Anda di halaman 1dari 4

KHOTBAH JUMAT

Bekerjalah, Jujurlah dan Bertasbihlah

Bekerjalah kamu dan jadikanlah alat tenunmu (bila engkau penenun) sebagai
tasbih. Jadikanlah kapakmu (bila tukang kayu) sebagai tasbih dan jadikanlah
jarumnu (bila engkau penjahit) sebagai tasbih, dan jadikanlah perjalananmu (bila
engkau pedagang) sebagai tasbih.

*


) (

Maasyiral Muslimin Rahimakumullah
Marilah di hari ini kita mempertebal ketaqwaan kita kepada Allah dengan
menghindarkan diri dari kecurangan,kebohongan dan berbagai sifat tercela lainnya.
Dan memulai hai-hari dengan penuh kejujuran karena kejujuran akan membuahkan
kehalalan dan kehalalan yang kita konsumsi menentukan nasib kita selanjutnya.
Hadirin yang Dirahmati Allah
Bekerja mencari rizki guna menopang ibadah hukumnya adalah wajib.
Sebagaimana hukum ibadah itu sendiri. Hal ini telah disepakati oleh ulama. Karena
bekerja merupakan salah satu cara memenuhi kebutuhan. Lebih-lebih bagi mereka
yang telah berkeluarga, mereka memiliki tanggung jawab dan kewajiban memberi
nafkah terhadap anak dan istri. Sedangkan nafkah bisa didapat oleh seseorang yang
mau bekerja. Selain itu dengan bekerja seseorang dapat terhindar dari thama,
menggantungkan diri pada orang lain dan juga menghindar dari meminta-minta
yang mana semua itu termasuk barang larangan agama. Dalam al-Jumuah ayat 10
Allah berfiman



Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Begitu pentingnya bekerja dan berusaha bagi seorang muslim. Karena
sesungguhnya al-barakatu maal harakah bahwa keberkahan itu akan hadir
bersama dengan pergerakan. Dimana ada kemauan untuk berusaha disitu Allah
telah menyediakan keberkahan. Dengan kata lain Islam sangat membenci orang
yang berpangku tangan, mengharapkan dan meminta-minta.
Ibrahim al-Matbuly pernah berpendapat bahwa orang fakir yang tekun beribadah
(kurang berusaha) sedang dia tidak memiliki pekerjaan karena waktunya habis
digunakan beribadah ibarat burung hantu yang berdiam di rumah kosong. Bahkan
dengan sedikit agak keras Al-matbuli berkata:


Akhmadalikhasanudin.blogspot.co.id
Menurut saya seorang mumin yang bekerja, adalah lebih sempurna dari pada
orang jadzab (seorang yang dalam dunia sufi dipahamti sebagai orang yang selalu
terlena dengan Allah) seperti guruthariqah yang memangku jabatan yang mereka
makan menggunakan agama, sebab mereka tidak memiliki pekerjaan duniawi
yang bisa memelihara diri dari menerima sedekah umat Islam dan kotoran-
kotoran mereka.
Meskipun pendapat Al-Matbuli ini memerlukan penjabaran lebih lanjut tentang
koneks perkataannya, dan masih bisa didiskusikan panjang lebar. Tetapi, perkataan
itu mengandung pesan bahwa bekerja dengan usaha sendiri adalah sebuah
kemuliaan. Karena disitulah seseorang dapat menimbang dan memastikan posisi
rizki mereka adakah itu hasil yang halal, haram ataukah syubhat. Berbeda jika
hanya menerima dari orang lain. Sungguhpun pemberian itu didasari keikhlasa,
akan tetapi penuh dengan kesyubhatan. Karena tidak diketahui dari manakah
sumbernya.
Bahkan, tidak ada satu cerita pun dari hadits Rasulullah yang menerangkan
larangan beliau kepada para sahabatnya untuk berhenti bekerja demi menjalankan
dakwah agama, padahal waktu itu berdakwah sangat membutuhkan perhatian
mengingat kondisi Islam masih sangat lemah baik secara sosial dan politik. Justru
di kala itu Rasulullah saw tetap memerintahkan Abu Bakar untuk terus berdagang
dan kepada sahabat lainnya untuk tetap menekuni keahliannya. Malahan ada
sebuah hadits yang seolah menyinggung para sahabat saat itu yang berbunyi:


Nabi Daud as tidak pernah makan kecuali dari hasil pekerjaan tangannya sendiri
(HR.Bukhari)
Jamaah Jumah yang Disayang Allah
Meski demikian, bekerja tidaklah cukup asal bekerja. Hendaknya bekerja harus
dilakukan dengan penuh kejujuran. Kejujuran dalam bekerja wajib pula hukumnya.
Karena pekerjaan yang dilakukan dengan jujur akan sangat mempengaruhi pola
beribadah dan perilaku keseharian seorang hamba. Mengapa demikian, karena
sesuatu yang halal merupakan buah dari kejujuran. Dan mengkonsumsi yang halal
akan mempermudah seorang hamba mendekatkan dirinya kepada Allah swt. Maka
yang menjadi pertimbangan di sini adalah proses bekerjanya bukan hasil dari
pekerjaan itu sendiri.
Hasil yang tidak maksimal tetapi diproses secara sempurna akan menghasilkan
keberkahan walaupun kecil kwantitasnya. Namun hasil yang maksimal dengan
proses yang cacat (tidak jujur) akan berdampak pada kesakitan moral pelakunya
meskipun secara kwantitas lebih unggul. Lihatlah mereka yang bekerja dengan
cara menipu ataupun berbohong pasti akan meraih sukses dalam jangka waktu
yang relatif lebih singkat. Tetapi tidak lama pasti akan menjadi bahan gunjingan.
Bukankah begitu nasib koruptor, penipu dan juga pembohong. Sesungguhnya yang
demikian itu sangat dibenci oleh Rasululah saw.
Diceritakan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah saw pernah berjalan-jalan di
pasar melewati setumpuk bahan makanan. Kemudian beliau memasukkan

Akhmadalikhasanudin.blogspot.co.id
tangannya ke dalam tumpukan itu. Ternyata pada bagian dalamnya basah.
Kemudian beliau bertanya kepada si penjual apakah ini? si penjual menjawab
Ya Rasul, makanan ini terkena hujan. Rasulullah saw pun bertanya kembali
mengapa makanan yang basah ini tidak kamu taruh di atas sehingga para pembeli
bisa melihatnya? kemudian Rasulullah saw melanjutkan sabdanya
( barang siapa menipu umatku, niscaya dia bukan termasuk golonganku).
Hadits tersebut sangatlah jelas dan mudah dipahami. Tidak ada kata-kata samar di
dalamnya. Bahwa siapapun yang berlaku curang dalam pekerjaannya maka dia
telah tersesat dan tidak termasuk golongan (umat) Rasulullah saw. Ini artinya
kecurangan dan kebohongan sangatlah dicela dalam Islam.
Meskipun konteks dan pelaku dalam hadits tersebut adalah pedagang, tetapi tidak
berarti pedagang saja yang dianjurkan berlaku jujur. Namun semua macam usaha
dan pekerjaan hendaknya dilakukan dengan jujur, akrena kecurangan dapat
menyeret seseorang keluar dari golongan Rasulullah saw. Tidak terkecuali para
politisi, investor, pejabat dan atupun kuli. Sayanganya kecurangan dan kebohongan
itu kini seolah dibenarkan bahkan dipelajari lengkap dengan metode dan terorinya
dengan kedok manajemen pencitraan. Apakah pencitraan itu sebuah kejujuran?
Silahkan dipertimbangkan sendiri.
Jamaah Jumah Rahimakumullah
Imam Abu Hasan As-Syadzili pernah berpendapat bahwa seseorang yang bekerja
dengan jujur berarti dia telah berjuang melawan hawa nafsunya yang selalu
condong pada kebohongan. Sehingga mereka yang jujur pantaslah mendapatkan
apresiasi sebagaimana para mujahid yang berhasil membunuh musuh-musuhnya.
Dalam sebuah taushiyah dia berkata:

Barang siapa bekerja dan teguh menjalankan perintah-perintah Allah, maka
benar-benar sempurna perjuangannya dalam melawan hawa nafsu
Jamaah jumah yang Dirahmati Allah
Setelah kejujuran dalam bekerja kita raih, hendaklah kita melangkah lagi satu
tingkat agar kehidupan ini lebih bermakna. Yaitu mengisi pekerjaan yang jujur
dengan nuansa ibadah. Abu Abbas al-Mursi berkata:



Bekerjalah kamu dan jadikanlah alat tenunmu (bila engkau penenun) sebagai
tasbih. Menjadikan kampak (bila bekerja sebagai tukang kayu) sebagai tasbih dan
menjadikan jarum (bila sebagai penjahit) sebagai tasbih, dan menjadikan
kepergiannya (bila berdagang) sebagai tasbih.
Karena itu apapun bentuk keahlian dan dimanapun pekerjaan itu bukanlah sekedar
sumber penghasilan semata tetapi juga sumber ibadah.
Demikianlah khotbah singkat kali ini, semoga hal ini dapat menjadi bahan
renungan yang mendalam, bagi kita semua amin.

.
,
.

Akhmadalikhasanudin.blogspot.co.id
Khutbah II

. *
.







.







.




.


.




!
.










Akhmadalikhasanudin.blogspot.co.id

Anda mungkin juga menyukai