Anda di halaman 1dari 35

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengaturan Zona Laut Menurut UNCLOS 1982

1. Laut Territorial

Pasal 1, 2, dan 3 UNCLOS 1982 menegaskan status hukum laut

territorial, ruang udara di atas laut territorial dan dasar laut serta tanah di

bawahnya. Singkatnya, semua itu merupakan bagian dari wilayah laut negara

pantai, dan oleh karena itu, tunduk pada kedaulatan negara pantai

tersebut.Dalam hal suatu negara merupakan negara kepulauan (archipelagic

states), wilayahnya dan juga kedaulatannya meliputi juga perairan

kepulauannya (archipelagic waters). Namun pelaksanaan kedaulatannya itu

harus tunduk pada ketentuan konvensi dan peraturan hukum internasional

lainnya. Pasal 2 ayat 1, 2, dan 3 ini sebenarnya sejiwa dengan pasal 1 ayat 1

dan 2 serta pasal 2 konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan dari

konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, hanya saja formulasinya lebih tegas dan

rinci.29

Pasal 2 UNCLOS 1982berbunyi :30

1) Kedaulatan suatu negara pantai, serta wilayah daratan dan perairan


pedalamannya, dan dalam hal suatu negara kepulauan dengan perairan
kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan
dengannya yang dinamakan laut teritorial

29
IWayanParthiana, Hukum LautInternasionaldanHukum LautIndonesia,op.cit.,hal. 69
30
United Nation Convention on the Law of the Sea, pasal 2
21

2) Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas serta dasar laut dan lapisan
tanah di bawahnya
3) Kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan tunduk pada
Konvensi ini dan peraturan-peraturan lainnya dari hukum
internasional.
Tentu saja, pengaturan tersebut pada awalnya mendatangkan keberatan

dari beberapa maritime user state. Keberatan mereka pada prinsipnya

berkenaan dengan hak pelayaran bebas (freedom of navigation) yang selama

ini mereka lakukan di wilayah perairan yang sebelumnya merupakan laut

bebas menjadi laut territorial suatu negara.31

Laut Territorial adalah laut selebar maksimum 12 (dua belas) mil laut

diukur dari garis pangkal. Hal ini ditegaskan dalam pasal 3 UNCLOS 1982

bahwa setiap negara berhak menetapkan laut territorialnya hingga suatu batas

yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan

sesuai konvensi. Ketentuan ini secara tegas membatasi maksimum lebar laut

territorial yang dapat diklaim negara-negara, yakni 12 mil laut. Negara secara

jelas tidak diperbolehkan mengklaim lebar laut territorial melebihi dari batas

12 mil laut, tetapi sebaliknya, boleh saja kurang dari 12 mil. Dalam praktik,

tentu saja tidak ada negara yang mengklaim lebar laut territorial kurang dari

12 mil laut kecuali karena alasan letak geografis negara-negara itu sendiri

yang tidak memungkinkan mengklaim lebar laut territorial sampai batas

maksimum.Sebagai contoh, Singapura sebagai sebuah negara pulau yang

31
Dhianapuspitawati,Hukum LautIndonesia,Kencana,Depok,2017,hal.53.
22

wilayahnya secara geografis di kelilingi oleh wilayah Indonesia dan Malaysia

dan lebar laut disekelilingnya kurang dari dua kali dua belas (2×12) mil laut.32

Lebar laut territorial diukur dari garis pangkal (baseline). Secara singkat

dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan garis pangkal adalah garis

(imajiner) yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut. Dari garis

pangkal inilah lebar laut territorial negara pantai diukur dengan menarik garis

tegak lurus dari titik-titik pada garis pangkal tersebut ke arah luar dalam

ukuran yang sesuai dengan lebar laut territorial dari negara yang

bersangkutan. Titik-titik yang membentuk garis yang merupakan batas luar

dari laut territorial, sisi garis atau batas luar (outer limit) dari laut territorial.33

Secara garis besar UNCLOS 1982 mengenal 3 (tiga) macam garis

pangkal yang disesuaikan dengan kondisi geografis yang mungkin pada

negara-negara berpantai di dunia. Adapun 3 (tiga) macam garis pangkal itu

meliputi :

1) Garis Pangkal Normal (Normal Baseline)

Garis pangkal Normal merupakan garis pangkal yang secara historis dan

tradisional sudah dikenal sejak permulaan lahir dan berkembangnya pranata

hukum laut yang berupa laut lepas dan laut territorial, bahkan garis pangkal

normal masih diakui hingga kini.34

32
IWayanParthiana,Hukum LautInternasionaldanHukum LautIndonesia,Op.,Cit., hal. 72
33
Ibid,hal.73
34
Ibid.,hal. 74.
23

Garis Pangkal Normal (Normal Baseline) adalah garis pangkal yang

ditarik dari pantai pada saat air laut surut dengan mengikut lekukan-lekukan

pantai. Dengan demikian, arah dari garis pangkal normal sejajar dengan arah

atau lekukan pantai tersebut. Untuk menentukan dan mengukur lebar laut

teritorial, ditarik garis tegak lurus dari garis pangkal normal ke arah luar/laut

sesuai dengan lebar laut teritorial masing-masing Negara. Titik-titik atau garis

pada bagian luar itulah yang disebut dengan garis luar atau batas luar (outer

limit) laut teritorial. Garis luar atau batas luar ini merupakan garis yang selalu

sejajar dengan garis pangkal, karena ditarik pada titik-titik yang ada pada garis

pangkal secara tegak lurus ke arah luar/laut. Dalam sejarah pengukuran lebar

laut teritorial, garis pangkal ini merupakan garis pangkal normal (Normal

Baseline) tertua.
24

Keterangan Gambar :
_._._._._ : garis pangkal normal
...................... :garis atau batas luar (outer limit)

Gambar 1Garis Pangkal Normal35

2) Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline)

Garis Pangkal Lurus merupakan garis pangkal yang ditarik di pantai pada

saat air laut surut, dengan menghubungkan titik-titik atau ujung-ujung terluar

dari pantai. Oleh sebab itu metode ini disebut juga dengan Garis Pangkal

Lurus Ujung ke Ujung (Straight Base Line Point to Point). Penarikan Garis

Pangkal Lurus dilakukan pada pantai-pantai yang berliku atau jika di depan

pantai tersebut terdapat pulau, deretan pulau atau gugusan pulau.

DalamUNCLOS 1958 maupun UNCLOS 1982Garis Pangkal Lurus

(Straight Baseline) digunakan sebagai salah satu garis pangkal yang dapat

35
Garis pangkal Normal diakses dari http://www.sangkoeno.com/2014/10/garis-pangkal-
baseline.html?=1 pada tanggal 02 september 2020 pukul 00:41 WIT
25

diterapkan dalam pengukuran lebar laut teritorial selain Garis Pangkal

Normal.

