Anda di halaman 1dari 19

ETHNOFARMASI DAN TUMBUHAN OBAT INDONESIA

“SUKU MUNA-SULAWESI TENGGARA”

Dosen Pengampu:

Yulistia Budianti Soemarie, M.Farm., Apt.

Kelompok 3

Nama NIM

Ferri Azhari Ramadhan 19482013014

Friliani Alifia 19482013015

Heni Sintyawati 19482013016

Inayah Herman Goetie 19482013017

Lusi Mardika Ariyanti 19482013018

M. Abdiannur 19482013019

SEKOLAH TINGGI ILMUKESEHATAN SAMARINDA

2019
BAB I

ETNIS SUKU MUNA

1.1 Kehidupan Masyarakat Suku Muna

Suku Muna merupakan salah satu dari tiga komunitas yang mendiami Sulawesi
Tenggara dan mempunyai kehidupan budaya yang khas. Salah satu bentuk budaya
yang khas adalah perwujudan fisik arsitekturnya yang lahir dan terbentuk karena
Budaya, strata sosial dan sistem religi yang ada dalam kehidupan masyarakat muna.

Dalam Bahasa Muna, rumah atau tempat tinggal disebut dengan Lambu yang
mempunyai pengertian umum sebagai tempat berlindung dari panas/dingin, gangguan
binatang atau manusia. Serta tempat untuk melaksanakan segala kegiatan kehidupan
dengan sebaik-baiknya. Menurut orang Muna pengertian luas dari kata lambu tersebut
adalah suatu perwujudan kehidupan yang membedakan manusia dengan hewan.
Hewan hanya memiliki insting untuk makan sedang manusia secara kodrat mempunyai
akal serta nilai-nilai peradaban lainnya. Bertolak dari kelebihan itu manusia membuat
rumah dengan bentuk, fungsi, ragam rias dengan cara tertentu dan cara tersebut
diwarisi secara turun temurun.

Dalam Bahasa Muna rumah tempat tinggal diberi nama menurut kepentingan dan
sistem sosialnya. Menurut kepentingannya rumah dibedakan atas :

1) Lambu, Yaitu tempat menetap secara teratur dan relatif lama, sebagai tempat
melakukan segala kegiatan kehidupan, baik sebagai individu maupun sebagai
mahluk sosial.

2) Kaombela, yaitu tempat tinggal sementara, seperti tempat menjaga kebun tanaman
diladang.

3) Rompo/bhantea, yaitu tempat tinggal untuk beberapa jam atau beberapa hari di
tempat melakukan sesuatu pekerjaan, seperti pada saat mengambil rotan atau
memotong kayu dihutan.

Berdasarkan sistem sosial, rumah tempat tinggal dibedakan atas :

1) Lambu, yaitu rumah tinggal masyarakat umum (rakyat biasa).

2) Lambu bhalano, yaitu rumah tempat tinggal para pejabat.


3) Kamali, yaitu rumah tempat tinggal raja.

Rumah tradisional Muna merupakan perwujudan dari penghayatan budi dan rasa
bahwa manusia terdiri atas empat sisi, yaitu sisi kiri, kanan, muka dan belakang, yang
terekspresikan dalam bentuk rumah segi empat.

Gambar 1. Rumah Rakyat (Lambu) Etnis Muna

Menurut Marafad (2015:1), Bahasa Muna merupakan salah satu bahasa daerah
yang digunakan oleh etnis Muna di Kabupaten Muna dan sekitarnya. Bahasa Muna
memiliki ciri bahasa vokalis, inkorporasi, aglutinasi. Dikatakan memiliki ciri vokalis
karena ada menunjukan bahwa setiap suku katanya cenderung terbuka dan vokal-
vokalnya memiliki kebebasan bergabung antara satu dengan yang lain dalam kata.
Etnik Muna merupakan salah satu suku bangsa yang mendiami Pulau Muna. Dalam
rasio-kultural, Etnis Muna merupakan salah satu suku bangsayang memiliki aneka
ragam budaya. Salah satu produk budaya yang memiliki peran yang sangat tinggi ialah
bahasa. Bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi Etnis Muna ialah Wamba Wuna
‘Bahasa Muna (BM)’. Bahasa Muna dipakai dalam berbagai keperluan, diantaranya
Bahasa Muna dipakai dalam komunikasi luas, Bahasa Muna dipakai dalam kontek adat
istiadat, Bahasa Muna dipakai dalam upacara keagamaan, upacara ritual. Bahasa Muna
dipakai dalamdunia pendidikan keluarga berupa nasihat, perintah (katudu), ajaran
(kafuguru), penyampaian (kafenaghu), pemali (falia).

