Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menjelaskan rangkaian acara Maddoa’ serta simbol dan makna

dalam acara Maddoa’ namun sebelum menjelaskan kedua hal tersebut terlebih dahulu akan

disampaikan gambaran umum lokasi penelitian.

Gambaran Umum Desa Samaenre’

Desa samaenre dalam cerita Masyarakat sekitar merupakan tempat persinggahan

terakhir La Tola Pallipa’ pute dalam perjalanannya menyebarkan Agama islam, konon

semasa hidupnya beliau juga pejuang yang sangat menentang penjajahan belanda. Beliau juga

terkenal sebagai ahli mengobati berbagai penyakit. Beliau memiliki banyak gelar, Seperti

Anre Gurutta, Pallipa’ Pute, To Salama dan Pua. Semasa hidupnya La tola telah menulis Al

Qur’an dengan menggunakan nyila dan kalam Menurut ahli warisnya (La Moncong) bahwa

nama asli Pallipa’ Pute adalah La Tola Sebelum menetap di Desa Samaenre’ beliau tinggal di

Langnga bersama bapaknya yang bernama La Eleng. Tetapi La Tola kemudian memutuskan

meninggalkan Langnga karena tidak menyukai kebiasaan Masyarakatnya yang gemar

menyabung ayam. Tiba disebuah tempat yang belum mempunyai nama La Tola kemudian

membuat sumur karena dianggap telah diisi (lise’) oleh La Tola pada sumur tersebut, maka

tempat tersebut diberi nama Lisse yang berasal dari kata Bahasa Bugis LISE’ yang artinya

(terisi) namun di Desa Lisse Pallipa’ Pute masih mendengar suara ayam yang diadu

selanjutnya berpindah ke Desa Samaenre’ dan menetap disana.

Geografis

Desa samaenre masuk wilayah Kecamatan Mattiro Sompe dengan luas wilaya Desa

Samaenre 10,17 Km2. Namun dari keluasan wilayah yang begitu potensial saat ini masih

banyak sumber daya alam yang berpotensi belum digali saat ini. Letak Geografis Desa
Samaenre berada diwilayah Kabupaten Pinrang. Keseharian Masyarakat Desa Samaenre

adalah bercocok tanam, bertani, buru tani dan berternak (Sapi, Kambing, ayam, dan itik),

perikanan, bangunan, buruh bangunan serta berdagang dan lainnya.

Jarak tempuh ke Ibu Kota Kecamatan sejauh 4 Kilo meter dengan lama tempuh

sekitar 15 menit, Jarak tempuh ke ibu kota Kabupaten Pinrang sejauh 11 kilo meter dengan

lama tempuh sekitar 30 menit.

Adapun batas-batas wilayah Desa Samaenre’ adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara : Desa Mattongang-tongan

2. Sebelah Selatan :Desa Marannu

3. Sebelah Timur : Desa Bunga

4. Sebelah Barat : Desa Patobong

A. Simbol dan Makna yang terdapat pada tradisi Maddoa’ Kabupaten Pinrang

a) Berayun (Maddoa’)

Makna gotong royong pada Tradisi Maddoa’, bagi Masyarakat Samaenre’ yang

dimana setiap perayaannya semua lapisan Masyarakat berkumpul dalam menyaksikan

perayaan tradisi ini. Dapat dikatakan bahwa keberadaan tradisi Maddoa’ ini memberikan

nilai positif tersendiri sebagai sarana untuk mewujudkan nilai solidaritas dan

kekeluargaan di Desa Samaenre’, ini terlihat ketika semua elemen Masyarakat

berbondong-bondong membangun ayunan dengan bergotong royong. Dengan melalui

tradisi Maddoa’ sudah memperlihatkan nilai ukhuwah Islamiyah dengan mempererat

silaturahmi antar Masyarakat Samaenre’.

