NIM : E4E12320179
Kelas : PGSD – D
MK : Etno Sasambo
CERITA RAKYAT
LA HILA
Di zaman dulu, hidup seorang putri di Kala, Donggo. Namanya La Hila. Cantik jelita.
Kulitnya putih bersih. Lehernya berjenjang. Jika makan dan minum, tampaklah makanan dan
minuman yang ditelan. Alis sang putri seperti semut beriring. Rambutnya panjang terurai. Jika
sang putri mandi keramas atau mencuci rambut, dibutuhkan tujuh belah jeruk bundar (dungga
mbolo) serta tujuh belah kelapa atau tiga setengah butir. Manakala sang putri mengeringkan
rambutnya, diperlukan tujuh galah panjang untuk menjemurnya.
Gadis ini belakangan akrab dipanggil La Hila atau Sang Putri yang Hilang. Ceritanya
bermula ketika kabar mengenai kecantikan La Hila terkenal seantero negeri hingga ke kerajaan
seberang. Banyak pemuda yang ingin meminangnya. Para pemuda itu merasa cemburu dan
berujung pada keributan di antara mereka.
Paman dan bibi La Hila mencium bahaya besar jika keadaan dibiarkan berlarut-larut.
Untuk menghindari bahaya yang lebih besar, La Hila diminta untuk menyembunyikan diri.
Rencana paman dan bibinya tersebut tidak disampaikan ke orang tua La Hila. La Hila setuju
bersembunyi. Dia minta paman dan bibinya membuat lubang persembunyian dalam tanah,
semacam bunker. La Hila minta supaya disertakan pula perangkat menenun dalam lubang
persembunyiannya.
Pagi-pagi La Hila masuk ke dalam lubang yang sudah disiapkan. Sore harinya paman dan
bibinya mengantar makanan. Esok harinya, keduanya kembali mengantar makanan La Hila.
Alangkah kagetnya mereka karena tidak menemukan La Hila di tempatnya. Hanya ada alat
menenun saja di situ. Paman dan bibinya sangat sedih. Bibinya menangis seraya mencabut pucuk
rebung yang tumbuh dekat lubang persembunyian La Hila. Anehnya, rebung tersebut
mengeluarkan darah. Disaat bersamaan terdengar teriakan menahan sakit. Namun orang yang
berteriak tidak tampak. Bunyi teriakannya, "Jangan dicabut, sakit bibi. Ini saya bibi. Saya sudah
menjadi rebung". Tentu saja pasangan suami istri itu kaget bukan alang kepalang.
La Hila lalu berpesan kepada paman dan bibinya, "Bambu ini jangan dirusak. tolong
dijaga hingga anak cucu". Mengetahui anaknya sudah hilang, ibunda La Hila mendatangi lubang
persembunyian anaknya. Dia menangis mengelilingi pohon rebung tersebut seraya bernyanyi.
Itulah asal mula “Kalero“, musik khas Donggo. Rimbunan bambu jelmaan La Hila masih ada di
O’o, namun tidak lagi terpelihara seperti pesan La Hila. Masyarakat setempat menebangnya
untuk aneka keperluan seperti untuk perlengkapan membangun rumah.
Pesan Moral : Memiliki pesan moral dengan berbesar hati mengalah daripada harus terjadi
pertumpahan darah.
PENGOBATAN TRADISIONAL
KARANA SAMPURU