Bekerjalah, Jangan Jadi Pengangguran!
Bekerjalah, Jangan Jadi Pengangguran!
Pengangguran jabariyah, yaitu menganggur karena tidak ada pilihan lain sebab tidak mempunyai ilmu dan
keterampilan sehingga terpaksa menjadi pengangguran
Pengangguran khiyariyah, yaitu orang yang lebih memilih menganggur dan bergantung kepada orang lain
padahal dia mempunyai kemampuan untuk bekerja mencari nafkah.
Pengangguran bisa berdampak negatif, baik pada diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan sekitar. Efek
personal itu bisa berupa efek fisik, misalnya sakit kepala, sakit perut, masalah tidur, kekurangan energi,
hipertensi, penyakit jantung, dan penyakit ginjal; bisa pula efek psikologis, misalnya timbulnya perasaan malu,
depresi, sensitif, kecemasan, kemarahan, ketakutan, keputusasaan, penurunan harga diri, kesepian dan
isolasi sosial, hingga peningkatan permusuhan.
Dalam lingkup keluarga, menganggur bisa memicu gesekan perkawinan, depresi pasangan, konflik keluarga,
pelecehan anak dan penelantaran keluarga yang seharusnya dinafkahi.
Mengabaikan kewajiban menafkahi keluarga adalah perbuatan dosa, sebagaimana hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
َكَف ى ِب اْلَم ْر ِء ِإ ْث ًم ا َأ ْن ُي َض ِّي َع َم ْن َي ُق وُت
“Seseorang cukup dikatakan berdosa jika ia melalaikan orang yang wajib ia beri nafkah” (HR Abu Daud).
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Sementara itu, untuk menghindari pengangguran, dalam Al-Qur’an Allah telah memerintahkan kita untuk
memberi nafkah menurut kemampuan masing-masing.
ِل ُي ْن ِف ْق ُذ و َس َع ٍة ِم ْن َس َع ِت ِه َو َم ْن ُق ِد َر َع َلْي ِه ِرْز ُق ُه َف ْلُي ْن ِف ْق ِم َّم ا َآ َت اُه اُهَّلل اَل ُي َكِّلُف اُهَّلل َنْف ًس ا ِإ اَّل َم ا َآ َت اَها
”Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang
terbatas rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
membebani seseorang melainkan (sesuai) apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 7)
Namun demikian, urutan mendahulukan nafkah pada istri daripada kerabat lainnya tidak disebutkan dalam
Al-Qur’an. Hal ini disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
، َف ِإ ْن َف َض َل َع ْن ِذ ي َق َر اَبِت َك َش ْي ٌء َف َه َكَذ ا َو َه َكَذ ا، َف ِإ ْن َف َض َل َع ْن َأ ْه ِلَك َش ْي ٌء َف ِلِذ ي َق َر اَبِت َك، َف ِإ ْن َف َض َل َش ْي ٌء َف َأِل ْه ِلَك،اْبَد ْأ ِب َن ْف ِس َك َف َت َص َّد ْق َع َلْي َه ا
َو َع ْن ِش َم اِلَك، َو َع ْن َي ِم يِنَك، َب ْي َن َي َد ْي َك
“Mulailah dari dirimu sendiri. Sedekahkanlah untuk dirimu. Selebihnya dari itu untuk keluargamu (anak dan
istrimu). Selebihnya lagi dari itu untuk kerabat dekatmu. Selebihnya lagi dari itu untuk tujuan ini dan itu yang
ada di hadapanmu, yang ada di kanan dan kirimu” (HR Muslim).
Islam senantiasa mendorong umatnya untuk berikhtiar. Menjadi pengangguran bagi orang yang mampu
bekerja adalah perbuatan yang hina dengan berbagai mudarat dan dampak negatifnya.
Kewajiban seseorang adalah berusaha, sedangkan soal mencapai target pendapatan tertentu adalah hal lain.
Besaran nafkah bisa disesuaikan dengan kemampuan maksimal yang ada dan dengan skala prioritas
pemenuhan kebutuhan yang telah digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya.
Jadi, utamakan nafkah diri, keluarga, karib kerabat, dan pemenuhan kebutuhan tujuan dan cita-cita hidup agar
sukses dengan berusaha dan bekerja keras tentunya.
َو ُق ِل ٱْع َم ُلو۟ا َف َس َي َر ى ٱُهَّلل َع َم َلُكْم َو َر ُس وُلُه ۥ َو ٱْلُم ْؤ ِم ُنوَن ۖ َو َس ُت َر ُّد وَن ِإ َلٰى َٰع ِل ِم ٱْلَغ ْي ِب َو ٱلَّش َٰه َد ِة َف ُي َن ِّب ُئ ُكم ِب َم ا ُكنُت ْم َت ْع َم ُلوَن
“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS At-Taubah:105).
Dengan bekerja keras, ikhlas, dan memohon ridha Allah semata maka Allah, Rasul dan orang-orang beriman
akan menilai dan mengapresiasi pekerjaan kita dengan ganjaran materi (syahadah) maupun nonmateri
(ghaib). Demikian khutbah singkat ini disampaikan. Semoga menambah motivasi kita untuk menghindarkan
diri dari hinanya menjadi pengangguran dan menggapai kemuliaan dengan bekerja keras.
َباَرَك اُهلل ِل ْي
Rakimin Al-Jawiy, Dosen Psikologi Islam UNUSIA Jakarta
Editor: Mahbib Khoiron
Kolomnis: Rakimin Al-Jawiy
© 2023 NU Online | Nahdlatul Ulama
Generated by daybook.app