Keterangan gambar :
 Garis AB,CD,EF,GH dan IJ adalah garis pangkal lurus dari ujung ke
ujung
 Garis OA,BC,DE,FG,HI dan JK adalah garis pangkal normal

Gambar 2GarisPangkal Lurus Dari Ujung Ke Ujung36

Namun demikian dalam implementasinya, penggunaan Garis Pangkal

Lurus terdapat pembatasan-pembatasan sebagai berikut:37

(a) Penarikan Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline) tidak boleh

menyimpang terlalu jauh dari arah umum pantai, kecuali karena alasan-alasan

hak-hak sejarah (historis right) dan hak-hak ekonomi (economic right) yang

memang sudah dinikmati jauh sebelumnya oleh negara yang bersangkutan;

(b) Bagian-bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari Garis Pangkal

Lurus harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat ditundukkan

pada rezim perairan pedalaman (internal water);

36
Garis Pangkal Lurus Dari Ujung Ke Ujung, Op.,cit
37
Dhiana Puspitawati, Hukum LautInternasional,Op.,cit.,hal. 42
26

(c) Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline) tidak boleh ditarik dari

elevasi surut (low tide elevation),38 kecuali jika di atas elevasi surut tersebut

didirikan mercusuar atau instalasi yang serupa yang secara permanen selalu

tampak di atas permukaan air laut;

(d) Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline) tidak boleh diterapkan

dengan cara sedemikian rupa sehingga memotong hubungan laut teritorial

negara lain dari laut lepas atau ZEE.

3) Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baseline)

Garis Pangkal Kepulauan mulai dipergunakan sebagai salah satu cara

untuk pengukuran laut teritorial mulai diberlakukan sejak

ditandatanganinyaUNCLOS 1982, yang secara tegas tertuang dalam Pasal 46-

54 UNCLOS 1982. Menurut TALOS sebagaimana dikutip oleh Arsana39,

Garis Pangkal Kepulauan ditarik untuk menghubungkan titik terluar dari

pulau terluar dan karangdalam sebuah kepulauan.

38
ElevasiSurut(LowTideElevation)adalahbagiandasarlautyangtampakdiperukaanairlautpa
dasaatairlautsurut,tetapitidaktampak(beradadibawahperukaanairlaut)padasaatairlautpasangatau
normal
39
I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara (Sebuah Tinjauan Teknis dan
Yuridis),loc,cit., hal.16
27

Keterangan Gambar :
Negara Kepulauan (Archipelagic State)
Garis AB,CD,EF,GH Adalah Garis Pangkal kepulauan

Gambar 3 Garis Pangkal Kepulauan40

Dalam implementasinya, penggunaan Garis Pangkal Kepulauan menurut

Pasal 47 UNCLOS 1982 harus memenuhi 4 (empat) syarat sebagai berikut:

(1) Seluruh daratan utama dari negara yang bersangkutan harus menjadi

bagian dari sistem Garis Pangkal Kepulauan;

(2) Perbandingan antara luas perairan dan daratan di dalam sistem garis

pangkal harus berkisar antara 1:1 dan 9:1;

(3) Panjang segmen Garis Pangkal Kepulauan tidak boleh melebihi 100

mil laut, kecuali hingga 3 persen dari keseluruhan jumlah garis pangkal

meliputi suatu negara kepulauan boleh melebihi 100 mil laut hingga panjang

maksimum 125 mil laut;

40
Garis Pangkal Kepulauan diakses dari
https//personalausstatung.wordpree.com/2012/02/04/paper-hukum-internasional/amp/ pada tanggal
03 september 2020 pukul 01:12 WIT
28

(4) Arah Garis Pangkal Kepulauan yang ditentukan tidak boleh menjauh

dari konfigurasi umum kepulauan.

Penggunaan Garis Pangkal Kepulauantidak serta merta mengakibatkan

negara-negara peserta konvensi tidak boleh menggunakan Garis Pangkal

Normal ataupun Garis Pangkal Lurus. Dalam arti suatu negara kepulauan

selain menerapkan Garis Pangkal Kepulauan dapat saja menggunakan Garis

Pangkal Normal maupun Garis Pangkal Lurus dalam pengukuran lebar laut

teritorialnya.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, Laut Teritorial

merupakan Jalur laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan di

sebelah luar dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit) atau jalur laut

selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan

Indonesia. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 menetapkan

bahwa Garis Pangkal Kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan Garis

Pangkal Lurus Kepulauan, sedangkan dalam Pasal 5 ayat (2) dijelaskan bahwa

apabila Garis Pangkal Lurus Kepulauan tidak dapat digunakan sebagai

acuandalam penetapan batas, maka digunakan Garis Pangkal Biasa atau Garis

Pangkal Lurus.41

2. Zona Tambahan

Klaim atas zona tambahan pertama kali dikemukakan oleh India. Delegasi

India mengajukan proposal mengklaim zona tambahan selebar 18 mil laut


41
Pasal 5 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
29

setelah laut territorial atau 30 mil laut dari garis pangkal.42 Zona tambahan ini

didefinisikan sebagai zona perairan setelah laut territorial, dimana negara

pantai hanya mempunyai kewenangan yang terbatas yaitu dalam hal

pengakuan hukum terhadap bea-cukai, fiskal, sanitari dan imigrasi.

Pasal 33 ayat 1 dan 2 UNCLOS 1982 secara umum menyatakan bahwa

Zona Tambahan adalah suatu zona perairan yang berbatasan dengan laut

territorial yang lebar maksimumnya 24 ( dua puluh empat) mil laut di ukur

dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur.43

Churchill dan Lowe mendefinisikan Contiguous Zone atau Zona

Tambahan sebagai : “a Zone of sea contiguous to and seaward of the

territorial sea in which states have limited powers for the enforcement of

customs, fiscal, sanitary and immigration law.”44 Dengan demikian, zona

tambahan merupakan 'tambahan' dari laut territorial akan tetapi pada zona

tambahan kewenangan negara pantai hanya terbatas pada penegakan hukum

yang berkaitan dengan bea-cukai, fiskal, sanitari, dan imigrasi. Hal ini tidak

mengherankan, karena pada cikal bakal diperkenalkannya konsep zona

tambahan adalah kekawatiran negara pantai atas kegiatan penyelundupan yang

dilakukan oleh kapal asing di dekat laut territorial. Zona tambahan ini juga

mengakomodasi hot pursuit atau pengejaran seketika yang dilakukan oleh

42
India's statement on the plenary meetings on July 03, 1974, Third UNCLOS official
Recods, Supra, V.I, 27 meeting, at.96
43
I Wayan Parthiana, Hukum laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, Op,cit., hal.
88
44
Churchill,R.R& Lowe,A.V, Law of the Sea, 1999, Supra, hal.132
30

aparat penegak hukum terhadap kapal asing yang melakukan tindakan yang

dilarang di laut territorial. Tentu saja pengejaran tidak dapat langsung berhenti

ketika sudah melampaui batas laut teritorial. Pengejaran demikian dapat

diteruskan selebar 24 mil laut dari garis pangkal atau 12 mil laut dari garis

batas terluar laut territorial.45

Berbeda dengan laut territorial, zona tambahan tidak secara otomatis

diberikan kepada suatu negara pantai. Untuk diakui zona tambahannya, suatu

negara pantai harus mengajukan klaim atas zona tambahan. Data

menunjukkan bahwa dari seluruh negara pantai di dunia hanya sepertiganya

saja yang mengajukan klaim atas wilayah zona tambahan.