Contoh Bahasa Suka Muna :

satu : ise
dua : raise
tiga : tolu
empat : paa
lima : dima
enam : nono
tujuh : fitu
delapan : alu
sembilan : sisiwa
sepuluh : ompulu
putih : kapute
merah : kadea
hijau : kaidho
kuning : kakuni
biru : kakanda
hitam : kaghito
saya : inodi
kamu : ihintu
kalian : ihintuumu
kita : intaidi
dia : anoa
mereka : andoa
kami : insaidi

Mata Pencaharian Suku Muna kebanyakan bekerja sebagaian besar sebagai petani
tradisional di ladang-ladang dengan tanaman utamanya jagung, Etnis Muna sangat
berpegang teguh pada warisan nenek moyangnya. Selain itu mereka juga menanam
ubi, tebu, kelapa dan sayur-sayuran. Menanam jagung adalah salah satu mata
pencaharian masyarakat Muna dalam melangsungkan kehidupannya. Didalam mata
pencaharian tersebut tidak terlepas dari tanggung jawab seorang parika (pawang
kebun). parika merupakan orang tua yang dipercayai oleh petani tradisional
masyarakat Muna sebagai pertuah dan mengetahui seluk beluk dalam kegiatan
membuka lahan, menentukan waktu tanam yang baik serta mantra-mantra yang
digunakan dalam setiap aktivitas tersebut. Makanan khas orang Muna yang terkenal
yaitu Kabuto yang terbuat dari bahan ubi.

Gambar 2. Makanan Khas Suku Muna


1.2 Pakaian Adat Suku Muna

Busana atau pakaian adat merupakan salah satu dari keragaman kebudayaan etnik
yang dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat. Busana atau pakaian dengan
berbagai simboliknya mencerminkan norma-norma serta nilai-nilai budaya suatu suku
tertentu. Berikut macam-macam pakaian adat Suku Muna diantaranya:

1. Pakaian ajo tandaki adalah pakaian kebesaran pejabat-pejabat kerajaan, namun


secara umum dipakai juga oleh anak-anak yang dikhitan. Mahkota berwarna putih
dan merah mengandung arti simbolik keberanian dan kesucian, sedangkan warna
busana berarti pakaian itu melambangkan kebesaran dan kemuliaan.

2. Pakaian molandakina tana juga disebut kombo. Menurut tradisi lisan di Muna raja 1
Muna adalah La Eli yang pakaian kebesarannya disebut kombo. Penggunaan kombo
bertujuan melestarikan keagungan dan kebesaran raja yang dipandang sebagai
pemula keturunan bangsawan Muna yang mencapai sukses. Dari warna putih dan
kembang hitam, merah dan kuning, melambangkan kesucian kebenaran, keberanian
dan keagungan.

Gambar 3. Pakaian Adat Muna

3. Pakaian ajo bantea merupakan pakaian adat pengantin pria dari golongan
bangsawan, pemakaianya tidak berbaju atau bagian badan tidak tertutup. Bentuk
pakaian seperti itu melambangkan bahwa pemakaianya belum mengemban suatu
tugas dan jabatan.

4. Pakaian adat bewe patawala merupakan lambang kebesaran dan kemuliaan


golongan kaomu (bangsawan) di Muna. Warna sarungnya bercorak merah di atas
dasar putih dengan kemeja putih polos melambangkan kebenaran mutlak yang tidak
dapat berubah-ubah. Dengan memakai daster celupan yang lazim disebut kampurui
palangi mencerminkan warna-warni yang dipandang ulama sebagai lambang
ketulusan dan keikhlasan dalam menjalankan pengabdian.

