitration tidak dapat secara parallel
mempengaruhi investor-state case yang sudah ada terlebih dahulu.
Secara singkat, kasus Ekuador vs US ini menegaskan bahwa isu utama dalam
interpretasi state-state arbitration adalah wajib adanya “dispute/sengketa”
antara negara-negara yang berkontrak. Tidak adanya respon atau silence
measure dari salah satu pihak terhadap permintaan interpretasi yang diajukan
pihak lainnya tidaklah cukup untuk dianggap telah terjadinya sengketa. Untuk
kepastian para pihak dan menghindari keragu-raguan, perlu adanya ketentuan
dalam treaty yang secara eksplisit menegaskan bahwa silence berarti
ketidaksetujuan terhadap interpretasi yang mana hal ini dapat mengarah pada
adanya sengketa, dimana hal ini dapat menjadi dasar state-state arbitration.
Apabila dalam treaty tercantum ketentuan baik state-state arbitration maupun
investor-state arbitration, perlu juga menjelaskan secara eksplisit terkait
dampak dari prosedur state-state arbitration terhadap sengketa antara investor
dengan host state.
28
Kasus ini disarikan dari buku yang ditulis Nathalie Bernasconi-Osterwalder, State-State Dispute Settlement in
Investment Treaties, Canada: IISDS (2014), hlm. 14-15.
15
investment promotion and protection agreement (FIPA) merujuk pada state-
state arbitral process untuk menentukan apakah sengketa yang diperselisihkan
dalam kasus investor-state merupakan tindakan finansial yang hati-hati dan
oleh karenanya memenuhi syarat sebagai suatu pengecualian dalam treaty.
Apabila para pihak gagal mencapai kesepakatan (joint-determination) dalam
waktu 60 hari, maka proses state-state arbitration dapat dimulai. Pasal 20 (2)
tersebut juga menegaskan bahwa putusan dari state-state arbitral tribunal dapat
di alihkan ke investor-state tribunal dan mengikat pada investor-state tribunal.
29
https://uk.practicallaw.thomsonreuters.com/0-624-
6147?transitionType=Default&contextData=(sc.Default)&firstPage=true diakses pada 23 Maret 2022.
30
Ibid.
16
Sejak pertengahan abad ke-20, mekanisme perselisihan sengketa investasi
antara investor vs state telah berkembang cukup pesat dan dewasa ini, baik
negara host state maupun investor familier terhadap sistem ISDS tersebut. Di
tahun 2012, Organisation for Economic Cooperation and Development
(OECD) mengestimasi bahwa 93% dari BIT mengandung ketentuan terkait
ISDS. Di tahun 2020, setidaknya ada 68 kasus ISDS yang diajukan dimana
kebanyakan bersumber dari perjanjian investasi internasional yang
ditandatangani pada tahun 1990 atau sebelumnya. Sampai saat ini, tercatat 124
negara telah menjadi pihak tergugat dari satu atau lebih klaim ISDS31.
Arbitrase Internasional antara investor dengan host country dalam BIT biasanya
bertempat di International Centre for Settlement of Investment Disputes
(ICSID). Secara spesifik, ICSID menangani sengketa arbitrase (melalui majelis
arbiter) dan konsiliasi (melalui komisi konsiliasi) untuk sengketa investasi
berdasarkan Konvensi ICSID. Tetapi ICSID bukan satu-satunya institusi bagi
investor untuk mengajukan klaim sengketa terhadap host country berdasarkan
BIT karena beberapa BIT memberikan opsi lain bagi investor, termasuk
arbitrase ad-hoc atau arbitrase berdasarkan Internasional Chamber of
Commerce (ICC). Sampai saat ini, sepanjang arbitrase melalui ICSID
memungkinkan, biasanya investor lebih memilih ICSID karena ketentuan untuk
menerapkan putusan arbitrase yang didasarkan pada Konvensi ICSID lebih baik
dibandingkan implementasi putusan arbitrase berdasarkan ICC dan arbitrase
internasional lainnya.33
Merujuk pada Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID, dinyatakan bahwa yurisdiksi
ICSID adalah mencakup setiap sengketa hukum yang timbul secara langsung
31
https://unctad.org/system/files/official-document/diaepcbinf2021d7_en.pdf diakses pada 23 Maret 2022
32
https://www.hukumonline.com/stories/article/lt608fe5d120ab4/investor-state-dispute-settlement-dan-sejumlah-
gugatan-yang-dihadapi-host-state/ diakses pada 23 Maret 2022
33
Komalasari, Yetty dan Afriansyah, Arie, op.cit, hlm. 156-157
17
akibat adanya investasi antara negara yang berkontrak dan nasional/warga
negara dari negara berkontrak lainnya, yang mana para pihak terhadap sengketa
telah menyetujui secara tertulis untuk menyelesaikan sengketanya di ICSID.