Siapapun dapat menaiki ayunan ini jika dia seorang laki-laki diharuskan

menggunakan sarung dan jika dia seorang perempuan tidak sedang dalam keadaan
menstruasi ini untuk menghindari hal-hal buruk dan nilai sakral pada ayunan. Ayunan

ini dipercaya bahwa proses turunnya batara guru dari langit menggunankan tudangang

ulaweng dan ayunan ini berfungsi sebagai hiburan bagi Masyarakat yang mempuyai

keterbatasan fisik (sakit) agar senantiasa terhibur namun Makna lain yang dapat

dipetik dari Maddoa’ ini adalah rasa kebersamaan, persatuan serta gotong royong.

b) Sarung putih

Makna kemuliaan, Sarung merupakan salah satu busana yang sangat khas

bagi Masyarakat umum yang ada disulawesi selatan, selain fungsi juga

memberikan kesan kesopanan bagi Masyarakat yang menjujung tinggi adat istiadat

yang dianut oleh sebagian besar komunitas adat. Lipa’ pute (sarung putih) diartikan

sebagai lambang yang merupakan simbol yang dipercaya sebagai warna kesucian

dan juga merupakan ciri khas dari La tola Pallipa’ pute yang mencerminkan

kemualiaan.

c) Baju Bodo/ Baju Tokko

Makna pembeda strata sosial dan umur pengguna Busana tertua di dunia ini

berasalnya dari Provinsi Sulawesi selatan Makassar. dinamakan baju “Bodo” yang

berarti bodo, pakaian tradisional khusus perempuan ini berdesain segi empat,

berlengan pendek dan dilengkapi dengan sarung sutera sebagai bawahannya. Awal

mulanya, baju bodo dibuat dari bahan kain muslin (kain kasa). Kain yang memiliki

ciri khas berongga dan benang berjarak ini pertama kali didagangkan pada abad ke-

19 di kota Dhaka. warna-warna yang diaplikasikan pada baju bodo memiliki

Makna yang berbeda-beda yakni sebagai berikut:

Kuning gading (digunakan oleh anak dibawah 10 tahun): Sebagai penggambaran

terhadap dunia anak yang perlu keriangan. Warna ini juga memiliki analogi supaya

si anak cepat matang untuk menghadapi kehidupan yang penuh tantangan.


Jingga/Merah Muda (digunakan oleh anak umur 10-14 tahun): Warna ini memiliki

Makna “setengah matang”, sesuai dari representasi kata Bakka. Lalu ketika sudah

berusia 14-17 tahun, warna dibuat berlapis yang disusun dua. Ini menandakan

bahwa sang wanita sudah akil balik. Bisa digunakan juga untuk wanita yang sudah

menikah namun belum memiliki anak.

Merah darah (digunakan oleh wanita umur 17-25 tahun): Warna merah darah yang

bersusun dan berlapis menandakan bahwa sang wanita sudah menikah dan

memiliki anak.

Hitam (digunakan oleh wanita umur 25-40 tahun)

Selain itu, Makna sebuah warna yang diaplikasikan pada baju bodo ini juga dapat

menggambarkan perbedaan strata kebangsawanan.

Putih: Dikenakan oleh para pengasuh raja, dukun, maupun bissu yang memiliki

titisan darah berwarna putih.

Hijau: Hanya boleh digunakan oleh para bangsawan derta keturunannya (berdarang

bangsawan) atau para putri raja.

Ungu: Digunakan oleh para janda.

d) Daun siri/ Ota’

Makna kedamaian dan kerukunan Daun sirih merupakan tumbuhan yang tidak

jauh dari kehidupan sehari-hari Masyarakat karena daun sirih merupakan salah satu

tanaman obat yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Secara Tradisional sirih

sering digunakan untuk menghentikan mimisan, membersihkan mata dan juga bias

digunakan sebagai obat berbagai masalah kewanitaan.

Masyarakat Desa Samaenre’ tidak hanya menggunakan sirih sebagai obat akan

tetapi digunakan dalam aspek kebudayaan yaitu pada tradisi Mappadendang dan

Maddoa’. Daun Sirih disimpan pada piring dengan telur dan juga benno (beras yang
telah digoreng) Makna yang spesifik yang diyakini oleh setempat, bahwa daun Sirih

merupakan salah satu simbol kerukunan dan kedamaian. Hal tersebut di perkuat oleh

karakteristik daun sirih yang senantiasa tumbuh subur dan lebat serta mampu

memberikan manfaat yang bagi kehidupan manusia. Masyarakat Desa Samaenre’

memilih daun sirih sebagai salah satu sesajen dalam Ritual ini karna dengan harapan

Masyarakat Samaenre’ akan tetap rukun dan damai.

e) Benno’ (beras olahan yang masak hingga mengembang)

Makna kemandirian, Benno’ juga merupakan salah satu makanan yang

kemudian dijadikan sebagai sesajen dalam ritual Tradisi Maddoa’. Benno’ terbuat dari

padi yang kemudian disangrai, menjadi Benno’ dalam bahasa Bugis dikenal dengan

istilah penno riale atau mekar dengan sendirinya / berkembang dengan baik. Hal ini

diMaknai sebagai sebuah simbol kemandirian bagi Masyarakat serta kondisi

kehidupan yang terus tumbuh dan lebih baik.

f) Dupa

Makna pembawa Pesan, Dupa merupakan salah satu benda yang digunakan

dalam Ritual Maccera’ doa’ dimana ketika Sanro ingin membaca mantra maka dupa

tersebut diberi kemenyan sebagai salah satu bentuk kesakralan dalam suatu Ritual.

Dupa itu merupakan media untuk menghubungkan manusia dengan leluhur maupun

penciptanya. Dupa dipercaya sebagai media pembawa pesan antara manusia dengan

tuhan dikarenakan asap dari dupa yang membumbung tinggi ke langit hingga di

yakini segala bentuk doa dan pengharapan mereka sampai kepada tuhan. Benda ini

wajib ada dalam pembacaan mantra tersebut dan seperti Ritual pada umunya sebagian

besar menggunakan dupa yang dianggap suatu benda yang sangat wajip atau penting

dalam ritual itu sendiri.

g) Pallang/ kemiri
Makna perdamaian, kemiri adalah tumbuhan yang bijinya banyak

dimanfaatkan sebagai sumber minyak tidak hanya itu kemiri juga memiliki sifat anti

mikroba yang berperan penting dalam mehentikan penyakit diare, akan tetapi biji

kemiri mempunyai arti dan fungsi lain dalam suatu ritual tradisi Masyarakat Desa

Samaenre’.

Kemiri dipercaya sebagai media pencerahan dan simbol perdamaian antara roh

yang dipercaya membawa keburukan bagi Masyarakat Desa Samaenre’ dan kemiri

tersebut diletakkan bersama dengan dupa agar pengharapan mereka sampai pada

Allah SWT.

h) Tembakau

Makna pengobatan, Tembakau merupakan tumbuhan yang berdaun lebar,

daunnya diracik halus dan dikeringkan untuk bahan rokok dan sebagainya, manfaat

dari tembakau ini di percaya menghilangkan penyakit dan tembakau tersebut disajikan

bersama biji kemiri dan Ota’ bersama dupa untuk di bacakan mantra oleh Sanro agar

seluruh warga terhindar dari penyakit

i) Pisang raja/ Otti Barangang

Makna kemakmuran, Pisang Raja merupakan salah satu buah tropikal yang

banyak sekali tumbuh di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Malaysia.

Buah yang satu ini cukup populer karena rasanya yang tergolong sangat manis bila

dibandingkan dengan buah pisang lainnya. Namun buah ini banyak digunakan untuk

kelengkapan sesajen dalam ritual Mattoana di Desa samaenre’. Pisang raja kemudian

dimasukkan dalam Lasuji bersama beberapa seasajen lainnya kemudia dialirkan

kesungai yang berasa di Desa samaenre’, Mattoana ini dimaksudkan akan membawa

rejeki seperti alir yang sedang megalir dan membawa kemakmuran bagi warga Desa

Samaenre’
j) Ayam putih / Manu’ pute.

Makna relijius, Ayam merupakan salah satu hewan yang selalu ada pada ritual

Maccera’ Padendang, Maccera’ Doa’ dan ritual Mattoana. Ayam yang digunakan

bukan sembarangan ayam melainkan ayam yang berwarna putih bersih Masyarakat

Samaenre’ sangat mempercayai nilai-nilai religius dan kesakralan ayam putih. Itulah

sebabnya Masyarakat desa Samaenre’ sangat mensucikan ayam putih sebagai tanda

kedekatannya dengan agama Islam.

k) Gendang

Makna Penyembuhan dan penghiburan, Gandrang, atau yang dalam Bahasa

Indonesia disebut gendang, adalah salah satu alat musik tradisional suku Bugis-

Makassar yang masih dapat bertahan dan didengarkan saat sekarang. Gandrang selain

berfungsi sebagai alat pengiring tarian tradisional, juga menjadi penanda diadakannya

upacara tradisional, diantaranya upacara pernikahan adat Bugis dan Makassar

dentuman-dentuman yang keluar dari alat music ini terbukti dapat memberikan suatu

manfaat besar bagi Masyarakat Desa Samaenre’ dalam upacara Maddoa’, dibalik

bunyi tersebut memiliki Makna yang dipercai Masyarakat yakni Memberikan

penghiburan bagi Masyarakat khususnya bagi orang-orang yang memiliki

keterbatasan fisik (sakit) untuk selalu semangat dalam menjalani kehidupannya ini

terlihat ketika semua warga Desa yang sedang sakit berkumpul ditempat suara

gendang itu berbunyi.

l) Mattoana

Makna unsur kehidupan, Mattoana merupakan ritual melakukan atau

menyuguhkan berbagai macam sajian kepada roh leluhur, Mattoana pada Masyarakat

Samaenre’ bermakna sebagai doa pengharapan kepada Sang Maha Pencipta agar hal

yang mereka laksanakan mendapatkan perlindungan dari Tuhan untuk mencapai


kehidupan yang sejahtera, tenteram, dan tetap harmoni, baik di lingkup keluarga

maupun di dalam kelompok Masyarakat. Pelaksanaan ritual tersebut menggambarkan

nilai karakter lokal Masyarakat, seperti kekeluargaan, kebersamaan, persatuan, dan

kerja keras. Namun makna setiap Sokko (ketan) yang disuguhkan berbeda beda dalam

Mattoana.

Lamoncong mengatakan: “Mappanre siale karena ero eppae na manjajiki tau,

iyanaro epanre ri watakkaleta ero eppa sokko”

Mattoana ibaratkan Mappanresiale (4 rupa unsur sehingga menjadi manusia), yang

dimaksud empat bagian yang diatas adalah empat warna Sokko (ketan). Ketan hitam

melambangkan tanah, ketan merah melambangkan api, ketan kuning melambangkan

anging dan ketan putih melambangkan air.

m) Telur

Makna harapan, Telur tidak asing lagi dalam sebuah Ritual karena telur

merupakan kesepakatan bersama oleh Masyarakat itu sendiri yang dimana merupakan

simbol yang mengandung harapan baru, maka dari itu Masyarakat pongka simbolkan

telur sebagai salah satu pertanda bahwa Makna dibalik itu adalah adanya harapan-

harapan yang akan diwujudkan. Selain itu, keberadaan tello atau telur erat kaitannya

dengan siklus kehidupan. Hal tersebut diyakini oleh Masyarakat pongka bahwa sanya

telur digambarkan sebagai cikal bakal dari sebuah kehidupan.

n) Kerbau

Makna kesyukuran, Masyarakat Samaenre’ yang mayoritas petani memiliki

Tradisi untuk meminta berkah keselamatan ini menggunakan kerbau sebagai sarana

upacara, Masyarakat mempercai Kerbau sebagai simbol ungkapan syukur kepada

penguasa alam atas berlimpahnya hasil panen akan tetapi ini juga akan membawa nilai

kebersamaan. Warga Desa menyambut ritual ini mirip perayaan hari raya sehingga
menciptkan kebersamaan, keakraban dan terbentuknya solidaritas, namun sebelum

kerbau ini disantap kerbau terlebih dahulu akan disembelih oleh sandro dan akan

dibacakan mantra agar tidak terjadi hal-hal yang buruk dalam pelaksanaan dalam

pemotongannnya kerbau ini disimbolkan sebagai tanda kesyukuran atas berhasilnya

panen.

Anda mungkin juga menyukai