Pakaian pejabat rendahan dalam upacara keagamaan. Dari bentuk jubah yang
sempit dan pendek melambangkan tingkat jabatannya. Pakaian tersebut dinamakan
bewe betawi. Dengan tongkat dalam pegangannya menunjukkan arti bahwa pejabat
tersebut sementara menjalankan tugas jabatan. Pakaian adat yang dinamakan biru-
biru adalah pakaian harian golongan walaka (golongan tengah) pada masyarakat
Muna, dari warna sarungnya yang berwarna biru mengandung makna kepatuhan dan
badan yang terbuka/tidak berbaju melambangkan bahwa pemakainya belum
menduduki jabatan atau tugas kemasyarakatan.

Pakaian pejabat tingkat kerajaan dengan pakaian kerja harian yang disebut bata-
batasi, pakaian tersebut dinamakan demikian karena berasal dari cara melilitkan
daster. Dalam istilah lokal, bata-batasi artinya membungkus rapih dan baik. Karena
cara membungkus demikian rapih dan baik, sehingga barang yang dibungkus terjamin
keadaanya. Pada pakaian tersebut tempat lilitan daster membungkus rapi seluruh
batok kepala. Pemakaian daster semacam itu hanya terdapat pada tingkat menteri.
Bentuk dasternya melambangkan wewenang yang melekat pada jabatanya. Dengan
melindungi bagian tempat alat pemikiranya, suatu isyarat bahwa dalam tugasnya
sehari-hari harus menyelamatkan kepentingan Negara. Pengaruh dari luar diteliti dan
secara selektif untuk diterima. Jubahnya yang agak besar dan berpinggir kuning
mengandung makna besarnya tanggung jawab yang diembannya namun sangat mulia.
Bentuk jubah terbuka melambangkan sifat kerbukaan untuk melayani kepentingan
masyarakat. Pakaian adat yang disebut suruh bani yang berbeda yang warna jubah
dan sarung. Pakaian seperti itu adalah untuk para pejabat keagamaan yang lebih di
tonjolkan di sini adalah jubah panjang berwarna putih dengan sorban putih. Menurut
informan bahwa pakaian putih-putih mengandung makna kesucian. Pakaian semacam
itu mereka pakai hanya pada acara ibadah shalat Jumat. Pemakaian sorban putih pada
hari jumat adalah didasarkan atas hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
yang artinya: bahwa sesungguhnya hari Jumat itu adalah hari hajinya orang-orang
fakir dan hari rayanya orang-orang miskin. Selain itu ada pandangan sosial yang
melambangkan hubungan antara pejabat keagamaan dengan rakyat, yaitu bahwa
jubah putih itu dicanangkan sebagai persiapan kain kafan bagi rakyat yang tidak
mampu.

Pejabat di Muna pada umumnya memakai tongkat sebagai tanda jabatan. Karena
terdapat tingkat-tingkat jabatan, mulai dari jabatan terendah sampai pada jabatan
tertinggi maka macam tongkat jabatan beraneka ragam pula. Ada tongkat rotan yang
sangat sederhana dan ada pula dari kayu hitam berhulu emas. Bahkan tongkat moji
terdiri dari besi berhulu kuningan. Tongkat di samping tanda jabatan juga dipandang
sebagai senjata. Sebagai tanda jabatan melambangkan rasa tanggung jawab dan
kebijaksanaan pada seorang pejabat. Ia harus mempunyai kemampuan menuntut diri
dengan tongkat jabatan itu. Warna tongkat juga mempunyai makna simbol. Misalnya
kayunya yang berwarna hitam melambangkan kebenaran mutlak, hulunya yang
disalut dengan perak atau emas melambangkan kesucian atau kemuliaan.

