Anda di halaman 1dari 45

Yopi Setia Umbara

Pacarku

kadang-kadang pacarku mirip trolley


yang senang berputar-putar di antara
rak dan etalase seluruh supermarket
kota ini

sesekali menjelma telepon genggam


tak mau berhenti berdering nyaring
mengirimkan pesan atau memanggil
tak karuan

namun lebih sering ia mewujud buku


catatan harian yang tak bosan-bosan
menulis sekaligus mengejakan waktu
bagi diriku

2011

Belajar Tabah
di bawah sebatang pohon waru kurus
yang membiarkan pucuknya menjauh
dan payah menggapai-gapai ke langit
kita berteduh

seperti berlindung dari rekayasa cuaca


yang menjadikan musim tak menentu
begitulah badan kering kita menerima
kehendak waktu

pada bayang-bayang lebar daun waru


yang meredam tajam cahaya matahari
di tanah kita sama-sama belajar tabah
kepada rumput

2011
Sebuah Fragmen (1)

lepas tengah malam aku menunggu


entah apa di bawah papan reklame
menyaksikan terminal kota lengang
tinggal lengking pesing

seseorang asing datang mendekat


ia sekadar ingin menanyakan jam
lalu menghilang ke remang waktu
mahluk apa itu tadi

jalanan sunyi selain sampah plastik


bekas makanan yang tertiup angin
terbang lalu jatuh kembali di aspal
dan tiba-tiba gerimis

2011

Sebuah Fragmen (2)

pacarku datang begitu tergesa-gesa


entah sebab apa wajahnya memerah
persis tomat yang matang dan segar
ia menatapku

ia ucapkan selamat siang lalu duduk


aku mencium matahari dari bajunya
yang bergambar kembang lavender
berwarna ungu

ia membawa sebuah kotak makanan


yang berisi agar-agar rasa sari kelapa
sungguh manis juga kenyal di lidah
seperti cinta

2011
Sebuah Fragmen (3)

menulis puisi hingga menjelang pagi


lalu tidur dan bermimpi aneh sekali
aku bertemu orang yang wajahnya
mirip denganku

entah jam berapa ketika aku bangun


matahari telah menyusup ke kamar
yang begitu lembab juga bau asap
seperti badanku

lantaran terlalu banyak minum kopi


pinggangku rasanya selalu kesakitan
jika kencing berdiri di kamar mandi
meski sebentar

2011

Sebuah Cinderamata
pada mula menapaki jalan menuju rumahmu*
aku mengikuti gambar perasaan dan suasana
yang jernih dapat dibaca serupa sebuah peta
perjalanan usia

diam-diam tapak langkah kaki ini membekas


lebih dalam pada wajah tanah seperti seluruh
kata-kata bertuah yang menjadi cinderamata
bagi tubuh

hingga hembusan angin paling tipis di badan


bergetar bagaikan gemuruh riuh peradaban
yang begitu membabi-buta terus memburu
inti jantung

2011
*judul antologi puisi Acep Zamzam Noor
Langit
ia memang bisu
tapi isyaratnya
tak pernah ragu

2011

Bumi
ia terus bergetar
serupa tanda
bilangan usia

2011

Sajak Ulang Tahun untuk Acep Zamzam Noor


demi perih yang setia merawat perut
tuan adalah bedebah penunjuk arah
sepanjang jalan

2011
Yopi Setia Umbara

Elegi Pohon Rambutan

pohon rambutan di balik pagar rumah ibu


sudah lama tak berbuah. malah terus
dirambati parasit. juga bermacam-macam
ulat yang mengigiti daun. hingga menjadi
kepompong di sana. mungkinkah lantaran
cuaca yang labil. padahal aku rindu benar
memetik buah rambutan. seperti mendamba
ketentraman di negeri hatiku yang kecil ini

2011

Ibu Berjalan dalam Hujan

di jalan berulang berlubang kedua kaki mungilnya


begitu lincah. membelah setiap genangan hujan
caranya berjalan memegang payung. persis penari
paling kudus. cekatan menghindari cileuncang
tubuhnya yang lebih ringan. dari setiap butir-butir
air hujan tak pernah letih menyiasati cuaca

2010

Di Bawah Pohon Waru

di bawah pohon waru di suatu musim


tak menentu. kita sama-sama berteduh
dari cuaca. juga waktu paling rusuh
pada daunnya yang lebar. meski rapuh
di atas rumput. di alas selembar kardus
lusuh. diam-diam aku mencatat wajahmu
yang lebih pucat. dari rupa orang taat
yang seolah-olah selalu dibayangi maut

2011
Yopi Setia Umbara

Tanjungpinang

tanjungpinang, o, tanjungpinang
jalan-jalan di darat bergelombang
otto dan motor melaju
persis pongpong di laut
bolak-balik mengangkut budak
dari satu pulau ke lain pulau

tanjungpinang, o, tanjungpinang
di tanahmu hidup berdenyut
meski dalam sebuah noktah
di antara ribuan noktah
berpenghuni juga yang lengang
entah tercatat entah tidak

tanjungpinang, o, tanjungpinang
sayang sungguh sayang sekali
aku cuma sampai di tepi-tepi
cuma di sampiran kotamu
di mana angin laut yang rakus
terus menghembuskan pantun

2010

Di Laut Sungai Riau

bagaimana jika perahu besi import


yang melintasi laut sungai riau
tak membawa ke pulau tujuan
lantaran kita terlalu asyik membidik

pulau-pulau kecil di kanan-kiri


elang laut yang terbang sendiri
perahu melaju dari arah berlawanan
mencipta gelombang kejutan
juga bendera negara kita
berkibar di tiang yang mulai berkarat

semua itu sama-sama kita simpan


sebagai potret puitik perjalanan
lalu kita bingkai dengan sajak lirik
saat kita masing-masing pulang nanti

2010
Yopi Setia Umbara

Di Bawah Pohon Waru

di bawah pohon waru. di suatu musim


tak menentu. kita sama-sama berteduh
dari cuaca. juga waktu paling rusuh
pada daunnya yang lebar. meski rapuh
di atas rumput. di alas selembar kardus
lusuh. diam-diam aku mencatat wajahmu
yang lebih pucat. dari rupa orang taat
yang seolah-olah selalu dibayangi maut

2011

Elegi Pohon Rambutan

pohon rambutan di balik pagar rumah itu


sudah lama tak berbuah. malah terus
dirambati parasit. juga bermacam-macam
ulat yang mengigiti daun. hingga menjadi
kepompong di sana. mungkinkah lantaran
cuaca yang labil. padahal aku rindu benar
memetik buah rambutan. seperti mendamba
ketentraman di negeri hatiku yang kecil ini

2011

Doa Daun-daun Labu

daun-daun labu siam yang menjalar


pada pagar. pada batang-batang
juga pada dahan-dahan pohon
di halaman itu. selalu menengadah
ke langit. serupa tangan-tangan
manusia. tak pernah sia-sia berdoa
bagi hidupnya yang teramat dicintai

