Kel 2 Bab 4 Komunikasi Verbal
Kel 2 Bab 4 Komunikasi Verbal
KOMUNIKASI VERBAL
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Interpesonal Skill
Dosen Pengampi Dr. Yessi Sri Utami, M.I.Kom
Disusun Oleh :
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Dr. Yessi Sri Utami, M.I.Kom pada mata
kuliah Interpersonal Skill di Universitas Putra Indonesia Cianjur Selain itu, penyusun juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Komunikasi
Verbal.
Penyusun mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. Yessi Sri Utami,
M.I.Kom selaku dosen pengampi mata kuliah Interpersonal Skill. Tugas yang telah diberikan
ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penyusun.
Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penyusun terima demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan simbol-simbol verbal, baik
secara lisan maupun tulisan. Dalam praktik sehari-hari, komunikasi verbal tidak dapat
dilepaskan dari penggunaan bahasa. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan
pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang
merepresentasikan berbagai aspek individual kita.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti mengidentifikasi masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana komunikasi verbal dilakukan dalam tempat kerja
2. Hambatan apa saja dalam komunikasi verbal
C. Perumusan Masalah
Adapun Perumusan Masalah yang disusun oleh penyusun :
1. Apa itu Komunikasi Verbal
2. Bagaimana mengetahui apa saja hambatan didalam komunikasi verbal
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian untuk makalah yang berjudul “ Komunikasi Verbal“
untuk:
1. Mengetahui apa itu komunikasi verbal
2. Mengetahui hambatan apa saja didalam komunikasi verbal
BAB II
PEMBAHASAN
Sekilas, semua contoh tersebut menunjukkan berbagai jenis komunikasi karena masing-
masing contoh tersebut memperlihatkan berbagai cara orang berkomunikasi, ada yang
berkomunikasi menggunakan pesan teks, ada yang menggunakan pesan suara, ada juga yang
berkomunikasi secara langsung dan bertatap muka. Namun, pada kenyataannya semua contoh
komunikasi di atas memiliki jenis komunikasi yang sama, yakni komunikasi verbal. Benarkah
begitu?
Mari kita simak pengertian komunikasi verbal menurut beberapa ahli komunikasi
berikut. Menurut Mulyana (2008: 260), pesan verbal adalah semua jenis simbol yang
menggunakan satu kata atau lebih, komunikasi verbal adalah Komunikasi yang menggunakan
kata-kata, baik secara lisan maupun tulisan.
Komunikasi verbal dapat dibedakan atas komunikasi lisan dan komunikasi tulisan.
Komunikasi lisan merupakan suatu proses di mana seorang pembicara (komunikator)
berinteraksi secara lisan dengan pendengar (komunikan) untuk mempengaruhi tingkah laku
komunikan. Komunikasi lisan dapat terjadi dalam bentuk percakapan langsung dan tatap muka,
atau dapat juga secara tidak langsung melalui media berupa telepon, radio, televisi, dan lain-
lain.
Sedangkan komunikasi tulisan merupakan suatu proses komunikasi yang menggunakan
bantuan media perantara dalam penyampaian pesan. Media perantara yang dimaksud di sini
misalnya kertas, berupa surat, buku, gambar, laporan, serta memo. Komunikasi tertulis ini juga
merupakan cara untuk merekam bahasa yang terucap (lisan) dengan membuat tanda-tanda pada
kertas maupun pada lembaran lainnya. Penulisan seperti ini memungkinkan manusia untuk
merekam dan menyimpan pengetahuan sehingga dapat digunakan di masa depan atau
ditransmisikan kepada generasi-generasi berikutnya. Berdasarkan kedua definisi di atas, semua
contoh di atas merupakan contoh komunikasi verbal. Hal ini karena semua orang dalam contoh
tersebut menggunakan kata-kata dalam berkomunikasi, tak peduli apakah mereka
menyampaikan kata-kata tersebut melalui pesan teks, pesan suara, atau pun secara langsung.
B. BAHASA
Bahasa merupakan sistem lambang terstruktur yang digunakan untuk berkomunikasi.