Pakaian adat wanita yang telah kawin di Muna menggunakan pakaian adat
dengan baju koboroko. Koboroko artinya berleher. Pada wanita muda, bajunya tidak
berkerah. Pemakaian kerah menunjukkan bahwa pemakai sudah berumah tangga.
Sedang pada gadis-gadis di samping memakai hiasan-hiasan kegadisan, juga baju
yang dipakainya disebut kamowa. Perbedaan menyolok terletak pada warna kain.
Bilamana pemakaian itu kalambe atau perempuan muda/gadis, kainnya biasanya
berwarna hijau, biru muda atau keputihan. Warna tersebut melambangkan kemudaan,
sedangkan pada ibu-ibu yang sudah berumah tangga biasanya warna bajunya terdiri
dari merah, hitam atau warna gelap. Dari warna-warna tersebut menunjukkan rasa
harga diri menempatkan pribadinya sebagai seorang yang sudah cukup dewasa.
Antara perempuan muda dengan perempuan yang telah bersuami tampak pula
perbedaan pada pakaian sarung bila dalam berpergian. Perbedaan itu ialah seorang
gadis memakai sarung hanya satu lapis sedangkan perempuan yang sudah bersuami
memakai sarung lebih dari satu lapis. Seorang gadis memakai baju kambowa dengan
dua lapis sarung. Lapisan bawah adalah sarung warna putih dan lapisan atas adalah
bia-bia atau corak garis lurus melintang. Pemakaian sarung seperti itu menunjukkan
gadis tersebut sudah melewati upacara pingitan. Jadi sudah menunjukkan kematangan
untuk bersunting. Suatu kekhususan pada pakaian wanita Muna yaitu lengan baju
hanya sampai siku, agar tangannya leluasa digerakkan. Hiasan berwarna kuning
mengartikan kemuliaan. Pada pakaian kelihatan seorang putri/gadis berpakaian
berwarna coklat muda. Bahan baju dan bahan sarung adalah kain semacam. Bentuk
lubang leher dan lengan baju yang panjang melambangkan bahwa pemakainya
mengutamakan harga diri dan mampu mengendalikan dirinya. Pada pakaian seorang
ibu berbaju warna biru tua dan memakai sarungnya memberikan arti lambang bahwa
dia adalah seorang ibu rumah tangga yang penuh kematangan dan kasih sayang di
dalam fungsi dan tanggung jawabnya.

Pakaian Adat Muna berfungsi sebagai salah satu cara menjaga nilai-nilai etika
dalam mengandung nilai-nilai moral terutama dalam acara-acara yang berkaitan
dengan Adat. Menjaga nilai-nilai etik atau nilai-nilai moral dalam rumah walaupun
sederhana asalkan bersih dan tertutup. Fungsinya terdiri atas fungsi etik, fungsi
estetik, fungsi religius dan fungsi sosial. Makna simbolik pakaian Adat Muna dalam
kehidupan masyarakat yang pertama ialah: (a) Mahkota yang berwarna putih dan
merah mengandung arti bahwa simbol keberanian dan kesucian. (b) Warna sarung
yang berwarna biru mengandung arti kepatuhan.

1.3 Kebudayaan Suku Muna

Masyarakat Muna memiliki berbagai macam ritual antara lain: katoba, karia.
Salah satu upacara ritual yang paling meriah adalah karia. Kata karia sendiri berarti
ramai (meriah). Karia merupakan upacara ritual pingitan yang dilakukan dengan
sangat meriah yang pelaksanannya diiringi dengan alat-alat musik tradisional yaitu
gong dan gendang Muna.

1.3.1 Karia

Karia merupakan wadah atau momentum untuk membentuk kematangan pribadi


seorang gadis, karena dalam ritual karia ini gadis ditempah dengan pendidikan
kebersihan, pendidikan kesucian, sikap mental dan pendidikan akhlak serta para
peserta karia akan melewati atau melalui beberapa tahapan dalam ritual tersebut. Ada
sembilan tahapan atau proses yang harus dilalui dalam ritual karia, dan di dalam
setiap tahapan mengandung makna dan nilai-nilai simbolis.

Para gadis yang mengikuti karia harus benar-benar pasrah dan sabar dalam
menjalani acara tersebut. Tahapannya terdiri dari: (1) persiapan, (2)
kafoluku/kaghombo, (3) kafolego, (4) kabhunsale, (5) kafosampu, (6) katandano wite,
(7) tari Linda. (8) kahapui, (9) kafolantono bhansa.
Gambar 4. Ritual Karia