Apabila para pihak telah memberikan persetujuannya, maka persetujuan
tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak34. Agar sengketa investasi
memenuhi kualifikasi terkait yurisdiksi dan dapat diselesaikan di hadapan
ICSID, maka para pihak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut 35:
Ruang lingkup dan cakupan dari ISDS biasanya menjelaskan tipe sengketa
mana yang dapat diselesaikan dengan mengimplementasikan mekanisme ISDS
tersebut, dan beberapa BIT menerapkan mekanisme ISDS dengan kewajiban
untuk bernegosiasi secara damai atas seluruh sengketa yang timbul antara
investor dengan host country. Dalam konteks BIT Indonesia yang cenderung
masih menggunakan pendekatan tradisional/konvensional, klausul dimaksud
biasanya direfleksikan dengan frasa “related to”, “concerned with”, “connected
to”, “arising out of” investasi dan sebagainya36.
Pada kesempatan kali ini, sengketa yang akan kami bahas adalah sengketa antara
Indian Metals & Ferro Alloys Limited (IMFA) dengan Pemerintah Indonesia,
dimana kasus ini berawal dari anak Perusahaan IMFA melakukan akuisisi 70%
Saham perusahaan tambang Indonesia (PT SRI) pada 7 Juni 2010, dimana PT SRI
menjanjikan IMFA atas Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) milik
PT SRI yang telah diperoleh dari Bupati Barito Timur, Kalimantan Tengah.
Tercatat izin tersebut diterbitkan 31 Desember 2009.
Pada April 2011, PT SRI merasa baru mengetahui bahwa wilayah dari IUP yang
dimilikinya tumpang tindih dengan tujuh perusahaan tambang lainnya. Tumpang
tindih wilayah ini meliputi wilayah dari tiga Kabupaten lainnya di provinsi yang
34
Merujuk pada terjemahan bebas dari Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID yang berbunyi sebagai berikut: “The
jurisdiction of the Centre shall extend to any legal dispute arising directly out of an investment, between a
Contracting State (or any constituent subdivision or agency of a Contracting State designated to the Centre by the
State) and a national of another Contracting State, which the parties to the dispute consent in writing to submit to the
Centre. When the parties have given their consent, no party may withdraw its consent unilaterally.”
35
M. Sornarajah, op.cit., hlm. 307
36
Komalasari, Yetty dan Afriansyah, Arie, op.cit, hlm. 159.
18
sama serta wilayah lintas provinsi dengan Kalimantan Selatan, PT SRI mengajukan
gugatan arbitrase internasional atas nama IMFA ke PCA. Forum PCA dipilih
dengan dalih perjanjian Bilateral Investment Treaty yang pernah dibuat antara
Indonesia dengan India di tahun 1999. Masalah tumpang tindih wilayah dalam IUP
OP yang diterbitkan pemerintah dianggap IMFA melanggar Pasal 9 Bilateral
Investment Treaty antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah India untuk
Promosi dan Proteksi Investasi tahun 1999. Penyelesaian sengketa dilaksanakan
pada Permanent Court of Arbitration (PCA) dengan aturan arbitrase UNCITRAL,
1976.