Hingga saat ini belum ada satu teori pun yang diterima luas mengenai bagaimana bahasa itu
muncul di dunia. Bahasa non verbal diduga kuat muncul sebelum bahasa verbal. Menurut Larry
L.. Barker (Mulyana, 2008: 266) bahasa memiliki tiga fungsi, yakni: penamaan (naming atau
labeling). interaksi, dan transmisi informasi.
komunikasi antarpribadi, penamaan adalah salah satu cara kita menjelaskan diri kita
kepada orang lain dan juga cara kita untuk mendapatkan informasi tentang orang lain. Kita juga
dapat memberi nama pada apa saja, baik benda, orang, peristiwa, maupun perasaan tertentu
yang kita alami.
Di antara sekian banyak simbol, bahasa merupakan simbol yang paling banyak
digunakan dalam berkomunikasi. Mengapa? Karena bahasa dapat digunakan untuk
mengungkapkan sesuatu hal dari yang sederhana sampai yang rumit dan dari yang konkret
hingga yang abstrak. Bagi para penggemar novel Harry Potter, mungkin familiar dengan kata-
kata mencelos, cermin tarsah, dan pelahap maut. Jika kita melihat KBBI ataupun karya sastra
lain, kata-kata dan istilah ini mungkin tak akan kita temukan. Hal ini karena kata- kata tersebut
merupakan kata ciptaan penerjemah Harry Potter versi bahasa Indonesia, yakni Listiana
Hartanti. Listiana tidak hanya menerjemahkan novel karya J.K. Rowling ini tapi juga
mengadaptasi, menciptakan serta mempopulerkan kata-kata atau istilah-istilah baru ini
sehingga dikenal masyarakat, paling tidak di kalangan pembaca novel Harry Potter. Contoh
lainnya adalah serangkaian kata dan istilah yang diciptakan dan dibuat populer oleh Vicky
Prasetyo, yakni kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, kudeta keinginan, dan lain-lain.
Terlepas kita menyukai istilah-istilah ini atau tidak. tidak dapat dipungkiri bahwa ia telah
menciptakan kata-katanya sendiri dan membuat menjadi dikenal orang lain. Intinya, kita dapat
dengan bebas menciptakan kata-kata atau memberi nama terhadap suatu hal tetapi kita perlu
untuk mengenalkan makna kata-kata tersebut kepada orang lain agar pesan kita tersampaikan
dengan baik.
Fungsi kedua adalah fungsi interaksi, yakni sebagai sarana kita dalam berhubungan
dengan orang lain. Fungsi ini menekankan pada berbagi gagasan dan emosi, yang dapat
mengundang simpati, pengertian, amarah, dan kebingungan. Bahasa memungkinkan kita untuk
bergaul dengan orang lain baik dengan maksud sekedar memperoleh kesenangan maupun
mempengaruhi mereka demi mencapai tujuan kita (Mulyana, 2015: 267).
Berbeda dengan bahasa nonverbal yang menggunakan gestur, perilaku, atau hal lain
yang mewakili atau melambangkan beberapa jenis makna, karakteristik bahasa verbal adalah
menggunakan jenis simbol yang spesifik, yakni kata. Kata merupakan inti lambang terkecil
dalam bahasa. Kita menggunakan kata-kata untuk mewakili ide-ide, pengamatan, perasaan, dan
pikiran. Kata-kata memiliki pengaruh besar pada bagaimana kita berhubungan dengan orang
lain. Seperti yang telah diterangkan di awal, satu hal penting yang perlu diingat adalah bahwa
kekuatan komunikasi verbal tidak terbatas pada kata-kata yang kita ucapkan, tetapi juga
termasuk kata-kata yang kita tulis. Ketika kita mendengar istilah verbal, kita kadang-kadang
hanya memikirkan bahasa lisan. Padahal, pesan tertulis juga merupakan bahasa verbal, karena
mereka juga menggunakan kata-kata. Berikut ini merupakan karakteristik kata:
Kata merupakan simbol. Pernyataan itu berarti bahwa setiap kata mewakili objek atau
ide tertentu, tetapi tidak merupakan objek atau ide itu sendiri. Seringnya, kita menganggap
bahwa kata-kata itu memiliki makna, namun sebenarnya kitalah yang memberi makna pada
kata-kata. Makna tidak melekat pada kata, namun kata membangkitkan makna dalam pikiran
kita. Sebagai contoh, ketika disebutkan kata "kucing", yang terlintas di pikiran kita adalah
makhluk lincah yang suka mencuri ikan ataukah makhluk lucu berbulu yang sering meringkuk
di atas sofa.