2011
Ketika Kau Meminta Matahari

Hari sudah sore. Ketika kau meminta


Matahari padaku. Kau merengek-rengek
Seperti setiap kali. Ingin dipetikan
Buah kersen matang. Berwarna merah
Persis matahari sore. Yang menyala
Di antara daun. Dan dahan rawan
Pohon kersen kurus di dekat parit itu

2011

Sepanjang Gang

sayang, tahukah kau apa yang kubayangkan


apabila kita berjalan pulang. setiap sore hari
melewati gang-gang sempit. dengan pintu-pintu
rumah yang berhadap-hadapan. satu sama lain
saling berhimpitan. atau warung-warung kecil
berdekatan. masing-masing berjarak tidak lebih
dari sepuluh meter. di sana bocah-bocah berlari
mengejar bola juga apa saja. seperti leluasa
di antara sepeda motor parkir. sepanjang gang
mesti kita tapaki meski semakin sesak langkah

2011

Pada Sebuah Jalan

sayang, apakah kau menikmati keindahan


musim kemarau. seperti ketika pohon-pohon
membiarkan daun-daun berserak. di jalanan
sepanjang hari. juga merelakan putik-putik
bunga beterbangan. tertiup kencang angin
ke segala arah. sebelum jatuh lalu tumbuh
kembali di tanah yang lain. saat kita berjalan
di bawah pohon-pohon itu. pada sebuah jalan
di kota kita yang telah kehilangan kesunyian

2011
Segelas Coklat Panas

segelas coklat panas. awan yang bergerak


perlahan. menyingkap cahaya matahari
senja di batas langit barat. dan tentu saja
senyummu, sayang. adalah satu komposisi
sanggup menahan laju waktu. sebelum
aku terseret jauh. ke ruang paling gaduh
di balik huru-hara. juga kekisruhan pikiran
menghancurkan keimanan. pada sebentuk
kedamaian hidup yang selalu kupuja-puja

2010

Skuter Kita

sayang, jangan kau cemberut begitu rupa


jika skuterku kebetulan mogok. pada saat
menjemputmu pulang kerja. kerja yang
melelahkan. lantaran tak ada lagi pilihan
aku mohon jangan kau tampakan. dandanan
wajah kesalmu. ketika mesti mondorongnya
bukankah ketika lancar. meski cukup tua
skuter kita masih sanggup. mengejar waktu
juga tetap lincah di jalanan ramai kota kita

2011
Yopi Setia Umbara

Tanjungpinang

tanjungpinang, o, tanjungpinang

jalan di darat bergelombang


otto dan motor melaju
persis pongpong di laut
bolak-balik mengangkut budak
dari satu pulau ke lain pulau

tanjungpinang, o, tanjungpinang

di tanahmu hidup berdenyut


meski dalam sebuah noktah
di antara ribuan noktah
yang ramai juga yang lengang
entah tercatat entah tidak

tanjungpinang, o, tanjungpinang

sayang sungguh sayang sekali


aku cuma sampai di tepi-tepi
cuma di sampiran kotamu
di mana angin laut yang rakus
terus menghembuskan pantun

2010

Cincin Api

kekasihku, jika cuaca membaik


aku pasti datang meminangmu
di jari manismu yang mungil
akan kulingkarkan cincin api
tanda kasih paling abadi
di negeri yang kita cintai

2010
Di Laut Sungai Riau

bode, bagaimana jika perahu impor


yang melintasi laut sungai riau
tak membawa kita ke pulau tujuan
lantaran kita terlalu asyik membidik

pulau-pulau kecil di kanan-kiri


elang laut yang terbang sendiri
laju perahu dari arah berlawanan
mencipta gelombang kejutan

di tiang yang mulai berkarat


bendera negara kita berkibar
atau afrizal yang juga anteng
menenteng kamera berlensa metafora

semua itu sama-sama kita simpan


sebagai potret puitik perjalanan
lalu kita bingkai dengan sajak lirik
saat kita masing-masing pulang nanti

2010

Ibu Berjalan dalam Hujan

di jalan yang berulang berlubang


kedua kaki mungilnya begitu lincah
membelah setiap genangan hujan

caranya berjalan memegang payung


persis penari paling kudus
cekatan menghindari cileuncang

tubuhnya yang lebih ringan


dari setiap butir-butir air hujan
tak pernah letih menyiasati cuaca

2010
Di Kolam Renang

sebab kolam renang bukan laut


janganlah merasa takut
bernafaslah anak gunung
bernafaslah selepas-lepasnya

thompson, tuan opera batak itu


mengajariku bernafas di dalam air
dengan kesabaran toba
yang tumbuh sepanjang rambutnya

di bagian kolam yang lebih dalam


kepala seksi sakai timbul tenggelam
lalu ia tersenyum pendek padaku
seperti cerpen-cerpen koran minggu

tiba-tiba irianto melompat koprol


memecah tenang permukaan kolam
meluncur cepat muncul di ujung lain
seolah menikmati air garam sulawesi

ah, aku cuma bisa bercerita


tentang mereka yang tak takut air
tapi aku tak kunjung mampu
menaklukkan air dengan tubuhku

2010

Kau

di laut lebih jauh


di langit selalu paling tinggi
apakah kau di dalam diri

2010
0 Kilometer Bandung

di titik 0 kilometer bandung


diam-diam malam lepas sudah
kuhisap dalam-dalam
sepuntung rokok kretek terakhir

di sepanjang jalan braga


pada paha juga dada terbuka
berkembang sesuatu yang kudus
meski semuanya tak terlalu mulus

entah sisa hujan sepanjang hari


entah embun mulai turun
jalan suniaraga adalah basah
aku menyusuri lagi jejak gairah

dari otista sampai stasiun bandung


kutemukan kau di balik rok mini
para perempuan penjaga malam
merelakan tubuh bagi yang butuh

hoi, penyair mana yang tahan


merawat sudut-sudut lembab kota
seperti yang mereka lakukan
meski hanya mengenakan tanktop

2010
Yopi Setia Umbara

M’isolo E Vivo

/1/

ia bergerak ke utara menuju tanah


yang menghadap lembah. dengan
berkarung-karung gulden. ditarik
pedati. sedang orang-orang pribumi
telanjang dada. kaki-kaki terbuka
berjalan mengawal. siaga di muka
jaga di belakang. waspada ular liar
atau pun mata-mata. bermata biru
juga jawara. bermata merah saga
terpaksa meggadai otot. dan golok
mereka. demi menghindari peluru
dari ujung bedil. kompeni rendahan
yang senantiasa membidik jantung

/2/

ia sampai di utara sebelum halimun


lebih likat. menutup seluruh lanskap
menelan gemerlap kandil. di lembah
serupa kunang-kunang. ketimbang
bola-bola lampu. angin terus merayap
pelan-pelan menebal. kota tenggelam
ia menggigil. di balik setelan beludru
di antara pohon. dan semak belukar
ia pasang satu bivak. cuma selembar
kain blacu. sedangkan orang-orang
pribumi tak lebih letih. daripada sapi
penarik pedati itu. pada daun-daun
mereka berlindung. dari tajam ibun
janari yang turun bagai pentul kristal