Pandangan kami akan kasus sengketa di atas kurang lebih sama dengan yang
ditentukan oleh majelis arbitrase, dimana pada prinsipnya IMFA selaku investor
tidak melakukan kelaziman bisnis berupa legal due diligence yang cukup terkait
dengan akuisisi yang akan dilakukan terhadap PT SRI. Ketidak hati-hatian ini
berimbas pada risiko bisnis yang ditanggung oleh IMFA dan tidak berkaitan dengan
investasi yang dijamin dalam BIT antara Indonesia dengan India. Lebih jauh,
bahwa objek sengketa yang menjadi pokok permasalahan tumpang tindih IUP
IMFA berada pada ranah pengadilan Tata Usaha Negara mengenai keputusan
penerbitan izin yang ternyata tumpang tindih dengan 7 perusahaan lain. Dalil yang
diklaim IMFA bahwa Indonesia telah:
a. melakukan perlakuan diskriminatif atas investasi yang dilakukan IMFA tidak
terbukti, karena tidak adanya pembedaan penerapan hukum;
b. melakukan ekspropriasi terhadap investasi IMFA, tidak terbukti karena tidak
adanya upaya aktif dari Pemerintah untuk menggangu atau mengambil alih
bisnis/investasi yang telah dilakukan IMFA;
c. melakukan perlakuan tidak adil dan setara terhadap IMFA juga tidak terbukti
karena tumpang tindih yang terjadi juga melibatkan 7 (tujuh) perusahaan lain
dan tidak adanya keberpihakan negara terhadap salah satu perusahaan yang
tumpang tindih, melainkan sepenuhnya diserahkan kepada putusan
pengadilan berdasarkan prinsip first come first serve pada Izin Usaha
Pertambangan
19
C. PENUTUP
Mayoritas BIT mencakup komitmen atau janji untuk melindungi investasi dan investor di
wilayah negara lain (host country). Perlindungan ini mencakup perlakuan yang adil, sama
dan tidak diskriminatif dalam pelaksanaan perjanjian investasi dan kewajiban lainnya
terkait dengan investasi. Yang terpenting, dalam berbagai kasus, perlindungan ini
dilengkapi dengan mekanisme arbitrase internasional yang sangat kuat yang mengizinkan
investor mengajukan klaim secara langsung terhadap host country yang dicurigai
melanggar perlindungan berdasarkan hukum internasional. Seperti negara lain, BIT yang
ditandatangani Indonesia telah berlangsung sejak 50 tahun yang lalu. Jumlah kasus yang
diajukan melalui ISDS (Investor-State dispute settlement mechanism) menunjukkan
adanya kekurangan dalam penyusunan BIT saat ini yang hanya fokus pada perlindungan
terhadap investor dibandingkan memastikan adanya keseimbangan dengan kebutuhan dari
host country. 37
Terdapat dua jenis sengketa penanaman modal asing, yaitu Perselisihan Negara dengan
Negara (State v State Dispute/SSDS) dan Perselisihan Investor dengan Negara (Investor v
State Dispute Resolution/ISDS). Untuk menyelesaikan sengketa SSDS, ada 3 (tiga) tipe
klausul penyelesaian sengketa antara negara dengan negara dalam suatu BIT yakni Klaim
terhadap perlindungan diplomatik yang diajukan oleh home states (negara asal investor)
yang meminta ganti rugi/pemulihan mewakili investor (diplomatic protection claims),
Klaim interpretatif yang mencari suatu keputusan yang dapat menafsirkan suatu perjanjian
(treaty) investasi (interpretive claims) dan Permintaan adanya declaratory relief yang
meminta penetapan bahwa treaty telah dilanggan dengan suatu tindakan spesifik tertentu
(claims for declaratory relief). Sedangkan untuk menyelesaikan sengketa ISDS dapat
dilaksanakan melalui konsiliasi maupun arbitrase internasional. Salah satu instrumen
penyelesaian sengketa penanaman modal asing dilaksanakan melalui ICSID.
37
Dewi, Yetty Komalasari dan Afriansyah, Arie, Dispute Settlement Mechanism in Bilateral Investment Treaties
(BITs), Yuridika: Vol. 34 No. 1, January 2019
20
DAFTAR PUSTAKA
21