Charles Ogden dan Ivor Richards mengembangkan model yang di dalamnya terdapat
tiga elemen penting dalam kata yang saling berhubungan, yakni referen (referents),
pemahaman (thought), dan simbol (symbols) (lihat Gambar 5.1). Referen adalah objek nyata
yang direpresentasikan oleh simbol. Pemahaman adalah pikiran subjektif kita mengenai simbol
tersebut (Mulyana, 2008:282)
Cara lain untuk memahami sifat simbolik kata adalah untuk mengingat bahwa bahasa
yang berbeda memiliki kata-kata yang berbeda untuk hal yang sama (Floyd, 2011: 145). Kata
rumah dalam Bahasa Indonesia misalnya, yang mempunyai arti bangunan untuk tempat tinggal,
dalam Bahasa Inggris adalah "home' atau 'house, dalam bahasa Jepang adalah, sedangkan
dalam Bahasa Jerman ia disebut 'hous". Berbagai kata tersebut adalah simbol yang sama sekali
berbeda, tetapi semua kata itu mewakili objek atau ide yang sama. Jika kita ingin menciptakan
bahasa sendiri, kita bisa menciptakan istilah yang kita inginkan untuk mewakili konsep
'rumah".
Sebagian besar kata bersifat sewenang-wenang. Maksudnya, tidak ada alasan jelas
mengapa kata tertentu mewakili suatu arti (Beebe, Susan Beebe, dan Redmond, 2008: 160).
Sebagai contoh, kata 'tikus tidak kelihatan seperti tikus atau berbunyi tikus. Meski demikian
pikiran kita langsung tertuju kepada tikus, hewan pengerat kecil yang sering dikejar oleh
kucing. Intinya adalah bahwa makna dari hampir dari semua kata adalah sewenang-wenang,
kata secara harfiah berarti dapat bermakna apa pun sesuai pilihan kita sebagai pengguna
bahasa. Untuk itu, kita dapat menetapkan hampir setiap kata untuk melambangkan makna
tertentu, membuat hubungan antara bahasa dan makna secara sewenang-wenang.
Selain itu, banyak juga kata yang berasal atau diserap dari bahasa lain, seperti kata
'rupiah yang berasal dari Bahasa Sanskerta 'rupyah". "Kopi' yang berasal dari "koffie' yang
merupakan Bahasa Belanda. Kata 'rezeki yang berasal dari Bahasa Arab 'rizq, dan sebagainya.
Meskipun begitu, seperti yang dijelaskan di awal, sebagian besar kata itu bersifat sewenang-
wenang, yang berarti tidak ada makna yang melekat dalam kata. Hal ini dapat menyebabkan
kesalahpahaman dan kesalahan dalam komunikasi, kecuali jika kita mengembangkan makna
secara umum (Beebe, Susan Beebe, dan Redmond, 2008: 160).
Di awal tadi kita telah mengetahui bahwa makna tidak melekat pada kata. Salah satu
cara memperoleh makna dalam kata adalah dengan melihat dari konteks apa kata tersebut
digunakan. Kata Ibu bisa berarti orang tua kandung perempuan, sebutan bagi wanita yang telah
bersuami maupun wanita yang telah memiliki anak, dosen atau guru perempuan, atau sapaan
untuk bos atau atasan perempuan. Kita perlu mengetahui konteks kalimat untuk menguraikan
makna spesifik dari kata tersebut. Sifat transaksional komunikasi menekankan bagaimana
makna diciptakan melalui diskusi (Beebe, Susan Beebe, dan Redmond, 2008: 161).
Selain terikat pada konteks, kata juga terikat pada kultur atau kebudayaan. Antropolog
yang bernama Edward Sapir bersama ahli bahasa bernama Benjamin Whorf mengungkapkan
sebuah gagasan yang disebut sebagai hipotesis Sapir-Whorf, yakni bahasa mempengaruhi cara
orang dengan budaya tertentu melihat dunia dan bahwa sikap dan perilaku mereka tercermin
dalam bahasanya (Floyd, 2011: 150)
Bahasa sangat bervariasi dari satu kultur ke kultur lain, oleh karenanya individu dari
kultur yang berbeda, maka akan berbeda pula cara-caranya dalam memandang dunia.
