Anda di halaman 1dari 5

2.

“Gimana?”

Alby menarik kursi untuk duduk, memerhatikan teliti penampilan ramen keju mozarella buatan
Rashi. “Keliatannya sih enak. Keliatannya, tapi.”

Bibir Rashi langsung cemberut. Mengundang tawa usil Alby yang kini menarik sumpit untuk
mencobanya.

“Dahlah. Daripada dihujat, mending gue mandi. Boleh, kan?”

“Bobo juga boleh, Princess.”

Orang tengil seperti dia biasanya memang disukai, apalagi kalau wajahnya ganteng. Rashi Cuma
mendengkus, berjalan pergi meninggalkan Alby untuk numpang mandi. Hanya ada satu kamar
mandi, yaitu di kamar Alby, jadi Rashi mau tak mau harus masuk ke sana.

Jika tadi ia Cuma melihat sekilas saat lewat plus tato buaya di lengan kanan Alby, sekarang
Rashi mendapati jelas dia seorang maniak buaya.

Apa seorang buaya memang sukanya buaya juga? Maksud Rashi, Alby bukan Cuma punya tato
buaya. Lukisan besar di atas ranjangnya adalah gambar buaya abu kehitaman. Ada pahatan
patung buaya di atas meja dekat tempat tidurnya. Stiker buaya di komputernya. Dan beberapa
barang tentang buaya lain.

Mungkin sesama spesies, jadi dia mengoleksinya. Pikir Rashi geli.

Untung saja di kamar mandi Alby tidak ada buaya—dalan wujud dan bentuk apa pun, sampai
Rashi menemukan kalung berbandul buaya yang dipahat begitu detail di dekat wastafel.

Astaga. Dia benar-benar maniak.

Rashi bergegas mandi daripada terbawa suasana di sarang buaya ini. Di tasnya selalu tersedia
tempat khusus untuk skin care termasuk sabun dan lotion, jadi Rashi bisa mandi dengan
nyaman seperti biasa. Saat shower mengguyur tubuhnya, membersihkan sisa-sisa sabun dan
conditioner di rambut, pintu kamar mandi diketuk.

“Princess, ini gue bukan mau ngintip yah. Gue Cuma mau ngasih baju.”

Terus kenapa dia datang saat shower Rashi masih menyala? “Kalaugue buka, apa jaminannya
bakal aman?”

“Buset. Tau diri amat yah lo cantik.”

“Enggak ada?”

“Sumpah, Rashi. Gue lagi mikir enggak kira-kira. Jangan lo ajak ngomong depan kamar mandi,
Njir.” Alby terkekeh.
Karena merasa suaranya memang cukup aman, Rashi membuka sedikit pintu untuk
menjulurkan tangannya. Ia berencana memakai kembali bajunya, tapi karena dipinjami, kenapa
tidak?

“Cntik banget sih tangannya. Wangi.”

“Mulut lo diolesin apa sih?” Rashi mendengkus, buru-buru menutup pintu. “Udah sana.”

“Gue jadi pendengar yang baik enggak boleh nih?”

“Enggak tanggung jawab, yah.”

Alby malah tergelak. Tak lagi terdengar suaranya, berarti dia beranjak meninggalkan Rashi
menyelesaikan ritual mandinya.

Baju yang dia pinjamkan berjenis rajut. Sweater yang cukup kebesaran untuk Rashi tapi
lumayan pas karena tubuhnya memang cukup berisi.

“Lo punya hairdryer enggak? Baju gue agak basah.”

Alby malah mengedik ke mangkuk di depannya. Tak disangka, dia Cuma mencoba sedikit dan
menunggu Rashi selesai. “Temenin makan dulu, dong.”

Memang mau makan, kenapa harus ditolak? Lo kenapa enggak makan duluan?”

“Kalau bisa makan sambil liat muka lo, kenapa harus makan sambil liat tembok, Princess?”

Rashi mendengkus. Ikut memegang sumpitnya dan tak memandang Alby lagi. “Biarpun tau gue
pacarnya Twelve, lo ngegas banget, yah.”

“Ngapain kendor kalau saingannya manusia?”

“Bisa gitu yah? Pantes jadi buaya.”

“Buaya is my identity, Girly.” Alby menopang dagu, asik memandangi Rashi tanpa malu. “Kalau
gue bilang, mandi, makan, duduk di tempat gue enggak gratis, lo marah enggak sih?”

“Ngapain? Kan tempat lo.”

“Berarti minta bayaran apa aja boleh dong?”

“Boleh, lah.” Rashi tersenyum manis. “Tapi jangan lupa nyokap temen gue pengacara, oke?”

Tahu Rashi bercanda, Alby tertawa geli. Wajahnya benar-enar manis saat tersenyum lebar
Padahal tatapannya tengil dan berani. “Yaudah deh. Gue nanya aja.”

“Nomor HP gue rahasia.”

“Klasifikasinya buat tau apa?”

“Itu pertanyaannya?”

“Sekalian.”
“Hmmm,” Rashi pura-pura berpikir, lalu menunjuk minya dengan dagu, “kalau ramennya
gratis.”

“Oke. Besok gue beliin ramen satu kardus.”

Rashi menggeleng. Cukup terhibur akan sikap slengean Alby ini. “Jad lo mau nanya apa
sebenernya?”

“Tanggal.”

“Tanggal lahir?”

