Anda di halaman 1dari 195

RAJAWALI PERS

Divisi Buku Perguruan Tinggi


PT RajaGrafindo Persada
DEPOK
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT)
Roni Ekha Putera
Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi dari
Perspektif Implementasi Kebijakan /Roni Ekha Putera
—Ed. 1, Cet. 1.—Depok: Rajawali Pers, 2018.
xiv, 180 hlm., 23 cm.
Bibliografi: hlm. 161
ISBN 978-602-425-676-0

1. Mitigasi Pengurangan. I. Judul



Hak cipta 2018, pada penulis


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
2018. 2122RAJ
RONI EKHA PUTERA
MITIGASI PENGURANGAN RISIKO BENCANA GEMPA BUMI DARI
PERSPEKTIF IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Cetakan ke-1, November 2018
Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok
Desain cover oleh octiviena@gmail.com
Dicetak di Rajawali Printing

PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Anggota IKAPI
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16956
Tel/Fax : (021) 84311162 – (021) 84311163
E-mail : rajapers@rajagrafindo.co.id http: // www.rajagrafindo.co.id
Perwakilan:
Jakarta-16956 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162.
Bandung-40243, Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan
Indah Blok A1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan
Blok A No. 09, Telp. 031-8700819. Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar
Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294, Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai,
Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan
Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3,
Telp. 0411-861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp. 0511-3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No.
2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115, Jl. P. Kemerdekaan No. 94 LK I RT 005 Kel. Tanjung Raya
Kec. Tanjung Karang Timur, Hp. 082181950029.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah Swt., atas segala


rahmat dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga
Penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini yang berjudul Mitigasi
Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi dari Perspektif Implementasi
Kebijakan. Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman penelitian dari
Hibah Disertasi Doktor yang di danai oleh Ristek Dikti Tahun 2017.
Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Kemristek Dikti
yang telah memberikan bantuan berupa dana penelitian dari SKIM PDD
tersebut. Penulis juga persembahkan tulisan ini kepada kedua orang
tua tercinta. Ayahanda H. Musfar A. Malin Janiah dan Mamanda Hj.
Ermidawati, S.Pd., yang selalu mendoakan penulis tanpa hentinya demi
kelancaran penulisan ini. Terima kasih teruntuk ayah dan mama tercinta.
Tanpa doa dari beliau niscaya studi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Mama mertua, Netty Herawati yang juga memberikan dukungan baik
moral maupun doa yang selalu beliau panjatkan kehadiran Allah demi
lancarnya studi penulis. Kepada adinda dr. Rikho Ade Putera, SP.Jp.,
dan Merry Elvira Musfar, S.S, yang telah memberikan semangat dan
motivasi untuk studi abangnya, supaya segara meraih gelar Doktor.
Kepada yang saya cintai dan sayangi, istriku adinda Tengku Rika
Valentina, yang dengan kasih sayang dan kelembutannya selalu menjadi
motivasi yang tiada tara bagi penulis untuk menyelesaikan tulisan
ini. Spesial untuk ananda kami tercinta “anak gadis papi” yang telah
banyak terampas kasih sayangnya selama papi menyelesaikan tulisan

v
ini, Ananda Rassyasyatul Ibtisama, pelihata hati dalam keluarga. Semoga
kelak ananda menjadi anak yang soleha. Amin.
Kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis Bapak Dr. Heru
Nurasa, Bapak Prof. Tachjan, Bapak Yogi Suprayogi, Ph.D; dan seluruh
informan yang penulis wawancarai demi terbitnya tulisan ini Bapak
Walikota Padang, Bapak Kepala Dinas PU, Kepala Dinas RTRW, Kepala
Dinas Sosial, Kepala BPBDPK dan jajarannya, LSM Jemari, Mercy Corps,
Tagana, KSB, dan Pihak-pihak lainnya tidak dapat penulis sebutkan satu
per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini,
baik bantuan secara langsung ataupun tidak langsung.
Demikianlah yang bisa penulis sampaikan, semoga apa yang penulis
lakukan ini dapat bermanfaat bagi khalayak ramai yang konsen terhadap
upaya penanggulangan bencana dan kebijakan yang dilakukan, jika ada
yang kurang berkenan penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya,
semoga Allah Swt., membalas kebaikan dan kemurahan hati dari
bapak/ibu/sdr/i yang telah dengan ikhlas membantu penulis selama
menyelesaikan tulisan ini. Aaminn.
Padang-Bandung, Agustus 2017
Roni Ekha Putera

vi Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR ISTILAH xiii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Permasalahan Penelitian 11
B. Metode Penelitian 12
C. Kondisi Umum Kota Padang 21

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS PENANGGULANGAN


DAN MITIGASI BENCANA 27
A. Konsep Penanggulangan Bencana 27
B. Mitigasi Bencana 37

BAB 3 PERSPEKTIF IMPLEMENTASI KEBIJAKAN 43


A. Kosep Implementasi Kebijakan 43
B. Pembabakan Teori Implementasi Kebijakan Publik 60

vii
BAB 4 KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA 67
A. Penanggulangan Bencana: Antara Mitigasi dan
Pasca Bencana 67
B. Pendekatan dalam Penanggulangan Bencana 73
1. Kebijakan Penanggulangan Bencana
Berbasis Komunitas 73
2. Kebijakan Penanggulangan Bencana
Berbasis Mitigasi 77

BAB 5 BELAJAR DARI PENGALAMAN KOTA


PADANG DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
MITIGASI PENANGGULANGAN BENCANA
GEMPA BUMI 85
A. Implementasi Kebijakan Mitigasi
Penanggulangan Bencana 85
1. Pelaksanaan Tata Ruang yang Berbasis
Mitigasi Bencana 86
2. Pengaturan Pembangunan, Pengaturan
Infrastruktur, dan Tata Bangunan 92
3. Penyelenggaraan Pendidikan, Penyuluhan,
dan Pelatihan Baik Secara Konvensional
Maupun Modern 100
B. Beberapa Faktor yang Memengaruhi
Implementasi Kebijakan Mitigasi Penanggulangan
Bencana Gempa Bumi 115
1. Translation Ability 115
2. Resources 122
C. Tugas Birokrasi/Tupoksi 134
1. Limited Number of Player 139
2. Accountability 152
BAB 6 PENUTUP DAN REKOMENDASI 157
A. Saran Akademis 158
B. Saran Praktis 158
DAFTAR PUSTAKA 161
INDEKS 175
BIODATA PENULIS 179

viii Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Kejadian Bencana Alam Gempa Bumi dan


Tsunami di Indonesia 4
Tabel 1.2 Jumlah Korban Jiwa Gempa 30 September 2009 7
Tabel 2.1 Landasan Internasional Pengurangan Risiko Bencana 33
Tabel 3.1 Perbandingan Pendekatan Top-down dan Bottom –up 62
Tabel 3.2 Perkembangan Teori Implementasi Kebijakan 65
Tabel 5.1 Kegiatan-kegiatan dalam Rangka Mitigasi Bencana
Gempa Bumi dan Tsunami 113
Tabel 5.2 Nama-nama Kepala Pelaksana BPBDPK Kota Padang 121
Tabel 5.3 Jumlah Personil BPBDPK Per November 2016 124
Tabel 5.4 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota
Padang 127
Tabel 5.5 Jenis dan Sumber Pendanaan Penanggulangan
Bencana di di Kota Padang 130
Tabel 5.6 Per-Bidang Kegiatan BPBDPK Kota
Padang Tahun 2016 133

ix
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Zonasi Gempa Besar yang Melanda Indonesia 3


Gambar 1.2 Perkiraan Sumber Gempa yang Mungkin Terjadi
di Masa Datang 6
Gambar 1.3 Analisis Data Model Interaktif 17
Gambar 1.4 Peta Kerentanan Kota Padang terhadap Gempa
dan Tsunami 24
Gambar 1.5 Peta Per sektor Kerentanan Kota Padang terhadap
Gempa dan Tsunami 25
Gambar 2.1 Siklus Penanggulangan Bencana 35
Gambar 2.2 Bagan Mitigasi Struktur 41
Gambar 3.1 Model Implementasi Kebijakan menurut George
C. Edward III 49
Gambar 3.2 Model Implementasi Kebijakan menurut Van
Meter dan Van Horn 50
Gambar 3.3 Model Implementasi Kebijakan menurut
Merilee S. Grindle 53
Gambar 3.4 Model Implementasi Kebijakan
menurut Goggin, dkk. 57
Gambar 3.5 Model Implementasi Kebijakan 64

xi
Gambar 5.1 Tsunami Save Zone di Beberapa Ruas Jalan
di Kota Padang 90
Gambar 5.2 Rencana TEP di Kota Padang 95
Gambar 5.3 Jalur Evakuasi Jalan Siteba ke By Pass Korong
Gadang 97
Gambar 5.4 Shelter yang Dibangun oleh BNPB 100
Gambar 5.5 Kegiatan Simulasi Bencana di Kelurahan
Padang Sarai 104
Gambar 5.6 Kegiatan Simulasi Bencana di Kelurahan Air Manis 106
Gambar 5.7 Kegiatan Simulasi Gempa Bumi di Shelter
Nurul Haq 107
Gambar 5.8 Pelatihan SAR se Kota Padang 109
Gambar 5.9 Kejadian Gempa Padang 2 Maret 2016 118

xii Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


DAFTAR ISTILAH

BAPPEDA Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah


BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPBDPK Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadam
Kebakaran
CBDM Community Base Disaster Management
CDRSS Committe on Disaster Research in The Soscial Science
DRR Disaster Risk Reduction
FPRB Forum Pengurangan Risiko Bencana
KSB Kelompok Siaga Bencana
KSBS Kelompok Siaga Bencana Sekolah
PRB Pengurangan Risiko Bencana
PU Pekerjaan Umum
PUSDALOPS Pusat Pengendali Operasi
RAN Rencana Aksi Nasional
RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah
SAR Search and Rescue
SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah
Tagana Taruna Siaga Bencana

xiii
TES Tempat Evakuasi Sementara
TRTB Tata Ruang Tata Bangunan

xiv Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


BAB
1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebencanaan beberapa tahun terakhir ini telah menjadi salah
satu kajian yang menarik untuk dibahas, karena berbagai kejadian
bencana yang tidak terduga telah membukakan mata semua pihak
betapa pentingnya penanggulangan bencana di masa yang datang. Hal
ini sejalan dengan kerangka aksi ‘Hyogo’ (Hyogo framework for action)
yang menyerukan pada seluruh negara untuk menyusun mekanisme
pengurangan risiko bencana sampai separuhnya pada tahun 2015
(Pramusinto, 2009); (Coppola, 2011); (Phibbs, Suzanne; Good,
Gretchen; Severensin, Christina; Woodbury, Esther; Williamson, Kerry,
2015); (Johnson, Victoria A.; Ronan, Kevin R.; Johnston, David M.;
Peace, Robin, 2014); (Olowu, 2010); (Gaston, Buh-Wung; Tongwa, Aka
F.; Burnley, Clementine; Isabella, Zouh T., 2012); (Amadhila, Elina;
Shaamhula, Loide; Rooy, Gert van; Siyambango, Nguza, 2013).
Bencana yang terjadi merupakan kejadian yang disebabkan oleh
aktivitas alam yang merugikan manusia, sementara masyarakat lain
percaya bahwa bencana adalah merupakan takdir yang maha kuasa
sebagai salah satu bentuk hukuman atau peringatan bagi umat manusia.
Bencana dapat dikategorikan dalam tiga jenis: bencana alam, bencana
buatan manusia dan hibrida (Shaluf, 2007). Bencana alam merupakan
kejadian bencana akibat dari bahaya alam yang mungkin merupakan hasil
dari dalam (di bawah permukaan bumi), dari luar/eksternal (topografi),

1
cuaca (meteorologi/hidrologi) dan fenomena biologi (Kusumasari,
2014a). Seperti yang diungkapkan oleh Shaluf (Shaluf, 2007) bahwa
kejadian bencana di muka bumi ini terjadi baik itu karena kehendak
Tuhan ataupun bencana hasil perbuatan manusia. Bencana hasil buatan
manusia adalah kejadian bencana yang merupakan hasil keputusan atau
perbuatan manusia seperti terjadinya reruntuhan bangunan gedung dan
runtuhnya tambang. Bencana hibrida muncul dari keterkaitan antara
hubungan antropogenik (buatan manusia) dan kejadian alam, seperti
terjadinya banjir bandang karena hasil pembalakan liar atas penebangan
hutan secara liar (Indian Institut of Disaster Management, 2007 dalam
Kusumasari, 2014a). Bertolak dari berbagai definisi bencana tersebut
maka dalam buku ini hanya membahas mengenai bencana alam yaitu
khususnya gempa bumi.
Berbagai ragam bencana alam telah terjadi dalam kurun waktu
beberapa tahun belakangan ini di Indonesia. Namun terlepas dari hal
tersebut berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) menyebutkan bahwa 85% bencana yang terjadi selama lima
tahun terakhir ini terjadi sebagai akibat dari kerusakan lingkungan hidup
dan hampir 80% penduduk Indonesia ternyata tinggal di daerah rawan
bencana. Artinya Indonesia adalah sebuah “laboratorium bencana” di
mana setiap orang belajar tentang berbagai jenis bencana dan akibat
yang mengikutinya seperti Gempa Bumi dan Tsunami (Pramusinto,
2009). Sedangkan Latief (Latief, 2007) menyebutkan bahwa wilayah
nusantara adalah “hot spot” dunia untuk sumber bencana alam,
khususnya bencana gempa bumi dan letusan gunung berapi.
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG)
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa
ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami
(Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG)
Departemen Energi Sumber Daya Mineral, 2012). Di antaranya Nangroe
Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung,
Banten, Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta bagian Selatan, Jawa
Timur bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur. Kemudian pulau Sulawesi, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak,
Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan di Kalimantan Timur.
Selain terletak tiga lempeng tektonik dunia, wilyah Indonesia juga
berada pada jalur The Pasific Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik, yaitu

2 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


suatu zona bencana yang sering mengalami kejadian gempa bumi dan
gunung meletus. Hal ini bisa dilihat pada peta zonasi gempa besar yang
melanda Indonesia berikut ini.

Sumber: http://www.vsi.esdm.go.id/
Gambar 1.1 Peta Zonasi Gempa Besar yang Melanda Indonesia

Seperti yang terlihat pada gambar 1.1 di dalam peta zonasi gempa
Indonesia, ada wilayah yang diberi warna biru, kuning, serta merah
hingga warna gelap keunguan. Biru dan kuning menandakan kalau
wilayah tersebut memiliki tingkat respons spektra atau bahaya gempa
yang relatif sangat rendah. Sedangkan wilayah dengan warna merah
menunjukkan kalau daerah tersebut struktur batuan dasar dan tanahnya
lebih sensitif terhadap getaran. Kondisi ini dapat menimbulkan gempa
dengan daya rusak lebih besar jika terjadi pergeseran atau getaran di
perut bumi. Warna gelap keunguan menandakan tingkat kerusakan
akibat gempa yang mungkin terjadi paling tinggi.
Berbagai kejadian bencana alam yang terjadi di Indonesia yang
disebabkan oleh kondisi alam terutama gempa bumi dan tsunami. Pada
tabel 1.1 berikut ini dapat dilihat beberapa kejadian atau peristiwa
bencana alam yang terjadi di Indonesia dalam kuran waktu 10 tahun
terakhir ini.

Bab 1 | Pendahuluan 3
Tabel 1.1 Kejadian Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Indonesia
No Nama Kejadian Tanggal kejadian Tempat Korban jiwa
1 Gempa Bumi dan Tsunami 12 Desember 1992 Ende, NTT 2.100 meninggal
Ende, Gempa 7,8 SR
2 Gempa Nabire, Gempa 7,2 26 November 2004 Nabire, Papua 27 meninggal
SR 100 luka-luka
3 Bencana Tsunami di Aceh, 26 Desember 2004 NAD 126.000 meninggal
Gempa 9,3 SR 30.000 hilang
4 Gempa bumi Yogyakarta, 27 Mei 2006 DIY 6.000 meninggal
Gempa 5,9 SR
5 Gempa Tasikmalaya, 02 September 2009 Jawa Barat 33 meninggal,
Gempa 7,3 Richter 40 hilang
6 Gempa Bumi Sumatera 30 september 2009 Sumbar 6.234 meninggal
Barat, Gempa, 7,6 SR
7 Bencana Gempa Bumi dan 25 Oktober 2010 Sumbar 400 meninggal
Tsunami, Mentawai, Gempa
7,2 SR
8 Gempa Cilacap, Gempa 7,1 4 April 2011 Jawa Tengah 1 meninggal
SR
9 Gempa Bali, 6,8 SR 13 Oktober 2011 Bali 50 orang luka-luka
Sumber: diolah dari BMKG (2016)

Penting dicatat bahwa, kebijakan penanggulangan bencana di


Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2001 yang membentuk
Bakornas PBP sebagai badan yang bertanggung jawab terhadap
penanggulangan bencana di Indonesia, yang kemudian diperkuat
dengan Peraturan Presiden RI Nomor 83 Tahun 2005. SK presiden ini
diikuti oleh pendirian Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana (PB) pada tingkat nasional dan Satuan Koordinasi
Pelaksana dan Satuan Pelaksana Penan PB untuk tingkat provinsi
dan kabupaten/kota. Namun proses penanggulangan bencana yang
dilakukan ketika itu masih terkonsentrasi pada kegiatan tanggap
darurat, pemulihan dan rekonstruksi yang dilakukan pada saat
dan setelah kejadian bencana, sedikit upaya yang dilakukan untuk
aktivitas sebelum terjadinya bencana untuk mengurangi risiko
yang akan terjadi akibat bencana (Anwar, Herryal Z.; Harjono,
Hery, 2013).

4 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Kebijakan terhadap penanggulangan bencana baru muncul pada
tahun 2007, ketika pemerintah dan DPR menyetujui ditetapkannya
Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana yang merupakan landasan hukum bagi aktivitas pengurangan
risiko bencana di Indonesia yang harus dilakukan secara lebih
komprehensif. Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tersebut pemerintah
mereformasi lembaga-lembaga penanggulangan bencana dan
membentuk Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB)
dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). BNPB
mengoordinasikan penanggulangan bencana secara nasional dan BPBD
di Daerah. Dengan demikian, keterlibatan pemerintah daerah dalam
penanggulangan bencana menjadi suatu keharusan karena terjadinya
pergeseran pelimpahan kekuasaan dan wewenang dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah dalam hal kegiatan bencana (May, Peter J
dan Williams, Walter, 1986).
Setelah pemberlakuan UU No. 24 Tahun 2007 tersebut, pada
tingkat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan peraturan
daerah tentang penanggulangan bencana. Untuk Provinsi Sumatera
Barat diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007, sedangkan
untuk Kota Padang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008.
Dalam aturan yang ada yang dimaksudkan dengan penyelenggaraan
penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. Kota
Padang dengan adanya pemberlakuan Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2008 tentang penanggulangan bencana, tentunya akan lebih
siap dalam menghadapi bencana dan dapat memperkecil risiko yang
timbul akibat bencana. Tentunya berbagai langkah perlu dipersiapkan
oleh pemerintah daerah dan masyarakat dalam rangka menghadapi
kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Untuk Sumatera Barat dalam hal ini Kota Padang merupakan
salah satu kota yang memiliki ancaman terhadap bencana gempa
bumi yang tinggi. Secara geografis Kota Padang berhadapan langsung
dengan Samudera Hindia dan berisiko tinggi terhadap bencana gempa
bumi yang disebabkan oleh subduksi Mentawai. Hal ini didasarkan
pada penelitian yang dilaksanakan oleh Jamie Mc Caughey dari Earth
Observatory of Singapore (EOS) Nanyang Technological University

Bab 1 | Pendahuluan 5
Singapura dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menurut
penelitian tersebut diperkirakan gempa besar berkala 200 tahunan akan
terjadi di zona ini. Sementara itu, Presiden Geohazard (sebuah lembaga
nonprofit di Amerika yang bergerak dalam bidang pengurangan risiko
bencana) Brian Tucker, mengatakan bahwa bukti yang paling kuat untuk
prediksi gempa bumi selanjutnya setelah gempa Nepal adalah mengarah
ke lepas Pantai Sumatera. Energi yang tersimpan di patahan Sumatera
bagian barat masih banyak yang belum terlepas, pelepasan energinya
setara dengan 8,8 hingga 8,9 skala richter (http://blog.act.id/risiko-
bencana-gempa-bumi-mengintai-padang/, 2015). Seperti contoh banyak
gempa besar yang terjadi di dunia sudah diramalkan oleh para ahli.
Gempa Nepal April tahun 2015 dan gempa Jepang tahun 2011 sudah
diramalkan, dan gempa Megathrust Mentawai tinggal menunggu waktu.
Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1797 dan tahun 1833 Padang
pernah terjadi gempa besar yang menyebabkan tsunami. Menurut ahli,
gempa yang menghantam Padang tahun 2007 dan tahun 2009 serta
gempa Mentawai tahun 2010 semakin memicu Megathrust Mentawai
yang besarnya diperkirakan para ahli 8-9 skala Richter. Untuk perkiraan
lokasi sumber gempa yang berpotensi terjadi di wilayah Sumatera Barat
di masa yang akan datang dapat dilihat pada gambar 1.2 berikut ini.

Sumber: EOS, Nanyang Technological University, 2011


Gambar 1.2 Perkiraan Sumber Gempa yang Mungkin Terjadi di Masa Datang

6 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Pada gambar 1.2 terlihat bahwa perkiraan posisi pusat gempa
terletak di kepulauan Mentawai dengan sisi barat Sumatera Barat,
tersaji fenomena alamiah aktivitas seismik yang berlangsung
sangat aktif. Beragam segmen patahan antara lain megathrust Sunda
dan megathrust Mentawai menunjam ribuan kilometer menyusuri pantai
barat Sumatera, terjadi akibat tabrakan antara lempeng Indo-Australia
dan lempeng Eurasia yang terus bergerak tiap tahunnya. Nyatanya
memang sepanjang garis pantai barat Sumatera Barat merupakan lokasi
masif berkumpulnya energi hebat akibat tumbukan lempeng yang
mengakibatkan beberapa patahan aktif.
Para ahli bencana gempa bumi meyakini bahwa Sumatera bagian
barat memiliki banyak titik Seismic Gap yaitu lokasi dalam aktivitas
seismik aktif namun sunyi tanpa aktivitas gempa hingga ratusan tahun.
Lokasi titik seismic gap ini nyatanya justru paling mengancam, karena
sedang mengumpulkan energi hasil tumbukan lempeng selama ratusan
tahun, dapat terlepas kapan pun. Salah satu bencana alam yang terjadi
adalah kejadian gempa bumi Sumatera Barat yang terjadi Tanggal 30
September 2009 telah menyebabkan kerusakan yang parah terutama
di Kota Padang. Bencana gempa bumi tersebut telah mengakibatkan
kerugian yang besar baik harta maupun jiwa. Tercatat jumlah korban
meninggal di Sumatera Barat adalah sebanyak 1.195 Orang, luka berat
619 orang dan luka ringan 1.179 orang. Sementara kerugian materi
tercatat 114.797 rumah rusak berat. 676.198 rusak sedang dan 67.828
rusak ringan. Untuk kerusakan sarana fasilitas umum, tercatat jumlah
kerusakan sebanyak 2.163 ruang pendidikan, 51 unit fasilitas kesehatan,
1.001 rumah ibadah, 21 unit jembatan, 178 unit ruas jalan dan 130
irigasi rusak berat. Sedangkan untuk Kota Padang jumlah korban dapat
dilihat pada tabel 1.2 berikut ini.

Tabel 1.2 Jumlah Korban Jiwa Gempa 30 September 2009


No Kecamatan Korban Jiwa
Hilang Meninggal Luka Luka Mengungsi
Berat Ringan
1 Lubuk Kilangan 0 3 1 1 0
2 Koto Tangah 1 20 3 30 0
3 Kuranji 0 6 9 7 0

Bab 1 | Pendahuluan 7
4 Padang Barat 0 128 90 228 0
5 Padang Utara 0 13 2 0 0
6 Padang Selatan 0 20 2 12 0
7 Padang Timur 0 68 39 82 0
8 Nanggalo 0 17 10 28 0
9 Lubuk Begalung 3 31 24 29 0
10 Pauh 0 4 1 1 0
11 Bungus Teluk 0 6 0 7 0
Kabung
Jumlah 4 316 181 425 0
Sumber: http//www.pusdalopspbsumbar.co.id (diakses 4 Januari 2016)

Banyaknya korban yang berjatuhan ditenggarai karena kurangnya


pemahaman masyarakat dan pemerintah daerah akan pentingnya
mitigasi bencana untuk menghadapi kondisi terburuk dalam
menghadapi bencana, terutama bencana gempa bumi yang berpotensi
tsunami. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan terlihat adanya jalur
evakuasi belum siap untuk menampung masyarakat yang mengungsi,
seperti yang diutarakan oleh (Henidal, 2012) bahwa keterbatasan dan
belum tersedianya jalur evakuasi menjadi faktor penting Kota Padang
belum siap menghadapi gempa bumi yang disertai dengan tsunami.
Sehingga dua belas jalur evakuasi yang tersedia di Kota Padang dengan
kondisi yang tidak memadai ini belum bisa menampung warga yang
hendak menyelamatkan diri jika terjadinya gempa bumi. Persoalan
ini terlihat jelas pada pengalaman gempa 7,9 SR yang mengguncang
Kota Padang menyebabkan jalanan kota menjadi macet sehingga sulit
untuk dilewati. Warga mengungsi menggunakan kendaraan roda
empat sehingga membuat sejumlah jalan utama menjadi macet total.
Selain itu belum berfungsi peringatan dini gempa dengan baik dan
belum terkoordinasinya dengan baik antara lembaga dan dinas terkait,
kurangnya informasi yang didapat di saat bencana terjadi.
Berpijak dari permasalahan tersebut menandakan adanya persoalan
dengan kebijakan penanggulangan bencana terutama mengenai mitigasi
bencana yang ada, padahal aturan tentang kebijakan penanggulangan
bencana yang termuat dalam Peraturan Daerah Kota Padang Nomor
8 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana sudah ada, namun
kenapa penanggulangan bencana yang ada masih saja belum efektif

8 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


dilaksanakan. Dengan demikian, persoalan bencana merupakan kondisi
kritis bagi setiap pemerintah karena harus menghadapi ketidakpastian.
Padahal, pada saat yang sama pemerintah mengalami kekurangan sumber
daya yang memadai untuk melakukan tugas-tugas penanggulangan
bencana. Selain itu, adanya pemahaman dari aparat birokrat pemerintah
yang cenderung kurang memerhatikan upaya-upaya penanggulangan
bencana, pandangan ini semakin diperburuk dengan komitmen dari
aparat birokrasi yang menempatkan kegiatan penanggulangan bencana
bukan sebagai prioritas dibandingkan kegiatan-kegiatan rutin lainnya.
Sifat bencana yang incidental ini kemudian melahirkan sikap skeptis
pemerintah daerah untuk menjadi tanggap dalam menghadapi dan
mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan dampak terburuk dari
bencana (Kusumasari, 2014a).
Peristiwa bencana alam gempa bumi yang terjadi di Kota Padang
itu sendiri tidak dapat dihindari, namun sebenarnya dampak yang
ditimbulkan oleh bencana tersebut dapat diminimalisir. Menurut
(Coburn, A.W., dkk, 1994) bencana tidak akan dapat dihindari tetapi
dapat disiasati untuk mengurangi timbulnya risiko bencana yang
menambah penderitaan masyarakat. Untuk mengurangi terjadinya risiko
tersebut maka langkah mitigasi bencana merupakan jalan yang harus
ditempuh dan dilakukan karena dengan mitigasi bencana maka risiko
bencana yang akan timbul dapat dikurangi/minimalisir.
Akan tetapi menurut Mileti, (1999) dalam Kusumasari (2014a: 23)
terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan mitigasi, seperti biaya,
rendahnya dukungan politik, isu-isu sosial budaya dan persepsi risiko.
Mitigasi dapat menjadi sebuah kebijakan yang sangat mahal. Faktanya
adalah pemerintah memiliki anggaran terbatas untuk mendukung
pembangunan dan banyak pemerintah yang menganggap bencana
sebagai peristiwa yang kebetulan terjadi dan mungkin tidak akan terjadi.
Rendahnya tingkat dukungan politik juga dianggap sebagai kendala
dalam pelaksanaan mitigasi pada program pemerintah. Penting bagi para
politisi untuk mempertahankan kedudukan yang tinggi di mata publik
dan program yang dapat meningkatkan citra politik mereka. Meyakinkan
para pengambil keputusan di daerah tentang adanya kebutuhan dalam
melakukan langkah-langkah mitigasi sangat penting dalam memastikan
pelaksanaan proyek. Mitigasi akan menghadapi hambatan sosial budaya
dalam perkembangannya di mana saat pelaksanaan proyek mengubah

Bab 1 | Pendahuluan 9
sesuatu hal yang selama ini telah ada dan kegiatan tersebut dianggap
membuang-buang waktu saja. Hambatan yang juga menjadi kendala
adalah bagaimana persepsi masyarakat mengenai risiko penanggulangan
bencana, sejauh mana masyarakat mampu dan mau untuk mencegah
bencana dan seberapa besar pengorbanan mereka dalam menghadapi
risiko bencana tersebut.
Walaupun demikian, proses mitigasi bencana tetaplah merupakan
hal yang krusial untuk dilakukan walaupun menghadapi berbagai
kendala seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Terkait dengan itu
maka kegiatan mitigasi bencana alam yang dilakukan khususnya di
Kota Padang menjadi hal yang krusial untuk dibahas dan diterapkan
mengingat Kota Padang yang berada di jalur rawan gempa bumi.
Dengan demikian, dalam kerangka mitigasi bencana maka diperlukan
upaya-upaya dalam mengurangi risiko bencana dengan melakukan
perencanaan wilayah permukiman dan infrastruktur serta penataan
ruang yang aman terhadap risiko gempa bumi yang seharusnya tidak
hanya mempertimbangkan aspek yang berkaitan dengan kepentingan
dan aktivitas manusia saja, tapi juga memahami bentang alam dan
semua proses yang membentuknya, sehingga diperlukan koordinasi dan
komunikasi antar stakeholder yang terkait di mana Badan Penanggulangan
Bencana Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBDPK) sebagai leading
sector, tanpa pemahaman dan pengetahuan yang cukup tentang hal ini,
maka akan sukar untuk mengembangkan lingkungan hidup yang aman
dari bencana alam. Selain itu juga diperlukan pendidikan, penyuluhan
dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern betapa
pentingnya penanggulangan bencana di masa akan datang.
Ketika mitigasi bencana alam sebelumnya hanya sebatas himbauan
dan anjuran pemerintah, sehingga kenyataan ini tidak pernah dilakukan
dengan serius. Namun dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2007 merupakan awal dari era baru dalam mitigasi
bencana di Indonesia. Sekarang, mitigasi bencana bukan lagi sekadar
anjuran dan himbauan, tapi sudah merupakan kewajiban untuk
dilaksanakan, mengingat satu falsafah dasar dalam mitigasi bencana
alam, yaitu laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang
pesat maka akan menjadi semakin tinggi, karena akan semakin banyak
manusia menempati wilayah-wilayah rawan bencana, yang tadinya
tidak atau sedikit dihuni atau dikembangkan. Tujuan yang sangat

10 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


penting dalam mengurangi dampak bencana alam adalah dengan
memasukkan faktor bencana alam dalam perencanaan pembangunan
dan perluasan wilayah. Di samping itu, juga melakukan usaha-usaha
untuk mengurangi kerawanan bencana bagi wilayah yang terlanjur ada
di wilayah rawan bencana tidak terkecuali Kota Padang.
Dengan data yang ada tersebut tentunya Kota Padang yang berada
di daerah rawan bencana perlu melakukan langkah-langkah untuk dapat
mengantisipasi kemungkinan dampak terburuk yang akan ditimbulkan
oleh bencana gempa bumi yang akan terjadi. Untuk itu, langkah mitigasi
bencana menjadi suatu hal yang perlu dipersiapkan oleh pemerintah
Kota Padang, apalagi cara berpikir dalam sistem pengelolaan bencana
pada saat ini telah mengalami perubahan dari paradigma “relief ” dan
“response” ke “contingency planning”, pengurangan kerentanan dan risiko
bencana yang pada akhirnya menuju pengelolaan bencana yang lebih
komprehensif (Yodmani, 2001) dalam (Anwar, Herryal Z.; Harjono,
Hery, 2013).

B. Permasalahan Penelitian
Dengan telah menjelaskan beberapa hal dalam latar belakang
maka penulis mengemukakan beberapa permasalahan penelitian
yaitu Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Penanggulangan Bencana, telah mengamanatkan bahwa pemerintah
daerah diharapkan mampu membuat sistem peringatan dini, kesiap-
siagaan pengurangan risiko bencana dan mitigasi bencana. Pengamatan
di lapangan masih terdapat sistem peringatan dini yang belum berjalan
sesuai dengan yang diharapkan.
Program pemerintah untuk kegiatan mitigasi bencana juga belum
berjalan sebagaimana mestinya, hal ini terihat dari berbagai program
yang dilakukan oleh pemerintah kota tidak mendapatkan perhatian dan
dukungan yang serius dari masyarakat. Misalnya kegiatan pelatihan
dan simulasi bencana yang dilakukan kurang mendapat respons
yang baik dari masyarakat. Belum tersedianya Prosedur Operasional
Baku (POB) nasional maupun daerah yang dimiliki pemerintah. Hal
ini menyebabkan penanggulangan bencana tidak terarah dan tidak
terkoordinasinya antarinstansi terkait. Bila mengacu kepada kebijakan
penanggulangan bencana, maka diperlukan suatu komando khusus

Bab 1 | Pendahuluan 11
untuk bisa menggerakkan seluruh sumber daya manusia (SDM) yang
ada dan sumber-sumber daya lainnya.
Masih belum optimalnya kinerja BPBDPK dalam menjalankan
ketiga fungsinya yaitu fungsi pelaksana, komando dan koordinator.
Yang terlihat baru fungsi pelaksana saja, sedangkan fungsi yang
lainnya belum, sehingga kecenderungan pelaksanaan penanggulangan
bencana tidak bersifat komprehensif karena tidak adanya koordinasi
dan komando yang jelas. Dan masih terbatasnya sumber daya yang ada
baik sumber daya manusia maupun sumber daya anggaran, sehingga
kinerja pemerintah kota dalam pelaksanaan penanggulangan bencana
menjadi terkendala. Berdasarkan hal tersebut maka dalam tulisan ini
difokuskan kepada implementasi kebijakan mitigasi pengurangan risiko
bencana di Kota padang.

C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis untuk meneliti
Implementasi Kebijakan Mitigasi Penanggulangan Bencana gempa Bumi
di Kota Padang adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
deskriptif interpretatif (Denzim, Norman K.; Lincoln, Yvonna S., 2005),
pilihan terhadap metode kualitatif ini didasarkan pada rumusan dan
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini (Neuman, 2014).
Metode ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang
berbagai aspek yang memengaruhi implementasi kebijakan mitigasi
penanggulangan bencana yang ada di Kota Padang.
Metode penelitian kualitatif berguna untuk pemecahan masalah
berdasarkan fakta-fakta dan kenyataan yang ada dan memfokuskan pada
masalah aktual yang terjadi pada saat penelitian dilakukan. Capaian yang
diharapkan dengan metode ini adalah dapat menghasilkan suatu konsep
atau temuan baru dalam mengkaji implementasi kebijakan khususnya
kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi di Kota Padang.
Untuk memberi penjelasan yang rinci terhadap masalah yang
diteliti, perlu dikumpulkan data dari berbagai sumber Data primer yaitu
data yang diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview)
dengan responden dan dari hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan
terhadap fenomena-fenomena empiris yang terjadi berkaitan dengan

12 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Implementasi Kebijakan Mitigasi Penanggulangan Bencana Gempa
Bumi Kota Padang. Sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh
sudah diolah seperti dokumen-dokumen tertulis dan studi kepustakaan.
Data sekunder yang dibutuhkan merupakan data mengenai gambaran
umum atau deskripsi wilayah penelitian yang dalam hal ini meliputi: (a)
keadaan lingkungan dan keadaan demografis, (b) keadaan ekonomi dan
keadaan sosial budaya dan kerawanan bencana. Sedangkan data sekunder
lainnya yang dijadikan acuan adalah data-data yang didokumentasikan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan, contohnya keputusan
walikota, peraturan daerah serta data lain yang terdokumentasikan yang
terkait dengan pencapaian maksud dari penelitian yang dilakukan ini.
Untuk pengambilan informan dilakukan secara purposive (sengaja)
yaitu dengan menentukan informan yang mampu memberikan informasi
tentang penelitian yang dilakukan mengenai Implementasi Kebijakan
Mitigasi Penanggulangan Bencana Gempa Bumi di Kota Padang.
Sedangkan memperoleh data yang valid dan reliabel maka dipilihlah
teknik yang tepat dan benar. Dalam penelitian ini digunakan teknik
wawancara bebas (interview) sebagai teknik umum dengan maksud
untuk menjaga data primer yang relevan terhadap setiap variabel
penelitian maka wawancara yang dilakukan didasarkan pada pedoman
wawancara yang berisikan pertanyaan terbuka (open ended question).
Langkah-langkah mengumpulkan/memperoleh data di lapangan
atau lokasi penelitian digunakan teknik: pengamatan (observasi),
kegiatan ini dilakukan peneliti untuk melihat langsung kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang dengan melibatkan berbagai
pihak dalam rangka mitigasi bencana gempa bumi. Salah satu kegiatan
yang peneliti ikuti dalam rangka observasi ini adalah kegiatan yang
diadakan berupa Pasific Partnership, kegiatan ini merupakan rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh tentara Amerika yang bekerja sama dengan
tentara di kawasan Asia Pasifik yang menitik beratkan kegiatannya
pada hal mitigasi bencana gempa bumi. Kegiatan ini berlangsung dari
Tanggal 20 Agustus sampai dengan 29 Agustus 2016, yang bertempat
di Padang dengan berbagai Lokasi yaitu Kapal Angkatan Laut Amerika
Serikat USNS Mercy, Kapal Angkatan Laut Indonesia KRI Makassar,
Auditorium PT Semen Padang, Kantor Gubernur dan Lapangan
Imam Bonjol Padang. Selain itu peneliti juga berkesempatan ikut dan
terlibat dalam simulasi Early Warning System Gempa dan Tsunami di

Bab 1 | Pendahuluan 13
Kelurahan Parupuk Tabing, Kota Padang pada tanggal 7 September 2016
dilanjutkan dengan kegiatan pertemuan dengan BPBD PK dan unsur
BMKG, KOGAMI, ORARI, PMI, dan pihak lainnya di kantor BPBDPK
Kota Padang.
Kegiatan selanjutnya adalah wawancara (interview). Untuk tahap
ini kegiatan wawancara dilakukan dengan mewawancarai pihak-pihak
yang terkait dengan kebencanaan di Kota Padang, apakah itu di SKPD
di Pemerintah Kota Padang, kelompok masyarakat, LSM yang konsen
kepada kebencanaan ataupun juga akademisi dan pakar gempa (geologi
dan geofisika). Wawancara dilakukan dengan durasi satu sampai dua
jam tergantung dengan kondisi informan dan kedalaman data yang
telah diperoleh. Wawancara dilakukan di tempat yang telah disepakati
sebelumnya, seperti di kantor atau di rumah informan, sehingga
hubungan emosional terjaga dan data yang didapatkan juga bisa menjadi
bahan dalam menambah analisis dalam penelitian ini. Selama proses
wawancara dilakukan, dapat berjalan dengan lancar walaupun ada
beberapa hal yang menjadi penghalang untuk bisa bertemu dengan
informan, salah satunya adalah jadwal dan kesibukan informan yang
menjadi alasan untuk tertunda-tundanya proses wawancara.
Sedangkan telaah dokumen dan studi kepustakaan, pada tahap ini
peneliti mengumpulkan data yang diperoleh melalui bahan yang tertulis
seperti dokumen-dokumen yang berupa aturan-aturan yang mengatur
tentang penanggulangan bencana dan ataupun literatur berupa buku,
jurnal dan makalah-makalah seminar yang membahas tentang hal itu.
Sumber dokumentasi ini bisa didapat dari lapangan, sewaktu peneliti
melakukan proses observasi dan wawancara.
Setiap peneliti kualitatif memerlukan standar untuk melihat
derajat kepercayaan atau kebenaran hasil penelitian, sehingga
data yang dikumpulkan dapat dipertanggungjawabkan. Agar dapat
memperoleh keabsahan data maka dalam penelitian ini dilakukan
langkah-langkah pemeriksaan data seperti dikemukakan oleh Lincoln
dan Guba (1985: 290-296), yaitu derajat kepercayaan (credibility),
keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability) dan kepastian
(confirmability), sebagai berikut.

14 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


1. Derajat Kepercayaan (Credibility)
Untuk mendapatkan kredibilitas, peneliti melakukan: (1)
pengamatan yang terus-menerus; (2) triangulasi; (3) membicarakan
dengan teman sejawat (pear debriefing); (4) kecukupan bahan referensi
dan (5) mengadakan member check, dengan pengamatan yang terus
menerus, peneliti dapat memerhatikan sesuatu secara lebih cermat,
khususnya yang berkaitan fokus penelitian.
Triangulasi dilakukan dengan maksud untuk mengecek kebenaran
data tertentu yang telah diperoleh dan membandingkannya dengan data
yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian lapangan
pada waktu yang berlainan dan menggunakan metode yang berlainan
pula. Sehubungan dengan hal tersebut ada 3 (tiga) pola triangulasi yang
ditempuh oleh peneliti yakni perbandingan terhadap data, sumber data
dan teknik pengumpulan data.
Untuk derajat validitas dan kebenaran data yang dikumpulkan maka
salah satu teknik yang dilakukan dalam perspektif kualitatif adalah
melakukan pendekatan referensial, baik melalui rekaman voice dan video
serta bahan dokumentasi yang relevan. Hasil referensial ini kemudian
disajikan secara jelas dan presisi berkaitan dengan data apa saja selama
waktu penelitian tanpa membuat rekayasa tertentu yang dapat membuat
bias dalam proses pengumpulan data yang dilakukan. Teknik ini dikelola
menurut prinsip konsistensi yaitu seluruh data dari hasil penelitian
lapangan yang diperoleh akan disajikan dalam bagan analisis serta
dokumen yang relevan dilampirkan untuk menjaga konsistensi antara
analisis dan data lampiran. Triangulasi sumber adalah membandingkan
antara sumber data primer dengan sumber data sekunder. Sumber data
primer atau hasil wawancara dibandingkan dengan sumber dokumen.

2. Keteralihan (Transferability)
Keteralihan hasil penelitian berkenaan dengan pertanyaan sejauh
mana hasil penelitian ini dapat digunakan dalam situasi dan tempat
lain atau lokasi penelitian diselenggarakan. Oleh karena itu, peneliti
telah berusaha mencari dan mengumpulkan data, menganalisis,
menginterpretasi dan mendeskripsikan terkait fokus penelitian dan
kondisi realitas lokus penelitian.

Bab 1 | Pendahuluan 15
Keteralihan juga bergantung pada pemakai dalam konteks situasi
tertentu. Dalam hal ini, keteralihan hanya dipandang sebagai suatu
kemungkinan. Sehubungan dengan hal ini, peneliti telah berusaha
menganalisis, menginterpretasi dan mendeskripsikan data-data tentang
bagaimana hasil penelitian dapat dicapai. Apakah hasil penelitian dapat
diterapkan sangat tergantung pada kesamaan konteks. Berdasarkan hal
ini, maka hasil penelitian ini dapat ditransfer di daerah yang memiliki
kesamaan dengan konteks, situasi dan tempat.

3. Ketergantungan (Dependability)
Ketergantungan atau reliabilitas merupakan syarat bagi terwujudnya
validitas. Melalui data reliabel maka dapat diperoleh data yang valid.
Untuk itu, jaminan ketergantungan dan kepastian hasil penelitian
perlu dilakukan penggabungan antara kriteria ketergantungan dengan
kriteria kepastian. Untuk menjamin kepastian data seperti dikemukakan
Nasution (1996: 56) bahan-bahan yang perlu disediakan antara lain:
a. Data mentah, seperti catatan lapangan, ketika melakukan
wawancara atau observasi, hasil rekaman, dokumentasi lainnya
yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.
b. Hasil analisis data berupa; kesimpulan, proposisi, konsep, variabel
dan model rekomendasi.
c. Catatan mengenai proses yang digunakan seperti; metodologi, de-
sain penelitian, prosedur penelitian dan rasionalitas.

4. Kepastian (Confirmability)
Untuk mendapatkan kepastian hasil penelitian maka peneliti
melakukan konfirmasi dengan informan di lapangan dengan melakukan
crosscheck hasil wawancara dan telaah dokumentasi yang ada.
Sementara itu, untuk analisis data penulis merujuk apa yang
dikemukakan oleh Bogdan sebagaimana dikutip Maleong (2008:248)
memberikan pemahaman bahwa analisis data kualitatif sebagai berikut.

“Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan


bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistetikannya, mencari

16 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada
orang lain.”

Pendapat tersebut di atas, dapat dimaknai bahwa proses analisis data


adalah rangkaian tindakan analisis yang dilakukan secara terus-menerus
selama pengumpulan data sampai selesai dilaksanakan melalui beberapa
kegiatan di antaranya, yaitu menelaah data, mengelompokkan data,
menemukan data yang penting sesuai fokus penelitian dan mempelajari
serta memutuskan apa yang perlu disajikan atau dilaporkan. Melalui
analisis data, dapat mengungkap data apa yang masih perlu dicari,
pertanyaan apa yang perlu dijawab, cara apa yang harus digunakan untuk
memperoleh informasi baru dan kesalahan apa yang perlu diperbaiki.
Sejalan dengan pengertian tersebut di atas, dalam menganalisis data
penelitian ini, peneliti mengacu pada analisis data “Model Interaktif”
dari Miles, Hubermen dan Saldana (2014) yang mengatakan bahwa
tahapan analisis data meliputi: koleksi data (data collection); kondensasi
data (data condensation); penyajian data (display data) dan kesimpulan/
verifikasi (Conclusion Drawing/ Verification). Seperti tampak dalam gambar
1.3 sebagai berikut.

Sumber: Miles, Matthew B.; Huberman, A. Michael; Saldaña, Johnny, 2014


Gambar 1.3 Analisis Data Model Interaktif

Berdasarkan deskripsi gambar 1.3 tersebut di atas, dapat dimaknai


proses analisis model analisis interaktif dengan tahapan-tahapan,
sebagai berikut.