/3/

di balik bivak di dalam dingin gelap


ia mimpi berlayar. di atas laut halimun
sendiri menuju ke arah pusat matahari

2010
O, Waktu

di sudut sempit kamar. koran-koran


berhimpitan. meredam rupa-rupa berita
pahit. pada rak kayu buku-buku beku
merayu rayap juga debu. di balik pintu
sisa keringat menggantung. di antara
baju. udara bercampur bau tembakau
terus mendengung. sebelum waktu luruh
ke seluruh alas ruang. foto-foto kaku
dan cinderamata. kenangan perjalanan
bisu-sebisu dinding yang lebih lembab

2010

Di Balik Rumpun Bambu


:Kubah Budaya Banten

di balik rumpun bambu paling lebat


sebadan tanah merah. rumput rambat
pada batu marmer. ia pahat namanya
untuk terakhir kali. tubuhnya kembali
ke dasar bumi. tempat asal-usul raga
ruhnya bebas. mungkin terbang lepas
meninggalkan dunia. tanpa identitas
barangkali menuju pusat langit. atau
ke mana saja riwayat hayat bermula

2010

Angin

aih, ia terus saja menyusup


ke celah pintu. dan jendela
lalu sela benang baju. juga
lubang rawan badan. tentu
aku mengenalnya. lantaran
aku tahu betul. tanda-tanda
dingin. sengaja ia tinggalkan
pada sekujur tubuh kurusku

2010
0 Kilometer Bandung

di titik 0 kilometer diam-diam malam lepas


sudah. kuhisap dalam-dalam rokok kretek
terakhir. di sepanjang braga cahaya lampu
jatuh pada paha. juga dada yang terbuka
kembang-kembang kudus itu. mulai mekar
entah sisa hujan. entah embun mulai turun
jalan suniaraga basah. aku menyusuri lagi
jejak gairah. dari stasiun hall sampai otista
lalu kutemukan kau. di balik rok-rok mini
penjaga malam. hoi, sanggupkah penyair
merawat sudut gelap kota seperti mereka

2011

Sepanjang Gang

sayang, tahukah kau apa yang kubayangkan


apabila kita berjalan pulang. setiap sore hari
melewati gang-gang sempit. dengan pintu-pintu
rumah yang berhadap-hadapan. satu sama lain
saling berhimpitan. atau warung-warung kecil
berdekatan. masing-masing berjarak tidak lebih
dari sepuluh meter. di sana bocah-bocah berlari
mengejar bola juga apa saja. seperti leluasa
di antara sepeda motor parkir. sepanjang gang
mesti kita tapaki meski semakin sesak langkah

2011

Pada Sebuah Jalan

sayang, apakah kau menikmati keindahan


musim kemarau. seperti ketika pohon-pohon
membiarkan daun-daun berserak. di jalanan
sepanjang hari. juga merelakan putik-putik
bunga beterbangan. tertiup kencang angin
ke segala arah. sebelum jatuh lalu tumbuh
kembali di tanah yang lain. saat kita berjalan
di bawah pohon-pohon itu. pada sebuah jalan
di kota kita yang telah kehilangan kesunyian

2011
Di Bawah Pohon Waru

di bawah pohon waru. di suatu musim


tak menentu. kita sama-sama berteduh
dari cuaca. juga waktu paling rusuh
pada daunnya yang lebar. meski rapuh
di atas rumput. di alas selembar kardus
lusuh. diam-diam aku mencatat wajahmu
yang lebih pucat. dari rupa orang taat
yang seolah-olah selalu dibayangi maut

2011

Elegi Pohon Rambutan

pohon rambutan di balik pagar rumah itu


sudah lama tak berbuah. malah terus
dirambati parasit. juga bermacam-macam
ulat yang mengigiti daun. hingga menjadi
kepompong di sana. mungkinkah lantaran
cuaca yang labil. padahal aku rindu benar
memetik buah rambutan. seperti mendamba
ketentraman di negeri hatiku yang kecil ini

2011

Doa Daun-daun Labu

daun-daun labu siam yang menjalar


pada pagar. pada batang-batang
juga pada dahan-dahan pohon
di halaman itu. selalu menengadah
ke langit. serupa tangan-tangan
manusia. tak pernah sia-sia berdoa
bagi hidupnya yang teramat dicintai

2011
Yopi Setia Umbara

Di Bawah Pohon Waru

di bawah pohon waru. di suatu musim


tak menentu. kita sama-sama berteduh
dari cuaca. juga waktu paling rusuh
pada daunnya yang lebar. meski rapuh
di atas rumput. di alas selembar kardus
lusuh. diam-diam aku mencatat wajahmu
yang lebih pucat. dari rupa orang taat
yang seolah-olah selalu dibayangi maut

2011

Elegi Pohon Rambutan

pohon rambutan di balik pagar rumah ibu


sudah lama tak berbuah. malah terus
dirambati parasit. juga bermacam-macam
ulat yang mengigiti daun. hingga menjadi
kepompong di sana. mungkinkah lantaran
cuaca yang labil. padahal aku rindu benar
memetik buah rambutan. seperti mendamba
ketentraman di negeri hatiku yang kecil ini

2011

Doa Daun-daun Labu

daun-daun labu siam yang menjalar


pada pagar. pada batang-batang
juga pada dahan-dahan pohon
di halaman itu. selalu menengadah
ke langit. serupa tangan-tangan
manusia. tak pernah sia-sia berdoa
bagi hidupnya yang teramat dicintai

2011
Ketika Kau Meminta Matahari

hari sudah sore. ketika kau meminta


matahari padaku. kau merengek-rengek
seperti setiap kali. ingin dipetikan
buah kersen matang. berwarna merah
persis matahari sore. yang menyala
di antara daun. dan dahan rawan
pohon kersen kurus di dekat parit itu

2011

Sepanjang Gang

sayang, tahukah kau apa yang kubayangkan


apabila kita berjalan pulang. setiap sore hari
melewati gang-gang sempit. dengan pintu-pintu
rumah yang berhadap-hadapan. satu sama lain
saling berhimpitan. atau warung-warung kecil
berdekatan. masing-masing berjarak tidak lebih
dari sepuluh meter. di sana bocah-bocah berlari
mengejar bola juga apa saja. seperti leluasa
di antara sepeda motor parkir. sepanjang gang
mesti kita tapaki meski semakin sesak langkah

2011

Pada Sebuah Jalan

sayang, apakah kau menikmati keindahan


musim kemarau. seperti ketika pohon-pohon
membiarkan daun-daun berserak. di jalanan
sepanjang hari. juga merelakan putik-putik
bunga beterbangan. tertiup kencang angin
ke segala arah. sebelum jatuh lalu tumbuh
kembali di tanah yang lain. saat kita berjalan
di bawah pohon-pohon itu. pada sebuah jalan
di kota kita yang telah kehilangan kesunyian