Misalnya, budaya Eskimo memiliku istilah untuk menyebut 'saiju, sementara sejumlah bahasa
lainnya bahkan tidak memiliki satu istilah pun, terutama bagi yang belum pernah melihatnya.
Menurut Sapir dan Whorf, bahasa dari suatu kultur akan berkaitan langsung dengan bagaimana
cara-cara kita berpikir dalam kultur tersebut.
Terdapat dua makna umum dalam kata, yakni denotasi dan konotasi. Makna denotasi
merupakan makna yang sebenarnya atau definisi objektif dari suatu kata. Sedangkan makna
konotasi adalah makna yang bukan sebenarnya, makna subjektif atau pribadi dan mempunyai
nilai rasa. Untuk memudahkan kita membedakannya, mari kita simak contoh berikut. Makna
denotasi dari kata 'sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta
tempat menerima dan memberi pelajaran (http://kbbi.web.id/sekolah, diakses pada tanggal 24
Juni 2016, pukul 12:55). Sedangkan makna konotasi sekolah bagi kita bisa saja merupakan
tempat di mana kita dapat bertemu dengan teman dan belajar hal baru. Namun bagi orang lain,
sekolah mungkin saja tempat yang memiliki banyak aturan dan dapat membatasi namun wajib
ditempuh sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan.
Kata dapat disusun dari abstrak ke konkret. Kata dapat disebut konkret apabila kita
dapat mengalami rujukan mengenai objek yang dimaksudkan melalui indra kita. Artinya, jika
kita bisa melihat, merasakan, mendengar, mencium, maupun menyentuhnya berarti kata
tersebut adalah konkret. Namun apabila kita tidak dapat merasakannya melalui indra kita maka
kata tersebut adalah abstrak. Kita dapat memvisualisasikan urutan kata tersebut dari abstrak ke
konkret, layaknya tangga. Untuk mempermudah kita memahami ini, mari kita
lihat gambar berikut.
Pada gambar di atas, tangga yang paling bawah adalah kata yang paling abstrak, yakni
kata 'mesin', yang mempunyai arti sangat luas. Semakin kita lihat ke atas, maka bayangan kita
tentang objek tersebut semakin spesifik dan konkret. Pada umumnya, semakin konkret kata-
kata atau bahasa yang kita gunakan, maka makna yang sarnpai pada komunikan akan semakin
mendekati dengan makna yang kita maksudkan.
1. Polarisasi
Mencari lawan kata dari kata-kata seperti rajin, senang, tinggi, berat, besar, dan lain-
lain mungkin mudah bagi kita, dan mungkin akan lebih sulit jika kita mencari kata-kata yang
menjelaskan posisi yang berada di tengah- tengah makna tadi, seperti "sesuatu di antara senang
dan sedih" atau "sesuatu di antara rajin dan malas". Kita mungkin akan membutuhkan banyak
waktu untuk memikirkan kata-kata yang tepat atau menggunakan frasa dengan beberapa kata
untuk mewakili sesuatu yang berada ditengah-tengah atau netral tersebut. Selain itu, mungkin
kita menyebut hal yang netral tersebut dengan istilah yang berbeda-beda.
Hal-hal tersebut membuat kita cenderung melakukan polarisasi, namun jika ini kita
lakukan maka akan timbul masalah karena bahasa yang kita gunakan tidak mencerminkan
realitas atau kenyataan secara akurat. Kita pada akhirnya percaya pada bahasa yang kita
ucapkan tadi, yakni meniadakan hal yang berada di tengah atau netral tersebut dan percaya
bahwa sesuatu hanya berada pada titik ekstrem tersebut. Contohnya seperti "Kau mau
mendukungku atau menghalangiku?," "Dia musuh atau teman?," "Aku mengirim pesan
padanya bahwa aku menyukainya, lalu aku bertanya apakah kau menyukaiku? Tapi dia tidak
membalas pesanku. Oh, dia pasti sangat membenciku."
2. Orientasi Intensional
Orientasi intensional mengacu pada kecenderungan kita melihat objek, manusia, atau
peristiwa sesuai dengan ciri yang melekat pada hal tersebut. Orientasi intensional terjadi
apabila kita bertindak seolah label yang melekat pada suatu objek lebih penting daripada objek
itu sendiri. Misalnya, Doni dikenal teman sekelasnya sebagai anak yang "kurang pandai", maka
Sania secara intensional, menilai Doni sebagai seseorang "yang kurang pandai" dan menolak
permintaan Doni untuk bergabung sebagai anggota kelompok, sebelum melihat usaha dan hasil
pekerjaannya.