Sehubungan dengan hak negara pantai, tentu saja sebagaimana diatur

dalam pasal 33 (1) UNCLOS 1982 negara pantai mempunyai hak untuk

menegakkan peraturan perundang-undangannya hanya yang berkaitan dengan

masalah bea-cukai, fiskal, sanitari serta imigrasi. Sebaliknya, negara pengguna

atau user maritime states Mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan

perundang-undangan demikian dan berhak untuk melakukan lintas bebas

ataufreedom of navigation pada wilayah zona tambahan.46

3. Perairan pedalaman

Perairan Pedalaman ini terjadi sebagai akibat dari penarikan garis pangkal

lurus dari ujung ke ujung. Dengan penerapan garis pangkal lurus ini pada

45
Dhiana Puspitawati, Hukum Laut Internasional, Op,cit., hal . 64
46
Ibid., hal. 65
31

pantai yang berliku-liku atau pada pantai yang di depannya terdapat pulau

atau gugusan pulau, maka akan mengakibatkan adanya bagian perairan atau

laut yang terletak di sebelah dalam dari garis pangkal lurus tersebut. Perairan

inilah yang disebut dengan perairan pedalaman. Sebagaimana halnya dengan

laut teritorial, perairan pedalaman inipun merupakan bagian dari wilayah

negara. Pada perairan pedalaman juga diakui adanya hak lintas damai (right of

innocent passage) bagi kapal-kapal asing.

Secara teoritis, perairan pedalaman yaitu perairan yang terletak pada sisi

dalam dari garis pangkal lurus. Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua

perairan yang terletak pada sisi darat dari Garis Pangkal air terendah dari

pantai-pantai Indonesia, termasuk di dalamnya semua bagian dari perairan

yang terletak pada sisi darat dari suatu Garis Penutup. Di dalam perairan

Kepulauan, untuk menetapkan batas Perairan Pedalaman, Pemerintah

indonesia dapat menarik garis-garis penutup pada mulut sungai, kula, teluk,

anak laut dan pelabuhan. Lain daripada itu, Parthiana menyatakan bahwa

Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan pada sisi dalam Garis

Pangkal Normal. Apabila pada pantai yang garis pangkalnya hanya diterapkan

Garis Pangkal Normal, maka tidak akan terdapat Laut Pedalaman, yang ada

hanyalah perairan darat, yaitu bagian perairan yang terletak di sebelah dalam

Garis Pangkal Normal.47

47
I Wayan parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Cv Mandar Maju, Bandung,
2003, hal. 139
32

Jadi secara garis besar, Perairan Pedalaman terdiri atas: Pertama, Laut

Pedalaman yaitu bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal

lurus dan sisi luar dari bekas garis pangkal normal. Kedua, Perairan darat

yaitu bagian perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal normal

maupun bekas garis pangkal normal. Perairan darat ini bisa terdiri atas

perairan sungai, danau, terusan, waduk, dan perairan pada pelabuhan. Ketiga,

Perairan Kepulauan (archipelagic water) yaitu perairan yang terletak pada sisi

dalam dari garis pangkal kepulauan. Perairan Kepulauan ini khusus bagi

negara Kepulauan (archipelagic state) sebagaimana diatur dalam pasal 46

sampai dengan Pasal 54 UNCLOS 1982.48 Sepertihalnya Laut teritorial, pada

Perairan Pedalaman ini juga diakui adanya Hak Lintas Damai (right of the

innocent passage) bagi kapal-kapal niaga asing.

4. Zona Ekonomi Ekslusif

Negara pantai di ZEE hanya menikmati hak-hak berdaulat dan bukan

kedaulatan. Artinya, ZEE tidak ditundukkan pada kedaulatan penuh negara

pantai seperti yang berlaku dalam rezim laut territorial, dan negara pantai di

ZEE juga tidak ditundukkan pada rezim laut lepas, karena di ZEE negara

48
Simela Victor Muhamad, Batas Wilayah Negara Dalam PerspektifHukum
Internasional, dalam Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman Terhadap
Integritas Teritorial, Tiga Putra Utama, Jakarta, 2004, hal. 31-32 di akses dari
https://www.worldcat.org/title/batas-wilayah-dan-situasi-perbatasan-indonesia-ancaman-terhadap-
integritas-teritorial/oclc/67718067/referer=di&ht=edition pada tanggal 03 September 2020 pukul
02:01 WIT.
33

pantai mempunyai hak dan kewajiban berkaitan dengan sumber daya

perikanannya.49

Pasal 55 UNCLOS “Zona Ekonomi Eksklusif ialah suatu daerah di luar

dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim khusus yang

ditetapkan berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-

hak serta kebebasan-kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan

yang relevan dalam konvensi ini”. Luas ZEE tidak boleh melebihi 200 mil

laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.

Dari definisi umum ini dapat ditarik beberapa prinsip dasar dari ZEE ini,

yakni:50

1) Letak dari ZEE ini secara geografis adalah di luar laut territorial.
Dengan demikian, ZEE bukanlah bagian dari laut territorial.
2) Letaknya yang secara geografis di luar laut territorial bukanlah
berjauhan dengan laut territorial. Melainkan berdampingan atau
berbatasan langsung dengan laut territorial. Ini berarti antara keduanya
dibedakan oleh suatu garis batas. Garis batas ini ditinjau dari laut
territorial adalah merupakan garis atau batas luar (outer limit) dari laut
territorial itu sendiri.
3) Lebar dari ZEE tersebut adalah 200 mil laut. Hal ini merupakan hasil
kesepakatan dari negara-negara peserta dalam konferensi Hukum Laut
PBB 1973-1982 yang berhasil dicapai melalui perundingan-
perundingan yang cukup lama
4) Pengukuran mengenai lebar 200 mil laut tersebut dilakukan dari garis
pangkal.
5) Baik Laut Territorial maupun ZEE sama-sama diukur dari garis
pangkal, maka praktis lebar dari zona ekonomi eksklusif adalah (200-
12) mil laut, yakni 188 mil laut. Hal ini disebabkan karena laut selebar
12 mil laut dari garis pangkal sudah merupakan laut territorial yang

49
Ida Kurnia, Aspek Nasional dan Internasional Pemanfaatan Surplus Perikanan di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal. 45
50
I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, Op,cit., hal.
145
34

merupakan bagian wilayah negara pantai dan tunduk pada kedaulatan


negara pantai itu sendiri.
6) ZEE dengan demikian bukanlah merupakan bagian wilayah negara
pantai dan oleh karena itu, tidak tunduk pada kedaulatan negara pantai.
Negara pantai hanya memiliki hak-hak berdaulat dan yurisdiksi yang
sifatnya eksklusif pada zona ekonomi eksklusifnya.