“Tanggal lo putus terus jadian sama gue.”

Untuk sesaat Rashi terperangah, namun sejurus kemudian ia menutup mulut, tak mampu
menahan tawa gemasnya. Demi Tuhan dari semua cowok yang pernah Rashi beri kesempatan,
Alby yang kocaknya paling absurd dan berani.

“Enggak sekalian lo ngajak gue selingkuh?”

“Entar gue jadi sad boy. Ogah.”

“Dih, ngganggep serius.”

“Emang dari awal kenal lo, gue pengennya serius terus, Barbie.”

Di mata Rashi, Alby Cuma sekadar penasaran mencoba bermain dengan dirinya. Bagaimanapun,
Rashi memiliki nama dan reputasi sebagai seorang perempuan cantik berkelas. Jsederhananya
ia memang selalu jadi target challenge cowok-cowok menaklukkan dirinya, termasuk Alby ini.

Haruskah Rashi menolaknya?

Sebenarnya tidak perlu seserius itu juga. Ia dan Twelve Cuma pura-pura, dan ikatan di antara
mereka sebatas perintah Mahesa. Sebagai perempuan juga, Rashi bukannya tidak tertarik atau
penasaran dengan sosok Alby yang digilai banyak cewek.

Tapi kenapa yah, Rashi ragu?

Entah kenapa senyum Alby mengingatkannya pada Mahesa.

Senyum-senyum manis orang licik.

“Lo belum ngasih tau gue rasa ramennya. Enak atau enak banget?”

Alby langsung tergelak. “Dibanting pun tetep enak asal ada lo, Cantik.”

“Lama-lama lo gue panggil lidah berminyak, serius.”

“Lidah buaya.” Alby menjulurkan lidahnya usil. “Mau maskeran?”

“Alby, jijik, ah!”

“Fuck it, Girly. Say it again.”


Kenapa dia malah terangsang?!

Rashi belum pernah berhadapan dengan orang sekoplak Alby. Jadi Rashi Cuma bisa tertawa
tanpa bisa membalasnya, lsejenak fokus untuk membawa mi mozarella itu ke mulut. Jelas terasa
Alby terus memandanginya.

Agak berbahaya, pikir Rashi sekarang.

Dinilai dari sikapnya, Alby bukan tipe cowok yang ‘aku tidak mau menyentuhmu kecuali kamu
berkata iya dan rela’. Dia lebih seperti ‘aku mau menyentuhmu jadi terima saja, dan kalau tidak
mau, belajarlah terima’.

Hujan di luar mulai reda. Apa sebaiknya Rashi bergegas pulang?

“Gue selalu liat lo pake kalung itu, Princess.” Alby menarik perhatiannya lagi. Menyandar ke
belakang dengan tangan terlipat, masih memegang sumpit. “Foto-foto selalu ada kalung itu.
Spesial banget?”

“Kok tau?”

“Gue kan stalker.”

“Anggep aja gitu.” Rashi menyentuh lehernya, mengusap lembut bentuk mahkota yang
menempel di kulitnya. Bagian leher baju cowok memang selalu kebesaran, apalagi baju jenis
sweater begini. “Dikasih orang spesial, jadi harus dipake terus.”

“Mahesa?”

“Emang orang spesial di hidup gue tuh Cuma Mahesa?”

“Waktu maba enggak lo pake.”

“Tau dari mana?”

“Dibilang gue stalker.” Alby malah ngotot. “Gue nih fanboy nomor satu lo, Princess Rashi Anuja.
Masa lo pake kalung atau enggak aja gue enggak tau. Malu dong.”

Bukannya lebih malu-maluin dia mengaku jadi stalker? Sekarang Rashi tak heran mengapa Alby
sukses menaklukkan selangkangan banyak cewek. Dia tipe nyebelin tapi karena ganteng,
nyebelinnya tercover.

Rashi menggeleng atas pikiran konyolnya itu. Akhirnya diletakkan sendok, menatap langsung
kedua mata Alby.

“Biasanya ada satu cara membuat cowok yang penasaran jadi bosan.

Mudahkan saja mereka mendapatkan incarannya.

Dia akan bosan, berpaling pergi tanpa harus disuruh.

“Well, jadi lo fans nomor satu gue gitu, ceritanya?”

“Of course I am, Lady.”


“Lo mau fan service?”

“Serius?!” Dia meloncat semangat.

“Tapi ada syaratnya.”

“Bangun seribu candi pun gue jabanin, Pretty.”

Jari Rashi terangkat satu.

“What? Make you cum in one minute?”

“You stupidhead. Maksud gue Cuma sekali.”

“Satu kali seratus?”

“Take or leave, Alby.”

“Oh, come on.”

Rashi mengangkat bahu, lanjut menyantap ramennya sementara Alby menyeringai kecut di
sana. Biar saja dia menganggap, Rashi sedang mau selingkuh dari Twelve tapi selingkuhnya
Cuma satu jam.

Jawabannya sudah ditentukan.

Bagi Alby yang dihadapkan pada Rashi, yang baru mandi, wangi, plus memakai sweaternya di
dalam apartemen sepi, jterllau nyata untuk ditinggalkan, apalagi dengan alasan klasik ‘mau
lebih dari sekali’.

Di kepalanya sekarang pasti hanya ada pikiran praktis. Bodo amat dulu soal besok dan
besoknya.

Anda mungkin juga menyukai