Keunikan dari upacara ritual karia adalah terdapat tarian saat puncak ritual
pingitan yaitu Linda. Linda dalam bahasa daerah Muna berarti menari. Pada
hakikatnya, menari pada proses upacara karia setelah menunaikan ritual merupakan
ungkapan rasa syukur pada Yang Maha Kuasa. Selain itu juga sebagai ungkapan suka
cita keluarga yang telah mempromosikan kepada masyarakat bahwa di keluarga
tersebut memiliki anak gadis yang siap untuk dinikahkan. Kemudian juga diajari
berbagai macam pengetahuan, khususnya ilmu yang berkaitan dengan pembinaan
keluarga, tata cara kehidupan bermasyarakat, pergaulan serta pembinaan karakter
untuk menghadapi tantangan kehidupan setelah membentuk rumah tangga. Uniknya
dalam pertunjukan tari Linda terjadi sebuah interaksi antara penari dan penonton
yaitu penari melempar selendang kepada salah satu penonton yang kemudian
kewajiban bagi penonton yang mendapatkan selendang tersebut harus memberikan
hadiah kepada peserta karia yang menari berupa saweran uang dan bingkisan sebagai
ucapan rasa syukur karena para penari Linda dalam upacara ritual karia telah
melewati proses yang cukup rumit.

Gambar 5. Tari linda

Dalam pertunjukan tari Linda busana dan properti merupakan aspek yang sangat
berperan penting, karena busana atau kostum bukan hanya sebagai penutup tubuh
tetapi darinya terungkap kedalaman makna yang melalui simbol-simbol yang
mengandung beragam aspek keindahan. Properti juga yang berperan serta berfungsi
sebagai sesaji bukan hanya benda-benda atau barang-barang yang dipersembahkan
dan sesudahnya dapat disantap bersama komunitas sebuah peristiwa pertunjukan.
Busana dan properti dalam tari linda diantaranya :

1. Badhu kombo merupakan baju khas daerah suku Muna yang dikenakan oleh para
wanita pada saat akan menarikan tari Linda. Badhu kombo yang digunakan pada
tari Linda adalah berwarna putih (denotasi) yang dikonotasikan sebagai gadis
tersebut (penari Linda) masih suci. Dalam badhu kombo juga terdapat bis merah
pada pinggiran baju (denotasi) yang dikonotasikan sebagai perbatasan larangan
kodrat seorang wanita, serta serta wol merah (denotasi) yang dikonotasikan anak
gadis tersebut yaitu penari Linda telah baligh (dewasa).

2. Punto merupakan rok puntung yang dipasang paling luar setelah rok bawah pada
kostum tari Linda. Warna dasar Punto adalah hitam dan merah yang merupakan
lambang dasar budaya suku Muna (denotasi) yang dikonotasikan bahwa segala
macam kejahatan yang ada di dunia ini khususnya pada masyarakat suku Muna
akan selalu dikalahkan dengan keberanian yang berlandaskan pada kebenaran.
Punto juga ditempeli picing-picing emas (denotasi) yang dikonotasikan bahwa
semua perempuan tentunya memiliki harga diri yang tinggi agar tidak dipandang
murahan dan selalu ditinggikan derajatnya.

3. Ndoro panda merupakan rok yang dipakai pada tari Linda yang dipasang dibagian
dalam sebelum dipakainya Punto dan posisinya di bawah punto. Pada Ndoro Panda
ini mempunyai warna yang berbeda-beda (denotasi) yang dikonotasikan setiap
manusia memiliki adat istiadat serta budaya yang berbeda-beda, tetapi tidak
menjadikan sebuah perbedaan melainkan sebaliknya saling merangkul dan
bergotong royong satu sama lain. Warna putih (denotasi) yang dikonotasikan
sebagai kesucian, hijau yang bermakna sebagai keagamaan, kuning yang
dikonotasikan sebagai perdamaian dan warna merah sebagai keberanian dan
pertumpahan darah.

4. Anting-anting yang digunakan pada tari Linda adalah berbentuk burung, biasanya
berwarna emas atau perak (denotasi) yang dikonotasikan bahwa setinggi-tingginya
burung terbang akan ke kubangan juga, artinya setinggi-tingginya pendidikan
wanita namun pada akhirnya akan berlabuh ke rumah tangga juga.

5. Simbi (Gelang). Simbi atau gelang biasanya terbuat dari emas atau perak
bentuknya bulat dan digunakan secara bersusun sebanyak empat buah, dua
disebelah tangan kanan dan kiri penari sehingga totalnya berjumlah delapan buah
(denotasi) yang dikonotasikan bahwa menjadi seorang wanita wajib memiliki sikap
adil, jujur, dan bijaksana dalam menyusun sebuah ikatan berumah tangga serta
selalu saling memotivasi, jangan ada yang ditutupi kepada pasangan hidup
nantinya.