2011
Segelas Coklat Panas

segelas coklat panas. awan yang bergerak


perlahan. menyingkap cahaya matahari
senja di batas langit barat. dan tentu saja
senyummu, sayang. adalah satu komposisi
sanggup menahan laju waktu. sebelum
aku terseret jauh. ke ruang paling gaduh
di balik huru-hara. juga kekisruhan pikiran
menghancurkan keimanan. pada sebentuk
kedamaian hidup yang selalu kupuja-puja

2010

Skuter Kita

sayang, jangan kau cemberut begitu rupa


jika skuterku kebetulan mogok. pada saat
menjemputmu pulang kerja. kerja yang
melelahkan. lantaran tak ada lagi pilihan
aku mohon jangan kau tampakan. dandanan
wajah kesalmu. ketika mesti mondorongnya
bukankah ketika lancar. meski cukup tua
skuter kita masih sanggup. mengejar waktu
juga tetap lincah di jalanan ramai kota kita

2011
Yopi Setia Umbara

M’isolo E Vivo

/1/

ia bergerak ke utara menuju tanah


yang menghadap lembah. dengan
berkarung-karung gulden. ditarik
pedati. sedang orang-orang pribumi
telanjang dada. kaki-kaki terbuka
berjalan mengawal. siaga di muka
jaga di belakang. waspada ular liar
atau pun mata-mata. bermata biru
juga jawara. bermata merah saga
terpaksa meggadai otot. dan golok
mereka. demi menghindari peluru
dari ujung bedil. kompeni rendahan
yang senantiasa membidik jantung

/2/

ia sampai di utara sebelum halimun


lebih likat. menutup seluruh lanskap
menelan gemerlap kandil. di lembah
serupa kunang-kunang. ketimbang
bola-bola lampu. angin terus merayap
pelan-pelan menebal. kota tenggelam
ia menggigil. di balik setelan beludru
di antara pohon. dan semak belukar
ia pasang satu bivak. cuma selembar
kain blacu. sedangkan orang-orang
pribumi tak lebih letih. daripada sapi
penarik pedati itu. pada daun-daun
mereka berlindung. dari tajam ibun
janari yang turun bagai pentul kristal

/3/

di balik bivak di dalam dingin gelap


ia mimpi berlayar. di atas laut halimun
sendiri menuju ke arah pusat matahari

2010
0 Kilometer Bandung

di titik 0 kilometer diam-diam malam lepas


sudah. kuhisap dalam-dalam rokok kretek
terakhir. di sepanjang braga cahaya lampu
jatuh pada paha. juga dada yang terbuka
kembang-kembang kudus itu. mulai mekar
entah sisa hujan. entah embun mulai turun
jalan suniaraga basah. aku menyusuri lagi
jejak gairah. dari stasiun hall sampai otista
lalu kutemukan kau. di balik rok-rok mini
penjaga malam. hoi, sanggupkah penyair
merawat sudut gelap kota seperti mereka

2010

Angin

aih, ia terus saja menyusup


ke celah pintu. dan jendela
lalu sela benang baju. juga
lubang rawan badan. tentu
aku mengenalnya. lantaran
aku tahu betul. tanda-tanda
dingin. sengaja ia tinggalkan
pada sekujur tubuh kurusku

2010

Maghrib Di Alun-alun

serupa bendera negara di atap toko


adzan maghrib berkibar. memasuki
lorong sumber suara itu. mendadak
aku kerdil. melihat jemaat yang taat
masih sempat bermunajat. di antara
keramaian orang-orang. papan iklan
terus mendesak. dinding pusat kota
dinding dada kurusku. dan dada-dada
hampa mereka. yang selalu saja luput
untuk menyebut satu nama. lantaran
dipaksa masa. menghafal nama-nama
dari kata-kata yang bermakna benda

2010
Kepada Pelancong

apa yang bisa kuceritakan tentang kota


lahir. selain gedung-gedung bercahaya
hampa. jalanan senantiasa lebih sempit
serupa lubang hitam. panjang dan dalam
atau pohon-pohon. yang berbuah bohlam
juga bunga-bunga plastik. nampak cantik
hiasan warna-warni. tentu mencuri hati
para pelancong kesepian. datang sendiri
lantas tak dapat pulang kembali. setelah
meninggalkan tanah sunyi. asal mereka
perlahan habis dirampok. para perompak
dari negeri-negeri berbendera bajak laut

2010

Di Balik Rumpun Bambu

di balik rumpun bambu paling lebat


sebadan tanah merah. rumput rambat
pada batu marmer. ia pahat namanya
untuk terakhir kali. tubuhnya kembali
ke dasar bumi. tempat asal-usul raga
ruhnya bebas. mungkin terbang lepas
meninggalkan dunia. tanpa identitas
barangkali menuju pusat langit. atau
ke mana saja riwayat hayat bermula

2010

O, Waktu

di sudut sempit kamar. koran-koran


berhimpitan. meredam rupa-rupa berita
pahit. pada rak kayu buku-buku beku
merayu rayap juga debu. di balik pintu
sisa keringat menggantung. di antara
baju. udara bercampur bau tembakau
terus mendengung. sebelum waktu luruh
ke seluruh alas ruang. foto-foto kaku
dan cinderamata. kenangan perjalanan
bisu-sebisu dinding yang lebih lembab

2010
Ketika Seseorang Pamit

sebelum hujan turun. seseorang


mengirim pesan singkat. pamit
serupa gerimis. tersorot lampu
butiran air itu. mirip biji kristal
berloncatan riang. di atas aspal
begitu juga rangkaian. kalimat
yang ia kirimkan. lewat telepon
genggam. huruf-huruf itu hidup
lantas aku gugup. jawaban apa
yang mesti kuberi. sementara
ingus terus menyumbat. hidung
serta pikiran. sulit aku memilih
kata yang baik. atau menyusun
satu pantun. sebab cuaca buruk
menerjang badanku juga. hingga
rasa pilek bagai tanda maut. lalu
ketika hujan telah deras. gegas
aku membalas pesannya. tanpa
basa-basi selain ucapan selamat

2010

Rosi Berjalan dalam Hujan

di jalan yang berulang berlubang


kaki mungilnya lincah. memecah
genangan hujan. caranya berjalan
penari. dan tubuhnya lebih ringan
dari butiran air. ia seolah terbang
setiap kali menghindari cileuncang

2010

Di Jalan Merdeka, Bogor

sepanjang jalan langkah rintik-rintik


jejak menggenangi aspal. juga tanah
bau sisa hujan bergetar. pagar-pagar
gemetar. rumah-rumah menggigil itu
menutup pintu. di bawah lampu jalan
segala bayang remang. sesepi langit
yang selalu murung dan semakin tua