Dalam level yang lebih ekstrem, seseorang akan bereaksi terhadap label pada suatu
objek seolah itu merupakan objek yang sebenarnya. Contohnya, Mia sangat takut kepada
kecoak, ia akan berjengit dan pergi menghindar jika melihat gambar kecoak atau mendengar
orang lain membicarakan kecoak. Mia bereaksi terhadap label (gambar atau uraian verbal) pada
kecoak seolah-olah itu merupakan kecoak yang sebenarnya.
3. Implikasi Pragmatis
Dalam berkomunikasi, kita dapat membuat pernyataan mengenai hal-hal yang kita
amati sebelumnya ataupun yang belum pernah kita lihat sama sekali. Perhatikan dua kalimat
berikut: (1) "Dia menyandang ransel berwarna cokelat", (2) "Vira memperlihatkan senyumnya
yang penuh ketulusan". Pada kalimat pertama, kita dapat melihat ransel dan berwarna cokelat
yang disebutkan, jadi kalimat ini merupakan fakta. Namun, pada kalimat kedua bagaimana cara
kita mengetahui bahwa itu adalah "senyum yang penuh ketulusan?". Kalimat kedua bukanlah
pernyataan deskriptif melainkan pernyataan inferensial (penyimpulan). Pernyataan inferensial
merupakan pernyataan yang dibuat bukan hanya berdasarkan pada apa yang kita lihat tetapi
juga pada apa yang kita simpulkan. Agar kita lebih jelas melihat perbedaan antara pernyataan
fakta dan referensial lihat Tabel 5.1.
Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan pernyataan inferensial seperti contoh di
atas. Masalah baru akan muncul ketika kita berpikir seolah-olah pernyataan inferensial tersebut
adalah fakta. Hambatan yang ditimbulkan inilah yang dinamakan implikasi pragmatis.
Mari perhatikan contoh berikut. Kita baru saja mendengar kabar bahwa Gista
memutuskan hubungan percintaannya dengan Edo, kekasihnya. Kemarin, kita mengetahui
bahwa orang tua Edo, yang merupakan pengusaha kaya, mengalami kebangkrutan dan semua
aset yang dimiliki keluarganya disita oleh bank. Berdasarkan pengetahuan ini kita menarik
suatu implikasi pragmatis yang merupakan kesimpulan yang belum tentu kebenarannya. Dalam
contoh ini, kita menyimpulkan bahwa Gista memutuskan Edo karena keluarga Edo telah
bangkrut. Kita mempunyai dua implikasi pragmatis di sini, yakni: (1) Gista memutuskan
hubungan cintanya dengan Edo hari ini. (2) Gista putus dengan Edo karena keluarga Edo telah
bangkrut.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, tidak ada salahnya menarik implikasi
pragmatis, kita semua melakukannya. Masalah baru timbul ketika setelah kita menarik
implikasi pragmatis tersebut, kita kemudian lupa bahwa ini merupakan hasil kesimpulan bukan
fakta. Kita lalu mengingat kesimpulan "Gista memutuskan Edo karena keluarga Edo bangkrut
sama dengan kita mengingat fakta bahwa Gista telah putus dengan Edo. Saat kita mengetahui
bahwa Gista, di kemudian hari, menjalin hubungan dengan seorang anak pengusaha kaya
lainnya, plot yang kita bangun mulai berkembang, dan kita mulai menarik implikasi pragmatis
berdasarkan implikasi pragmatis lainnya. Kita lupa membedakan antara fakta dan kesimpulan
yang kita buat sendiri. Pada tahap ini kita akan semakin menjauhi fakta dan pengamatan tanpa
pernah menyadari bahwa kita pernah melakukan hal ini.