6. Kalung yang digunakan pada tari Linda berbeda dengan kalung yang digunakan
pada tarian-tarian lainnya. Tali kalungnya berwarna warni dan mainan kalungnya
berwarna emas (denotasi) yang dikonotasikan bahwa menjadi seorang wanita
tentunya banyak lika-liku kehidupan yang harus dilewati ketika akan memasuki
bahtera rumah tangga.

7. Panto merupakan tusuk sanggul yang digunakan pada tari Linda, berjumlah tiga
biji dan terinspirasi pada pancasila yaitu sila ke tiga yang berbunyi persatuan
Indonesia (denotasi) yang dikonotasikan sebagai generasi penerus bangsa harus
saling tolong-menolong dan bergotong royong serta bahu-membahu untuk
menyatukan masyarakat Muna khusunya serta masyarakat Indonesia pada
umumnya.

8. Kabunsale terbuat dari kain dengan hiasan bis pinggir dan manik-manik pada
permukaan luar. Ujung atas bersegi sedang ujung bawah membulat yang dipasang
di atas sanggul terjuntai ke bawah (denotasi) yang dikonotasikan bahwa seorang
gadis Muna bukan hanya kecantikan wajah yang harus dimiliki akan tetapi
kecantikan dari dalam hati (inner beauty) juga harus dimiliki serta harus memiliki
keterampilan seperti pandai menjahit, menenun, dan memasak. Keterampilan dan
kelincahan tersebut tentunya menjadi modal utama bagi seorang wanita dalam
berumah tangga agar selalu terjalin komunikasi serta hubungan yang harmonis satu
sama lain. Tarima kasi (hiasan sanggul). Bentuknya seperti daun jambu mente yang
memiliki lima titik yang dipasang tegak lurus di atas sanggul para penari (denotasi)
yang dikonotasikan sebagai lima rukun Islam. Artinya, sebagai sesama manusia
harus saling mengingatkan satu sama lain, saling menghormati, saling menghargai
serta menjadi pribadi yang soleh atau solehah dalam bermasyarakat dan dihadapan
Tuhan Yang Maha Esa.

9. Lilitan konde juga sangat penting dalam busana tari Linda karena digunakan untuk
melingkari sanggul penari. Lilitan ini berwarna merah dan terbuat dari kain
(denotasi) yang dikonotasikan bahwa hidup itu selalu berputar layaknya lingkaran
yang harus dilewati kadang merasa bahagia, kadang merasa sedih, kadang merasa
banyak, kadang pula merasa sedikit, terkadang di atas dan terkadang pula di bawah.
Olehnya itu sebagai seorang manusia, jadilah pribadi yang bijak dan baik dalam
mengambil sebuah keputusan.
10. Sulepe (Ikat Pinggang). Pada busana tari Linda juga mengenakan Sulepe (ikat
pinggang) yang terbuat dari kain dan berwarna kuning (denotasi) yang
dikonotasikan ketika dalam berumah tangga jadilah pasangan yang saling mengisi
satu sama lain, jangan pernah ada sifat iri, egois, pemarah ataupun pendendam.
Suami harus menjaga istri dan begitupula sebaliknya, harus ada ikatan yang kuat
agar hubungan dalam berumah tangga tetap harmonis.

1.3.2 Katoba

Katoba adalah salah satu bentuk tradisi lisan yang dimiliki suku Muna di
Kabupaten Muna dan Kabupaten Muna Barat di Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada
hakikatnya, katoba dipahami sebagai ritual pada anak yang memasuki usia dewasa (6-
11 tahun). Pelaksanaan ritual ini terdapat ungkapan adat dan budaya yang dituturkan
secara lisan oleh seorang penutur (iman desa) kepada anak yang di upacarai (di-
katoba). Rentetan upacara dan penyampaian informasi moral dan etika kepada anak
yang di-katoba adalah hal yang harus tercipta dalam tradisi lisan ini. Meskipun katoba
tergolong ritual siklus kehidupan pada masyarakat Muna, namun keberadaan sudah
mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Perubahan yang dimaksud
tidak demikian esensial, karena substansi informasi masih tetap bertahan hingga
sekarang. Kuatnya eksistensi katoba ini karena menyatu dengan agama mayoritas
Muna, yakni Islam. Meminjam istilah Waluyo dan Amali (2013, 189) jenis-jenis seni
dapat memberikan edukasi dan pesan moral, juga termasuk wujud prosesi religi.

Tradisi katoba dilihat dari perspektif ini, di samping sebagai media menyampaikan
pesan moral dan etika pada anak yang di-katoba turut serta juga di dalamnya sebagai
proses religius yang bernapaskan Islam. Bahkan, beberapa kajian ilmiah dikatakan
bahwa ritual ini juga merupakan upaya mengukuhkan dan melegitimasi ke-Islam-man
seorang anak di Muna. Sebagai salah satu bentuk tradisi lisan, katoba dipergunakan
sebagai salah satu media komunikasi tradisional dalam masyarakat Muna dari dulu
hingga sekarang. Bahkan, katoba ini masih dipelihara, dan diwariskan secara turun-
temurun oleh sebagian besar masyarakat Muna, bahkan dalam perkembangannya tidak
mengalami benturan dari Islam fanatik di Muna. Bentuk pelaksanaannya pun tidak
berubah dari generasi ke generasi, hanya ada versi-versi tuturan sesuai dengan
pengalaman dan pengetahuan penutur. Akan tetapi, secara hakikat dan substansi adalah
sama, yakni mengajarkan syahadat, penyucian diri, dan nasihat-nasihat moral dan etika
pada anak yang di-katoba.

Jaya (2015) mengatakan bahwa katoba secara etimologis berasal dari kata toba
yang diserap dari bahasa Arab, yakni dari kata taubah (tobat). Pandangan filosofis
orang Muna, muncul sebuah klaim bahwa anak-anak yang belum dewasa (6-11 tahun)
belum memiliki kemampuan untuk memilah baik-buruk. Atas dasar inilah, tradisi
katoba menjadi suatu keharusan dilaksanakan pada anak yang menginjak dewasa.
Pelaksanaan tradisi katoba dapat pula dilekatkan padanya sebagai bentuk learning
social, yakni bentuk proteksi dini yang diupayakan orang tua (diwakili oleh Iman Desa)
untuk mengajarkan nilai-nilai Islam dan praktik sosio-kultural. Islam tergambar pada isi
katoba berupa lafal dua kalimat syahadat (Asshadu Alla Ilaha Ilallah, Wa Asshadu
Annamuhammadan Abduhu Warasulullah). Tahapan-tahapan transfer pengetahuan dari
imam desa kepada anak yang di-katoba (1) menghindari perbuatan negatif (tercela) di
mata Tuhan dan manusia, menjalankan syariat Islam, dan mengetahui cara bersuci dan
air yang suci lagi mensucikan. Ungkapan syahadat, merupakan upaya orang tua untuk
melegitimasi status keislaman seorang anak di Muna.
BAB II

PENGOBATAN ALAMI DARI SUKU MUNA

A. Akar Alang-alang (Imperatacylindrica L.)

Nama lokal : Akar Alang-alang


Kandungan kimia : Manitol, Glukosa, Sakarosa, Malic acid, Citric acid, Coixol,
Arundoin, Cylindrene, Cylindol A, Graminone B,
Imperanene, Stigmasterol, Campe-sterol, β-sitosterol,
Fernenol, Arborinone, Arborinol, Isoarborinol, Simiarenol,
Anemonin, dan Tanin
Pengobatan : Sebagai obat pendarahan, sakit perut, maag, batu ginjal dan
alergi
Cara pengobatan : Akar Alang-alang(Imperatacylindrica L.) direbus dengan air
secukupnya sampai mendidih, didinginkan lalu diminum
sebanyak satu gelas pagi dan sore hari (Al manar, 2018).
B. Tanaman Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
Nama lokal :Belimbing wuluh
Kandungan kimia :Saponin, Tanin, Sulfur, Kallium oksalat, Peroksida, Glukosid
Pengobatan :Menurunkan atau menormalkan kembali tekanan darah
Cara pengobatan : daun belimbing (Averrhoa bilimbi L.) yang masih muda
direbus sampai mendidih, didinginkan dan diminum pagi dan
sore sebanyak 1 gelas
C. Daun Sirih (Piper cilibracteum D.C)

Nama lokal : Daun sirih


Kandungan kimia : Minyak atsiri, Asam nikotinat, Tiamin, Asam Amino dan
Tanin
Pengobatan : Obat pencuci mata
Cara Pengobatan : Daun sirih (Piper cilibractum D.C.) dihancurkan sampai
benar-benar halus kemudian diambil sedikit demi sedikit
daun yang telah halus dan diteteskan ke mata setiap pagi dan
sore hari
D. Daun Kentut (Paederia scandens Merr.)

Nama lokal : Daun Kentut


Kandungan Kimia : Alkaloid, Sapononin, Tanin dan Flavanoid
Pengobtan : Sebagai Obat Cacingan
Cara pengobatan : Daun kentut (Paederia scandens Merr.) dicampur dengan
daun sembung (Blumea balsanifera D.C.), daun selasi
(Ocimum basilicum L.) lalu diberi air masak secukupnya,
diperas, disaring dan hasil perasan diminum tiap pagi dan
sore sebanyak 1 gelas
E. Daun Sembung (Blumea balsanifera D.C.)

Nama lokal : Daun Sembung


Kandungan Kimia : Minyak atsiri, tannin, glikosida, saponin, flavanoid, asam
palmitin dan myristin
Pengobatan : Sebagai Obat cacar
Cara pengobatan : Daun sembung (Blumea balsanifera D.C.) dicampur dengan
batang kakalei-kaleinondoke diberi air secukupnya lalu
direbus sampai mengeluarkan bau yang tidak enak,
didinginkan lalu diminum sebanyak 1 gelas tiap pagi dan sore
hari
F. Batang Patikan Kebo (Euphorbia hirta L.)
Nama lokal : Patikan Kebo
Kandungan kimia : Alkaloid, Tanin, Folifenol, Flavanoid quersitrin
Pengobatan : Sebagai obat Katarak
Cara pengobatan : Batang patikan kebo (Euphorbia hirta L.) yang masih muda,
dipatahkan kemudian diambil getahnya lalu diteteskan pada mata
yang terkena katarak setiap pagi dan sore hari (Jumiarni dan
Oom, 2017)
.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Ditemukan 34 koleksi tanamana obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Muna
di pemukiman Kota Wuna Kecamatan Tongkuna Kabupaten. Dari 34 jenis yang
dimanfaatkan tersebut, 31 koleksi telah teridentifikasi nama ilmiahnya dan 3 koleksi
tidak dapat teridentifikasi nama ilmiahnya. Organ tumbuhan yang digunakan sebagai
obat meliputi seluruh bagian organ tumbuhan atau hanya salah satu bagian organ saja
(akar, batang, daun, bunga, buah dan biji). Dari keseluruhan jenis tumbuhan yang
dikoleksi dapat dimanfaatkan untuk menyembuhkan 22 jenis penyakit. Cara
pemanfaatannya adalah dengan direbus, dibakar, atau diremas-remas sebelum
digunakan.
DAFTAR PUSTAKA

Al Manar, P. 2018. Pengetahuan Etnofarmakologi Tumbuhan Alang-Alang


(ImperatacylindricaL.) Oleh Beberapa Masyarakat Etnik di
Indonesia. Bogor: Institusi Pertanian Bogor.

Ardin, Agus Cahyono, Hartono. 2017. Makna Simbolik Pertunjukan Linda Dalam
Upacara Karia di Kabupaten Muna Barat Sulawesi Tenggara.
Catharsis 6(1).

Faisal Rasul. 2016. Bentuk-Bentuk Negasi Bahasa Muna. Jurnal Humanika No.16
Vol.1

Hadirman. 2016. Tradisi Katoba Sebagai Media Komunikasi Tradisional Dalam


Masyarakat Muna. Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini
Publik Vol. 20 No.1

Jumiarni W.O dan Oom K. 2017. Eksplorasi Jenis dan Pemanfaatan Tumbuhan
Obat Pada Masyarakat Suku Muna di Pemukiman Kota Wuna.
Sumatra Selatan: Balitbangda.

La Ode Dinda, Aman, Johan Setiawan. 2019. Sejarah Pembuatan dan Makna
Simbolik Pakaian Adat Muna. Jurnal Patanjala Vol. 11 No. 3.

Sachrul Ramadan. 2004. Arsitektur Vernakular Muna . NALARs Volume 3 Nomor 2


Juli 2004: 60-77

Anda mungkin juga menyukai