Bab 1 | Pendahuluan 17
a. Koleksi Data (Data Collection)
Dalam kegiatan koleksi data untuk jenis penelitian kualitatif ada
3 (tiga) macam kegiatan yang dilakukan peneliti, yaitu (1) proses
memasuki lokasi penelitian (getting in), dalam proses ini peneliti
mengurus hal-hal yang terkait dengan prosedur izin penelitian di
lapangan; (2) ketika berada di lokasi penelitian (getting along), dalam
proses ini peneliti melakukan komunikasi membangun kepercayaan
pada informan-informan yang dijadikan salah satu sumber data dalam
penelitian; (3) pengumpulan data (logging the data) (Miles, Hubermen
dan Saldana, 2014).
Adapun mekanisme kerja masing-masing dari ketiga tahapan
yang dimaksudkan oleh Miles, Hubermen dan Saldana (2014), sebagai
berikut.
1) Memasuki Wilayah Penelitian (Getting in); merupakan suasana yang
mencapai kondisi agar diterima oleh objek yang diteliti. Dalam
memperoleh izin penelitian, peneliti berupaya keras agar materi
yang diajukan untuk diteliti dapat diterima dengan baik. Peneliti
berupaya melakukan pendekatan baik secara personal maupun
prosedural, dengan meminta surat izin penelitian pada Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat dalam hal ini melalui Kantor Kesbangpol
Provinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Kota Padang melalui
Kantor Kesbangpol Pemerintah Kota Padang terhadap objek-objek
yang akan diteliti.
Sebelum mulai mengumpulkan data, sesuai anjuran dari Lofland
dan Lofland (1984: 30) bahwa supaya tercipta suasana yang
nyaman dalam wilayah penelitian (getting in) maka dianjurkan: a)
menjalin hubungan terpercaya dengan menciptakan koneksi, seperti
kawan, kenalan, kolega yang mempunyai akses terhadap subjek
penelitian dan informan-informan penting lainnya; b) memberikan
gambaran mengenai penelitian yang akan dilakukan; c) belajar
membiasakan diri di lapangan, kemudian berperan sebagai orang
yang melakukan pembelajaran; d) berperilaku sopan santun dalam
melakukan negosiasi agar mendapatkan data lapangan yang akurat
melalui; surat izin penelitian, observasi, dan interaksi dalam bentuk
wawancara dengan para informan kunci (key informan).

18 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Dalam tahap ini peneliti memupuk dan memelihara kepercayaan
kepada orang-orang di lapangan, dan menjalin hubungan dengan
orang yang bisa memberikan informasi yang diperlukan. Sehingga
selama melakukan penelitian peneliti tidak pernah membuat
masalah dengan informan, sehingga segala jenis informasi maupun
data yang diharapkan oleh peneliti dapat peneliti dapatkan, hingga
akhirnya disertasi ini dapat terselesaikan.
2) Menjalin Hubungan dengan Subjek Penelitian (Getting along);
selama peneliti berada di lokasi penelitian (getting along), hubungan
dengan beberapa subjek penelitian telah terbangun, sehingga
dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan melalui metode yang
telah ditetapkan sebelumnya dapat dengan mudah didapatkan
oleh peneliti. Menurut Lofland dan Lofland (1984) agar informasi
yang diperoleh akurat, maka peneliti menciptakan (1) stance, yaitu
menciptakan kepercayaan timbal balik antara peneliti dan subjek
peneliti; (2) style, yaitu gaya peneliti merendah sehingga dapat
diterima dan tidak menimbulkan ancaman terhadap peneliti; (3)
situation, yaitu berusaha menyelesaikan masalah dengan bersikap
netral jika saat itu peneliti menghadapi pertentangan di antara
subjek peneliti.
3) Pengumpulan Data (Logging the Data); pengumpulan data
dilakukan secara integrative terhadap data-data yang relevan serta
lengkap melalui sumber utama. Dalam penelitian ini, peneliti
memulai proses pengumpulan data sumber informan-informan
kunci dari pihak-pihak yang terkait dengan kebencanaan di Kota
Padang, seperti beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
di Pemerintah Kota Padang, kelompok masyarakat, LSM yang
konsen kepada kebencanaan ataupun juga akademisi dan pakar
gempa (geologi dan geofisika). Dalam kegiatan ini, peneliti telah
melakukan sesuai dengan pendapat Lofland dan Lofland (1984)
yang mengemukakan bahwa langkah-langkah pengumpulan data
dilakukan dengan (1) Prime source of data (sumber utama data), yaitu
word and action yang terdiri dari kombinasi melihat dan mengamati,
mendengar dan menyimak, lalu menanyakan; (2) supplementary data
(sumber pelengkap), yaitu melakukan pengumpulan dokumen
melalui sumber pendukung.

Bab 1 | Pendahuluan 19
b. Kondensasi Data (Data Condensation)
Dalam langkah ini peneliti melakukan penelaahan terhadap semua
data yang diperoleh berbagai sumber dan berbagai metode pengumpulan
data yang telah dijelaskan di atas. Peneliti melakukan proses kondensasi
data terhadap data yang dikumpulkan dengan cara membuat abstraksi
dan rangkuman artikulasi dan telaah pemaknaan terhadap fokus
penelitian, yaitu Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana
Gempa Bumi Berbasis Mitigasi Bencana di Kota Padang.
Dalam proses kondensasi data ini, peneliti mengabaikan data
atau informasi yang tidak sesuai dengan permasalahan, tujuan, dan
fokus penelitian. Namun hasil kondensasi data yang tidak atau belum
terpakai tidak langsung peneliti buang atau abaikan, akan tetapi peneliti
menyimpan data-data tersebut karena tidak menutup kemungkinan
untuk digunakan kembali, sehingga data-data yang tersaji adalah benar-
benar data yang berhubungan dengan domain kajian peneliti.
c. Penyajian Data (Display Data)
Dalam mekanisme penyajian data yang telah dikondensasi oleh
peneliti, maka peneliti melakukan display data dalam bentuk laporan,
penyajian data yang bersumber dari lokasi dan situs penelitian disajikan
sesuai dengan format atau panduan penulisan disertasi Pascasarjana
Universitas Padjadjaran Program Studi Administrasi Publik, sehingga
data tersebut dapat dipelajari oleh berbagai pihak. Penyajian data ini
juga diikuti oleh analisis data yakni data yang telah dikondensasi di
interpretasikan olah peneliti dan juga dihubungkan dengan fokus
penelitian sehingga tersaji laporan yang memiliki kekayaan kompilasi
informasi dan pengetahuan terkait domain judul kajian penelitian ini.
Selanjutnya data hasil dari proses kondensasi kemudian dipaparkan.
Peneliti membuat uraian secara rinci atas hasil temuan penelitian
sehingga nilai artikulasi dan pemaknaan display data dapat dipahami.
Langkah ini telah sejalan Miles, Matthew B.; Huberman, A. Michael;
Saldaña, Johnny, (2014) yang menyatakan bahwa yang paling sering
digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif dengan
teks yang bersifat naratif. Selain dalam bentuk naratif, display data dapat
juga berupa grafik, matriks, network (jejaring kerja).

20 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


d. Kesimpulan/Verifikasi (Conclusion Drawing/Verification)
Sejak semula peneliti berusaha mencari makna dari data yang
dikumpulkan, untuk itu peneliti berusaha mencari pola, model dan
tema, persamaan dari data yang diperoleh melalui langkah-langkah yang
dilakukan di atas, peneliti dapat memverifikasi dan menafsirkannya
secara benar serta menarik kesimpulan atas hasil penelitiannya yang
berjudul “Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana Gempa
Bumi Berbasis Mitigasi Bencana di Kota Padang”. Selanjutnya dapat
dideskripsikan bahwa kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin
dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi
mungkin juga tidak, karena masalah dan rumusan masalah dalam
penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang
setelah penelitian berada di lapangan. Kesimpulan dalam penelitian
kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang
sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau
gambaran suatu objek yang sebelumnya masih belum jelas, sehingga
setelah diteliti menjadi jelas.

D. Kondisi Umum Kota Padang


Kota Padang terletak pada jalur gempa besar yang membentang
sepanjang semenanjung Asia, sehingga rawan terhadap bencana gempa
bumi. Kota Padang juga merupakan salah satu dari enam Kabupaten
dan Kota di Sumatera Barat yang memiliki risiko paling tinggi terhadap
ancaman Tsunami, mengingat berada pada jalur megatrust Mentawai,
yang merupakan jalur gempa yang bisa mengancam sewaktu-waktu.
Sehingga dengan demikian perlu mendapat perhatian yang serius dari
pemerintah kota terhadap kondisi ini. Perlu upaya-upaya dalam rangka
mengurangi risiko bencana alam yang kemungkinan bisa terjadi.
Padang sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Barat memiliki luas
wilayah administratif sekitar 1.414,96 km², terletak di pesisir pantai
Barat Pulau Sumatera pada posisi astronomis antara 100º05’05’’
BT-100º34’09’’ BT dan 00º44’00’’ LS-01º08’35’’ LS. Wilayah kota
Padang terdiri dari 694,96 km² daratan dan 720,00 km² perairan/
laut yang merupakan hasil perluasan Kota Padang Tahun 1980, yaitu
penambahan 3 kecamatan dan 15 kelurahan menjadi 11 kecamatan dan
104 kelurahan. Dari seluruh Kecamatan tersebut sebanyak 6 kecamatan

Bab 1 | Pendahuluan 21
dan 22 Kelurahan berada di daerah pesisir. Adapun batas-batas wilayah
administratif Kota Padang, adalah sebagai berikut.
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Solok.
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
Secara topografi Kota Padang memiliki garis pantai sepanjang
68,126 km, sebagai kota pantai, Kota Padang terdiri atas dataran
rendah yang terletak pada ketinggian 0–10 m di atas permukaan laut.
Secara keseluruhan, Kota Padang terletak pada ketinggian yang berkisar
antara 0-1.853 m di atas permukaan laut. Sedangkan kondisi hidrologi
Kota Padang terdiri dari: Daerah Aliran Sungai (DAS), sungai, danau
dan rawa dan debit air. Wilayah Kota Padang terbagi dalam 6 (enam)
Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu: DAS Air Dingin, DAS Air Timbalun,
DAS Batang Arau, DAS Batang Kandis, DAS Batang Kuranji dan DAS
Sungai Pisang. Pembagian DAS ini dikarenakan wilayah Kota Padang
dilalui oleh banyak sungai besar dan kecil. Terdapat 21 aliran sungai
yang mengalir di wilayah Kota Padang dengan total panjang mencapai
133,9 Km (5 sungai besar dan 16 sungai kecil).
Suhu udara Kota Padang sepanjang tahun 2013 berkisar antara
22,0ºC sampai 31,7ºC dan kelembaban udara rata-rata berkisar antara
80%–85% dengan curah hujan rata-rata 347,5 mm/bulan dan rata-
rata hari hujan 19 hari. Secara kondisi geologi Wilayah Kota Padang
terbentuk oleh endapan permukaan, batuan vulkanik dan intrusi
serta batuan sedimen dan metamorf. Sementara itu, berdasarkan data
demografi Pada tahun 2014, penduduk Kota Padang mencapai 889.646
jiwa, naik sejumlah 12.968 jiwa dari tahun sebelumnya. Dengan
demikian, kepadatannya pun bertambah dari 1.261 jiwa/km2 menjadi
1.280 jiwa/km2.
Untuk daerah yang rawan bencana Kota Padang memiliki berbagai
bentuk rawan bencana alam, seperti: gempa bumi (hal ini disebabkan
oleh kondisi fisik wilayahnya yang berada pada pesisir pantai yang
memiliki zona tumbukan aktif Lempeng Indo-Australia dan Lempeng
Eurasia, dekat dengan zona patahan Mentawai dan sesar Semangko.

22 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Berdasarkan kondisi geologi tersebut, posisi Kota Padang berada
pada peta wilayah rawan bencana gempa bumi di Indonesia. Dengan
memerhatikan data sejarah kegempaan yang intensif dengan magnitude
rendah sampai tinggi, di Kota Padang terlihat kejadian gempa pada
tahun 1833 dengan skala magnitude 9; tahun 1861 skala magnitude
8,5; tahun 1935 skala magnitude 7,7; tahun 2000 skala magnitude 7,8;
dan tahun 2002 skala magnitude 7,6. Tahun 2005 terjadi gempa yang
berpusat di Samudera Indonesia yang mengguncang Kota Padang dan
sekitarnya, serta pada 6 Maret tahun 2007 terjadi gempa patahan sesar
semangko yang getarannya juga terasa hingga Kota Padang dan sebagian
infrastruktur kota mengalami kerusakan.
Tingginya kerentanan Kota Padang terhadap bencana gempa pada
data yang ada yaitu periode 28 Maret s.d 19 April 2005, telah terjadi
2.108 kali gempa dan 238 kali di antaranya dirasakan oleh penduduk
Kota Padang. Kejadian Gempa bumi Bengkulu pada tanggal 12 dan 13
September 2007 dengan 7,9 dan 7,7 SR telah menimbulkan kerusakan
bangunan sebanyak 4.951 unit dan kepanikan warga kota Padang akan
timbulnya bencana tsunami. Gempa dimaksud masih berlanjut sehingga
pada periode 16 s.d 25 September 2007, kejadian gempa bumi yang
dirasakan di Kota Padang adalah sebanyak 25 kali dengan magnitude
antara 3,2 s.d 6.7 SR, gempa tanggal 30 September 2009 berkekuatan
7,9 SR yang memporak–porandakan Kota Padang dan Padang Pariaman
Provinsi Sumatera Barat (Data diolah dari BMKG, 2007). Berikut ini
dapat dilihat pada peta kerentanan Kota Padang pada ancaman gempa
bumi dan tsunami.

Bab 1 | Pendahuluan 23
Sumber: BPBDPK Kota Padang, Tahun 2016
Gambar 1.4 Peta Kerentanan Kota Padang terhadap Gempa Bumi dan Tsunami

Pada gambar 1.4 terlihat peta yang diwarnai dengan warna merah
merupakan daerah yang rawan dan rentan terhadap bahaya gempa
bumi dan tsunami. Daerah ini berada di kawasan pantai Kota Padang,
sementara itu daerah yang diberi warna coklat muda merupakan daerah
yang relatif lebih aman terhadap ancaman gempa disertai dengan

24 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


tsunami. Daerah yang berada di pinggiran pantai tersebut terdiri dari
enam kecamatan yaitu Kecamatan Nanggalo, Kecamatan Padang Utara,
Kecamatan Padang Barat, Kecamatan Padang Timur, Kecamatan Bungus
Teluk Kabung dan Kecamatan Padang Selatan. Sementara itu, gambar
4.2 berikut ini merupakan peta per sektor tingkat kerentanan dan
kerawanan terhadap ancaman gempa bumi dan tsunami.

Sumber: BPBDPK Kota Padang, Tahun 2016


Gambar 1.5 Peta Per Sektor Kerentanan Kota Padang terhadap Gempa Bumi
dan Tsunami

Kajian tentang tingkat kerentanan Kota Padang dan rawannya


terhadap ancaman bencana gempa bumi dan tsunami pernah dimuat
di majalah Time Medio Oktober 2005.
Longsor Lahan (faktor yang memengaruhi tingkat bahaya longsoran
lahan di Kota Padang adalah karakteristik lahannya berupa kemiringan
lereng berkisar 23-99%). Erosi Pantai (salah satu faktor penyebab
tingginya laju abrasi pantai, khususnya di daerah Pasir Parupuk
disebabkan oleh konstruksi yang dibangun (creep) kurang memadai

Bab 1 | Pendahuluan 25
(pemecah gelombang oleh karena konstruksi ini berfungsi menghadang
aliran litoral (litoral drift), kondisi semacam ini akan memicu proses
abrasi yang terjadi di wilayah tersebut.
Bencana yang terjadi dikarenakan Kota Padang dilalui oleh beberapa
sungai besar seperti Batang Bungus, Batang Arau, Batang Kuranji dan
Batang Air Dingin serta masih ada lagi 18 sungai kecil lainnya yang
mempunyai aliran permanen sepanjang tahun. Oleh karena, Kota Padang
merupakan daerah tropis mempunyai curah hujan yang cukup tinggi
dengan rata-rata curah hujan 348 mm per bulan dan rata-rata hari hujan
19 hari per bulan, sehingga terjadi luapan sungai dan banjir bandang.

26 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


BAB
2

TINJAUAN TEORETIS
PENANGGULANGAN
DAN MITIGASI BENCANA

A. Konsep Penanggulangan Bencana


Pengertian bencana menurut Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 poin 1 adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sedangkan
penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya
yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat,
dan rehabilitasi (UU No. 24 Tahun 2007 Pasal 1 poin 5).
Dalam banyak peristiwa bencana, peran yang dilakukan pemerintah
yang menyangkut kebijakan publik dan administrasi publik untuk
menanggulanginya sangat besar. Dalam pengarusutamaan pengurangan
risiko bencana ada beberapa perubahan paradigma penting yang perlu
dicatat menurut Pujiono dalam (Pramusinto, 2009);
1. Dari respons darurat menjadi manajemen bencana: penanggulangan
bencana tidak dapat lagi memfokuskan diri hanya pada
penanggulangan kedaruratan (emergency response) pada saat bencana
sudah terjadi, melainkan lebih pada pengurangan keseluruhan
risiko bencana dari pengamatan risiko, pencegahan, mitigasi,
kesiapan, respons, pemulihan rehabilitasi dan rekonstruksi.

27
2. Dari bencana alam menjadi bencana umum: karakteristik suatu
daerah bisa membuatnya rentan terhadap bencana alam. Tetapi juga
patut ditilik bahwa bahaya dan kejadian bencana yang tidak semata-
mata disebabkan oleh alam juga sering terjadi dan menimbulkan
dampak yang luar biasa. Oleh karenanya diperlukan perluasan
cakupan bahasan menjadi definisi bencana yang lebih umum
ketimbang sekadar bencana alam.
3. Dari tindakan kemurahan menjadi pemenuhan hak dasar rakyat.
Perlindungan rakyat dari dampak bencana bukan lagi sekadar
tindakan kemurahan hati pemerintah terhadap rakyatnya,
melainkan sebagai tanggung jawab konstitusi negara untuk
memenuhi hak dasar rakyat.
4. Dari tanggung jawab pemerintah menjadi tanggung jawab bersama:
penanggulangan bencana adalah sedemikian kompleksnya sehingga
tidak dapat dibebankan semata-mata kepada pemerintah melainkan
menjadi urusan bersama. Bagaimana pada akhirnya pemerintah
memegang tanggung jawab terakhir pelaksanaannya.
Makna penanggulangan bencana (PB) telah mengalami evolusi
seiring waktu. Dalam bahasanya Capra, kata (dan paduan kata-
kata) adalah titik berangkat menuju konsep. Dalam kategorisasi
yang mutakhir, istilah “penanggulangan bencana” sering diartikan
sebagai paradigma lama yang merespons bencana secara reaktif. Erat
keterkaitannya dengan terminologi yang sepadan yakni pengelolaan
kedaruratan. Meskipun kalangan awam (dan tentunya sebagian literatur
bencana yang lama) kerap menyamakannya dengan pengurangan
risiko bencana (PRB) ataupun disaster risk management (DRM), namun
penyamaan ini merupakan sebuah penyederhanaan yang tidak tepat
serta tidak menghargai perkembangan konseptual tentang bencana itu
sendiri (Lassa, Jonatan; Pujiono, Puji, 2009).
Pengurangan risiko bencana (PRB) merupakan istilah yang
telah populer dalam studi-studi bencana di Amerika Serikat pasca
1970-an (seperti Pusat Studi Bencana Universitas Delaware).
Namun perkembangannya baru mulai kelihatan secara global, sejak
dikumandangkannya dekade internasional pengurangan bencana
(UNDDR), sehingga istilah PRB lebih kuat memberikan pesan pada
aspek antisipatif, preventif, dan mitigatif, yakni praktik pengurangan

28 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


bencana ex-ante. Pada saat yang bersamaan terminologi-terminologi
seperti PB tidak lagi populer dan bagian dari status quo (Encyclopedia of
International Development, Edisi I, 2006).
Untuk pelaksanaan pengurangan risiko bencana (PRB) di Indonesia
yang merupakan bagian awal dari upaya pengurangan risiko bencana
di tingkat global dan regional. Di beberapa forum internasional telah
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang melandasi upaya PRB di
tingkat nasional. Supaya terlaksana dengan efektif dan efisien kegiatan
ini, maka upaya pengurangan risiko bencana di Indonesia perlu
mendapat dukungan dan landasan yang kuat dengan mengacu kepada
kesepakatan-kesepakatan internasional yang telah dihasilkan tersebut
dan peraturan perundang-undangan yang telah ada di Indonesia.
Kesadaran untuk melakukan upaya pengurangan risiko bencana
pada lingkup internasional merupakan tonggak awal sekaligus landasan
bagi pelaksanaan upaya sejenis pada lingkup yang lebih kecil. Di
tingkat internasional upaya pengurangan risiko bencana dipelopori
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui beberapa resolusi
yang menyerukan kepada dunia untuk lebih memprioritaskan upaya
pengurangan risiko bencana sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam
pembangunan berkelanjutan.
Perhatian PBB terhadap masalah pengurangan risiko bencana
dimulai dengan dikeluarkannya resolusi dalam sidang Majelis Umum
ke-2018 mengenai Bantuan dalam Situasi Bencana Alam dan Bencana
Lainnya pada tanggal 14 Desember 1971. Resolusi ini kemudian
ditindaklanjuti dengan Resolusi Nomor 46/182 tahun 1991 mengenai
Penguatan Koordinasi Bantuan Kemanusiaan PBB dalam Hal Bencana.
Pada tanggal 30 Juli 1999, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB mengeluarkan
Resolusi Nomor 63 tahun 1999 tentang Dekade Pengurangan Risiko
Bencana Internasional. Adapun dengan resolusi ini Dewan Ekonomi
dan Sosial mengharapkan agar PBB memfokuskan tindakan kepada
pelaksanaan Strategi Internasional dalam upaya PRB (International
Strategy for Disaster Reduction/ISDR). Strategi ini merupakan landasan
dari berbagai kegiatan PBB dalam upaya pengurangan risiko bencana
yang sekaligus memberikan arahan kelembagaan melalui pembentukan
kelompok kerja lintas instansi-lembaga-organisasi.

Bab 2 | Tinjauan Teoretis Penanggulangan dan Mitigasi Bencana 29


Strategi pengurangan risiko bencana mencakup kegiatan-kegiatan
jangka menengah sampai jangka panjang yang memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sasaran utama ISDR adalah untuk:
(1) mewujudkan ketahanan masyarakat terhadap dampak bencana
alam, teknologi dan lingkungan; (2) mengubah pola perlindungan
terhadap bencana menjadi manajemen risiko bencana dengan
melakukan penggabungan strategi pencegahan risiko ke dalam kegiatan
pembangunan berkelanjutan. Strategi Internasional Pengurangan Risiko
Bencana dilakukan dengan tujuan:
1. meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap bencana alam,
teknologi, lingkungan dan bencana sosial;
2. mewujudkan komitmen pemerintah dalam mengurangi risiko
bencana terhadap manusia, kehidupan manusia, infrastruktur sosial
dan ekonomi serta sumber daya lingkungan;
3. meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan
pengurangan risiko bencana melalui peningkatan kemitraan dan
perluasan jaringan upaya pengurangan risiko bencana;
4. mengurangi kerugian ekonomi dan sosial akibat bencana.
Tujuan-tujuan di atas diharapkan dapat menjadi kerangka upaya
pengurangan risiko bencana pada semua tingkatan baik untuk
kepentingan lokal, nasional, regional dan internasional. Resolusi Dewan
Ekonomi dan Sosial PBB No. 63 Tahun 1999 ditindaklanjuti oleh
Majelis Umum dengan mengeluarkan Resolusi Nomor 56/195 tanggal
21 Desember 2001 yang menetapkan peringatan Hari Pengurangan
Risiko Bencana Internasional dalam usaha mendorong agar upaya-upaya
berkelanjutan pengurangan risiko bencana menjadi agenda tahunan
negara-negara peratifikasi resolusi.
Untuk menindaklanjuti resolusi PBB tentang pengurangan
risiko bencana maka pada tanggal 23-27 Mei 1994 diadakanlah World
Conference on Natural Disaster Reduction Yokohama, Japan. Kegiatan
ini menetapkan Yokohama Strategy yang menitikberatkan kegiatan
kepada upaya pengurangan risiko bencana dalam pembangunan
berkelanjutan dan peningkatan ketahanan masyarakat melalui
kemampuan masyarakat dalam mengelola dan mengurangi risiko
bencana. Adanya perlibatan masyarakat dalam segala aspek pengurangan
risiko bencana, disertai dengan dana khusus dalam anggaran yang ada

30 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


dengan tujuan pengurangan risiko bencana. Beberapa isu yang menjadi
tantangan yang teridentifikasi dalam Yokohama Strategy antara lain tata
pemerintahan, organisasi, hukum dan kerangka kebijakan, identifikasi
risiko, pengkajian, monitoring dan peringatan dini, pengetahuan dan
pendidikan, mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana dan
persiapan tanggap darurat dan pemulihan yang efektif.
Dengan memerhatikan beberapa aspek upaya pengurangan risiko
bencana, Konferensi Pengurangan Bencana Dunia (World Conference
on Disaster Reduction) yang diselenggarakan pada bulan Januari Tahun
2005 di Kobe, melahirkan Kerangka Aksi Hyogo. Kerangka Aksi ini
menghasilkan beberapa substansi dasar dalam mengurangi kerugian
akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan lingkungan.
Substansi dasar tersebut perlu menjadi komitmen pemerintah,
organisasi-organisasi regional dan internasional, masyarakat, swasta,
akademisi dan para pemangku kepentingan terkait lainnya. Strategi yang
digunakan untuk melaksanakan substansi dasar tersebut antara lain:
1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional
maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh
kelembagaan yang kuat.
2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta
menerapkan sistem peringatan dini.
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk
membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap
bencana pada semua tingkatan masyarakat.
4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.
5. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan
masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif.
Sejalan dengan Kerangka Aksi Hyogo, maka tanggal 27–29
September 2005 di Beijing Cina diadakan Konferensi Asia tentang
pengurangan risiko bencana yang melahirkan Kerangka Aksi Beijing.
Dalam kesepakatan ini selain menegaskan kembali komitmen terhadap
pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo, Rencana Aksi Beijing juga
menghasilkan kesepakatan bahwa semua negara di Asia diharapkan
segera memprioritaskan penyusunan RAN-PRB. Kawasan Asia
merupakan kawasan yang rawan bencana, baik bencana alam, wabah

Bab 2 | Tinjauan Teoretis Penanggulangan dan Mitigasi Bencana 31


penyakit maupun bencana sosial. Untuk itu kerja sama regional dalam
pengurangan risiko bencana di Asia mutlak dilakukan dan didukung oleh
lembaga dan institusi kerja sama regional dan sub-regional yang ada.
Untuk menindaklanjuti Kerangka Aksi Hyogo (2005-2015), maka
pada tanggal 14–18 Maret 2015 di Sendai, Miyagi, Jepang, diadakan
Konferensi Dunia ke-3 untuk Pengurangan Risiko Bencana pada
tahun 2015–2030. Konferensi ini melahirkan Kerangka Aksi Sendai,
Kerangka Kerja Sendai adalah instrumen turunan dari Kerangka Aksi
Hyogo (HFA) tahun 2005–2015: Membangun Ketahanan Negara dan
Masyarakat terhadap Bencana. HFA dianggap mampu mendorong
pekerjaan global di bawah Kerangka Aksi Internasional untuk Dekade
Pengurangan Risiko Bencana Alami Internasional tahun 1989 dan
Strategi Yokohama untuk Dunia yang Lebih Aman: Panduan untuk
Pencegahan Persiapan dan Mitigasi Bencana Alami serta Rencana
Aksinya, yang diadopsi pada tahun 1994 dan Strategi Internasional
untuk Pengurangan Bencana tahun 1999. Kerangka Kerja Sendai disusun
menggunakan elemen-elemen yang dapat memastikan keberlanjutan
pekerjaan yang telah dilakukan oleh negara-negara dan pemangku
kepentingan di bawah HFA dan mengenalkan beberapa inovasi yang
disarankan dalam konsultasi dan negosiasi. Empat area prioritas dari
kerangka kerja Sendai sebagai berikut ini.
1. Memahami risiko bencana.
2. Memperkuat tata kelola risiko bencana dan manajemen risiko
bencana.
3. Investasi dalam pengurangan risiko bencana untuk ketangguhan.
4. Meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respons yang efektif,
dan untuk “membangun kembali dengan lebih baik” dalam
pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Berbagai perkembangan internasional tersebut memberikan betapa


pentingnya upaya pengurangan risiko bencana. Berikut ini dapat dilihat
landasan daripada upaya pengurangan risiko bencana tersebut.

32 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Tabel 2.1 Landasan Internasional Pengurangan Risiko Bencana
No Kegiatan Tujuan Kegiatan
1 Internasional Strategy For Disaster 1. Meningkatkan kepedulian masyarakat
Reduction terhadap bencana alam, teknologi,
lingkungan dan bencana sosial.
2. Mewujudkan komitmen pemerintah
dalam mengurangi risiko bencana
terhadap manusia, kehidupan
manusia, infrastruktur sosial
dan ekonomi serta sumber daya
lingkungan.
3. Meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pelaksanaan kegiatan
pengurangan risiko bencana melalui
peningkatan kemitraan dan perluasan
jaringan upaya pengurangan risiko
bencana.
4. Mengurangi kerugian ekonomi dan
sosial akibat bencana.
2 The Yokohama Strategy for a Saber 1. Tata pemerintahan, organisasi, hukum
World: Guidelines for Natural dan kerangka kebijakan.
Disaster Prevention, Preparedness, 2. Identifikasi risiko, pengkajian,
and Mitigation and its Pland Action monitoring dan peringatan dini.
3. Pengetahuan dan pendidikan.
4. Mengurangi faktor-faktor penyebab
risiko bencana.
5. Persiapan tanggap darurat dan
pemulihan yang efektif.
3 Hyogo Framework for Action 1. Meletakkan pengurangan risiko
bencana sebagai prioritas nasional
maupun daerah yang pelaksanaannya
harus didukung oleh kelembagaan
yang kuat.
2. Mengidentifikasi, mengkaji dan
memantau risiko bencana serta
menerapkan sistem peringatan dini.
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi
dan pendidikan untuk membangun
kesadaran keselamatan diri dan
ketahanan terhadap bencana pada
semua tingkatan masyarakat.
4. Mengurangi faktor-faktor penyebab
risiko bencana.
5. Memperkuat kesiapan menghadapi
bencana pada semua tingkatan
masyarakat agar respons yang
dilakukan lebih efektif.

Bab 2 | Tinjauan Teoretis Penanggulangan dan Mitigasi Bencana 33


4 Beijing Action for Disaster Risk 1. Meningkatkan program regional
Reduction in Asia berupa kerja sama teknis,
pengembangan kapasitas dan
monitoring bahaya dan kerentanan,
pertukaran informasi dan mendukung
upaya nasional guna mencapai tujuan
aksi.
2. Melakukan dan mempublikasikan
status pengurangan risiko bencana.
3. M e l a k u k a n k o o r d i n a s i d a n
menerbitkan kajian berkala tentang
kemajuan dalam kawasan.
4. Membangun dengan memperkuat
pusat-pusat kerja sama regional dalam
melakukan pelatihan, pendidikan dan
peningkatan kapasitas di bidang
pengurangan bencana.
5. Mendukung pengembangan regional
dan kapasitas untuk peringatan dini
terhadap bencana.
5 Sendai Framework for Disaster Risk 1. Memahami risiko bencana.
Reduction 2. Memperkuat tata kelola risiko
bencana dan manajemen risiko
bencana.
3. Investasi dalam pengurangan risiko
bencana untuk ketangguhan.
4. Meningkatkan kesiapsiagaan bencana
untuk respons yang efektif, dan untuk
“membangun kembali dengan lebih
baik” dalam pemulihan, rehabilitasi
dan rekonstruksi.
Sumber: diolah dari berbagai sumber, 2017

Indonesia yang merupakan bagian dari komunitas dunia yang juga


bertanggung jawab untuk melindungi rakyatnya sendiri dari ancaman
bencana telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut
bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada kehidupan dan
penghidupan yang ada bagi rakyat Indonesia dari bencana dengan cara
menyelenggarakan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu
dan terintegrasi.
Berbagai perubahan yang terjadi cukup signifikan terhadap upaya
penanggulangan bencana, baik dari tingkat nasional hingga daerah.
Jika sebelumnya upaya penanggulangan bencana di Indonesia bersifat

34 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


tanggap darurat saja (emergency response), maka melalui UU Nomor
24 tahun, 2007 ini mencakup semua fase bencana, diawali dengan
fase kesiapsiagaan, tanggap darurat hingga pemulihan pasca bencana.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 terdiri dari 12 pasal, yaitu:
pembahasan i), pembagian umum ii), tujuan iii), tanggung jawab
dan kekuasaan pemerintah iv), struktur lembaga v), kewajiban dan
hak masyarakat vi), peran badan internasional dan dunia usaha
vii), organisasi penanggulangan bencana viii), bantuan dana dan
penanggulangan bencana dan pengaturan sangsi dan denda. Berikut
ini dapat digambarkan siklus penanggulangan bencana.

Sumber: Charter, 2008


Gambar 2.1 Siklus Penanggulangan Bencana

Secara umum, peraturan ini telah mampu memberi keamanan


bagi masyarakat dan wilayah Indonesia dengan cara penanggulangan
bencana dalam hal karakteristik, frekuensi dan pemahaman terhadap
kerawanan dan risiko bencana. Perubahan utama dan sangat besar
pengaruhnya terhadap sistem penanggulangan bencana di Indonesia
dengan dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 2007 adalah perubahan
paradigma dari tanggap darurat menjadi siaga bencana. Bencana tidak
lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus diterima begitu saja, tetapi
bisa dicegah dan diantisipasi, terutama kejadian bencana, korban
dan dampaknya. Perubahan paradigma ini tentu saja diikuti dengan

Bab 2 | Tinjauan Teoretis Penanggulangan dan Mitigasi Bencana 35


perubahan sistem penanggulangan bencana yang dianut oleh pemerintah
selama ini. Penanggulangan bencana juga dibagi ke dalam tindakan,
tanggung jawab dan wewenang bagi pemerintah pusat dan daerah
melalui kegiatan pembangunan, keamanan masyarakat, dan keamanan
bantuan bagi penanggulangan bencana. Di samping itu, aturan ini juga
membahas tentang kewajiban dan tanggung jawab masyarakat, badan
internasional, dan juga lembaga usaha. Peraturan ini juga membahas
tentang pembiayaan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat
dan daerah dan juga bantuan dari masyarakat. Terdapat juga sanksi
hukum kepada mereka yang menghalangi keamanan negara dalam
rangka melaksanakan aktivitas pembangunan. Dengan kata lain, UU
ini memaksa semua pihak untuk memandang dan menyusun sistem
penanggulangan bencana secara lebih serius dan menjadi bagian tak
terpisahkan dalam sistem penyelenggaraan negara.
Menurut pendapat Smith (Smith K, 2007) ada dua konsep
paradigma yang digunakan dalam penelitian bencana perspektif ilmu
sosial, yaitu paradigma perilaku dan paradigma struktural. Paradigma
perilaku menekankan pada penyebab geografis dari bencana dan
penggunaan teknologi untuk mengurangi kerusakan yang disebabkan
oleh dampak bencana. Paradigma ini menahan bencana menjadi
kejadian yang tidak sembarangan terjadi dan menekankan pentingnya
perilaku manusia mencegah bencana. Namun paradigma ini kurang
memerhatikan keadaan sosial daerah yang dilanda bencana. Sebaliknya
paradigma struktural menekankan pada pengaruh struktur sosial
tempat melekatnya individu dan kelompok (Bolin, 1998); (Smith
K., 2007). Sebuah pendekatan penting dalam paradigma struktural
adalah pendekatan kerentanan yang berfokus pada dimensi spasial
dari stratifikasi sosial dan ekonomi dalam kaitannya dengan bencana
(Kusumasari, 2014a).
Setelah adanya kewenangan penanggulangan bencana juga dikelola
daerah maka secara umum tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam
penanggulangan bencana meliputi hal-hal berikut ini (Solway, 2004)
dalam Kusumasari (2014b).
1. Pengenalan, identifikasi dan pengkajian wilayah rentan bencana.
2. Melakukan pemahaman bagi masyarakat dan memastikan bahwa
semua anggota masyarakat menyadari akan dampak bencana alam
dan kerentanan yang ada di wilayahnya.

36 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


3. Mengidentifikasi rute evakuasi dan lokasi tempat yang aman serta
lokasi pengungsi.
4. Menjaga hubungan dengan para berbagai stakeholder dalam
perencanaan, kesehatan dan kesejahteraan dengan mengeluarkan
kebijakan mitigasi dan persiapan bencana.
5. Mengalokasikan tugas, kewenangan dan sumber daya yang ada.
6. Melaksanakan program pendidikan dan penyadaran masyarakat
melalui kegiatan yang bekerja dengan sekolah-sekolah setempat.

Untuk itu, penanggulangan bencana melibatkan semua tingkat


pemerintahan, non-pemerintah juga organisasi berbasis masyarakat
memainkan peran penting dalam proses penanggulangan bencana.
Beberapa tahun terakhir memandang bahwa harus ada pra-mitigasi
bencana atau tindakan untuk menghindari atau mengurangi dampak
dari bencana.

B. Mitigasi Bencana
Konsep mitigasi bencana merupakan bagian dari manajemen
bencana yaitu suatu usaha untuk mengubah paradigma penanggulangan
bencana yang sebelumnya lebih banyak menekankan diri pada tindakan
pasca terjadinya bencana. Usaha untuk menyebarkan paradigma ini
mulai banyak dilakukan sejak awal tahun 1900-an. Berbagai kegiatan dan
penelitian menyangkut hal tersebut banyak dilakukan oleh PBB maupun
negara-negara lain. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana menjelaskan pada Pasal 1 poin 9 bahwa yang
dimaksud dengan mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi
risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran
dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Sementara
itu Clements (2009) mendefinisikan mitigasi sebagai tindakan-tindakan
yang dilakukan untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana.
Desfandi (2014) menyatakan bahwa mitigasi bencana merupakan
suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak
bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi korban
ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta. Dalam
melakukan tindakan mitigasi bencana, langkah awal yang kita harus
lakukan ialah melakukan kajian risiko bencana terhadap daerah

Bab 2 | Tinjauan Teoretis Penanggulangan dan Mitigasi Bencana 37


tersebut. Dalam menghitung risiko bencana sebuah daerah kita harus
mengetahui bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability) dan kapasitas
(capacity) suatu wilayah. Mitigasi bencana merupakan kewajiban
berbagai pihak, pemerintah, para ahli dan masyarakat. Pengenalan
dan pemahaman bencana, proses terjadinya, dan penilaian merupakan
tugas para ahli. Pengetahuan, pemahaman dan kesiapsiagaan perlu
disosialisasikan kepada masyarakat agar dapat mengantisipasi,
mengatasi, dan meminimalkan kerugian. Kegiatan mitigasi bencana
hendaknya merupakan yang bersifat rutin dan berkelanjutan (sustainable
disaster mitigation). Kegiatan mitigasi seharusnya sudah dilakukan dalam
periode jauh-jauh hari sebelum kejadian bencana, yang seringkali datang
lebih cepat dari waktu-waktu yang diperkirakan, dan bahkan memiliki
intensitas yang lebih besar dari yang diperkirakan semula. Selain itu,
pemerintah hendaknya juga aktif memberikan berbagai arahan yang
tepat dan berkesinambungan dalam menghadapi peristiwa bencana
atau dengan kata lain bisa beradaptasi dengan risiko potensi bencana
alam yang ada.
Berdasarkan kepada hal tersebut di atas, maka ada hal yang
perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersama-sama oleh
pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana (A.
Rachmat, 2006) antara lain:
1. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau
mendukung usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tata
guna tanah agar tidak membangun di lokasi yang rawan bencana.
2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang
kegiatannya mulai dari identifikasi daerah rawan bencana,
penghitungan perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh bencana,
perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan.
3. Identifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat
yang sifatnya menangani kebencanaan, agar dapat terwujud
koordinasi kerja yang baik.
4. Pelaksanaan program atau tindakan riil dari pemerintah yang
merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat
preventif kebencanaan.

38 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


5. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam
setempat yang memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.

Kegiatan mitigasi bencana merupakan bagian dari tahap pra-


bencana yang ada dalam siklus penanggulangan bencana. Pada tahap
prabencana ini, berbagai kegiatan penyelenggaraan penanggulangan
bencana dilakukan oleh pemerintah dan stakeholder terkait, seperti yang
diamanatkan dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana Pasal 34 bahwa kegiatan yang dilakukan itu dalam situasi tidak
terjadi bencana; dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.
Adapun kegiatan yang dilakukan Penyelenggaraan penanggulangan
bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf a meliputi: a. perencanaan penanggulangan
bencana; b. pengurangan risiko bencana; c. pencegahan; d. pemaduan
dalam perencanaan pembangunan; e. persyaratan analisis risiko bencana;
f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; g. pendidikan dan
pelatihan; dan h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Sedangkan Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi
terdapat potensi terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 huruf b meliputi: a. kesiapsiagaan; b. peringatan dini; dan c. mitigasi
bencana. Sedangkan tujuan utama dari mitigasi bencana menurut
Copalla (2011: 210) adalah risk likelihood reduction, risk consequences
reduction, risk avoidance, risk acceptance, and risk transfer or speading.
Merujuk pendapat Carter (2008) mitigasi bencana dibedakan atas
dua macam yaitu mitigasi nonstruktural dan mitigasi struktural. Untuk
mitigasi non-struktural hal yang dilakukan adalah (1) Penyusunan
peraturan perundang-undangan, (2) Pembentukan kelembagaan, (3)
Meningkatkan kesadaran masyarakat, (4) Melakukan pelatihan dan
pendidikan dan (5) Memberikan insentif. Sedangkan untuk mitigasi
struktural yang dilakukan adalah (1) Pembuatan bangunan struktur
dan (2) Rekayasa bangunan gedung. Sementara itu, untuk mitigasi
bencana yang efektif menurut A. Rachmat (2006) harus memiliki tiga
unsur yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan. Ketiga unsur
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut ini.
1. Penilaian bahaya hazard assestment diperlukan untuk mengidentifikasi
populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian
ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber

Bab 2 | Tinjauan Teoretis Penanggulangan dan Mitigasi Bencana 39


bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana
di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang
sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya.
2. Peringatan warning diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat tentang bencana yang akan mengancam seperti bahaya
tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat
letusan gunung berapi. Sistem peringatan didasarkan pada data
bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan
berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada
pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap
bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat,
tepat dan dipercaya.
3. Persiapan preparedness. Kegiatan kategori ini tergantung kepada
unsur mitigasi sebelumnya yaitu penilaian bahaya dan peringatan,
yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan
terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk
mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya
kembali ketika situasi telah aman.
Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh Wikantiyoso (2010)
dalam tulisannya yang menjelaskan bahwa pemanfaatan ruang kota
dengan berbagai persyaratan “keselamatan” publik dari gempa bumi,
menuntut perlunya perencanaan dan perancangan kota (Planning and
Design for Safe City) yang komprehensif. Upaya mitigasi struktur dilakukan
dengan cara menghindari wilayah bencana dalam merencanakan dan
merancang bangunan dengan mengantisipasi dampak bencana (melalui
pertimbangan dan perhitungan konstruksi).
Selain itu perlu dilakukan upaya mitigasi lingkungan nonstruktural
di antaranya yakni tidak mengubah lingkungan alam yang dapat
melindungi terhadap bencana seperti karang pantai, bukit pasir pantai,
danau, laguna, hutan dan lahan vegetatif, kawasan perbukitan karst dan
unsur geologi lainnya yang dapat meredam dan mengurangi dampak
bencana. Potensi kearifan lokal (local wisdom) melalui pemahaman
pengetahuan lokal (local knowledge), teknologi lokal, budaya lokal dan
tradisi-tradisi lokal yang telah “teruji” mampu berkontribusi dalam
mitigasi bencana. Di sisi lain produk perencanaan dan perancangan kota,

40 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


dengan sebagai produk pemanfaatan ruang (aboveground, underground
spaces, urban landscape) sebenarnya merupakan bentuk regulasi (kebijakan
publik) yang harus ditaati oleh semua aktor pembangun, (arsitek,
perancang struktur, urban planner, dan urban designer, investor, serta
aparat birokrasi). Peraturan tata ruang dan peraturan bangunan (building
codes) memiliki posisi sangat strategis dalam menentukan produk
perancangan kota dan/atau bangunan yang aman bagi penggunanya.
Ketaatan terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan bangunan yang
ketat berkaitan upaya mitigasi dampak gempa merupakan prasyarat
utama yang harus dilakukan.

Gambar 2.2 Bagan Mitigasi Struktur

Sumber: Respati Wikantiyoso. Dalam jurnal. Mitigasi Bencana di Perkotaan; Adaptasi atau Antisipasi
Perencanaan dan Perancangan Kota? (Potensi Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota
untuk Upaya Mitigasi Bencana. Volume: II, Nomor: 1. Halaman: 18-29, Januari 2010.

Bab 2 | Tinjauan Teoretis Penanggulangan dan Mitigasi Bencana 41


Berkaitan dengan itu maka pemerintah daerah dan masyarakat
perlu menentukan langkah-langkah dalam pengurangan risiko bencana,
dengan tingkat kepedulian dan pemahaman yang baik tentunya
persiapan dalam menghadapi bencana yang akan terjadi akan lebih
siap. Perencanaan tata ruang yang menempatkan fasilitas umum dan
fasilitas sosial kemasyarakatan berada di luar zona bahaya bencana
merupakan bentuk mitigasi nonstruktural, selain bentuk mitigasi
struktural yang mendirikan bangunan yang aman dan ramah terhadap
bencana gempa. Sedangkan upaya penguatan kelembagaan yang ada di
masyarakat, pemerintah, maupun swasta merupakan salah satu faktor
kunci dalam mitigasi bencana. Peningkatan kapasitas masyarakat dan
kelembagaan dapat berupa adanya sistem peringatan dini, manajemen
barak, tindakan gawat darurat, dan evakuasi bencana, kegiatan ini
merupakan perwujudan terhadap pemberdayaan masyarakat, sehingga
dengan demikian akan dapat meminimalkan risiko yang ditimbulkan
akibat bencana.