Hak-hak yurisdiksi dan kewajiban negara pantai di ZEE ialah:51

a) Hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan eksplorasi dan

eksploitasi, konservasi dan pengelalolaan sumber daya alam.

b) Pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah dan

perlindungan lingkungan laut.

c) Kebebasan pelayaran

Dari ketentuan pasal-pasal yang mengatur tentang ZEE dalam UNCLOS

1982 dalam UNCLOS 1982 bahwa negara pantai mempunyai hak berdaulat

khusus untuk sumber-sumber daya alam dan laut di atasnya adalah laut bebas.

Laut bebas bukan berarti dapat dieksploitasi oleh negara lain seperti

eksploitasi perikanan tanpa ijin (illegal fishing) yang sering dilakukan oleh

nelayan-nelayan asing.

Pembahasan ZEE atau klaim negara terhadap ZEE tidak dapat dipisahkan

dari laut teritorial, dimana cara penentuan garis pangkal ZEE 200 diukur. Laut

teritorial adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal kepulauan

dan tidak boleh melebihi 12 mil laut (Pasal 3).

51
Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut Suatu
Ringkasan, Op.,Cit. hal 8.
35

5. Landas Kontinen

UNCLOS 1982 tentang Landas Kontinen diatur dalam Bab VI Pasal 76

hingga Pasal 85. Pengertian Landas Kontinen sesuai dengan bunyi Pasal 76

ayat 1 dinyatakan sebagai berikut:

“Daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut

territorial yang merupakan kelanjutan alamiah wilayah dari daratan sampai ke

batas terluar tepian kontinen (continental margin), atau sampai jarak 200 mil

laut diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut

territorial apabila sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut”.52

Menurut Konvensi Jenewa tahun 1958 tentang Hukum Laut, kriteria bagi

penentuan lebar landas kontinen adalah kedalaman air dua ratus meter atau

kemampuan eksploitasi. Namun kini dengan lahirnya UNCLOS 1982

dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan suatu negara

hingga pinggiran luar tepian kontinennya (natural prolongation of its land

territory to the outer edge of the continental margin) atau kriteria jarak 200

mil laut, dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar laut teritorial jika

pinggiran laut tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut.

Dengan demikian UNCLOS 1982 memberikan 3 (tiga) kriteria untuk

mengukur landas kontinen suatu negara, yaitu:

a). Sampai dengan pinggiran terluar tepian kontinen hingga maksimal


350mil.
b). Hingga jarak minimal 200 mil dari garis pangkal.
52
United Nations Convention on the Law of the Sea, Pasal 76 ayat 1
36

c). 100 mil dari kedalaman isobaths.53

Dalam Pasal 83 ayat 1 UNCLOS 1982 dinyatakan bahwa penetapan garis

batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau

berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum

internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah

Internasional untuk suatu penyelesaian yang adil.

Landas kontinen pada mulanya Termasuk dalam rejim ZEE, Namun

dalam UNCLOS 1982 masalah landas kontinen telah diperbaharui dan diatur

dalam bab tersendiri. Sebelumnya melalui Pasal 56 ayat 3 Bab V Informal

Composite Negotiating Text (ICNT) ditegaskan bahwa hak-hak berdaulat yang

diakui dan berkaitan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya akan diatur

sesuai dengan ketentuan landas kontinen, dan lebih lanjut ditegaskan pula

bahwa apabila dasar laut di bawah ZEE 200 mil merupakan landas kontinen,

maka yang berlaku adalah rejim landas kontinen.54

6. Laut Lepas

Laut lepas adalah bagian laut yang tidak termasuk dalam ZEE, laut

teritorial atau perairan pedalaman negara-negara kepulauan.55 Sangat jelas

bahwa laut lepas merupakan wilayah laut yang tidak merupakan wilayah

53
Munsharif Abdul Chalim, Tinjauan Analisis Atas Pengaturan Wilayah
LandasKontinen dengan Berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB 198, Jurnal Pembaharuan Hukum
Vol III No. 1 Januari-April 2016, hal. 60.
54
Asnani, Usman, Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif (Strategi dan Hubungan
Internasional indonesia di Kawasan Asia Pasifik), Yayasan Proklamasi CSIS, Jakarta, 1981, hal.
615
55
T. May Rudy, Hukum Internasional 2, RefikaAditama, Bandung, 2002, hlm.19
37

teritorial dari suatu negara.Laut yang tidak merupakan wilayah teritorial dari

negara manapun maka laut lepas merupakan laut yang bebas atau dikenal

dengan istilah res nullius dimana laut merupakan wilayah perairan yang tidak

dimiliki oleh siapa pun yang artinya laut lepas dapat dimanfaatkan oleh setiap

negara baik negara berpantai maupun negara tidak berpantai. Tetapi

pemanfaatan laut lepas hanya untuk kepentingan damai dan tidak ada suatu

negara yang boleh mengklaim bagian laut lepas menjadi miliknya yang berada

dibawah kedaulatanya.Hukum di laut lepas diatur dalam UNCLOS 1982 part

VII pasal 86 sampai 120.

Menurut UNCLOS 1982 part VII pasal 87, kebebasan dilaut lepas

meliputi :

1. Kebebasan berlayar;
2. Kebebasan penerbangan;
3. Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut;
4. Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainya
yangdiperbolehkan berdasarkan hukum internasional;
5. Kebebasan menangkap ikan;
6. Kebebasan riset ilmiah.

Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 dengan

Undang-undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum

Laut 1982.

Dengan adanya kebebasan yang diberikan oleh UNCLOS 1982 kepada

setiap negara baik negara berpantai maupun negara tidak berpantai maka

dengan sendirinya negara telah memiliki hak dan kewajiban untuk dapat

memanfaatkan laut lepas semaksimal mungkin dengan tujuan damai.


38

Kebebasan di laut lepas dapat dilaksananakan dengan mematuhi syarat-syarat

yang diberikan oleh UNCLOS 1982 dan syarat yang diberikan oleh Hukum

Internasional. Dengan adanya kebebasan yang diberikan ini maka negara

mendapatkan keuntungan untuk dapat memanfaatkan wilayah laut lepas ini

demi kepentingan negaranya tanpa merugikan negara lain atau pihak lain.

Tetapi selain memiliki hak untuk memanfaatkan wilayah laut lepas ini negara

pun terikat dengan kewajibannya untuk tidak melakukan tindakan yang dapat

merugikan pihak lain atau tindakan yang dapat merusak wilayah laut lepas itu

sendiri. Setiap negara memang diberikan kebebasan untuk memanfaatkan laut

lepas tetapi kebebasan yang diberikan bukanlah kebebebasan tanpa batas dan

tanpa aturan. Kebebasan untuk memanfaatkan laut lepas diatur dalam

UNCLOS 1982 dan memiliki syarat dan ketentuan yang harus dilakukan,

sehingga terhadap kebebasan di laut bebas tersebut terdapat beberapa

pengecualian yang sama sekali tidak boleh dilakukan di laut lepas.