2010
Yopi Setia Umbara

M’isolo E Vivo

“m’isolo e vivo, m’isolo e vivo”

ia bergerak ke utara menuju tanah


yang menghadap lembah. dengan
berkarung-karung gulden. ditarik
pedati. sedang orang-orang pribumi
telanjang dada. kaki-kaki terbuka
berjalan mengawal. siaga di muka
jaga di belakang. waspada ular liar
atau pun mata-mata. bermata biru
juga jawara. bermata merah saga
terpaksa meggadai otot. dan golok
mereka. demi menghindari peluru
dari ujung bedil. kompeni rendahan
yang senantiasa membidik jantung

“m’isolo e vivo, m’isolo e vivo”

ia sampai di utara sebelum halimun


lebih likat. menutup seluruh lanskap
menelan gemerlap kandil. di lembah
serupa kunang-kunang. ketimbang
bola-bola lampu. angin terus merayap
pelan-pelan menebal. kota tenggelam
ia menggigil. di balik setelan beludru
di antara pohon. dan semak belukar
ia pasang satu bivak. cuma selembar
kain blacu. sedangkan orang-orang
pribumi tak lebih letih. daripada sapi
penarik pedati itu. pada daun-daun
mereka berlindung. dari tajam ibun
janari yang turun bagai pentul kristal

“m’isolo e vivo, m’isolo e vivo”

di balik bivak di dalam dingin gelap


ia mimpi berlayar. di atas laut halimun
sendiri menuju ke arah pusat matahari

2010
0 Kilometer Bandung

di titik 0 kilometer diam-diam malam lepas


sudah. kuhisap dalam-dalam rokok kretek
terakhir. di sepanjang braga cahaya lampu
jatuh pada paha. juga dada yang terbuka
kembang-kembang kudus itu. mulai mekar
entah sisa hujan. entah embun mulai turun
jalan suniaraga basah. aku menyusuri lagi
jejak gairah. dari stasiun hall sampai otista
lalu kutemukan kau. di balik rok-rok mini
penjaga malam. hoi, sanggupkah penyair
merawat sudut gelap kota seperti mereka

2010

Angin

aih, ia terus saja menyusup


ke celah pintu. dan jendela
lalu sela benang baju. juga
lubang rawan badan. tentu
aku mengenalnya. lantaran
aku tahu betul. tanda-tanda
dingin. sengaja ia tinggalkan
pada sekujur tubuh kurusku

2010

Maghrib Di Alun-alun

serupa bendera negara di atap toko


adzan maghrib berkibar. memasuki
lorong sumber suara itu. mendadak
aku kerdil. melihat jemaat yang taat
masih sempat bermunajat. di antara
keramaian orang-orang. papan iklan
terus mendesak. dinding pusat kota
dinding dada kurusku. dan dada-dada
hampa mereka. yang selalu saja luput
untuk menyebut satu nama. lantaran
dipaksa masa. menghafal nama-nama
dari kata-kata yang bermakna benda

2010
Kepada Pelancong

apa yang bisa kuceritakan tentang kota


lahir. selain gedung-gedung bercahaya
hampa. jalanan senantiasa lebih sempit
serupa lubang hitam. panjang dan dalam
atau pohon-pohon. yang berbuah bohlam
juga bunga-bunga plastik. nampak cantik
hiasan warna-warni. tentu mencuri hati
para pelancong kesepian. datang sendiri
lantas tak dapat pulang kembali. setelah
meninggalkan tanah sunyi. asal mereka
perlahan habis dirampok. para perompak
dari negeri-negeri berbendera bajak laut

2010

Di Balik Rumpun Bambu

di balik rumpun bambu paling lebat


sebadan tanah merah. rumput rambat
pada batu marmer. ia pahat namanya
untuk terakhir kali. tubuhnya kembali
ke dasar bumi. tempat asal-usul raga
ruhnya bebas. mungkin terbang lepas
meninggalkan dunia. tanpa identitas
barangkali menuju pusat langit. atau
ke mana saja riwayat hayat bermula

2010

O, Waktu

di sudut sempit kamar. koran-koran


berhimpitan. meredam rupa-rupa berita
pahit. pada rak kayu buku-buku beku
merayu rayap juga debu. di balik pintu
sisa keringat menggantung. di antara
baju. udara bercampur bau tembakau
terus mendengung. sebelum waktu luruh
ke seluruh alas ruang. foto-foto kaku
dan cinderamata. kenangan perjalanan
bisu-sebisu dinding yang lebih lembab

2010
Ketika Seseorang Pamit

sebelum hujan turun. seseorang


mengirim pesan singkat. pamit
serupa gerimis. tersorot lampu
butiran air itu. mirip biji kristal
berloncatan riang. di atas aspal
begitu juga rangkaian. kalimat
yang ia kirimkan. lewat telepon
genggam. huruf-huruf itu hidup
lantas aku gugup. jawaban apa
yang mesti kuberi. sementara
ingus terus menyumbat. hidung
serta pikiran. sulit aku memilih
kata yang baik. atau menyusun
satu pantun. sebab cuaca buruk
menerjang badanku juga. hingga
rasa pilek bagai tanda maut. lalu
ketika hujan telah deras. gegas
aku membalas pesannya. tanpa
basa-basi selain ucapan selamat

2010

Rosi Berjalan dalam Hujan

di jalan yang berulang berlubang


kaki mungilnya lincah. memecah
genangan hujan. caranya berjalan
penari. dan tubuhnya lebih ringan
dari butiran air. ia seolah terbang
setiap kali menghindari cileuncang

2010

Di Jalan Merdeka, Bogor

sepanjang jalan langkah rintik-rintik


jejak menggenangi aspal. juga tanah
bau sisa hujan bergetar. pagar-pagar
gemetar. rumah-rumah menggigil itu
menutup pintu. di bawah lampu jalan
segala bayang remang. sesepi langit
yang selalu murung dan semakin tua

