PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Anggota IKAPI
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16956
Tel/Fax : (021) 84311162 – (021) 84311163
E-mail : rajapers@rajagrafindo.co.id http: // www.rajagrafindo.co.id
Perwakilan:
Jakarta-16956 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162.
Bandung-40243, Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan
Indah Blok A1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan
Blok A No. 09, Telp. 031-8700819. Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar
Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294, Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai,
Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan
Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3,
Telp. 0411-861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp. 0511-3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No.
2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115, Jl. P. Kemerdekaan No. 94 LK I RT 005 Kel. Tanjung Raya
Kec. Tanjung Karang Timur, Hp. 082181950029.
KATA PENGANTAR
v
ini, Ananda Rassyasyatul Ibtisama, pelihata hati dalam keluarga. Semoga
kelak ananda menjadi anak yang soleha. Amin.
Kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis Bapak Dr. Heru
Nurasa, Bapak Prof. Tachjan, Bapak Yogi Suprayogi, Ph.D; dan seluruh
informan yang penulis wawancarai demi terbitnya tulisan ini Bapak
Walikota Padang, Bapak Kepala Dinas PU, Kepala Dinas RTRW, Kepala
Dinas Sosial, Kepala BPBDPK dan jajarannya, LSM Jemari, Mercy Corps,
Tagana, KSB, dan Pihak-pihak lainnya tidak dapat penulis sebutkan satu
per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini,
baik bantuan secara langsung ataupun tidak langsung.
Demikianlah yang bisa penulis sampaikan, semoga apa yang penulis
lakukan ini dapat bermanfaat bagi khalayak ramai yang konsen terhadap
upaya penanggulangan bencana dan kebijakan yang dilakukan, jika ada
yang kurang berkenan penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya,
semoga Allah Swt., membalas kebaikan dan kemurahan hati dari
bapak/ibu/sdr/i yang telah dengan ikhlas membantu penulis selama
menyelesaikan tulisan ini. Aaminn.
Padang-Bandung, Agustus 2017
Roni Ekha Putera
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR ISTILAH xiii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Permasalahan Penelitian 11
B. Metode Penelitian 12
C. Kondisi Umum Kota Padang 21
vii
BAB 4 KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA 67
A. Penanggulangan Bencana: Antara Mitigasi dan
Pasca Bencana 67
B. Pendekatan dalam Penanggulangan Bencana 73
1. Kebijakan Penanggulangan Bencana
Berbasis Komunitas 73
2. Kebijakan Penanggulangan Bencana
Berbasis Mitigasi 77
ix
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
DAFTAR GAMBAR
xi
Gambar 5.1 Tsunami Save Zone di Beberapa Ruas Jalan
di Kota Padang 90
Gambar 5.2 Rencana TEP di Kota Padang 95
Gambar 5.3 Jalur Evakuasi Jalan Siteba ke By Pass Korong
Gadang 97
Gambar 5.4 Shelter yang Dibangun oleh BNPB 100
Gambar 5.5 Kegiatan Simulasi Bencana di Kelurahan
Padang Sarai 104
Gambar 5.6 Kegiatan Simulasi Bencana di Kelurahan Air Manis 106
Gambar 5.7 Kegiatan Simulasi Gempa Bumi di Shelter
Nurul Haq 107
Gambar 5.8 Pelatihan SAR se Kota Padang 109
Gambar 5.9 Kejadian Gempa Padang 2 Maret 2016 118
xiii
TES Tempat Evakuasi Sementara
TRTB Tata Ruang Tata Bangunan
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebencanaan beberapa tahun terakhir ini telah menjadi salah
satu kajian yang menarik untuk dibahas, karena berbagai kejadian
bencana yang tidak terduga telah membukakan mata semua pihak
betapa pentingnya penanggulangan bencana di masa yang datang. Hal
ini sejalan dengan kerangka aksi ‘Hyogo’ (Hyogo framework for action)
yang menyerukan pada seluruh negara untuk menyusun mekanisme
pengurangan risiko bencana sampai separuhnya pada tahun 2015
(Pramusinto, 2009); (Coppola, 2011); (Phibbs, Suzanne; Good,
Gretchen; Severensin, Christina; Woodbury, Esther; Williamson, Kerry,
2015); (Johnson, Victoria A.; Ronan, Kevin R.; Johnston, David M.;
Peace, Robin, 2014); (Olowu, 2010); (Gaston, Buh-Wung; Tongwa, Aka
F.; Burnley, Clementine; Isabella, Zouh T., 2012); (Amadhila, Elina;
Shaamhula, Loide; Rooy, Gert van; Siyambango, Nguza, 2013).
Bencana yang terjadi merupakan kejadian yang disebabkan oleh
aktivitas alam yang merugikan manusia, sementara masyarakat lain
percaya bahwa bencana adalah merupakan takdir yang maha kuasa
sebagai salah satu bentuk hukuman atau peringatan bagi umat manusia.
Bencana dapat dikategorikan dalam tiga jenis: bencana alam, bencana
buatan manusia dan hibrida (Shaluf, 2007). Bencana alam merupakan
kejadian bencana akibat dari bahaya alam yang mungkin merupakan hasil
dari dalam (di bawah permukaan bumi), dari luar/eksternal (topografi),
1
cuaca (meteorologi/hidrologi) dan fenomena biologi (Kusumasari,
2014a). Seperti yang diungkapkan oleh Shaluf (Shaluf, 2007) bahwa
kejadian bencana di muka bumi ini terjadi baik itu karena kehendak
Tuhan ataupun bencana hasil perbuatan manusia. Bencana hasil buatan
manusia adalah kejadian bencana yang merupakan hasil keputusan atau
perbuatan manusia seperti terjadinya reruntuhan bangunan gedung dan
runtuhnya tambang. Bencana hibrida muncul dari keterkaitan antara
hubungan antropogenik (buatan manusia) dan kejadian alam, seperti
terjadinya banjir bandang karena hasil pembalakan liar atas penebangan
hutan secara liar (Indian Institut of Disaster Management, 2007 dalam
Kusumasari, 2014a). Bertolak dari berbagai definisi bencana tersebut
maka dalam buku ini hanya membahas mengenai bencana alam yaitu
khususnya gempa bumi.
Berbagai ragam bencana alam telah terjadi dalam kurun waktu
beberapa tahun belakangan ini di Indonesia. Namun terlepas dari hal
tersebut berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) menyebutkan bahwa 85% bencana yang terjadi selama lima
tahun terakhir ini terjadi sebagai akibat dari kerusakan lingkungan hidup
dan hampir 80% penduduk Indonesia ternyata tinggal di daerah rawan
bencana. Artinya Indonesia adalah sebuah “laboratorium bencana” di
mana setiap orang belajar tentang berbagai jenis bencana dan akibat
yang mengikutinya seperti Gempa Bumi dan Tsunami (Pramusinto,
2009). Sedangkan Latief (Latief, 2007) menyebutkan bahwa wilayah
nusantara adalah “hot spot” dunia untuk sumber bencana alam,
khususnya bencana gempa bumi dan letusan gunung berapi.
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG)
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa
ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami
(Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG)
Departemen Energi Sumber Daya Mineral, 2012). Di antaranya Nangroe
Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung,
Banten, Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta bagian Selatan, Jawa
Timur bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur. Kemudian pulau Sulawesi, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak,
Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan di Kalimantan Timur.
Selain terletak tiga lempeng tektonik dunia, wilyah Indonesia juga
berada pada jalur The Pasific Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik, yaitu
Sumber: http://www.vsi.esdm.go.id/
Gambar 1.1 Peta Zonasi Gempa Besar yang Melanda Indonesia
Seperti yang terlihat pada gambar 1.1 di dalam peta zonasi gempa
Indonesia, ada wilayah yang diberi warna biru, kuning, serta merah
hingga warna gelap keunguan. Biru dan kuning menandakan kalau
wilayah tersebut memiliki tingkat respons spektra atau bahaya gempa
yang relatif sangat rendah. Sedangkan wilayah dengan warna merah
menunjukkan kalau daerah tersebut struktur batuan dasar dan tanahnya
lebih sensitif terhadap getaran. Kondisi ini dapat menimbulkan gempa
dengan daya rusak lebih besar jika terjadi pergeseran atau getaran di
perut bumi. Warna gelap keunguan menandakan tingkat kerusakan
akibat gempa yang mungkin terjadi paling tinggi.
Berbagai kejadian bencana alam yang terjadi di Indonesia yang
disebabkan oleh kondisi alam terutama gempa bumi dan tsunami. Pada
tabel 1.1 berikut ini dapat dilihat beberapa kejadian atau peristiwa
bencana alam yang terjadi di Indonesia dalam kuran waktu 10 tahun
terakhir ini.
Bab 1 | Pendahuluan 3
Tabel 1.1 Kejadian Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Indonesia
No Nama Kejadian Tanggal kejadian Tempat Korban jiwa
1 Gempa Bumi dan Tsunami 12 Desember 1992 Ende, NTT 2.100 meninggal
Ende, Gempa 7,8 SR
2 Gempa Nabire, Gempa 7,2 26 November 2004 Nabire, Papua 27 meninggal
SR 100 luka-luka
3 Bencana Tsunami di Aceh, 26 Desember 2004 NAD 126.000 meninggal
Gempa 9,3 SR 30.000 hilang
4 Gempa bumi Yogyakarta, 27 Mei 2006 DIY 6.000 meninggal
Gempa 5,9 SR
5 Gempa Tasikmalaya, 02 September 2009 Jawa Barat 33 meninggal,
Gempa 7,3 Richter 40 hilang
6 Gempa Bumi Sumatera 30 september 2009 Sumbar 6.234 meninggal
Barat, Gempa, 7,6 SR
7 Bencana Gempa Bumi dan 25 Oktober 2010 Sumbar 400 meninggal
Tsunami, Mentawai, Gempa
7,2 SR
8 Gempa Cilacap, Gempa 7,1 4 April 2011 Jawa Tengah 1 meninggal
SR
9 Gempa Bali, 6,8 SR 13 Oktober 2011 Bali 50 orang luka-luka
Sumber: diolah dari BMKG (2016)
Bab 1 | Pendahuluan 5
Singapura dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menurut
penelitian tersebut diperkirakan gempa besar berkala 200 tahunan akan
terjadi di zona ini. Sementara itu, Presiden Geohazard (sebuah lembaga
nonprofit di Amerika yang bergerak dalam bidang pengurangan risiko
bencana) Brian Tucker, mengatakan bahwa bukti yang paling kuat untuk
prediksi gempa bumi selanjutnya setelah gempa Nepal adalah mengarah
ke lepas Pantai Sumatera. Energi yang tersimpan di patahan Sumatera
bagian barat masih banyak yang belum terlepas, pelepasan energinya
setara dengan 8,8 hingga 8,9 skala richter (http://blog.act.id/risiko-
bencana-gempa-bumi-mengintai-padang/, 2015). Seperti contoh banyak
gempa besar yang terjadi di dunia sudah diramalkan oleh para ahli.
Gempa Nepal April tahun 2015 dan gempa Jepang tahun 2011 sudah
diramalkan, dan gempa Megathrust Mentawai tinggal menunggu waktu.
Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1797 dan tahun 1833 Padang
pernah terjadi gempa besar yang menyebabkan tsunami. Menurut ahli,
gempa yang menghantam Padang tahun 2007 dan tahun 2009 serta
gempa Mentawai tahun 2010 semakin memicu Megathrust Mentawai
yang besarnya diperkirakan para ahli 8-9 skala Richter. Untuk perkiraan
lokasi sumber gempa yang berpotensi terjadi di wilayah Sumatera Barat
di masa yang akan datang dapat dilihat pada gambar 1.2 berikut ini.
Bab 1 | Pendahuluan 7
4 Padang Barat 0 128 90 228 0
5 Padang Utara 0 13 2 0 0
6 Padang Selatan 0 20 2 12 0
7 Padang Timur 0 68 39 82 0
8 Nanggalo 0 17 10 28 0
9 Lubuk Begalung 3 31 24 29 0
10 Pauh 0 4 1 1 0
11 Bungus Teluk 0 6 0 7 0
Kabung
Jumlah 4 316 181 425 0
Sumber: http//www.pusdalopspbsumbar.co.id (diakses 4 Januari 2016)
Bab 1 | Pendahuluan 9
sesuatu hal yang selama ini telah ada dan kegiatan tersebut dianggap
membuang-buang waktu saja. Hambatan yang juga menjadi kendala
adalah bagaimana persepsi masyarakat mengenai risiko penanggulangan
bencana, sejauh mana masyarakat mampu dan mau untuk mencegah
bencana dan seberapa besar pengorbanan mereka dalam menghadapi
risiko bencana tersebut.
Walaupun demikian, proses mitigasi bencana tetaplah merupakan
hal yang krusial untuk dilakukan walaupun menghadapi berbagai
kendala seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Terkait dengan itu
maka kegiatan mitigasi bencana alam yang dilakukan khususnya di
Kota Padang menjadi hal yang krusial untuk dibahas dan diterapkan
mengingat Kota Padang yang berada di jalur rawan gempa bumi.
Dengan demikian, dalam kerangka mitigasi bencana maka diperlukan
upaya-upaya dalam mengurangi risiko bencana dengan melakukan
perencanaan wilayah permukiman dan infrastruktur serta penataan
ruang yang aman terhadap risiko gempa bumi yang seharusnya tidak
hanya mempertimbangkan aspek yang berkaitan dengan kepentingan
dan aktivitas manusia saja, tapi juga memahami bentang alam dan
semua proses yang membentuknya, sehingga diperlukan koordinasi dan
komunikasi antar stakeholder yang terkait di mana Badan Penanggulangan
Bencana Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBDPK) sebagai leading
sector, tanpa pemahaman dan pengetahuan yang cukup tentang hal ini,
maka akan sukar untuk mengembangkan lingkungan hidup yang aman
dari bencana alam. Selain itu juga diperlukan pendidikan, penyuluhan
dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern betapa
pentingnya penanggulangan bencana di masa akan datang.
Ketika mitigasi bencana alam sebelumnya hanya sebatas himbauan
dan anjuran pemerintah, sehingga kenyataan ini tidak pernah dilakukan
dengan serius. Namun dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2007 merupakan awal dari era baru dalam mitigasi
bencana di Indonesia. Sekarang, mitigasi bencana bukan lagi sekadar
anjuran dan himbauan, tapi sudah merupakan kewajiban untuk
dilaksanakan, mengingat satu falsafah dasar dalam mitigasi bencana
alam, yaitu laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang
pesat maka akan menjadi semakin tinggi, karena akan semakin banyak
manusia menempati wilayah-wilayah rawan bencana, yang tadinya
tidak atau sedikit dihuni atau dikembangkan. Tujuan yang sangat
B. Permasalahan Penelitian
Dengan telah menjelaskan beberapa hal dalam latar belakang
maka penulis mengemukakan beberapa permasalahan penelitian
yaitu Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Penanggulangan Bencana, telah mengamanatkan bahwa pemerintah
daerah diharapkan mampu membuat sistem peringatan dini, kesiap-
siagaan pengurangan risiko bencana dan mitigasi bencana. Pengamatan
di lapangan masih terdapat sistem peringatan dini yang belum berjalan
sesuai dengan yang diharapkan.
Program pemerintah untuk kegiatan mitigasi bencana juga belum
berjalan sebagaimana mestinya, hal ini terihat dari berbagai program
yang dilakukan oleh pemerintah kota tidak mendapatkan perhatian dan
dukungan yang serius dari masyarakat. Misalnya kegiatan pelatihan
dan simulasi bencana yang dilakukan kurang mendapat respons
yang baik dari masyarakat. Belum tersedianya Prosedur Operasional
Baku (POB) nasional maupun daerah yang dimiliki pemerintah. Hal
ini menyebabkan penanggulangan bencana tidak terarah dan tidak
terkoordinasinya antarinstansi terkait. Bila mengacu kepada kebijakan
penanggulangan bencana, maka diperlukan suatu komando khusus
Bab 1 | Pendahuluan 11
untuk bisa menggerakkan seluruh sumber daya manusia (SDM) yang
ada dan sumber-sumber daya lainnya.
Masih belum optimalnya kinerja BPBDPK dalam menjalankan
ketiga fungsinya yaitu fungsi pelaksana, komando dan koordinator.
Yang terlihat baru fungsi pelaksana saja, sedangkan fungsi yang
lainnya belum, sehingga kecenderungan pelaksanaan penanggulangan
bencana tidak bersifat komprehensif karena tidak adanya koordinasi
dan komando yang jelas. Dan masih terbatasnya sumber daya yang ada
baik sumber daya manusia maupun sumber daya anggaran, sehingga
kinerja pemerintah kota dalam pelaksanaan penanggulangan bencana
menjadi terkendala. Berdasarkan hal tersebut maka dalam tulisan ini
difokuskan kepada implementasi kebijakan mitigasi pengurangan risiko
bencana di Kota padang.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis untuk meneliti
Implementasi Kebijakan Mitigasi Penanggulangan Bencana gempa Bumi
di Kota Padang adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
deskriptif interpretatif (Denzim, Norman K.; Lincoln, Yvonna S., 2005),
pilihan terhadap metode kualitatif ini didasarkan pada rumusan dan
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini (Neuman, 2014).
Metode ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang
berbagai aspek yang memengaruhi implementasi kebijakan mitigasi
penanggulangan bencana yang ada di Kota Padang.
Metode penelitian kualitatif berguna untuk pemecahan masalah
berdasarkan fakta-fakta dan kenyataan yang ada dan memfokuskan pada
masalah aktual yang terjadi pada saat penelitian dilakukan. Capaian yang
diharapkan dengan metode ini adalah dapat menghasilkan suatu konsep
atau temuan baru dalam mengkaji implementasi kebijakan khususnya
kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi di Kota Padang.
Untuk memberi penjelasan yang rinci terhadap masalah yang
diteliti, perlu dikumpulkan data dari berbagai sumber Data primer yaitu
data yang diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview)
dengan responden dan dari hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan
terhadap fenomena-fenomena empiris yang terjadi berkaitan dengan
Bab 1 | Pendahuluan 13
Kelurahan Parupuk Tabing, Kota Padang pada tanggal 7 September 2016
dilanjutkan dengan kegiatan pertemuan dengan BPBD PK dan unsur
BMKG, KOGAMI, ORARI, PMI, dan pihak lainnya di kantor BPBDPK
Kota Padang.
Kegiatan selanjutnya adalah wawancara (interview). Untuk tahap
ini kegiatan wawancara dilakukan dengan mewawancarai pihak-pihak
yang terkait dengan kebencanaan di Kota Padang, apakah itu di SKPD
di Pemerintah Kota Padang, kelompok masyarakat, LSM yang konsen
kepada kebencanaan ataupun juga akademisi dan pakar gempa (geologi
dan geofisika). Wawancara dilakukan dengan durasi satu sampai dua
jam tergantung dengan kondisi informan dan kedalaman data yang
telah diperoleh. Wawancara dilakukan di tempat yang telah disepakati
sebelumnya, seperti di kantor atau di rumah informan, sehingga
hubungan emosional terjaga dan data yang didapatkan juga bisa menjadi
bahan dalam menambah analisis dalam penelitian ini. Selama proses
wawancara dilakukan, dapat berjalan dengan lancar walaupun ada
beberapa hal yang menjadi penghalang untuk bisa bertemu dengan
informan, salah satunya adalah jadwal dan kesibukan informan yang
menjadi alasan untuk tertunda-tundanya proses wawancara.
Sedangkan telaah dokumen dan studi kepustakaan, pada tahap ini
peneliti mengumpulkan data yang diperoleh melalui bahan yang tertulis
seperti dokumen-dokumen yang berupa aturan-aturan yang mengatur
tentang penanggulangan bencana dan ataupun literatur berupa buku,
jurnal dan makalah-makalah seminar yang membahas tentang hal itu.
Sumber dokumentasi ini bisa didapat dari lapangan, sewaktu peneliti
melakukan proses observasi dan wawancara.
Setiap peneliti kualitatif memerlukan standar untuk melihat
derajat kepercayaan atau kebenaran hasil penelitian, sehingga
data yang dikumpulkan dapat dipertanggungjawabkan. Agar dapat
memperoleh keabsahan data maka dalam penelitian ini dilakukan
langkah-langkah pemeriksaan data seperti dikemukakan oleh Lincoln
dan Guba (1985: 290-296), yaitu derajat kepercayaan (credibility),
keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability) dan kepastian
(confirmability), sebagai berikut.
2. Keteralihan (Transferability)
Keteralihan hasil penelitian berkenaan dengan pertanyaan sejauh
mana hasil penelitian ini dapat digunakan dalam situasi dan tempat
lain atau lokasi penelitian diselenggarakan. Oleh karena itu, peneliti
telah berusaha mencari dan mengumpulkan data, menganalisis,
menginterpretasi dan mendeskripsikan terkait fokus penelitian dan
kondisi realitas lokus penelitian.
Bab 1 | Pendahuluan 15
Keteralihan juga bergantung pada pemakai dalam konteks situasi
tertentu. Dalam hal ini, keteralihan hanya dipandang sebagai suatu
kemungkinan. Sehubungan dengan hal ini, peneliti telah berusaha
menganalisis, menginterpretasi dan mendeskripsikan data-data tentang
bagaimana hasil penelitian dapat dicapai. Apakah hasil penelitian dapat
diterapkan sangat tergantung pada kesamaan konteks. Berdasarkan hal
ini, maka hasil penelitian ini dapat ditransfer di daerah yang memiliki
kesamaan dengan konteks, situasi dan tempat.
3. Ketergantungan (Dependability)
Ketergantungan atau reliabilitas merupakan syarat bagi terwujudnya
validitas. Melalui data reliabel maka dapat diperoleh data yang valid.
Untuk itu, jaminan ketergantungan dan kepastian hasil penelitian
perlu dilakukan penggabungan antara kriteria ketergantungan dengan
kriteria kepastian. Untuk menjamin kepastian data seperti dikemukakan
Nasution (1996: 56) bahan-bahan yang perlu disediakan antara lain:
a. Data mentah, seperti catatan lapangan, ketika melakukan
wawancara atau observasi, hasil rekaman, dokumentasi lainnya
yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.
b. Hasil analisis data berupa; kesimpulan, proposisi, konsep, variabel
dan model rekomendasi.
c. Catatan mengenai proses yang digunakan seperti; metodologi, de-
sain penelitian, prosedur penelitian dan rasionalitas.
4. Kepastian (Confirmability)
Untuk mendapatkan kepastian hasil penelitian maka peneliti
melakukan konfirmasi dengan informan di lapangan dengan melakukan
crosscheck hasil wawancara dan telaah dokumentasi yang ada.
Sementara itu, untuk analisis data penulis merujuk apa yang
dikemukakan oleh Bogdan sebagaimana dikutip Maleong (2008:248)
memberikan pemahaman bahwa analisis data kualitatif sebagai berikut.
Bab 1 | Pendahuluan 17
a. Koleksi Data (Data Collection)
Dalam kegiatan koleksi data untuk jenis penelitian kualitatif ada
3 (tiga) macam kegiatan yang dilakukan peneliti, yaitu (1) proses
memasuki lokasi penelitian (getting in), dalam proses ini peneliti
mengurus hal-hal yang terkait dengan prosedur izin penelitian di
lapangan; (2) ketika berada di lokasi penelitian (getting along), dalam
proses ini peneliti melakukan komunikasi membangun kepercayaan
pada informan-informan yang dijadikan salah satu sumber data dalam
penelitian; (3) pengumpulan data (logging the data) (Miles, Hubermen
dan Saldana, 2014).
Adapun mekanisme kerja masing-masing dari ketiga tahapan
yang dimaksudkan oleh Miles, Hubermen dan Saldana (2014), sebagai
berikut.
1) Memasuki Wilayah Penelitian (Getting in); merupakan suasana yang
mencapai kondisi agar diterima oleh objek yang diteliti. Dalam
memperoleh izin penelitian, peneliti berupaya keras agar materi
yang diajukan untuk diteliti dapat diterima dengan baik. Peneliti
berupaya melakukan pendekatan baik secara personal maupun
prosedural, dengan meminta surat izin penelitian pada Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat dalam hal ini melalui Kantor Kesbangpol
Provinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Kota Padang melalui
Kantor Kesbangpol Pemerintah Kota Padang terhadap objek-objek
yang akan diteliti.
Sebelum mulai mengumpulkan data, sesuai anjuran dari Lofland
dan Lofland (1984: 30) bahwa supaya tercipta suasana yang
nyaman dalam wilayah penelitian (getting in) maka dianjurkan: a)
menjalin hubungan terpercaya dengan menciptakan koneksi, seperti
kawan, kenalan, kolega yang mempunyai akses terhadap subjek
penelitian dan informan-informan penting lainnya; b) memberikan
gambaran mengenai penelitian yang akan dilakukan; c) belajar
membiasakan diri di lapangan, kemudian berperan sebagai orang
yang melakukan pembelajaran; d) berperilaku sopan santun dalam
melakukan negosiasi agar mendapatkan data lapangan yang akurat
melalui; surat izin penelitian, observasi, dan interaksi dalam bentuk
wawancara dengan para informan kunci (key informan).
Bab 1 | Pendahuluan 19
b. Kondensasi Data (Data Condensation)
Dalam langkah ini peneliti melakukan penelaahan terhadap semua
data yang diperoleh berbagai sumber dan berbagai metode pengumpulan
data yang telah dijelaskan di atas. Peneliti melakukan proses kondensasi
data terhadap data yang dikumpulkan dengan cara membuat abstraksi
dan rangkuman artikulasi dan telaah pemaknaan terhadap fokus
penelitian, yaitu Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana
Gempa Bumi Berbasis Mitigasi Bencana di Kota Padang.
Dalam proses kondensasi data ini, peneliti mengabaikan data
atau informasi yang tidak sesuai dengan permasalahan, tujuan, dan
fokus penelitian. Namun hasil kondensasi data yang tidak atau belum
terpakai tidak langsung peneliti buang atau abaikan, akan tetapi peneliti
menyimpan data-data tersebut karena tidak menutup kemungkinan
untuk digunakan kembali, sehingga data-data yang tersaji adalah benar-
benar data yang berhubungan dengan domain kajian peneliti.
c. Penyajian Data (Display Data)
Dalam mekanisme penyajian data yang telah dikondensasi oleh
peneliti, maka peneliti melakukan display data dalam bentuk laporan,
penyajian data yang bersumber dari lokasi dan situs penelitian disajikan
sesuai dengan format atau panduan penulisan disertasi Pascasarjana
Universitas Padjadjaran Program Studi Administrasi Publik, sehingga
data tersebut dapat dipelajari oleh berbagai pihak. Penyajian data ini
juga diikuti oleh analisis data yakni data yang telah dikondensasi di
interpretasikan olah peneliti dan juga dihubungkan dengan fokus
penelitian sehingga tersaji laporan yang memiliki kekayaan kompilasi
informasi dan pengetahuan terkait domain judul kajian penelitian ini.
Selanjutnya data hasil dari proses kondensasi kemudian dipaparkan.
Peneliti membuat uraian secara rinci atas hasil temuan penelitian
sehingga nilai artikulasi dan pemaknaan display data dapat dipahami.
Langkah ini telah sejalan Miles, Matthew B.; Huberman, A. Michael;
Saldaña, Johnny, (2014) yang menyatakan bahwa yang paling sering
digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif dengan
teks yang bersifat naratif. Selain dalam bentuk naratif, display data dapat
juga berupa grafik, matriks, network (jejaring kerja).
Bab 1 | Pendahuluan 21
dan 22 Kelurahan berada di daerah pesisir. Adapun batas-batas wilayah
administratif Kota Padang, adalah sebagai berikut.
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Solok.
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
Secara topografi Kota Padang memiliki garis pantai sepanjang
68,126 km, sebagai kota pantai, Kota Padang terdiri atas dataran
rendah yang terletak pada ketinggian 0–10 m di atas permukaan laut.
Secara keseluruhan, Kota Padang terletak pada ketinggian yang berkisar
antara 0-1.853 m di atas permukaan laut. Sedangkan kondisi hidrologi
Kota Padang terdiri dari: Daerah Aliran Sungai (DAS), sungai, danau
dan rawa dan debit air. Wilayah Kota Padang terbagi dalam 6 (enam)
Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu: DAS Air Dingin, DAS Air Timbalun,
DAS Batang Arau, DAS Batang Kandis, DAS Batang Kuranji dan DAS
Sungai Pisang. Pembagian DAS ini dikarenakan wilayah Kota Padang
dilalui oleh banyak sungai besar dan kecil. Terdapat 21 aliran sungai
yang mengalir di wilayah Kota Padang dengan total panjang mencapai
133,9 Km (5 sungai besar dan 16 sungai kecil).
Suhu udara Kota Padang sepanjang tahun 2013 berkisar antara
22,0ºC sampai 31,7ºC dan kelembaban udara rata-rata berkisar antara
80%–85% dengan curah hujan rata-rata 347,5 mm/bulan dan rata-
rata hari hujan 19 hari. Secara kondisi geologi Wilayah Kota Padang
terbentuk oleh endapan permukaan, batuan vulkanik dan intrusi
serta batuan sedimen dan metamorf. Sementara itu, berdasarkan data
demografi Pada tahun 2014, penduduk Kota Padang mencapai 889.646
jiwa, naik sejumlah 12.968 jiwa dari tahun sebelumnya. Dengan
demikian, kepadatannya pun bertambah dari 1.261 jiwa/km2 menjadi
1.280 jiwa/km2.
Untuk daerah yang rawan bencana Kota Padang memiliki berbagai
bentuk rawan bencana alam, seperti: gempa bumi (hal ini disebabkan
oleh kondisi fisik wilayahnya yang berada pada pesisir pantai yang
memiliki zona tumbukan aktif Lempeng Indo-Australia dan Lempeng
Eurasia, dekat dengan zona patahan Mentawai dan sesar Semangko.
Bab 1 | Pendahuluan 23
Sumber: BPBDPK Kota Padang, Tahun 2016
Gambar 1.4 Peta Kerentanan Kota Padang terhadap Gempa Bumi dan Tsunami
Pada gambar 1.4 terlihat peta yang diwarnai dengan warna merah
merupakan daerah yang rawan dan rentan terhadap bahaya gempa
bumi dan tsunami. Daerah ini berada di kawasan pantai Kota Padang,
sementara itu daerah yang diberi warna coklat muda merupakan daerah
yang relatif lebih aman terhadap ancaman gempa disertai dengan
Bab 1 | Pendahuluan 25
(pemecah gelombang oleh karena konstruksi ini berfungsi menghadang
aliran litoral (litoral drift), kondisi semacam ini akan memicu proses
abrasi yang terjadi di wilayah tersebut.
Bencana yang terjadi dikarenakan Kota Padang dilalui oleh beberapa
sungai besar seperti Batang Bungus, Batang Arau, Batang Kuranji dan
Batang Air Dingin serta masih ada lagi 18 sungai kecil lainnya yang
mempunyai aliran permanen sepanjang tahun. Oleh karena, Kota Padang
merupakan daerah tropis mempunyai curah hujan yang cukup tinggi
dengan rata-rata curah hujan 348 mm per bulan dan rata-rata hari hujan
19 hari per bulan, sehingga terjadi luapan sungai dan banjir bandang.
TINJAUAN TEORETIS
PENANGGULANGAN
DAN MITIGASI BENCANA
27
2. Dari bencana alam menjadi bencana umum: karakteristik suatu
daerah bisa membuatnya rentan terhadap bencana alam. Tetapi juga
patut ditilik bahwa bahaya dan kejadian bencana yang tidak semata-
mata disebabkan oleh alam juga sering terjadi dan menimbulkan
dampak yang luar biasa. Oleh karenanya diperlukan perluasan
cakupan bahasan menjadi definisi bencana yang lebih umum
ketimbang sekadar bencana alam.
3. Dari tindakan kemurahan menjadi pemenuhan hak dasar rakyat.
Perlindungan rakyat dari dampak bencana bukan lagi sekadar
tindakan kemurahan hati pemerintah terhadap rakyatnya,
melainkan sebagai tanggung jawab konstitusi negara untuk
memenuhi hak dasar rakyat.
4. Dari tanggung jawab pemerintah menjadi tanggung jawab bersama:
penanggulangan bencana adalah sedemikian kompleksnya sehingga
tidak dapat dibebankan semata-mata kepada pemerintah melainkan
menjadi urusan bersama. Bagaimana pada akhirnya pemerintah
memegang tanggung jawab terakhir pelaksanaannya.
Makna penanggulangan bencana (PB) telah mengalami evolusi
seiring waktu. Dalam bahasanya Capra, kata (dan paduan kata-
kata) adalah titik berangkat menuju konsep. Dalam kategorisasi
yang mutakhir, istilah “penanggulangan bencana” sering diartikan
sebagai paradigma lama yang merespons bencana secara reaktif. Erat
keterkaitannya dengan terminologi yang sepadan yakni pengelolaan
kedaruratan. Meskipun kalangan awam (dan tentunya sebagian literatur
bencana yang lama) kerap menyamakannya dengan pengurangan
risiko bencana (PRB) ataupun disaster risk management (DRM), namun
penyamaan ini merupakan sebuah penyederhanaan yang tidak tepat
serta tidak menghargai perkembangan konseptual tentang bencana itu
sendiri (Lassa, Jonatan; Pujiono, Puji, 2009).
Pengurangan risiko bencana (PRB) merupakan istilah yang
telah populer dalam studi-studi bencana di Amerika Serikat pasca
1970-an (seperti Pusat Studi Bencana Universitas Delaware).
Namun perkembangannya baru mulai kelihatan secara global, sejak
dikumandangkannya dekade internasional pengurangan bencana
(UNDDR), sehingga istilah PRB lebih kuat memberikan pesan pada
aspek antisipatif, preventif, dan mitigatif, yakni praktik pengurangan
B. Mitigasi Bencana
Konsep mitigasi bencana merupakan bagian dari manajemen
bencana yaitu suatu usaha untuk mengubah paradigma penanggulangan
bencana yang sebelumnya lebih banyak menekankan diri pada tindakan
pasca terjadinya bencana. Usaha untuk menyebarkan paradigma ini
mulai banyak dilakukan sejak awal tahun 1900-an. Berbagai kegiatan dan
penelitian menyangkut hal tersebut banyak dilakukan oleh PBB maupun
negara-negara lain. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana menjelaskan pada Pasal 1 poin 9 bahwa yang
dimaksud dengan mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi
risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran
dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Sementara
itu Clements (2009) mendefinisikan mitigasi sebagai tindakan-tindakan
yang dilakukan untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana.
Desfandi (2014) menyatakan bahwa mitigasi bencana merupakan
suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak
bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi korban
ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta. Dalam
melakukan tindakan mitigasi bencana, langkah awal yang kita harus
lakukan ialah melakukan kajian risiko bencana terhadap daerah
Sumber: Respati Wikantiyoso. Dalam jurnal. Mitigasi Bencana di Perkotaan; Adaptasi atau Antisipasi
Perencanaan dan Perancangan Kota? (Potensi Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota
untuk Upaya Mitigasi Bencana. Volume: II, Nomor: 1. Halaman: 18-29, Januari 2010.
PERPESKTIF
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
43
telah direncanakan dengan implementasi di lapangan. Implementasi
kebijakan merupakan proses yang krusial dalam kebijakan publik
karena bukan hanya berkaitan dengan hal-hal mekanisme penjabaran
keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat
jalur birokrasi, melainkan juga menyangkut masalah konflik, keputusan
dan siapa yang memperoleh kebijaksanaan (Grindle dalam (Wahab,
1997), bahkan Udoji dalam (Agustino, 2008) mengatakan bahwa:
Selain itu, Ripley dan Franklin (1986; 11) menuliskan bahwa dalam
implementasi terdapat keterlibatan multiaktor. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa proses implementasi melibatkan banyak aktor penting yang
memiliki tujuan dan harapan yang saling terkait satu dengan yang
lain dan bekerja dalam konteks kebersamaan dan keterpaduan dalam
menjalankan program-program pemerintah yang semakin besar dan
kompleks, sehingga memerlukan partisipasi dari berbagai lapisan dan
unit pemerintahan serta faktor-faktor yang terkena dampak di luar
kendali mereka. Dengan demikian, istilah implementasi menunjukkan
pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang
tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat
pemerintah. Implementasi adalah kegiatan untuk mendistribusikan
keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para
implementer kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya
mewujudkan tujuan kebijakan; (Purwanto, Erwan Agus; Sulistyastuti,
Dyah Ratih, 2012).
Jika merujuk pendapat Winarno (2002: 125–126) implementasi
kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan
kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat
yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat
mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka
kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan
Ahli lain dalam studi implementasi kebijakan adalah Van Meter dan
Van Horn (1975) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan dilihat
sebagai sebuah proses yang mana dalam proses tersebut dipengaruhi
oleh enam variabel yaitu pertama, ukuran dan tujuan kebijakan. Ukuran
dan tujuan kebijakan harus dapat dilihat secara spesifik sehingga
di akhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari
kebijakan atau program yang dijalankan. Kedua, Sumber daya, menunjuk
kepada seberapa besar dukungan finansial dan sumber daya manusia
untuk melaksanakan program atau kebijakan untuk menghasilkan
implementasi kebijakan dengan kinerja baik dan dapat menjelaskan
nilai yang efisien. Ketiga, komunikasi antarorganisasi pelaksana, yaitu
komunikasi ini harus ditetapkan sebagai acuan bagi organisasi dalam
menjalankan program. Dari berbagai program, implementor suatu
program memerlukan koordinasi dan komunikasi dengan lembaga
lain, sehingga diperlukan adanya kerja sama dan koordinasi antara
lembaga yang ada bagi tercapainya keberhasilan suatu program. Keempat,
karakteristik agen pelaksana yaitu seberapa besar daya dukung organisasi
mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan
yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan memengaruhi
implementasi suatu program. Kelima, lingkungan sosial, ekonomi
dan politik. Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan
yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, dengan
arti sejauh mana lingkungan kebijakan memengaruhi implementasi
Jika merujuk pada teori yang diajukan oleh Gerston, maka dapat
dilihat Pada gambar model di atas, pada variabel ketiga, komunikasi
antarorganisasi pelaksana dapat dimasukkan dalam variabel “translation
ability” dalam model Gerston. Ini dikarenakan dari penjelasan yang telah
ada menunjukkan bahwa diperlukan adanya koordinasi dan komunikasi
yang jelas sehingga tidak menimbulkan multiinterpretasi maupun
konflik. Sedangkan pada variabel kedua, yaitu sumber daya, mirip
dengan variabel “sumber daya” pada model Gerston, yang terdiri dari
Sumber daya Manusia dan Non-Sumber Daya Manusia. Untuk variabel
keempat yaitu karakteristik agen pelaksana serta variabel keenam, yaitu
disposisi implementor, dapat dimasukkan pada variabel “limited number
of player” dalam model Gerston. Alasannya adalah pada variabel keempat
mengulas tentang ‘aturan-aturan’ dan ‘bentuk-bentuk keterhubungan’
yang terjadi antara implementor. Sehingga dapat menjadi acuan bagi
perilaku atau sikap yang terdapat pada implementor dalam menyikapi
Grindle (1980, 1981) Content of policy (interests affected, types of benefits, extent
of change envisioned, site of decision making, program
implementors, resources) and context of implementation
(power, interests, strategies of actors involved, institution and
regimecharacteristics, compliance and responsiveness).
Scheirer (1981) Decision and control processes, resources, relations with
environment, supervisory expectations, routines, technical
requirements, communication flow, work group norms,
behavioral skills, incentives, cognitive supports.
Ackermann and Resources, interorganizational structure.
Steinmann (1982)
Ripley and Franklin (1982) Type of policy.
Hambleton (1983) Policy message; multiplicity of agents, perspectives, and
ideologies; resources; politics of planning.
Browne and Formal policy (clarity of objectives and priorities, validity of
Wildavsky (1984) theory of causality, sufficiency of financial resources, sufficiency
of power); learning/adaptation
Ross (1984) Implementation strategy, tractability of policy problem, content
of policy, structure of broader sociopolitical and policy systems,
number of actors, extent of power diffusion, personal and
institutional dispositions of actors, clarity, adequacy of resources,
support of leaders, institutional routines.
Alexander (1985) Stimulus, policy, program, implementation; contextual,
organizational, environmental, perceptual variables.
Larry N. Gerston (1992, 2008) Translation ability, resources, limited numbers of player,
accountability.
Sumber: Laurence J O’Toole, (1986), diolah dari sumber lain
KEBIJAKAN
PENANGGULANGAN BENCANA
67
perawatan dan renovasi struktur dan infrastruktur fisik yang rusak) dan
mitigasi nonstruktural yang berorientasi kepada pengaturan-pengaturan
mengenai tata guna lahan dan menjaga tingkat kepadatan penduduk
pada suatu lokasi. Kedua, Disaster Preparedness, yakni membangun
kesiapan warga terhadap risiko bencana. Dalam kegiatan ini, beragam
aksi dilakukan dalam penyiapan komunitas menghadapi bencana, seperti
penyusunan rencana evakuasi darurat, pelatihan warga yang tinggal
di lokasi rawan bencana, sosialisasi tentang risiko dan gejala-gejala
bencana, penyiapan perangkat penyelamatan darurat yang mencakup
material dan finansial. Ketiga, Emergency Response yang didalamnya
termasuk aktivitas yang berhubungan dengan isu diseminasi prediksi
bencana dan peringatan, evakuasi dan bentuk-bentuk perlindungan
lainnya, mobilisasi dan organisasi darurat, relawan dan sumber daya
material, pencarian dan penyelamatan (CDRSS, 2006: 19–20) dalam
(Agus Indiyanto, 2002: 28).
Masyarakat memandang bencana sebagai suatu yang datangnya
dari luar dan sesuatu yang tidak dapat diprediksi dan diduga, maka
hendaknya perlu mempersiapkan diri dalam rangka mengantisipasi
kemungkinan terburuk yang akan terjadi akibat bencana tersebut.
Bencana diyakini sebagai bentuk peringatan, cobaan dan teguran kepada
manusia sehingga manusia tidak bisa menghindari atau mempersiapkan
diri dalam menghadapinya. Bencana yang terjadi itu ada kehendak tuhan
dan tidak bisa dihindari, karena kalau tuhan sudah berkehendak maka
apa pun bisa terjadi (Lindell, et. al., 2006).
Dengan pandangan seperti ini maka manusia merupakan korban
dan perlu mendapat bantuan dari pihak luar sehingga dengan demikian
fokus penanganan bencana pada masa ini terdapat pada pemenuhan
bantuan dan kedaruratan. Dengan demikian, pada dasarnya tindakan
yang dilakukan adalah berusaha untuk menyelamatkan korban yang
masih bisa diselamatkan dan memberikan bantuan darurat berupa
pangan, kesehatan dan memulihkan mental mereka sehingga dengan
begitu penekanan pada masa ini terdapat kepada pokok persoalan
kedaruratan atau pada saat bencana dan pasca bencana dan bukan pada
tahap mitigasi penanggulangan bencana.
Paradigma yang berkembang adalah di mana untuk tahap pra
bencana atau juga disebut mitigasi bencana kurang mendapat perhatian
85
Dengan demikian, berdasarkan aturan yang ada tersebut maka
implementasi kebijakan penanggulangan bencana berbasis mitigasi
bencana menjadi krusial untuk diterapkan guna mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika bencana
datang melanda.
Adapun kebijakan penanggulangan bencana di Kota Padang
didasarkan kepada Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Penanggulangan Bencana. Dalam mengimplementasikan peraturan ini
yang menjadi leading sectornya adalah Badan Penanggulangan Bencana
Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBDPK) Kota Padang. Berbagai
program dan kegiatan telah dilakukan oleh BPBDPK terkait dengan
implementasi kebijakan penanggulangan bencana yang terkait dengan
kegiatan mitigasi bencana.
Kegiatan mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana
bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Mitigasi
bencana dilakukan dengan pelaksanaan penataan ruang, pengaturan
pembangunan, pembangunan infrastruktur dan penyelenggaraan
pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional
maupun modern. Untuk itu Kota Padang sebagai daerah yang rawan
terhadap bencana gempa bumi maka Pemerintah Kota Padang telah
melakukan beberapa kebijakan mitigasi bencana yang diamanatkan
dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Penanggulangan
Bencana, yakni berupa kegiatan yang dapat diuraikan sebagai berikut.
113
114
2 Mentawai Tahun 2013- Sebagai salah satu upaya peningkatan kapasitas Kegiatan MM DiRex 2014, kawasan prioritas adalah
Megathrust Disaster 2014 dan kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan sepanjang Pantai Barat Pulau Sumatera. Kegiatan
Relief Exercise 2013 – bencana adalah melalui latihan dan pelatihan, Untuk rangkaian pelatihan kesiapsiagaan dari MM DiRex 2014
2014 (MM Direx) mengurangi risiko ancaman Gempa Bumi dan Tsunami baik di tingkat lokal, nasional bahkan regional merupakan
di Provinsi Sumatera Barat, BNPB tahun 2014 telah cara untuk memperkuat ketangguhan dalam menghadapi
memfasilitasi penyelenggaraan Geladi Penanggulangan bencana, yang di antaranya meliputi: Geladi Ruang/Table
Bencana MM DiREX. Top Exrcise (TTX), Geladi Posko/Command Post Exercise
(CPX), Geladi Lapangan/Field Training Exercise (FTX),
Evakuasi Mandiri/Independent Evacuation (IM), Kegiatan
Sosial Kemasyarakatan/Humanitarian Civic Action (HCA) .
3 Pasific Pathernsip 22 - 31 Agustus Melakukan pelatihan penanganan korban bencana Meningkatkan interoperabilitas kesehatan militer,
2016 2016 dengan melibatkan pihak asing (internasional), Pengobatan dan pembangunan fasilitas kesehatan,
sehinggga diperlukan koordinasi yang terpadu antara Memperkuat dan mempererat hubungan antara negara
semua pihak dalam penanganan bencana. peserta, dan forum pertukaran pengetahuan dan
pengalaman bidang kesehatan militer, terutama dalam
merespons ancaman nontradisional di masa depan.
4 Indian-Ocean Tsunami 7 September Memberikan pengetahuan kepada pemerintah daerah Memberikan rekomendasi mengenai kebijakan yang
Early Warning and 2016 mengenai sistem peringatan dini gempa dan tsunami. komprehensif pada tahap kesiapsiagaan dan tanggap
Mitigation System darurat bagian hilir dalam peningkatan sistem peringatan
atau disingkat IO- dini tsunami di Kota Padang Provinsi Sumatra Barat.
1. Translation Ability
Translation Ability (Gerston, 2008) merupakan kemampuan
aktor penentu kebijakan menerjemahkan dan memahami kebijakan
penanggulangan bencana dan merefleksikan serta menjabarkannya
dalam bentuk implementasi. Jika merujuk pendapatnya Edward III,
faktor Translation Ability mirip dengan faktor Komunikasi (transmisi)
yaitu merupakan faktor yang memberikan pemahaman kepada
pelaksana kebijakan terhadap kebijakan yang ada. Dengan arti kata,
transmisi ini merupakan pemahaman pejabat terhadap kebijakan yang
telah dibuat dan perintah pelaksanaannya telah dikeluarkan. Oleh
karena itu, Translation Ability merupakan salah satu “faktor kunci”
dalam implementasi kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi
berbasis mitigasi bencana. Pemahaman terhadap peraturan daerah
yang melandasi kebijakan penanggulangan bencana menjadi acuannya.
Translation Ability merupakan salah satu faktor yang dapat
mendukung efektivitas implementasi suatu kebijakan publik.
Intelektual pelaksana yang dipresentasikan dengan jenjang pendidikan
merupakan salah satu variabel yang mempunyai pengaruh terhadap
Translation Ability. Hasil penelitian di lapangan mencerminkan fenomena
2. Resources
Adapun pada penelitian ini aspek sumber daya yang dimaksud
adalah berupa staff/sumber daya manusia (personnel), sarana/prasarana
(equipment), dana/biaya (funding) dan tugas birokrasi (enforcement
assignment bureucracies). Pada subbab berikut ini dapat dijelakan hal-hal
sebagai berikut.
a. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu unsur penting dalam
implementasi kebijakan penanggulangan bencana di Kota Padang.
Kemampuan sumber daya manusia menentukan keefektivan daripada
implementasi kebijakan. Persoalan sumber daya, merujuk pendapat
Edwards III (1980: 11) bahwa hal yang diperlukan agar implementasi
berjalan efektif adalah:
Important resources include staff of the proper size and with the necessary
expertise; relevant and adequate information on how to implement policies
and on the compliance of others involved in implementation; the authority
to ensure that policies are carried out as they are intended; and facilities
(including buildings, equipment, land, and supplies) in which or with which
to provide services.
Jika dilihat pada tabel 5.4 anggaran belanja Kota Padang meningkat
setiap tahunnya, hal ini tentu saja diharapkan akan membawa dampak
yang baik juga bagi peningkatan anggaran kebencanaan. Sementara
dana kebencanaan yang dianggarkan oleh Pemerintah Kota Padang dari
tahun ke tahun juga terjadi peningkatan, di mana tahun 2015 anggaran
kebencanaan ada sebesar 1 miliar sedangkan untuk tahun 2016 ini ada
sekitar 2 miliar.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa telah terjadi
peningkatan anggaran kebencanaan, namun dana yang dianggarkan
tersebut mencakup untuk semua jenis bencana yang terjadi di Kota
Padang, apakah itu banjir, gempa bumi, kebakaran, tanah longsor,
angin badai dan banjir rob. Dana yang berjumlah 2 Miliar tersebut
dirasakan masih kurang untuk pendanaan kebencanaan di Kota Padang,
apalagi intensitas bencana yang terjadi di Padang dari waktu ke waktu
semakin tinggi. Tingginya intensitas bencana yang terjadi di Kota Padang
menyebabkan ketersediaan dana kebencanaan menjadi berkurang maka
131
132
5 Dana y a n g Masyarakat Dana yang dihimpun dari Penggunaan dana ini Dapat berupa dana
bersumber dari masyarakat atas swadaya yang rendah akuntabilitasnya, sumbangan dari pihak
Masyarakat dilakukan oleh masyarakat dan karena ada kesulitan untuk swasta, kalau di Kota
dicatat sebagai penerimaan mempertanggungjawabkan. Padang misalnya mendapat
negara pada APBD. bantuan dari PT Semen
Padang, PT Telkom dan PT
Pertamina berupa dana CSR
perusahaan
6 Dana Dukungan K o m u n i t a s Dana yang diterima dari Keberadaan dana dari pihak luar Dengan aturan yang ada
K o m u n i t a s Internasional komunitas internasional ini negeri ini kemungkinan sulit untuk tidak mudah untuk bisa
Internasional masuk ke kas negara sebagai yang dicairkan oleh daerah, karena harus mendapatkan dana dari
C. Tugas Birokrasi/Tupoksi
Jika selama ini lembaga seperti Satuan Pelaksana Penanggulangan
Bencana (Satlak PB) baru berfungsi sesudah bencana, maka
berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 Pasal 12 ayat 2b mengenai Badan
Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) menyatakan bahwa salah
satu tugasnya adalah memberikan pedoman dan pengarahan terhadap
usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana,
penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara
adil dan setara. Sementara itu untuk tingkat pemerintah daerah,
Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
terdapat pada Pasal 18 yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
2. Accountability
Akuntabilitas merupakan salah satu faktor yang penting dalam
memengaruhi keberhasilan dari proses implementasi kebijakan, dengan
akuntabilitas yang baik dan terarah tentu saja akan memberikan
pelaksanaan kebijakan yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Dengan demikian, akuntabilitas dalam hal penyelenggaraan
penanggulangan bencana menjadi suatu hal yang krusial mengingat
setiap kegiatan atau program pemerintah yang memakai anggaran rakyat
harus dipertanggungjawabkan. Begitu juga dengan kegiatan mitigasi
penanggulangan bencana.
Accountability dimaknai sebagai kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja
dan indikator seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu
organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk
minta keterangan atau pertanggungjawaban (LAN, 1999 dalam
PENUTUP DAN
REKOMENDASI
157
risiko bencana alam. Di sisi lain, aspek akuntabilitas terdapatnya
temuan bahwa akuntabilitas yang ada dari lembaga terkait baru sebatas
akuntabilitas administratif yang dilakukan kepada atasan dan minimnya
akuntabilitas kepada masyarakat.
Berdasarkan pada temuan-temuan dan kesimpulan yang diperoleh
melalui penelitian ini, maka peneliti merekomendasikan beberapa saran
akademis dan praktis berikut ini.
A. Saran Akademis
1. Kajian lebih lanjut diperlukan mengenai implementasi kebijakan
terutama yang berkaitan dengan penanggulangan bencana gempa
bumi berbasis mitigasi bencana. Mengingat kajian tentang
kebencanaan terutama bencana alam masih belum banyak dikaji
dalam konteks administrasi publik. Sehingga nantinya didapatkan
faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap implementasi
kebijakan selain yang dikemukakan sebelumnya.
2. Pengembangan Teori Implementasi Gerston dimungkinkan untuk
mengkaji implementasi kebijakan penanggulangan bencana alam
selain gempa bumi.
3. Penelitian tentang Implementasi Kebijakan dari segi Akuntabilitas
perlu untuk dikaji lebih lanjut mengingat dalam kajian ini
pembahasannya cukup terbatas.
B. Saran Praktis
1. Perlu adanya peningkatan kapasitas masyarakat, personel dan
lembaga terkait dengan penyelenggara penanggulangan bencana
di daerah, mengingat intensitas bencana yang yang terjadi di Kota
Padang.
2. BPBD -PK sebagai leading sector dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana di daerah diharapkan dapat menjalankan
fungsinya sebagai komando, koordinator dan bukan hanya sebagai
fungsi pelaksana saja.
3. Sosialisasi mengenai pengurangan risiko bencana kepada
masyarakat perlu ditingkatkan dan diperbaiki, baik dari segi materi
161
Zimbabwe and its implications for policy and practice. Jàmbá: Journal
of Disaster Risk Studies, 5(2).
Brandsma, G. J., & Schillemans, T. (2012). The Accountability Cube:
Measuring Accountability. Journal Public Administration Research and
Theory, 23, 953-975.
Cavallo, Antonella; Ireland, Vernon. (2014). Preparing for complex
interdependent risks :A System of approach to building disaster
resilience. International Journal of Disaster Risk Reduction, 9, 181-193.
Chang, Yan; Wilkinson, Suzanne; Potangaroa, Regan; Seville, Erica.
(2012). “Resourcing for post–disaster reconstruction: a comparative
study of Indonesia and China”. Disaster Prevention and Management:
An International Journal, 21(1), 7-21.
Charter, W. N. (2008). Disaster Management : A Disaster Manager’s
Handbook. Mandaluyong City, Manila: Asian Development Bank.
Chmutina, Ksenia; Bosher, Lee. (2015). Disaster Risk Reduction or
Disaster Risk Production: The Role of Building Regulations in
Mainstreaming DRR. International Journal of Disaster Risk Reduction,
13, 10-19.
Clements, B.W. (2009). Disaster and Public Health, Planning and Response.
Amsterdam: Elsevier.
Coburn, A.W.; dkk. (1994). Mitigasi Bencana (Vol. edisi 2). UNDP.
Coetzee, Christo; Niekerk, Dewald Van. (2012). Tracking the evolution
of the disaster management cycle: A general system theory
approach. Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 4(1).
Cooper, P. J. (1995). Public Administration for Twenty-first Century. Orlando
Florida: Harcourt Brace.
Cooper, Tracy. (2015). Empirical Research on Inter-organizational
Relations within a National Disaster Management Network in the
Caribbean. Public Organization Review, 15(1), 1-16.
Coppola, D. P. (2011). Introduction to International Disaster Management .
Burlington, MA: Elsevier.
Committee on Disaster Research in the Social Sciences (CDRSS).
(2006). Future Challenges and Opportunities Division on Earth and Life
Website/internet
http://blog.act.id/risiko-bencana-gempa-bumi-mengintai-padang/.
(2015, Juni). Retrieved januari 2016, from Risiko Bencana Gempa
Bumi Mengintai Padang.
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG)
Departemen Energi Sumber Daya Mineral. (2012, April). http://
www.vsi.esdm.go.id. Retrieved april 2015.
http://www.harianhaluan.com/index.php/laporan-utama/17777-
sumbar-tak-punya-grand-designs-mitigasi-kebencanaan. Retrieved
Januari 2016.
http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Social-Welfare/Disaster/
Manajemen%20dan%20mitigasi.pdf,
http://bpbd.jakarta.go.id/news/detail/1031, Mitigasi Bencana, 31 Mar
2016.
http://www.adpc.net/v2007/IKM/ONLINE%20DOCUMENTS/
downloads/ADUMP/CBDM.pdf (Community Based Approaches
To Disaster Mitigation, Lorna P. Victoria, Director, Center for
Disaster Preparedness, Regional Workshop on Best Practices in Disaster
Mitigation).
w w w. a d p c . n e t / v 2 0 0 7 / Pr o g r a m s / C B D R M / . . . / 2 0 0 8 / f i n a l _
crindonesia_23nov.pdf, Monitoring and Reporting Progress on
Community-Based Disaster Risk Reduction in Indonesia, April 2008,
Partnerships for Disaster Reduction-South East Asia, Phase 4).
http://www.adpc.net/v2007/IKM/ONLINE%20DOCUMENTS/
downloads/ADUMP/CBDM.pdf (Community Based Approaches
To Disaster Mitigation, Lorna P. Victoria, Director, Center for
Disaster Preparedness, Regional Workshop on Best Practices in Disaster
Mitigation).
http://ssiteresources.worldbank.orgPUBLICSECTORANDGOVERNA
NCEResourcesAccountabilityGovernance.pdf.
175
119, 121, 122, 124, 125, 127, 34, 35, 67, 69, 70, 73, 76, 79,
129, 131-142, 144, 146, 149, 80, 83, 86, 94, 101, 161-163,
152-154, 157, 158 165, 166, 168, 172-174
Disaster, xiii, 2, 29-31, 33, 34, 67, 68,
71, 73, 74, 76, 114, 161-173 J
Disaster Risk Management, 161, 172 jalur evakuasi, 8, 88, 89, 96-98, 104-
E 145, 152
Jemari Sakato, 108, 140, 147-151
Earthquake Early Warning System,
126 K
edukasi, 90, 102, 108, 110, 143, 144, kebijakan publik, 27, 41, 44-46, 48,
148-150 51, 52, 54, 56, 58-60, 115, 125
evakuasi, 8, 37, 40, 42, 68, 82, 88, Kerangka Aksi Beijing, 31
89, 95,-98, 100, 102-107, 110, Kerangka Aksi Hyogo, 31, 32, 78
126, 133, 143, 145, 147, 149, Kerangka Kerja Sendai, 32
152 Kogami, 88, 102, 107, 108, 111, 119,
existing, 123 140, 147-151
F komando, 11, 12, 79, 116, 135, 136,
138, 140-142, 153, 157, 158
fungsi, 12, 36, 47, 56, 70, 116, 135, Komisi, 117, 148
136-138, 140-143, 145, 146, koordinasi, 10, 12, 34, 38, 47, 49,
151, 152, 154, 157, 158 50, 58, 71, 88, 92, 94, 98, 107,
112, 114, 117, 129, 135-138,
G 141, 142, 145, 148, 152, 157
gempa bumi, 2, 3, 5-13, 21-25, 40, korban, 7, 8, 27, 35, 37, 68-72, 78,
51, 67, 69, 71, 75, 83, 86-89, 80, 82, 83, 87, 92, 93, 102,
91-96, 98, 101, 102, 105, 106, 110, 113, 114, 145
110, 112, 113, 115-117, 121- KSB, vi, xiii, 100, 102, 106-112, 133,
123, 125-128, 135, 139, 143, 142, 147, 148, 150
144, 149, 150, 152, 155, 158, L
159
leading sector, 10, 119, 122, 135, 138,
H 140, 141, 157, 158
hearing, 149 lempeng Eurasia, 7
horizontal, 95, 105, 141, 154 Lempeng Indo-Australia, 22
letusan gunung berapi, 2, 40
I
M
Implementasi Kebijakan, iv, v, vii,
viii, ix, xi, 12, 13, 20, 21, 43, Megathrust, 6, 114
50, 53, 57, 60, 64, 65, 85, 115, mitigasi bencana, 8-11, 13, 37-40,
158, 168, 171 42, 51, 67, 68, 70-72, 77, 78,
Indonesia, ix, xi, 2-6, 10, 13, 23, 29, 80-83, 85, 86-89, 91, 95, 96,
Indeks 177
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BIODATA PENULIS
179
jurnal terakreditasi maupun di jurnal internasional. Buku yang telah
diterbitkan oleh penulis antara lain Transisi Demokrasi Lokal Nagari Pasca
Otonomi Daerah di Sumatera Barat (2010) bersama Tengku Rika Valentina,
dan Model Manajemen Kinerja Pegawai: Sebuah Pembelajaran dari Provinsi
Jawa Barat (2015) bersama Yogi Suprayogi Sugandi, dkk. Penulis dapat
dihubungi melalui roniekhaputera@soc.unand.ac.id