4. Bypassing
5. Kesemuaan (Allness)
Dunia ini sangat kompleks karena itu kita tidak dapat mengetahui semua hal atau
mengatakan segala sesuatu tentang suatu hal. Pada dasarnya, kita tidak pernah melihat sesuatu
secara keseluruhan atau mengalami sesuatu secara lengkap, kita hanya melihat beberapa bagian
dari suatu objek, kejadian, atau orang. Namun kemudian, atas dasar yang terbatas itu kemudian
kita menyimpulkan bagaimana bentuk keseluruhan suatu hal. Kita cenderung menggeneralisasi
suatu objek tersebut berdasarkan hal yang terbatas dan bukti yang tidak memadai, hal inilah
yang disebut sebagai kesemuaan. Contohnya adalah ketika mengatakan "Kamu tidak pernah
mengerti Saya" atau "Kamu tidak pernah mendengarkan perkataanku", sebenarnya yang terjadi
adalah kita tidak selalu mengalami hal ini, tapi kita mengucapkannya seolah sepanjang waktu
hal tersebut terjadi sepanjang waktu.
6. Evaluasi Statis
Pada suatu hari kita melihat seorang host di suatu program televisi. Menurut persepsi
kita, cara berkomunikasi dan materi komunikasi yang dikemukakan bost tersebut tidak baik,
sehingga kita membuat abstraksi tentang komunikator itu pun tidak baik. Evaluasi kita tentang
host tersebut bersifat statis tetap seperti itu dan tidak berubah. Akibatnya, mungkin selamanya
kita tidak mau menonton atau mendengar host tersebut berbicara. Tetapi seharusnya kita
menyadari bahwa host itu dari waktu ke waktu dapat berubah, sehingga beberapa tahun
kemudian ia dapat menyampaikan pesan secara baik dan menarik.
7. Indiskriminasi
Indiskriminasi terjadi bila kita memusatkan perhatian pada kelompok orang, benda atau
kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik atau khas dan perlu
diamati secara individual. Indiskriminasi juga merupakan inti dari stereotip, Stereotip adalah
gambaran mental yang menetap tentang kelompok tertentu yang kita anggap berlaku
untuk setiap orang anggota) dalam kelompok tersebut tanpa memperhatikan adanya kekhasan
orang bersangkutan. Terlepas dari apakah stereotip itu positif atau negatif, masalah yang
ditimbulkan tetap sama. Sikap ini membuat kita mengambil jalan pintas yang
seringkali tidak tepat.
Penelitian Deborah Tannen dalam (Liliwari 2016) tentang Pemakaian berada antara
perempuan dan laki-laki melalui pendekatan "Perbedaan Budaya Menyatakan bahwa laki-laki
melalui percakapan pelaporan (report) yang bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual.
Sedangkan perempuan memiliki gaya yang lebih mengutamakan hubungan (rapport and
relationships) karena perempuan lebih peduli membangun dan memelihara hubungan."
Perempuan dan laki-laki menggunakan bahasa dengan berbeda baik dari kata-kata
maupun dari perilaku. Misalnya, diantara penutur bahasa Inggris, perempuan cenderung untuk
menanyakan banyak pertanyaan. Lebih mendengarkan, dan menggunakan kata-kata yang
suportif. Laki-laki disisi lain lebih sering untuk memotong pembicaraan, dan menyatakan
pendapatnya dan bukan pendengar yang baik. Di Jepang perbedaan bahasa antara laki-laki dan
perempuan sangat kelihatan. Perempuan menggunakan lebih banyak istilah honorifik dan dua
gender ini menggunakan kata yang berbeda untuk menyatakan hal yang sama. Deddy Mulyana
(283-285:2008) menyebutkan bahwa kosakata yang berbeda antara pria dan wanita salah
satunya disebabkan oleh sosialisasi mereka yang berbeda antara pria dan wanita salah satunya
disebabkan oleh sosialisasi mereka yang berbeda. Khususnya minat mereka yang berlainan
terhadap berbagai aspek kehidupan yang berbeda antara wanita dilaporkan mengenal lebih
banyak warna seperti chartreuse, ecru, magenta, mauve pace, feal dan sebagainya. Mereka juga
lebih lazim menggunakan kata sifat yang hambar (empty adjective), seperti divine, charming,
cute sweet adorable, lovely, precious, dan sebagainya. Mungkin karena sering berada dalam
dominasi pria, bahasa mereka tidak setegas bahasa pria. Wanita biasanya lebih sering
menggunakan kalimat-kalimat yang di ujungnya menyandung Tanya. Contoh: "Sarah is here,
isn't she? Alih-alih "is Sarah here? Atau kalimat yang diakhiri dengan "right?" atau "ok?"