2010
Saat Kita Telanjang

kamar adalah tempat saat kita dapat sangat dekat

telanjang tanpa kebohongan. yang biasa melekat

menutup tubuh lugu. memaksa kita jadi orang lain

karena setiap pakaian. tak pernah bermakna kejujuran

maka, di sinilah kau dan aku. bisa membuka segala

yang tersembunyi dalam diri. kemudian sama-sama

memahami bentuk-bentuk. kehidupan yang lucu

kadang menggemaskan. atau, tiba-tiba begitu haru

walau perlahan-lahan. tapi kita sanggup menyatu

melepas keringat. membasahi tubuh masing-masing

tanpa sehelai tabir yang menipu serupa perasaan ragu

2010

Pada Bau Tubuhmu

aku selalu gandrung. pada bau tubuh

dari setiap peluhmu. yang merayap

lalu memenuhi kamarku. serupa udara

terus kuhirup. sebagai gairah hidup


lebih merangsang. daripada sekadar

ciuman. atau juga sentuhan-sentuhan

pada kulit halus. setia membungkus

dan utuh menjaga. jiwamu selalu

perawan bagai perempuan suci mariam

2010

Di Negeri Ini, Aku Tak Sendirian

di negeri ini. lalu, mesti jauh dari dirimu, kekasihku

aku merasakan hidup begitu sunyi. di televisi

tak ada berita yang dapat kupercaya. sedangkan

semua acara seragam. sungguh membosankan

tak ada yang menghibur. sementara, mungkin aku

tak sendirian. menyadari kekonyolan semacam ini

jika saja kau tahu. bahwa aku sangat menderita

aku berharap kita. dapat segera berjumpa kembali

kemudian bercinta sampai letih. sepanjang hari

hingga kau menjerit. dan aku dapat terbangun lagi

dari buaian peradaban yang membuatku sekarat ini


2010

Dalam Perutku

maja, seandainya kau tahu. bahwa dalam perutku

tank-tank siap menembak. tentara membidikan bedil

juga rudal-rudal. dikendalikan jauh dari tubuhku

siap menghancurkan apa saja. misalkan peperangan

yang tak pernah kita mengerti. benar-benar terjadi

kelak tubuhku tak kau kenal lagi. sebab pasti lebur

bersama segala amuk. namun, aku belum sanggup

meredam sengketa. meski, berpusat di perut sendiri

hingga suatu saat. jika tetap tak dapat kau temukan

sekadar bangkai diriku. diam-diam bacalah sajak ini

bagi orang-orang yang telah letih melawan hidupnya

2010

Jamuan Sederhana

aku ingin waktu berujung. kekal di bibirmu


supaya gerimis. terus membungkus malam

dan kesunyian lebih terasa. manis setiap kali

kukenang ciuman panjang ini. seperti hujan

yang basah melumat tanah. mendekap tubuh

hingga bibir kita makin lengket. seperti susu

coklat kau sajikan. dalam jamuan sederhana

di dalam kamar. tempat kita dapat sembunyi

dari segala kabar burung tentang negeri kita

2010

Lagu Pemuja Malam

daun-daun cemara. tertiup samar-samar

embun menimpa tanah. lalu bergema

sampai ke pusat dada. sepi seperti kutukan

tujuh turunan. menjelang tengah malam

bau sisa hujan. masih saja tercium basah

merayapi petang. bagai ribuan kelelewar

memenuhi awang-awang. siapa berkeliaran

dalam waktu gelap. serupa pengembara

atau para penyair. terus mencari-cari bunyi


pada setiap kata-kata. di tempat sunyi

dan menduga-duga suara di ruang senyap

2010

Di Pelabuhan Cirebon

di sebuah bandar tua. perahu-perahu kayu bersandar

setelah gelombang pasang. seperti pengembara lelah

di sini sejarah niaga bermula. gudang-gudang peluru

dibangun. aku kembali mampu mencium anyir darah

tertiup angin laut yang asin. hingga luka-luka badan

seperti terus disayat. hingga riwayat yang kuhayati

terasa lebih perih. bahkan setiap senandung nelayan

adalah rintihan merambat sampai ke jantung malam

2010

Yopi Setia Umbara, lahir di Bandung, 30 Maret 1984. Pegiat Arena Studi Apresiasi
Sastra (ASAS) Bandung. Konsultan Kiara Creative Publishing Bandung. Beberapa
karyanya dimuat dalam buku antologi puisi bersama. Puisi dan esainya pernah dimuat
di Kompas Jabar, Horison, Pikiran Rakyat, Republika, Suara Pembaruan, Media
Indonesia, Seputar Indonesia, Lampung Pos, Radar Bandung, Radar Banten, Bangka
Pos, Jurnal Sundih Denpasar, Jurnal Nasional, Majalah eSastera.net (Malaysia).
Yopi Setia Umbara

M’isolo E Vivo

“m’isolo e vivo, m’isolo e vivo”

ia bergerak ke utara menuju tanah


yang menghadap lembah. dengan
berkarung-karung gulden. ditarik
pedati. sedang orang-orang pribumi
telanjang dada. kaki-kaki terbuka
berjalan mengawal. siaga di muka
jaga di belakang. waspada ular liar
atau pun mata-mata. bermata biru
juga jawara. bermata merah saga
terpaksa meggadai otot. dan golok
mereka. demi menghindari peluru
dari ujung bedil. kompeni rendahan
yang senantiasa membidik jantung

“m’isolo e vivo, m’isolo e vivo”

ia sampai di utara sebelum halimun


lebih likat. menutup seluruh lanskap
menelan gemerlap kandil. di lembah
serupa kunang-kunang. ketimbang
bola-bola lampu. angin terus merayap
pelan-pelan menebal. kota tenggelam
ia menggigil. di balik setelan beludru
di antara pohon. dan semak belukar
ia pasang satu bivak. cuma selembar
kain blacu. sedangkan orang-orang
pribumi tak lebih letih. daripada sapi
penarik pedati itu. pada daun-daun
mereka berlindung. dari tajam ibun
janari yang turun bagai pentul kristal

“m’isolo e vivo, m’isolo e vivo”

di balik bivak di dalam dingin gelap


ia mimpi berlayar. di atas laut halimun
sendiri menuju ke arah pusat matahari

2010
0 Kilometer Bandung

di titik 0 kilometer diam-diam malam lepas


sudah. kuhisap dalam-dalam rokok kretek
terakhir. di sepanjang braga cahaya lampu
jatuh pada paha. juga dada yang terbuka
kembang-kembang kudus itu. mulai mekar
entah sisa hujan. entah embun mulai turun
jalan suniaraga basah. aku menyusuri lagi
jejak gairah. dari stasiun hall sampai otista
lalu kutemukan kau. di balik rok-rok mini
penjaga malam. hoi, sanggupkah penyair
merawat sudut gelap kota seperti mereka

2010

Angin

aih, ia terus saja menyusup


ke celah pintu. dan jendela
lalu sela benang baju. juga
lubang rawan badan. tentu
aku mengenalnya. lantaran
aku tahu betul. tanda-tanda
dingin. sengaja ia tinggalkan
pada sekujur tubuh kurusku

2010

Maghrib Di Alun-alun

serupa bendera negara di atap toko


adzan maghrib berkibar. memasuki
lorong sumber suara itu. mendadak
aku kerdil. melihat jemaat yang taat
masih sempat bermunajat. di antara
keramaian orang-orang. papan iklan
terus mendesak. dinding pusat kota
dinding dada kurusku. dan dada-dada
hampa mereka. yang selalu saja luput
untuk menyebut satu nama. lantaran
dipaksa masa. menghafal nama-nama
dari kata-kata yang bermakna benda