Pengecualian kebebasan di laut lepas tersebut antara lain adalah Perompakan

laut (piracy), pengejaran seketika (hot persuit), penangkapan ikan dan

pencemaran di laut lepas.56

7. Kawasan dasar laut internasional

Kawasan merupakan salah satu pranata hukum laut internasional positif

yang tergolong baru, tegasnya baru dikenal setelah mulai berlakunya

56
Kendis Gabriela Runtunuwu, implementasi pemanfaatan Laut Lepas menurut konvensi
hukum laut 1982 hal. 63.
39

UNCLOS 1982 pada tanggal 16 November 1994. Kawasan atau tepatnya

dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar yurisdiksi nasional

negara-negara, mulai mendapat perhatian serius pada paruh kedua dasawarsa

enampuluhan terutama setelah majelis umum PBB bermaksud untuk

memprakarsai penyelenggaraan konferensi hukum laut internasional dalam

rangka membentuk konvensi hukum laut yang baru untuk menggantikan

Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 yang di pandang sudah tidak sesuai

dengan perkembangan zaman.57

Pada UNCLOS 1982, definisi dari daerah dasar laut internasional terdapat

dalam Article 1 (1) yang mengartikan bahwa Kawasan (The Area) adalah “the

seabed and ocean floor and subsoil thereof, beyond the limits of national

jurisdiction”. Maka dapat diartikan bahwa kawasan dasar laut internasional

terdiri dari dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak di luar batas

yurisdiksi nasional, yaitu di luar batas-batas ZEE dan landas kontinen yang

berada di bawah yurisdiksi negara pantai.58 Dengan demikian, di kawasan

dasar laut internasional ini tidak terdapat kedaulatan negara maupun hak-hak

berdaulat suatu negara secara eksklusif. Kemudian pengaturan yang lebih

mendalam mengenai area dasar laut internasional ini terdapat dalam Bab XI

LOS Convention 1982 dan di dalam dua Annex-nya, yaitu Annex III tentang

57
I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, Loc,Cit.,
hal. 217
58
Chairul Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional‖,Karya Unipress, Jakarta,
1989, hal. 92
40

syarat-syarat utama dari pemantauan, eksplorasi serta Annex IV tentang

statuta dari Perusahaan, sebagai organ pertambangan bawah laut dari otoritas.

Melalui LOS Convention, area dasar laut internasional ini diatur dengan tegas

sebagai common heritage of mankind atau warisan umum umat manusia.59

Adanya rezim kawasan dasar laut internasional (international seabed

area) termasuk ke dalam zona maritim yang berada di luar yurisdiksi nasional

selain Laut Lepas. Hal ini akan berkaitan dengan latar belakang lahirnya

prinsip common heritage of mankind (warisan bersama bagi umat manusia).

Menurut Pasal 136 UNCLOS 1982, kawasan dasar internasional dan sumber

daya alam yang terkandung di dalamnya merupakan warisan bersama bagi

umat manusia. Kemudian dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam

yang terkandung di dalam kawasan dasar internasional telah dibentuk Badan

Otoritas Dasar Laut Internasional yang mengelola kegiatan-kegiatan

penambangan di kawasan dasar laut internasional, dimana semua negara

peserta UNCLOS 1982 berstatus ipso facto dalam badan ini.60

B. Tinjauan Umum Tentang Perbatasan Negara di Wilayah Laut

Batas-batas wilayah suatu negara menempati posisi yang penting dilihat

dari aspek geografis, hukum maupun politik. Secara geografis, batas wilayah

59
Arie Afriansyah, Op., Cit. hal. 615.
60
Ayu Puji Lestari, Book Review: Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di
Indonesia, PJIH Volume 3 Nomor 2 Tahun 2016. hal 433. Di akses dari
http://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/9565/5365pada tanggal 04 September 2020 pukul 00:15
WIT.
41

menandai luas wilayah suatu negara yang meliputi daratan, lautan dan udara

yang ada di atasnya. Wilayah perbatasan sebagai batas kedaulatan suatu

negara secara universal memiliki peran strategis dalam penentuan kebijakan

pemerintah baik untuk kepentingan nasional maupun hubungan antar negara

(internasional).61

Perbatasan sebuah negara, atau state’s border, dikenal bersamaan dengan

lahirnya negara. Negara dalam pengertian modern sudah mulai dikenal sejak

abad ke-18 di Eropa. Perbatasan negara merupakan sebuah ruang geografis

yang sejak semula merupakan wilayah perebutan kekuasaan antarnegara, yang

terutama ditandai oleh adanya pertarungan untuk memperluas batas-batas

antarnegara. Sebagai bagian dari sejarah dan eksistensi negara, riwayat daerah

perbatasan tidak mungkin dilepaskan dari sejarah kelahiran dan berakhirnya

sebuah negara.62

Kawasan perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan

suatu negara. Kawasan perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting

dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumberdaya alam,

serta keamanan dan keutuhan wilayah. Masalah perbatasan memiliki dimensi

yang kompleks. Terdapat sejumlah faktor krusial yang terkait di dalamnya

61
Budi Hermawan Bangun, Konsepsi dan Pengelolaan Wilayah Perbatasan Negara:
Prespektif Hukum Internasional, Tanjungpura Law Journal, Vol 1, Issue 1, 2017. hal 52. Di akses
dari http://jurnal.untan.ac.id/index/php/tlj pada tanggal 04 September 2020 pukul 00:45 WIT.
62
Riwanto Tirtosudarmo, Tentang Perbatasan dan Studi Perbatasan: Suatu Pengantar.
Jurnal Antropologi Indonesia 67 (XXVI): iv-vi, 2002. Di akses dari
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/tlj/article/download/18331/15483 pada tanggal 04 September
2020 pukul 01: 10 WIT.
42

seperti yurisdiksi dan kedaulatan negara, politik, sosial ekonomi, dan

pertahanan keamanan.

Perbatasan antara wilayah negara yang satu dengan wilayah negara yang

lainnya haruslah tegas batas-batasnya. Hal ini sangat penting, karena dalam

sejarah kehidupan umat manusia maupun negara-negara, pernah terjadi

konflik antarnegara yang bersumberkan pada masalah batas wilayah. Konflik

ini bisa di sebabkan oleh keinginan untuk melakukan ekspansi wilayah

maupun karena ketidakjelasan batas-batas wilayah antar negara yang satu

dengan negara yang lain. Konflik-konflik antar negara karena ketidakjelasan

batas-batas wilayah di berbagai bagian ini masih tetap ada, dan jika tidak

diupayakan penyelesaiannya secara baik, tidak mustahil hal ini dapat

berkembang menjadi konflik bersenjata.63

Beberapa ahli Hukum Internasional seperti Green Maryan, Shaw

Malcolm, J.G. Starke dan Burhan Tsani berpendapat bahwa wilayah

perbatasan adalah batas terluar wilayah suatu negara berupa suatu garis

imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara dengan wilayah negara lain

di darat, laut maupun udara yang dapat dikualifikasi dalam terminologi

“border zone” (zona perbatasan) maupun “customs free zone” (zona bebas

kepabeaan). Wilayah perbatasan dalam dua terminologi di atas dapat diatur

secara limitatif dalam berbagai perjanjian internasional yang bersifat “treaty

63
Marnixon R. C. Wila, Konsepsi Hukum Dalam Pengaturan dan Pengelolaan Wilayah
Perbatasan Antarnegara, PT Alumni, Bandung, 2006, hal.127.
43

contract” untuk menyelesaikan permasalahan di perbatasan secara insidentil

maupun yang bersifat “law making treaty” untuk pengaturan masalah

perbatasan secara permanen berkelanjutan.64

Dalam hukum internasional, perbatasan wilayah antar dua negara harus

berdasarkan perjanjian yang dibuat antara keduanya.Perbatasan negara pada

hakekatnya dapat terjadi di wilayah darat dan wilayah perairan. Khususnya

perbatasan di wilayah darat dapat berupa perbatasan yang ditentukan oleh

kondisi-kondisi alami (misalnya gunung, sungai atau laut) dan yang

ditentukan oleh kondisi-kondisi buatan (misalnya tonggak atau patok, pagar,

atau garis imajiner.65

Wilayah perairan atau disebut juga perairan teritorial adalah bagian yang

merupakan wilayah suatu negara yang tunduk pada kedaulatan negara tersebut. Di

samping itu, ada pula bagian perairan yang berada di luar wilayahnya yang tidak

tunduk pada kedaulatan negara, misalnya adalah laut lepas. Sebagaimana diketahui

bahwa tidak semua negara di dunia memiliki wilayah perairan, negara-negara yang

seluruhnya dikelilingi oleh wilayah daratan negara-negara lain, yang dikenal dengan

sebutan negara tak berpantai atau negara buntu (landlockstates), seperti Afganistan,

Laos, Nepal dan Bhutan di Asia; Uganda, Nigeria dan Chand di Afrika; Swiss,

Austria, Honggaria, Luxemburg di Eropa; dan Paraguay di Amerika Latin.66

64
John Bernando Seran, Perbatasan Wilayah Menurut Hukum Internasional, 2012, di
akses dari (http://kupang.tribunnews.com/m/index.php/2012/03/07/perbatasan-wilayah-menurut-
hukum-internasional).Pada tanggal 29 juli 2020 pukul 11:35 WIT
65
FX. Adji Samekto, Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2009, hal. 7.
66
Ibid, hal. 132.
44

United Nation Convention On the Law of the Sea1982 UNCLOS) melahirkan

pengaturan zona-zona laut diantaranya:67

1. Laut Teritorial
2. Zona Tambahan
3. Perairan Pedalaman
4. Zona Ekonomi Eksklusif
5. Landas Kontinen
6. Laut Lepas
7. Kawasan Dasar Laut Internasional

Negara Kesatuan Republik Indonesia berbatasan langsung di laut dengan

10 negara tetangga sehingga terbentuklah 10 wilayah laut perbatasan. Batas

wilayah laut yang perlu diselesaikan mencakup batas-batas wilayah Laut

Territorial, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontinen. Dari kesepuluh

wilayah laut perbatasan tersebut salah satunya adalah perbatasan wilayah laut

antara Indonesia dan Vietnam di Laut China Selatan.68

Di perbatasan wilayah laut perlu difokuskan pada batas-batas wilayah laut

yang sudah dan yang belum diselesaikan. Prinsip-prinsip penyelesaian batas

wilayah laut antara negara meliputi:69

a. Prinsip Garis Tengah (Median Line Principle) untuk menyelesaikan


batas wilayah laut dua negara yang saling berhadapan dengan
memperhatikan faktor-faktor fisik seperti geografi dan geologi;
b. Prinsip sama Jarak (EquidiatancePrinciple) untuk menyelesaikan batas
wilayah laut dua negara yang berdampingan dengan memperhatikan
faktor-faktor fisik seperti geografi dan geologi;

67
Sefriani. Hukum Inernasional Suatu Pengantar, Rajawali Pres, Jakarta, 2011, hal. 28.
68
Achmad Jusnadi dkk, Platform Penanganan Perbatasan Permasalahan Antar Negara,
Direktorat Wilayah Administrasi dan Perbatsan, Direktorat Jendral Pemerintahan Umum,
Departemen Dalam Negeri, Jakarta, hal. 29-30
69
Tommy Hendra Purwaka, Penelitian Ilmiah Batas Wilayah Laut Indonesia
Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982, jakarta, hal. 390. Di akses dari
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/12923 pada pukul 22:48 WIT
45

c. Prinsip Keadilan (EquitablePrinciple) untuk menyelesaikan batas


wilayah laut dua negara, baik yang berhadapan maupun yang
berdampingan, dengan mengutamakan perhatiannya pada faktor-faktor
non fisik seperti ekonomi dan sosial;
d. Prinsip kepanjangan alamiah sifat fisik daratan (Natural
ProlongationPrinciple) untuk menyelesaikan batas landas kontinen
dua negara yang berhadapan atau berdampingan dengan
memperhatikan faktor-faktor fisik geologi dan geografi.

C. Unilateral Claim Dalam Hukum Internasional

Dalam dunia internasonal, Negara sering melakukuan Unilateral claim

(tindakan sepihak) dengan maksud untuk menimbulkan akibat-akibat

hukum.Dalam sejarah perkembangan hukum internasional, tindakan sepihak

sebuah negara telah lama terjadi terutama berkaitan dengan masalah perang.

Sebagian besar diawali dengan tindakan sepihak negara yang berupa agresi

sewaktu Perang Dunia I. Walaupun ada ketentuan dalam hukum kebiasaan

perang bahwa negara yang akan menjalankan perang diwajibkan untuk

mendeklarasikan namun tindakan sepihak masih saja terus terjadi.70

Unilateral claim juga bisa diartikan deklarasi sepihak yang dirumuskan

oleh sebuah negara dengan tujuan menghasilkan akibat hukum tertentu dalam

hukum internasional. Tidak ada rumusan atau definisi yang bisa ditemukan

dalam sumber hukum internasional karena memang pada dasarnya tindakan

unilateral dalam hubungan antar negara tidak diperbolehkan. Berikut

merupakan pengertian unilateral claim yang dapat dijadikan pedoman.

70
Arlina Permatasari, Pengantar Hukum Humaniter, International Committe Of The
Red Cross, Jakarta, 1999
46

Dalam Second Report on Unilateral Acts of States yang dibuat oleh ILC,

unilateral acts of states diberikan pengertian sebagai :71

“..... unilateral legal act means An unequivocal, autonomous expression


of will, formulated publicly by one or more States in relation to one or
more other States, the international community as a whole or an
international organization, with the intention of acquiring international
legal obligations”

Dalam pengertian tersebut digunakan istilah unilateral legal act yang

maksudnya adalah unilateral declaration yang merupakan sebuah pernyataan

kehendak yang independen dan dibuat oleh satu atau lebih negara yang

berhubungan dengan satu atau lebih negara, masyarakat internasional secara

keseluruhan atau sebuah organisasi internasional dengan maksud untuk

menimbulkan kewajiban hukum internasional.

Pengertian ini menjadi jelas karena pernyataan kehendak tersebut hanya

mencakup kewajiban bagi negara yang membuatnya karena memang sebuah

negara tidak dapat memaksakan kewajiban kepada negara lain tanpa ada

persetujuan (consent). Dalam hukum internasional dikenal dengan asas Pacta

tertius nec nosent nec prosunt (perjanjian-perjanjian tidak dapat memberikan

hak dan kewajiban pada pihak ketiga).72

Banyaknya tindakan sepihak dengan berbagai caranya merupakan sebuah

fenomena yang wajar dan alami dari sebuah entitas negara yang berdaulat.

71
Second Report On Unilateral acts of State, International law Commision, General
Essambly, 14 April 1999, Jenewa 3 mey-23 july 1999
72
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Op,cit. hal. 320-321
47

Meskipun pergerakannya sangat dibatasi oleh hukum internasional, negara-

negara masih memiliki yurisdiksi dan kompetensi yang eksklusif dimana

mereka dapat bertindak menurut kebijakan nasional mereka dan membuat

keputusan yang memiliki pengaruh atau akibat dalam hubungannya dengan

negara lain. Disatu sisi negara bebas bertindak seperti yang dia harapkan,

namun disisi lain beberapa ketentuan baik dalam hukum kebiasaan maupun

hukum perjanjian memberikan tempat pada tindakan sepihak ini melalui

berbagai proses hukum atau membolehkan tindakan sepihak dalam situasi

yang berbeda-beda. Dalam hukum internasional terutama dalam konteks

kedaulatan, tindakan sepihak suatu negara dengan melakukan serangan

terhadap negara lain adalah dilarang, kecuali dalam rangka self defence (bela

diri).73

Dalam sejarah perkembangan Hukum Internasional, tindakan

unilateralisme tidak selamanya tidak menciptakan hukum, walaupun secara

umum ditentang oleh masyarakat internasional. Di bidang hukum laut

misalnya, ketentuan-ketentuan hukum laut yang telah diteguhkan dalam

UNCLOS 1982 sebagian besar diawali dengan klaim-klaim atau tindakan

sepihak atas wilayah laut dan sumber kekayaan alam di dalamnya seperti lebar

laut wilayah, landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif. Faktor

73
F.X. Joko Priyono, Aksi Unilateral (tindakan Sepihak) negara maju dan Implikasinya
bagi kepentingan Nasional Indonesia, MMH, Jilid 37 No. 1 Maret 2008 diakses dari
http://eprints.undip.ac.id/44034/2/JurnalMMHJilid37No1Maret2008.pdf tanggal 04 september
2020 Pukul 01:24 WIT
48

penyebabnya adalah perubahan peta bumi, politik, kemajuan teknologi,

bergantungnya bangsa-bangsa pada laut sebagai sumber kekayaan alam, baik

hayati maupun kekayaan mineral termaksud minyak bumi dan gas.74

Diantara peristiwa atau tindakan sepihak yang merupakan kejadian-

kejadian yang cukup penting dalam sejarah perkembangan hukum laut adalah:

1) Proklamasi Presiden Harry S. Truman.

Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Serikat Harry S.

Truman mengumumkan dua macam proklamasi, yakni pertama mengenai

Landas Kontinen, dan yang kedua proklamasi mengenai Perikanan Pantai,

yang di sebut Presidential Proclamation Concerning Coastal Fisheries in

Ceritain Areas of the HighSeas (Proklamasi Presiden Truman mengenai

Perikanan Pantai).75 Proklamasi Presiden Truman mengenai Perikanan Pantai

berisikan persoalan tentang pembentukan zona konservasi yang berada pada

kawasan laut lepas tertentu yang bersambung dengan pantai Amerika Serikat.

Dengan Proklamasi Presiden Truman tahun 1945 mulailah suatu

perkembangan dalam hukum laut masakini dan didasarkan atas pengertian

yang baru dalam hukum laut yakni pengertian geologi “continental shelf” atau

Landas Kontinen. Tindakan Presiden Amerika Serikat ini bertujuan

mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya yang
74
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1963, hal.
81.
75
Presiden Proclamation,28 September 1945:
“WithRespecttoCoastalFisheriesCertainAreasoftheHighSeas,” 10 Fed. Reg.12304.Lihat, Ann L.
Hollik, U.S. ForeignPolicyAnd The Law ofathe Sea, (Princeton, New Jersey: Princetonuniversity,
1981), Lampiran I
49

berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan

bangsa Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral khususnya minyak dan

gas bumi.

Proklamasi Presiden Truman yang kedua mengenai Perikanan Pantai,

walaupun merupakan tindakan sepihak, namun telah membawa perubahan

dalam wilayah dan pengaturan. Wilayah mengandung makna adanya

kejelasan batas, yang menjadi ukurannya adalah sumber daya yang bernilai

bagi rakyatnya, dan pengaturan sumber daya perikanan, yang berisi siapa, di

mana, dan bagaimana boleh dilakukan penangkapan ikan, oleh karena itu

Proklamasi Presiden Truman telah membawa perubahan yang cukup

signifikan.Perubahan yang fundamental tersebut didorong adanya

pembangunan perikanan di Amerika, yaitu perikanan merupakan sektor

ekonomi yang banyak berperan dalam penyediaan protein bagi rakyatnya. 76

Dalam melakukan kegiatan perikanan di laut, Proklamasi Presiden

Truman tersebut mengatur mengenai hak negara Amerika Serikat untuk

menetapkan secara unilateral di kawasan laut yang bersambung dengan

pantainya, dan ketentuan hanya di berlakukan terhadap warga negara mereka

yang melakukan penangkapan ikan secara luas. Sementara itu, bagi warga

negara dari negara lain dapat diizinkan dengan persyaratan atau ketentuan

tertentu. Yaitu apabila terdapat warga negara dari negara lain yang telah

76
Ida Kurnia, Aspek Nasional dan Internasional Pemanfaatan Surplus Perikanan di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Op.cit, hal 19
50

bergabung dengan warga negara Amerika Serikat atau yang akan

berpartisipasi dengan warga negara Amerika Serikat dalam rangka untuk

melakukan penangkapan ikan, maka akan dibentuk suatu zona konservasi

yang dituangkan dalam suatu perjanjian bersama, atau biasa disebut dengan

Joint agreement.77

Perjanjian bersama itulah yang menjadi landasan bagi pihak yang terkait

untuk melakukan penangkapan ikan di zona yang telah ditentukan. Penentuan

wilayah maupun penerapan ketentuan mengandung makna yang menunjukkan

pentingnya batas wilayah dan aturan yang diberlakukan. Batas wilayah dalam

Proklamasi Presiden Truman tersebut disebut dengan Zona Konservasi,

menunjukkan kejelasan batas wilayah dengan kriteria mengandung sumber

daya ikan yang bernilai bagi masyarakat. Adapun penerapan ketentuan

menunjukkan pada aturan yang berisi hal-hal yang harus dilakukan dan hal-

hal yang tidak boleh dilakukan atau dilarang untuk dilakukan. Terkait dengan

sumber daya perikanan, aturan mencakup siapa, dimana, bagaimana, dan

kapan boleh menangkap ikan.78

Sebaliknya, Presiden Truman mengenai perikanan tersebut juga mengakui

adanya hak-hak yang dimiliki oleh negara lain terhadap kawasan laut yang

berada di luar pantai negara mereka, atau mengakui zona konservasi dari

negara di luar Amerika Serikat, asal negara yang bersangkutan tersebut

77
Ibid, hal. 20.
78
Arif Satria, Pesisir dan Laut Untuk Rakyat, IPB Press, Bogor, 2009, hal. 14-15
51

mengakui kegiatan perikanan yang diberlakukan oleh warga negara Amerika

Serikat yang telah adadi zona konservasi tersebut. Pada proklamasi perikanan

pantai lebih lanjut ditegaskan bahwa status perairan di dalam zona konservasi

yang telah dibentuk tidak mempengaruhi status laut lepas yang bersangkutan

dan tetap di berlakukan sebagai laut lepas.

Kedua Proklamasi Presiden Truman tersebut merupakan titik awal

perkembangan hukum laut internasional dan sekaligus awal pergeseran dari

tatanan hukum laut internasional yang didasarkan atas pembagian laut

menjadi dua, yaitu laut teritorial yang berada dibawah kedaulatan negara dan

laut lepas yang bersifat bebas.79

2) Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia (Anglo Norwegian

Fisheries Case)

Sengketa yang terjadi antara Inggris dan Norwegia mengenai batas

perikanan eksklusif yang ditetapkan oleh Norwegia dalam Firman Raja

(Royal Decree) tahun 1935 menurut hukum internasional.80 Inggris

menggugat cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik

terluar pada pantai Norwegia. Dalam cara penarikan garis pangkal lurus yang

79
Ida Kurnia, Aspek Nasional dan Internasional Pemanfaatan Surplus Perikanan di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Op.cit, hal.22.
80
Veriena J. B. Rehatta, Penyelesaian Sengketa Perikanan di Laut Lepas Menurut
Hukum Internasional, Jurnal Sasi, Vol 20 Januari-Juni 2014.
52

dilakukan Norwegia, deretan pulau di muka pantai (skjaergaard) dianggap

sebagai bagian dari pantai Norwegia.

Bulan Juli tahun 1935, Norwegia dengan sebuah Firman Raja (Royal

Decree) menetapkan batas-batas perairan perikanan Norwegia yang tertutup

bagi nelayan asing. Firman Raja ini menunjuk pada Firman-Firman Raja

serupa sebelumnya yang dikeluarkan pada tahun 1812, 1869, 1881, dan 1889

yang dalam pertimbangannya (Preamble) menyebutkan hak-hak nasional

yang telah lama dalam sejarah, keadaan geografis khusus di pantai Norwegia,

dan tujuan melindungi dan mengamankan kepentingan-kepentingan vital dari

penduduk bagian utara Norwegia.

Inggris tidak menyengkal hak Norwegia untuk memiliki lebar laut

teritorial sejauh 4 mil, namun yang dipersoalkan adalah cara penerikan garis

pangkal lurus tersebut bertantangan dengan ketentuan hukum internasional

yang berlaku. Pihak Inggris berpendirian bahwa garis pangkal harus ditarik

menurut garis pasang surut daripada tanah daratan (permanent dryland) yang

merupakan bagian dari wilayah Norwegia. Dalam pandangan Inggris,

“skjaergaard” merupakan gugusan pulau-pulau yang terletak di hadapan

pantai Norwegia, bukan merupakan bagian dari daratan tetap Norwegia.

Selain perbedaan pandangan di atas, kedua belah pihak berbeda pula

dalam penerapan (application) dari cara penarikan garis pangkal yang ditarik
53

menurut garis pasang surut. Mahkamah Internasional menelaah 3 macam cara

penarikan garis pangkal yang didasarkan atas asas pasang surut, yakni :81

1. Cara “trace parallele”, dimana garis batas luar mengikuti segala liku
dari garis pasang surut;
2. Cara “arcs of circles”, Dimana langsung ditetapkan batas luar tanpa
adanya garis pangkal terlebih dahulu; dan
3. Cara “straight baseline” (garis pangkal lurus),dimana garis pangkal
ditarik tidak tepat menurut garis pasang surut dengan segala likunya,
melainkan ditarik garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik
tertentu yang berada pada garis pasang surut.
Dari ketiga cara di atas, cara “arcs of circles” di kesampingkan oleh

Mahkamah dengan alasan tidak relevan pendirian Inggris mengenai persoalan-

persoalan yang dikemukakan dihadapan Mahkamah Internasional di atas

adalah bahwa satu-satunya cara penetapan garis pangkal yang tepat dan

merupakan kaidah yang berlaku umum adalah cara penarikan garis pangkal

yang menuruti garis pasang surut. Artinya garis luar laut teritorial harus

mengikuti segala liku-liku garis pangkal yang dalam hal ini sama benar atau

“identik” dengan garis pasang surut. Cara penarikan garis pangkal lurus

(straight baseline) pihak Inggris menganggapnya sebagai suatu pengecualian

hanya dapat dibenarkan dalam hal-hal tertentu dan dengan pembatasan-

pembatasan tertentu.82

Pihak Inggris berpendapat bahwa Norwegia hanya dapat dibenarkan

menarik garis pangkal lurus di muka suatu teluk (bay), tapi tidak dari satu

81
Iman ode, Hukum Laut Kasus Perikanan Inggris dan Norwegia, di akses dari
https://id.scribd.com/doc/305643058/hukum-laut-kasus-perikanan-inggris-dan-norwegia-docx
pada tanggal 20 Oktober 2020 pukul 01:10 WIT
82
Ibid.
54

pulau ke pulau lain depan pantai atau depan gugusan pulau (skjaergaard).

Menurut pihak Inggris panjang garis pangkal di muka suatu teluk demikian

tidak boleh melebihi ukuran panjang 10 mil.

Mahkamah Internasional dalam keputusannya menyatakan tidak

sependapat dengan pihak Inggris bahwa penarikan garis pangkal lurus oleh

Norwegia hanya dapat dibenarkan sebagai suatu pengecualian. Cara penarikan

garis pangkal lurus oleh Norwegia tidak lain daripada suatu penerapan (suatu

kaidah) Hukum Internasional yang berlaku umum pada suatu keadaan khusus.

Mahkamah Internasional juga menolak Pendapat Inggris bahwa garis pangkal

lurus hanya dapat ditarik di muka suatu teluk.

Anda mungkin juga menyukai