kekurang percayaan diri mereka juga diekspresikan lewat kata-kata penguat (intensifiers),
misalnya so, very, dan sebagainya juga berbagai kata atau frase- frase yang melemahkan seperti
"maybe", "perhaps", dan sebagainya dan tata hahasa serta ucapan yang hiperkorek (resmi) serta
frase-frase yang lebih sopan dan wanita juga lebih sering menggunakan kutipan langsung
(menggunakan kata-kata sendiri), juga lebih sering menggunakan intonasi pertanyaan dalam
konteks deklaratif, misalnya sebagai jawaban pertanyaan "when will the dinner be ready?"
adalah "arround 6 clock?" seolah-olah mencari persetujuan dan bertanya apakah waktu itu
sesuai. Ternyata wanita juga kurang rasa humor, mereka kurang pandai menyampaikan lelucon
dan sering tidak paha arti lelucon yang disampaikan pris. Di samping itu wanita juga lebih
enggan menyumpahi dan memaki.
1. Ditandai apologis
2. Pernyataan tidak langsung
3. Pernyataan yang minta persetujuan
4. Mengkualifikasikan
5. Perintah yang sopan
6. Menggunakan istilah color
7. Cenderung menghindari bahasa vulgar
8. Sedikit berbicara, banyak mendengarkan.
Kata yang berbentuk nama merupakan perangkat linguistik yang digunakan untuk
mengidentifikasi sesuatu atau seseorang. Nama kita tidak hanya sekedar pembeda dari orang
lain, tapi juga sebagai komponen diri kita. Dari sudut pandang komunikasi interpesonal,
nama merupakan salah satu cara untuk merepresentasikan diri kita, juga untuk mendapatkan
informasi tentang orang lain. Bagaimana nama membentuk penilaian orang lain. Kesan
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti penampilan dan tingkah laku, kesan juga dapat
terbentuk dibentuk dari nama seseorang. Nama depan seringkali memberikan informasi
demografis mengenai diri seseorang, seperti informasi jenis kelamin dan kadang informasi
daerah asal. Misalnya, di Indonesia narna depan Budi, Anto, sering dimiliki laki-laki dan nama
Putri, Dewi merupakan nama perempuan
b. Penamaan
Penamaan merupakan fungsi bahasa yang mendasar. Penamaan atau merujuk pada
usaha mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat
dirujuk dalam berkomunikasi. Penamaan seseorang berbeda di berbagai daerah dan budaya.
2. Kita Menggunakan Kata untuk Mempengaruhi
a. Klise
b. Dialek
c. Berdalih/ Mengelak
Kita sering menggunakan pengelakan ketika berada dalam situasi, di mana pilihan kata
dan jawaban yang ada tidak akan berdampak baik. Misalnya, saat orang lain bertanya dan kita
tidak tahu jawabannya tetapi tidak mau mengakui hal tersebut. Maka, mengelak atau berdalih
pilihan menjadi pilihan yang kita lakukan. Hal tersebut tidak memberikan informasi kepada
penanya, sehingga dapat menurunkan kredibilitas kita.
Kita dapat menggunakan kata untuk memberikan rasa nyaman bagi orang lain, sebagai
bentuk perhatian.
Selama lebih dari tiga dekade, Jack Gibbs meneliti penggunaan perilaku verbal yang
berkontribusi terhadap perasaan orang lain, baik itu menunjukkan dukungan atau ketegasan.
Gibbs menghabiskan beberapa tahun untuk mengobservasi kelompok individu dalam
pertemuan dan percakapan. la mencatat bahwa pertukaran komunikasi verbal dapat
menciptakan iklim yang suportif dan juga defensif. la menyimpulkan, bahwa kata dan tindakan
adalah alat yang kita gunakan untuk menunjukkan kepada orang lain apakah kita mendukung
mereka atau tidak (Beebe, 1996:188). Pada bab selanjutnya, kita juga akan mempelajari
bagaimana tanda-tanda non verbal dapat mempengaruhi kualitas hubungan. Di bawah ini, akan
dijelaskan bagaimana kita dapat memanfaatkan penggunaan kata untuk menciptakan iklim
yang mendukung dan menghindari iklim bermusuhan (Beebe, 1996: 188-191).
Bersikap tulus berarti secara jujur bersikap dan berbicara dan tidak berusaha menjadi
orang lain. Seseorang yang manipulatif memiliki maksud tersembunyi dan berfokus hanya
pada kepentingannya sendiri ketika menyampaikan kata kepada orang lain. Seseorang yang
tulus menggunakan kekuatan kata.
Bersikap tulus berarti secara jujur bersikap dan berbicara dan tidak berusaha menjadi
orang lain. Seseorang yang manipulatif memiliki maksud tersembunyi dan berfokus hanya
pada kepentingannya sendiri ketika menyampaikan kata kepada orang lain. Seseorang yang
tulus menggunakan kekuatan kata untuk mendiskusikan sebuah isu dan masalah secara jujur
dan terbuka dengan tujuan mencari jalan keluar masalah.
Empati merupakan salah satu tanda dari sebuah hubungan yang suportif. Dengan
memosisikan diri terhadap apa yang dirasakan oleh lawan bicara, maka kita dapat memilih
kata-kata yang tepat. Misalnya, dalam menghibur teman yang tertimpa musibah, gunakanlah
kata yang sensitif dengan situasi yang dialaminya.
Jangan menggunakan istilah asing yang sulit dipahami olch lawan bicara. Misalnya,
seorang dokter spesialis menjelaskan penyakit kepada pasien yang berpendidikan rendah,
maka, hindari menggunakan istilah kedokteran yang tidak dapat dipahami pasien. Gunakanlah
bahasa yang ringan dan umum.
Salah satu kunci dalam mempertahankan hubungan jangka panjang adalah dapat
menunjukkan bagaimana kita menghargai orang lain. Selain dengan kebaikan yang kita
lakukan, penggunaan kata juga diperlukan untuk menunjukkan penghargaan dan kepedulian
yang tulus terhadap orang lain. Kata yang kita pilih dalam berkomunikasi, dapat menyalurkan
perasaan dan berdampak pada hubungan kita dengan orang lain.
e. Konfirmasikan respons
Orang lain menilai kita dari penggunaan kata dan tingkah laku kita, bukan dari maksud
dan tujuan kita. Orang lain yang menerima pesan kita, akan menentukan apakah mereka
menerima efek yang kita maksudkan, Agar tidak terjadi kesalahpahaman, kata dapat digunakan
untuk mengkonfirmasi respons orang lain, respons misalnya dapat berupa penilaian, setuju atau
tidak setuju, dukungan, klarifikasi dan pujian.
BAB III
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
Bahasa merupakan sistem lambang terstruktur yang digunakan untuk berkomunikasi.
Hingga saat ini belum ada satu teori pun yang diterima luas mengenai bagaimana bahasa itu
muncul di dunia. Bahasa non verbal diduga kuat muncul sebelum bahasa verbal. Menurut Larry
L. Barker (Mulyana, 2008: 266) bahasa memiliki tiga fungsi, yakni: penamaan (naming atau
labeling), interaksi, dan transmisi informasi.
Komunikasi verbal dapat dibedakan atas komunikasi lisan dan komunikasi tulisan.
Komunikasi lisan merupakan suatu proses di mana seorang pembicara (komunikator)
berinteraksi secara lisan dengan pendengar (komunikan) untuk mempengaruhi tingkah laku
komunikan. Komunikasi lisan dapat terjadi dalam bentuk percakapan langsung dan tatap muka,
atau dapat juga secara tidak langsung melalui media berupa telepon, radio, televisi, dan lain-
lain.
Fungsi bahasa yang paling mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki objek,
orang, maupun peristiwa. Kita sebagai manusia, masing- masing mempunyai nama sebagai
identifikasi sosial. Dalam perspektif komunikasi antarpribadi, penamaan adal adalah salah satu
cara kita menjelaskan diri kita kepada orang lain dan juga cara kita untuk mendapatkan
informasi tentang orang lain. Kita juga dapat memberi nama pada apa saja, baik benda, orang,
peristiwa, maupun perasaan tertentu yang kita alami.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dan laki- laki cenderung
menggunakan gaya bahasa yang sedikit berbeda. Robin lokof dalam (Liliwari 2016, 370)
mengidentifikasi tentang gaya bahasa gender. Dia menemukan bahwa gaya bahasa berfungsi
untuk menjaga peranan perempuan tetap sebagai interior dalam masyarakat dan gaya normatif
dan sekaligus menyiratkan bahwa gaya bahasa perempuan tidak selalu normatif.
DAFTAR PUSTAKA
https://pustaka.ut.ac.id/reader/index.php?modul=SKOM431304