2010
Kepada Pelancong

apa yang bisa kuceritakan tentang kota


lahir. selain gedung-gedung bercahaya
hampa. jalanan senantiasa lebih sempit
serupa lubang hitam. panjang dan dalam
atau pohon-pohon. yang berbuah bohlam
juga bunga-bunga plastik. nampak cantik
hiasan warna-warni. tentu mencuri hati
para pelancong kesepian. datang sendiri
lantas tak dapat pulang kembali. setelah
meninggalkan tanah sunyi. asal mereka
perlahan habis dirampok. para perompak
dari negeri-negeri berbendera bajak laut

2010

Di Balik Rumpun Bambu

di balik rumpun bambu paling lebat


sebadan tanah merah. rumput rambat
pada batu marmer. ia pahat namanya
untuk terakhir kali. tubuhnya kembali
ke dasar bumi. tempat asal-usul raga
ruhnya bebas. mungkin terbang lepas
meninggalkan dunia. tanpa identitas
barangkali menuju pusat langit. atau
ke mana saja riwayat hayat bermula

2010

O, Waktu

di sudut sempit kamar. koran-koran


berhimpitan. meredam rupa-rupa berita
pahit. pada rak kayu buku-buku beku
merayu rayap juga debu. di balik pintu
sisa keringat menggantung. di antara
baju. udara bercampur bau tembakau
terus mendengung. sebelum waktu luruh
ke seluruh alas ruang. foto-foto kaku
dan cinderamata. kenangan perjalanan
bisu-sebisu dinding yang lebih lembab

2010
Ketika Seseorang Pamit

sebelum hujan turun. seseorang


mengirim pesan singkat. pamit
serupa gerimis. tersorot lampu
butiran air itu. mirip biji kristal
berloncatan riang. di atas aspal
begitu juga rangkaian. kalimat
yang ia kirimkan. lewat telepon
genggam. huruf-huruf itu hidup
lantas aku gugup. jawaban apa
yang mesti kuberi. sementara
ingus terus menyumbat. hidung
serta pikiran. sulit aku memilih
kata yang baik. atau menyusun
satu pantun. sebab cuaca buruk
menerjang badanku juga. hingga
rasa pilek bagai tanda maut. lalu
ketika hujan telah deras. gegas
aku membalas pesannya. tanpa
basa-basi selain ucapan selamat

2010

Rosi Berjalan dalam Hujan

di jalan yang berulang berlubang


kaki mungilnya lincah. memecah
genangan hujan. caranya berjalan
penari. dan tubuhnya lebih ringan
dari butiran air. ia seolah terbang
setiap kali menghindari cileuncang

2010

Di Jalan Merdeka, Bogor

sepanjang jalan langkah rintik-rintik


jejak menggenangi aspal. juga tanah
bau sisa hujan bergetar. pagar-pagar
gemetar. rumah-rumah menggigil itu
menutup pintu. di bawah lampu jalan
segala bayang remang. sesepi langit
yang selalu murung dan semakin tua

2010
Biodata:
Yopi Setia Umbara, lahir di Bandung, 30 Maret 1984
Pegiat Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) Bandung. Beberapa karyanya
dimuat dalam buku antologi puisi bersama Herbarium (2007), 142
Penyair Menuju Bulan (2007), Nyanyian Para Kelana (2007), Puisi-puisi
Kontemporer Indonesia Berbahasa Cina (2008), Tanah Pilih, Bunga
Rampai Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi (2008), Tangga Menuju
Langit, Kumpulan Puisi Sastrawan Mitra Praja Utama (2008), Di Atas
Viaduct: Bandung Dalam Puisi Indonesia (2009), Pasir Lada Pasir Kuarsa,
Antologi Temu Sastrawan Indonesia II, Pangkalpinang (2009), Rumpun
Kita, Antologi Puisi Khas Sempena Pertemuan Penyair Ke-3, Kuala Lumpur (2009),
Percakapan Lingua Franca, Antologi Temu Sastrawan Indonesia III (2010). Sajak dan
esainya pernah dimuat di Kompas Jabar, Horison, Pikiran Rakyat, Republika, Suara
Pembaruan, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Lampung Pos, Radar Bandung, Radar
Banten, Bangka Pos, Jurnal Sundih Denpasar, Jurnal Nasional, Majalah eSastera.net
(Malaysia).

Alamat: Jalan Raya Lembang KM 11,4 No. 60 RT 04 RW 01


Desa Gudang Kahuripan
Lembang-Bandung Barat
Jawa Barat
Indonesia
40391

No. Telp. +6281321741476


e-mail: yopisetiaumbara@yahoo.com
Biodata:
Yopi Setia Umbara, lahir di Bandung, 30 Maret 1984
Pegiat Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) Bandung. Beberapa karyanya
dimuat dalam buku antologi puisi bersama Herbarium (2007), 142
Penyair Menuju Bulan (2007), Nyanyian Para Kelana (2007), Puisi-puisi
Kontemporer Indonesia Berbahasa Cina (2008), Tanah Pilih, Bunga
Rampai Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi (2008), Tangga Menuju
Langit, Kumpulan Puisi Sastrawan Mitra Praja Utama (2008), Di Atas
Viaduct: Bandung Dalam Puisi Indonesia (2009), Pasir Lada Pasir Kuarsa,
Antologi Temu Sastrawan Indonesia II, Pangkalpinang (2009), Rumpun
Kita, Antologi Puisi Khas Sempena Pertemuan Penyair Ke-3, Kuala Lumpur (2009),
Percakapan Lingua Franca, Antologi Temu Sastrawan Indonesia III (2010). Sajak dan
esainya pernah dimuat di Kompas Jabar, Horison, Pikiran Rakyat, Republika, Suara
Pembaruan, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Lampung Pos, Radar Bandung, Radar
Banten, Bangka Pos, Jurnal Sundih Denpasar, Jurnal Nasional, Majalah eSastera.net
(Malaysia).

Alamat:
Jalan Raya Lembang KM 11,4 No. 60 RT 04 RW 01
Desa Gudang Kahuripan
Lembang-Bandung Barat
Jawa Barat
Indonesia
40391

No. Telp. +6281321741476


e-mail: yopisetiaumbara@yahoo.com
Biodata:
Yopi Setia Umbara, lahir di Bandung, 30 Maret 1984
Pegiat Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) Bandung. Beberapa karyanya
dimuat dalam buku antologi puisi bersama Herbarium (2007), 142
Penyair Menuju Bulan (2007), Nyanyian Para Kelana (2007), Puisi-puisi
Kontemporer Indonesia Berbahasa Cina (2008), Tanah Pilih, Bunga
Rampai Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi (2008), Tangga Menuju
Langit, Kumpulan Puisi Sastrawan Mitra Praja Utama (2008), Di Atas
Viaduct: Bandung Dalam Puisi Indonesia (2009), Pasir Lada Pasir Kuarsa,
Antologi Temu Sastrawan Indonesia II, Pangkalpinang (2009), Rumpun
Kita, Antologi Puisi Khas Sempena Pertemuan Penyair Ke-3, Kuala Lumpur (2009),
Percakapan Lingua Franca, Antologi Temu Sastrawan Indonesia III (2010). Sajak dan
esainya pernah dimuat di Kompas Jabar, Horison, Pikiran Rakyat, Republika, Suara
Pembaruan, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Lampung Pos, Radar Bandung, Radar
Banten, Bangka Pos, Jurnal Sundih Denpasar, Jurnal Nasional, Majalah eSastera.net
(Malaysia).