42 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


BAB
3

PERPESKTIF
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

A. Konsep Implementasi Kebijakan


Kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan
memperoleh legitimasi dari lembaga legislatif telah memungkinkan
birokrasi untuk bertindak. Dalam pernyataan ini melekat dua makna
sekaligus. Pertama, kebijakan hanyalah sebuah dokumen politik yang
apabila ia tidak diikuti oleh tindakan yang konkret. Kedua, birokrasi
pemerintah akan bertindak kalamana kebijakan tertentu (yang telah
terlegitimasi). Birokrasi pemerintah selalu mencarikan pijakan hukum
bagi setiap tindakannya. Proses implementasi yang dilakukan setelah
ditetapkan dan dilegitimasinya kebijakan dimulai dengan interpretasi
terhadap kebijakan itu (Wibawa, dkk. 1994).
Apabila merujuk pendapatnya Pressman dan Wildavsky (1978:
xxi) lihat Tachjan (2008), Nugroho (2017), Purwanto dan Sulistyastuti
(2012), Frank, dkk., (2007) mengemukakan bahwa ‘implementation
as to carry out, accompalish, fulfill, produce, complete. Menurut mereka
implementasi dimaknai dengan beberapa kata kunci sebagai berikut:
untuk menjalankan kebijakan (to carry out), untuk memenuhi janji-janji
sebagaimana yang dinyatakan dalam dokumen kebijakan (to fulfill),
untuk menghasilkan output sebagaimana yang dinyatakan dalam tujuan
kebijakan (to produce), untuk menyelesaikan misi yang harus diwujudkan
dalam tujuan kebijakan (to complete) (Purwanto dan Sulistyastuti, 2012).
Proses implementasi kebijakan melihat kesesuaian antara program yang

43
telah direncanakan dengan implementasi di lapangan. Implementasi
kebijakan merupakan proses yang krusial dalam kebijakan publik
karena bukan hanya berkaitan dengan hal-hal mekanisme penjabaran
keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat
jalur birokrasi, melainkan juga menyangkut masalah konflik, keputusan
dan siapa yang memperoleh kebijaksanaan (Grindle dalam (Wahab,
1997), bahkan Udoji dalam (Agustino, 2008) mengatakan bahwa:

“Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan


mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan.
Kebijakan-kebijakan hanya akan sekadar berupa impian atau
rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak
diimplementasikan”.

Senada dengan pendapat Edward III (1980) di mana “without effective


implementation the decision of policy makers will not be carried out successfully”.
Dari sini dapat dilihat bahwasannya urgensi dari dilakukannya
implementasi kebijakan yang merupakan keberlanjutan dari proses
formulasi kebijakan. Secara sederhana implementasi kebijakan itu
sendiri dapat diartikan sebagai the translation of a policy statement into
action (Cooper, 1995). Sedangkan dalam kamus Webster menerangkan
implementasi secara pendek yaitu to implement (mengimplementasikan)
berarti menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu; menimbulkan
dampak/akibat terhadap sesuatu. Jika pandangan ini diikuti maka
implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses
melaksanakan keputusan kebijaksanaan (biasanya dalam bentuk
undang-undang, peraturan pemerintah) (Wahab, 1997: 64)
Ahli lainnya Van Meter dan Van Horn (1975), melihat implementasi
sebagai:

“tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun


swasta baik secara individu maupun kelompok yang dimaksudkan
untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dirumuskan dalam
kebijakan”.

Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) memberikan


penjelasan tentang makna dari implementasi dengan mengartikan
bahwa implementasi merupakan cara memahami apa yang senyatanya
terjadi ketika suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan

44 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kegiatan-
kegiatan dan kejadian-kejadian yang ditimbulkan setelah disahkannya
pedoman-pedoman kebijakan yang mencakup baik usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat atau
dampak yang nyata pada masyarakat. Sedangkan Grindle (1980)
mengemukan bahwa implementasi merupakan hubungan antara tujuan
kebijakan dengan hasil atau output dari kegiatan pemerintah dengan
kata lain keterkaitan implementasi dapat dikemukakan:

“Secara umum tugas pelaksanaannya adalah membuat sebuah


hubungan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik dapat
direalisasikan sebagai hasil dari kapasitas pemerintah.......dengan
demikian kegiatan bisa dimulai jika tujuan telah ditetapkan,
dan ketika program aksi telah dirancang dan ketika dana telah
dialokasikan untuk mencapai tujuan”.

Selain itu, Ripley dan Franklin (1986; 11) menuliskan bahwa dalam
implementasi terdapat keterlibatan multiaktor. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa proses implementasi melibatkan banyak aktor penting yang
memiliki tujuan dan harapan yang saling terkait satu dengan yang
lain dan bekerja dalam konteks kebersamaan dan keterpaduan dalam
menjalankan program-program pemerintah yang semakin besar dan
kompleks, sehingga memerlukan partisipasi dari berbagai lapisan dan
unit pemerintahan serta faktor-faktor yang terkena dampak di luar
kendali mereka. Dengan demikian, istilah implementasi menunjukkan
pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang
tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat
pemerintah. Implementasi adalah kegiatan untuk mendistribusikan
keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para
implementer kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya
mewujudkan tujuan kebijakan; (Purwanto, Erwan Agus; Sulistyastuti,
Dyah Ratih, 2012).
Jika merujuk pendapat Winarno (2002: 125–126) implementasi
kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan
kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat
yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat
mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka
kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 45


itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu
kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan
jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh
pelaksana kebijakan.
Berdasarkan dari berbagai definisi implementasi kebijakan tersebut
maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa implementasi
kebijakan merupakan penetapan dari kebijakan publik agar dapat
dilaksanakan dengan baik sebagaimana yang telah direncanakan
sebelumnya. Jadi pada intinya implementasi kebijakan merupakan
sebagai suatu pencapaian tujuan-tujuan daripada kegiatan-kegiatan
untuk kepentingan masyarakat banyak (publik) dengan melibatkan
berbagai pihak (masyarakat dan swasta) dalam pelaksanaan kegiatan-
kegiatan tersebut, di lain pihak pemerintah berposisi sebagai regulator.
Seperti yang diutarakan oleh L.N. Gerston (2008) bahwa kebijakan publik
lebih menekankan kepada upaya-upaya menyelesaikan masalah publik
untuk diputuskan oleh pejabat pada setiap tingkatan pemerintahan, dan
itu berarti implementasi kebijakan merupakan putusan-putusan para
pengambil kebijakan yang harus dijalankan oleh pelaksana kebijakan
dalam hal ini adalah pada tingkatan pemerintah daerah.
Kebijakan publik yang dibuat oleh pemegang otoritas kebijakan
dalam hal ini pemerintah harus diimplementasikan guna mengatasi
persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam implementasi
kebijakan publik hendaknya tidak terlepas dari berbagai faktor yang
memengaruhinya, dari berbagai faktor itu nantinya dapat dinilai apakah
kebijakan yang dibuat berjalan sesuai dengan yang direncanakan
sebelumnya.
Merujuk pendapat Gerston (Gerston, 2008) yang menyatakan
adanya empat aspek yang memengaruhi keberhasilan implementasi
kebijakan yaitu translation ability, yaitu kemampuan staf pelaksana untuk
menerjemahkan apa yang sudah diputuskan oleh pengambil keputusan
untuk dilaksanakan, resources (sumber daya) khususnya yang berkaitan
dengan sumber daya manusia, finansial, dan peralatan/sarana, limited
number of player yaitu jumlah pelaksana kebijakan yang ada dalam
menjalankan kebijakan baik itu bersifat aktor tunggal ataupun banyak
aktor dan accountability yaitu adanya proses pertanggunggugatan dari
pelaksana kebijakan terhadap apa yang telah dihasilkan. Lebih lanjut
Gerston menjelaskan sebagai berikut.

46 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


1. Translation ability merupakan kemampuan orang-orang dalam
memahami dengan jelas tugas dan tanggung jawabnya dalam
menjalankan kebijakan. Dengan kata lain harus ada komunikasi
yang jelas antara yang memberikan perintah (otoritas kebijakan)
dengan yang menjalankan kebijakan misalnya dalam hal ini
birokrasi. Kebijakan yang dibuat dijalankan sesuai dengan tujuan
kebijakan tersebut. Kejelasan akan kebijakan yang dijalankan
menjadi acuan akan tercapainya tujuan kebijakan.
2. Resources merupakan suatu yang penting. Sumber daya apa yang
dimiliki oleh organisasi untuk mencapai tujuan organisasi tersebut.
Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan sumber daya adalah
sumber daya manusia, sarana dan prasarana, anggaran dan tugas
birokrasi. Sumber Daya manusia merupakan unsur personel yang
dimiliki oleh organisasi dalam menjalankan tugas-tugas organisasi
yang telah dibebankan kepadanya. Sarana dan prasarana yang
dimiliki oleh organisasi memberikan kemudahan bagi organisasi
dalam menjalankan tugas yang ada, kelengkapan terhadap sarana
dan prasarana yang tersedia memberikan keleluasaan dalam
bertugas. Ketersediaan anggaran juga menjadi hal yang penting bagi
keberlanjutan suatu organisasi, dengan anggaran yang memadai
maka suatu organisasi dapat leluasa dalam menjalankan tugas
dan tanggung jawab pekerjaan yang diberikan. Sedangkan tugas
birokrasi merupakan bentuk dari pada penjabaran tugas pokok dan
fungsi dari organisasi.
3. Limited number of player merupakan pihak-pihak yang terlibat dalam
proses implementasi. Dalam proses implementasi tentu saja aktor
yang terlibat tidak hanya bersifat tunggal karena pada dasarnya
dalam melaksanakan suatu kebijakan perlu koordinasi atau kerja
sama dengan pihak lain sehingga kebijakan yang dilaksanakan dapat
berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Terdapatnya multi
stakeholders dalam hal implementasi kebijakan memerlukan adanya
komunikasi dan koordinasi antara pelaksana kebijakan
4. Accountability merupakan pertanggungjawaban terhadap publik.
Segala sesuatu kebijakan yang dibuat oleh pengambil kebijakan
semestinya perlu dipertanggungjawabkan kepada atasan dan
masyarakat. Bentuk pertanggungjawaban tersebut bisa berupa

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 47


pertanggungjawaban administrasi vertikal ke atasan dan politis
ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta secara moral kepada
masyarakat banyak.
Pendapat ahli lainnya tentang implementasi kebijakan disampaikan
oleh George C. Edward III (1980). Menurut George C. Edward III
terdapat beberapa faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan
suatu implementasi kebijakan. Menurut Edward III ada empat faktor
yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan yang bekerja secara
simultan dan saling berinteraksi satu sama lainnya yaitu (1) komunikasi,
(2) sumber-sumber daya, (3) disposisi dan (4) struktur birokrasi.
Faktor pertama, komunikasi menunjukkan bahwa setiap kebijakan
yang diimplementasikan dapat efektif jika terjadi interaksi timbal balik
antara para pelaksana kebijakan dengan kelompok sasaran. Terdapat tiga
indikator dalam menjalankan komunikasi yang efektif yaitu transmisi
(penyaluran informasi), kejelasan (jelas dalam memberi dan menerima
informasi), dan konsistensi (keajekan informasi dan ketegasan
informasi). Faktor kedua adalah sumber daya, yaitu menunjukkan setiap
kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, walaupun
kebijakan sudah dikomunikasikan dengan jelas dan tegas, tetapi jika
implementor kekurangan sumber daya dalam menjalankannya maka
implementasi tidak dapat berjalan dengan efektif. Adapun sumber
daya dimaksud adalah sumber daya manusia (staff) yang merupakan
kompetensi dari implementor, sumber daya keuangan, sumber daya
peralatan (gedung, peralatan, tanah, dan suku cadang lain) dan sumber
daya informasi dan wewenang.
Faktor ketiga disposisi (sikap) yang merupakan kemauan, keinginan
dan kecenderungan yang menunjukkan karakteristik yang menempel
erat pada implementor/pelaksana kebijakan. Apabila implementor
memiliki disposisi yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan
dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh para pembuat kebijakan.
Dan faktor keempat adalah struktur birokrasi, menurut Edward III ada
dua karakteristik utama dari birokrasi yakni prosedur-prosedur kerja
ukuran-ukuran dasar atau SOP dan fragmentasi. Faktor tujuan dan
sasaran komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi
sebagaimana telah disebutkan akan memengaruhi tingkat keberhasilan
dan kegagalan implementasi kebijakan. Secara skematis model proses
implementasi kebijakan publik dapat dilihat pada gambar berikut ini.

48 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Sumber: Edward III, Implementing Public Policy, 1980: 148
Gambar 3.1 Model Implementasi Kebijakan menurut George C. Edward III

Ahli lain dalam studi implementasi kebijakan adalah Van Meter dan
Van Horn (1975) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan dilihat
sebagai sebuah proses yang mana dalam proses tersebut dipengaruhi
oleh enam variabel yaitu pertama, ukuran dan tujuan kebijakan. Ukuran
dan tujuan kebijakan harus dapat dilihat secara spesifik sehingga
di akhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari
kebijakan atau program yang dijalankan. Kedua, Sumber daya, menunjuk
kepada seberapa besar dukungan finansial dan sumber daya manusia
untuk melaksanakan program atau kebijakan untuk menghasilkan
implementasi kebijakan dengan kinerja baik dan dapat menjelaskan
nilai yang efisien. Ketiga, komunikasi antarorganisasi pelaksana, yaitu
komunikasi ini harus ditetapkan sebagai acuan bagi organisasi dalam
menjalankan program. Dari berbagai program, implementor suatu
program memerlukan koordinasi dan komunikasi dengan lembaga
lain, sehingga diperlukan adanya kerja sama dan koordinasi antara
lembaga yang ada bagi tercapainya keberhasilan suatu program. Keempat,
karakteristik agen pelaksana yaitu seberapa besar daya dukung organisasi
mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan
yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan memengaruhi
implementasi suatu program. Kelima, lingkungan sosial, ekonomi
dan politik. Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan
yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, dengan
arti sejauh mana lingkungan kebijakan memengaruhi implementasi

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 49


kebijakan itu sendiri. Keenam, sikap para pelaksana kebijakan, yaitu
mencakup tiga hal yang penting, yaitu respons implementor terhadap
kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan
kebijakan, kognisi yaitu pemahaman terhadap kebijakan, intensitas
disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh
implementor. Seberapa besar demokratis, antusias dan responsif
terhadap kelompok sasaran dan lingkungan menunjukkan sikap dari
pelaksana kebijakan (Rusli, 2013: 106). Berikut ini dapat dilihat model
implementasi yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn.

Sumber: Van Meter dan Van Horn (1975: 463)


Gambar 3.2 Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn

Jika merujuk pada teori yang diajukan oleh Gerston, maka dapat
dilihat Pada gambar model di atas, pada variabel ketiga, komunikasi
antarorganisasi pelaksana dapat dimasukkan dalam variabel “translation
ability” dalam model Gerston. Ini dikarenakan dari penjelasan yang telah
ada menunjukkan bahwa diperlukan adanya koordinasi dan komunikasi
yang jelas sehingga tidak menimbulkan multiinterpretasi maupun
konflik. Sedangkan pada variabel kedua, yaitu sumber daya, mirip
dengan variabel “sumber daya” pada model Gerston, yang terdiri dari
Sumber daya Manusia dan Non-Sumber Daya Manusia. Untuk variabel
keempat yaitu karakteristik agen pelaksana serta variabel keenam, yaitu
disposisi implementor, dapat dimasukkan pada variabel “limited number
of player” dalam model Gerston. Alasannya adalah pada variabel keempat
mengulas tentang ‘aturan-aturan’ dan ‘bentuk-bentuk keterhubungan’
yang terjadi antara implementor. Sehingga dapat menjadi acuan bagi
perilaku atau sikap yang terdapat pada implementor dalam menyikapi

50 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


dan memahami nilai-nilai yang dibawa oleh kebijakan. Sedangkan
pada variabel keenam memberikan penjelasan terhadap keberagaman
implementor kebijakan dalam menjalankan kebijakan yang ada.
Dengan demikian, dari keenam variabel yang telah dikemukakan
oleh Van Meter dan Van Horn tersebut, yang berbeda barangkali adalah
pada variabel satu, yaitu ukuran dan tujuan kebijakan serta variabel
kelima yaitu kondisi ekonomi, sosial dan politik, yang tidak terdapat
dalam model Gerston. Pada variabel pertama terlihat bahwa Van Meter
dan Van Horn memberikan penjelasan bahwa dalam implementasi
kebijakan tersebut perlu adanya standar dan sasaran yang jelas dalam
kebijakan publik sedangkan pada variabel kelima terlihat bahwa model
Van Meter dan Van Horn mempertimbangkan faktor eksternal dalam
implementasi kebijakan. Jika dilihat dari teori sistem kebijakan yang
dikemukakan oleh Thomas. R. Dye (1995:298) ada terdapat tiga elemen
dalam sistem kebijakan, dengan demikian faktor kondisi ekonomi, sosial
dan politik dapat dimasukkan ke dalam elemen lingkungan kebijakan/
policy environment.
Dengan demikian, muncul suatu pertanyaan mengapa Gerston
tidak memasukkan salah satu elemen lingkungan kebijakan ini ke
dalam teorinya? Penulis berpendapat, karena Gerston dalam teorinya
lebih memberikan fokus perhatian kepada aktor-aktor kebijakan yang
ada dalam mengimplementasikan kebijakan itu sendiri (implementor
kebijakan), dengan arti kata melihat implementasi kebijakan dari konten
internal organisasi, dengan demikian Gerston tidak memfokuskan
pembahasan yang terdapat di luar implementor kebijakan. Padahal
sebenarnya dengan teori yang dikemukakan tersebut terdapat kelemahan
Gerston pada tidak adanya faktor lingkungan luar yang memengaruhi,
padahal jika meninjau apa yang dikemukakan oleh Gerston tentang
kebijakan publik yang menyatakan bahwa kebijakan merupakan upaya
penyelesaian masalah publik untuk diputuskan oleh pejabat pemerintah,
maka faktor lingkungan juga memiliki pengaruh yang ada terhadap
proses pelaksana kebijakan. Namun, karena penelitian dalam disertasi
ini (yang membahas implementasi kebijakan penanggulangan bencana
gempa bumi berbasis mitigasi bencana) hanya melihat pada pelaksana
kebijakan maka elemen lingkungan kebijakan tidak menjadi perhatian,
sehingga model Gerston relevan dijadikan acuan dalam penelitian ini.

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 51


Akan tetapi, dalam model implementasi yang dijelaskan oleh Van
Meter dan Van Horn terdapat satu hal yang terlihat berbeda dari model-
model implementasi yang lainnya yaitu menunjukkan bahwa proses
implementasi kebijakan yang ada akan menuju ke arah “kinerja”. Pada
umumnya para ahli yang menjelaskan model proses kebijakan seperti
Anderson, Patton dan Savicky, Easton, dan Dunn tidak memasukkan
“kinerja kebijakan” dalam model proses kebijakan. Hal ini dapat dilihat
seperti yang dikemukakan oleh Nugroho (2017: 542):
...Uniknya para akademisi tersebut tidak memasukkan “kinerja
kebijakan”, melainkan langsung pada evaluasi kebijakan. Salah satu
kemungkinannya adalah bahwa para akademisi tersebut menilai bahwa
“kinerja kebijakan” adalah proses yang “pasti terjadi” (it goes without
saying) dalam kehidupan publik, bahkan tanpa harus disebutkan.
Dengan demikian, Soffian Efendi (dalam Nugroho, 2017:542)
melihat bahwa implementasi kebijakan merupakan proses yang perlu
dinilai kinerjanya setelah dilakukan evaluasi. Sedangkan menurut
Grindle dan Thomas (1995) keberhasilan pelaksana suatu kebijakan
publik dipengaruhi oleh faktor politik, finansial, manajerial dan
kemampuan teknis pelaksana. Sejalan dengan pendapat Grindle dan
Thomas tersebut, Weisert dan Goggin (Weissert & Goggin, 2002)
juga sependapat bahwa dukungan dan komitmen politik dari para
stakeholder untuk melaksanakan kebijakan yang sudah diputuskan
merupakan modal dasar bagi keberhasilan suatu kebijakan. Sementara,
faktor kecukupan finansial, sistem manajerial yang efektif dan efisien
serta kemampuan teknis pelaksana merupakan syarat utama bagi
keterlaksanaan suatu kebijakan.
Di lain hal Grindle (Grindle, M.S., 1980) mengutarakan bahwa:

“Pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat


dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan
program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat pada
action program dan individual projects dan yang kedua apakah
tujuan program tersebut telah tercapai sesuai dengan apa yang
diharapkan”.

Model Grindle ini memperkenalkan model implementasi kebijakan


sebagai suatu proses politik dan administrasi. Model tersebut
memberikan gambaran bahwa proses pengambilan keputusan yang

52 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


dilakukan oleh berbagai aktor (multy actors), dengan outputnya akhirnya
ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai maupun melalui
interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif.
Pada proses politik dapat dilihat melalui proses mekanisme pengambilan
keputusan yang melibatkan beragam Aktor kebijakan, sedangkan untuk
proses administrasi dapat dilihat melalui proses umum mengenai
tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.
Pada model ini Grindle menjelaskan bahwa implementasi kebijakan
ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks kebijakannya. Ide dasarnya
adalah bahwa setelah kebijakan ditansformasikan, barulah implementasi
dilaksanakan. Sedangkan keberhasilannya ditentukan oleh derajat
implementability dari kebijakan tersebut (Nugroho, 2017: 745). Lebih
lanjut Nugroho menjelaskan bahwa keunikan model ini terletak pada
pemahamannya yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya
yang menyangkut dengan implementor, penerima implementasi dan
arena konflik yang mungkin terjadi antara para aktor implementasi,
serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.
Untuk lebih jelasnya mengenai model implementasi kebijakan menurut
Grindle dapat dilihat pada gambar 3.3 berikut ini.

Sumber: Grindle (1980)


Gambar 3.3 Model Implementasi Kebijakan menurut Merilee S. Grindle

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 53


Dengan model Grindle ini, maka dapat dicermati bahwa apa yang
disampaikan Grindle ini memiliki kemiripan faktor yang ada dengan
yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn. Adapun faktor yang
sama adalah sama-sama memasukkan elemen lingkungan kebijakan
sebagai salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan dan kegagalan
implementasi kebijakan. Selain itu, Van Meter dan Van Horn juga
mengemukakan faktor kondisi ekonomi, sosial dan politik sebagai salah
satu faktor yang memengaruhi implementasi kebijakan, sementara itu
Grindle memasukkan faktor yang besar dalam implementasi kebijakan
yaitu konteks kebijakan atau lingkungan kebijakan.
Kelebihan daripada model Grindle ini adalah yaitu pada variabel
lingkungan kebijakan (context of policy) yang mana model ini lebih
menitikberatkan pada proses politik dari para pelaku kebijakan itu sendiri.
Faktor pertama dari variabel lingkungan kebijakan yaitu kekuasaan,
kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor terlibat menjelaskan
bahwa isi kebijakan sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik dari para
pelaku kebijakan. Di mana aktor-aktor penentu kebijakan akan berusaha
dengan sekuat tenaga mereka menempatkan kepentingan-kepentingan
mereka pada kebijakan-kebijakan yang melibatkan interest mereka, dengan
demikian kepentingan-kepentingan mereka dapat terakomodasi di dalam
kebijakan yang ada. Sedangkan faktor kedua dari model Grindle yaitu
karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa (karakteristik institusi dan
rezim) dan faktor ketiga yaitu kerelaan/kesediaan dan daya tanggap. Pada
unsur kedua yaitu karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa dapat
dijelaskan bahwa “implementasi suatu program tentu akan mendatangkan
konflik pada kelompok-kelompok yang kepentingannya dipengaruhi”.
Jika melihat dari ketiga faktor yang dikemukakan tersebut maka terlihat
tidak ada satu faktor pun yang memiliki kesamaan dengan model yang
dikemukakan oleh Gerston.
Adapun perbedaannya dengan model Gerston adalah Model Grindle
lebih memfokuskan pada unsur disposisi penguasa/rezim/pembuat
kebijakan, sementara itu Gerston lebih menekankan pada peranan
masing-masing aktor dalam implementasi kebijakan publik. Karena jika
pada Gerston dikenal faktor keterlibatan masing-masing aktor (limited
number of player) dijelaskan bahwa bagaimana aktor-aktor yang terlibat
dalam pelaksanaan kebijakan dan tidak sampai kepada keterlibatan
aktor dalam penentuan kebijakan.

54 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Untuk variabel konten/isi kebijakan, model Grindle memiliki
kesamaan pandangan dengan model Gerston maupun model yang
dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn. Untuk unsur yang keenam
yaitu sumber daya disebutkan oleh Rusli (2013:96) bahwa implementor
harus mempunyai kapabilitas, kompetensi, komitmen dan konsistensi
untuk melaksanakan sebuah kebijakan, sesuai dengan arahan dari
penentu kebijakan (policy maker). Pendapat tersebut sejalan dengan
faktor sumber daya yang dikemukakan oleh Gerston dan Van Meter
dan Van Horn. Sedangkan Grindle membedakan sumber daya dari
model yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn, akan tetapi
mempunyai kesamaan dengan model Gerston tentang sumber daya.
Dengan demikian, dari model yang dikemukan Grindle terutama pada
faktor yang keenam dapat disimpulkan sama dengan faktor sumber daya
sebagaimana dikemukakan Gerston dan Van Meter dan Van Horn, akan
tetapi Grindle membedakan sumber daya sebagai sumber daya manusia
dan non-sumber daya manusia. Akan tetapi satu hal yang membedakan
model Gerston dengan model Grindle dan Van Meter dan Van Horn
adalah, adanya akuntabilitas dari pelaksana kebijakan yang menjadi
acuan bagi pertanggungjawaban pelaksana kebijakan.
Mazmanian dan Sabatier (Mazmanian, Daniel A.; Sabatier, Paul A.,
1983) berpendapat bahwa implementasi kebijakan adalah merupakan
upaya melaksanakan keputusan kebijakan dengan mengemukakan
model kerangka analisis implementasi (A Framework for implementation
Analysis) dengan mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan
ke dalam tiga variabel bebas. Rincian terhadap ketiga variabel yang
dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier dapat dijelaskan sebagai
berikut ini (Rusli, 2013: 109-109).
1. Risalah tentang tingkat kesulitan permasalahan yang akan
dikendalikan dengan indikator sebagai berikut.
a. Ketersediaan teori teknis dan teknologi yang valid.
b. Keragaman perilaku kelompok sasaran.
b. Persentase kelompok sasaran dalam totalitas penduduk.
d. Ruang lingkup/derajat perubahan perilaku yang diinginkan.
2. Kemampuan keputusan kebijakan dalam menstrukturkan proses
implementasi, dengan indikator sebagai berikut.

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 55


a. Kejelasan dan konsistensi tujuan.
b. Digunakannya teori kasual yang handal.
c. Ketepatan alokasi sumber dana.
d. Keterpaduan hierarki dalam dan di antara institusi pelaksana.
e. Aturan-aturan pembuatan keputusan dari institusi pelaksana.
f. Komitmen dan rekrutmen para pejabat pelaksana.
g. Akses formal pihak luar.

3. Variabel di luar kebijakan


a. Kondisi sosial ekonomi dan teknologi.
b. Dukungan publik.
c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok-kelompok
masyarakat.
d. Komitmen dan kepemimpinan para pejabat pelaksana.

Sedangkan tahap-tahap dalam proses implementasi kebijakan


publik sebagai variabel tergantung yang dipengaruhi oleh variabel-
variabel bebas terdiri dari
a. Output kebijakan institusi-institusi pelaksana.
b. Kesediaan kelompok sasaran untuk memenuhi output
kebijakan.
c. Dampak nyata output kebijakan.
d. Persepsi terhadap dampak nyata output kebijakan.
e. Perbaikan mendasar terhadap kebijakan.

Goggin, dkk; (1990) juga memberikan pendapat bahwa keberhasilan


implementasi kebijakan dikembangkan dengan metode ilmiah yang
mereka sebut dengan metode komunikasi. Metode ini merupakan
metode implementasi kebijakan yang mengemukakan pendekatan
metode penelitian dengan adanya variabel independen, intervening,
dan meletakkan komunikasi sebagai penggerak dalam implementasi
kebijakan. Menurut mereka implementasi kebijakan akan berhasil jika
ada komunikasi yang baik antaraktor pelaksana kebijakan yang dalam
hal ini yang menurut Goggin merupakan sebagai fungsi dari hubungan

56 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


pemerintah pusat dan daerah. Proses implementasi kebijakan sebagai
upaya transfer informasi atau pesan dari institusi yang lebih tinggi ke
institusi yang lebih rendah diukur keberhasilan kinerjanya berdasarkan
variabel: (1) dorongan dan paksaan pada tingkat federal, (2) kapasitas
pusat/negara, dan (3) dorongan dan paksaan pada tingkat pusat dan
daerah.
Variabel dorongan dan paksaan pada tingkat pusat ditentukan
oleh legitimasi dan kredibilitas, yaitu semakin sahih kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat di mata daerah maka semakin besar
kredibilitasnya, begitu pula sebaliknya. Untuk mengukur kekuatan
isi dan pesan kebijakan dapat dilihat melalui: (i) besarnya dana
yang dialokasikan, dengan asumsi bahwa semakin besar dana yang
dialokasikan maka semakin serius kebijakan tersebut dilaksanakan dan
(ii) bentuk kebijakan yang memuat antara lain, kejelasan kebijakan,
konsistensi pelaksanaan, frekuensi pelaksanaan dan diterimanya pesan
secara benar. Sementara itu, untuk mengetahui variabel kapasitas
pusat atau kapasitas organisasi dapat dilihat melalui seberapa jauh
organisasi pelaksana kebijakan mampu memanfaatkan wewenang yang
dimiliki, bagaimana hubungannya dengan struktur birokrasi yang ada
dan bagaimana mengoordinasikan berbagai sumber daya yang tersedia
dalam organisasi dan dalam masyarakat.

Sumber: Goggin et.al (1990:32)


Gambar 3.4 Model Implementasi Kebijakan menurut Goggin, dkk.

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 57


Di lain pihak Weimer dan Vining (Weimer, DL.; Vining, AR., 1992)
berpendapat bahwa keberhasilan suatu kebijakan amat dipengaruhi
oleh tiga faktor yaitu

“Faktor-faktor apa yang kemungkinan dapat memengaruhi


keberhasilan implementasi? Sebuah pertanyaan besar mencoba
menjawab hal tersebut dengan mempertimbangkan tiga faktor
utama yang menjadi fokus dari banyak literatur yang ada yaitu:
logika dari kebijakan, kerja sama yang alamiah, dan ketersediaan
sumber daya yang terampil dalam melaksanakan implementasi”.

Pernyataan tersebut secara tegas menunjukkan bahwa faktor policy


content yang logis dan rasional, kerja sama dan dukungan stakeholder
dalam melaksanakan kebijakan, dan sumber daya manusia yang terampil
dan punya komitmen dalam melaksanakan kebijakan merupakan faktor
yang menentukan keberhasilan suatu kebijakan publik.
Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978) mengemukakan
bahwa implementasi kebijakan dilihat dari pendekatan atas bawah di
mana dalam melakukan implementasi kebijakan terdapat beberapa
syarat yaitu
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana
tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius.
2. Apakah untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber
daya yang cukup memadai.
3. Apakah perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar
ada dan memadai.
4. Apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu
hubungan kausalitas yang andal.
5. Seberapa banyak hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya
sedikit mata rantai penghubungnya.
6. Apakah hubungan saling ketergantungan kecil.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
8. Bahwa tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang
tepat.
9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

58 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


10. Bahwa pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat
menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Pendapat yang lain dikemukakan oleh Smith (1985) menyatakan
ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi
kebijakan yaitu:
1. Idealized policy yaitu suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh
perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, memengaruhi
dan merangsang target group untuk melaksanakannya.
2. Target group adalah bagian dari policy stakeholders yang diharapkan
dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan
oleh perumus kebijakan. Karena mereka ini banyak mendapat
pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan
pola-pola perilakunya dengan kebijakan yang dirumuskan.
3. Implementing organization, yaitu badan pelaksana atau unit birokrasi
pemerintah yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.
4. Environmental factor, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang
memengaruhi implementasi (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi
dan politik).

Dwiyanto (Dwiyanto, 2002) yang lebih menitikberatkan pada faktor


internal, menyatakan bahwa adanya beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap implementasi kebijakan antara lain budaya organisasi, etika
pelayanan, kewenangan diskresi, sistem insentif. Dari uraian di atas
menyimpulkan bahwa keberhasilan suatu kebijakan publik amat
tergantung pada sumber daya organisasi, kemampuan manajemen
pelaksana, dan dukungan lingkungan kebijakan.
Sementara itu, Michael Hill dan Peter Hupe (Hill & Hupe, 2002)
mengembangkan diskusi meta teori yang komprehensif tentang teori-
teori implementasi. Pada dasarnya, tidak terdapat proses kompetisi
ataupun kontestasi di antara model implementasi kebijakan karena isu
yang relevan adalah kesesuaian implementasi dengan kebijakannya itu
sendiri. Sehingga perlu dicatat menurut Nugroho (2017) bahwa setelah
mengetahui model-model kebijakan, masalah penting adalah bahwa
tidak ada model terbaik dalam setiap implementasi kebijakan. Setiap
jenis kebijakan publik memerlukan model implementasi kebijakan yang
berlainan. Ada kebijakan publik yang perlu diimplementasikan secara

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 59


top down ada juga kebijakan publik yang perlu diimplementasikan secara
bottom-up.
Jika dikaitkan dengan bermacam-macam kasus dan konteks
kebijakan, maka diantara semua model tersebut memiliki kelebihan
dan kekurangan jika digunakan sebagai acuan untuk melihat bagaimana
kebijakan publik dilaksanakan dalam mencapai tujuannya. Tidak ada
model yang cocok dan akurat untuk digunakan sebagai alat bantu
melihat gambaran bagaimana sebuah kebijakan itu diimplementasikan
(Rusli, 2013: 94–95). Sejalan dengan pendapat Budiman Rusli tersebut
Nugroho (2017), menyatakan bahwa memang tidak ada pilihan model
yang terbaik yang bisa digunakan dalam implementasi kebijakan, namun
yang dimiliki adalah pilihan-pilihan model yang harus dipilih secara
bijaksana sesuai dengan kebutuhan kebijakan itu sendiri. Satu hal yang
terpenting adalah yakni implementasi kebijakan haruslah menampilkan
keefektifan dari kebijakan itu sendiri. Sebagaimana Rusli (2013: 95)
mengatakan bahwa keberadaan model bukan digunakan untuk melihat
bagaimana tujuan itu diraih, melainkan sebagaimana sasaran atau cara
untuk menghantarkan pada tercapainya tujuan.

B. Pembabakan Teori Implementasi Kebijakan Publik


Untuk mengkaji lebih lanjut mengenai implementasi kebijakan
publik maka perlu dilihat terlebih dahulu pembabakan atau
pengklasifikasian dari teori implementasi kebijakan tersebut dari
berbagai pendapat para ahli. Apabila merujuk pendapatnya Goggin, dkk.,
(1990), Peter dan Linda (2002) maka dapat diklasifikasikan pembabakan
generasi dari implementasi kebijakan tersebut menjadi Generasi I,
Generasi II dan Generasi III. Pada Generasi I (periode 1970-1975) adalah
para ahli yang menggunakan metodologi studi kasus (dengan kasus yang
terbatas yaitu satu atau dua kasus). Tujuan studi ini biasanya diarahkan
untuk mengetahui mengapa implementasi tersebut gagal dilaksanakan.
Dalam generasi pertama ini muncullah konsep yang disebut missing link
(DeLeon, Peter; DeLeon, Linda, 2002).
Konsep ini dipakai untuk menjelaskan kegagalan implementasi
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga niat baik yang
ditunjukkan pemerintah tidak akan membuahkan hasil yang positif jika
pemerintah sendiri tidak mampu merancang dan mengimplementasikan

60 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


kebijakan dengan baik. Dengan demikian, kasus-kasus yang ada itu
dalam hal ini dijelaskan dengan metode deskriptif, yaitu menggambarkan
kebijakan yang diteliti secara mendetail, mendalam, dan banyak
ilustrasi sehingga hasil penelitian sangat menarik untuk dibaca.
Namun sayangnya dari apa yang dihasilkan belum mampu melahirkan
teori umum tentang implementasi yaitu penjelasan hubungan sebab
akibat tentang kegagalan atau keberhasilan implementasi yang dapat
diterapkan di mana saja.
Dalam hal ini (Schneide, 1982) sebagai salah satu representasi para
ahli tersebut menyebutkan lima faktor yang memengaruhi keberhasilan
implementasi yaitu kelangsungan hidup (viability), integritas teori
(theoretical integrity), cakupan (scope), kapasitas (capacity) konsekuensi
yang tidak diinginkan (unintended consequences). Sementara itu generasi II
(periode 1975–1980) adalah para ahli yang sudah berangkat dari model
dan berusaha untuk mengkaji model tersebut di lapangan. Pada generasi
II ini memahami dan menjelaskan permasalahan implementasi menjadi
dua kelompok yaitu pendekatan Top down dan Bottom-up.
Pada pendekatan Top-down, di mana pendekatan ini menggunakan
logika berpikir dari atas kemudian melakukan pemetaan ke bawah untuk
melihat keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan.
Parsons dalam (Parsons, 2005); menunjukkan bahwa studi ini didasarkan
pada “model kotak hitam” proses kebijakan yang terinspirasi oleh
analisis sistem yang mengasumsikan hubungan sebab akibat langsung
antara kebijakan dan hasil yang diamati dan cenderung mengabaikan
dampak pelaksana pada penyampaian kebijakan. Para ilmuwan sosial
yang mengembangkan pendekatan ini adalah (Mazmanian, Daniel A.;
Sabatier, Paul A., 1983); (Nakamura & Swallood, 1980); (Edward III,
1980); dan oleh (Grindle, M.S., 1980). Mereka diklasifikasikan sebagai
pengguna pendekatan top-down karena cara kerja mereka sesuai dengan
langkah-langkah yang dimulai dengan memahami kebijakan dan melihat
efektivitas pencapaian tujuan kebijakan tersebut di lapangan.
Untuk pendekatan Bottom-up dipelopori oleh Elmore (1978),
Lipsky (1971), Berman (1978) dan Hjern, Hanf serta Porter (1978)
dalam (Purwanto, Erwan Agus; Sulistyastuti, Dyah Ratih, 2012);
(Nugroho, 2008). Para pengikut pendekatan ini menekankan pentingnya
memerhatikan dua aspek dalam implementasi suatu kebijakan yaitu

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 61


birokrat pada level bawah (street level bureaucrat) dan kelompok sasaran
kebijakan (target group). Street level bureaucrat menduduki posisi kunci
yang akan sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu
kebijakan dan implementasi juga akan berhasil apabila kelompok sasaran
dilibatkan sejak awal dalam proses perencanaan kebijakan ataupun
implementasinya.
Agar mendapatkan gambaran yang jelas perbedaan pendekatan top
down dan bottom up, Sabatier (1984) dalam (Purwanto, Erwan Agus;
Sulistyastuti, Dyah Ratih, 2012); (Fischer, Frank; Miller, Gerald J.;
Sidney, Mara S., 2007) membuat suatu ringkasan elemen-elemen yang
berbeda dari dua pendekatan tersebut sebagai berikut.

Tabel 3.1 Perbandingan Pendekatan Top-down dan Bottom –up


Top-down Bottom-up
Fokus awal Kebijakan pemerintah Jaringan implementasi pada
level paling bawah
Identifikasi aktor utama yang Dari pusat (atas) dilanjutkan Dari bawah, yaitu para
terlibat dalam proses ke bawah sebagai konsekuensi implementer pada level lokal
implementasi ke atas
Kriteria evaluasi Berfokus pada mencapaian Kurang begitu jelas, apa saja yang
tujuan formal yang dinyatakan dianggap peneliti penting dan
dalam dokumen kebijakan punya relevansi dengan kebijakan
Fokus secara keseluruhan Bagaimana mekansisme Interaksi strategis antar- berbagai
implementasi bekerja untuk aktor yang terlibat dalam
mencapai tujuan kebijakan implementasi
Tujuan analisis Prediksi/rekomendasi Deskripsi/penjelasan
kebijakan
Model proses kebijakan Tahap Gabungan
Sifat proses implementasi Pedoman hierarkis Pemecahan masalah lokal
Model demokrasi yang Elitis partisipatoris
mendasari
Sumber: Sabatier (1984) dalam (Purwanto, Erwan Agus; Sulistyastuti, Dyah Ratih, 2012); (Fischer, Frank;
Miller, Gerald J.; Sidney, Mara S., 2007).

62 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Pada generasi III adalah para ahli yang berusaha lebih scientific
dalam melakukan studi implementasi dengan menggunakan metode
penelitian kuantitatif yang mensyaratkan kecukupan jumlah kasus dan
keseimbangan jumlah variabel dengan kasus yang di teliti. Ahli yang
mengembangkan ini adalah Malcolm L. Goggin (Malcolm L. Goggin;
Ann O’M Bowman; James P. Lester; Laurence J. O’Toole,Jr, 1990) yang
mana dalam bukunya tersebut mengatakan bahwa agar penelitian
implementasi makin diakui kualitas kadar keilmiahannya maka peneliti
perlu (1) menjelaskan konsep-konsep yang digunakan, terutama konsep
implementasi itu sendiri, (2) memperbanyak kasus yang akan distudi
sehingga memberi ruang yang lebih baik untuk menjelaskan hubungan
kausal guna menjelaskan fenomena implementasi, (3) membangun
model dan indikator yang akan dipakai untuk menguji hipotesis, (4)
berani melakukan perbaikan terhadap persoalan penggunaan konsep
dan pengukuran yang dihadapi oleh para peneliti generasi sebelumnya.
Fischer (Fischer, Frank; Miller, Gerald J.; Sidney, Mara S., 2007)
menyebutkan ada tiga generasi penelitian implementasi menjadi teori
implementasi yaitu
1. Model atas bawah menekankan terutama pada kemampuan
pembuat keputusan untuk menghasilkan tujuan kebijakan yang
tegas dan pada pengendalian tahap implementasi.
2. Kritik bawah atas melihat birokrasi lokal sebagai aktor utama dalam
penyampaian kebijakan dan memahami implementasi sebagai
proses negosiasi dalam jaringan pelaksana.
3. Teori hibrida mencoba mengatasi kesenjangan antara dua
pendekatan tersebut dengan menggabungkan unsur-unsur model
atas bawah, bawah atas dan model teroretis lainnya.

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 63


Sumber: (Fischer, Frank; Miller, Gerald J.; Sidney, Mara S., 2007)
Gambar 3.5 Model Implementasi Kebijakan

Dari berbagai model dalam pembabakan teori implementasi


kebijakan yang telah dikemukan tersebut di atas, terlihat posisi teorinya
Gerston (2008) dalam penelitian ini. Gerston berada pada generasi ke
dua yang merupakan teori kebijakan yang bersifat top down di mana
teori Gerston menjelaskan peran serta yang cukup dominan dari pihak
pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Upaya untuk memahami berbagai fenomena implementasi tersebut
pada akhirnya dimaksudkan untuk dapat memetakan faktor-faktor apa
saja yang memengaruhi munculnya berbagai fenomena implementasi

64 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


tadi. Dari serangkaian kegiatan penelitian yang dilakukan oleh para ahli
maka dapat dipetakan apa sebenarnya faktor-faktor yang memengaruhi
keberhasilan ataupun kegagalan implementasi suatu kebijakan. Untuk
itu dari berbagai pendapat yang dikemukakan mengenai implementasi
kebijakan, maka Jr. Laurence O’Toole (1986) dalam tulisan memberikan
perkembangan implementasi kebijakan sebagai berikut.

Tabel 3.2 Perkembangan Teori Implementasi Kebijakan


Penulis dan Tahun Variabel-variabel yang Bekerja dalam Proses Implementasi
Gross et. al. (1971) Implementers’ clarity about innovation, needed skills and
knowledge, availability of materials, compatability of
organizational arrangements with innovation, degree of staff
motivation.
Pressman and Multiplicity of participants, perspectives, decision points,
Wildavsky (1973) intensity of preferences, resources.
Smith (1973) Various tensions among idealized policy, implementing
organization, target group, environmental factors.
Van Meter and Policy standards, resources, enforcement, communications,
Van Horn (1975), characteristics of implementing agencies, political conditions,
Van Horn (1978, 1979a, 1979b), economic and social conditions, dispositions of implementers.
Van Horn and
Van Meter (1976)
Elmore (1976, 1977, 1978, Structure of power relationships and incentives, discretion,
i979-8o, 1985) resources.
Weatherley Resources, coping behaviors of street-level bureaucrats.
and Lipsky (1977)
Gunn (1978) Nature of policy, implementation structure, outside interference,
Hogwood and Gunn (1984) control over implementers, resources, valid theory.
Majone and Wildavsky (1978) Objectives, resources, theory underlying policy, constraints
emerging in the implementation process.
Thomas (1979) Local propensity to accept a program, blend of policy incentives
with conditions, how the issue develops.
Montjoy and O’Toole (1979); Policy specificity, resources, agency goals, routines, world view,
O’Toole and Montjoy (1984); structure of interdependence, technical requirements of the task,
O’Toole (1983) facilitator, perceived risk for implementers.
Nakamura and Specificity of policy, technical limitations, actors, arenas,
Smallwood (1980) organizational structures, bureaucratic norms, resources,
motivations, communication networks, compliance mechanisms.
Larson (1980) Policy goals, implementation procedures, complexity, changes
in economic environment.
Berman (1980) Important variables depend on context (organizational,
political, social and legal). Clarity of policy goals, number
of actors participating, implementers’ degree of resistance,
ineffectualness, or inefficiency; degree of control exerted from
top.

Bab 3 | Perspektif Implementasi Kebijakan 65


Edwards (1980) Communication (transmission, clarity, consistency),
resources(staff, information, authority, facilities), disposition
or attitudes of implementers, bureaucratic structure (standard
procedures, fragmentation), complexity.

Grindle (1980, 1981) Content of policy (interests affected, types of benefits, extent
of change envisioned, site of decision making, program
implementors, resources) and context of implementation
(power, interests, strategies of actors involved, institution and
regimecharacteristics, compliance and responsiveness).
Scheirer (1981) Decision and control processes, resources, relations with
environment, supervisory expectations, routines, technical
requirements, communication flow, work group norms,
behavioral skills, incentives, cognitive supports.
Ackermann and Resources, interorganizational structure.
Steinmann (1982)
Ripley and Franklin (1982) Type of policy.
Hambleton (1983) Policy message; multiplicity of agents, perspectives, and
ideologies; resources; politics of planning.
Browne and Formal policy (clarity of objectives and priorities, validity of
Wildavsky (1984) theory of causality, sufficiency of financial resources, sufficiency
of power); learning/adaptation
Ross (1984) Implementation strategy, tractability of policy problem, content
of policy, structure of broader sociopolitical and policy systems,
number of actors, extent of power diffusion, personal and
institutional dispositions of actors, clarity, adequacy of resources,
support of leaders, institutional routines.
Alexander (1985) Stimulus, policy, program, implementation; contextual,
organizational, environmental, perceptual variables.
Larry N. Gerston (1992, 2008) Translation ability, resources, limited numbers of player,
accountability.
Sumber: Laurence J O’Toole, (1986), diolah dari sumber lain

66 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


BAB
4

KEBIJAKAN
PENANGGULANGAN BENCANA

Penanggulangan bencana yang ada memiliki beberapa tahap atau


rangkaian kegiatan, salah satunya adalah kegiatan mitigasi bencana.
Tahap ini merupakan tahap yang penting dalam rangka menghadapi
kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika bencana melanda. Tahap
mitigasi bencana ini merupakan tahapan awal dari siklus manajemen
bencana. Di mana tahapan ini merupakan tahapan yang lebih bersifat
preventif dan responsif. Pada bagian ini dijelaskan hal mitigasi bencana
dan berbagai pendekatan dalam hal penanggulangan bencana yang ada.

A. Penanggulangan Bencana: Antara Mitigasi dan Pasca


Bencana
Persoalan penanggulangan bencana menjadi suatu hal yang penting
untuk diperhatikan mengingat belakangan ini sering kali terjadi bencana
alam yang melanda wilayah Indonesia, apakah itu bencana banjir, gunung
meletus, tanah longsor ataupun bencana gempa bumi. Untuk itu, dalam
Kerangka kerja pengurangan risiko bencana menurut Committe on Disaster
Research In The Social Science (CDRSS) (2006), meliputi setidaknya 3 (tiga)
proses penting. Pertama, Hazard Mitigation, yang mencakup di dalamnya
mitigasi struktural (mencakup perencanaan desain, konstruksi, hingga

67
perawatan dan renovasi struktur dan infrastruktur fisik yang rusak) dan
mitigasi nonstruktural yang berorientasi kepada pengaturan-pengaturan
mengenai tata guna lahan dan menjaga tingkat kepadatan penduduk
pada suatu lokasi. Kedua, Disaster Preparedness, yakni membangun
kesiapan warga terhadap risiko bencana. Dalam kegiatan ini, beragam
aksi dilakukan dalam penyiapan komunitas menghadapi bencana, seperti
penyusunan rencana evakuasi darurat, pelatihan warga yang tinggal
di lokasi rawan bencana, sosialisasi tentang risiko dan gejala-gejala
bencana, penyiapan perangkat penyelamatan darurat yang mencakup
material dan finansial. Ketiga, Emergency Response yang didalamnya
termasuk aktivitas yang berhubungan dengan isu diseminasi prediksi
bencana dan peringatan, evakuasi dan bentuk-bentuk perlindungan
lainnya, mobilisasi dan organisasi darurat, relawan dan sumber daya
material, pencarian dan penyelamatan (CDRSS, 2006: 19–20) dalam
(Agus Indiyanto, 2002: 28).
Masyarakat memandang bencana sebagai suatu yang datangnya
dari luar dan sesuatu yang tidak dapat diprediksi dan diduga, maka
hendaknya perlu mempersiapkan diri dalam rangka mengantisipasi
kemungkinan terburuk yang akan terjadi akibat bencana tersebut.
Bencana diyakini sebagai bentuk peringatan, cobaan dan teguran kepada
manusia sehingga manusia tidak bisa menghindari atau mempersiapkan
diri dalam menghadapinya. Bencana yang terjadi itu ada kehendak tuhan
dan tidak bisa dihindari, karena kalau tuhan sudah berkehendak maka
apa pun bisa terjadi (Lindell, et. al., 2006).
Dengan pandangan seperti ini maka manusia merupakan korban
dan perlu mendapat bantuan dari pihak luar sehingga dengan demikian
fokus penanganan bencana pada masa ini terdapat pada pemenuhan
bantuan dan kedaruratan. Dengan demikian, pada dasarnya tindakan
yang dilakukan adalah berusaha untuk menyelamatkan korban yang
masih bisa diselamatkan dan memberikan bantuan darurat berupa
pangan, kesehatan dan memulihkan mental mereka sehingga dengan
begitu penekanan pada masa ini terdapat kepada pokok persoalan
kedaruratan atau pada saat bencana dan pasca bencana dan bukan pada
tahap mitigasi penanggulangan bencana.
Paradigma yang berkembang adalah di mana untuk tahap pra
bencana atau juga disebut mitigasi bencana kurang mendapat perhatian

68 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


yang serius, karena melakukan sesuatu yang belum terjadi menjadi tidak
menarik untuk dikerjakan, namun sebenarnya ini merupakan hal yang
paling krusial, sehingga pada umumnya fokus dari penanggulangan
bencana terdapat pada fase tanggap darurat dan pasca bencana,
mengingat letak Indonesia yang secara geografis rentan dan rawan
terhadap bencana, seharusnya masyarakat menjadi lebih mawas diri
terhadap sistem peringatan dini dan pencegahan bencana yang harus
dilakukan mengingat kemungkinan bencana yang bisa saja terjadi
sewaktu-waktu tanpa adanya kesiapan.
Meskipun bencana alam cenderung tidak dapat dihindari, namun
dengan kesadaran dan kepedulian yang tinggi terhadap tindakan-
tindakan pencegahan bencana, angka kerugian akibat bencana dapat
diturunkan pada tingkat yang jauh lebih rendah. Sayangnya, fenomena
yang terjadi menunjukkan bahwa kondisi budaya masyarakat Indonesia
masih jauh dari harapan. Masyarakat dan pemerintah cenderung
bersikap reaktif dan kuratif dalam menghadapi bencana. Penanggulangan
bencana lebih banyak dilakukan ketika bencana sudah terjadi. Begitu
pula kesadaran masyarakat tentang kebencanaan baru muncul sudah
ketika mengalami bencana.
Walaupun bencana sudah terjadi berulang-ulang di beberapa
wilayah di Indonesia seperti gempa bumi Aceh (2004), Yogyakarta
(2006) dan Padang (2009), namun sepertinya kesiapan terhadap
bencana masih belum juga muncul di masyarakat maupun pemerintah,
baik pusat maupun daerah. Ini menandakan bahwa pemerintah dan
masyarakat belum memerhatikan persoalan bencana dari tahap pra
bencana (mitigasi) sehingga kewaspadaan menjadi berkurang, padahal
yang diketahui bahwa Indonesia berada pada jalur gempa besar dunia
yang sewaktu waktu gempa dapat terjadi. Pemahaman pemerintah dan
masyarakat selama ini masih berfokus kepada saat bencana dan pasca
bencana sehingga sumber daya, dana dan program kurang terfokus
kepada tahap pra bencana (mitigasi). Program yang selama ini dijalankan
misalnya masih berfokus kepada program kedaruratan itu misalnya
dengan memberikan bantuan medis bagi mereka yang tertimpa bencana,
bantuan sosial kemanusiaan bagi masyarakat yang kehilangan tempat
tinggal dan sanak saudara, bantuan pemulihan mental bagi anak-anak
korban bencana dan bantuan lainnya.

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 69


Namun, bertolak dari itu semua maka pandangan yang konvensional
terhadap paradigma penanggulangan bencana yang lebih bersifat reaktif
ke arah yang lebih bersifat progresif, karena bencana itu sendiri tidak
pernah berhenti, sehingga penanggulangan bencana perlu mendapat
perhatian dan diintegrasikan dalam program pembangunan, hal ini
juga berarti memberikan porsi yang seimbang dalam hal kebijakan
penanggulangan bencana di masa akan datang, di mana penanggulangan
bencana tidak hanya fokus kepada masa kedaruratan tetapi juga kepada
saat mitigasi bencana (pra bencana).
Pada saat ini, fokus penanggulangan bencana lebih diarahkan kepada
kesiapan masyarakat dalam menghadapi bahaya dan meningkatkan
kekuatan bangunan dalam memperkecil serta meminimalisir
kemungkinan korban yang akan ditimbulkan akibat bencana yang
terjadi. Selain itu perubahan pada fokus penanggulangan bencana
juga dipertegas dengan adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. Di mana penanggulangan bencana
tidak hanya berada pada tanggap darurat saja tetapi juga pada tindakan
prabencana.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana telah memicu perubahan pandangan tentang penanggulangan
bencana di Indonesia. Pertama undang-undang manajemen bencana
telah menggeser paradigma dari tanggap darurat pada mitigasi
bencana. Manajemen bencana seharusnya tidak lagi dianggap sebagai
serangkaian tindakan khusus dan terbatas dalam menanggapi peristiwa
bencana. Sebaliknya, manajemen bencana harus mencakup manajemen
risiko secara sistematis serta berbagai pemangku kepentingan
secara aktif dapat mengendalikan, mencegah, mengidentifikasi, dan
menghilangkan potensi bahaya. Kedua, adanya pemahaman yang lebih
baik bahwa melindungi manusia dan hak asasi suatu bangsa adalah
tanggung jawab pemerintah. Manajemen bencana harus menjadi
fungsi pemerintah, yaitu untuk melindungi masyarakat dari bencana.
Pemerintah pusat dan daerah harus membentuk sebuah lembaga untuk
mendukung kegiatan pengurangan risiko bencana, meningkatkan
partisipasi masyarakat dan meningkatkan mekanisme dana untuk
mendukung kegiatan pengurangan risiko bencana. Ketiga, mengalihkan
tanggung jawab pengelolaan bencana dari pemerintah kepada seluruh
pemangku kepentingan. Undang-undang menekankan bahwa peran

70 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


dan tanggung jawab dalam pengelolaan bencana terdapat pada semua
tingkat pemerintah, masyarakat, serta lembaga lokal dan internasional.
Manajemen bencana juga harus menjadi bagian dari usaha, pengetahuan
dan domain publik, serta terintegrasi dengan peran pemerintah dalam
perencanaan dan koordinasi (Asia Disaster Preparedness Centre, 2008 dalam
Kusumasari, 2014a).
Dalam kaitannya dengan kerangka kerja mitigasi bencana, kerugian
akibat bencana dapat diminimalkan jika bencana itu dapat diramalkan,
diprediksi kapan dan risiko kerusakannya. Persoalan perangkat untuk
meramalkan bencana tidak ada yang mampu meramal dengan pasti
dan tepat kapan dan seberapa besar dampak yang ditimbulkan bencana
tersebut. Kajian bencana sebagian besar berisi tentang dampak sosial,
teknologi, politik, hingga ekonomi dan sebagian besar berisi pasca
bencana (setelah bencana terjadi).
Ketika sebuah bencana alam memporak-porandakan suatu daerah,
pertanyaan pertama yang muncul, selain tentang berapa jumlah korban
dan kerusakannya, adalah penyebab dan penjelasan tentang bencana:
apa yang menyebabkan kerusakan begitu besar? pertanyaan tentang
“penyebab bencana”, biasanya merupakan bagian yang mendasar dari
sebuah penjelasan teknis. Misalnya mengapa Kota Padang pada tahun-
tahun belakangan ini sering mengalami gempa bumi, banjir dan lainnya?
Penjelasan yang paling sering dipakai secara ilmiah adalah bahwa Kota
Padang terletak tepat pada titik tabrakan tiga lempeng bumi yang aktif
dan secara terus-menerus mengalami pergeseran secara teratur. Satu
hal yang tidak banyak diperhatikan dalam studi mitigasi bencana adalah
risiko bencana yang menekankan pada upaya menghitung potensi
cakupan dan kerusakan yang disebabkan oleh bencana alam. Banyaknya
korban jiwa maupun harta benda dalam peristiwa bencana alam
selama ini terjadi, lebih sering disebabkan oleh kurangnya kesadaran
dan pemahaman pemerintah maupun masyarakat terhadap potensi
kerentanan bencana serta upaya mitigasinya (Rahmat, Agus, 2006).
Dengan demikian, kegiatan mitigasi bencana menjadi suatu hal
yang sangat penting dalam rangka mengurangi risiko bencana seperti
yang diutarakan oleh DH dari LabEarth, Puslit Geoteknologi-LIPI yang
mengatakan, bahwa tahap mitigasi merupakan tahap yang penting dalam
penanggulangan bencana, karena dengan mitigasi yang baik dan teratur

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 71


maka diharapkan akan dapat mengurangi risiko buruk yang diakibatkan
oleh bencana alam yang terjadi, misalnya korban harta benda, jiwa
menjadi berkurang dan biaya yang dikeluarkan untuk recovery juga
menjadi minim.
Pendapat ahli Geofisika dan kegempaan dari Universitas Andalas,
BM mengatakan bahwa dari tiga tahapan penanggulangan bencana, tahap
mitigasi bencana merupakan hal yang paling penting untuk dilakukan,
karena kalau mitigasi bencana sudah dilakukan dengan sebaik-baiknya,
dan jikapun terjadi gempa maka bangunan yang ada tidak banyak
yang hancur, korban yang jatuh sedikit, dengan sedikitnya korban dan
minimnya bangunan yang rusak, maka biaya yang dikeluarkan oleh
pemerintah untuk rehabilitasi menjadi sedikit, untuk tanggap darurat
juga sedikit, tetapi jika mitigasi bencana ini diabaikan atau dilakukan
dengan asal-asalan maka ketika bencana itu datang terdapat korban yang
besar, kerusakan bangunan yang parah dan kerugian menjadi lebih besar
dan dana yang dikeluarkan untuk banyak, jika dibandingkan dengan
adanya mitigasi bencana yang dikelola dengan baik.
Berkaitan dengan anggaran, jika mitigasi bencana yang ada
dilakukan dengan baik, maka setiap US$ 1 belanja publik untuk mitigasi
dan kesiapsiagaan bencana dapat menyelamatkan US$ 7 dari kerusakan
akibat bencana (United State Geologial Survey (USGS), sedangkan
menurut The Federal emergency Management Agency (FEMA), setiap US$
1 belanja publik yang dibelanjakan untuk mitigasi dan kesiapsiagaan
bencana dapat menyelamatkan dana sebesar US$ 2 untuk respons
kedaruratan bencana.
Dengan demikian, tahap mitigasi bencana menjadi kegiatan yang
memerlukan perhatian yang serius untuk dikerjakan dengan sebaik-
baiknya, sehingga kemungkinan terburuk yang akan timbul akibat
bencana dapat diminimalisir. Bencana itu tidak dapat dihindari dan tidak
dapat pula ditebak kapan akan terjadinya, sehingga kesiapan diperlukan
untuk menyongsong semua itu. Mitigasi bencana, menghadapi faktor
ketidakpastian, di mana seperti menerapkan prinsip berasuransi, di
mana beli saja asuransi untuk keamanan, mitigasi bencana seperti itu,
di mana sifatnya terus-menerus, karena yang diketahui sifatnya bencana
alam itu terjadi adalah mencari waktu yang lengah, sehingga jika lengah
dan bencana itu terjadi, maka dapat dipastikan banyak korban yang akan
berjatuhan dan kehilangan nyawa, harta dan benda.

72 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


B. Pendekatan dalam Penanggulangan Bencana
Paradigma penanggulangan bencana dalam kapasitasnya tidak
hanya melihat bencana itu sebagai keniscayaan yang sudah menjadi
takdir untuk diterima, namun sebagai manusia tentu saja berusaha
untuk bisa mengurangi dampak yang akan ditimbulkan oleh bencana.
Bencana merupakan suatu hal yang sudah lumrah terjadi di negara
Indonesia, yang memang kondisi geografis dan geologis berada pada
daerah rawan bencana terutama bencana gempa dan tsunami. Untuk
itu, ada beberapa pendekatan yang bisa dipakai dalam rangka melakukan
pembenahan ataupun mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan
terburuk yang akan terjadi akibat bencana alam. Adapun dua pendekatan
yang dijelaskan yaitu pendekatan penanggulangan berbasis masyarakat/
komunitas dan pendekatan penanggulangan bencana berbasis mitigasi.
Kedua pendekatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas


Munculnya istilah CBDM (Community Based Disaster Management)
relatif baru dimulai di tahun 1996–1998. Penang­gulangan Bencana
Berbasis Komunitas (PBBK) atau Community Based Disaster Management
(CBDM) adalah sebuah pendekatan yang mendorong komunitas akar
rumput dalam mengelola risiko bencana lokal setempat. Upaya tersebut
memerlukan serangkaian upaya dalam melakukan interpretasi sendiri
atas anca­man dan risiko bencana yang dihadapinya, melakukan prioritas
penanganan/pengurangan risiko bencana yang dihadapinya, mengurangi
serta memantau dan mengevaluasi kinerjanya sendiri dalam upaya
pengurangan bencana (Jonatan Lassa, dkk., 2009).
Bukan hanya pemaknaan seperti di atas. Masih banyak pendefinisian
yang dikemukakan oleh para pelaku PRBBK berdasarkan pengalamannya.
Meski de­mikian, secara keseluruhan mengarah pada pemaknaan yang
cenderung sama. Berikut ini bisa dilihat beberapa definisi tersebut. Asia
Disaster Preparedness Centre mendefinisikan CBDRM sebagai berikut.
“Merupakan suatu proses manajemen risiko bencana di mana
masyarakat yang berisiko secara aktif terlibat dalam identifikasi,
analisis, pelatihan, pemantauan dan evaluasi risiko bencana dalam
rangka mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas mereka.
Ini berarti bahwa masyarakat menjadi pokok utama dalam pengambilan

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 73


keputusan dan melaksanakan kegiatan manajemen risiko bencana.
Dalam CBDRM, keterlibatan dan dukungan dari pemerintah daerah
dan nasional diperlukan. (ADPC-CBDRM-11, 2003)”.
Sedangkan tujuan dari CBDRM itu adalah sebagai berikut
a. Mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas kelompok dan
masyarakat yang rentan dalam rangka mengatasi, mencegah atau
meminimalkan kerugian dan kerusakan kehidupan, lingkungan dan
harta benda.
b. Meminimalkan penderitaan umat manusia.
c. Mempercepat pemulihan dalam Manajemen Risiko Bencana
Berbasis Komunitas (CBDRM), (Abarquez and Murshed. 2004).

Manajemen bencana berbasis masyarakat merupakan salah upaya


pemberdayaan komunitas yang dilakukan agar dapat mengelola
bencana dengan tingkat keterlibatan pihak/kelompok masyarakat
dalam perencanaan dan pemanfaatan sumber daya lokal dalam kegiatan
implementasi oleh masyarakat sendiri” (ADPC 2003, Abarquez &
Murshed 2004, Lassa, dkk., 2009:12–15).
Definisi lain tentang manajemen bencana berbasis masyarakat
(Community Based Disaster Management) menjelaskan bahwa CBDM
merupakan suatu kerangka kerja konseptual berfokus pada pengurangan
risiko, ancaman dan potensi kerugian dan bukan pada pengelolaan
bencana dan konsekuensinya. Manajemen bencana berbasis masyarakat
(CBDM) menempatkan kelompok masyarakat sebagai pelaku utama
sejak tingkatan yang paling kecil, yaitu kelompok Rukun Tetangga (RT),
Rukun Warga (RW), dusun, kampung, sampai kelompok yang lebih
besar yaitu desa, kelurahan, kecamatan bahkan sampai tingkat kota dan
kabupaten. Manajemen bencana berbasis komunitas dapat terealisasi,
jika ada tokoh penggerak (dari aktivitas atau tokoh setempat), konsep
yang jelas, objek yang jelas, kohesivitas masyarakat setempat, bahasa
komunikasi kerakyatan yang tepat berbasis kearifan budaya setempat
dan jaringan informasi yang mudah diakses setiap saat (Wiwik Ratna
Kumarasari, 2002).
Di lain hal, pola-pola yang tidak melibatkan masyarakat dalam
pencanangan kesiapan penanggulangan bencana, telah menimbulkan
kerugian bagi pemerintah Kota Padang, beberapa alat pendeteksi

74 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


gempa dan tsunami yang dipasang di beberapa titik di pantai barat
Kota Padang mengalami kerusakan atau ada komponen yang hilang
karena dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab, padahal alat
tersebut harganya cukup mahal dan merupakan alat yang penting dalam
rangka Early Warning System apabila terjadi gempa bumi disertai dengan
tsunami (Hasil wawancara dengan kepala BPBDPK, pada tanggal 10
Agustus 2016). Dengan demikian, pengikutsertaan masyarakat dalam
setiap kegiatan yang dilakukan pemerintah merupakan suatu keharusan,
mengingat persoalan kebencanaan bukan hanya tanggung jawab
pemerintah semata, tetapi juga perlu melibatkan komunitas masyarakat
dan dunia usaha. Manajemen bencana berbasis masyarakat memfokuskan
kepada masyarakat sebagai aktor utama yang mengembangkan dan
menerapkan kebijakan penting yang paling sesuai dengan mereka dalam
hal penanggulangan bencana (Kusumasari, 2014a). Sehingga dengan
demikian, pekerjaan penanggulangan bencana dilaksanakan oleh dan
bersama dengan komunitas di mana mereka berperan kunci dalam
perencanaan, desain, penyelenggaraan, pengawasan, dan evaluasi.
Disepakati bahwa dalam pendekatan ini komunitas adalah pelaku
utama yang membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan penting
sehubungan dengan penanggulangan bencana (Jonatan lassa, dkk., 2009)
Twigg (2006) memberikan pendapat bahwa makna dari berbasis
komunitas dalam manajemen bencana berbasis komunitas tentunya
bisa diperluas sebagai berikut.
a. Adanya partisipasi penuh yang melibatkan pula partisipasi pihak
rentan, laki-laki dan perempuan; anak-anak, kelompok lanjut usia,
orang-orang yang berkebutuhan khusus, ras marginal, dan sebagainya.
b. Sinonim dengan bottom-up bukan top-down, partisipasi penuh, akses
dan kontrol, pendekatan inklusif sense of belonging terhadap sistem
penanganan bencana yang sudah, sedang, dan akan dibangun.
Pendekatan top-down pada awal kegiatan memungkinkan untuk
dilakukan, namun seiring dengan waktu, masyarakat disiapkan
untuk dapat mandiri sehingga mekanisme bottom-up dapat lebih
dominan.
c. Menggunakan konsep “dari, oleh, dan untuk” masyarakat dalam
keseluruhan proses, di mana masyarakat yang mengontrol sistem
dan bukan dikontrol sistem termasuk pula pada Sistem Peringatan
Dini.

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 75


Merujuk pendapat Lorna P. Victoria (2007), yang merupakan elemen
dasar dari pada manajemen bencana berbasis komunitas ini adalah
partisipasi masyarakat, prioritas kepada kelompok rentan, pengurangan
risiko kepada kelompok tertentu, kapasitas dan mekanisme yang ada,
mengurangi kerentanan dengan memperkuat kapasitas; membangun
masyarakat tangguh bencana, dukungan pengurangan risiko bencana
dan pembangunan, adanya dukungan dan fasilitasi dari pihak luar.
Sedangkan perubahan paradigma yang ada pada manajemen bencana
berbasis komunitas ini adalah dari tanggap darurat ke manajemen
risiko, perlindungan bagi rakyat adalah tanggung jawab pemerintah
dan salah satu hak dasar rakyat, dari tanggung jawab pemerintah
menjadi tanggung jawab bersama dengan masyarakat (Asia Disaster
Preparedness Centre, 2008).
Untuk konteks Indonesia, pengurangan risiko bencana dilakukan
dengan mempertimbangkan aspek berkelanjutan dan partisipasi dari
semua pihak terkait. Upaya ini dilakukan dengan komitmen yang kuat
dengan mengedepankan tindakan-tindakan yang harus diprioritaskan.
Penyusunan prioritas ini perlu dilakukan untuk membangun dasar
yang kuat dalam melaksanakan upaya pengurangan risiko bencana yang
berkelanjutan serta mengakomodasikan kesepakatan internasional dan
regional dalam rangka mewujudkan upaya bersama yang terpadu. Lima
prioritas pengurangan risiko bencana yang harus dilakukan adalah
(Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Risiko Bencana (RAN-PRB),
2006-2009).
a. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional
maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh
kelembagaan yang kuat.
b. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta
menerapkan sistem peringatan dini.
c. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk
membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap
bencana pada semua tingkatan masyarakat.
d. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.
e. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan
masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif (RAN-PRB,
2006-2009).

76 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Dalam implementasi manajemen bencana berbasis masyarakat
perlibatan dan partisipasi multisektoral dan multilevel yang ada tidak
hanya untuk melengkapi upaya pemerintah dalam mengelola bencana,
tetapi juga dianggap sebagai agen pembangunan untuk meningkatkan
kesadaran publik (BNBP, 2008). Kegiatan-kegiatan CBDM meliputi
seperti perencanaan kontingensi, workshop, pemetaan daerah rawan,
diskusi, dialog dan dengar pendapat, pelatihan, monitoring dan evaluasi
yang melibatkan masyarakat, LSM, lembaga donor dan lembaga
pemerintah. Keterlibatan para pemangku kepentingan dalam kegiatan
bencana dilakukan di bawah kendali CBDM.

2. Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Mitigasi


Kebijakan penanggulangan bencana yang berbasis mitigasi bencana
merupakan paradigma yang berusaha dikembangkan untuk pengurangan
risiko bencana. Dalam mitigasi bencana menurut Twigg (2000) adalah

“Mitigasi mengurangi dan membatasi dampak kerusakan dan


gangguan bahaya pada elemen berisiko. Ukuran berkisar dari
fisik seperti pekerjaan rekayasa seperti jembatan, tanggul
pelindung, tanggul, dan desain bangunan aman untuk komponen
non-struktural, intervensi seperti penilaian masyarakat risiko,
masyarakat risiko perencanaan pengurangan, kesadaran masyarakat,
program keamanan pangan, tabungan kelompok, koperasi, tanaman
asuransi, organisasi masyarakat manajemen bencana, penguatan
dan advokasi tentang bencana dan isu-isu pembangunan, peraturan
dan zonasi tata guna lahan. Mitigasi dan pencegahan intervensi
secara langsung terkait dengan perencanaan pembangunan. Mitigasi
bencana adalah intrinsik untuk pembangunan berkelanjutan”.

Lona P. Victoria (2007) mengemukakan bahwa mitigasi bencana


dan pengurangan risiko bencana juga menawarkan kesempatan besar
untuk bisa diintegrasikan manajemen bencana ke dalam proses
perencanaan pembangunan. Dengan demikian nantinya, persoalan
kebencanaan merupakan suatu hal yang penting dalam pembangunan.
Misalnya Kota Padang, sebelum terjadinya Gempa Aceh tahun 2004,
Kota Padang merupakan kota dengan kawasan pantai yang menarik
untuk dikembangkan, sehingga dalam rencana strategis Kota Padang,
Kota Padang diprioritaskan menjadi sebuah kota dengan julukan Water

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 77


From City, yang termuat dalam RTRW Kota Padang Tahun 2008–2028, di
mana Kota Padang mempunyai Kota Kembar yang hampir mirip dengan
Kota Padang yaitu di Negara Vietnam yaitu Kota Vũng Tàu sebuah
kota di Provinsi Bà Rịa–Vũng Tàu dan Kota Hildesheim, sebuah kota
di Lower Saxony di Jerman.
Namun setelah terjadinya Gempa Padang Tahun 2009, rencana
pembangunan menjadi berubah, di mana perubahan tersebut tertuang
dalam revisi RTRW Kota Padang yang dilakukan pada Tahun 2010.
Perubahan yang terjadi pada RTRW mulai mempertimbangkan aspek
kebencanaan dalam perencanaan daerah. RTRW dibuat dengan
tujuan adalah Kota Padang yang metropolitan yang berbasis mitigasi
bencana. Dengan demikian, kebencanaan merupakan hal sangat
penting, mengingat Kota Padang yang rawan bencana, sehingga tidak
memungkinkan untuk melakukan pembangunan di daerah-daerah yang
rawan bencana. Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam rangka
memasukkan manajemen bencana ke dalam proses pembangunan
adalah dengan adanya pembuatan zonasi-zonasi gempa, di mana diberi
tanda dengan warna merah, kuning dan hijau. Dengan demikian,
rekomendasi yang dikeluarkan pemerintah adalah dalam perencanaan
pembangunan adanya pelarangan untuk membangun di daerah yang
zona merah, karena wilayah tersebut merupakan daerah yang rawan
bencana.
Selain menawarkan kesempatan yang besar dalam perencanaan
pembangunan, mitigasi bencana juga merupakan upaya yang dilakukan
untuk memberikan perlindungan sejak dini kepada masyarakat terhadap
bahaya yang akan timbul akibat bencana alam yang terjadi. Mengingat
sekarang ini paradigma penanggulangan bencana telah mengalami
pergeseran hal ini sesuai dengan Deklarasi Kerangka Aksi Hyogo yang
disebut dengan The Hyogo Framework for Action (HFA) bahwa tahun 2005-
2015 adalah merupakan eranya kesiapsiagaan dalam penanggulangan
bencana, sehingga penanggulangan bencana diselenggarakan secara
komprehensif, di mana lebih memfokuskan kepada upaya pembangunan
kesiapsiagaan dan mitigasi (tahap pra bencana) daripada penanganan
korban bencana (tanggap darurat ). Adapun yang merupakan prioritas
kegiatan dari The Hyogo Framework for Action (HFA) adalah sebagai
berikut.

78 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


a. Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana (PRB) ditempatkan
sebagai prioritas nasional dan lokal dengan dasar institusional yang
kuat dalam pelaksanaannya.
b. Mengidentifikasi, mengevaluasi, dan memonitor risiko-risiko
bencana dan meningkatkan pemanfaatan peringatan dini.
c. Menggunakan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk
membangun suatu budaya aman dan ketahanan pada semua
tingkatan.
d. Mengurangi faktor-faktor risiko dasar.
e. Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana dengan respons yang
efektif pada semua tingkatan. Memperkuat kapasitas-kapasitas pada
tingkat komunitas untuk mengurangi risiko bencana pada tingkat
lokal, di mana individu dan komunitas memobilisir sumber daya
lokal untuk upaya mengurangi kerentanan terhadap bahaya.

Penting dicatatkan di Indonesia, dengan terbitnya Undang


Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana, telah memulai era baru penanggulangan
bencana yang lebih komprehensif, mulai dari prabencana, tanggap
darurat, sampai pascabencana. Pembentukan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) juga merupakan pengejawantahan
dari UU No. 23 Tahun 2007, BNPB dibentuk dalam rangka
melaksanakan fungsinya sebagai komando, koordinator dan pelaksana
dalam hal penanggulangan bencana di Indonesia. Adapun pembentukan
BNPB ini didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008
tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dengan
dibentuknya BNPB di tingkat nasional, maka untuk tingkat provinsi
dan kabupaten/kota dibentuk juga lembaga yang sifatnya vertikal dari
BNPB yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tingkat di
tingkat provinsi, kabupaten/kota. Dengan demikian, penyelenggaraan
penanggulangan bencana lembaganya ada mulai dari pusat sampai ke
daerah kabupaten/kota.
Selain adanya badan khusus yang menyelenggarakan penanggulangan
bencana (BNPB dan BPBD), dalam praktiknya jika bencana terjadi maka
lembaga-lembaga lain juga ikut ambil peran, seperti SKPD terkait dalam

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 79


kebencanaan, bidang kesehatan, bidang sosial, TNI dan POLRI, serta
lembaga kemasyarakatan seperti: Organisasi Radio Republik Indonesia
(ORARI), RAPI, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia
(MPBI), dunia usaha dan organisasi masyarakat lainnya yang peduli pada
bencana. Sehingga kesulitan yang dihadapi saat bencana terjadi, sedikit
banyaknya terbantu dengan adanya keterlibatan berbagai unsur yang
ada, membantu meringankan beban yang terkena musibah bencana.
Untuk itu, dalam rangka mengurangi risiko bencana maka perlu
adanya upaya mitigasi dalam penanggulangan bencana. Hal ini
berarti bahwa perlu adanya upaya dari masyarakat untuk melakukan
pengenalan terhadap daerah yang rentan terhadap bencana dan
melakukan pembekalan kesiapsiagaan kepada masyarakat. Pembekalan
dapat dilakukan dengan adanya peningkatan kapasitas masyarakat
dalam hal kebencanaan, sehingga masyarakat mengerti dan Paham
terhadap apa yang mesti dilakukan jika bencana itu datang melanda.
Sehingga dengan demikian, dengan adanya peningkatan kapasitas
masyarakat maka akan dapat mengurangi korban jiwa yang akan
ditimbulkan akibat bencana.
Kegiatan mitigasi dapat dilakukan berupa adanya perubahan
perilaku masyarakat yang ada di kala bencana datang melanda, dengan
melakukan sosialisasi, simulasi sehingga mereka terbiasa menghadapi
bencana, selain itu melalui pembangunan gedung atau rumah yang
tahan terhadap gempa, penataan pemukiman dan perumahan di daerah
yang zonasinya aman, perubahan RTRW yang berbasis mitigasi bencana.
Secara umum yang dimaksud dengan mitigasi bencana itu adalah apa pun
upaya yang dilakukan untuk mengurangi atau meminimalisir dampak
atau kerugian yang akan diakibatkan oleh terjadinya bencana. Sementara
dalam PP 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana, mitigasi bencana didefinisikan sebagai serangkaian upaya
untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana. Sedangkan Coppala (2011: 209) mendefinisikan
Mitigasi sebagai berikut.

“Mitigasi didefinisikan sebagai upaya berkelanjutan yang


dilakukan untuk mengurangi risiko bahaya melalui pengurangan
kemungkinan dan/atau komponen konsekuensi dari risiko bahaya
tersebut. Dengan kata lain, bahwa mitigasi berusaha sebaik-baiknya

80 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


membuat bahaya itu berkurang atau bahkan tidak terjadi sama
sekali, atau apabila terjadi maka efek negatifnya dapat dikurangi”.

Namun dalam implementasinya, mitigasi bencana masih minim


dalam praktik kehidupan masyarakat terutama di daerah yang rawan
bencana, hal ini disebabkan oleh masyarakatnya belum memiliki
pengetahuan yang memadai tentang kebencanaan dan kurang adaptif
terhadap proses rehabilitasi setelah bencana. Rendahnya kemampuan
ini menyebabkan lambatnya proses pemulihan yang terjadi sehingga
sumber daya yang dikerahkan juga menjadi besar. Untuk itu, perlu
adanya usaha yang dilakukan untuk mitigasi bencana. Dalam mitigasi
bencana diperlukan adanya kajian risiko bencana, sehingga bisa
diketahui kira-kira seberapa besar dan parah bencana yang akan terjadi,
untuk itu pembedaan bencana berdasarkan penyebabnya juga menjadi
penting mengingat beda bencana beda juga penanganannya. Sehingga
perlu adanya pemetaan terhadap risiko yang akurat. Bagi pemerintah
daerah ini penting, paradigma mitigasi bencana merupakan paradigma
dengan melakukan kesiapsiagaan sebelum bencana itu datang, maka
kajian risiko bencana menjadi penting, setelah itu ada dibuat rencana
penanggulangan bencana, selanjutnya ada rencana aksi penanggulangan
risiko bencana, kemudian disusun Rencana Kedaruratan Pengurangan
Risiko Bencana daerah (RKPRB) dan pembuatan rencana kontijensi
per ancaman bencana.
Dengan demikian, bagi daerah yang memiliki tingkat kerawanan
bencana yang sangat tinggi, maka untuk penjabaran mitigasi risiko
bencana ke dalam bentuk perencanaan bahkan harus sangat detail.
Jika diperlukan, maka penyusunan skenario yang ada harus sampai
pada kejadian terburuk sekalipun, karena nantinya akan menyangkut
sumber daya yang tersedia, yaitu berupa orang, peralatan dan anggaraan.
Dengan adanya pemetaan tersebut akan terlihat adanya kekurangan
atau kelemahan yang perlu dicarikan solusinya, dari mana akan di-
tambahkan, sehingga dengan demikian perencanaan dalam hal mitigasi
bencana memerlukan pertimbangan beberapa hal berikut ini,
a. Kerentanan fisik (konstruksi, kepadatan bangunan, dan bahan
bangunan).
b. Kerentanan ekonomi (tingkat kemiskinan), kerentanan sosial
(struktur umur, kepadatan penduduk, segregasi sosial).

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 81


c. Ketersediaan fasilitas (kesehatan, gawat darurat, tempat evakuasi,
pengungsian).
d. Identifikasi macam bahaya (alamiah, antropogenik).
e. Kelengkapan utilitas (sistem peringatan dini, SOP penanganan
bencana).

Hal yang tidak kalah urgensinya dari pada menyusun mitigasi


bencana adalah dibutuhkan pendekatan yang berbeda untuk setiap
bencana yang ada. Sehingga dalam upaya untuk mengurangi jumlah
korban dan harta benda serta kerusakan lingkungan maka harus
diketahui dan paham terhadap karakteristik bencana yang ada, karena
yang sering terjadi adalah bencana tunggal mengakibatkan efek yang
besar dikarenakan adanya bencana ikutan. Untuk itu, membangun
masyarakat yang memiliki kapasitas dan kapabilitas menjadi suatu hal
yang penting khususnya di daerah yang rawan bencana, sehingga kelak
mereka bisa menjadi penolong bagi diri mereka sendiri dan lingkungan
jika bencana datang melanda.
Adanya kesadaran masyarakat dengan ditingkatkan kapasitasnya,
sehingga kesiapan dalam menghadapi bencana menjadi sebuah budaya
dan menjadi perilaku masyarakat. Dengan terbangunnya kesadaran
tersebut masyarakat memiliki kemampuan untuk responsif terhadap
bencana, adanya sistem peringatan dini yang terbangun dan antisipasi
terhadap bencana, tanggap darurat dan pascabencana. Kegiatan ini perlu
dilakukan terus menerus sehingga tertanam dalam pikiran dan sanubari
masyarakat. Untuk efektifnya kegiatan ini tentu saja perlu dilakukan di
lingkungan sekolah misalnya, dengan melakukan pembekalan kepada
anak-anak sejak dini, maka kelak mereka dapat mengerti dan paham
tentang kebencanaan.
Pemahaman yang ada tersebut nantinya dapat ditularkan
pengetahuannya dalam keluarga, sehingga masing-masing keluarga
yang ada akan memahami dan kapasitasnya tentang kebencanaan
akan meningkat, sehingga dengan demikian masing-masing keluarga
diharapkan telah memiliki rencana strategis bagi keluarganya yang
mana rencana strategis tersebut telah dibicarakan dalam keluarga,
sehingga di saat bencana terjadi keluarga tersebut sudah bisa melakukan
evakuasi mandiri, masing-masing anggota keluarga sudah mengetahui
ke mana mereka harus berkumpul, jika suatu saat bencana terjadi dan

82 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


masing-masing anggota keluarga sedang berada di berbagai tempat
yang berbeda. Hal ini perlu dibicarakan di dalam keluarga, sehingga
saat bencana terjadi anggota keluarga tidak saling mencari satu dengan
yang lainnya, sehingga menimbulkan kepanikan, tetapi cukup dibuatkan
SOP nya ke mana anggota keluarga harus berkumpul (titik kumpul yang
ditentukan) jika terjadi bencana gempa bumi. Selain itu pendidikan
kebencanaan juga bisa dilakukan dengan memberikan sosialisasi,
penyuluhan ke masyarakat dan sekolah-sekolah, adapun materi yang
diberikan tentunya yang menarik dan mudah dipahami oleh masyarakat.
Perubahan sikap perilaku masyarakat Indonesia tidak dapat
dilakukan dalam waktu singkat. Itu artinya informasi dan pengetahuan
deskriptif saja tanpa pengalaman yang menyertainya, tentang risiko
bencana alam tidak akan tumbuh menjadi pencetus perilaku manusia
terkait dengan kesiapan menghadapi bencana. Secanggih apa pun
teknologi pendeteksi gempa bumi yang ada, jika tidak diikuti oleh
perilaku sadar dan siaga bencana dari masyarakat, pemanfaatannya
tidak akan optimal. Kesadaran dan kesiagaan menghadapi bencana
inilah yang seharusnya menjadi perubahan perilaku masyarakat, agar
harapan zero victim dalam setiap kejadian bencana alam dapat tercapai
secara maksimal (Kwartarini Wahyu Yuniarti, dkk., 2002: 137)
Untuk kelembagaan kebencanaannya adalah dengan melakukan
penguatan kelembagaan dalam hal ini BPBDPK, di mana pegawai-
pegawai yang ada di BPBDPK tersebut diberikan pelatihan-pelatihan
mengenai kebencanaan, misalnya dalam hal pemakaian peralatan,
pelatihan penanganan korban, pelatihan pembuatan program mitigasi
bencana, serta meningkatkan pemahaman mereka tentang kebijakan
kebencanaan yang ada. Hal ini dilakukan mengingat BPBDPK merupakan
lembaga yang strategis dan memiliki tanggung jawab yang berat, hal ini
dikarenakan banyak nyawa yang dipertaruhkan, terutama bagi daerah
yang rawan bencana seperti Kota Padang.

Bab 4 | Kebijakan Penanggulangan Bencana 83


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB
5
BELAJAR DARI PENGALAMAN
KOTA PADANG DALAM
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MITIGASI
PENANGGULANGAN BENCANA
GEMPA BUMI

A. Implementasi Kebijakan Mitigasi Penanggulangan Bencana


Tahap mitigasi bencana merupakan bagian dari penanggulangan
bencana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
Pada tahap ini dijelaskan bahwa mitigasi bencana adalah serangkaian
upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana. Sementara itu, berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor
21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana pada
tahapan mitigasi bencana yang terdapat pada Pasal 20 ayat 1 adalah
mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dilakukan
untuk mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan oleh bencana
terhadap masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.
Pada ayat 2 dalam UU tersebut dijelaskan bahwa kegiatan mitigasi
bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: (a)
perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang yang berdasarkan pada
analisis risiko bencana; (b) pengaturan pembangunan, pembangunan
infrastruktur, dan tata bangunan; dan (c) penyelenggaraan pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan, baik secara konvensional maupun modern.
Pemahaman pada peraturan pemerintah tersebut tentang mitigasi
bencana sama dengan yang terdapat dalam Peraturan Daerah Provinsi
Sumatera Barat No. 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Pasal 40 ayit 1 dan 2, serta Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 3
Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 37 ayat 1 dan 2.

85
Dengan demikian, berdasarkan aturan yang ada tersebut maka
implementasi kebijakan penanggulangan bencana berbasis mitigasi
bencana menjadi krusial untuk diterapkan guna mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika bencana
datang melanda.
Adapun kebijakan penanggulangan bencana di Kota Padang
didasarkan kepada Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Penanggulangan Bencana. Dalam mengimplementasikan peraturan ini
yang menjadi leading sectornya adalah Badan Penanggulangan Bencana
Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBDPK) Kota Padang. Berbagai
program dan kegiatan telah dilakukan oleh BPBDPK terkait dengan
implementasi kebijakan penanggulangan bencana yang terkait dengan
kegiatan mitigasi bencana.
Kegiatan mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana
bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Mitigasi
bencana dilakukan dengan pelaksanaan penataan ruang, pengaturan
pembangunan, pembangunan infrastruktur dan penyelenggaraan
pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional
maupun modern. Untuk itu Kota Padang sebagai daerah yang rawan
terhadap bencana gempa bumi maka Pemerintah Kota Padang telah
melakukan beberapa kebijakan mitigasi bencana yang diamanatkan
dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Penanggulangan
Bencana, yakni berupa kegiatan yang dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Pelaksanaan Tata Ruang yang Berbasis Mitigasi Bencana


Peruntukan terhadap tata ruang wilayah yang berbasis terhadap
mitigasi bencana menjadi penting hal ini didasarkan bahwa Kota Padang
merupakan salah satu daerah yang memiliki tingkat kerentanan dan
kerawanan yang tinggi terhadap bencana alam berupa gempa bumi.
Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan adanya peruntukan tata
ruang Kota Padang yang berbasis mitigasi terhadap bencana. Ini juga
sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (poin menimbang huruf e)
yang menyatakan bahwa bahwa secara geografis Negara Kesatuan
Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga
diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai

86 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan
penghidupan. Selain itu program ini juga sejalan dengan prioritas
pembangunan Kota Padang tahun 2014-2019 yaitu pada poin 9, yang
menyebutkan bahwa penataan lingkungan perkotaan yang hijau,
berkelanjutan dan berbasis mitigasi bencana. ini berarti arah penataan
ruang Kota Padang ke depan berorientasi kepada mitigasi bencana.
Sebelum kejadian Gempa Aceh Tahun 2004, untuk peruntukan
tata ruang wilayah Kota Padang lebih diarahkan ke Timur Kota Padang,
yaitu dengan membangun Kawasan Pantai Padang atau dengan istilah
lainnya Padang water from city. Namun, perencanaan tersebut mengalami
perubahan seiring dengan terjadinya gempa bumi tahun 2007 yang
berpusat di Solok dan Kota Padang adalah salah satu daerah yang
terkena dampaknya. Dengan kejadian tersebut maka terjadi perubahan
peruntukan pembangunan wilayah di Kota Padang, ditambah dengan
adanya hasil penelitian dari LIPI dan NTU Singapura yang menyatakan
Kota Padang merupakan daerah yang rawan terhadap gempa dan
tsunami yang diakibatkan oleh Megatrust Mentawai yang diperkirakan
mempunyai kekuatan gempa sampai 8,8 SR.
Dengan adanya beberapa kejadian bencana gempa bumi tersebut,
maka Kota Padang melakukan revisi terhadap Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) yang merupakan pedoman pemerintah kota dalam
melakukan penataan pembangunan wilayah. RTRW Kota Padang
disusun dalam jangka waktu 20 tahun. Pedoman dalam tersebut maka
dilakukan revisi terhadap RTRW Kota Padang tahun yaitu periode
2008-2028. Dalam perkembangannya adalah Pemerintah Kota Padang
Tahun 2010 sudah melakukan penyusunan RTRW Kota Padang. Revisi
ini dilakukan dalam rangka menyikapi kejadian gempa bumi tahun 2009
yang telah banyak menelan korban harta benda maupun jiwa. Untuk
itu revisi terhadap ini merupakan salah satu langkah dalam mitigasi
bencana, karena pada RTRW sebelumnya belum mempertimbangkan
mitigasi bencana.
Revisi terhadap RTRW tersebut tertuang dalam perubahan RTRW
2010–2030 yang telah ditetapkan dalam Perda Kota Padang No. 4 Tahun
2012. Perda ini menjadi acuan bagi Pemko Padang dan masyarakat umum
dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pembangunan di
Kota Padang. Salah satu revisi yang cukup signifikan dalam RTRW

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 87


tersebut adalah memperhitungkan daerah-daerah yang rawan terhadap
bencana gempa bumi dan tsunami. Maka dalam perbaikannya dijelaskan
bahwa membatasi pengembangan hunian di kawasan sepanjang pantai
yang rawan terhadap bencana tsunami (Pasal 14).
Dalam rangka mitigasi bencana pemerintah kota juga melakukan
strategi-strategi yaitu membuat rencana-rencana ruang evakuasi,
tempat evakuasi, jalur evakuasi dengan melakukan koordinasi dengan
SKPD terkait dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum. Selain itu, dengan
membuat zonasi-zonasi gempa bumi berupa zona merah, zona kuning
dan zona hijau. Dalam pembuatan zonasi ini dikerjakan oleh BPBDPK
bekerja sama dengan Kogami. Zonasi yang dibuat ini pada awalnya
yaitu tahun 2010 zona merah tsunami tidak mempertimbangkan
kepadatan bangunan, sehingga zona merah jauh sampai ke Jalan By
Pass. Namun, dengan adanya revisi tahun 2013, pembuatan zonasi
mulai memperhitungkan kepadatan bangunan, sehingga luasnya zonasi
merah sudah berkurang dari yang sebelumnya.
Pada perkembangannya, peruntukan tata ruang tersebut pemerintah
daerah sudah menentukan kawasan rawan bencana. Namun belum
sepenuhnya dapat berjalan dengan baik, hal ini dikarenakan masih
terdapatnya kawasan-kawasan rawan bencana yang tetap digunakan
masyarakat untuk perumahan seperti Tabiang Banda Gadang, Parupuk
Tabiang. Sebenarnya daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang
berada pada zona merah bencana gempa bumi dan tsunami karena
daerah tersebut berada pada di pinggir pantai yang rawan terhadap
gempa bumi dan tsunami. Namun, karena daerah tersebut sudah
terlanjur membangun pemukiman di daerah rawan bencana, maka ada
alternatif yang ditawarkan oleh pemerintah kota yaitu berupa relokasi
terhadap pemukiman tersebut atau tetap mempertahankan mereka di
sana dengan tidak menambah sarana dan prasarana yang ada. Namun
yang terjadi adalah pemukiman yang ada tetap dipertahankan dengan
alasan kemanusiaan dan secara emosional telah lama menetap di
wilayah tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya tahun 2015 dilakukan lagi
peninjauan terhadap RTRW Kota Padang di mana dalam salah satu
kajiannya memasukkan kajian terhadap risiko bencana, dalam hal ini
kajian risiko bencana dilakukan oleh BPBD, yaitu berupa kajian risiko

88 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


bencana gempa bumi. Dalam kajian tersebut diberikan aturan yang tegas
bahwa dalam peruntukan ruang dan pola ruang dengan menyarankan
SKPD terkait dalam hal ini Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Padang
untuk tidak memberi izin kepada masyarakat yang membangun pada
daerah rawan bencana karena berdampak buruk terhadap masyarakat.
Sejalan dengan itu maka pemberian izin mendirikan bangunan
seperti hotel dan perumahan perlu memerhatikan daerah rawan
bencana, sedangkan untuk izin bangunan swasta yang bertingkat
(hotel) maka disarankan supaya dapat membuat ruang evakuasi,
tempat evakuasi, jalur evakuasi, serta mengatur peruntukan ruang yang
aman terhadap bencana. Pembangunan tersebut merupakan salah satu
program dalam RTRW dalam rangka mitigasi bencana gempa bumi. Hal
lain yang juga disarankan kepada pemerintah dan swasta adalah supaya
bangunan-bangunan bertingkat yang ada bisa dijadikan shelter (TES =
Tempat Evakuasi Sementara). Salah satu langkah yang ditempuh oleh
pemerintah Kota Padang saat ini dalam memberikan izin mendirikan
bangunan adalah dengan menawarkan kepada pihak terkait untuk
membuat surat pernyataan bahwa gedung yang akan dibangun bisa
dipergunakan sebagai shelter jika suatu saat nanti terjadi gempa bumi
yang disertai dengan tsunami.
Untuk itu, tata ruang yang berbasis mitigasi bencana di Kota Padang
masuk dalam prioritas pembangunan Kota Padang Tahun 2014–2019
yaitu penataan lingkungan perkotaan yang hijau, berkelanjutan dan
berbasis mitigasi bencana. Hal ini tertuang dalam tujuan RTRW Kota
Padang yaitu Kota Padang yang metropolitan yang berbasis mitigasi
bencana. Dengan demikian, untuk mendukung tujuan dari RTRW
tersebut maka pemerintah dalam hal ini melalui dinas terkait akan
melakukan berbagai program/kegiatan, salah satunya adalah adanya
kerja sama dengan pihak swasta, di mana pemilik gedung-gedung
bertingkat seperti hotel, serta adanya pembuatan tsunami save zone.
Tsunami save zone merupakan tanda atau rambu yang dipasang pada
jalan raya yang menandakan bahwa daerah tersebut sudah berada
pada titik aman bencana gelombang tsunami. Tanda ini dipasang untuk
memberikan pengetahuan kepada masyarakat terhadap daerah atau
wilayah yang telah mencapai batas aman terhadap bencana gempa yang
diikuti tsunami.

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 89


Program ini sudah berjalan sejak awal tahun 2017, ditandai dengan
telah terpasangnya tsunami save zone di beberapa ruas jalan di Kota
Padang. Dengan adanya pemasangan atau penanda ini diharapkan
masyarakat mengerti dan paham bahwa tempat mereka berada sudah
aman terhadap ancaman tsunami. Sehingga apabila sudah mencapai
batas ini masyarakat tidak perlu lagi mengungsi ke tempat lain yang
lebih aman, dengan beradanya masyarakat pada zona ini, maka
kekhawatiran terhadap tsunami tidak perlu dicemaskan lagi. Berikut
ini dapat dilihat pada gambar 5.1.

Sumber: BPBDPK Kota Padang, 2017


Gambar 5.1 Tsunami Save Zone di Beberapa Ruas Jalan di Kota Padang

Selain itu terkait dengan infrastruktur dan pemukiman maka


penataan ruang yang berbasis ancaman, perlu dilakukan dengan
menggeser manusianya menjauhi ancaman, hal ini bisa dilakukan
dengan penggeseran pemukiman, atau dibuatkan ke arah vertikal,
bertingkat dan atau berada di atas elevasi. Hal ini dilakukan karena di
Kota Padang, kebijakan relokasi terhadap pemukiman tidak ada, hal
ini dikarenakan keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah
kota dan ketersediaan lahan yang minim atau tidak ada. Untuk itu, bagi
masyarakat yang sudah terlanjur membangun di daerah rawan bencana
maka edukasi dan sosialisasi kepada mereka sangat diperlukan supaya
mereka tanggap dan responsif terhadap bencana yang ada. Selain itu,
terkait dengan penataan ruang maka Pemerintah Kota Padang perlu

90 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


menyiasati bahwa salah satu aspek risiko yang ditimbulkan oleh bencana
alam adalah bidang ekonomi. Di mana tentu saja masyarakat ekonomi
lemah lebih rentan dibandingkan dengan yang kuat, hal ini terkait
dengan keterbatasan terhadap akses dan modal. Dengan demikian,
Pemerintah Kota Padang perlu mengembangkan daerah-daerah ekonomi
baru seperti daerah di pinggir Pantai Padang yang merupakan salah
satu destinasi baru wisata di Kota Padang. Dengan banyaknya orang
berkunjung ke Pantai Padang tentunya akan berdampak baik bagi sektor
ekonomi masyarakat sekitar.
Salah satu daerah pinggir Pantai Padang yang dikembangkan adalah
pembangunan Taman Muaro Lasak di Pantai Padang telah menjadi daya
tarik tersendiri bagi Kota Padang. Kota Padang mulai berbenah diri dan
menjadikan kawasan pantai yang dulunya “horor” untuk dikunjungi
sekarang sudah berubah menjadi salah satu tujuan wisata yang menarik
di Kota Padang. Strategi ini menjadi berjalan dengan mengembangkan
wilayah pantai yang berbasis mitigasi bencana sekaligus menjadikan
wilayah pantai wilayah pertumbuhan baru ekonomi masyarakat,
sehingga ketakutan masyarakat selama ini untuk berkunjung ke Pantai
Padang berangsur-angsur mulai hilang.
Namun, masih terdapat hal yang menjadi ganjalan dalam penataan
ruang Kota Padang saat ini, di mana kebijakan tata ruang yang ada
belum sepenuhnya mengadopsi ancaman, misalnya di wilayah Air
Pacah, Kota Padang menurut penelitian yang dilakukan oleh ahli geologi
Sumatera Barat adalah merupakan daerah zona merah untuk amplifikasi
gempa bumi dan sudah ada peta ancaman gempanya. Dengan arti kata,
jikalau terjadi gempa di Padang maka daerah yang paling parah terkena
dampaknya adalah Air Pacah, hal ini dikarenakan wilayah Air Pacah
memiliki zonasi gempanya paling tinggi amplifikasinya dan getaran
yang dirasakan lebih besar. Akan tetapi sepertinya pemerintah kota
mengabaikan persoalan itu karena yang terjadi sekarang di kawasan Air
Pacah tersebut malah terdapat beberapa gedung perkantoran, termasuk
pusat perkantoran pemerintahan Kota Padang. Padahal sudah dilakukan
kajian risiko bencana oleh BPBDPK, yang menyatakan bahwa daerah
tersebut termasuk zona merah bencana, namun sepertinya kajian yang
dilakukan oleh lembaga terkait belum dimasukkan dalam rencana
pembangunan daerah. Semestinya penelitian yang sudah lengkap dan
detail tersebut dapat dijadikan acuan untuk perencanaan pembangunan

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 91


yang akan dilakukan ke depan, mengingat Kota Padang yang rawan
bencana gempa bumi.

2. Pengaturan Pembangunan, Pengaturan Infrastruktur, dan Tata


Bangunan

Bagi daerah yang memiliki tingkat kerentanan dan kerawanan yang


tinggi terhadap ancaman gempa bumi seperti Kota Padang, tentunya
perlu memerhatikan aspek pengaturan pembangunan fisik, pengaturan
infrastruktur dan penataan bangunan.
a. Pengaturan Pembangunan Gedung dan Perumahan
Berdasarkan kepada kejadian gempa Padang tahun 2009, yang
menyebabkan banyaknya korban jiwa dan kerusakan bangunan, maka
saat ini Kota Padang telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 7
Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung. Di mana dalam peraturan
tersebut diatur bagaimana suatu bangunan itu dibuat dan dibangun
dari segi konstruksi bangunannya dan ketahanannya terhadap getaran
atau gempa. Peraturan tersebut dibuat untuk mempersiapkan seluruh
bangunan yang ada di Kota Padang memenuhi standar, sehingga
Pemerintah Kota Padang dalam hal ini Dinas Tata Ruang dan Tata
Bangunan (TRTB) telah memberikan perhatian yang serius terhadap
pembangunan-pembangunan yang dilakukan di Kota Padang, khususnya
bangunan bertingkat, misalnya Ruko, Hotel, Sekolah dan lain-lain, hal
ini dikarenakan dengan adanya pembangunan tersebut diharapkan
nantinya akan dapat memberikan manfaat ganda yaitu bisa sebagai
bangunan shelter.
Dalam hal penyusunan peraturan daerah, mengenai bangunan
gedung maka yang terlibat dari unsur pemerintah adalah Dinas
TRTB, BPBDPK, BAPPEDA dengan SKPD terkait. Dalam melakukan
penyusunan peraturan daerah tersebut dilakukan rapat koordinasi
dalam satu kali sebulan, dalam peraturan tersebut yang menjadi
perhatian adalah kualitas bangunan. Hal ini berdasarkan pengalaman
kejadian gempa Solok yang berkekuatan 6,7 SR menelan Korban jiwa
sebanyak 60 orang, sementara itu gempa Yogyakarta 2006 dengan
kekuatan gempa 6,4 SR menelan korban jauh lebih banyak yaitu 6.000

92 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


orang, ini menandakan kualitas bangunan di Yogyakarta jauh lebih
rendah dibandingkan dengan Solok dan sekitarnya, sehingga yang
perlu diperhatikan adalah bangunannya, bukan gempanya. Sehingga
faktor bangunan yang kurang berkualitas juga bisa menentukan banyak
sedikitnya jumlah korban jiwa. Berdasarkan pengalaman tersebut maka
Kota Padang menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2015
dengan harapan jika gempa bumi terjadi maka bangunan yang ada bisa
bertahan dari getaran gempa dengan memerhatikan kualitas bangunan
yang ada.
Terkait dengan bangunan fisik gedung sesuai dengan ketentuan
Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2015. Dalam peraturan tersebut
ditetapkan syarat dalam pembangunan gedung yang aman terhadap
gempa bumi yaitu misalnya untuk gedung layanan publik yang harus
ada penetapan kelayakan gedung oleh tim ahli gedung yang dihadiri oleh
pemilik gedung dan dinas terkait seperti Dinas PU, BPBDPK, BAPPEDA,
Dinas TRTB. Dengan demikian dapat dilihat bahwa, bangunan gedung
yang akan dibangun mulai dari perencanaan, pendirian sampai
berfungsinya bangunan gedung tersebut semestinya harus mendapat
izin resmi dari dinas TRTB, apakah memang layak dan memerhatikan
kondisi daerah yang rawan bencana.
Mengenai pembangunan gedung yang ramah terhadap bencana
gempa sebenarnya sudah lama dilakukan advokasi oleh beberapa
NGO yang ada di Padang seperti Mercy Corps, yang merupakan LSM
internasional dari Amerika. Mercy Corps bekerja sama dengan BPBDPK,
Dinas PU, dan Dinas TRTB telah melaksanakan program terkait dengan
pembangunan bangunan ramah gempa. Program ini juga melakukan
advokasi kepada para pengelola gedung yang sudah dibangun supaya
gedung tersebut bisa di uji oleh PU, apakah sudah ramah dan aman
gempa sehingga bisa dijadikan sebagai shelter. Namun yang terjadi
dengan program ini adalah menjadi terputus, karena Mercy Corps
sudah berakhir kegiatannya di bidang ini, sehingga perlu niat baik
dari pemerintah kota untuk melanjutkan, namun yang peneliti temui
di lapangan, kegiatan ini terhenti sering dengan terhentinya program
dari Mercy Corps tersebut.
Selain itu kajian risiko bencana juga telah dilakukan oleh BPBD
dan dinas terkait guna melihat kemungkinan risiko bencana yang akan
dihadapi Kota Padang dalam melakukan pembangunan, namun karena

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 93


kurangnya koordinasi antarorganisasi di daerah dan mengakibatkan
pada akhirnya program pembangunan menjadi tidak sinkron, mitigasi
menjadi tidak terlaksana dengan baik, dokumen ancaman risiko bencana
yang sudah dibuat sebelumnya tidak masuk dalam perencanaan dan
kebijakan yang ada, sehingga berdirilah bangunan-bangunan yang
tidak memerhatikan kajian yang sudah dilakukan. Dan itu berlanjut
misalnya dengan berdirinya perumahan Tabiang Banda Gadang, yang
lokasinya berada di daerah rawan bencana banjir, yaitu di kawasan
rawa-rawa dan dikala terjadi hujan, perumahan itu akan selalu terkena
banjir. Semestinya setelah kejadian gempa tahun 2009, Pemerintah Kota
Padang perlu melakukan revisi terhadap wilayah-wilayah yang menjadi
ancaman gempa bumi.
Perubahan tata ruang pembangunan wilayah hendaknya juga
dijalankan secara perencanaan teknis dan juga pelan-pelan, karena
selain aspek teknis tersebut ada juga aspek psikologis, bagaimana cara
membuat masyarakat pindah dari daerah yang sudah lama mereka
tempati, ada cara-cara persuasif yang perlu dilakukan bukan hanya
dengan cara penggusuran yang seperti banyak dilakukan kota-kota
besar di Indonesia seperti Jakarta. Selain itu juga harus diperhatikan
juga bagaimana mengubah dan membangun persepsi masyarakat
untuk bisa memperbaiki kualitas bangunan, karena selama ini yang
terjadi di Kota Padang, banyak bangunan yang dibangun asal jadi saja
tanpa memperhitungkan kualitas dari bangunan tersebut, terutama
perumahan rakyat, karena menjadi dilema juga bagi masyarakat, karena
untuk membangun rumah yang aman terhadap gempa itu memerlukan
dana yang sedikit lebih banyak dari pada membangun rumah yang biasa
saja, karena ada beberapa spek dan komponen yang perlu ditambahkan
supaya bangunan tersebut menjadi kuat dan tahan terhadap goncangan.
Namun semenjak gempa tahun 2009, di beberapa tempat
pembangunan gedung-gedung pemerintah dan swasta, sudah
memerhatikan ancaman terhadap gempa, misalnya untuk keperluan
bisnis, sudah ada hotel-hotel yang dibangun dengan memerhatikan
kondisi ini, sehingga apabila hotel atau atau Convention Hall tersebut
tidak aman terhadap gempa, maka masyarakat tidak akan bersedia
untuk memanfaatkannya, begitu juga dengan bangunan rumah, jika
rumah tidak aman dan ramah terhadap gempa maka masyarakat tidak
bersedia bertamu ke rumah tersebut. Selain itu, perhatian terhadap

94 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


hal ini, bukan saja hanya pada bangunan, namun juga pada orang yang
ada dalam bangunan tersebut, di mana karyawan-karyawan yang ada
diberikan pelatihan tentang gempa, dan ini menjadi salah satu cara
yang dilakukan oleh pihak hotel untuk mempromosikan hotel-hotel
yang ramah dan tahan terhadap gempa. Selain itu, ditambah dengan
tersedianya SOP di masing-masing kamar hotel.
Selanjutnya hal yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang
dalam rangka mitigasi bencana gempa bumi adalah Pemerintah Kota
Padang merencanakan pembangunan bukit Buatan seperti TEP (tsunami
evacuation park) dan emergency landing. Untuk rencana pembangunan
TEP tersebut yang nantinya dapat berfungsi sebagai tempat evakuasi
sementara bagi masyarakat yang terkena bencana gempa bumi yang
diikuti dengan tsunami. Rencana pembangunan TEP ini ditempatkan
di daerah Landasan Udara Tabing yang berjarak sekitar 500 Meter
dari garis Pantai Padang. Penyiapan TEP ini untuk evakuasi vertikal,
mengingat topografi di sekitar wilayah ini yang landai, sehingga
tidak memungkinkan masyarakat untuk bisa melarikan diri (evakuasi
horizontal) ke arah perbukitan dalam rentang waktu yang cepat jika
seandainya bencana gempa bumi disertai tsunami datang melanda,
untuk itu pembangunan TEP yang direncanakan tahun 2017 ini bisa
segera terealisasikan. Seperti gambar 5.2 berikut ini.

Sumber: BPBDPK Kota Padang, 2017


Gambar 5.2 Rencana TEP di Kota Padang

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 95


Pada gambar 5.2 terlihat bahwa rencana pembangunan TEP ini
nantinya terdapatnya bukit buatan yang merupakan untuk keperluan
evakuasi secara vertikal, adapun dalam persiapan pembangunan TEP
ini bekerja sama dengan TNI AU, karena berkaitan dengan rencana
lokasi pembangunan TEP yang berada di dekat Lapangan Udara TNI
AU Tabing. Sedangkan rencana luas dari TEP ini adalah dipersiapkan
adalah seluas 2 ha, dengan ketinggian 12M. Bukit ini diharapkan bisa
berguna dan bisa menampung masyarakat yang menyelamatkan diri
dari ancaman gempa bumi dan tsunami.
Pembangunan TEP ini merupakan salah satu langkah yang
dilakukan Pemerintah Kota Padang dalam rangka mitigasi bencana
struktural. Selain rencana pembangunan TEP, Pemerintah Kota Padang
juga berencana membangun emergency landing. Hal ini, dimaksudkan
untuk mengantisipasi terjadinya gempa besar yang akan melanda Kota
Padang (belajar dari kasus gempa Aceh, 2004), ada kemungkinan, di
mana seluruh fasilitas publik yang dekat dengan pantai seperti Bandara
Internasional Minangkabau, Bandara Tabing, Pelabuhan Teluk Bayur
dan Pelabuhan Bungus Teluk Kabung tentu akan hancur. Fungsi dari
emergency landing adalah untuk mengirimkan logistik lewat udara serta
bantuan kepada masyarakat. Emergency landing itu sendiri direncanakan
dibangun di Jalan Padang by pass yang segmennya bisa antara TVRI
Sumatera Barat dan Lubuk Minturun, hal ini dengan pertimbangan
jarak dan track yang lurus sepanjang 1km, sehingga hal ini mencukupi
untuk dijadikan sebagai landasan pesawat (runway) untuk melakukan
pendaratan. Rencana pembangunan emergency landing tersebut mendapat
respons positif dari Presiden Joko Widodo sewaktu melakukan
kunjungan kerja ke Sumatera Barat.
b. Pengaturan Infrastruktur dengan Membangun Jalur Evakuasi
Penyediaan prasarana dan infrastruktur, merupakan bagian
dari mitigasi struktural, misalnya penyediaan jalur evakuasi. Untuk
pelaksanaannya tanggung jawab diserahkan ke Dinas Pekerjaan
Umum, sedangkan perencanaannya ada di Dinas TRTB dan Bappeda.
Dalam rangka penyediaan jalur evakuasi ini, pemerintah kota telah
mencanangkan jalur-jalur evakuasi, yang melintang dari barat ke timur,
yaitu mulai dari pesisir barat Kota Padang menuju ke jalan by pass, hal
ini karenakan Kota Padang memanjang dari utara ke selatan. Terdapat

96 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


12 ruas jalur evakuasi yang telah disiapkan. Dalam hal pelaksanaan
pekerjaan jalan tersebut dilakukan bekerja sama dengan Provinsi
Sumatera Barat dan Balai Jalan Nasional. Di mana masing-masing
instansi memiliki tugas dan kewenangan yang berbeda terkait dengan
pembangunan jalur evakuasi tersebut. Beberapa jalur evakuasi telah
dilebarkan dan ditingkatkan kualitasnya, baik jalur yang besar seperti
jalan Alai-By Pass, ataupun jalan-jalan yang kecil seperti jalan inspeksi
di sepanjang jalan Banda Bakali. Sementara itu jalan-jalan yang di
kompleks perumahan juga diupayakan ditingkatkan kualitasnya dan
dilebarkan sebagai jalur evakuasi.
Dengan terlambatnya pembangunan beberapa ruas jalan yang
diakibatkan oleh pembebasan lahan yang belum selesai maka tentu
saja juga berakibat kepada tersendatnya program pembangunan
jalur evakuasi ini. Berikut ini salah satu gambar dari foto satelit jalur
evakuasi gempa dan tsunami yang membentang dari barat ke timur
Kota Padang, yaitu dari Jalan Siteba menuju jalan By Pass dengan lebar
15 m dan panjangnya 4,1 km. Pada gambar 4.5 dapat dilihat arah panah
yang berwarna kuning ada pada gambar dapat memberikan penjelasan
terhadap arah jalur evakuasi tersebut.

Sumber: Bappeda Kota Padang, 2017


Gambar 5.3 Jalur Evakuasi Jalan Siteba ke By Pass Korong Gadang

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 97


Pembangunan jalur evakuasi ini juga mendapat dukungan dari pihak
dunia internasional, dengan pembangunan salah satu jalur evakuasi di
daerah Pasir Nan Tigo Kota Padang, pembangunan jalur ini dilakukan
dalam rangka kegiatan/program Pasific Partneship yang dikerjakan oleh
tentara Amerika dengan membangun jalan sepanjang 1 km. Dengan
adanya pembangunan jalan ini diharapkan masyarakat akan bisa
memanfaatkannya nanti untuk evakuasi jika terjadi bencana gempa
bumi yang diikuti tsunami. Di samping adanya pembangunan jalur dan
pelebaran jalan arteri maka Pemerintah Kota Padang juga merencanakan
pelebaran beberapa unit jalan di daerah Kota Tangah dan Kuranji yang
pembangunan jalan tersebut dianggarkan dalam APBD Kota Padang.
Akan tetapi, tidak semua jalur bisa dibangun dengan baik, kondisi di
lapangan menjadi kendala, di antaranya mengenai kepemilikan lahan.
Kepemilikan lahan di Kota Padang dimiliki oleh kaum atau suku atau
disebut juga tanah ulayat, di mana kepemilikannya menyangkut banyak
orang, sehingga timbul kesulitan bagi pemerintah untuk melakukan
pembebasan lahan, ini berakibat kepada lamanya waktu penyelesaian
jalur evakuasi.
c. Penataan Bangunan dengan Pembangunan Shelter
Pembangunan shelter evakuasi ini merupakan bagian dari mitigasi
struktural yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang. Shelter yang
dibangun merupakan bentuk daripada proses evakuasi vertikal yang
dilakukan jika gempa yang terjadi menimbulkan tsunami. Shelter-shelter
yang ada merupakan bangunan pemerintah yang bisa dipakai oleh
masyarakat, selain itu juga bangunan milik perorangan, atau swasta
yang bisa dimanfaatkan untuk evakuasi. Dalam hal ini pemerintah telah
melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait terutama yang dari
swasta atau perorangan bahwa bangunan milik mereka suatu saat jika
terjadi bencana bisa dipakai oleh masyarakat menjadi shelter.
Strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang dalam
penyediaan shelter adalah dengan menjadikan sekolah, perkantoran,
pasar, rumah ibadah dan seluruh bangunan bertingkat seperti hotel-
hotel bisa dapat dipakai untuk shelter. Dengan adanya strategi tersebut
maka pemerintah dapat menghemat biaya dalam penyediaan shelter.
Karena menurut data di lapangan untuk membangun satu shelter saja
Pemerintah Kota Padang membutuhkan dana sampai 20 miliar. Akan

98 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


tetapi, dengan adanya pemanfaatan gedung-gedung tersebut, maka
biaya yang dikeluarkan menjadi berkurang.
Dengan adanya, pemanfaatan gedung milik swasta sebagai shelter
maka Pemerintah Kota Padang perlu membuat MoU dengan pihak
terkait, karena pemerintah perlu menjelaskan kepada pemilik gedung,
bahwa apabila terjadi bencana maka gedung tersebut bisa dipakai
oleh masyarakat untuk menyelamatkan diri. Salah satu pihak swasta
yang menyambut baik program ini adalah Hotel Grand Zuri. Menurut
hasil wawancara dengan RR dan MD, Hotel Grand Zuri adalah satu-
satunya hotel di Kota Padang yang telah menandatangani kerja sama
(MoU) dengan pemerintah kota, pihak hotel bersedia menampung
masyarakat yang ingin menyelamatkan diri dari ancaman gempa yang
disertai tsunami, di hotel ini juga sudah tersedia gudang untuk camp
pengungsian sementara dan juga telah dipasangi sirine tsunami.
Selain itu beberapa shelter dari sejumlah gedung di Kota Padang
yang sudah diperuntukkan seperti SMA 1 Padang, SMK 5 Padang, SMP
25 Padang, SMP 7 Padang, escape building di Kantor Gubernur Sumatera
Barat, Gedung Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Pasar Raya dan
juga beberapa gedung yang ada di kampus Universitas Negeri Padang
Air Tawar. Namun hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa
ada beberapa shelter yang dibangun oleh pemerintah dalam hal ini
BNPB pengelolaan shelternya tidak jelas, karena sampai sekarang ini
ada dua shelter yang belum diserahterimakan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah (BPBD) yaitu shelter Nurul Haq dan shelter
Darussalam walaupun sudah diresmikan pada tanggal 23 April 2015.
Berikut ini dapat dilihat gambar shelter yang dibangun oleh BNPB di
Kota Padang.

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 99


Sumber: BPBDPK Kota Padang, 2016
Gambar 5.4 Shelter yang Dibangun oleh BNPB

Dengan belum diserahterimakannya kedua shelter tersebut maka


pemanfaatan terhadap shelter tersebut menjadi sulit, dikarenakan akses
ke shelter menjadi terkendala. Hal ini berdampak kepada pengelolaan
shelter menjadi tidak jelas.

3. Penyelenggaraan Pendidikan, Penyuluhan, dan Pelatihan Baik


Secara Konvensional Maupun Modern
Kegiatan dalam rangka mitigasi bencana pada poin ini, ada beberapa
kegiatan/program yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang yang
dapat dijelaskan pada poin ini. Berdasarkan data yang didapat di
lapangan maka dikelompokkan beberapa kegiatan yang termasuk ke
dalam hal yang berupa kegiatan yang bersifat konvensional dan hal yang
bersifat modern. Untuk kegiatan yang bersifat konvensional terdiri dari:
(1) pemberian sosialisasi dan mengadakan simulasi evakuasi bencana,
(2) pemberdayaan masyarakat melalui Kelompok Siaga Bencana (KSB)

100 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


sedangkan pelatihan yang dilakukan secara modern adalah pelatihan
radio komunikasi.
Kegiatan-kegiatan yang disebutkan di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut ini.
a. Pemberian Sosialisasi dan Mengadakan Simulasi Evakuasi
Bencana
Kegiatan sosialisasi tentang gempa bumi sudah dilakukan pasca
kejadian gempa tahun 2009, itu artinya butuh pemahaman dari
masyarakat dan upaya melibatkan komponen lebih banyak lagi dalam
meningkatkan kewaspadaan dan pengetahuan masyarakat terhadap
bencana. Pemahaman masyarakat yang masih kurang dan peduli
terhadap bencana, serta informasi yang diterima masyarakat tidak
komprehensif, maka menyebabkan ada ketakutan dalam diri masyarakat.
Untuk itu, dalam rangka pengurangan risiko bencana maka sosialisasi
dilakukan Pemerintah Kota Padang bekerja sama dengan NGO yang
peduli dengan kebencanaan. Selain itu, sosialisasi ini juga melibatkan
masyarakat dengan pembentukan Forum Kelompok Siaga Bencana,
forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB), Forum PRB ini ada di
tingkat kelurahan, kecamatan dan kota. Selain itu juga ada Palang Merah
Indonesia, dan ada kelompok-kelompok yang dibentuk masyarakat,
mereka dilatih dan mensosialisasikan tentang kebencanaan kepada
masyarakat.
Kegiatan sosialisasi dilakukan ke sekolah-sekolah, hal ini penting
karena anak-anak termasuk kelompok yang rentan terhadap bencana.
Sosialisasi diberikan ke sekolah mulai dari PAUD sampai SMA baik
itu untuk anak sekolah maupun guru (kepada semua guru sekolah,
mereka nantilah yang akan sampaikan itu nanti kepada anak didiknya
di daerah yang terdampak dan terpapar gempa dan tsunami). Adapun
salah satu bentuk sosialisasi yang dilakukan pemerintah kota dalam
hal ini BPBDPK dengan melakukan sosialisasi ke sekolah, sosialisasi
dilakukan bekerja sama dengan tim dari Jepang. Adapun bentuk
sosialisasi dilakukan adalah dengan cara melakukan permainan, seperti
permainan dengan kartun Doraemon. Untuk kegiatan ini sendiri telah
berlangsung semenjak tahun 2012 sampai sekarang (2016).
Bentuk lain dari sosialisasi yang dilakukan adalah dengan cara
membuat leflat yang berisikan bahasa-bahasa yang ringan dan mudah

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 101


dipahami. Di leflat tersebut berisikan tentang cara-cara yang perlu
dilakukan di saat terjadinya gempa bumi. Jika belajar dari Jepang
mengenai bencana gempa bumi maka sejak dini mereka sudah
mengajarkan anak-anak untuk mengerti dan paham tentang kondisi
daerah yang rawan terhadap bencana, mengajarkan bagaimana cara
menghadapi keadaan pada waktu terjadinya bencana, sehingga tidak
menimbulkan kepanikan. Selama ini anak-anak diajarkan, jika bencana
gempa bumi terjadi bersembunyi di bawah meja. Namun sekarang hal
ini perlu dievaluasi, belajar dari kejadian gempa Padang tahun 2009
di mana banyak bangunan yang roboh dan menimpa masyarakat,
serta menimbulkan banyak korban jiwa. Maka cara bersembunyi
di bawah meja menjadi kurang relevan lagi. Untuk itu, bagaimana
membuat pemahaman kepada murid-murid untuk bisa mengetahui
dan memberikan kondisi gempa, hal ini bisa dilakukan oleh guru dalam
memberikan sosialisasi.
Selanjutnya adalah sosialisasi dengan cara latihan mandiri evakuasi
gempa, perlu pengenalan terhadap tipologi gempa, maka masyarakat
perlu cerdas dalam menanggapi gempa dan melakukan evakuasi
sendiri secara mandiri dan ini memerlukan sosialisasi yang terus-
menerus kepada masyarakat. Kearifan yang juga perlu diperhatikan
oleh masyarakat terkait dengan fenomena gempa di Padang adalah
jika terjadi gempa pada patahan Sumatera maka kondisi gempanya
pasti bergetar dan kecenderungan tidak berpotensi tsunami. Akan
tetapi, jika kondisi gempa mengayun pusat gempanya Mentawai dan
kecenderungan potensi tsunami ada.
Adapun sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat di beberapa
kecamatan dan kelurahan yang melibatkan kelompok siaga bencana
dilakukan dengan cara sosialisasi melalui media cetak dan elektronik,
misalnya dengan berbagai radio seperti RRI dan Clasy FM, dengan
televisi nasional dan lokal seperti TVRI dan Padang TV. Sosialisasi
juga dilakukan oleh KSB dan Kogami ke masjid-masjid melalui majelis
taklim dan juga kepada Kaum Difabel melalui Dinas Sosial. Selain itu
juga melakukan sosialisasi kepada masyakat di sepanjang pantai dengan
menyebarkan informasi yang lengkap.
Namun dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa
sosialisasi masih lemah karena memang tidak mudah melakukan edukasi
kepada warga, hal ini dikarenakan kapasitas masyarakat itu sendiri

102 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


yang rendah, misalnya jika terjadi gempa masyarakat disarankan tidak
memakai kendaraan roda empat, karena itu akan membuat jalan menjadi
macet, namun apa yang terjadi masyarakat masih saja menggunakan
kendaraan untuk menyelamatkan diri, sehingga kemacetan parah terjadi
saat bencana melanda. Ini terbukti dengan kejadian gempa 2 Maret
2016, di mana masyarakat menjadi cemas dan panik, apalagi ditambah
dengan informasi di media massa bahwa gempa yang terjadi merupakan
gempa Mentawai, yang mana masyarakat teringat dengan potensi gempa
Megatrust Mentawai, maka dengan itu masyarakat menjadi cemas, padahal
itu jauh di luar Mentawai dengan jarak episentrumnya yang jauh dari Kota
Padang yaitu 800 km arah Barat Laut Kepulauan Mentawai, Kecemasan
ini tentu saja sangat beralasan, karena ketidaktahuan masyarakat tentang
info yang sebenarnya selain itu juga ada trauma dengan kejadian gempa
Aceh tahun 2004, gempa Nias tahun 2006, gempa Padang tahun 2007
dan gempa Mentawai tahun 2010.
Jadi memang yang namanya masyarakat, ketika terjadi suatu
bencana, mereka lupa dengan sosialisasi dan latihan yang sudah pernah
dilakukan. Ketika gempa masyarakat keluar rumah dan mencari tempat
yang tinggi, masyarakat lupa bahwa untuk mencari tempat evakuasi
tidak seharusnya membawa kendaraan karena itu akan semakin
membuat jalan menjadi macet. Untuk itu lebih intens lagi melakukan
sosialisasi kepada masyarakat apalagi masyarakat yang berada pada
zona merah. Sehingga masyarakat paham apa yang perlu dilakukan saat
gempa terjadi, pemerintah dalam hal ini sudah mengusahakan membuat
buku saku tentang ini, namun yang terjadi di lapangan jauh dari harapan.
Di saat gempa terjadi apa yang diajarkan dan disosialisasikan menjadi
tidak terpakai masyarakat tetap saja tidak memerhatikan apa yang telah
disosialisasikan.
Lemahnya sosialisasi juga disebabkan oleh kurangnya instruktur
yang mempunyai kapasitas dalam menyampaikan sosialisasi, sehingga
kadang kala dalam menyampaikan materi sosialisasi keliru, kekeliruan
ini berdampak kepada masyarakat yang menerima sosialisasi. Dengan
demikian, keberhasilan sosialisasi tidak mesti tergantung kepada
kuantitas atau seringnya melakukan sosialisasi tetapi juga kepada
sumber daya dan materi yang disampaikan. Walaupun sosialisasi sering
dilakukan namun jika pesan dari sosialisasi tersebut tidak sampai ke
masyarakat maka sosialisasi menjadi tidak efektif.

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 103


Pemerintah kota mengakui bahwa sosialisasi masih lemah,
masyarakat masih banyak yang belum tahu tentang kegiatan
penanggulangan bencana, selain itu juga masih banyak shelter belum
bisa dipakai, sistem evakuasi yang belum jelas, belum banyak yang bisa
dilakukan pemerintah hal ini dikarenakan keterbatasan anggaran dan
waktu untuk sosialisasi tersebut. Untuk itu ke depannya perlu adanya
sosialisasi dengan metode yang lebih efektif. Dengan memberikan
informasi terhadap tempat-tempat evakuasi sementara, walaupun
gedung ada yang bisa dipakai, sepanjang jalur evakuasi.
Adapun kegiatan simulasi bencana yang dilakukan oleh BPBDPK
dengan melibatkan pihak terkait antara lain Dinas Sosial, Tagana, Dinas
Pendidikan, antara lain dilakukan di beberapa tempat antara lain di
Kelurahan Padang Sarai yang terlihat pada gambar 5.5 berikut ini.

Gambar 5.5 Kegiatan Simulasi Bencana di Kelurahan Padang Sarai

104 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Pada gambar 5.5 tersebut terlihat kegiatan simulasi bencana yang
dilakukan di Kelurahan Padang Sarai. Pada gambar poin 1, 2 dan 3
terlihat sebelum kegiatan simulasi diadakan maka perlu dipersiapkan
pemandu yang akan menjalankan kegiatan simulasi di lapangan. Untuk
itu para pemandu atau mentor ini perlu dibekali terlebih dahulu dalam
rangka menyamakan persepsi mengenai kegiatan simulasi yang akan
diadakan. Selain itu juga pada gambar poin 4 terlihat foto siswa/i yang
sedang berlari untuk menyelamatkan diri dari ancaman gempa bumi
dan tsunami yang dilakukan dalam kegiatan simulasi tersebut.
Selain di Kelurahan Padang Sarai, kegiatan simulasi bencana
gempa bumi ini juga diadakan di Kelurahan Air Manis yang melibatkan
berbagai pihak terutama masyarakat sekitar. Kegiatan ini dilakukan
dalam rangka memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada
masyarakat terhadap pentingnya upaya penyelamatan diri secara dini
terhadap ancaman gempa bumi yang bisa datang secara tiba-tiba, untuk
itu masyarakat perlu diedukasi supaya bisa menyelamatkan diri sedini
mungkin jika bencana gempa bumi datang melanda. Pada gambar 5.6,
poin 1, 2 dan 3 terlihat sekelompok masyarakat melakukan evakuasi
ke daerah yang lebih aman, baik itu menjauhi daerah yang berbahaya
ataupun evakuasi secara vertikal dengan mencari tempat yang lebih
tinggi, selain masyarakat, kegiatan ini juga melibatkan siswa/i yang
ada di kelurahan ini. Pada gambar 5.6 poin 4 terlihat sejumlah siswa/i
melakukan evakuasi secara horizontal menjauhi daerah yang rawan
bencana gempa bumi. Berikut ini dapat disajikan gambar 5.6.

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 105


Sumber: BPBDPK, 2016
Gambar 5.6 Kegiatan Simulasi Bencana di Kelurahan Air Manis

Pada tahun 2016 simulasi evakuasi bencana gempa bumi


ditempatkan di shelter Nurul Haq dengan melibatkan masyarakat dan
anak sekolah serta semua stakeholders yang ada seperti LSM, PMI,
ORARI, KSB, Forum PRB dan masyarakat difabel. Pada gambar 5.7
poin 1 terlihat gambar peserta simulasi gempa yang berfoto bersama
setelah kegiatan selesai dilaksanakan, peserta berasal dari berbagai
elemen masyarakat antara lain pemuda pancamarga, kelompok siaga
bencana, dan lain-lain. Sementara itu gambar 5.7 poin 2 memperlihatkan
gambar shelter tempat pelatihan simulasi bencana gempa bumi diadakan

106 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


yaitu shelter Nurul Haq yang bertempat di Parupuk Tabing. Sedangkan
pada gambar 5.7 poin 3 terlihat suasana simulasi evakuasi bencana
yang dilakukan oleh anak sekolah dasar dengan turut serta hadir para
peneliti asing dari berbagai negara yang konsen terhadap kebencanaan,
dan untuk gambar 5.7 poin 4 terlihat suasana rapat koordinasi yang
dipimpin oleh kepala pelaksana BPBDPK Kota Padang dalam rangka
melakukan evaluasi terhadap kegiatan simulasi bencana yang telah
selesai dilaksanakan. Rapat koordinasi ini dihadiri oleh berbagai unsur
antara lain dari BMKG, Orari, KSB, Kogami, Mercy Corps, peneliti dari
ITB. Berikut ini dapat dilihat pada gambar 5.7 secara keseluruhan.

Sumber: Dokumen Pribadi, 2016


Gambar 5.7 Kegiatan Simulasi Gempa Bumi di Shelter Nurul Haq

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 107


b. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kelompok Siaga Bencana
Sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, maka pada Tahun 2011 telah dibentuk
Kelompok Siaga Bencana (KSB) sebanyak 2.080 orang di 104 Kelurahan.
Pembentukan KSB dan dilakukan edukasi supaya KSB menjadi kelompok
yang kuat, kelompok ini yang nantinya akan mentransfer ke masyarakat
pengetahuan mereka terhadap kebencanaan, bagaimana kelompok ini
memberikan pengetahuan kepada masyarakat jika bencana terjadi.
Untuk itu, sejak tahun 2011 s.d sekarang, secara bertahap anggota KSB
diberikan pendidikan dan pelatihan oleh pemerintah melalui BPBD-PK
Kota Padang. Salah satu bentuk pelatihan yang diberikan adalah yaitu
pada Tahun 2015 telah dilaksanakan Pelatihan SAR bagi KSB kelurahan
dan instansi/lembaga terkait kebencanaan yang melibatkan 230 orang
peserta, dengan fokus pada materi Rescue Air. Kegiatan Pelatihan KSB
dilakukan setiap tahun baik itu kegiatan yang dilakukan oleh BPBD
maupun yang dilakukan oleh NGO dan LSM yang bergerak di bidang
kebencanaan seperti Mercy Corps, Kogami dan Jemari Sakato.
Dengan adanya KSB di tengah-tengah masyarakat, diharapkan akan
mampu melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang mitigasi bencana
karena KSB termasuk ujung tombak pelaksana penanggulangan bencana
di daerah. Karena berada di komunitas, dan berhadapan langsung
dengan masyarakat, dan mendapatkan risiko dari bencana yang terjadi,
KSB berada paling depan dalam penanggulangan bencana. Dengan
104 KSB yang ada di kelurahan sekarang ini, banyak dari mereka yang
kapasitas personal dan kelembagaannya sangat lemah.
Lemahnya kapasitas tersebut dikarenakan secara personal KSB tidak
mempunyai kapasitas sebagai kelompok siaga bencana karena yang
terlihat justru KSB itu menjadi tim SAR, di mana di saat bencana terjadi
mereka melakukan penyelamatan, hal demikian tidak sepenuhnya keliru,
namun secara fungsional KSB berfungsi sebagai elemen kelompok siaga
bencana (hal ini tercermin dari namanya), berarti kelompok ini bukan
hanya berfungsi sebagai Tim Rescue saja, namun juga perlu memiliki
kompetensi yang mesti dimiliki oleh KSB ini adalah yang lebih dominan
apa yang didorong oleh UU No. 24 Tahun 2007, upaya prabencana
(mitigasi) itu yang seharusnya ditingkatkan, dengan mempersiapkan
mitigasi, membangun upaya peringatan dini dan kesiapsiagaan serta

108 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


melakukan upaya pencegahan. KSB yang sebagai ujung tombak mestinya
memiliki kemampuan sebagai fasilitator dalam melakukan upaya-upaya
membangun kesiapsiagaan dan membangun mitigasi sesuai dengan
konteks daerah, ini yang belum terjadi di Kota Padang. Untuk itu
pembekalan dan keterampilan KSB perlu ditingkatkan, karena nanti
juga selain berfungsi sebagai Tim Reaksi Cepat (TRC) dan Rescue, juga
memberikan pembekalan kepada masyarakat di saat kondisi tidak terjadi
bencana. Gambar berikut ini dapat dilihat berbagai pelatihan-pelatihan
yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kapasitas KSB.

Sumber: BPBDPK Kota Padang, 2016


Gambar 5.8 Pelatihan SAR se Kota Padang

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 109


Kegiatan lain yang dilakukan oleh Kelompok Siaga Bencana adalah
melakukan sosialisasi kepada masyakat untuk evakuasi mandiri dan
evakuasi keluarga. Dalam hal ini setiap keluarga dihimbau untuk
melakukan evakuasi keluarga, di mana mereka merencanakan sendiri
mengenai evakuasi keluarga dan itu disimulasikan. Sosialisasi ini
dilakukan, karena berdasarkan pengalaman pada saat terjadi gempa
itu kondisi anggota keluarga bervariasi, tidak semua berada pada
tempat yang sama, ada yang di sekolah, di tempat kerja dan ada juga
yang di rumah. Sehingga dalam menyusun rencana evakuasi keluarga
ini beberapa kondisi tersebut menjadi rumusan, dari rumusan itu
dibuatlah keputusan apa yang harus dilakukan pada saat terjadi gempa,
sehingga masing-masing anggota keluarga itu tidak mencari satu
sama lain, anggota keluarga sudah paham apa yang harus dikerjakan,
sehingga dengan demikian yang perlu dilakukan oleh anggota keluarga
itu menyepakati di mana titik kumpul bagi anggota keluarga tersebut
setelah kondisi aman. Perihal ini disampaikan kepada masyarakat
dalam usaha menghindari banyaknya korban-korban yang tidak perlu
saat terjadinya gempa bumi yang menimbulkan kepanikan, menurut
pemerintah kota dalam hal ini BPBDPK edukasi ini disadari masih
kecil dipahami oleh masyarakat sehingga masih perlu terus-menerus
dilakukan dan memiliki tantangan yang berat, kerja sama dari semua
pihak akan sangat membantu ke arah kegiatan ini.
Di Kota Padang, salah satu KSB yang cukup aktif melaksanakan
kegiatan adalah KSB Parupuk Tabing. Mereka bekerja sebagai relawan
tanpa didukung oleh finansial yang kuat dan bekerja secara sukarela.
KSB Parupuk Tabing, yang di daerahnya memiliki jumlah penduduk
yang cukup padat yaitu 24.000 jiwa, dan di mana 50% nya berada pada
garis pantai yang berarti 100% berada pada zona merah gempa bumi dan
tsunami. Namun dengan demikian, KSB Parupuk Tabing ini merupakan
salah satu dari sekian banyak KSB yang ada di Kota Padang yang dapat
dikategorikan masih aktif beraktivitas walaupun tidak ada dukungan
finansial secara simultan dari pemerintah kota, namun mereka tetap
melakukan kegiatan dalam rangka pengurangan risiko bencana.
Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh KSB Parupuk Tabing antara
lain dengan menyampaikan informasi kepada masyarakat melalui
masjid, mereka mengunjungi masjid-masjid yang ada di wilayahnya
dan menyampaikan materi tentang kebencanaan, selain itu juga mereka

110 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


menyampaikan ceramah kebencanaan pada saat bulan puasa, bersamaan
dengan diadakan ceramah agama pada malam-malam di bulan
ramadhan, selain itu juga masuk ke sekolah-sekolah yang mengadakan
pesantren ramadhan, mereka memberikan materi kebencanaan kepada
anak-anak sekolah.
Kegiatan yang dilakukan ini tidak lepas dari adanya kerja sama
KSB dengan pengurus masjid, RW setempat dengan mendatangkan
juga para pakar kebencanaan dari perguruan tinggi dan praktisi untuk
memberikan materi bencana. Adapun cara yang dilakukan KSB Parupuk
Tabing dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat adalah dengan
membuatkan surat ke masjid-masjid memberitahukan bahwa akan ada
talkshow di radio classy FM, yang di-relay di corong masjid-masjid yang
ada di Parupuk Tabing. Sehingga masyarakat mengetahui ada kegiatan
talkshow di radio mengenai kebencanaan, acara dilakukan dengan
interaktif, sehingga ada kesempatan masyarakat juga untuk bertanya.
Sedangkan untuk di tingkat sekolah, hal yang dilakukan adalah
adanya upaya pembentukan Kelompok Siaga Bencana Sekolah
(KSBS). Namun untuk KSBS sampai hari ini masih belum signifikan
responsnya, masih tergantung pihak sekolah, dan belum ada instruksi
dan mewajibkan sekolah, namun seharusnya pemerintah sudah
tegas, membentuk KSBS di sekolah dan menjadikan materi mitigasi
bencana dalam muatan lokal. Tahun 2007–2008, Ada inisiatif untuk
implementasi kurikulum mutan lokal siaga bencana, sebelumnya
tahun 2007 itu juga sudah ada inisiatif dari Kogami bersama pihak-
pihak terkait juga, bagaimana mitigasi bencana ini bisa masuk dalam
mata pelajaran anak-anak sekolah, Kogami membentuk waktu itu
kelompok MGMP kurikulum siaga bencana, jadi tahun 2007-2008
sudah ada kurikulum muatan lokal, dan bahan ajar, Kogami melakukan
pendampingan terhadap 4 SD, 4 SMP dan 4 SMA di Kota Padang.
Namun sampai saat ini hanya ada satu SMA yang mengimple-
mentasikan kurikulum tersebut yaitu SMA Pertiwi 1, sehingga sekolah
ini sekarang menjadi barometer kurikulum kebencanaan di Kota Padang,
sekolah ini juga pernah mendapat penghargaan dari BPBD, selain itu
SMA Pertiwi 1 ini juga pernah dikunjungi oleh komunitas internasional
di bidang kebencanaan dan diliput oleh televisi asing dalam kegiatan
mereka mengenai kebencanaan, masuk majalah National Geography dan

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 111


buletin BNPB dengan sekolah siaga bencananya. Tahun 2014 ketika
sekolah lain kekurangan murid karena takut isu gempa dan tsunami
malah sekolah ini ada penambahan murid baru.
c. Pelatihan Radio Komunikasi
Selain itu juga KSB yang ada di Kota Padang juga mendapatkan
Pelatihan alat radio komunikasi yang dilakukan bekerja sama dengan
Mercy Corp, PT. Semen Padang, dan USAID. Pelatihan ini dilakukan
dengan maksud memberikan pemahaman kepada pelaku kebencanaan
untuk bisa saling berkomunikasi di saat bencana terjadi, sehingga
koordinasi tetap bisa berjalan di kala bencana melanda. Dengan
adanya pelatihan ini diharapkan tidak terjadi lagi yang namanya “miss
communication” di lapangan. Adapun pelatihan ini diikuti sebanyak 50
orang peserta dari perwakilan seluruh Forum Kelompok Siaga Bencana
setiap kecamatan di Kota Padang dan TRC Semen Padang.
Sedangkan dalam rangka mendukung penanggulangan bencana
di Kota Padang terkhusus gempa bumi dan tsunami, maka beberapa
kegiatan kebencanaan yang berfokus kepada mitigasi bencana di-
pusatkan di Kota Padang. Kegiatan ini melibatkan dari berbagai pihak,
seperti Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, pemerintah pusat, lembaga
asing ataupun negara asing. Dengan demikian, dari berbagai kegiatan
tersebut diharapkan mampu memberikan kesiapan dan kesiapsiagaan
bagi Kota Padang dalam penanggulangan bencana gempa bumi. Untuk
itu ada beberapa kegiatan yang dilakukan tersebut dapat dilihat pada
tabel 5.1 berikut ini.

112 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Tabel 5.1 Kegiatan-kegiatan dalam Rangka Mitigasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami
No Nama Kegiatan Tanggal Tujuan Kegiatan Rekomendasi dan atau Manfaat Kegiatan
Kegiatan
1 Deklarasi Padang 24-28 Agustus Mendiskusikan bencana gempa bumi di bagian barat Bagi pemerintah daerah yaitu berupa secara bertahap,
(Declaration 2005 Sumatera. Para peneliti melaporkan hasil penelitian upaya sistematis dalam memperkecil risiko timbulnya
of Participants in terakhirnya masing-masing mengenai gempa bumi dan korban jiwa, harta-benda dan produktivitas harus menjadi
the International tsunami di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh suatu tujuan utama. Upaya-upaya tersebut meliputi
Conference on the serta penelitian terbaru mereka terhadap ancaman tiga hal, yaitu pendidikan, persiapan tanggap-darurat
Sumatran Earthquake potensi gempa bumi Sumatera Barat. Rekomendasi dan perubahan infrastruktur. 1). Untuk pendidikan
Challenge) khusus/spesifik disampaikan kepada pemerintah direkomendasikan agar pendidikan mengenai gempa
dan organisasi-organisasi lainnya untuk mengurangi/ bumi dan tsunami dimasukkan ke dalam kurikulum
memperkecil risiko akibat bencana gempa bumi dan sekolah. Hal ini beserta upaya-upaya kependidikan
tsunami. lainnya harus dapat menjangkau lebih banyak komunitas
masyarakat yang berisiko terkena dampak bencana
serta mesti disusun program jangka penjang secara
berkesinambungan. 2) untuk persiapan tanggap darurat,
akses (transportasi & komunikasi) ke daerah yang akan
terkena pengaruh gempa bumi besar dan tsunami di masa
yang akan datang merupakan hal yang sangat penting
bagi upaya penyelamatan jiwa dan harta-benda serta
upaya pemulihan kembali setelah gempa bumi besar
dan tsunami yang akan terjadi tersebut. Perlu upaya
memastikan/re-evaluasi terhadap akses jembatan utama,
jalan, pelabuhan laut dan pelabuhan udara yang dapat
segera difungsikan secara cepat setelah terkena pengaruh
terjadinya gempa bumi besar dan tsunami. Rencana
Tindak Tanggap-Darurat sebelum terjadi bencana (pra-
bencana) harus dipersiapkan, dievaluasi dan disimulasikan

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang


secara berkala pada semua lembaga dan masyarakat.
Perencanaan-perencanaan ini diperlukan bagi daerah
yang berada dalam zona landaan tsunami.

113
114
2 Mentawai Tahun 2013- Sebagai salah satu upaya peningkatan kapasitas Kegiatan MM DiRex 2014, kawasan prioritas adalah
Megathrust Disaster 2014 dan kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan sepanjang Pantai Barat Pulau Sumatera. Kegiatan
Relief Exercise 2013 – bencana adalah melalui latihan dan pelatihan, Untuk rangkaian pelatihan kesiapsiagaan dari MM DiRex 2014
2014 (MM Direx) mengurangi risiko ancaman Gempa Bumi dan Tsunami baik di tingkat lokal, nasional bahkan regional merupakan
di Provinsi Sumatera Barat, BNPB tahun 2014 telah cara untuk memperkuat ketangguhan dalam menghadapi
memfasilitasi penyelenggaraan Geladi Penanggulangan bencana, yang di antaranya meliputi: Geladi Ruang/Table
Bencana MM DiREX. Top Exrcise (TTX), Geladi Posko/Command Post Exercise
(CPX), Geladi Lapangan/Field Training Exercise (FTX),
Evakuasi Mandiri/Independent Evacuation (IM), Kegiatan
Sosial Kemasyarakatan/Humanitarian Civic Action (HCA) .
3 Pasific Pathernsip 22 - 31 Agustus Melakukan pelatihan penanganan korban bencana Meningkatkan interoperabilitas kesehatan militer,
2016 2016 dengan melibatkan pihak asing (internasional), Pengobatan dan pembangunan fasilitas kesehatan,
sehinggga diperlukan koordinasi yang terpadu antara Memperkuat dan mempererat hubungan antara negara
semua pihak dalam penanganan bencana. peserta, dan forum pertukaran pengetahuan dan
pengalaman bidang kesehatan militer, terutama dalam
merespons ancaman nontradisional di masa depan.
4 Indian-Ocean Tsunami 7 September Memberikan pengetahuan kepada pemerintah daerah Memberikan rekomendasi mengenai kebijakan yang
Early Warning and 2016 mengenai sistem peringatan dini gempa dan tsunami. komprehensif pada tahap kesiapsiagaan dan tanggap
Mitigation System darurat bagian hilir dalam peningkatan sistem peringatan
atau disingkat IO- dini tsunami di Kota Padang Provinsi Sumatra Barat.

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


TEWS
5 Kyoto University 31 agustus – 4 Kegiatan ini dilakukan dalam rangka memberikan Adanya pengetahuan dini terhadap kebencanaan yang
Disaster Prevention September 2016 pengenalan awal kepada anak sekolah dasar tentang diterima oleh anak-anak sekolah dasar di Kota Padang
School (KiDS) 2016 Mitigasi Bencana dengan melakukan permainan dan
simulasi gempa.
Sumber: diolah dari berbagai data oleh peneliti, 2016
Berbagai kegiatan yang dilakukan tersebut merupakan langkah-
langkah atau upaya daripada pemerintah kota dan pihak terkait dalam
rangka mitigasi pengurangan risiko bencana. Upaya tersebut merupakan
kegiatan yang dilakukan melibatkan banyak pihak, baik dari pemerintah
itu sendiri maupun pihak asing. Dengan adanya kegiatan tersebut
diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan
masyarakat dalam pengurangan risiko bencana gempa bumi.

B. Beberapa Faktor yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan


Mitigasi Penanggulangan Bencana Gempa Bumi
Keberhasilan dan ketidakberhasilan dalam mengimplementasikan
suatu kebijakan tergantung kepada beberapa aspek atau syarat-syarat.
Dalam hal ini aspek-aspek yang memengaruhi daripada Implementasi
Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Mitigasi Bencana di Kota
Padang dapat dijelaskan sebagai berikut ini.

1. Translation Ability
Translation Ability (Gerston, 2008) merupakan kemampuan
aktor penentu kebijakan menerjemahkan dan memahami kebijakan
penanggulangan bencana dan merefleksikan serta menjabarkannya
dalam bentuk implementasi. Jika merujuk pendapatnya Edward III,
faktor Translation Ability mirip dengan faktor Komunikasi (transmisi)
yaitu merupakan faktor yang memberikan pemahaman kepada
pelaksana kebijakan terhadap kebijakan yang ada. Dengan arti kata,
transmisi ini merupakan pemahaman pejabat terhadap kebijakan yang
telah dibuat dan perintah pelaksanaannya telah dikeluarkan. Oleh
karena itu, Translation Ability merupakan salah satu “faktor kunci”
dalam implementasi kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi
berbasis mitigasi bencana. Pemahaman terhadap peraturan daerah
yang melandasi kebijakan penanggulangan bencana menjadi acuannya.
Translation Ability merupakan salah satu faktor yang dapat
mendukung efektivitas implementasi suatu kebijakan publik.
Intelektual pelaksana yang dipresentasikan dengan jenjang pendidikan
merupakan salah satu variabel yang mempunyai pengaruh terhadap
Translation Ability. Hasil penelitian di lapangan mencerminkan fenomena

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 115


pemahaman para pengelola kebijakan penanggulangan bencana di Kota
Padang sangat parsial dan cenderung adanya ego sektoral antarbidang
dalam organisasi perangkat daerah, di mana seolah-olah tanggung jawab
persoalan bencana di daerah hanya oleh Badan Penanggulangan Bencana
Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBD-PK) saja, padahal sebenarnya
di setiap organisasi perangkat daerah memiliki tanggung jawab ini.
Kegiatan mitigasi bencana yang ada dapat dikoordinasikan oleh
BPBDPK, sehingga kegiatan yang diselenggarakan oleh masing-masing
SKPD menjadi lebih sinkron dan tidak terjadi pengulangan program
dengan objek yang sama. BPBDPK merupakan pihak yang secara
teknis dianggap lebih mengetahui, cenderung mengatakan bahwa para
pejabat, terutama di Lingkungan BPBDPK dan SKPD terkait dengan
kebencanaan pada umumnya mengetahui, meskipun juga mengakui
tidak semuanya mengetahui dan belum tentu mengetahui semuanya
tentang penanggulangan bencana sebagaimana yang tertuang dalam
peraturan daerah. Informan lebih cenderung berharap dengan kebijakan
penanggulangan bencana dapat memberikan rasa aman dan nyaman
kepada masyarakat terhadap ancaman bencana yang akan melanda,
sehingga Pemerintah Kota Padang, sudah memiliki rencana atau
langkah-langkah ke depan dalam rangka mengurangi risiko bencana.
Hasil penelitian di lapangan juga mengindikasikan bahwa
pemahaman BPBDPK dan SKPD terkait dengan kebencanaan masih
belum memadai, dan bahkan masih ada yang belum tahu. Pemahaman
BPBDPK dalam penanggulangan bencana baru sampai batas pelaksana
kebijakan saja, padahal BPBDPK mempunyai kewenangan yang
lebih luas lagi sebagai komando dan koordinator dari pada kebijakan
penanggulangan bencana di daerah. Namun selama ini baru kewenangan
sebagai pelaksana saja yang bisa diterapkan, hal ini menjadikan
BPBDPK sebagai lembaga yang mengalami disfungsi. Dengan demikian,
ketika fungsi yang diemban oleh BPBDPK dapat berjalan dengan baik,
maka kegiatan mitigasi bencana yang ada juga akan dapat terlaksana
dengan baik, karena melibatkan segenap unsur yang ada. Di samping
pemahaman informan penelitian terhadap Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2008, pemerolehan data juga dimaksudkan untuk mendapatkan
data-data tentang tanggapan informan penelitian terhadap kebijakan
penanggulangan bencana dalam hal ini lebih difokuskan kepada bencana
gempa bumi. Dalam hal ini, informan diminta memberikan tanggapan

116 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


atau penilaian mengenai kebijakan yang telah dilakukan oleh Kota
Padang selama ini dalam hal mitigasi bencana.
Pemerintah Kota Padang dalam hal ini BPBDPK telah melaksanakan
berbagai kegiatan dalam rangka mitigasi pengurangan risiko bencana
gempa bumi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan tersebut merupakan
bentuk dari tanggap jawab mereka dalam hal melindungi masyarakat
dari kemungkinan terburuk yang akan diakibatkan oleh bencana yang
akan terjadi.
Di lain hal, DPRD memberikan dukungan terhadap pemerintah
Kota Padang dalam menjalankan kegiatan mitigasi bencana. Kemitraan
yang dijalin antara pemerintah Kota (BPBDPK) dengan DPRD melalui
Komisi IV. Dalam hal ini BPBDPK sebagai mitra komisi IV tentunya
akan selalu berkoordinasi dan berkomunikasi apa yang akan dilakukan
dalam program mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi gempa bumi.
Disamping itu DPRD sebagai wakil rakyat juga perlu mendengarkan
aspirasi masyarakat tentang mitigasi bencana, selain mendorong BPBD
untuk menyiapkan segala macam program dalam antisipasi bencana,
DPRD juga melakukan komunikasi dan koordinasi dengan dinas terkait
misalnya dinas PU dan Dinas TRTB. Dengan demikian upaya yang
dilakukan oleh Kota Padang dalam rangka pengurangan risiko bencana
gempa bumi dirasakan sudah maksimal, berbagai kegiatan dan program
untuk mengantisipasi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana sudah
dikerjakan, namun semua terpulang kepada masyarakat yang akan
terkena dampak dari bencana tersebut, dalam artian berbagai usaha
preventif seperti simulasi dan sosialisasi sudah dilakukan pemerintah,
kini tinggal masyarakat yang dengan bijak mampu menyikapinya.
Menurut peneliti, belum efektifnya sosialisasi yang ada terlihat
pada kejadian gempa pada tanggal 2 Maret 2016, di mana pada gambar
di bawah ini terlihat terjadi kepanikan di masyarakat saat gempa bumi
melanda Kota Padang.

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 117


Sumber: BPBDPK Kota Padang, Tahun 2016
Gambar 5.9 Kejadian Gempa Padang 2 Maret 2016

Gambar 5.9 tersebut menunjukkan betapa tidak siapnya masyarakat


Kota Padang menghadapi bencana gempa, sosialisasi dan simulasi
yang selama ini dilakukan seakan-akan menjadi tidak berguna dengan
melihat kejadian pada gambar tersebut. Sebenarnya apa yang terjadi di
masyarakat, kenapa masih saja terjadi kepanikan dan menyelamatkan
diri memakai kendaraan roda empat, bukannya di saat sosialisasi
dan simulasi sudah dijelaskan tata cara menyelamatkan diri. Asumsi
peneliti melihat kejadian ini adalah bahwa ada yang keliru dalam
pelaksanaan sosialisasi ke masyarakat, sehingga di saat bencana terjadi
masyarakat masih saja panik dan terjadi kemacetan di jalan raya. Untuk
itu Pemerintah Kota Padang perlu lebih intensif lagi dalam melakukan
sosialisasi dan tidak hanya berhenti pada anak-anak sekolah saja, tetapi

118 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


juga kepada masyarakat umum baik di daerah yang terpapar ataupun
daerah yang terdampak tsunami, sehingga masyarakat menjadi lebih
paham dan mengerti terhadap apa yang terjadi.
Menurut analisis peneliti, apa yang dilakukan Kota Padang hal
penanggulangan bencana sudah menunjukkan hal yang positif, namun
karena masih adanya keterbatasan sumber daya manusia, sumber
daya anggaran makanya beberapa kegiatan yang sudah direncanakan
kurang bisa berjalan dengan baik antara lain hal ini berdampak kepada
rendahnya informasi yang didapat masyarakat.
Namun hal yang positif yang dilakukan oleh BPBDPK dalam hal
ini kerja sama dengan KOGAMI. Dengan demikian, keikutsertaan
Kogami dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota
Padang menunjukkan adanya kerja sama antara pihak pemerintah
dan LSM dalam mitigasi penanggulangan bencana. Namun sangat
“disayangkan” setelah kegiatan NGOs itu selesai di suatu tempat di
kota Padang, tidak ada keberlanjutan yang dilakukan oleh pemerintah
Kota. Ini menandakan ketidakpedulian pemerintah terhadap program
yang telah ada, sehingga tidak ada keberlanjutan program. Sehingga
program-program yang ada selama ini tidak begitu memiliki dampak
yang signifikan kepada masyarakat. Kebijakan penanggulangan bencana
yang dilaksanakan pada waktu itu tidak memberikan pemahaman yang
berarti kepada masyarakat dan pemerintah. Buktinya beberapa kali
Kota Padang dilanda gempa tetap saja sikap dan perilaku masyarakat
tidak berubah.
Ke depannya Pemerintah Kota Padang melalui SKPD terkait
hendaknya lebih tanggap dan paham dengan gejala alam yang terjadi dan
berusaha untuk menyikapinya dengan baik, sehingga program-program
yang ada dapat diarahkan untuk memperbaiki tingkat pemahaman dan
kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana yang akan datang. Di
lain pihak BPBDPK sebagai leading sector penanganan kebencanaan di
daerah juga perlu berbenah diri dan meningkatkan pemahaman dari
masing-masing aparatur yang ada, sehingga setiap kebijakan yang ada,
dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya.
Dengan demikian, translation ability dipahami sebagai kemampuan
yang dimiliki untuk menerjemahkan suatu kebijakan yang bersifat
umum ke khusus atau dengan kata lain kebijakan yang berskala nasional

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 119


menjadi kebijakan yang bersifat teknis dengan konteks lokal. Kebijakan
penanggulangan bencana yang ada di Kota Padang jika diterapkan dapat
memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh anggota masyarakat
terutama dalam hal mitigasi penanggulangan bencana. Untuk itu,
translation ability pejabat/pelaksana kebijakan penanggulangan bencana
tidak semata-mata dilihat dari kemampuan intelektual setiap individu
pejabat/pelaksana kebijakan, akan tetapi juga pada kemampuan
mengartikulasikan kewenangan yang dimiliki dalam penempatan dalam
jabatan tertentu.
Namun yang terjadi adalah sering kali penempatan pejabat di
SKPD tidak sesuai dengan kualifikasinya dan berimbas kepada tingkat
pemahaman mereka terhadap tupoksi dan kebijakan yang ada menjadi
rendah.
Rendahnya kapasitas kelembagaan dan personal BPBDPK bisa
juga dilihat dari proses mutasi dan rotasi yang cukup cepat sehingga
kemudian berdampak terhadap kualitas sumber daya yang ada. Sehingga
faktor sumber daya menjadi hal yang penting untuk diperhatikan,
menurut Budiman Rusli (2013: 102) syarat berjalannya suatu organisasi
adalah kepemilikan terhadap sumber daya (resources). Kekurangan
terhadap sumber daya yang ada akan membuat organisasi tidak berjalan
secara efektif dan efisien. Organisasi BPBDPK ini merupakan organisasi
yang penting dan strategis, sehingga semestinya yang ditempatkan di
BPBDPK hendaklah orang-orang yang mempunyai kompetensi dan
mengerti dengan tupoksinya. Kondisi BPBDPK saat ini adalah proses
turn of stafnya sangat tinggi, sehingga di waktu melakukan penguatan
kapasitas serta pemahaman mereka tentang penanggulangan bencana,
orang yang baru disiapkan peningkatan kapasitasnya sudah dipindah.
Dengan masuknya staf baru tentu saja perlu dimulai lagi dari awal
penguatan kapasitas, maka secara kelembagaan BPBDPK menjadi lemah,
karena kemudian diisi oleh SDM yang tidak siap dalam menjalankan
tupoksinya dalam penanggulangan bencana. Berikut ini dapat dilihat
tabel 5.2 tentang pergantian pejabat di BPBDPK Kota Padang, kurun
waktu dari tahun 2013-2017 yang sudah empat kali berganti kepala
pelaksana BPBDPK.

120 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Tabel 5.2 Nama-nama Kepala Pelaksana BPBDPK Kota Padang
No Nama Tahun
1 Budhi Erwanto, M.M. 2014
2 Dedi Henidal, M.M. 2015
3 Rudi Rinaldy, M.T. 2016
4 Dr. Edi Hasymi 2017
Sumber: BPBPPK, 2017

Ada indikasi negatif, dengan seringnya pergantian kepala SKPD


memberikan pemahaman yang kurang terhadap kebijakan yang akan
dilaksanakan. Jika orang yang memegang kendali tersebut kurang tepat
dalam mengambil kebijakan maka upaya penanggulangan bencana bisa
dikhawatirkan tidak akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan
(Kusumasari, 2014b).
Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pimpinan yang sebelumnya
akan berganti seiring dengan bergantinya pimpinan SKPD. Selain itu,
adanya stigma negatif yang berkembang di kalangan pemerintah kota,
bahwa lembaga BPBDPK ini adalah merupakan lembaga bagi orang-
orang yang dianggap kurang berkompeten dan tidak penting sehingga
sebelum seseorang mendapatkan jabatan yang tetap maka untuk
sementara ditempatkan terlebih dahulu di BPBDPK. Padahal lembaga ini
merupakan lembaga yang strategis terutama bagi daerah yang memiliki
kerentanan dan kerawanan yang tinggi terhadap ancaman gempa.
Dengan demikian sudah seharusnya stigma negatif itu diperbaiki
oleh Pemerintah Kota Padang, mengingat Kota Padang yang rawan
terhadap bencana gempa bumi. Untuk itu kapasitas kelembagaan dan
personel yang ada di BPBDPK perlu ditingkatkan, sehingga ke depannya
dapat menjalankan kegiatan dan kebijakan yang sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, aspek translation ability dapat menjelaskan
bagaimana tingkat pemahaman dan kejelasan yang dimiliki oleh
pelaksana kebijakan sehingga kebijakan penanggulangan bencana
gempa bumi dapat berjalan dengan baik, namun yang terjadi di Kota
Padang adalah pemahaman dari pelaksana kebijakan masih rendah
kecenderungan ini dikarenakan adanya ego sektoral dari masing-masing
lembaga yang terkait, rendahnya kapasitas personel dan lembaga dari

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 121


BPBDPK yang merupakan leading sector dari aktor pelaksana kebijakan.
Rendahnya kapasitas ini disebabkan oleh salah satunya adalah dari
seringnya rotasi pejabat dan personel di lembaga ini.

2. Resources
Adapun pada penelitian ini aspek sumber daya yang dimaksud
adalah berupa staff/sumber daya manusia (personnel), sarana/prasarana
(equipment), dana/biaya (funding) dan tugas birokrasi (enforcement
assignment bureucracies). Pada subbab berikut ini dapat dijelakan hal-hal
sebagai berikut.
a. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu unsur penting dalam
implementasi kebijakan penanggulangan bencana di Kota Padang.
Kemampuan sumber daya manusia menentukan keefektivan daripada
implementasi kebijakan. Persoalan sumber daya, merujuk pendapat
Edwards III (1980: 11) bahwa hal yang diperlukan agar implementasi
berjalan efektif adalah:

Important resources include staff of the proper size and with the necessary
expertise; relevant and adequate information on how to implement policies
and on the compliance of others involved in implementation; the authority
to ensure that policies are carried out as they are intended; and facilities
(including buildings, equipment, land, and supplies) in which or with which
to provide services.

Sedangkan dalam konteks implementasi kebijakan penanggulangan


bencana, kapasitas para pelaksana di daerah baik secara kuantitatif
maupun kualitatif sangat menentukan dalam proses mentransfer
kebijakan yang ada di atasnya ke dalam implementasinya. Pelaksana
dalam hal kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi berbasis
mitigasi bencana yang dimaksud adalah pemerintah Kota Padang sebagai
unsur penentu kebijakan dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
dan Pemadam Kebakaran sebagai unsur pelaksana kebijakan. Untuk
itu, perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya kapasitas sumber daya
para aktor yang nantinya akan memengaruhi keterpaduan kerja dan
hubungan kerja dengan lembaga terkait.

122 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Untuk BPBDPK Kota Padang, pada awal berdirinya bernama BPBD
Kota Padang, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota
Padang dibentuk pada tahun 2008. Berdasarkan Perda Kota Padang
Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Padang. Namun karena
perubahan SOTK berdasarkan PP 41 Tahun 2007 terjadi perubahan
nama menjadi BPBDPK Kota Padang. Badan Penanggulangan Bencana
Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBDPK) Kota Padang dibentuk
berdasarkan Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 17 Tahun 2012. Pada
awal berdirinya BPBD di Kota Padang, sumber daya aparatur yang ada
di ‘datangkan’ dari SKPD-SKPD lain, sehingga ketercukupan terhadap
sumber daya yang ada terpenuhi. Namun pemenuhan kebutuhan
sumber daya tersebut tidak berdasarkan kebutuhan atau kompetensi
yang diharapkan dalam organisasi BPBD. Karena orang-orang yang
ditempatkan di BPBD bukanlah orang-orang yang sesuai dengan
kompetensinya, sehingga pada awal pembentukan organisasi ini masih
memiliki kelemahan di kapasitas personel maupun lembaga BPBD itu
sendiri dalam penanggulangan bencana.
Dari hasil penelitian terlihat bahwa kondisi sumber daya manusia
(staf/personel) di BPBD waktu itu memang masih belum memadai,
namun ada upaya untuk yang dilakukan oleh Pemerintah Kota ke
depannya untuk bisa memperbaiki kualitas sumber daya yang ada.
adapun upaya yang dilakukan tersebut antara lain dalam hal rekrutmen
staf. Di mana rekrutmen staf di BPBD PK (red-sekarang) dilakukan
dengan memerhatikan kompetensi yang ada yaitu dalam tahap awal
rekrutmen CPNS, BPBDPK mengusulkan kebutuhan untuk kualifikasi
keilmuan bidang teknik geologi, teknik sipil, teknik transportasi dan
tata ruang. Hal ini dilakukan guna memenuhi kebutuhan yang ada
di organisasi. Selain itu juga mengajukan penambahan pegawai dari
existing yang dibutuhkan, misalnya untuk rehabilitasi dan rekonstruksi
BPBDPK membutuhkan penambahan personel yang sesuai dengan
kualifikasi yang ada.
Intensitas bencana di Kota Padang yang tinggi baik itu bencana
gempa bumi, banjir, angin puting beliung, kebakaran dan lainnya
membutuhkan sumber daya manusia yang terampil dan mumpuni

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 123


untuk menangani itu semua. Bencana unpredictable dan lingkungan
bencana semakin hari-semakin naik, sehingga dibutuhkan kecakapan
yang tinggi terhadap itu.
Selain adanya proses rekrutmen personel yang memerhatikan
kompetensi, dalam rangka meningkatkan kualitas SDM yang ada
BPBDPK Kota Padang juga melakukan pendidikan dan pelatihan.
Pelatihan yang diadakan dilakukan secara reguler dan periodik,
misalnya pelatihan mengikuti SAR Air, Pelatihan SCUBA, Pelatihan
peningkatan kapasitas personel. Sedangkan untuk pendidikan, staff
diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan lanjut, pendidikan
yang dimaksud bisa berupa capaian mendapatkan gelar ataupun non-
gelar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini merupakan
bentuk apresiasi terhadap personel yang memiliki kemampuan dan
kecakapan untuk bisa meningkatkan kemampuan dan kapasitas personel
dengan memberikan kesempatan untuk studi lanjut, dan setelah
yang bersangkutan menyelesaikan studinya, ilmu yang didapat dapat
diaplikasikan untuk kepentingan Pemerintah Kota Padang. Mengenai
jumlah personel yang dimiliki oleh BPBDPK Kota Padang sampai
Bulan November Tahun 2016 adalah sebanayak 108 orang. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 5.3 Jumlah Personel BPBDPK per November 2016


No. Unsur Pelaksana Jumlah
(orang)
1. Kepala Pelaksana 1
2. Sekretariat 18
3. Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan 10
4. Bidang Kedaruratan dan Logistik 20
5. Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi 7
6. Bidang Proteksi dan SDM 11
7. Bidang Pemadam Kebakaran 41
JUMLAH 108
Sumber: BPBDPK, Tahun 2016

Berdasarkan tabel 5.3 tersebut dapat dilihat bahwa jumlah


keseluruhan personel tetap (PNS) yang ada di BPBDPK adalah 108
orang. Selain itu ada juga tenaga honorer (honor daerah) berjumlah 31

124 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


orang. Sehingga dengan demikian jumlah personel yang ada di BPBDPK
berjumlah 139 orang. Dengan jumlah pegawai yang ada tersebut
menurut BPBDPK dirasakan masih kurang, mengingat tingginya
intensitas bencana yang terjadi di Kota Padang.
Dengan kekurangan personel yang ada di BPBDPK maka cara lain
yang ditempuh untuk dapat melaksanakan kebijakan penanggulangan
bencana di daerah adalah dengan membuat panitia ad hoc kebencanaan.
Di mana panitia ad hoc yang dibentuk melibatkan SKPD lain yang terkait
dalam hal mitigasi penanggulangan bencana, misalnya Dinas Pekerjaan
Umum, Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan, Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja. Sehingga sumber daya yang ada di masing-masing SKPD ini
dapat dioptimalkan.
Dengan demikian, kekurangan personel di BPBDPK seharusnya tidak
menjadikan lembaga ini menjadi tidak profesional dalam menjalankan
tugasnya. Karena menurut Budi Winarno (2007: 181) yang dikutip dari
Edward III, bahwa jumlah personel tidak selalu mempunyai efek positif
bagi implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah staf yang
banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya kecakapan atau keterampilan yang
dimiliki oleh para pegawai pemerintah ataupun staf yang diperlukan
untuk melaksanakan kebijakan, namun di sisi lain kekurangan staf juga
akan menimbulkan persoalan yang pelik menyangkut implementasi
kebijakan publik yang efektif.
b. Sarana dan Prasarana
Pemenuhan terhadap sarana dan prasarana dalam mitigasi
penanggulangan bencana merupakan faktor penting. Seorang pelaksana
mungkin mempunyai staf yang memadai, memahami apa yang harus
dilakukan, dan mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan
tugasnya, tetapi tanpa tersedianya sarana dan prasarana yang memadai
maka besar kemungkinan implementasi kebijakan yang direncanakan
tidak akan berhasil (Budi Winarno, 2007: 188). Kota Padang sebagai
daerah yang rawan terhadap bencana gempa bumi, tentunya memerlukan
sarana dan prasarana pendukung untuk melakukan mitigasi bencana.
Dalam hal ini Pemerintah Kota Padang telah melakukan berbagai
kegiatan dalam rangka pengurangan risiko bencana. Berbagai sarana
dan prasarana yang diperlukan telah tersedia, walaupun sepenuhnya
belum memenuhi kebutuhan yang ada.

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 125


Hasil penelitian di lapangan menunjukkan selain adanya kekurangan
sarana dan prasarana yang ada, kondisi yang terjadi saat ini di Kota
Padang adalah peralatan yang tersedia di Pusat Kendali Operasional
(Pusdalops) Kota Padang juga sudah ketinggalan zaman, sementara di
tempat lain sudah memakai alat yang canggih, sehingga ke depannya
perlu melakukan upgrade terhadap peralatan yang ada, sehingga apabila
bencana terjadi Pusdalops bisa dengan segera memberikan informasi
kepada pengambil kebijakan (walikota) dan masyarakat.
Untuk itu, dalam rangka meningkatkan ketersediaan peralatan
yang dibutuhkan dalam rangka kebijakan mitigasi bencana gempa
bumi, Pemerintah Kota Padang telah melakukan kerja sama dengan
pihak ketiga, dalam hal ini baik dengan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah Provinsi Sumatera Barat, Badan Nasional Penanggulangan
Bencana ataupun pihak asing. Misalnya dalam pembangunan bukit
Buatan setinggi 12 m di dekat Lapangan Udara Tabing. Pembangunan
ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi gempa bumi yang disertai
dengan tsunami.
Bukit buatan yang akan dibangun tersebut nantinya akan berfungsi
sebagai shelter yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat
evakuasi sementara jika bencana gempa bumi disertai tsunami melanda
Kota Padang. Peralatan lainnya yang dipersiapkan oleh Pemerintah Kota
Padang dalam rangka mitigasi bencana gempa bumi adalah pengadaan
alat yang disebut sebagai Earthquake Early Warning System (EEWS), alat
ini merupakan alat yang bisa dipakai untuk mendeteksi sedini mungkin
kejadian gempa bumi. Alat ini merupakan hibah dari Pemerintah Cina.
Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut, diharapkan
akan memberikan kesiapan kepada pemerintah dan masyarakat dalam
menghadapi ancaman yang akan datang. Untuk itu, pemenuhan akan
sarana dan prasarana merupakan faktor penting alam upaya pengurangan
risiko bencana. Dengan sarana dan prasarana yang memadai risiko yang
akan datang dapat diperkecil, walaupun untuk menghilangkan bencana
tersebut tentu saja tidak bisa.
c. Anggaran
Salah satu faktor yang penting dalam implementasi kebijakan
penanggulangan bencana gempa bumi adalah faktor anggaran/dana.
Persoalan anggaran ini selalu saja menjadi permasalahan yang klasik

126 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


bagi pemerintah daerah dalam setiap terjadi bencana alam termasuk
gempa bumi, tidak terkecuali Pemerintah Kota Padang. Dengan kondisi
geografis Kota Padang yang merupakan daerah dengan intensitas
bencana yang tinggi tentu saja memerlukan anggaran yang besar dalam
rangka penanggulangan bencana salah satunya adalah bencana gempa
bumi. Berbagai kejadian bencana alam yang terjadi di Kota Padang
memberikan kontribusi terhadap ketersediaan anggaran yang memadai.
Ketersediaan dana tentu saja berimplikasi kepada adanya
ketersediaan besaran Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah. Pada
tabel 5.4 berikut ini dapat dilihat besaran Anggaran Pendapatan dan
Belanja Kota Padang dari tahun 2013-2016.

Tabel 5.4 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Padang


Tahun Total Belanja Total Pengeluaran Pembiayaan
(dalam Rp) (dalam Rp)
2016 2.546.950.844.341 22.500.000.000
2015 2.303.776.915.505 7.500.000.000
2014 2.166.166.603.015 10.824.000.000
2013 1.679.115.884.343 12.729.140.781
Sumber: diolah dari APBD Kota Padang, Tahun 2013–2016

Jika dilihat pada tabel 5.4 anggaran belanja Kota Padang meningkat
setiap tahunnya, hal ini tentu saja diharapkan akan membawa dampak
yang baik juga bagi peningkatan anggaran kebencanaan. Sementara
dana kebencanaan yang dianggarkan oleh Pemerintah Kota Padang dari
tahun ke tahun juga terjadi peningkatan, di mana tahun 2015 anggaran
kebencanaan ada sebesar 1 miliar sedangkan untuk tahun 2016 ini ada
sekitar 2 miliar.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa telah terjadi
peningkatan anggaran kebencanaan, namun dana yang dianggarkan
tersebut mencakup untuk semua jenis bencana yang terjadi di Kota
Padang, apakah itu banjir, gempa bumi, kebakaran, tanah longsor,
angin badai dan banjir rob. Dana yang berjumlah 2 Miliar tersebut
dirasakan masih kurang untuk pendanaan kebencanaan di Kota Padang,
apalagi intensitas bencana yang terjadi di Padang dari waktu ke waktu
semakin tinggi. Tingginya intensitas bencana yang terjadi di Kota Padang
menyebabkan ketersediaan dana kebencanaan menjadi berkurang maka

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 127


jika sewaktu waktu bencana yang lebih besar datang (gempa bumi
misalnya) maka Pemerintah Kota Padang akan kekurangan dana.
Selama ini penganggaran Pemerintah Kota Padang untuk dana
kebencanaan masih sebatas dana tak terduga. Anggaran tersebut
digunakan untuk penanganan tanggap darurat pascabencana terjadi, ini
sudah pernah dilakukan sewaktu kejadian gempa bumi Padang tahun
2009. Kebijakan anggaran ini menunjukkan bahwa penanggulangan
bencana masih sebatas pada penanggulangan pascabencana. Paradigma
penanggulangan bencana yang hanya bertumpu pada penanggulangan
pasca bencana semakin lama terbukti tidak mampu menjawab persoalan-
persoalan yang terjadi seputar penanggulangan bencana.
Seiring dengan itu maka di beberapa tempat di wilayah nusantara
sering didengar dan dilihat tayangan atau berita di media masa
dan elektronik bahwa pemerintah setempat sudah tidak memiliki
anggaran untuk merespons bencana yang terjadi, terutama jika bencana
tersebut terjadi pada akhir anggaran. Begitu juga dengan di Padang,
pengalaman gempa tahun 2009 memberikan pelajaran yang berharga
bagi Pemerintah Kota Padang betapa pentingnya ketersediaan anggaran
kebencanaan terutama bagi masyarakat yang terkena dampak bencana.
Karena dampak lanjutan keterbatasan anggaran dan keterbatasan
pengelolaan bantuan tanggap darurat adalah yang terjadi misalnya
naiknya angka kesakitan di masyarakat yang terkena dampak terutama
kelompok rentan (balita, anak-anak, lansia dan lain-lain). Sedangkan
dampak lanjutan yang lain adalah munculnya potensi konflik terkait
dengan pengelolaan dan pendistribusian bantuan baik; konflik bisa
terjadi antara pemberi bantuan dengan penerima bantuan maupun
antarpenerima bantuan. Kejadian konflik ini pernah terjadi di Kota
Padang terkait dengan bantuan rehabilitasi kejadian gempa tahun 2009.

128 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Berdasarkan hasil penelitian juga dapat dilihat bahwa mengenai
anggaran kebencanaan di Kota Padang dapat disiasati dengan perlunya
BPBDPK melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga lain yang
terkait. Sehingga anggaran kebencanaan yang ada tidak harus masuk
dalam anggaran BPBDPK tetapi bisa juga terdapat di SKPD terkait.
Tugas BPBDPK adalah bagaimana melakukan komunikasi dengan SKPD
terkait tersebut mengenai program kerja yang dilakukan terkait dengan
kebencanaan. Sehingga anggaran yang ada di masing-masing SKPD
tersebut dapat dioptimalkan penggunaannya. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 Pendanaan dan Pengelolaan
Bantuan Bencana, maka persoalan anggaran dalam kebencanaan
lebih komprehensif. Dalam Peraturan tersebut dijelaskan mengenai
Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana terlihat berbagai jenis
dana dari berbagai sumber dan yang bisa dipergunakan oleh pemerintah
daerah dalam rangka penanggulangan bencana. Jadi pemerintah daerah
tidak semata-mata mengandalkan dana dari APBD sebagai dana
kebencanaan. Lebih lanjutkan dapat dilihat pada tabel 5.5 berikut ini.

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 129


130
Tabel 5.5 Jenis dan Sumber Pendanaan Penanggulangan Bencana di Kota Padang
No Jenis Sumber Deskripsi Permasalahannya Existing Kota Padang
1. Dana Kontijensi APBN · Dana yang dicadangkan untuk PP 22/2008 tidak mengatur dengan Pada kejadian Gempa
Bencana menghadapi kemungkinan tegas pencairan, pengelolaan dan Padang 30 September 2009
bencana tertentu yang pertanggungjawaban dana ini. Bila yang lalu, dana ini bisa
disediakan untuk kegiatan dana ini dilaksanakan dengan skema dipergunakan.
kesiapsiagaan pada tahap yang mirip dana dekonsentrasi
prabencana. maka akuntabilitasnya akan buruk.
· Dana Penanggulangan
bencana yang telah
dialokasikan dalam APBN atau
APBD untuk masing-masing
instansi/lembaga terkait
(Pasal 15 PP. 22/2008).
2. Dana APBN/ Dana Penanggulangan bencana Untuk Kota Padang telah
Penanggulangan APBD telah dialokasikan dalam APBN dianggarkan dalam APBD
Bencana dan atau APBD untuk masing- setiap tahunnya, sedangkan

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


masing instansi/lembaga terkait untuk nominalnya mencapai
(Pasal 15 PP. 22/2008). 2 Miliar pada tahun 2016.
3. Dana Siap Pakai APBN/ Dana yang harus selalu tersedia Pencairan dana, penggunaan dana, Dana ini bisa dipergunakan
APBD dan dicadangkan oleh pemerintah audit dan pertanggungjawaban atas persetujuan kepala
untuk digunakan pada saat keuangannya belum jelas, terlebih daerah yang menetapkan
tanggap darurat bencana sampai yang menyangkut pengadaaan kondisi darurat bencana.
dengan waktu tanggap darurat barang atau jasa (procurement).
berakhir. Dana ini disediakan Pembelanjaan dana ini tidak
dan ditempatkan dalam anggaran memiliki nomenklatur yang jelas,
BNPB untuk kegiatan pada saat satu-satunya rekening yang
tanggap darurat. Pemerintah tersedia adalah rekening dana
daerah dapat menyediakan tak terduga yang akuntabilitasnya
dana siap pakai dalam anggaran rendah dan sarat dengan beban
penanggulangan bencana politis. Bila dana ini dicairkan
yang berasal dari APBD yang dalam keadaan darurat maka
ditempatkan dalam anggaran prosedurnya rumit dan lama.
BPBD. Dana siap pakai yang bersumber
dari APBD belum ada aturannya,
item anggaran ini dikhawatirkan
menimbulkan kerentanan karena
alokasinya mengurangi anggaran
kesejahteraan sosial.
4. Dana Bantuan Sosial APBN Dana yang disedikan pemerintah Pengalaman menunjukkan Pemerintah Kota Padang
berpola hibah pusat kepada pemerintah akuntabilitas dana ini buruk karena pernah mengajukan dana ini
daerah sebagai bantuan masalah mislokasi dan vested pasca Gempa 30 September
penanganan pascabencana. interest birokrasi yang menyalurkan 2009. Di mana masyarakat
Untuk memperolah dana ini, dana mendapatkan dana ini

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang


pemerintah daerah mengajukan berupa dana bantuan
permohonan tertulis kepada gempa.
pemerintah pusat melalui BNPB.

131
132
5 Dana y a n g Masyarakat Dana yang dihimpun dari Penggunaan dana ini Dapat berupa dana
bersumber dari masyarakat atas swadaya yang rendah akuntabilitasnya, sumbangan dari pihak
Masyarakat dilakukan oleh masyarakat dan karena ada kesulitan untuk swasta, kalau di Kota
dicatat sebagai penerimaan mempertanggungjawabkan. Padang misalnya mendapat
negara pada APBD. bantuan dari PT Semen
Padang, PT Telkom dan PT
Pertamina berupa dana CSR
perusahaan

6 Dana Dukungan K o m u n i t a s Dana yang diterima dari Keberadaan dana dari pihak luar Dengan aturan yang ada
K o m u n i t a s Internasional komunitas internasional ini negeri ini kemungkinan sulit untuk tidak mudah untuk bisa
Internasional masuk ke kas negara sebagai yang dicairkan oleh daerah, karena harus mendapatkan dana dari

Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


tercatat pada penerimaan APBN, minta izin dulu pemerintah pusat. pihak asing, apalagi dalam
dana yang masuk harus mendapat jumlah yang banyak.
pemeriksaan dulu dari pihak yang
berwenang, apakah dana ini
murni untuk kemanusiaan atau
ada faktor lainnya.
Sumber: Valentina Sri Wijiyanti (Penyunting), 2010; 38-40, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2017 dan BPBD Kota Padang (2017).
Pada tahun 2016 Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota
Padang mendapatkan Anggaran Belanja sebesar Rp21.290.834.197,00,
anggaran tersebut dipergunakan untuk pelaksanaan program/kegiatan
yang ada di BPBDPK antara lain dapat dilihat pada tabel 5.6 berikut ini.

Tabel 5.6 Per-Bidang Kegiatan, BPBDPK Kota Padang Tahun 2016


No Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan
1 Pelatihan kelompok siaga bencana (KSB) kelurahan.
2 Simulasi evakuasi bencana.
3 Pemeliharaan rambu-rambu dan baliho evakuasi.
4 Pencegahan bahaya dan ancaman daerah rawan bencana (pemasangan plang
daerah rawan bencana).

No Bidang Kedaruratan dan Logistik


1 Perawatan berkala sirine peringatan dini tsunami.
2 Peremajaan dan optimalisasi pusat kontrol sirine/pusdalops.
3 Penyediaan peralatan dan perlengkapan kebencanaan.
4 Pemeliharaan peralatan kebencanaan.

No Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi


1 Penyusunan detail engenering design.
2 Pengendalian dan pengawasan bencana alam.
3 Rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.

No Bidang Proteksi dan SDM


1 Pelatihan teknis sumber daya manusia aparatur.
2 Pelatihan penanganan bencana dan kebakaran.
3 Pelatihan peningkatan kemampuan sumber daya aparatur.
4 Pengembangan sumber daya aparatur.
5 Intensifikasi dan eksentifikasi alat pencegahan pencegahan kebkaran.
6 Pencegahan dan pengendalian bahaya kebakaran .

Sumber: Dokumentasi BPBPK Kota Padang tahun 2016

Dengan demikian, dari faktor anggaran Kota Padang untuk program


penanggulangan bencana dari data yang tertera tersebut menunjukkan

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 133


adanya pos anggaran pada BPBDPK Kota Padang. Namun untuk
menjalankan kegiatan yang ada BPBDPK Kota Padang masih kekurangan
misalnya untuk pembangunan fisik seperti shelter perlu dana 10 miliar
sampai 20 miliar, sementara ketersediaan anggaran yang terbatas,
sehingga Pemerintah Kota Padang melakukan kerja sama dengan pihak
ketiga terutama individu-individu yang mempunyai gedung-gedung
bertingkat semisal hotel. Kebijakan belanja anggaran pembangunan
fisik untuk fasilitas umum seharusnya cukup aman untuk dapat menjadi
shelter bagi warga ketika bencana terjadi.
Namun pengalaman gempa Padang 30 September 2009
menunjukkan fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah dan bangunan
kantor pemerintah tidak cukup memadai untuk menjadi tempat
berlindung yang aman bagi masyarakat saat bencana terjadi. Alokasi
anggaran belanja untuk penanggulangan risiko bencana di daerah rawan
bencana gempa lebih banyak terpusat pada pengurangan ancaman, yang
berarti alokasi belanjanya lebih banyak untuk pembangunan fisik seperti
pembuatan tanggul pemecah ombak di pinggir pantai Kota Padang,
membenahi drainase yang rusak di daerah by Pass Air Pacah dan lain-lain.

C. Tugas Birokrasi/Tupoksi
Jika selama ini lembaga seperti Satuan Pelaksana Penanggulangan
Bencana (Satlak PB) baru berfungsi sesudah bencana, maka
berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 Pasal 12 ayat 2b mengenai Badan
Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) menyatakan bahwa salah
satu tugasnya adalah memberikan pedoman dan pengarahan terhadap
usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana,
penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara
adil dan setara. Sementara itu untuk tingkat pemerintah daerah,
Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
terdapat pada Pasal 18 yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

134 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


1. Badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat
di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib; dan
2. Badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat
setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa.

Menurut aturan tersebut pimpinan BPBD adalah seorang pejabat


eselon IIa. Padahal dalam praktiknya di tata pemerintahan daerah
hanya ada seorang pejabat setingkat eselon IIa di kabupaten/kota yaitu
Sekretaris Daerah. Sehingga dengan demikian untuk menyiasati dari
kebijakan ini maka sekretaris daerah merangkap jabatan menjadi kepala
BPBD (ex officio) sementara untuk menjalankan tugas rutin ditunjuklah
seorang kepala pelaksana (kalaksa) setingkat kepala dinas atau
badan. Dengan demikian, tentunya tugas dan tanggung jawab kepala
pelaksana menjadi cukup berat dan penting dalam setiap kebijakan
penanggulangan bencana yang ada di daerah.
Kota Padang yang merupakan wilayah yang rawan dan rentan
terhadap bencana gempa bumi yang disertai tsunami. Dengan kondisi
ini tentu saja BPBDPK Kota Padang sebagai leading sector kebencanaan
memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat. Dalam Pasal 8
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana dijelaskan bahwa tanggung jawab pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: (a) penjaminan
pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai
dengan standar pelayanan minimum; (b) perlindungan masyarakat
dari dampak bencana; (c) pengurangan risiko bencana dan pemaduan
pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; dan
(d) pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai. Melihat bunyi pasal-
demi pasal terlihat bahwa beban dan tanggung jawab pemerintah
dalam penyediaan anggaran kebencanaan menjadi penting, mengingat
pemerintah memiliki kewenangan dalam hal tersebut.
Fungsi Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang disebut
sebagai unsur pelaksana dalam undang-undang tersebut dijelaskan
pada Pasal 15 ayat 2 yaitu unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mempunyai fungsi koordinasi, komando, dan pelaksana dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sehingga dengan demikian
BPBD tidak hanya menjalankan fungsi sebagai pelaksana saja namun

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 135


juga menjalankan fungsi sebagai koordinator dan komando saat bencana
terjadi. Aturan lain yang menjelaskan mengenai fungsi BPBD adalah
Peraturan Kepala (Perka) BNPB No. 3 Tahun 2008 tentang pedoman
pembentukan BPBD, pada hal 17 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan tata Kerja Badan
Penanggulangan Daerah Pasal 11 yang menjelaskan bahwa dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, BPBD mempunyai fungsi
koordinasi, komando dan pelaksana, oleh karenanya hubungan kerja
antara BPBD dengan instansi atau lembaga terkait dapat dilakukan
secara koordinasi, komando dan pengendalian.
Namun, untuk kasus BPBDPK Kota Padang dalam praktiknya
yang terlihat baru pelaksanaan fungsi sebagai pelaksana, di mana
fungsi koordinasi dan komando masih belum terselenggara dengan
baik. Padahal pelaksanaan fungsi ini penting bagi pembangunan
kapasitas kelembagaan, dalam hal ini yang dimaksud adalah bahwa
dalam menyusun dokumen perencanaan PRB termasuk aspek kebijakan
yang merupakan tanggung jawab dan wewenang Kepala BPBD dan
bukan kepala pelaksana. Namun sangat disayangkan, yang terjadi
adalah kepala pelaksana seolah-olah telah menjadi kepala BPBD,
dan ini merupakan salah satu hal yang menghambat daripada fungsi
komando, dan ini merupakan pengkerdilan terhadap lembaga BPBD itu
sendiri. Dalam hal menjalankan fungsi koordinasi dimaksudkan untuk
mendistribusikan informasi-informasi yang terkait dengan kajian risiko
dengan SKPD terkait, sehingga dokumen yang tela dibuat oleh BPBD
dapat diseminasikan kepada SKPD terkait guna ditindaklanjuti dalam
rencana aksi masing-masing SKPD tersebut. Terkait dengan fungsi
koordinasi ini juga maka BPBD, secara berkala mengajak SKPD terkait
rapat koordinasi dan melakukan cross check terhadap rencana Aksi SKPD
yang sudah ditarik menjadi rencana kerja dari pada SKPD terkait.
Kerancuan dalam menjalankan fungsi ini disebabkan salah satunya
dengan tidak adanya unsur pengarah dalam struktur BPBDPK Kota
Padang, dengan tidak adanya unsur pengarah maka kepala pelaksana
bekerja sendiri dan seolah-olah menganggap dirinya sebagai kepala
BPBD. Padahal unsur pengarah ini memiliki peran yang penting di BPBD,
yaitu sebagai tink tank nya sekretaris daerah dalam menjalankan fungsi
sebagai kepala BPBD. Unsur pengarah tersebut terdiri dari lembaga/
instansi pemerintah daerah yakni dari badan/dinas terkait dengan

136 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


penanggulangan bencana dan masyarakat profesional yakni dari pakar,
profesional dan tokoh masyarakat di daerah. Untuk tingkat kabupaten/
kota anggota unsur pengarah berjumlah 9 (sembilan) anggota, terdiri
dari 5 (lima) pejabat instansi/lembaga pemerintah daerah dan 4 (empat)
anggota dari masyarakat profesional di daerah. Dalam Perka BNPB
No. 3 Tahun 2008 dijelaskan bahwa tugas dan fungsi dari pada unsur
pengarah adalah memberikan masukan dan saran kepada Kepala BPBD
dalam penanggulangan bencana. Dalam melaksanakan tugas tersebut
unsur pengarah menyelenggarakan fungsi: (a) perumusan kebijakan
penanggulangan bencana daerah; (b) pemantauan; dan (c) evaluasi
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Untuk unsur kelembagaan itu sendiri dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 19 ayat
1 dijelaskan Badan Penanggulangan Bencana Daerah terdiri atas unsur:
pengarah penanggulangan bencana; dan pelaksana penanggulangan
bencana. Dipertegas dengan Perka BNPB No. 3 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pembentukan BPBD, di mana organisasi BPBD terdiri dari: (a)
Kepala, (b) Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana, dan (c) Unsur
Pelaksana Penanggulangan Bencana. Untuk BPBDPK Kota Padang belum
ada tersedia unsur pengarah.
Unsur pengarah yang akan membantu kepala BPBD dalam
menyiapkan konsep-konsep kebijakan untuk penyelenggaraan
pengurangan risiko bencana di Kota Padang. Dengan ketiadaan unsur
ini fungsi BPBD menjadi lemah dan lebih banyak menjalankan fungsi
pelaksana daripada fungsi koordinasi, dikarenakan sekda selaku kepala
BPBD tidak bisa menjalankan perannya dengan baik, sehingga yang
lebih dominan dalam menjalankan pelaksanaan PRB adalah kepala
pelaksana (kalaksa).
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa fungsi BPBD
dalam rangka PRB yang terlihat baru pada fungsi pelaksana saja, hal
ini berdampak kepada upaya-upaya dalam menjalankan fungsi yang
lain yaitu fungsi koordinasi. Sebagai bagian dari mitigasi bencana maka
daerah harus menyiapkan dokumen dalam PRB yang merupakan amanat
dari undang-undang, dokumen tersebut nantinya ditetapkan melalui
peraturan daerah atau peraturan walikota.

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 137


Adapun dalam rangka penyusunan rencana PRB tersebut basisnya
adalah kajian risiko, sehingga dalam penyusunan dokumen tersebut
akan melibatkan banyak pihak dan lintas sektoral dalam organisasi
pemerintah daerah, dengan demikian dibutuhkan kewenangan sekda
selaku kepala BPBD untuk bisa mengoordinasikan kegiatan ini, namun
yang terjadi adalah sekda tidak dapat berfungsi dengan baik sehingga
proses penyusunan dokumen menjadi tidak maksimal. Masing-masing
SKPD yang ada dalam penyusunan dokumen tersebut keikutsertaan
mereka hanya kadang kala menjadi prasyarat saja, karena pada waktu
penyusunan dokumen yang diharapkan hadir adalah pejabat eselon
yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan namun
ternyata yang diutus adalah staf yang tidak memiliki wewenang sehingga
penyusunan dokumen menjadi lebih lama.
Proses inilah yang membuat penyusunan suatu dokumen PRB
menjadi lama, sehingga dengan demikian semestinya harapan besar ada
pada sekda, dengan kedudukan sekda sebagai kepala BPBD, sekda yang
mempunyai kewenangan dalam menggerakkan lintas sektor selain itu
sekda juga bisa menekankan kepada masing-masing SKPD terkait untuk
dapat menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk penyusunan rencana
PRB. Di sinilah fungsi koordinasi dan komando bisa berjalan, sekda
sebagai pejabat eselon yang paling tinggi di daerah bisa memerintahkan
kepada semua kepala SKPD untuk bisa bekerja sama dalam proses
penyusunan rencana PRB yang turunannya melahirkan rencana aksi
daerah dalam PRB, rencana kedaruratan, tanggap darurat dan SOP.
Dengan demikian, dalam menjalankan tupoksinya BPBDPK Kota
Padang dalam fungsi kooordinasinya masih lemah karena BPBDPK
masih belum bisa melaksanakan tiga fungsinya yang baru dijalankan
oleh BPBD saat ini adalah fungsi pelaksana, yang fungsi koordinasi
masih lemah apalagi fungsi komando, yang mana sebenarnya pada
saat terjadi bencana BPBD memang menjadi leading sector-nya yang
bisa menggerakkan sumber daya yang ada mulai TNI, Polri sampai
masyarakat. Untuk itu, ke depannya diharapkan adanya kebijakan dari
Pemerintah Kota Padang untuk bisa memperkuat tupoksi dari BPBDPK
sehingga dapat berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan.
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas maka faktor sumber
daya merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan kebijakan
penanggulangan bencana. Kota Padang masih memiliki kekurangan

138 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


dalam hal sumber daya yang ada baik dari segi kualitas maupun
kuantitas sumber daya manusia, sarana dan prasarana dan anggaran
yang tersedia. Pada bagian sumber daya telah dijelaskan bahwa
kekurangan personel secara kualitas adalah kurang kompetennya para
pegawai dikarenakan personel yang ada di BPBDPK tidak memiliki
kapasitas yang memadai baik dari segi kemampuan ataupun dari segi
kinerjanya, ini menyebabkan kinerja lembaga secara umum menjadi
rendah, sedangkan dari segi kuantitas dikarenakan ada keterbatasan
penambahan pegawai yang merupakan kebijakan pusat, sehingga
pegawai yang ada tidak mencukupi untuk melaksanakan kegiatan yang
ada. Sedangkan dari segi saranan dan prasarana seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya adalah bahwa sarana dan prasarana yang dimiliki
belum memadai dan cenderung sudah tidak up to date lagi sehingga perlu
adanya pengadaan baru, namun dikarenakan kecukupan keuangan yang
terbatas maka sarana atau peralatan yang ada tetap digunakan. Untuk
anggaran bencana sendiri Kota Padang telah menganggarkan setiap
tahunnya dan itu masuk ke dalam dana yang tidak terduga, jadi tidak
ada pos anggaran khusus mengenai bencana alam gempa bumi.
Dengan demikian, jika dilihat dari aspek sumber daya maka memberikan
kecenderungan bahwa adanya kelemahan yang perlu diperbaiki oleh
Pemerintah Kota Padang dalam implementasi kebijakan penanggulangan
bencana gempa bumi, karena dengan kondisi yang ada maka Kota Padang
akan mendapat kesulitan dalam melaksanakan kebijakan ini.

1. Limited Number of Player


Dalam kerangka mitigasi penanggulangan bencana alam secara
menyeluruh (komprehensif), terdapat tiga aktor atau unsur yang
berperan yaitu pemerintah (public sector), swasta (privat sector) dan
masyarakat (community). Keterlibatan berbagai aktor tersebut dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana menjadi suatu yang penting.
Seperti yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007.
Pasal 16 ayat (3) ditegaskan bahwa Kegiatan kesiapsiagaan merupakan
tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah dan dilaksanakan
bersama-sama masyarakat dan lembaga usaha. Sedangkan di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa Penyelenggaraan
penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 139


penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah
multi stake holder terlibat, baik itu dari pihak pemerintah (mulai dari
tingkatan pemerintah yang paling rendah sampai yang paling tinggi,
mulai dari kelurahan sampai pusat), lembaga legislatif, lembaga swadaya
masyarakat (NGOs baik lokal maupun asing) dan pihak swasta. Untuk
konteks Kota Padang pranata kelembagaan yang terbentuk dalam rangka
kegiatan pengurangan risiko bencana sudah tertata dengan baik dan
dapat dikatakan sudah lengkap, kenapa demikian, karena hampir semua
lembaga yang bergerak di bidang kebencanaan ada di Kota Padang.
Dalam hal ini, BPBDPK sebagai leading sector-nya harus bisa mengelola
lembaga yang sudah ada ini.
Selain itu juga di setiap lembaga pemerintah/SKPD terkait juga ada
kegiatan kebencanaannya. Berikut ini dapat dilakukan pengklasifikasian
SKPD, LSM dan Pihak swasta yang terkait dengan kegiatan kebencanaan
di Kota Padang antara lain Dinas Pekerjaan Umum (PU), Dinas Tata
Ruang dan Tata Bangunan (TRTB), Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
(Dinsosnaker), Dinas Pendidikan (Diknas), Dinas Kesehatan (Dinkes),
Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD), Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda), kecamatan (Kasi Keamanan,
Ketertiban dan Penanggulangan Bencana), kelurahan (Taruna Siaga
Bencana). Sementara itu di LSM ada Komunitas Siaga Tsunami
(Kogami), Jemari Sakato, Mercy Corps. Dan dari swasta ada PT Semen
Padang, yang didukung oleh radio bencana Classy FM. Kesemuanya
pihak tersebut terlibat dalam proses pelaksanaan penanggulangan
bencana di Kota Padang.
Masing-masing aktor menjalankan fungsinya masing-masing
namun masih dalam koridor saling keterkaitan dengan organisasi
yang lainnya, di sinilah peran dan fungsi BPBDPK sebagai komando
dan koordinator dalam penanggulangan bencana, dengan bagaimana
menggerakkan lembaga-lembaga tersebut agar bisa bersinergi dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana di Kota Padang, terutama
pada tahap pra bencana (mitigasi bencana), sehingga risiko yang akan
ditimbulkan oleh bencana dapat diminimalisir.

140 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Peran BPBDPK sebagai leading sector penanggulangan bencana di
daerah didasarkan kepada Perka BNPB No. 23 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pembentukan BPBD yaitu Badan Penanggulangan Bencana
Daerah, selanjutnya disebut BPBD adalah perangkat daerah yang
dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi penanggulangan
bencana di daerah. Pada Bab IV peraturan tersebut dijelaskan fungsi
BPBD dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, BPBD
mempunyai fungsi koordinasi, komando dan pelaksana, oleh karenanya
hubungan kerja antara BPBD dengan instansi atau lembaga terkait dapat
dilakukan secara koordinasi, komando dan pengendalian.
Terkait dengan fungsi koordinasi, koordinasi BPBD dengan instansi
atau lembaga dinas/badan secara horizontal pada tahap prabencana,
saat tanggap darurat dan pascabencana, dilakukan dalam bentuk:
(a) penyusunan kebijakan dan strategi penanggulangan bencana; (b)
penyusunan perencanaan penanggulangan bencana; (c) penentuan
standar kebutuhan minimun; (d) pembuatan prosedur tanggap
darurat bencana; (e) pengurangan risiko bencana; (f) pembuatan peta
rawan bencana; (g) penyusunan anggaran penanggulangan bencana;
(h) penyediaan sumber daya/logistik penanggulangan bencana;
dan (i) pendidikan dan pelatihan, penyelenggaraan gladi/simulasi
penanggulangan bencana. Koordinasi penyelenggaraan penanggulangan
bencana dapat dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga/organisasi
dan pihak-pihak lain yang terkait sesuai dengan ketentuan yang berlaku
sementara itu kerja sama yang melibatkan peran serta negara lain,
lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah dilakukan
melalui koordinasi BNPB sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sedangkan untuk melakukan rapat koordinasi penanggulangan bencana
dilakukan minimal 1 (satu) kali dalam satu tahun dan sewaktu-waktu
sesuai dengan kebutuhan: antara BPBD kabupaten/kota dan instansi
terkait/organisasi/lembaga terkait di tingkat kabupaten/kota, antara
BPBD provinsi dengan instansi/organisasi/lembaga terkait di tingkat
provinsi dan antara BPBD provinsi dengan BPBD kabupaten/kota.
Terkait dengan fungsi komando BPBD menjalankan fungsi
Dalam hal status keadaan darurat bencana, gubernur/bupati/
walikota menunjuk seorang komandan penanganan darurat bencana
atas usulan Kepala BPBD. Komandan Penanganan Darurat Bencana
sebagaimana yang disebutkan di atas, mengendalikan kegiatan

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 141


operasional penanggulangan bencana dan bertanggung jawab
kepada Kepala Daerah. Sedangkan Komandan Penanganan Darurat
Bencana memiliki kewenangan komando memerintahkan instansi/
lembaga terkait meliputi: (a) pengerahan sumber daya manusia; (b)
pengerahan peralatan; (c) pengerahan logistik; dan (d) penyelamatan;
Komandan Penanganan Darurat Bencana berwenang mengaktifkan
dan meningkatkan Pusat Pengendalian Operasi menjadi Pos Komando.
Berkaitan dengan fungsi BPBDPK sebagai fungsi pelaksana adalah
merupakan fungsi pelaksana unsur pelaksana BPBD dilaksanakan
secara terkoordinasi dan terintegrasi dengan satuan kerja perangkat
daerah lainnya di daerah, instansi vertikal yang ada di daerah dengan
memerhatikan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana dan
ketentuan peraturan yang berlaku (Permendagari No. 46 Tahun 2008
tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD).
Untuk kasus Kota Padang, pelaksanaan fungsi yang baru terlihat
dilaksanakan oleh BPBDPK dari ketiga fungsi tersebut adalah fungsi
pelaksana, sementara fungsi komando dan koordinator belum berjalan
sebagaimana mestinya. Dalam menjalankan tugas sebagai fungsi
pelaksana maka BPBDPK yang dikepalai oleh seorang Kepala Pelaksana
menjalankan program-program/kegiatan mitigasi bencana yang sudah
dianggarkan sebelumnya di Rencana Anggaran Belanja (RAB) BPBDPK.
Seperti sosialisasi ke masyarakat tentang bencana, pelatihan anggota
KSB, pembuatan leafleat, pemeliharaan rambu-rambu, dan simulasi
gempa.
Di sisi lain koordinasi yang dilakukan oleh BPBDPK dengan dinas
dan badan terkait masih lemah, sehingga ini terlihat dari program
yang diselenggarakan oleh masing-masing SKPD terkait masih bersifat
parsial, masing-masing SKPD membuat program sendiri-sendiri, padahal
sebenarnya ada beberapa program yang terkait dengan kebencanaan
bisa disinkronkan. Misalnya untuk program simulasi kebencanaan ke
masyarakat dan sekolah ada di beberapa SKPD tertentu yaitu di Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan BPBD
itu sendiri. Menurut peneliti, program ini cukup satu saja di BPBDPK
jadi lembaga yang terkait turut serta juga melakukannya dengan
berkoordinasi dengan BPBD, sehingga pos anggaran untuk kegiatan
serupa bisa dialihkan untuk kegiatan yang lainnya. Berikut ini dapat

142 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


dijelaskan peran daripada masing-masing SKPD, lembaga yang terkait
dengan kegiatan mitigasi bencana;
Dinas Pekerjaan Umum mempunyai tugas pokok dan fungsi yang
tertuang dalam Peraturan Walikota Padang No. 58 Tahun 2012 tentang
Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pekerjaan Umum. Dalam
peraturan tersebut dijelaskan bahwa tugas daripada Dinas PU dalam
kerangka mitigasi penanggulangan bencana adalah sebagai penyedia
sarana dan prasarana (infrastruktur), misalnya menyediakan shelter
(Tempat Evakuasi Sementara) di beberapa titik yang rawan terhadap
bencana, membangun jalur evakuasi gempa dan tsunami, yang pada
saat ini sedang dikerjakan tersedia untuk 12 jalur, selain itu juga
melakukan pengawasan terhadap pembangunan gedung-gedung yang
tahan terhadap gempa dan melakukan evaluasi terhadap gedung-gedung
bertingkat yang dibangun sebelum gempa 2009, ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah bangunan tersebut masih layak dipergunakan atau
tidak, jika masih layak maka bisa jadi dipergunakan sebagai tes atau
jika tidak layak maka lebih baik diruntuhkan. Dengan demikian, untuk
kegiatan mitigasi penanggulangan bencana, Dinas PU merupakan
tim teknis, yang melakukan pekerjaan berdasarkan perencanaan atau
usulan dari dinas lain. Keterkaitan pekerjaan tersebut bisa dilihat
dari misalnya Dinas Pendidikan mempunyai program pembangunan
sekolah yang ramah terhadap gempa, maka pelaksanaan pembangunan
sekolah tersebut merupakan pekerjaan Dinas PU, Dinas Pendidikan
cukup mengusulkan hal dan dimasukkan dalam pos anggaran Dinas
Pendidikan. Contoh lainnya adalah pembangunan Jalur Evakuasi
Gempa dan Tsunami, perencanaannya ada pada Dinas Tata Ruang dan
Tata Bangunan, sedangkan yang melakukan eksekusi pelaksanaannya
adalah Dinas Pekerjaan Umum, sehingga kegiatan ini masuk dalam
Pos Anggaran Dinas TRTB. Dengan demikian, ada keterkaitan kegiatan
daripada masing-masing SKPD yang terkait dengan kebencanaan.
Dinas Pendidikan mempunyai tugas pokok dan fungsi yang tertuang
dalam Peraturan Walikota Nomor 53 Tahun 2012 tentang Penjabaran
Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan. Dalam peraturan tersebut
dijelaskan bahwa salah satu tupoksi daripada Dinas Pendidikan dalam
hal mitigasi penanggulangan bencana gempa bumi adalah melakukan
edukasi kepada anak didik dan guru-guru di sekolah. Memberikan
sosialiasi dan pembelajaran kepada anak-anak sekolah serta guru-guru.

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 143


Saat ini yang sudah dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Padang baru
tahap sosialisasi dan edukasi. Pada tahap sosialisasi Dinas Pendidikan
bekerja sama dengan BPBDPK untuk melakukan kegiatan ini, di mana
Dinas Pendidikan dalam hal ini sekolah menyiapkan anak sekolah dan
guru-guru untuk menerima materi tentang kebencanaan, selain itu juga
melakukan latihan berupa simulasi gempa yang melibatkan banyak anak
sekolah beserta guru-guru. Sedangkan untuk tahap edukasi, kegiatan
mitigasi bencana diupayakan masuk ke dalam kurikulum kebencanaan,
ada tiga cara yang bisa dipakai supaya materi kebencanaan ini bisa
masuk ke sekolah yaitu melalui integrasi ke dalam mata pelajaran,
menjadi mata pelajaran muatan lokal, dan integrasi dalam kegiatan
ekstrakurikuler. Yang saat ini terlaksana di Kota Padang baru pada
tahap kegiatan ekstrakurikuler dan integrasi ke mata pelajaran yang
terkait seperti fisika, geografi, biologi. Untuk kegiatan ekstrakurikuler
seperti kegiatan olahraga sedangkan untuk integrasi ke mata pelajaran,
dimasukkan dalam pembahasan di salah satu subbab mata pelajaran.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa kegiatan mitigasi
bencana merupakan kegiatan yang dilakukan bersama antara BPBDPK
dan Dinas Pendidikan. Selain itu untuk materi kebencanaan di sekolah-
sekolah di Kota Padang masuk dalam kegiatan ekstrakurikuler dan
terintegrasi ke beberapa mata pelajaran. Namun fakta dilapangan
kegiatan ini masih dirasakan kurang, karena dengan hanya memasukkan
program kebencanaan sebagai ekstrakurikuler dan terintegrasi ke mata
pelajaran, maka materi kebencanaan yang diberikan kepada siswa terasa
kurang. Padahal Kota Padang sudah mempunyai peraturan daerah yang
mengatur tentang implementasi kurikulum kebencanaan, peraturan
tersebut adalah Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 5 Tahun 2011
Tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Kota Padang, pada bagian
kurikulum lokal Pasal 50 huruf f yaitu pengetahuan dan keterampilan
kesiapsiagaan bencana dan kebutuhan daerah lainnya. Dengan adanya
peraturan ini terbuka peluang untuk Kota Padang memasukkan
kurikulum kebencanaan sebagai muatan lokal. Dengan masuknya
kurikulum kebencanaan sebagai muatan lokal maka harapannya adalah
materi yang diberikan dan waktu penyajian lebih banyak, sehingga
diharapkan siswa akan lebih paham dan mengerti tentang kebencanaan.
Kondisi ini memungkinkan, mengingat Kota Padang merupakan kota
yang rawan terhadap bencana alam, terutama gempa bumi, sehingga

144 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


sejak awal perlu diperkenalkan kepada anak-anak sekolah tentang
kondisi ini. Anak-anak adalah termasuk kelompok yang rentan
terhadap risiko bencana di samping orang tua dan kaum difabel. Maka
pengintegrasian materi kebencanaan ke dalam muatan lokal menjadi
suatu keniscayaan untuk dilakukan.
Dinas Sosial dan tenaga kerja mempunyai tugas pokok dan fungsi
yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 55 Tahun 2012 tentang
Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa salah satu tugas Dinas Sosial
dan tenaga kerja dalam mitigasi bencana adalah melakukan kegiatan
penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat yang rentan terhadap
bencana, misalnya ibu-ibu, masyarakat miskin kota, kaum difabel.
Pemberian sosialisasi ini melibatkan unsur dari Tagana (taruna siaga
bencana) yang berada di bawah koordinasi Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja. Sosialisasi dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kepada
kaum difabel, antara lain Tuna Rungu dan Tuna Netra.
Secara umum peran serta Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam
penanggulangan bencana pada dasarnya adalah pada tahap bencana
dan pascabencana. Pada saat bencana/tanggap darurat bagaimana Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja menyediakan dapur umum (logistik bencana),
tempat pengungsian sementara, menyediakan Tim SAR, dan pada saat
pasca bencana bagaimana Dinas Sosial dan Tenaga Kerja melakukan
pemulihan terhadap korban bencana. Trauma healing setelah pasca
gempa perlu dilakukan, guna memulihkan mental para korban yang
terkena bencana.
Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan mempunyai tugas pokok
dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 59 Tahun
2012 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Tata Ruang dan
Tata Bangunan. Dalam peraturan tersebut salah satu fungsi daripada
Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan dalam kebijakan penanggulangan
bencana adalah melakukan perencanaan terhadap jalur-jalur evakuasi
gempa, perencanaan terhadap Rencana Tata Ruang dan Wilayah dan
mengeluarkan izin mendirikan bangunan. Terkait dengan perencanaan
jalur evakuasi gempa, Dinas Tata Ruang dan Bangunan merencanakan
12 jalur yang terbentang dari barat ke timur Kota Padang. Dalam
pelaksanaan program pembuatan jalur evakuasi ini, tanggung jawabnya
ada pada Dinas Pekerjaan Umum dan Badan Penanggulangan Bencana

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 145


Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBDPK). Sedangkan untuk revisi
atas RTRW dilakukan oleh Dinas TRTB bekerja sama dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah. Dalam rangka menyikapi perubahan
yang terjadi terhadap peruntukan ruang terutama setelah gempa
Padang tahun 2009, maka ada perubahan terhadap RTRW yang ramah
terhadap bencana. Sedangkan untuk izin mendirikan bangunan, Dinas
TRTB mengeluarkan rekomendasi terhadap pembangunan gedung,
sementara itu juga menginisiasi lahirnya Peraturan Daerah Kota Padang
No. 7 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung. Ada pengaturan terhadap
pembangunan gedung terutama gedung untuk layanan publik milik
pemerintah.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
mempunyai tugas pokok dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan
Walikota Nomor 44 Tahun 2012 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan
Fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Dalam peraturan
tersebut salah satu fungsi daripada adalah melakukan perencanaan
terhadap pembangunan daerah, perencanaan penganggaran bidang
kebencanaan. Dalam kaitannya dengan kebijakan mitigasi bencana,
bappeda dengan SKPD terkait melakukan revisi terhadap RTRW Kota
Padang. Yang disesuaikan dengan salah satu program prioritas Kota
Padang Tahun 2014–2019 yaitu penataan lingkungan perkotaan yang
hijau, berkelanjutan dan berbasis mitigasi bencana.
Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD)
mempunyai tugas pokok dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan
Walikota Nomor 63 Tahun 2012 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan
Fungsi Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Deerah. Dalam peraturan
tersebut diatur salah satu fungsi daripada BPKAD adalah menyiapkan
anggaran untuk semua kegiatan yang ada di Kota Padang, termasuk
kegiatan kebencanaan. Dalam anggaran tahun 2016 dianggarkan untuk
kebencanaan sebesar 2 miliar rupiah.
Dinas Kesehatan (Dinkes) mempunyai tugas pokok dan fungsi
yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 54 Tahun 2012 tentang
Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kesehatan. Dalam peraturan
tersebut salah satu fungsi dari pada Dinkes adalah melakukan pelatihan-
pelatihan kepada tim medis dalam rangka mitigasi bencana. Pelatihan
diberikan kepada tim medis untuk mempersiapkan mereka dalam

146 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


menghadapi bencana yang akan terjadi. Persiapan ini diperlukan, karena
jika bencana datang maka tim medis sudah siap sedia.
Dukungan pemerintah terhadap kebencanaan terlihat dari
keseriusan mempersiapkan lembaga yang mempunyai kepentingan
dalam penanggulangan bencana. Kementerian Sosial melalui Direktorat
Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial telah membentuk Taruna Siaga
Bencana (TAGANA). Pembentukan Tagana merupakan respons
pemerintah terhadap perlunya komponen kesiapsiagaan bencana yang
berasal dari masyarakat. Tagana sendiri dibentuk tanggal 23 Maret 2004.
Tagana sebenarnya itu dilahirkan oleh pemikir yang peduli terhadap
bencana, tagana posisinya sebagai relawan yang memiliki kemampuan
yang serba bisa, tujuan pemerintah membentuk kepedulian masyarakat
terhadap penanganan persoalan bencana dan bagaimana tagana bisa
berperan aktif dalam masyarakat. Berbagai kegiatan yang dilakukan
oleh Tagana Kota Padang adalah melakukan pelatihan kepada anggota
Tagana tentang bagaimana mempersiapkan dapur umum, penyediaan
logistik bencana, simulasi gempa, dan sosialisasi bencana gempa kepada
kaum difabel dan lansia.
Konsekuensi sebagai tindak lanjut UU No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana maka di Kota Padang Tahun 2011 telah
dibentuk Kelompok Siaga Bencana (KSB) sebanyak 2080 orang di 104
kelurahan. Pembentukan KSB ini diinisiasi oleh BPBDPK, bersama
dengan Jemari Sakato, Mercy Corps dan Kogami. Sejak tahun 2011
s.d sekarang, secara bertahap anggota KSB diberikan pendidikan
dan pelatihan oleh pemerintah melalui BPBD-PK Kota Padang. KSB
ini merupakan ujung tombak dan kepanjangan tangan dari BPBDPK
dalam mitigasi penanggulangan bencana. Dari tujuan pembentukan
KSB adalah sebagai tim advance dalam mitigasi bencana. KSB yang
melakukan sosialisasi dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam
hal kebencanaan, KSB yang berdiri paling depan dalam mitigasi
penanggulangan bencana, KSB yang secara langsung bersentuhan
dengan masyarakat dan KSB pulalah yang membuat peta evakuasi
gempa. Dengan demikian, keberadaan KSB akan dapat membantu
BPBDPK dalam mentransformasikan kegiatan-kegiatan mitigasi bencana
yang telah dirancang oleh BPBDPK.

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 147


Kedudukan legislatif (Komisi IV DPRD Kota Padang) dalam
kebijakan penanggulangan bencaan memiliki peran yang penting. Komisi
IV merupakan bidang yang membawahi kegiatan kebencanaan. Melalui
program-program yang dibuat Komisi IV juga melakukan sosialisasi
kepada masyarakat mengenai kebencanaan. Sosialisasi dilakukan
biasanya pada masa reses yaitu di saat kunjungan anggota DPRD kepada
konstituennya. DPRD dalam hal ini Komisi IV mempunyai peran
yang cukup strategis dalam persoalan kebencanaan. BPBDPK sebagai
mitra Komisi IV DPRD Kota Padang, selalu melakukan koordinasi
dan berkomunikasi tentang apa yang akan dilakukan dalam program
mitigasi bencana. Yang membuat program adalah BPBDPK sedangkan
DPRD mengawasi dan melakukan perencanaan anggaran. Di samping
itu, DPRD yang merupakan perwakilan masyarakat juga mendengarkan
aspirasi masyarakat tentang program mitigasi bencana, makanya DPRD
mendorong BPBDPK untuk menyiapkan segala macam program dalam
mitigasi bencana, dorongan tidak hanya kepada BPBDPK tetapi juga
kepada SKPD terkait misalnya Dinas PU, Dinas TRTB.
Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan oleh DPRD merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam rangka mitigasi penanggulangan
bencana. Selain dari pada itu, unsur LSM atau NGOs yang terlibat dalam
kegiatan penanggulangan bencana di Kota Padang adalah antara lain Jemari
Sakato, Kogami, dan Mercy Corps. Jemari sakato merupakan LSM yang
memberikan perhatian yang serius terhadap program pengurangan risiko
bencana di Kota Padang. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Jemari
Sakato pasca gempa Padang tahun 2009 adalah vulnerability and capacity
assessment (VCA) bekerja sama dengan Mercy Corps atas dukungan UKAid,
Program READY bekerja sama dengan KSB, Mercy Corps atas dukungan
dana dari Usaid dan Prepare Sumbar. Umumnya kegiatan itu didukung
oleh Amerika dan Inggris, dengan perpanjangan tangan dari Mercy Corps.
Kegiatan lain yang dilakukan oleh Jemari Sakato adalah membantu
BPBD Kota Padang dalam membentuk KSB di setiap kelurahan yang ada
di Kota Padang. Pembentukan KSB dan memberikan edukasi kepada
mereka, sehingga KSB menjadi kelompok yang kuat, kelompok ini
yang akan mentransfer ke masyarakat pengetahuan mereka terhadap
kebencanaan, bagaimana kelompok ini memberikan pengetahuan
kepada masyarakat jika bencana terjadi. Dengan demikian, Jemari Sakato
lebih banyak melakukan mitigasi nonstruktural, dengan melakukan

148 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


edukasi dan advokasi terhadap masyarakat yang rentan bencana gempa
dan tsunami, mengedukasi dan mengadvokasi masyarakat bagaimana
siap menghadapi bencana.
Jemari Sakato mengadvokasi masyarakat dengan mempertemukan
ketiga pilar yaitu pemerintah, masyarakat dan swasta serta DPRD.
Sehingga kegiatan mitigasi ini juga bisa diketahui oleh pemerintah,
nagari, kecamatan. Kebutuhan-kebutuhan mitigasi tidak hanya
masyarakat saja yang tahu. Tapi juga diberitahukan kepada pemerintah,
Jemari Sakato mengadvokasi masyarakat untuk mitigasi dengan
pemerintah dan swasta. Edukasi dan advokasi dilakukan dengan cara
memberikan pemahaman kepada masyarakat berupa pelatihan, mengkaji
kerentanan dan kapasitas, bersama dengan masyarakat membuat
dokumen tentang daerah mereka.
Dari dokumen tersebut dilakukan lokakarya, dengan mereka
mengetahui seperti inilah kondisi wilayah mereka. Setelah dokumen
fix dan diperbaiki serta dijadikan dokumen itu sebagai pembelajaran
dari mereka. Selain itu juga melakukan program pendampingan kepada
kelurahan, kelurahan yang dampingi banyak program yang hasilkan dari
penjaringan yang dilakukan itu diakomodir oleh pemerintah.
Pendampingan dilakukan oleh jemari dengan mengintegrasikan
program ke dalam program pemerintah. Pendampingan dilakukan
dalam merencanakan kegiatan apa yang akan dilakukan dalam rangka
peningkatan kapasitas mereka dalam kebencanaan, bagaimana
menghadapi bencana, karakteristik bencana, memberikan pemahaman
dan pelatihan teknis bagaimana jika bencana terjadi, evakuasi, tidak
saja hanya edukasi tetapi juga hal teknis. Kegiatan yang lakukan adalah
workshop dan hearing dengan pemerintah, dan itu dimasukkan ke dalam
program pemerintah.
Pada tingkat pemerintah daerah, Jemari Sakato melakukan edukasi
terhadap BPBDPK. Edukasi dilakukan dengan asumsi BPBD ini baru jadi
staf-staf yang ditempatkan masih awam terhadap konsep kebencanaan,
Jemari Sakato mentransfer pengetahuan terhadap upaya-upaya mitigasi
bencana, memberikan penguatan-penguatan dalam bentuk seminar dan
workshop yang diikuti oleh BPBD dan SKPD terkait.
Berkaitan dengan upaya kepedulian terhadap bencana gempa bumi
dan tsunami maka lahirlah Komunitas Siaga Tsunami (Kogami). Kogami

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 149


lahir pasca terjadinya tsunami Aceh, secara defacto lahir di bulan April
2005, dan secara deyure Kogami lahirnya pada 21 September 2005
di Sumatera Barat. Kogami merupakan salah satu lembaga swadaya
masyarakat yang juga ikut menginisiasi lahirnya KSB bersama dengan
BPBD. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh Kogami dalam
rangka mitigasi penanggulangan bencana di Kota Padang adalah
melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai
bencana gempa bumi dan tsunami. Relawan-relawan Kogami turun
ke masyarakat dan sekolah untuk turut serta menyebarkan informasi
dan mengedukasi masyarakat dan sekolah tentang upaya-upaya yang
perlu dilakukan dalam rangka mengurangi risiko bencana gempa bumi
dan tsunami. Dalam melakukan kegiatan tersebut tidak jarang Kogami
mendapat pertentangan dari masyarakat.
Namun, walaupun mendapatkan pertentangan dari masyarakat,
Kogami tetap saja melakukan kegiatannya. Kegiatan lain yang dilakukan
Kogami adalah melakukan pendampingan/advokasi kurikulum
kebencanaan ke beberapa sekolah baik tingkat SD, SLTP ataupun
SLTA, selain itu juga melakukan pelatihan kepada kaum difabel, serta
melakukan pelatihan peningkatan kapasitas personel dan lembaga
BPBDPK serta SKPD terkait.
Lembaga lain yang juga terlibat dalam kegiatan mitigasi
penanggulangan bencana di Kota Padang adalah Mercy Corps yang
merupakan LSM Internasional yang bermarkas di Amerika. Mercy Corps
juga ikut serta menginisiasi lahirnya KSB di Kota Padang, bersama
dengan BPBD pada saat itu. Peran dari pada Mercy Coprs dalam mitigasi
bencana di Kota Padang adalah memberikan pelatihan-pelatihan dan
bantuan teknis kepada masyarakat melalui KSB yang sudah dibentuk.
Diberikan peningkatan kapasitas melalui pelatihan-pelatihan kepada
anggota KSB dan Anggota BPBD itu sendiri, Mercy Corps melakukan
kerja sama dengan Jemari Sakato, membantu membuat SOP di
kelurahan. Selain itu juga melakukan Pelatihan dasar bagaimana
penanggulangan bencana, pelatihan bagaimana mempergunakan alat
komunikasi, simulasi-simulasi, Mercy Corps membantu masyarakat dan
mengarahkan untuk mempersiapkan mitigasi bencana di daerahnya.
Pihak swasta yang terlibat cukup aktif dalam upaya penanggulangan
bencana di Kota Padang selama ini adalah PT Semen Padang. PT Semen

150 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Padang sebagai salah satu BUMN yang berlokasi di Kota Padang,
mempunyai peran yang penting dalam rangka mitigasi penanggulangan
bencana di Kota Padang. Bersama-sama dengan pemerintah dan LSM
(Jemari Sakato, Kogami dan Mercy Corps) melakukan kegiatan mitigasi
bencana berupa sosialisasi bencana ke masyarakat dan sekolah-sekolah
yang berada di ring satunya Semen Padang.
Sosialisasi juga dilakukan bekerja sama dengan radio Classy FM,
yang merupakan satu-satunya radio yang mendeklarasikan dirinya
sebagai Radio Siaga Bencana. Bersama Classy FM melakukan berbagai
acara Talkshow tentang kebencanaan. Selain itu Semen Padang melalui
pendanaan dari dana CSR nya melakukan berbagai simulasi gempa di
sekolah-sekolah yang berada di sekitar kawasan PT Semen Padang.
Selain melakukan kegiatan sosialisasi dan simulasi, PT Semen Padang
juga melakukan pelatihan, salah satu pelatihan yang diadakan adalah
pelatihan radio komunikasi, kegiatan pelatihan ini merupakan kerja
sama antara PT Semen Padang, Mercy Corp dan Usaid. PT Semen
Padang juga mempunyai Tim Reaksi Cepat (TRC), yang mana tim ini
aktif mengikuti pelatihan dan melakukan simulasi serta sosialisasi ke
masyarakat, tim ini juga memiliki kemampuan dalam reaksi cepat jika
bencana datang.
Dengan demikian, stakeholders yang terlibat dalam mitigasi bencana
mempunyai peran masing-masing sehingga bisa saling mendukung
satu dengan yang lainnya. Di sinilah seharusnya BPBDPK memainkan
fungsinya sebagai koordinator, bagaimana BPBDPK bisa mengajak dan
berkoordinasi dengan SKPD terkait dengan kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan dalam rangka mitigasi bencana.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan tersebut diharapkan
terkoneksi sehingga memberikan efek dan stimulasi yang besar terhadap
kegiatan mitigasi bencana secara keseluruhan. Namun, yang terjadi
di Kota Padang saat ini adalah BPBDPK sebagai koordinator dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencan belum mampu melaksanakan
fungsinya dengan baik, yang terlihat sekarang ini adalah fungsi pelaksana
yang lebih dominan dijalankan oleh BPBDPK. Padahal dengan potensi
yang besar dan kewenangan yang ada BPBDPK tinggal menggerakkan
SKPD terkait untuk melaksanakan kegiatannya, sehingga sinkronisasi
kegiatan antara satu SKPD dengan SKPD yang lain bisa terjadi.

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 151


Dengan demikian, berdasarkan pemaparan dari aspek limited number
of player tersebut di atas dapat memberikan arti bahwa perlu adanya
koordinasi dan sinkronisasi antara para aktor pelaksana kebijakan,
sehingga kebijakan penanggulangan bencana gempa bumi dapat
berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam hal ini, peran
serta beberapa SKPD terkait dalam kegiatan mitigasi bencana yang
bisa dikoordinir oleh BPBDPK, misalnya dalam hal pembangunan jalur
evakuasi maka BPBDPK bekerja sama dengan Dinas PU, karena Dinas
PU merupakan lembaga teknis yang menjalankan fungsi pembangunan
sarana dan prasarana serta infrastruktur. Sementara itu, fungsi Dinas
Sosial adalah membantu penyediaan logistik bagi pengungsi bencana,
Dinas Pendidikan melakukan sosialisasi dan penerapan kurikulum
kebencanaan di sekolah, Dinas TRTB membuat aturan tentang bangunan
gedung serta pembangunan di zona merah, BAPPEDA melakukan
perencanaan penganggaran dan peninjauan terhadap RTRW yang aman
terhadap gempa, Dinas Kesehatan melakukan pelatihan tenaga medis.
Oleh sebab itu, sinergisitas antara lembaga yang terkait dengan
kebencanaan di daerah sangat diperlukan sehingga kebijakan
penanggulangan bencana dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang
telah dibuat.

2. Accountability
Akuntabilitas merupakan salah satu faktor yang penting dalam
memengaruhi keberhasilan dari proses implementasi kebijakan, dengan
akuntabilitas yang baik dan terarah tentu saja akan memberikan
pelaksanaan kebijakan yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Dengan demikian, akuntabilitas dalam hal penyelenggaraan
penanggulangan bencana menjadi suatu hal yang krusial mengingat
setiap kegiatan atau program pemerintah yang memakai anggaran rakyat
harus dipertanggungjawabkan. Begitu juga dengan kegiatan mitigasi
penanggulangan bencana.
Accountability dimaknai sebagai kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja
dan indikator seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu
organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk
minta keterangan atau pertanggungjawaban (LAN, 1999 dalam

152 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Tachjan, 2006: 146). Menurut UNDP, akuntabilitas adalah evaluasi
terhadap proses pelaksanaan kegiatan/kinerja organisasi untuk dapat
dipertanggungjawabkan serta sebagai umpan balik bagi pimpinan
organisasi untuk dapat lebih meningkatkan kinerja organisasi pada
masa yang datang.
Akuntabilitas dalam arti sempit dapat dipahami sebagai bentuk
pertanggungjawaban yang mengacu kepada siapa organisasi (atau
pekerja individu) bertanggung jawab dan untuk apa organisasi
(pekerja individu) bertanggung jawab. Sedangkan dalam pengertian
luas, akuntabilitas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang
amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan,
melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang
menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal)
yang memiliki hak tersebut.
Kamus Oxford mendefinisikan akuntabilitas sebagai liable to be
called to answer for responsibilities and conduct; able to be reckoned, or explained
(Oxford, 1992 dalam (Schwartz & Sharkansky, 2000). Sedangkan
Romzek and Dubnick (1998: 228) dalam (Brandsma & Schillemans,
2012) mendefinisikan akuntabilitas sebagai “The means by which public
agencies and their workers manage the diverse expectations generated within and
outside the organization.”
Akuntabilitas berhubungan terutama dengan mekanisme supervisi,
pelaporan, dan pertanggungjawaban kepada otoritas yang lebih tinggi
dalam sebuah rantai komando formal. Pada era desentralisasi dan
otonomi daerah, para manajer publik diharapkan bisa melakukan
transformasi dari sebuah peran ketaatan pasif menjadi seorang yang
berpartisipasi aktif dalam penyusunan standar akuntabilitas yang
sesuai dengan keinginan dan harapan publik. Oleh karena itu, makna
akuntabilitas menjadi lebih luas dari sekadar proses formal dan saluran
untuk pelaporan kepada otoritas yang lebih tinggi. Akuntabilitas harus
merujuk kepada sebuah spektrum yang luas dengan standar kinerja
yang bertumpu yang luas dengan standar kinerja yang bertumpu
pada harapan publik sehingga dapat digunakan untuk menilai kinerja,
responsivitas dan juga moralitas dari para pengemban amanah publik.
Konsepsi akuntabilitas dalam arti luas ini menyadarkan kita bahwa
pejabat pemerintah tidak hanya bertanggung jawab kepada otoritas yang
lebih tinggi dalam rantai komando institusional, tetapi juga bertanggung

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 153


jawab kepada masyarakat umum, lembaga swadaya masyarakat, media
masa dan banyak stakeholders lain.
Jadi penerapan akuntabilitas ini di samping berhubungan
dengan penggunaan kebijakan administratif yang sehat dan legal,
jadi harus bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat atas bentuk
akuntabilitas formal yang ditetapkan. Sedangkan menurut World
Bank akuntabilitas itu terbagi dua yaitu akuntabilitas vertikal dan
akuntabilitas horizontal. Akuntabilitas vertikal adalah merupakan
bentuk dari pertanggungjawaban atas pengelolaan kegiatan dan dana
kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjawaban SKPD
kepada kepala daerah (walikota), pertanggungjawaban walikota kepada
gubernur, dan pertanggungjawaban gubernur kepada presiden, serta
pertanggungjawaban eksekutif kepada legislatif. Sedangkan akuntabilitas
dan pertanggungjawaban horizontal adalah pertanggungjawaban kepada
masyarakat luas.
Dengan demikian, akuntabilitas merupakan hal yang krusial
dalam pemerintahan (Tacon, Walters, & Conforth, 2017). Sehingga
Dalam konteks organisasi pemerintah, akuntabilitas adalah pemberian
informasi dan disclosure atas aktivitas, kinerja finansial pemerintah kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut. Pemerintah,
baik pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subjek pemberi
informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik. Terwujudnya
akuntabilitas merupakan tujuan utama dari reformasi sektor publik.
Tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembaga-lembaga sektor
publik untuk lebih menekankan pada pertanggungjawaban horizontal
bukan hanya pertanggungjawaban vertikal. Tuntutan ini kemudian
memunculkan perlunya dibuat laporan keuangan eksternal yang dapat
menggambarkan kinerja lembaga tersebut.
Berkaitan dengan itu BPBDPK sebagai lembaga publik tentu
saja harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada walikota
sebagai atasan langsung dan masyarakat sebagai penerima layanan
dan yang merasakan dampak dari pekerjaan yang dilakukan.
Dalam hal pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari pada BPBDPK,
pertanggungjawaban kepada walikota dilakukan dalam bentuk laporan
pertanggungjawaban yang dibuat dalam bentuk dokumen pelaksana
program, yang dilaporkan sekali setahun. selain itu juga diadakan rapat
staf sekali sebulan.

154 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Rapat staf yang diadakan tersebut dihadiri oleh walikota beserta
seluruh kepala SKPD, ini juga merupakan bentuk akuntabilitas BPBDPK
dalam melaporkan pelaksanaan kegiatan yang telah dikerjakan, sejauh
mana capaian pekerjaan yang telah tercapai. Sedangkan tanggung
jawab BPBDPK kepada masyarakat sejauh ini hanyalah berupa adanya
informasi-informasi kepada masyarakat tentang kegiatan atau program-
program yang dilakukan BPBDPK dalam rangka mitigasi bencana
gempa bumi. Dengan demikian, masyarakat mengetahui apa yang
menjadi kegiatan BPBDPK. Dengan demikian, pertanggungjawaban
yang dilakukan oleh BPBDPK kepada masyarakat luas merupakan suatu
keharusan, sebagai bentuk tanggung jawab moral pemerintah dalam
memberikan pelayanan yang terbaik bagi warganya. Namun baru sebatas
pada penyampaian informasi.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka faktor akuntabilitas
merupakan hal yang penting, karena bentuk dari pertanggung-
jawaban pelaksana kebijakan kepada atasan, dan masyarakat. Bentuk
akuntabilitas dari pelaksana kebijakan penanggulangan bencana gempa
bumi ini memberikan arti penting bagi kebijakan ini di masa akan
datang, apakah kebijakan yang ada sudah bisa dipertanggungjawabkan
keberadaannya dan keberlanjutannya.

Bab 5 | Belajar dari Pengalaman Kota Padang 155


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB
6

PENUTUP DAN
REKOMENDASI

Adapun dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan dipaparkan


pada bab sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa implementasi
kebijakan mitigasi penanggulangan bencana yang berbasis pada mitigasi
bencana masih belum efektif dilakukan hal ini disebabkan oleh masih
adanya persoalan yang terkait dengan lemahnya pemahaman pelaksana
kebijakan terhadap kebijakan yang ada sehingga pelaksanaan kebijakan
menjadi terhambat, kapasitas personel dan lembaga yang rendah,
lemahnya kemampuan sumber daya manusia yang ada di BPBDPK,
ketersediaan sarana dan prasarana yang tersedia tidak memadai serta
minimnya anggaran yang tersedia. Namun dari segi pelaksana kebijakan,
banyak aktor (multiaktor) sebenarnya memberikan keuntungan
tersendiri bagi Kota Padang. Karena lembaga-lembaga yang konsen
tentang kebencanaan telah tersedia lengkap di Kota Padang, sehingga
sekarang bagaimana pemerintah kota mensinkronkan lembaga-lembaga
tersebut dalam satu sistem komando dan koordinasi yang jelas.
Akan tetapi dalam praktiknya belum menunjukkan hal yang
semestinya masih kurangnya koordinasi dan komunikasi antara lembaga
kebencanaan yang ada, hal ini salah satunya disebabkan oleh lemahnya
fungsi BPBDPK sebagai leading sector penyelenggaraan kebijakan
penanggulangan bencana di daerah. Lemahnya fungsi koordinasi
dan komando, menyebabkan kegiatan kebencanaan yang dijalankan
cenderung bersifat temporer dan tidak berkelanjutan, padahal banyak
kegiatan yang ada memberikan dampak terhadap upaya pengurangan

157
risiko bencana alam. Di sisi lain, aspek akuntabilitas terdapatnya
temuan bahwa akuntabilitas yang ada dari lembaga terkait baru sebatas
akuntabilitas administratif yang dilakukan kepada atasan dan minimnya
akuntabilitas kepada masyarakat.
Berdasarkan pada temuan-temuan dan kesimpulan yang diperoleh
melalui penelitian ini, maka peneliti merekomendasikan beberapa saran
akademis dan praktis berikut ini.

A. Saran Akademis
1. Kajian lebih lanjut diperlukan mengenai implementasi kebijakan
terutama yang berkaitan dengan penanggulangan bencana gempa
bumi berbasis mitigasi bencana. Mengingat kajian tentang
kebencanaan terutama bencana alam masih belum banyak dikaji
dalam konteks administrasi publik. Sehingga nantinya didapatkan
faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap implementasi
kebijakan selain yang dikemukakan sebelumnya.
2. Pengembangan Teori Implementasi Gerston dimungkinkan untuk
mengkaji implementasi kebijakan penanggulangan bencana alam
selain gempa bumi.
3. Penelitian tentang Implementasi Kebijakan dari segi Akuntabilitas
perlu untuk dikaji lebih lanjut mengingat dalam kajian ini
pembahasannya cukup terbatas.

B. Saran Praktis
1. Perlu adanya peningkatan kapasitas masyarakat, personel dan
lembaga terkait dengan penyelenggara penanggulangan bencana
di daerah, mengingat intensitas bencana yang yang terjadi di Kota
Padang.
2. BPBD -PK sebagai leading sector dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana di daerah diharapkan dapat menjalankan
fungsinya sebagai komando, koordinator dan bukan hanya sebagai
fungsi pelaksana saja.
3. Sosialisasi mengenai pengurangan risiko bencana kepada
masyarakat perlu ditingkatkan dan diperbaiki, baik dari segi materi

158 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


sosialisasinya maupun instruktur yang melakukan sosialisasi,
sehingga sosialisasi dapat berjalan lebih efektif.
4. Membuat sistem peringatan dini gempa bumi yang dapat dijadikan
rujukan oleh masyarakat di kala gempa bumi terjadi.
5. Dalam pengambilan sebuah kebijakan, hendaknya Pemerintah Kota
melibatkan masyarakat dan dunia usaha, sesuai dengan amanat
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, di mana masyarakat
dan dunia usaha terlibat dalam penanggulangan bencana.
6. Perlunya revisi terhadap prosedur tetap penyelenggaraan
penanggulangan bencana seperti Peraturan Walikota No. 25
Tahun 2001 dan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2008 tentang
Penanggulangan Bencana.
7. Penempatan personel dilakukan sesuai dengan kompetensinya
masing-masing dan menjadikan BPBDPK sebagai sebuah badan
yang strategis sehingga rotasi pegawai di lembaga ini diharapkan
bisa disesuaikan dengan kebutuhan yang ada.
8. Penambahan sarana dan prasaran yang ada perlu dilakukan dengan
tetap mempertimbangkan anggaran yang tersedia, ini dikarenakan
kejadian bencana di Kota Padang dari waktu ke waktu mengalami
peningkatan sehingga memerlukan peralatan yang mampu
mengikuti perkembangan zaman.

Bab 6 | Penutup dan Rekomendasi 159


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
DAFTAR PUSTAKA

Abarquez dan Murshed. 2004. Community-Based Disaster Risk Management:


Field Practitioners Handbook. Bangkok: ADPC.
Agustino, L. (2008). Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Aldunce, Paulina; Beilin, Ruth; Handmer, John; Howden, Mark. (2014).
Framing disaster resilience: The Implications of the Diverse
Conceptualisations of “Bouncing Back”. Disaster Prevention and
Management, 23(3), 252-270.
Amadhila, Elina; Shaamhula, Loide; Rooy, Gert van; Siyambango, Nguza.
(2013). Disaster Risk Reduction in The Omusati and Oshana
Regions of Namibia. JAMBA: Journal of Disaster Risk Studies, 5(1), 1-9.
Anwar, Herryal Z.; Harjono, Hery. (2013). Menggapai Cita-cita Masyarakat
Tangguh Bencana Alam di Indonesia. Bandung: Andira dan LIPI.
Aryal, R. (2014). Disaster Vulnerability in Nepal. International Journal
of Disaster Risk Reduction, 9, 137-146.
Bang, Henry N. (2013). ‘Governance of Disaster Risk Reduction in
Cameroon: The Need to Empower Local Government. Jàmbá: Journal
of Disaster Risk Studies, 5(2).
Bolin, R. (1998). The Northridge Earthquake, Vulnerability And Disaster.
London: Routledge.
Bongo, Pathias P.; Chipangura, Paul; Sithole, M.; Moyo, F. (2013). ‘A
Rights-Based Analysis of Disaster Risk Reduction Framework in

161
Zimbabwe and its implications for policy and practice. Jàmbá: Journal
of Disaster Risk Studies, 5(2).
Brandsma, G. J., & Schillemans, T. (2012). The Accountability Cube:
Measuring Accountability. Journal Public Administration Research and
Theory, 23, 953-975.
Cavallo, Antonella; Ireland, Vernon. (2014). Preparing for complex
interdependent risks :A System of approach to building disaster
resilience. International Journal of Disaster Risk Reduction, 9, 181-193.
Chang, Yan; Wilkinson, Suzanne; Potangaroa, Regan; Seville, Erica.
(2012). “Resourcing for post–disaster reconstruction: a comparative
study of Indonesia and China”. Disaster Prevention and Management:
An International Journal, 21(1), 7-21.
Charter, W. N. (2008). Disaster Management : A Disaster Manager’s
Handbook. Mandaluyong City, Manila: Asian Development Bank.
Chmutina, Ksenia; Bosher, Lee. (2015). Disaster Risk Reduction or
Disaster Risk Production: The Role of Building Regulations in
Mainstreaming DRR. International Journal of Disaster Risk Reduction,
13, 10-19.
Clements, B.W. (2009). Disaster and Public Health, Planning and Response.
Amsterdam: Elsevier.
Coburn, A.W.; dkk. (1994). Mitigasi Bencana (Vol. edisi 2). UNDP.
Coetzee, Christo; Niekerk, Dewald Van. (2012). Tracking the evolution
of the disaster management cycle: A general system theory
approach. Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 4(1).
Cooper, P. J. (1995). Public Administration for Twenty-first Century. Orlando
Florida: Harcourt Brace.
Cooper, Tracy. (2015). Empirical Research on Inter-organizational
Relations within a National Disaster Management Network in the
Caribbean. Public Organization Review, 15(1), 1-16.
Coppola, D. P. (2011). Introduction to International Disaster Management .
Burlington, MA: Elsevier.
Committee on Disaster Research in the Social Sciences (CDRSS).
(2006). Future Challenges and Opportunities Division on Earth and Life

162 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Studies, Facing Hazards and Disaster Understanding Human Dimensions.
Washington, D.C: The National Academic Press.
Creswell, J. W. (2014). Penelitian Kualitatif dan Desain Riset. Yogyakarata:
Pustaka Pelajar.
Cronjé, F.; Reyneke, S.; Wyk, D. Van. (2013). Local Communities and
Health Disaster Management in The mining Sector. Jàmbá: Journal
of Disaster Risk Studies, 7(1).
DeLeon, Peter; DeLeon, Linda. (2002). What Ever Happened To
Policy Implementation? An Alternative Approach. Journal of Public
Administration Reseach and Theory, 467-492.
Denzim, N. K., & Lincoln, Y. S. (2005). Handbook of Qualitative Research
(3 ed.). (N. K. Denzim, & Y. S. Lincoln, Eds.) Thousand Oaks,
California: Sage Publications.
Desfandi, Mirza, 2014, Urgensi Kurikulum Pendidikan Kebencanaan
Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia, Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 2
Des 2014 ( journal.uinjkt.ac.id/index.php/Sosio-Fitk)
Dube, E. (2015). ‘Improving Disaster Risk Reduction Capacity of
District Civil Protection Units in Managing Veld Fires: A Case of
Mangwe District in Matabeleland South Province, Zimbabwe’.
Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 7(1).
Dückers, Michel; Georg Frerks dan Jörn Birkmann. (2015). Exploring
the Plexus of Context and Consequences: An Empirical Test of a
Theory of Disaster Vulnerability. International Journal of Disaster Risk
Reduction, 13, 85-95.
Dwiyanto, A. (2002). Reformasi Birokrasi Pelayanan Publik. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, PSKK.
Edward III, G. C. (1980). Implementing Public Policy,. Washington D.C.:
Congressional Querterly Inc.
Farhangfar, Sarvenaz; Bannayan, Mohammad; Khazaei, Hamid Reza;
Baygi, Mohammad Mousavi. (2015). Vulnerability assessment
of wheat and maize production affected by drought and climate
change. International Journal of Disaster Risk Reduction, 13, 37-51.
Fischer, Frank; Miller, Gerald J.; Sidney, Mara S. (2007). Handbook of
Public Policy Analysis: Theory, Politics, And Methods. (F. Fischer, G. J.
Miller, & M. S. Sidney, Eds.) Boca Raton - New York: CRC Press.

Daftar Pustaka 163


Gaston, Buh-Wung; Tongwa, Aka F.; Burnley, Clementine; Isabella,
Zouh T. (2012). Local Governance in Disaster Risk Reduction in
Cameroon. JAMBA: Journal of Disaster Risk Reduction, 4(1), 1-9.
Gerston, L. (2008). Public Policymaking In a Democratic Society: A Guide
Civic Engangement. New York: M.E Sharp, Inc.
Goggin, M. L. (1990). Implementation Theory and Practice: toward a third
generation. Illinois: Scoot, Foresman/Little Brown Higher Education.
Grindle, M., & Thomas, J. (1995). Public Choices and Policy Changes : The
Political Economy of Reform in Developing Countries. Baltimore and
London: The Jhon Hopkins University Press.
Grindle, M.S. (1980). Politics and Policy Implementation in the third World.
(M. Grindle, Ed.) New Jersey: Princenton University Press.
Haulle, Evaristo. (2012). ‘Evaluating earthquake disaster risk
management in schools in Rungwe Volcanic Province in Tanzania.
Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 4(1), 1-7.
Hill, M., & Hupe, P. (2002). Implementing Public Policy. Governance in Theory
and in Practice. London: Sage.
Hiwasaki, Lisa; Luna, Emmanuel; Syamsidik; Shaw, Rajib. (2014).
Process for Integrating Local and Indigenous Knowledge With
Science Forhydro-Meteorological Disaster Risk Reduction
and Climate Change Adaptation in Coastal and Small Island
Communities. International Journal of Disaster Risk Reduction, 10,
15-27.
Hossain, Md. Nazir. (2015). Analysis of Human Vulnerability to Cyclones
and Storm Surges Based on Infleuncing Phycal and Socioeconomic
factor: evidences from coastal Bangladesh. International Journal of
Disaster Risk Reduction, 13, 66-75.
Hosseini, Kambod Amini; Hosseini, Maziar; O.Izadkhah, Yasamin;
Mansouri, Babak; Shaw, Tomoko. (2014). Main Challenges on
Community-Based Approaches in Earthquake Risk Reduction: Case
Study of Tehran, Iran. International Journal of Disaster Risk Reduction,
8, 114-124.
Hughes, O. E. (1994). Public Management and Administration: an
Introduction. New York: Martin’s Press.

164 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


IFRCRCS, 2005, IDRL Asia Pacific Study: Indonesia Laws, Policies, Planning
and Practises on International Disaster Response, Bangkok.
Indiyanto, Agus, 2002, Risiko Bencana: Mempertemukan Sains dan
Pengetahuan Lokal, Dalam Agus Indiyanto dan Arqom Kuswanjono
(Ed), 2002, Respons Masyarakat Lokal Atas Bencana, Kajian Integratif
Ilmu, Agama Dan Budaya, Seri Agama dan Bencana (Buku II),
Yogyakarta: Mizan dan CRCS UGM.
Islam, Rabiul; Walkerden, Greg. (2014). How Bonding and Bridging
Networks Contribute to Disaster Resilience and Recovery on The
Bangladesh Coast. International Journal of Disaster Risk Reduction,
10, 281-291.
Johnson, Victoria A.; Ronan, Kevin R.; Johnston, David M.; Peace,
Robin. (2014). Implementing Disaster Preparedness Education in
New Zealand Primary Schools. Disaster Prevention and Management,
23(4), 370-380.
Johnston, Ingrid. (2014). Disaster Management and Climate Change
Adaptation: A Remote island Perspective. Disaster Prevention and
Management, 23(2), 123-137.
Jufriadi, akhmad; Ayu, Hena Dian; Afandi, Akhmad; Rahman,
M.; Raehanayati, Sandy Vikki Ariyanto, Ika Karlina Liala Nur
Suciningtyas. (2012). Sosialisasi Pengurangan Risiko Bencana
di Kecamatan Tempursari Kabupaten Lumajang sebagai upaya
Pendidikan Mitigasi Bencana. Erudio, 1(1).
Khan, Mizan R.; Rahman, M. Ashiqur. (2007). Partnership Approach to
Disaster Management in Bangladesh: A Critical Policy Assessment.
Natural Hazards, 41(2), 359-378.
Kusumasari, Bevaola; Alam, Quamrul. (2012a). Local Wisdom-Based
Disaster Recovery Model in Indonesia. Disaster Prevention and
Management, 21(3), 351-369.
.(2012b). Network Organisation in Supporting Post-disaster
Management in Indonesia. International Journal of Emergency Services,
1(1), 71-85.
.(2012c). Bridging the Gaps: The Role of Local Government
Capability and The Management of a Natural disaster in Bantul,
Indonesia. Natural Hazards, 60(2), 761-779.

Daftar Pustaka 165


Kusumasari, B. (2014a). Manajemen Bencana dan Kapabilitas
Pemerintah Daerah. Yogyakarta: Gava Media.
. (2014b). Memahami Bencana dari Perspektif Manajemen dan
Kebijakan Publik. (B. Kusumasari, Ed.) Yogyakarta:
Gava Media.Kusumasari, Bevaola; Alam, Quamrul; Siddiqui, Kamal.
(2010). Resource capability for local government in managing
disaster. Disaster Prevention and Management, 19(4), 438-451.
Kumarasari, Wiwik Ratna., Lady Paula Reveny Mandalika, Sri Ningsih
Pudjirahayu, 2002, Membangun Kebijakan Hidup Bersama Risiko
Bencana, Dalam Agus Indiyanto dan Arqom Kuswanjono (Ed),
2002, Respons Masyarakat Lokal Atas Bencana, Kajian Integratif Ilmu,
Agama dan Budaya, Seri Agama dan Bencana (Buku II), Mizan dan
CRCS UGM, Yogyakarta.
Lassa, Jonatan; Pujiono, Puji. (2009). Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis
Komunitas (PRBBK). Jakarta: Kompas Gramedia.
Lassa, Jonatan , Puji Pujiono, Djuni Pristiyanto, Eko Teguh Paripurno,
Amin Magatani, Hening Parlan, (2009), Kiat Tepat Mengurangi
Risiko Bencana, Pengelolaan Risiko bencana berbasis Komunitas, Jakarta:
Grasindo.
Latief, H. D. (2007). History of Natural Disaster of Indonesia. Unpublished,
JICA.
. (2014b). The Susceptibility of The Vulnerable: Some Realities
Reassessed. Disaster Prevention and Management, 23(1), 2-11.
. (2014a). Processes of Vulnerability in England? Place, Poverty
and Susceptibility. Disaster Prevention and Management, 23(5), 586-
609.
Lincoln, Y. S., & Guba, E. G. (1985). Naturalistic inquiry. Beverly Hills,
CA: Sage Publications, Inc.
Lindell M. K., Prater, C. S., and Perry, R. W. (2006). Fundamentals of
emergency management. Emmetsburg, MD: Federal emergency management
agency emergency management institute. Retrieved from www.training.
fema.gov/EMIWeb/edu/fem.asp or archone.tamu.edu/hrrc/
Publications/books/ index.html on August 12, 2017.

166 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Lofland, John & Lyn.H.Lofland. (1984). Analyzing Social Settings.
California: Wadsworth Publishing Company.
Manyena, S. B. (2014). Disaster Resilience: A Question of ‘Multiple
Faces’ and “Multiple Spaces”? International Journal of Disaster Risk
Reduction , 8, 1-9.
May, Peter J dan Walter Williams. (1986). Disaster Policy Implementation:
Managing Programs Under Shared Governance. New York: Plenum Press.
Mazmanian, Daniel A.; Sabatier, Paul A. (1983). Implementation and Public
Policy. New Jersey: Scoot, Foresman dan Company.
Meter, Donald S. Van; Horn, Carl E. Van. (1975). The Policy
Implementation Process: A Conceptual Framework. Administration
and Society, 6(4).
Miles, Matthew B.; Huberman, A. Michael; Saldaña, Johnny. (2014).
Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook (3 ed.). (M. B. Miles,
A. M. Huberman, & J. Saldaña, Eds.) Thousand Oaks, CA: Sage
Publications.
Miura, Abu Bakar Sambah Fusanori. (2014). Remote Sensing and Spatial
Multicriteria Analysis for Tsunami Vulnerability Assessment.
Disaster Prevention and Management, 23(3), 271-295.
Mojtahedi, S. Mohammad H.; Oo, Bee Lan. (2014). Stakeholders’
Approaches to Disaster Risk Reduction in Built Environment.
Disaster Prevention and Management, 23(4), 356-369.
Moleong, Lexy. J. ( 2008), Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Nakamura, R. T., & Swallood, F. (1980). The Politics of Policy Implementation.
New York: St. Martins.
Nasution, S. (1996), Metodologi Research, Jakarta: Buni Aksara.
Neuman, W. L. (2014). Social Research Methods: Qualitative and quantitative
approaches (7 ed.). London: Pearson Education Limited.
Nugroho, R. (2017). Public Policy. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Nurhayaty, Any; Wimbarti, Supra; Triatmadja, Radianta; Hastjarjo,
Thomas D. (2015). Model of Tsunami Preparedness for Indonesian
Tsunami Prone, Areas Communities. Journal of Disaster Research,
10(5), 957-965.

Daftar Pustaka 167


Olowu, Dejo. (2010). The Hyogo Framework for Action and its
Implications for Disaster Management and Reduction in Africa.
JAMBA: Journal of Disaster Risk Studies, 3(1), 303-320.
Oteng-Ababio, Martin. (2013). ‘Prevention is Better Than Cure’:
Assessing Ghana’s Preparedness (Capacity) for Disaster
Management. JAMBA: Journal of Disaster Risk Studies, 5(2), 1-11.
Parsons, Wayne. (2005). Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis
Kebijakan. Jakarta: Kencana.
Paton, Douglas; Smith, Leigh; Violanti, John. (2000). Disaster
Response: Risk, Vulnerability and Resilience. Disaster Prevention
and Management, 9(3), 173-180.
Phibbs, Suzanne; Good, Gretchen; Severensin, Christina; Woodbury,
Esther; Williamson, Kerry. (2015). Emergency Preparedness and
Perceptions of Vulnerability Among disable People Following the
Christchurch Earthquakes: Applying Lesson Learnt to the Hyogo
Framework for Action. Australasian Journal of Disaster and Trauma
Studies, 19(spesial), 37-46.
Pramusinto, A. (2009). Pembangunan dan Reformasi di Bidang
Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah. In A. Pramusinto,
& E. A. Purwanto, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan
Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
Yogyakarta: Gava Media-JIAN UGM-MAP UGM.
Pressman, J.L., and Aaron Wildavsky, 1973, Implementation : How Great
Expectation in Washington Are Dased in Oakland, London: California
Press.
Purwanto, Erwan Agus; Sulistyastuti, Dyah Ratih. (2012). Implementasi
Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gava
Media dan JMKP-MAP UGM.
Rachmat, Agus. (2006), Manajemen dan Mitigasi Bencana, Makalah,
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi
Jawa Barat.
R. Zorn, Conrad; Shamseldin, Asaad Y. (2015). Post-Disaster
Infrastructure Restoration: A Comparison of Events for Future
Planning. International Journal of Disaster Risk Reduction, 158-166.

168 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Rambau, Takalani S.; Beukes, Lukas D.; Fraser, W. (2012). ‘Disaster Risk
Reduction Through School Learners’ Awareness and Preparedness.
Jàmbá: Journal of Disaster Risk Studies, 4(1), 1-11.
Rautela, Piyoosh. (2015). Traditional practices of the people of
Uttarakhand Himalaya in India and relevance of these in disaster
risk reduction in present times. International Journal of Disaster Risk
Reduction, 13, 281-290.
Ripley, Randall B.; Franklin, Grace A. (1982). Bureaucracy and Policy
Implementation. Homewood, Illinois: The Dorsey Press.
Rivera, Claudia; Wamsler, Christine. (2014). Integrating Climate
Change Adaptation, Disaster Risk Reduction and Urban Planning:
A Review of Nicaraguan Policies and Regulations. International
Journal of Disaster Risk Reduction, 7, 78-90.
Roth, Ann-Sofie; Becker, Per. (2011). Challenges to Disaster Risk
Reduction: A Study of Stakeholders’ Perspectives in Imizamo Yethu,
South Africa. JAMBA: Journal of Disaster Risk Studies, 3(2), 443-452.
Routray, Haitham Bashier Abbas Jayant K. (2014). “Vulnerability to
Flood-Induced Public Health Risks in Sudan. Disaster Prevention
and Management, 23(4), 395-419.
Rusli, Budiman, 2013, Kebijakan Publik, Membangun Pelayanan Publik yang
Responsif, Bandung: Hakim Publishing.
Ruswandi (2009), Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang
Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam di Pesisir
Indramayu dan Ciamis, Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
S.H.M.Fakhruddin, & Y.Chivakidakarn. (2014). A Case Atudy for Early
Warning and Disaster Management in Thailand. International Journal
of Disaster Risk Reduction, 159-180.
Schneide, A. L. (1982). Studying Policy Implementation: A Conceptual
Framework. Evaluation Review, 6(6), 715-730.
Schwartz, R., & Sharkansky, I. (2000). Collaboration With the “Third
Sector’-Issues of Accountability: Mapping Israeli Version of This
Problematic. Public Policy and Administration, 15(3).

Daftar Pustaka 169


Shaluf. (2007). Disaster Types. Disaster Prevention and Management, 16(5),
704-717.
Shiwaku, Koichi. (2014). Comparative Study on Teacher Training
for School Disaster Management in Armenia and Japan. Disaster
Prevention and Management, 23(2), 197-211.
Shreve, C., & I.Kelman. (2014). Does mitigation save? Reviewing Cost-
Benefit Analyses of Disaster Risk Reduction. International Journal of
Disaster Risk Reduction, 10, 213-235.
Sillah, Ramphal M. (2015). A Call to Establish a Child-Centred Disaster
Management Framework in Zimbabwe. Jàmbá: Journal of Disaster
Risk Studies, 7(1).
Sinha, Abhinav; Pal, D.K.; Kasar, P.K.; Tiwari, R.; Sharma, A. (2008).
Knowledge, Attitude and Practice of Disaster Preparedness
and Mitigation Among Medical Students. Disaster Prevention and
Management, 503-507.
Skinner, C.; Rampersad, R. (2014). ‘A Revision of Communication
Strategies For Effective Disaster Risk Reduction: A Case Study
of the South Durban basin, KwaZulu-Natal, South Africa’. Jàmbá:
Journal of Disaster Risk Studies, 6(1).
Smith. (1985). Decentralization: The Teritorial Dimension of The State.
London: George Allen And Unwin.
Smith, K. (2007). Enviromental Hazards: Assesing Risk and Reducing Disaster.
London: Routledge.
Spiekermann, Raphael; Kienberger, Stefan; Norton, John; Briones,
Fernando; Weichselgartner, Juergen. (2015). The Disaster-
Knowledge Matrix – Reframing and Evaluating the Knowledge
Challenges in Disaster Risk Reduction. International Journal of
Disaster Risk Reduction, 13, 96-108.
Sudmeier-Rieux, K. I. (2014). Resilience – an Emerging Paradigm of
Danger or of Hope? Disaster Prevention and Management, 23(1), 67-80.
Sugino, Mire; Hapsari, Elsi Dwi; Madyaningrum, Ema; Haryant, Fitri;
Warsini, Sri; Takada, Satoshi; Matsuo, Hiroya. (2014). Issues Raised
by Nurses and Midwives in a Post-Disaster Bantul Community.
Disaster Prevention and Management, 23(4), 420-436.

170 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Tachjan. (2008). Implementasi Kebijakan, Bandung: AIPI Bandung – Puslit
KP2W Lemlit Unpad. Bandung: AIPI Bandung - Puslit KP2W Lemlit
Unpad.
Tacon, R., Walters, G., & Conforth, C. (2017). Accountability in
Nonprofit Governance: A Process-Based Study. Nonprofit and
Voluntary Sectro Quarterly, 1-20.
Thayaparan, Menaha; Siriwardena, Mohan; Malalgoda, Chamindi Ishara;
Amaratunga, Dilanthi; Lill, Irene; Kaklauskas, Arturas. (2015).
Enhancing Post-Disaster Reconstruction Capacity Through Lifelong
Learning in Higher Education. Disaster Prevention and Management,
24(3), 338-354.
Tuohy, Robyn; Stephens, Christine; Johnston, David. (2014). Older
Adults’Disaster Preparedness in the Context of the September
2010–December 2012 Canterbury Earthquake Sequence.
International Journal of Disaster Risk Reduction, 9, 194-203.
Twigg, John, Charlotte Benson, Mary Myers (2000), Research
Consultants c/o The Twigg, John, Charlotte Benson and Mary Myers
(research consultants), November 2000, NGO Initiatives in Risk
Reduction: A Summary of the Research Studies for the British Red Cross
Society funded by the Department for International Development.
Twigg, 2006, Disaster Early Warning Systems: People, Politics And
Economics Benfield Hazard Research Centre Disaster Studies
Working Paper 16, June 2006.
Usamah, Muhibuddin; Handmer, John; Mitchell, David; Ahmed,
Iftekhar. (2014). Can the Vulnerable be Resilient ? Co-Existence
of Vulnerability and Disaster Resilience: Informal Settlements in
the Philippines. International Journal of Disaster Risk Reduction, 10,
178-189.
Victoria, Lorna P. 2007, Community based approached to disaster mitigation.
diunduh dari website: www.adpc.net/v2007/IKM/ONLINE%20
DOCUMENTS/downloads/.../CBDM.pdf on August 12, 2017.
Wahab, S. A. (1997). Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Daftar Pustaka 171


Waldt, Gerrit van der. (2009). Public Management and Disaster Risk
Reduction: Potential Interdisciplinary Contributions. JÀMBÁ:
Journal of Disaster Risk Studies, 2(1).
Waldt, Gerrit Van der. (2013). Disaster Risk Management: Disciplinary
Status and Prospects For a Unifying Theory. Jàmbá: Journal of Disaster
Risk Studies, 5(2).
Weimer, D., & Vining, A. (1992). Policy Analysis: Concept and Practice.
Englowood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
Weissert, C. S., & Goggin, M. L. (2002). Non-incremental Policy
Changes: Lessons From Michigan’s Medical Managed Care
Initiative. Public Administration Review, 6(2).
Wibawa, Samodra; Purbokusumo, Yuyun; Pramusinto, Agus. (1994).
Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Wikantiyoso, Respati. (2010), Mitigasi Bencana di Perkotaan; Adaptasi
atau Antisipasi Perencanaan dan Perancangan Kota? (Potensi
Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota untuk
Upaya Mitigasi Bencana. Dalam Jurnal Local Wisdom, Volume:II,
Nomor: 1. Halaman: 18 - 29, Januari 2010.
Yau, Nie- Jia; Tsai, Ming-Kuan; Yulita, Eryani Nurma. (2014). Improving
Efficiency for Post-Disaster Transitional Housing in Indonesia: An
Exploratory Case Study. Disaster Prevention and Management, 23(2),
157-174.
Yogaswara, Herry, Laksmi Rachmawati, Fitrianita dan Ulil Amri, 2012,
Kajian Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana yang Berbasiskan Kearifan
Lokal: Pembelajaran Perda No. 8 Tahun 2010 Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, dalam Herryzal Z. Anwar, 2012, Menyingkap Tabir
Fenomena Bencana Seismik di Indonesia: Perspektif Pengurangan Risiko
Bencana Gempa Bumi dan Tsunami, Bandung: Andira dan LIPI
Yustiningrum, R. E. (2012). Dinamika Kebijakan Penanggulangan
Bencana Tsunami di Kepulauan Mentawai. dalam H. Z. Anwar,
Menyikap Tabir Fenomena Bencana Seismik di Indonesia: Perspektif
Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi dan Tsunami. Bandung: Andira
dan LIPI.
Yuniarti, Kwartarini Wahyu., Prihatiningsih, Silvia Eka Mariskha,
Richa Nurhayati,(2002), Berangkat dari Komunitas: Menuju Perubahan

172 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


Kesiapan dalam Menghadapi Bencana Alam, Hlm 137, Dalam Agus
Indiyanto dan Arqom Kuswanjono, 2002, Konstruksi Masyarakt
Tangguh Bencana, Seri Agama dan Bencana, Buku III, Mizan dan
CRCS, Yogyakarta.

Website/internet
http://blog.act.id/risiko-bencana-gempa-bumi-mengintai-padang/.
(2015, Juni). Retrieved januari 2016, from Risiko Bencana Gempa
Bumi Mengintai Padang.
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG)
Departemen Energi Sumber Daya Mineral. (2012, April). http://
www.vsi.esdm.go.id. Retrieved april 2015.
http://www.harianhaluan.com/index.php/laporan-utama/17777-
sumbar-tak-punya-grand-designs-mitigasi-kebencanaan. Retrieved
Januari 2016.
http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Social-Welfare/Disaster/
Manajemen%20dan%20mitigasi.pdf,
http://bpbd.jakarta.go.id/news/detail/1031, Mitigasi Bencana, 31 Mar
2016.
http://www.adpc.net/v2007/IKM/ONLINE%20DOCUMENTS/
downloads/ADUMP/CBDM.pdf (Community Based Approaches
To Disaster Mitigation, Lorna P. Victoria, Director, Center for
Disaster Preparedness, Regional Workshop on Best Practices in Disaster
Mitigation).
w w w. a d p c . n e t / v 2 0 0 7 / Pr o g r a m s / C B D R M / . . . / 2 0 0 8 / f i n a l _
crindonesia_23nov.pdf, Monitoring and Reporting Progress on
Community-Based Disaster Risk Reduction in Indonesia, April 2008,
Partnerships for Disaster Reduction-South East Asia, Phase 4).
http://www.adpc.net/v2007/IKM/ONLINE%20DOCUMENTS/
downloads/ADUMP/CBDM.pdf (Community Based Approaches
To Disaster Mitigation, Lorna P. Victoria, Director, Center for
Disaster Preparedness, Regional Workshop on Best Practices in Disaster
Mitigation).
http://ssiteresources.worldbank.orgPUBLICSECTORANDGOVERNA
NCEResourcesAccountabilityGovernance.pdf.

Daftar Pustaka 173


Peraturan-peraturan
Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Penanggulangan Bencana.
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 5 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana
Rencana Aksi Nasional-Pengurangan Risiko Bencana Tahun 2006-2009.
Perwako Nomor 25 Tahun 2011 tentang PROTAP Penanggulangan
Bencana Daerah Kota Padang.
Perwako Nomor 37_Tahun_2012 tentang Protap Penanggulangan
Bencana.
Perwako Padang 14 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Sistem Peringatan
Dini Tsunami di Kota Padang.
Perda Kota Padang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Penanggulangan Bencana BPBD Kota
Padang.

174 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


INDEKS

A bencana alam, 1-3, 7, 9-11, 21, 22,


28, 30, 31, 33, 36, 38, 67, 69,
administrasi publik, 27, 158 71-73, 78, 83, 86, 91, 127,
aktor, 41, 45-47, 51, 53, 54, 62, 63, 133, 139, 144, 158
75, 115, 122, 139, 140, 152, BPBDPK, vi, ix, xiii, 10, 12, 14, 24,
157 25, 75, 83, 86, 88, 90-93, 95,
akuntabilitas, 55, 131, 152-155, 158 100, 101, 104, 106, 107, 109,
alam, 1-3, 7, 9-11, 21, 22, 27, 28, 30, 110, 116-125, 129, 133-142,
31, 33, 36, 38-40, 67, 69, 71- 144, 146-152, 154, 155, 157,
73, 78, 83, 86, 91, 119, 126, 159
127, 133, 139, 144, 158 bumi, xii, 1-25, 40, 51, 67, 69, 71, 75,
anggaran, 9, 12, 30, 47, 72, 90, 104, 83, 86-89, 91-96, 98, 101, 102,
119, 126-129, 131, 133-135, 105, 106, 110, 112, 113, 115-
139, 141-143, 146, 148, 152, 117, 121-123, 125-128, 135,
157, 159 139, 143, 144, 149, 150, 152,
155, 158, 159, 173
B
Badan Nasional Penanggulangan C
Bencana, xiii, 2, 79, 132 classy FM, 111
Badan Penanggulangan Bencana
Daerah, 5, 10, 79, 86, 116, D
122, 123, 126, 133-135, 137,
141, 145 daerah, 2, 3, 5, 8, 9, 11, 13, 16, 22,
bencana, vi, 1-14, 21-23, 25, 27-40, 24-26, 28, 31, 33, 34, 36-38,
42, 51, 67-83, 85-96, 98-131, 40, 42, 46, 57, 69-71, 73, 74,
133-152, 155, 157-159, 166, 76-83, 86-95, 98, 99, 101, 102,
173 105, 108, 109, 113, 114-116,

175
119, 121, 122, 124, 125, 127, 34, 35, 67, 69, 70, 73, 76, 79,
129, 131-142, 144, 146, 149, 80, 83, 86, 94, 101, 161-163,
152-154, 157, 158 165, 166, 168, 172-174
Disaster, xiii, 2, 29-31, 33, 34, 67, 68,
71, 73, 74, 76, 114, 161-173 J
Disaster Risk Management, 161, 172 jalur evakuasi, 8, 88, 89, 96-98, 104-
E 145, 152
Jemari Sakato, 108, 140, 147-151
Earthquake Early Warning System,
126 K
edukasi, 90, 102, 108, 110, 143, 144, kebijakan publik, 27, 41, 44-46, 48,
148-150 51, 52, 54, 56, 58-60, 115, 125
evakuasi, 8, 37, 40, 42, 68, 82, 88, Kerangka Aksi Beijing, 31
89, 95,-98, 100, 102-107, 110, Kerangka Aksi Hyogo, 31, 32, 78
126, 133, 143, 145, 147, 149, Kerangka Kerja Sendai, 32
152 Kogami, 88, 102, 107, 108, 111, 119,
existing, 123 140, 147-151
F komando, 11, 12, 79, 116, 135, 136,
138, 140-142, 153, 157, 158
fungsi, 12, 36, 47, 56, 70, 116, 135, Komisi, 117, 148
136-138, 140-143, 145, 146, koordinasi, 10, 12, 34, 38, 47, 49,
151, 152, 154, 157, 158 50, 58, 71, 88, 92, 94, 98, 107,
112, 114, 117, 129, 135-138,
G 141, 142, 145, 148, 152, 157
gempa bumi, 2, 3, 5-13, 21-25, 40, korban, 7, 8, 27, 35, 37, 68-72, 78,
51, 67, 69, 71, 75, 83, 86-89, 80, 82, 83, 87, 92, 93, 102,
91-96, 98, 101, 102, 105, 106, 110, 113, 114, 145
110, 112, 113, 115-117, 121- KSB, vi, xiii, 100, 102, 106-112, 133,
123, 125-128, 135, 139, 143, 142, 147, 148, 150
144, 149, 150, 152, 155, 158, L
159
leading sector, 10, 119, 122, 135, 138,
H 140, 141, 157, 158
hearing, 149 lempeng Eurasia, 7
horizontal, 95, 105, 141, 154 Lempeng Indo-Australia, 22
letusan gunung berapi, 2, 40
I
M
Implementasi Kebijakan, iv, v, vii,
viii, ix, xi, 12, 13, 20, 21, 43, Megathrust, 6, 114
50, 53, 57, 60, 64, 65, 85, 115, mitigasi bencana, 8-11, 13, 37-40,
158, 168, 171 42, 51, 67, 68, 70-72, 77, 78,
Indonesia, ix, xi, 2-6, 10, 13, 23, 29, 80-83, 85, 86-89, 91, 95, 96,

176 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi


100, 108, 111, 112, 115-117, R
122, 125, 126, 137, 140, 142-
152, 155, 157, 158 rehabilitasi, 5, 27, 32, 34, 72, 81, 123,
129, 134, 140
N RTRW, vi, xiii, 78, 80, 87-89, 146,
152
NGOs, 119, 140, 148
S
O
shelter, 89, 92, 93, 98-100, 104, 106,
organisasi, 29, 31, 33, 35, 37, 47, 49, 107, 126, 134, 143
51, 57, 59, 68, 77, 80, 113, skala richter, 6
116, 120, 123, 137, 138, 140, SKPD, xiii, 14, 19, 79, 88, 89, 92,
141, 152-154, 183 116, 119-121, 123, 125, 129,
136, 138, 140, 142, 143, 146,
P
148-152, 154, 155
Padang, vi, vii, ix, xi, xii, 5-14, 18,
19, 20-26, 69, 71, 74, 75, 77, T
78, 83, 85-100, 101-105, 107- Tagana, vi, xiii, 104, 145, 147
140, 142-148, 150, 151, 157- tanggap darurat, 4, 5, 27, 31, 33, 35,
159, 173, 174, 183 69, 70, 72, 76, 78, 79, 82, 113,
patahan, 6, 7, 22, 23, 102 114, 128, 131, 134, 138, 140,
pemerintah daerah, 5, 8, 9, 11, 36, 141, 145
42, 46, 74, 81, 88, 99, 113- Translation Ability, viii, 115
115, 127, 129, 131, 134-139, Trauma healing, 145
149 tsunami, 2, 3, 6, 8, 23-25, 40, 73, 75,
Penanggulangan Bencana, vii, viii, 87-90, 95-99, 101, 102, 105,
xi, xiii, 2, 4, 5, 10, 12, 13, 20, 110, 112-114, 119, 126, 133,
21, 27, 34, 35, 37, 39, 67, 73, 135, 143, 149, 150
77, 79, 80, 85, 86, 108, 114- Tuhan, 2
116, 122, 123, 126, 130, 132-
135, 137, 139-141, 145, 147, U
159, 168, 172, 174
pengurangan risiko bencana, 1, 5, 6, Undang-Undang, 5, 10, 27, 34, 37,
11, 12, 27, 28-34, 39, 42, 67, 70, 85, 86, 108, 135, 137, 159,
70, 73, 76, 77, 79, 101, 110, 174
115, 117, 125, 126, 135, 137,
140, 141, 157, 158
W
peraturan daerah, 5, 13, 92, 115, 116, workshop, 77, 149
137, 144 World Bank, 154
peta, 3, 23, 24, 25, 91, 141, 147
Peta Zonasi, xi, 3 Z
PRB, xiii, 28, 29, 31, 76, 79, 101, 106,
zaman, 126, 159
136-138
zona hijau, 88

Indeks 177
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BIODATA PENULIS

Roni Ekha Putera adalah merupakan dosen di


Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang
dengan Jabatan Lektor Kepala dengan Spesialisasi
bidang pelayanan publik, kebijakan dan
manajemen bencana.
Penulis Lahir pada tanggal 3 Mei 1981 di Nagari
Panyakalan, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
Menamatkan Pendidikan Sarjana Ilmu Politik
(S.IP) pada Jurusan Administrasi Negara, FISIPOL, Universitas Gadjah
Mada Tahun 2003. Master of Public Administration (M.PA) bidang ilmu
Administrasi Negara dari Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada tahun 2009. Dan Doktor
Administrasi Publik dari Universitas Padjadjaran Bandung Tahun 2017.
Penulis pernah menjadi Sekretaris Jurusan Ilmu administrasi
Negara (S1), FISIP, Universitas Andalas, Sekretaris Senat FISIP
Universitas Andalas dan Sekarang menjabat sebagai Ketua Penjaminan
Mutu, FISIP, Universitas Andalas.
Penulis tercatat sebagai anggota IAPA, AAKI yang merupakan
organisasi profesi di bidang Administrasi Publik dan Kebijakan
Publik. Selain itu penulis juga aktif menjadi pembicara dalam seminar
nasional maupun internasional, dan beberapa tulisannya dimuat di

179
jurnal terakreditasi maupun di jurnal internasional. Buku yang telah
diterbitkan oleh penulis antara lain Transisi Demokrasi Lokal Nagari Pasca
Otonomi Daerah di Sumatera Barat (2010) bersama Tengku Rika Valentina,
dan Model Manajemen Kinerja Pegawai: Sebuah Pembelajaran dari Provinsi
Jawa Barat (2015) bersama Yogi Suprayogi Sugandi, dkk. Penulis dapat
dihubungi melalui roniekhaputera@soc.unand.ac.id

180 Mitigasi Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi

Anda mungkin juga menyukai