Alamat:
Jalan Raya Lembang KM 11,4 No. 60 RT 04 RW 01
Desa Gudang Kahuripan
Lembang-Bandung Barat
Jawa Barat
Indonesia
40391

No. Telp. +6281321741476


e-mail: yopisetiaumbara@yahoo.com
Biodata:
Yopi Setia Umbara, lahir di Bandung, 30 Maret 1984
Pegiat Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) Bandung. Beberapa karyanya
dimuat dalam buku antologi puisi bersama Herbarium (2007), 142
Penyair Menuju Bulan (2007), Nyanyian Para Kelana (2007), Puisi-puisi
Kontemporer Indonesia Berbahasa Cina (2008), Tanah Pilih, Bunga
Rampai Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi (2008), Tangga Menuju
Langit, Kumpulan Puisi Sastrawan Mitra Praja Utama (2008), Di Atas
Viaduct: Bandung Dalam Puisi Indonesia (2009), Pasir Lada Pasir Kuarsa,
Antologi Temu Sastrawan Indonesia II, Pangkalpinang (2009), Rumpun
Kita, Antologi Puisi Khas Sempena Pertemuan Penyair Ke-3, Kuala Lumpur (2009),
Percakapan Lingua Franca, Antologi Temu Sastrawan Indonesia III (2010). Sajak dan
esainya pernah dimuat di Kompas Jabar, Horison, Pikiran Rakyat, Republika, Suara
Pembaruan, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Lampung Pos, Radar Bandung, Radar
Banten, Bangka Pos, Jurnal Sundih Denpasar, Jurnal Nasional, Majalah eSastera.net
(Malaysia).

Alamat: Jalan Raya Lembang KM 11,4 No. 60 RT 04 RW 01


Desa Gudang Kahuripan
Lembang-Bandung Barat
Jawa Barat
Indonesia
40391

No. Telp. +6281321741476


e-mail: yopisetiaumbara@yahoo.com
Biodata:
Yopi Setia Umbara, lahir di Bandung, 30 Maret 1984
Pegiat Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) Bandung. Beberapa karyanya
dimuat dalam buku antologi puisi bersama Herbarium (2007), 142
Penyair Menuju Bulan (2007), Nyanyian Para Kelana (2007), Puisi-puisi
Kontemporer Indonesia Berbahasa Cina (2008), Tanah Pilih, Bunga
Rampai Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi (2008), Tangga Menuju
Langit, Kumpulan Puisi Sastrawan Mitra Praja Utama (2008), Di Atas
Viaduct: Bandung Dalam Puisi Indonesia (2009), Pasir Lada Pasir Kuarsa,
Antologi Temu Sastrawan Indonesia II, Pangkalpinang (2009), Rumpun
Kita, Antologi Puisi Khas Sempena Pertemuan Penyair Ke-3, Kuala Lumpur (2009),
Percakapan Lingua Franca, Antologi Temu Sastrawan Indonesia III (2010). Sajak dan
esainya pernah dimuat di Kompas Jabar, Horison, Pikiran Rakyat, Republika, Suara
Pembaruan, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Lampung Pos, Radar Bandung, Radar
Banten, Bangka Pos, Jurnal Sundih Denpasar, Jurnal Nasional, Majalah eSastera.net
(Malaysia).

Alamat:
Jalan Raya Lembang KM 11,4 No. 60 RT 04 RW 01
Desa Gudang Kahuripan
Lembang-Bandung Barat
Jawa Barat
Indonesia
40391

No. Telp. +6281321741476


e-mail: yopisetiaumbara@yahoo.com
Biodata:
Yopi Setia Umbara, lahir di Bandung, 30 Maret 1984
Pegiat Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) Bandung. Beberapa karyanya
dimuat dalam buku antologi puisi bersama Herbarium (2007), 142
Penyair Menuju Bulan (2007), Nyanyian Para Kelana (2007), Puisi-puisi
Kontemporer Indonesia Berbahasa Cina (2008), Tanah Pilih, Bunga
Rampai Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi (2008), Tangga Menuju
Langit, Kumpulan Puisi Sastrawan Mitra Praja Utama (2008), Di Atas
Viaduct: Bandung Dalam Puisi Indonesia (2009), Pasir Lada Pasir Kuarsa,
Antologi Temu Sastrawan Indonesia II, Pangkalpinang (2009), Rumpun
Kita, Antologi Puisi Khas Sempena Pertemuan Penyair Ke-3, Kuala Lumpur (2009),
Percakapan Lingua Franca, Antologi Temu Sastrawan Indonesia III (2010). Sajak dan
esainya pernah dimuat di Kompas Jabar, Horison, Pikiran Rakyat, Republika, Suara
Pembaruan, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Lampung Pos, Radar Bandung, Radar
Banten, Bangka Pos, Jurnal Sundih Denpasar, Jurnal Nasional, Majalah eSastera.net
(Malaysia).

Alamat:
Jalan Raya Lembang KM 11,4 No. 60 RT 04 RW 01
Desa Gudang Kahuripan
Lembang-Bandung Barat
Jawa Barat
Indonesia
40391
Biodata:
Yopi Setia Umbara, lahir di Bandung, 30 Maret 1984
Pegiat Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) Bandung. Beberapa karyanya
dimuat dalam buku antologi puisi bersama Herbarium (2007), 142
Penyair Menuju Bulan (2007), Nyanyian Para Kelana (2007), Puisi-puisi
Kontemporer Indonesia Berbahasa Cina (2008), Tanah Pilih, Bunga
Rampai Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi (2008), Tangga Menuju
Langit, Kumpulan Puisi Sastrawan Mitra Praja Utama (2008), Di Atas
Viaduct: Bandung Dalam Puisi Indonesia (2009), Pasir Lada Pasir Kuarsa,
Antologi Temu Sastrawan Indonesia II, Pangkalpinang (2009), Rumpun
Kita, Antologi Puisi Khas Sempena Pertemuan Penyair Ke-3, Kuala Lumpur (2009),
Percakapan Lingua Franca, Antologi Temu Sastrawan Indonesia III (2010). Sajak dan
esainya pernah dimuat di Kompas Jabar, Horison, Pikiran Rakyat, Republika, Suara
Pembaruan, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Lampung Pos, Radar Bandung, Radar
Banten, Bangka Pos, Jurnal Sundih Denpasar, Jurnal Nasional, Majalah eSastera.net
(Malaysia).

Alamat:
Jalan Raya Lembang KM 11,4 No. 60 RT 04 RW 01
Desa Gudang Kahuripan
Lembang-Bandung Barat
Jawa Barat
Indonesia
40391

No. Telp. +6281321741476


e-mail: yopisetiaumbara@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai