Anda di halaman 1dari 29

Model Model Pembelajaran

Learning model atau model pembelajaran adalah cara yang dipakai untuk mengaplikasikan
strategi yang telah dibuat dalam bentuk aktivitas yang nyata untuk memperoleh target
(kompetensi) pembelajaran dalam pendidikan. Strategi tersebut terdiri dari materi ajar yang
berurutan dan dibuat secara matang. Pada saat pembelajaran disajikan, guru akan menggunakan
segala fasilitas yang ada untuk menunjang proses belajar mengajar.

Model pembelajaran bisa dikatakan sebagai strategi atau pola yang dimanfaatkan untuk membuat
kurikulum, pengarahan bagi pengajar dan menyusun materi siswa di kelas. Sehingga siswa bisa
lebih efektif dan efisien dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.

Dalam perjalanannya model pembelajaran memiliki berbagai metode untuk dimanfaatkan


sebagai strategi pembelajaran. Ketika melihat dari hakikatnya learning model memiliki sejumlah
makna yang luas dari istilah
seperti prosedur/pendekatan, strategi, metode maupun teknik & taktik pembelajaran.

Berdasarkan Joyce dan Weil (1986:14-15) Model pembelajaran merupakan sebuah strategi dan
metode pada aktivitas pembelajaran yang didalamnya terdapat empat komponen, yakni:

Syntax (Sintaks)

Sintak adalah langkah, fase atau phasing dalam model pembelajaran yang mana didalamnya
menerangkan tentang tata cara penerapan yang dapat digambarkan secara konkret.

The social system (Sistem sosial)

Model pembelajaran dituntut untuk bisa mengungkapkan fakta akurat tentang pengaruhnya
kepada pendidik dan peserta didik saat aktivitas pembelajaran. Pada sistem sosial ini pendidik
bertugas sebagai pembimbing, penyedia, sumber pertanyaan dan pengetahuan.

Principle of reaction (Prinsip Reaksi)

Ini adalah suatu komponen yang mana bagaimana cara pendidik dalam memperlakukan peserta
didiknya. Ada pula hal lain yang perlu dilakukan adalah bagaimana seorang pendidik harus dapat
merespon tentang apa yang peserta didik lakukan.

Support System (Sistem Pendukung)

Terdapat tiga komponen yang perlu diperhatikan dalam sistem pendukung, yakni:

1
o Bahan
o Fasilitas/Sarana
o Instrumen yang bisa dipakai untuk mendukung model pembelajaran.

Dari penjelasan di atas, mari kita pelajari beberapa contoh model pembelajaran berikut:

1..Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi

Secara filosofis, model pembelajaran ini tergolong dalam pendekatan Psikologi Kognitif.
Sebenarnya perspektif kognitif adalah anggota tertua, tetapi juga salah satu anggota termuda
masyarakat psikologi. Perspektif ini dikatakan tua karena diskusi tentang sifat pengetahuan, nilai
penalaran, dan isi pikiran dapat dilacak mundur ke filsuf-filsuf Yunani kuno (Woolfolk, 2009;
Hersnaw, (2008). Akan tetapi sejak akhir tahun 1800-an sampai beberapa decade yang lalu,
studistudi kognitif banyak ditinggalkan, dan behaviorisme berkermbang pesat. Setelah itu
kemudian penelitian selama Perang Dunia II tentang perkembangan berbagai keterampilan
kompleks manusia, revolusi computer, dan berbagai terobosan dalam memahami perkembangan
bahasa, semuanya menstimulasi bangkit kembalinya penelitian kognitif. Bukti-bukti yang
terakumulasi menunjukkan bahwa merencanakan responsnya, menggunakan strategi untuk
membantunya mengingat, dan mengorganisasikan materi pengetahuan yang mereka pelajari
dengan cara uniknya masing-masing (Miller, Galanter, dan Pribram, 1960; Shuel, 1986: 433).
Psikologi pendidikan menjadi tertarik dengan bagaimana orang berpikir, mempelajari konsep,
dan mengatasi masalah (Ausubel, 1963; Bruner, Goodnow, & Austin, 1956).
Ketertarikan pada concept learning (pembelajaran konsep) dan problem solving inilah
yang memberi jalan bagi timbulnya ketertarikan pada bagaimana pengetahuan direpresentasikan
dalam pikiran dan khususnya bagaimana pengetahuan itu diingat. Ingat dan lupa menjadi
topictopik utama dalam penelitian di bidang psikologi kognitif pada tahun 1970-an dan 1080-an,
serta model pemrosesan informasi untuk ingatan mendominasi penelitian saat itu.
Sekarang ini ketertarikan yang terbarukan dalam bidang pembelajaran, berpikir dan
problem solving. Pandangan kognitif tentang pembelajaran dapat dideskripsikan sebagai sebuah
orientasi filosofis yang secara umum disepakati. Hal ini berarti bahwa para teoretisi kognitif
memiliki ggasan dasar yang sama tentang pembelajaran. Yang terpenting para ahli psikologi

2
kognitif berasumsi bahwa proses mental memang ada, bahwa mereka dapat dipelajari secara
ilmiah, dan bahwa manusia adalah partisipan aktif dalam tindakan kognisinya sendiri (Ashcraft,
2006). Secara keseluruhan Ormrod (2009: 270-274) mengidentifikasi asumsi-asumsi dasar
psikologi kognitif, yakni: (1) Proses-proses kognitif mempengaruhi apa yang dipelajari.
Maksudnya proses-proses spesifik dari apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Bahkan
dalam pernyataan yang lebih eksrtrem perubahan perilaku pembelajar itu disebabkan oleh
perubahan kognisi. (2) Orang selektif dengan apa yang mereka proses dan pelajari. Artinya
stimuli yang membombardir diri kita dengan penuh informasi, adalah sangat bermanfaat untuk
membedakan antara sensasi dan persepsi. Selain itu adalah mustahil semua stimuli kita indera
untuk dipahami dan ditafsirkan, pembelajar kemampuannya yang terbatas harus mampu
menseleksi informasi yang ada. (3) Makna dikonstruksi oleh pembelajar, bukan diambil
langsung dari lingkungan. Hal ini dapat dipahami karena proses konstruksi pada hakikatnya
merupakan inti dari banyak teori kognitif tentang belajar; di mana pembelajar mengambil
sejumlah penggalan informasi yang terpisah dan menggunakannya untuk menciptakan
pemahaman atau tafsiran atas dunia di sekelilingnya. (4). Pengetahuan dan keyakinan yang telah
dimiliki memainkan peranan utama dalam makna-makna yang dikonstruksi orang. Hal ini bisa
dipahami karena semua siswa memiliki riwayat pribadi mereka sendiri dan dapat berasal dari
berbagai macam lingkungan yang memiliki modal dasar yang beragam pula pengalamnnya. (5)
Perubahan pematangan dalam otak, memungkinkan proses kognitif yang semakin canggih
seiring dengan bertambahnya usia. Perubahan tersebut hampir pasti merupakan penyebab utama
pribadi-pribadi menjadi lebih mampu melakukan proses-proses kognitif yang semakin efektif. (6)
Orang terlibat secara aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Artinya kita percaya bahwa setiap
orang tidak begitu saja menerima dan menyerap pengetahuan secara pasif tanpa berpikir. Dengan
berpikir orang dapat menjadi pembelajar aktif dan konstruktif.
Sebagaimana dikemukakan oleh Atkinson dan Shiffrin (1968) dalam hasil penelitiannya
bahwa memori manusia setidaknya memiliki tiga komponen kunci; sensory register, memori
kerja
(jangka pendek) dan memori jangka panjang. Penjelasan yang “terlalu menyederhanakan” ini
setidaknya memberikan cara yang baik untuk mengorganisasikan sebagian besar hal yang kita
ketahui tentang kerja memori, dan hal ini bisa dianalogikan kepada para siswa sebagai

3
pembelajar.Di mana para siswa disaksikan bagaimana informasi itu diproses, keputusan dibuat,
kapasitas intelektual dikembangkan, serta kreativitas, diekspresikan dan ditingkatkan. Mereka
berupaya memformat gagasan-gagasan dengan cara-cara yang berbeda. Beberapa di antaranya
ada yang membangun serta menguji konsep-konsep, sedangkan yang lain menghafal informasi
yang sudah ada, serta ada pula siswa yang berupaya membuat gagasan-gagasan baru (Joyce,
Weil, & Calchoun, 2009: 95).
Adapun yang tergabung dalam Model Pemrosesan informasi ini adalah Metode
Pencapaian Konsep (Concept Attainment), Metode Berfikir Induktif Model Taba, Model Induktif
Kata Bergambar, dan Metode Belajar Presentasi.

a. Landasan Teoretis dan Empiris Pembelajaran Concept Attainment


Landasan teoretis dan empiris untuk pembelajaran konsep sangat ekstensif dan mencakup
beragam topik. Hal ini disebabkan mengingat pengembangan dan hubungannya dengan cara
kerja pikiran, telah menarik minat teoretisi, filsuf, dan peneliti selama bertahun-tahun.
Belakangan ini pekerjaan tersebut terutama dipusatkan dalam bidang psikologi, di antaranya
termasuk kontribusi Piaget, Bruner, Ausubel, dan Gardner. Studi-studi mereka menunjukkan
bagaimana berpikir konseptual berkembang pada anak-anak dan remaja, dan bagaimana
pendekatan pembelajaran konsep tertentu mempengaruhi proses pembelajaran ini. Di bagian-
bagian selanjutnya kita akan melihat; (1) definisi konsep, (2) jenis-jenis konsep, (3) sifat-sifat
konsep, (4) kategori-kategori konsep, (5) contoh dan non-contoh, (6) pengaruh konteks sosial,
dan (7) sampai bagaimana kita merencanakan, serta (8) melaksanakan pembelajaran konsep.

b. Definisi Konsep

Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa istilah “konsep” mengacu sebagai abstraksi
yang luas, bisa bersifat konotatif maupun denotatif, dengan demikian ruang-lingkup “konsep”
bisa bersifat abstrak maupun konkrit ataupun real. Menurut Schwab (1962: i2-14) konsep
merupakan abstraksi, sutu konstruksi logis yang terbentuk dari kesan, tanggapan dan
pengalaman-pengalaman kompleks. Pendapat Schwab tersebut sejalan dengan Banks (1977: 85),
bahwa “A concept is an abstract word or phrase that is useful for classifying or categorizing a
group of things, ideas, or events”. (“Suatu konsep adalah suatu kata abstrak atau frase yang

4
bermanfaat untuk mengklasifikasikan atau menggolongkan suatu kelompok berbagai hal,
gagasan, atau peristiwa”). Dengan demikian pengertian konsep menunjuk suatu abstraksi,
penggambaran dari sesuatu yang konkrit maupun abstrak (nampak maupun tidak nampak) dapat
berbentuk pengertian/definisi ataupun gambaran mental, atribut esensial dari suatu kategori yang
memiliki ciri-ciri esensial relatif sama.
Sebagai contoh “kursi”. Jika dilihat dari jenis, ketinggian dan bentuknya kursi itu sangat
beragam. Ada kursi tamu, yang berbeda dengan kursi makan maupun “kursi malas”. Ada
kursinyang berkaki empat, berkaki satu, tidak berkaki. Tetapi apa yang membuat mereka yang
berbeda-beda itu namun tetap disebut kursi? Tentu saja karena mereka memiliki persamaan
sebagai ciri esensialnya, yang berbeda dengan bangku yang memanjang. Dalam hal ini anda
dapat mengidentifikasi tentang nama-nama danau, sungai, benua, meja, dan sebagainya. Coba
cari masing-masing nama benda itu dan jabarkan ciri-ciri esensialnya yang relatif sama itu.
Jadi berbeda dengan fakta yang menekankan kekhususan, sedangkan konsep memiliki
ciriciri umum (common characteristics) yang sudah barang tentu konsep lebih luas daripada
fakta. Menurut Jack R. Fraenkel dalam Helping Students Think and Value Strategies for
Teaching the Social Studies, dikatakan bahwa sebenarnya konsep-konsep itu dalam
kenyataannya tidak ada. Konsep itu berada dalam ide atau pikiran manusia. Semua relitas yang
berada di sekeliling kita memasuki atau menyentuh indera-indera manusia sebagai informasi dari
berbagai pengalaman. Kemudian, masukan-masukan indera (sensory input) tersebut diatur dan
disusun dengan mengenakan simbol-simbol (label kata-kata) berdasarkan persamaan-persamaan
esensial tersebut (Fraenkel, 1980: 58).

c. Jenis-Jenis Konsep
Fraenkel (1980: 57) mengklasifikasi jenis-jenis konsep terbagi menjadi 6 macam: Pertama,
konsep konjungtif; yaitu konsep yang berfungsi untuk menghubungkan (connective) dari
keberadaan dua atau lebih atribut yang semuanya harus ada (Fraenkel, 1980: 58). Kedua, konsep
disjungtif; mencerminkan adanya alternatif-alternatif yang beragam. Ketiga, konsep relasional;
yang memiliki arti mengandung suatu hubungan khusus antara dua atribut maupun lebih yang
dinyatakan secara eksplisit dengan bilangan tertentu. Keempat, konsep deskriptif; adalah konsep
yang menuntut jawaban tentang gambaran sesuatu benda. Konsep deskriptif ini juga menuntut

5
pemahaman karakteristik ataupun ciri-ciri esensial yang sama dalam mengemukakan pendapat..
Kelima, konsep valuatif; yaitu konsep yang berhubungan dengan pertimbangan baik ataupun
buruk, salah ataupun benar, cantik ataupun jelek rupa, dan sebagainya. Keenam atau terakhir
adalah konsep campuran antara deskriptif dan konsep valuatif; yaitu suatu konsep yang tidak
hanya memberikan penjelasan tentang sesuatu karakteristik yang dimiliki oleh benda tersebut,
tetapi juga sekaligus memberikan sikap ataupun penilaian terhadap pernyataan tersebut. Menurut
Fraenkel (1980: 59) konsep ini merupakan yang paling banyak ditemui, contohnya; pembunuhan
sadis, pemerintah otoriter, kolonialisme, imperialisme, sadisme, dan sebagainya.
Untuk apa kita belajar mengenal konsep-konsep? Jawabannya adalah: Pertama, konsep
itu berguna untuk melakukan efisiensi dan efektivitas bagi manusia. Hal ini bisa kita fahami
karena informasi-informasi itu kian terus bertambah banyak dan semuanya harus diidentifikasi
dalam simbol-simbol yang dapat disepakati. Kedua, melalui konsep itu juga adanya klasifikasi
atas beberapa individu, karakteristik yang serupa kemudian diidentifikasi dicari
perbedaanpebedaannya. Sehingga dalam klasifikasi (kategorisasi) tersebut begitu nampak
persamaan dan perbedaannya. Sebut saja umpamanya “gunung”, walaupun dari sekian gunung
itu berbeda-beda tetapi “gunung” mempunyai ciri-ciri yang sama yaitu suatu bentuk daratan yang
menjulang tinggi, kekar dan sangat besar serta mempunyai ketinggian sampai ribuan meter dari
permukaan air laut. Ketiga, konsep dapat berfungsi untuk mereduksi keperluan yang sering
dikatakan berulang-ulang terhadap sesuatu kajian yang serupa dan sudah diketahui (Fraenkel,
1980: 65).
Keempat, konsep dapat berfungsi memudahkan kita untuk memecahkan masalah.
Dengan menempatkan objek-objek, individu-individu, peristiwa-peristiwa, atupun ide-ide ke
dalam kategori-kategori yang benar, kita dapat memperoleh beberapa wawasan bagaimana
menangani sesuatu masalah tertentu yang dihadapi (Fraenkel, 1980: 65). Kelima, konsep juga
berguna untuk menjelaskan (eksplanasi) sesuatu yang dianggap rumit ataupun memerlukan
keterangan yang cukup panjang dan rinci. Banyak konsep-konsep yang kita ketahui sekarang
diperoleh melalui proses pembelajaran ataupun pengenalan dari konsep-konsep sebelumnya yang
dianggap baru. Dengan demikian konsep bisa dijadikan alat (tools) yang mengandung
karakteristik-karakteristik umum untuk dinalisis sekalipun rumit. Keenam, konsep berguna untuk
mengkonseptualisasikan sesuatu secara cermat melalui simbol-simbol. Itulah kelebihan insan

6
manusia sebagai mahluk yang suka berpikir (homo sapiens). Tidak ada filsuf modern yang telah
menjadikan simbol lebih sentral dalam pengembangan penafsiran tentang realitas selain Ernst
Cassirer yang tertuang dalam karyanya The Philosophy of Simbolic Forms dan An Essay on Man
bahwa manusia adalah “homo symbolicum”, karena manusia mahluk yang suka menggunakan
simbol-simbol (Cassirer: 1951). Sedikit berbeda dengan sejarawan Belanda Johan Huizinga di
mana manusia sering juga disebut
“homo luden” atau mahluk yang suka bermain. Kemudian menurut Erik Fromm manusia adalah
“homo esperans” dan “homo negans” (Fromm: 1959). Begitu juga “homo significan” atau
mahluk pencari makna, sebuah sebutan yang diberikan Frankl dalam karyanya Man’s Search for
Meaning (1959), “homo significans” atau makhluk pemberi makna, “homo mechanicus” atau
makhluk mekanik, “homo faber” atau makhluk pembuat alat. Tetapi terdapat pula predikat yang
mencemaskan di mana Thomas Hobbes (1561) menyebutnya “homo homini lupus” atau mahluk
serigala bagi sesamanya.
Ketujuh, sesuatu konsep juga mengandung konotasi “negatif” adalah apa yang dinamakan
“stereotip” (Frankel, 1980: 66-68). Konsep “stereotip” ini demikian melekat pada diri setiap
etnis maupun individu, hanya kadar atau derajatnyalah yang membedakannya. Walter Lippman
seorang wartawan senior Amerika Serikat, sampai sekarang ini dianggap orang pertama yang
merumuskan stereotip dan membahasnya secara ilmiah dalam buku “Public Opinion” (1922). Ia
berpendapat bahwa stereotipe adalah “gambaran di kepala” yang merupakan rekonstruksi dari
keadaan lingkungan untuk menggambarkan keadaan sebenarnya (1922: 1), dan stereotip
berfungsi sebagai cara “penyederhanaan” untuk memberikan gambaran itu. Tetapi sekarang ini
stereotipe didefinisikan oleh para ahli merupakan “informasi yang salah” sebagai lawan dari
“sosiotip yang ilmiah” (Hayakawa (1950: 209). Kedelapan, konsep berguna sebagai mata rantai
penghubung ataupun katalisator antar berbagai disiplin ilmu baik itu yang sifatnya interdisipliner,
multidisipliner, maupun lintas disipliner. Sebagai contoh dalam hal ini konsep “kerjasama”
bukan saja ditemukan dalam bidang sosial (sosiologi), tetapi juga budaya (antropologi),
kemudian ekonomi (terdapat koperasi), maupun psikologi terutama dalam kajian empati dan
solidaritas.
Dalam bidang politik konsep “kerjasama” tersebut akan nampak pada kajian integrasi bangsa
yang dibangun oleh solidaritas dan kesetiakawanan.

7
d.Sifat-sifat Konsep
Dalam kehidupan sehari-hari istilah ‘konsep’ penggunaan istilah konsep dipakai dalam berbagai
istilah. Pertama, seing istilah ini digunakan untuk penyebutan ide-ide seseorang. Misalnya ia
memiliki konsep yang cukup bagus dalam pengajuan proposalnya. Kedua, istilah konsep sering
digunakan sebagai rancangan. Misalnya ia telah mengonsep surat yang akan diberikan kepada
Gubernur Provinsi Jawa Barat. Ketiga, istilah konsep sering digunakan sebagai hipotesis.
Sebagai contoh; Konsep saya adalah kita memerlukan perdebatan yang kritis, mengingat masalah
ini membutuhkan kajian yang hati-hati dan mendalam.
Sedangkan dalam istilah pembelajaran, Concept Learning (belajar konsep) pada dasarnya
adalah “meletakkan berbagai macam hal ke dalam golongan-golongan dan setelah itu mampu
mengenali anggota-anggota golongan tersebut. Dengan demikian mengharuskan individu untuk
mampu mengambil kasus tertentu secara rinci. Sebab segala sesuatunya dibahas, harus diuraikan
secara rinci dalam bagian-bagian/atribut-atribut yang tergolong jenis anggotanya. Selanjutnya
konsep-konsep itu dikelompokkan dalam berbagai kategori-kategori yang diberi nama atau label
yang sesuai.
Suatu hal yang penting lagi adalah bahwa pembelajaran konsep harus dipelajari antara
contoh dan bukan contoh (Arends, 2008: 325). Sebagai misal konsep “kambing”, adalah contoh
untuk hewan menyusui, tetapi bukan contoh untuk reptile. “Amerika” adalah contoh benua yang
tepat, tetapi bukan bukan contoh untuk nama “pulau”.

e. Melaksanakan Pembelajaran Concept Attainment


Terdapat empat fase dalam pembelajaran Concept Attainment (Joyce, Weil, Calchoun, 2009:
137; Arends, 2008: 338). Tahap pertama, mengklarifikasikan maksud dan establishing set. Pada
tahap ini Guru menjelaskan maksud dan prosedur untuk pelajaran itu serta menyiapkan siswa
untuk belajar.
Tahap kedua, member masukan contoh dan bukan contoh. Untuk penyajian pendekatan
direct (presentasi langsung) guru menamai berbagai konsep, mengidentifikasi atribut-atribut
kritis, dan member ilustrasi dengan contoh dan bukan contoh. Dalam pendekatan concept
attainment (pencapaian konsep) contoh dan bukan contoh diberikan untuk mengklarifikasi

8
sesuatu konsep yang diajukan. Dalam hal ini siswa secara induktif sampai pada konsep itu dan
atribut-atributnya.
Tafap ketiga, menguji pencapaian. Guru mempresentasikan contoh dan bukan contoh
tambahan untuk menguji pemahaman siswa tentang konsep itu. Siswa diminta memberikan
contoh dan bukan contoh untuk konsep itu. Sedangkan tahap keempat, menganalisis proses
berpikir dan integrasi pembelajaran siswa. Dalam hal ini guru membawa siswa untuk
memikirkan tentang proses berpikirnya sendiri. Siswa diminta menelaah keputusannya sendiri
dan konsekuensi keputusannya sendiri. Selanjutnya guru membantu siswa untuk
mengintegrasikan pembelajaran baru dengan menghubungkan konsep itu dengan konsep-konsep
lain dalam sebuah unit pelajaran.

2.Model Pembelajaran Sosial


Dalam model pembelajaran social, bertolak dari asumsi-asumsi yang menurut Jarviss (2000: 171)
sebagai berikut: (1) Psikologi sosial menaruh perhatian pada semua hal yang menyangkut
pengaruh manusia terhadap manusia lainnya. Hal ini bisa diambil contoh tentang studi Milgram
(1963) tentang partisipan yang diperintah untuk memberikan kejutan listrik yang menyakitkan
terhadap orang lain yang tidak dikenalnya guna melihat apakah mereka akan taat pada perintah
orang yang memiliki kekuasaan. (2) Pengaruh utama pada perilaku seseorang adalah situasi
sosial, tempat orang tersebut berada. Partisipan dalam studi Milgram tersebut misalnya
menemukan diri mereka berada dalam situasi sosial yang dirasakan tidak ada pilihan lain, kecuali
harus mentaati sosok figur yang berkuasa. (3) Pendekatan sosial tidak terikat pada metode
penelitian tertentu. Sementara pada penelitian psikologi perilaku hampir semuanya terdiri atas
eksperimen yang dilakukan di laboratorium psikologi, dan mayoritas penelitian psikoanalisis
maupun psikodinamika mencakup studi kasus terhadap pasien-pasien yang sedang menjalani
terapi, ahli psikologi sosial menggunakan beraneka ragam pendekatan dalam melakukan
penelitian untuk mengenal tabiat dasar sebagai makhluk sosial dan termasuk cara-cara mereka
belajar.
Model sosial sebagaimana namanya, menitikberatkan pada tabiat sosial kita, bagaimana
kita mempelajari perilaku sosial, dan bagaimana interaksi sosial tersebut dapat
mempertinggi hasil capaian pembelajaran akademik. Hampir semua penggagas teori
model sosial percaya bahwa peran utama pendidikan adalah untuk mempersiapkan
warganegara yang akan mengembangkan tingkah laku demokratis yang terpadu, baik

9
dalam tataran pribadi maupun sosial serta meningkatkan taraf kehidupan yang berbasis
demokrasi sosial yang produktif. Mereka juga percaya bahwa sebuah usaha yang
dilakukan bersama pada dasarnya dapat meningkatkan kualitas kehidupan, mendatangkan
kebahagiaan dan semangat serta supel dan mencegah adanya konflik sosial yang
dekonstruktif. Selain itu usaha yang dilakuan bersama-sama tidak hanya mendorong
peningkatan aspek sosial, namun juga mendorong aspek intelektual (Joyce, Weil, &
Calchoun, 2009: 295).

Oleh karena itu beberapa tugas akademik yang dikerjakan dengan mengandalkan interaksi
sosial bisa disiasati sedemikian rupa untuk meningkatkan hasil pembelajaran. Hanya dengan
meningkatkan satu formula ini, perkembangan tingkah laku sosial yang produktif, skill
akademik, serta pengetahuan akan sama-sama dicapai.

a. Landasan Teoretik dan Empirik Model


Para penggagas teori sosial telah mengembangkan dasar-dasar pemikiran model-model yang
telah mereka rancang, tetapi juga telah mengemukakan beberapa pertanyaan terkait dengan pola
yang biasanya dipakai dalam beberapa sekolah. Sebab tidak sedikit, interaksi guru dan siswa
hanya terbatas pada model pembacaan atau hafalan, di mana garu akan menanyakan apa saja
yang telah dipelajari, meminta salah seorang siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut,
kemudian membenarkan atau memperbaiki jawaban siswa itu (Sirotnik, 1983: 20). Pola-pola
evaluasi yang demikian menjadikan kelas semata-mata sebagai ruang kompetisi antar siswa.
Sebaliknya beberapa penggagas teori pembelajaran sosial berpandangan bahwa pembelajaran
individualistik yang digabung dengan hafalan yang dikuasai seorang guru, sebenarnya
merupakan suatu hal yang kontraproduktif, baik dalam tataran individu maupun sosial (Joyce,
Weil, & Calhoun, 2009: 296). Hal ini didikarenakan model yang demikian hanya menekan
angka pembelajaran, menciptakan sebuah interaksi yang tidak alamiah, bahkan menjelma
menjadi sebuah iklim yang jauh dari prososial atau tidak mementingkan serta melatih
bekerjasama, berdebat, berdiskusi dan seolaholah selalu berupaya menyaingi kompetensi yang
dimiliki lawan debat atau diskusinya (Jhonson,& Jhonson, 1999: 12; Sharan, 1990: 132; dan
Thelen, 1960: 45).
Pengembangan kerjasama dalam mempelajari hal-hal yang sifatnya akademis dan
beberapa upaya untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik, serta
membentuk sebuah kehidupan yang memuaskan senyatanya adalah ide yang telah lama ada.

10
Realitas tersebut nampak dari beberapa tulisan Plato, Aristoteles, pada masa Yunani kuno serta
beberapa pendidik Thomas Aquinas pada masa Abad Pertengahan, serta Johan Amos Comenius,
pada masa Renaissance. Sedangkan pada jaman modern muncul nama-nama John Locke dari
Inggris, J.J. Rousseau dari Prancis, dan Thomas Jefferson serta Benjamin Franklin sampai
Horace Mann maupun Henry Barnard dari Amerika Serikat. Pada umumnya mereka sangat
menganjurkan adanya sebuah sekolah yang berbasiskan praktik-praktik secara aktif tentang
pembelajaran kooperatif.
Adapun asumsi-asumsi yang mendasari pengembangan pembelajaran kooperatif
(cooperative learning) ini adalah sebagai berikut:
Pertama, sinergi yang ditingkatkan dalam bentuk kerja sama akan meningkatkan motivasi
yang lebih besar daripada dalam bentuk lingkungan kompetitif individual. Sebagaimana
dinyatakan Bandura (1978:132), Milgram (1974:15) bahwa kelompok-kelompok sosial
integrative memiliki pengaruh yang lebih besar daripada kelompok yang dibentuk secara
berpasangan. Perasaan-perasaan saling berhubungan (feelings of connectedness) menghasilkan
energi yang positif. Kedua, anggota-anggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu sama
lain. Setiap pembelajar akan memiliki bantuan yang lebih banyak daripada dalam sebuah struktur
pembelajaran yang menimbulkan pengucilan antarsatu siswa dengan siswa lainnya. Ketiga,
interaksi antaranggota, akan menghasilkan aspek kognitif semisal kompleksitas social,
menciptakan sebuah aktivitas intelektual yang dapat mengembangkan pembelajaran ketika
dibenturkan pada pembelajaran tunggal.
Keempat, kerjasama meningkatkan perasaan positif terhadap satu sama lain,
menghilangkan pengasingan dan penyendirian, membangun sebuah hubungan, dan memberikan
sebuah pandangan positif mengenai orang lain. Kelima, kerjasama meningkatkan penghargaan
diri, tidak hanya melalui pembelajaran yang terus berkembang, namun juga melalui perasaan
dihormati dan dihargai oleh orang lain dalam sebuah lingkungan. Keenam, siswa yang
mengalami dan menjalani tugas serta merasa harus bekerjasama dapat meningkatkan
kapasitasnya untuk bekerjasama secara produktif. Dalam arti semakin banyak siswa mendapat
kesempatan untuk bekerjasama, maka mereka akan semakin mahir bekerjasama, dan hal ini akan
sangat berguna bagi skill sosial mereka secara umum. Ketujuh, siswa, termasuk juga anak-anak,
bisa belajar dari beberapa latihan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam bekerjasama.

11
Belakangan ini banyak banyak penelitian yang muncul membahas model pembelajaran
kooperatif setelah diperkenalkan John Dewey dengan aktivitas Progressive Association pada
pertengahan abad XX.. Salah satunya dikemukakan oleh Roger Johnson dari University of
Minnesota (Johnson dan Johnson, 1981, 1990), yang dalam tulisan buku ini akan membahas
model pembelajaran investigasi kelompok Kemudian Robert Slavin (1983, 1990) dari John
Hopkins University mengembangkan model pembelajaran satu rangkaian investigasi kelompok
yang secara langsung menguji asumsi mengenai model pembelajaran sosial keluarga. Secara
khusus mereka telah meneliti; apakah tugas kerjasama dan struktur penghargaan telah dapat
mempengaruhi hasil pembelajaran secara positif atau tidak? Selain itu mereka juga
merekomendasikan ditingkatkannya kesatuan kelompok, tingkah laku bersama, dan relasi antar
kelompok melalui prosedur pembelajaran yang kooperatif. Dalam beberapa investigasinya,
mereka menguji pengaruh tugas kelompok dan struktur penghargaan dalam gtugas pembelajaran
yang “tradisional” di mana siswa diwajibkan menguasai beberapa macam materi (Joyce, Weil, &
Calchoun, 2009: 303).

b. Langkah-langkah Pembelajaran Investigasi Kelompok


Di bawah ini akan disajikan model pembelajaran investigasi kelompok. Yang merupakan karya
Johnson, Slavin, dan Sharan, termasuk salah satu jenis pembelajaran kolaboratif. Perlu diketahui
terdapat banyak macam pembelajaran kolaboratif yang pernah dikembangkan oleh para ahli
maupun praktisi pendidikan, teristimewa oleh para ahli Student Team Learning pada John
Hopkins University. Tetapi hanya sekitar sepuluh macam yang mendapatkan perhatian secara
luas, yaitu:
* Learning Together. Dalam metode ini kelompok-kelompok sekelas beranggotakan siswa-
siswa yang beragam kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan tugas
yang diberikan oleh guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan satu set lembar
tugas. Penilaian didasarkan pada hasil kerja kelompok.
* Teams-Games-Tournament (TGT). Setelah belajar bersama kelompoknya sendiri, para
anggota suatu kelompok akan berlomba dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat
kemampuan masing-masing. Penilaian didasarkan pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok.

12
* Group Investigation (GI). Semua anggota kelompok dituntut untuk merencanakan suatu
penelitian beserta perencanaan pemecahan masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa
saja yang akan dikerjakan dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana
perencanaan penyajiannya di depan forum kelas. Penilaian didasarkan pada proses dan hasil
kerja kelompok.
* Academic-Constructive Controversy (AC). Setiap anggota kelompok dituntut kemampuannya
untuk berada dalam situasi konflik intelektual yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar
masing-masing, baik bersama anggota sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain.
Kegiatan pembelajaran ini mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan
masalah, pemikiran kritis, pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan
keselarasan. Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok
mempertahankan posisi yang dipilihnya.
* Jigsaw Proscedure (JP). Dalam bentuk pembelajaran ini, anggota suatu kelompok diberi tugas
yang berbeda-beda tentang suatu pokok bahasan. Agar setiap anggota dapat memahami
keseluruhan pokok bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian
didasarkan pada rata-rata skor tes kelompok.
* Student Team Achievement Divisions (STAD). Para siswa dalam suatu kelas dibagi menjadi
beberapa kelompok kecil. Anggota-anggota dalam setiap kelompok saling belajar dan
membelajarkan sesamanya. Fokusnya adalah keberhasilan seorang akan berpengaruh
terhadap keberhasilan kelompok dan demikian pula keberhasilan kelompok akan
berpengaruh terhadap keberhasilan individu siswa. Penilaian didasarkan pada pencapaian
hasil belajar individual maupun kelompok.
* Complex Instruction (CI). Metode pembelajaran ini menekankan pelaksanaan suatu proyek
yang berorientasi pada penemuan, khususnya dalam bidang sains, matematika dan
pengetahuan sosial. Fokusnya adalah menumbuhkembangkan ketertarikan semua anggota
kelompok terhadap pokok bahasan. Metode ini umumnya digunakan dalam pembelajaran yang
bersifat bilingual (menggunakan dua bahasa) dan di antara para siswa yang sangat heterogen.
Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.
* Team Accelerated Instruction (TAI). Bentuk pembelajaran ini merupakan kombinasi antara
pembelajaran kooperatif/ kolaboratif dengan pembelajaran individual. Secara bertahap, setiap

13
anggota kelompok diberi soal-soal yang harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah
itu dilaksanakan penilaian bersama-sama dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah
diselesaikan dengan benar, setiap siswa mengerjakan soal-soal tahap berikutnya. Namun jika
seorang siswa belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan benar, ia harus
menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap tahapan soal disusun berdasarkan
tingkat kesukaran soal. Penilaian didasarkan pada hasil belajar individual maupun kelompok.
* Cooperative Learning Stuctures (CLS). Dalam pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk
dengan anggota dua siswa (berpasangan). Seorang siswa bertindak sebagai tutor dan yang lain
menjadi tutee. Tutor mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban
tutee benar, ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang
waktu yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua siswa yang saling berpasangan itu
berganti peran.
* Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC). Model pembelajaran ini mirip
dengan TAI. Sesuai namanya, model pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca,
menulis dan tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para siswa saling menilai kemampuan
membaca, menulis dan tata bahasa, baik secara tertulis maupun lisan di dalam kelompoknya.
Untuk menerapkan model pembelajaran Investigasi Kelompok, urutan-urutannya sebagai
berikut. Tahap Pertama, sebagai langkah awal dalam pembelajaran ini adalah dengan
menyajikan sebuah masalah yang memancingperhatian dan kehebohan siswa yang penuh teka-
teki. Penyajian masalah tersebut bisa dilakukan secara verbal, atau mungkin merupakan
pengalaman yang nyata; baik pengalaman yang benar-benar terjadi maupun yang direkayasa
guru. Tahap Kedua, Siswa mengeksplorasi reaksi terhadap situasi. Dalam hal ini jika siswa
bereaksi, maka guru akan menggiring perhatian mereka terhadap reaksi mereka masing-masing
yang berbeda-beda, yakni sikap yang akan mereka tunjukkan, apa yang dirasakan, serta
bagaimana mereka mengatur sesuatu. Saat siswa mulai tertarik pada perbedaan reaksi tersebut,
guru lalu menggiring mereka ke langkah ketiga yakni siswa merumuskan tugas dan mengatur
pelajaran (masalah, definisi, peran, tugas, dan lain-lain). Kemudian siswa menganalisis beberapa
peran yang dibutuhkan, merupakan langkah keempat dalam pembelajaran ini. Pada langkah
kelima siswa menganalisis kemajuan dan proses, dalam hal ini masing-masing kelompok
mengevaluasi solusi permasalahan yang dicocokkan dengan maksud dan tujuan utama mereka.

14
Sedangkan sebagai langkah keenam, mendaur ulang aktivitas dengan baik dalam penyajian
masalah serupa maupun memunculkan maaslah baru yang merangsang adanya investigasi.
Dalam hal ini sistem sosial harus menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan diatur oleh
suatu kesepakatan yang diperkembangkan. Atau paling tidak divalidasi oleh pengalaman
kelompok—dalam batas hubungan terhadap fenomena rumit yang kemudian dijelaskan oleh
seorang guru sebagai sebuah objek pembelajaran. Aktivitas kelompok muncul dalam jumlah
struktur eksternal minimalis yang diberikan oleh seorang guru. Dalam hal ini seolah-olah siswa
dan guru memiliki status sosial yang sama, namun peran yang berbeda. Selain itu atmosfer
merupakan salah satu alasan dan negosiasi.
Begitu juga tentang peran guru, dalam investigasi kelompok ini terkadang serupa dengan
konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang ramah dan konstruktif. Guru harus membimbing
serta merefleksikan pengalaman kelompok dalam tingkat-tingkat berikut; Pertama, memecahkan
masalah atau level tugas (Apakah masalah yang sebenarnya muncul? Apa sajakah faktor-faktor
dan elemen-elemen yang terlibat?) Kedua, level manajemen kelompok (Informasi apakah yang
dibutuhkan saat ini?) dan Ketiga, tingkat makna pribadi (Apa tanggapan Anda mengenai
kesimpulan tersebut? Langkah lain apa yang akan dilakukan setelah mengetahui hal itu? (Thelen,
1954: 52-53).

3. Model Pembelajaran Perilaku


a. Landasan Teoretis dan Empiris
Model pembelajaran perilaku, dalam sejarahnya diilhami oleh eksperimentasi
conditioning klasik yang dilakukan oleh Pavlov (1928:28) tentang refleks psikis atau refleks
yang dikondisikan dengan membawa bubuk makanan, anjing merespons dengan mengeluarkan
air liur. Begitu juga ketika saat mendengar langkah kaki eksperiemnter, si anjing juga
mengeluarkan air liur (Hergenhahn dan Olson, 2009: 183). Selanjutnya kajian Thorndike (1911,
1913, 1930) tentang koneksionisme bahwa aktivitas belajar adalah trial-and error learning
(belajar dengan uji coba) atau yang menyebutnya selecting and connecting atau pemilihan dan
pengaitan (Hergenhahn dan Olson, 2009: 60). Dilanjutkan penelitian Watson dan Rayner (1921)
yang menerapkan prinsipprinsip Plavovian bahwa perilaku manusia dapat dibentuk lewat proses
pengkondisian klasik.

15
Berikutnya yang tidak kalah penting adalah karya B.F. Skinner dalam Science and
Human Behavior (1953) terkenal teorinya dengan sebutan Operant Conditioning (pengkondisian
operan) maupun behaviorisme radikal. Karya tersebut merupakan sumber utama dari literatur-
literatur mengenai teori dan aplikasinya dalam pembelajaran. Beberapa tipe pembelajar tertentu
dapat mencapai kesuksesan akademik dengan menggunakan model ini. Misalnya beberapa
remaja yang sebelumnya sama sekali tidak pernah mengalami perkembangan dan kemajuan
dalam pelajaran bahasa maupun social, namun sekarang ia sudah begitu terlatih dan bahkan
hingga mampu mempelajari materi akademik dengan baik. Bentuk-bentuk yang digagas Molder
mengenai masalah dalam pembelajaran telah memberikan tanggapan pada model perilaku ini
dengan baik pula (Becker, 1977; Becker dan Carnine, 1980; Englemnn, Carnine, dan Rhine,
1981).
Beberapa puluh tahun ke belakang, sejumlah penelitian telah memaparkan efektivitas
perilaku yang dapat merancang pengajaran dan bantuan dengan ruang lingkup masalah-masalah
pendidikan yang cukup luas, dari bentuk phobia terhadap mata pelajaran tertentu hingga ke
kecemasan menghadapi ujian. Penelitian-penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa beberapa
prosedur ini bisa digunakan secara efektif dalam format kelompok dan individual. Penulis
meyakini bahwa teori-teori pembelajaran berbasis perilaku menawarkan deretan model yang
sangat bermanfaat bagi guru, prencana kurikulum, dan pembuat kebijakan pendidikan. Hal ini
bisa diambil contoh munculnya sederetan teori-teori pembelajaran perilaku dari Pavlov,
(Kondisioning Klasik), teori Koneksionisme/Asosianisme Thorndike, teori Behaviorisme
Watson, teori Kondisioning Operant Skinner, teori Kontiguitas Edwin Guthrie, teori Stimulus
Sampling Estes, teori Signal & Belajar Latent Tolman, teori Drive Reduction Hull, teori belajar
social Bandura, sampai teori Belajar Diskrimasi Spence (Supardan, 2011: 1-5), sudah lama
digunakan oleh para pakar dengan merujuk pada model-model tersebut di atas. Mengingat
masing-masing istilah tersebut umumnya dihubungkan dengan bentuk teori dasar tertentu, kami
lebih memilih menggunakan istilah yang lebih netral, yakni teori perilaku, agar lebih inklusif
terhadap beberapa prosedur yang memunculkjan operant dan prinsip counterconditioning (Joyce,
Weil, dan Calchoun, 2009: 402).
Adapun jenis-jenis model pembelajaran perilaku ini mencakup pengembangan
Pembelajaran Tuntas (Mastery Learning) yang digagas oleh Benjamin Bloom (1971) dan John

16
B.Carol (1993), Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction Model ) oleh Good, Grouws,
Ebmeier, (1983), Hunter (1982) dan Rosenshine dan Stevens (1986

b.Landasan Teoretis dan Empiris Pembelajaran Langsung


Di bawah ini hendak disajikan model pembelajaran langsung (direct instruction) yang dalam
berbagai pandangan para ahli agak berbeda istilahnya. Model ini kadang-kadang disebut Active
Learning (Good, Grouws, & Ebmeier, 1983). Hunter (1982) menyebutnya pendekatan Mastery
Teaching Model. Rosenshine dan Stevens (1986) menyebutnya pendekatan Explicit Instruction.
Sedangkan label direct instruction juga telah digunakan untuk mendeskripsikan pendekatan
tertentu untuk mengajar membaca, dan meskipun pendekatan membaca itu memiliki banyak
kesamaan dengan tipe pengajaran langsung yang dideskripsikan di sini. Tetapi model yang
dideskripsikan pada bagian ini lebih generik dan cocok untuk pembelajaran apapun, mulai
daripembelajaran Seni, IPS, sampai Zoologi (Arends, 2008: 294).
Secara sederhana model ini banyak digunakan untuk melatih seperti; menyetir mobil,
gosok gigi, membuat pukulan backhand dalam badminton, menulis makalah yang akan disajikan,
maupun mengerjakan bilangan persamaan dalam aljabar. Prinsip-prinsip behavioral yang
menjadi dasar model ini mungkin pernah digunakan untuk menterapi fobia terbang Anda dan
menghentikan kebiasaan merokok Anda. Model pembelajaran langsung agak mudah dan dapat
dikuasai dalam waktu pendek. Metode ini merupakan suatu keharusan repertoar semua guru,
karena sifatnya yang generik.
Menurut Arends (2008: 295), seperti halnya model-model lainnya, model pembelajaran
langsung ini dapat dideskripsikan dalam kaitannya dengan tiga fitur: (1) tipe hasil belajar yang
dihasilkannya; (2) sintaksis atau aliran kegiatan instruksionalnya secara keseluruhan; dan (3)
lingkungan belajarnya. Secara singkat pembelajaran langsung dirancang untuk meningkatkan
penguasaan berbagai keterampilan (pengetahuan procedural) dan pengetahuan factual yang dapat
diajarkan secara langkah demi langkah. Model ini tidak dimaksudkan untuk mencapai hasil
belajar sosial atau kemampuan hasil berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran langsung adalah
sebuah model yang berpusat pada guru, yang memiliki lima langkah sebagai berikut: (1)
establishing set; (2) penjelasan dan atau demonstrasi; (3) guided practice; (4) umpan balik; (5)
extended practice. Sebuah pembelajaran dengan model pembelajaran langsung membutuhkan

17
orkestrasi yang cermat oleh guru dan lingkungan belajar yang praktis, efisien, dan berorientasi
terhadap tugas.
Lingkungan untuk pembelajaran langsung terutama difokuskan pada tugas-tugas akademis, dan
dimaksudkan untuk mempertahankan keterlibatan siswa secara aktif.
Beberapa aspek model ini diambil dari prosedur-prosedur pelatihan yang dikembangkan
dalam lingkup industri dan militer. Barak Rosenshine dan Robert Stevens (1986) misalnya
melaporkan bahwa mereka menemukan sebuah buku “How Instruct yang diterbitkan tahun 1945
telah memasukkan banyak ide yang terkait dengan pembelajaran langsung. Akan tetapi untuk
maksud kita di sini, akan mendeskripsikan tiga tradisi teoretis yang menjadi dasar pemikiran
untuk penggunaan pembelajaran langsung kontemporer, yakni behaviorisme, teori belajar social,
dan penelitian tentang efektivitas guru.
Dalam teori behaviorisme, bahwa belajar memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap pembelajaran langsung. Teoretisi-teoretisi awal behaviorisme seprti Pavlov, dan
psikolog Amerika John Watson, Edward Thorndike, dan yang lebih mutakhir B.F.Skinner.
Teorinya memfokuskan meneliti tentang perilaku manusia yang dapat diobservasi. Yang sangat
penting terutama teori Skinner, bahwa manusia belajar dan bertindak dengan cara yang spesifik
sebagai hasil dari bagaimana perilaku-perilakunya didorong melalui reinforcement (penguatan).
Dalam pandangan behavioral, konsep penguatan memiliki makna khusus yakni konsekuensi yang
memperkuat perilaku tertententu, secara positif dengan memberikan reward tipe tertentu. Atau
secara negatif dengan menghilangkan stimulus tertentu yang bersifat mengiritasi. Sebagaimana
guru mengajar, ia menggunakan prinsip-prinsip behaviorisme, seperti; menetapkan tujuan
berbasis perilaku, memberikan pengalaman belajar, spt latihan, pemberisn pengustan, umpan
balik, dan sebagainya.
Begitu juga teori belajar sosial—sebagaimana dikembangkan oleh Albert Bandura, di
mana belajar juga terjadi pada aspek yang tidak terobservasi, seperti pikiran dan kognisi. Social
learning theory, membedakan antara belajar (bagaimana pengetahuan diperoleh) dan
performance (perilaku yang dapat diobservasi). Teori ini juga mengatakan bahwa banyak yang
dipelajari manusia terjadi melalui observasi terhadap orang lain. Para teoretisi belajar sosial
percaya bahwa sesuatu itu dipelajari bila si observer secara sadar memperhatikan perilaku
tertentu, dan kemudian meletakkan observasi itu ke dalam ingatan jangka panjangnya. Selama si

18
observer belum melakukan perilaku yang diobservasinya itu, maka belum ada konsekuensi
perikau (penguatan), yang oleh kaum behavioris dikatakan perlu agar pembelajaran terjadi.
Sekalipun demikian, selama ingatan itu masih tersimpan, si observer pasti tahu cara menyalakan
korek api, terlepas dari apakah ia pernah memilih untuk melakukannya atau tidak. Klaim yang
sama diutarakan untuk ribuan perilaku sederhana seperti mengerem mobil, makan dengan
sendok, dan membuka botol (Arends, 2008: 297).
Bagi Bandura (1986), belajar obseravasional adalah sebuah proses tiga langkah; (1)
pembelajar harus memperhatikan aspek-aspek kritis dari apa yang akan dipelajari, (2) pembelajar
harus meretensi/menyimpan atau mengingat perilaku itu, dan (3) pembelajar harus mampu
mereproduksi atau melakukan perilaku itu. Praktik atau latihan mental yang digunakan dalam
pembelajaran langsung adalah proses-proses yang membantu siswa menyimpan dan
mereproduksi perilaku yang diobservasi.

c. Langkah-langkah Pembelajaran Langsung


Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam implementasi pembelajaran
langsung memiliki lima tahapan secara berurutan, yakni; (1) memberikan tujuan dan establishing
set, (2) melaksanakan demonstrasi; (3) memberikan guided practice, (4) memeriksa pemahaman
dan memberikan umpan balik, (5) memberikan praktik independen yang lebih luas.
Pertama, memberikan tujuan dan establishing set: Guru yang baik pasti memulai
pelajarannya dengan dengan menjelaskan tujuannya, establishing learning set, dan mendapatkan
perhatian siswa. Boleh dicatat dipapan tulis tujuan itu atau dijelaskan secara verbal oleh guru.
Hal ini memberikan isyarat (cues) tentang apa yang akan terjadi. Selain itu seharusnya siswa
diberi tahu bagaimana keterkaitan antara tujuan pembelajaran dengan hari itu dengan
pembelajaran sebelumnya, dan pada kebanyakan kasus bagaimana pembelajaran itu merupakan
bagian dari tujuan atau tema jangka panjang. Siswa seharusnya juga diberi tahu tentang alur
pelajaran tertentu dan berapa banyak waktu yang diharapkan untuk menyelesaikan pembelajaran
itu.
Di samping itu memberikan garis-garis besar pelajaran juga penting, terutama yang
berorientasi pada keterampilan. Pelajaran semacam itu biasanya difokuskan pada

19
keterampilanketerampilan diskret yang mungkin tidak dipersepsi penting oleh siswa, tetapi
membutuhkan motivasi dan komitmen yang substansial untuk mempraktikannya.
Kedua, melaksanakan demonstrasi: Model pembelajaran langsung banyak menyandarkan
diri pada proposisi-proposisi, bahwa banyak di antara apa yang diupelajari dan banyak di antara
repertoar behavioral pembelajar yang berasal dari mengamati orang lain. Dalam teori belajar
social, bahwa dari mengamati perilaku tertentu siswa belajar melakukan perilaku tersebut dan
mengantisipasi konsekuensinya (Arends, 2008: 304). Perilaku orang lain baik atau buruk menjadi
pedoman perilaku si pembelajar itu sendiri. Bentuk belajar melalui imitasi ini menghemat banyak
waktu dan energi untuk trial and error. Maka untuk mendemonstrasikan sebuah keterampilan
tertentu, guru harus mencapai tingkat menguasai keterampilan yang akan diajarkan itu. Karena
itu tidak aneh jika dalam semboyan demonstrasi pembelajaran ini “Do as I say, not as I do”
(kerjakan seperti yang saya katakana, bukan seperti yang saya lakukan) itu dianggap tidak
lengkap. Karena itu pula mutlak diperlukan latihan yang intensif terlebih dahulu bagi guru untuk
bisa memastikan demonstrasi dan modeling yang benar-benar akurat.
Ketiga, memberikan guided practice. Hal ini tidak keliru jika common sense mengatakan
“practice makes perfect”walaupun tidak sepenuhnya benar, karena banyak juga pengemudi
angkot yang rutin, tetapi tetap saja merupakan pengemudi yang buruk. Namun demikian
pernyataan itu juga tidak salah mengingat praktik/latihan terbimbing adalah hal utama kalau
bukan yang pertama dalam pembelajaran ini. Sebab praktik secara aktif dapat meningkatkan
retensi, membuat belajar lebih otomatis, dan memungkinkan pembelajar lebiik h menstarnsfer
pembelajarannya itu ke situasi baru atau situasi yang stressful. Prinsip-prinsip berikut ini dapat
memberikan kesempatan yang berguna bagi pembelajar, seperti: berikan praktik singkat/pendek
dan bermakna; berikan praktik untuk meningkatkan overlearning; mengetahui keuntungan dan
kerugian massed practice dan distributed practice, dan memperhatikan tahap-tahap awal praktik.
Keempat, pemahaman dan memberikan umpan balik. Hal ini mirip dengan apa yang
kadang-kadang disebut recitation (resitasi atau Tanya jawab). Biasanya dimulai dari tindakan
guru yang mengajukan berbagai pertanyaan kepada siswa, atau guru memanggil siswa untuk
mendemonstrasikan keterampilan-keterampilan yang diharapkan. Kalaupun salah demonstrasi
siswa, menjadi kewajiban guru untuk memberikan feed-back yang benar. Sebab tanpa

20
memberikan umpan balik yang akurat, “student will not learn to write well by writing, read well
by reading, or run well by running” (Arends, 2008: 308).
Kelima, memberikan praktik independen yang lebih luas. Hal ini penting karena dapat
dilakukan melalui seatwork dan/atau homework (pekerjaan rumah atau PR). Apakah itu
dilakukan di di dalam atau luar kelas, praktik independen memberikan kesempatan kepada siswa
untuk melakukan sendiri keterampilannya. Walaupun hasil PR menurut banyak peneliti (Cooper,
1989; Cooper, Jackson, Nye, & Lindsey, 2001) menyimpulkan: (1) PR tampaknya memiliki efek
sangat kecil pada pembelajaran anak SD di kelas; (2) ada efek negatif antara banyaknya PR dan
sikap siswa SD terhadap belajar; (3) PR lebih menghasilkan lebih banyak belajar untuk siswa
kelas enam ke atas. Temuan lain yang lebih penting dalam kaitannya denga PR adalah memiliki
efek di luar pembelajaran akademis saja melainkan yang lebih luas. Sebagai contoh, Lyn Corno
melihat bahwa
PR melibatkan isu-isu sosial, kultural, dan edukatif penting…PR bukan hanya sekedar tugas
akademis, PR merembes masuk ke dinamika keluarga dan sebaya dan sifat pengakaran di dalam
organisasi –organisasi kemasyarakatan maupun sekolah (Corno, 2001: 529). Pekerjaan Rumah
(PR) memberikan sarana komunikasi sosial antarsiswa dan sebagai sumber interaksi antara siswa
dan orang tua siswa.

4. Model Pembelajaran Personal


a. Landasan Teoretis dan Empiris Model
Model pembelajaan personal/kepribadian, yang merupakan penuntun siswa kearah pemilikan
mental yang lebih baik dengan cara mengembangkan kepercayaan diri dan perasaan realistis
serta menumbuhkan empati pada orang lain. Mengapa hal ini penting dalam pembelajaran?
Jawabannya karena sebagai manusia sejak lahir kita sudah dibentuk oleh dunia, di mana
lingkungan sosial berbahasa, berperilaku, dan memberikan kasih sayang. Namun diri kita sendiri
dapat membentuk perilaku dan bahasanya terus-menerus dan menciptakan ciri-ciri khas kita
sendiri (Joyce, Weil, dan Calchoun, 2009: 365). Dengan bermodal kata-kata, kita sudah dapat
identitas pribadi yang dibentuk melalui proses dan waktu yang panjang dari kecil hingga
sekarang (White, 1980: 113). Namun kita juga memiliki kapasitas yang cukup memadai untuk
sedikit berubah dan menjadi

21
“berbeda” serta “unik”. Kita bisa menyesuaikan diri dengan iklim yang jangkauannya lebih luas,
bisa mencntai dan dicintai, memiliki impian dan berupaya meningkatkan taraf hidup.
Dalam hidup terkadang kita mengalami beberapa hal yang sifatnya paradox. Misalnya
ketika disebabkan keberadaan kita yang memiliki daya untuk berpegang erat pada beberapa
tingkah laku yang sebenarnya kurang begitu disukai walaupun hal itu jelas positif—sebagai misal
perilaku suka mematuhi nasihat orang lain—kadang-kadang kita seskali keras kepala,
kadangkadang kita tetap ingin berjalan secara konsisten. Kemenangan pergulatan inilah yang
secara konsisten berhubungan dengan kepribadian. Inilah kepribadian—yang merupakan
karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan
perilaku (Pervin, Cervone, dan John, 2010: 5). Model pengajaran personal memiliki beberapa
tujuan. Dalam hal ini Joyce, Weill, dan Calchoun (2009:366-367), mengemukakan berapa tujuan
pembelajaran Personal. Pertma, menuntun siswa untuk memiliki kekuatan yang lebih baik dan
kesehatan emosi yang lebih memadai dengan cara mengembangkan kepercayaan diri dan
perasaan realistis serta menumbuhkembangkan empati pada orang lain. Kedua, meningkatkan
proporsi pendidikan yang berasal dari kebutuhan dan aspirasi siswa sendiri, melibatkan semua
siswa dalam proses menentukan apa yang akan dikerjakannya atau bagaimana cara ia
mempelajarinya. Ketiga, mengembangkan jenis-jenis pemikiran kualitatif tertentu, seperti
krreativitas diri, ekspresi pribadi, dan sebagainya.
Joyce, Weil, dan Calchoun (2009: 366) mengidentifikasi dalam pembelajaran personal
tersebut terdapat empat model tujuan pembelajarn.
Pertama, model pembelajaran personal yang digunakan untuk pembelajaran umum,
bahkan untuk merancang sebuah sekolah yang mengadopsi filosofi tidak terarah
(nondirective philosophy) sebagai intisari pendekatan dalam pembelajaran.
Kedua, model tersebut dapat digunakan untuk menambah suasana lingkungan
pembelajaran yang dirancang di tengah beberapa model lain. Misalnya kita bisa
memfokuskan slogan “mendekat dan bergabunglah bersama kami”… Dengan kata lain
kita bisa menggunakan model ini pada fungsi yang kedua.
Ketiga, kita bisa menggunakan hal-hal yang unik dalam model pembelajaran personal
untuk menasihati siswa saat kita ingin membantu mereka belajar menjangkau dunia
secara utuh, dan dengan jalan positif.
Keempat, kita bisa membuat sebuah kurikulum akademik untuk para siswa.
Metodemetode “pengalaman” dalam pembelajaran membaca, misalnya, menggunakan
cerita yang didikte dan disampaikan oleh siswa sebagai bahan bacaan awal serta literatur
yang dipilih sendiri oleh para siswa sebagai bahan inti setelah menetapkan kompetensi
awal. Selain itu model ini dapat digunakan untuk merancang pembelajaran mandiri,
termasuk juga program yang berbasis sumber daya.

22
Di bawah ini akan disajikan dua model pembelajaran. Pertama, membahas model
pembelajaran non-direktif dari Carl Rogers, mengiliustrasikan filosofi dan teknik yang dimiliki
beberapa penggagas utama dalam kelompok model pembelajaran ini. Sedangkan yang kedua,
memaparkan pengelolaan kelas sebagai sebuah komunitas pembelajaran yang memiliki disiplin
diri.
Kuarang lebih setengah abad yang lalu Abraham Maslow (1962) dan Carl Rogers (1961)
mengembangkan rumusan terhadap pertumbuhan personal dan fungsinya untuk membimbing
prosesb memahami dan menghadapi perbedaan-perbedaan individu sebagai respons terhadap
lingkungan social serta fisik. Teori mereka lebih memfokuskan pada pandangan mengenai
mengenai diri (view of self) atau konsep diri (self concept) para individu dalam focus sikap dan
perkembangan intelektual. Mereka berpendirian bahwa kompetensi kita untuk berhubungan
dengan lingkungan sangat dipengaruhi oleh sikap dan penilaian kita terhadap diri kita sendiri.
Konsep diri yang kuat harus dibarengi dengan perilaku aktualisasi diri, suatu capaian
menuju lingkungan dengan kepercayaan diri yang kuat bahwa interaksi yang terjadi akan
produktif. Dalam hal ini mereka berpandangaan bahwa orang yang menerapkan aktualisasi diri
ini melakukaninteraksi yang sarat nilai dengan lingkungan sekitarnya, menemukan kesempatan
untuk tumbuh dab berkembang, dan yang tidak terbantahkan, memberikan sumbangan berarti
terhadap proses perkembangan orang lain. Orang yang memiliki perkembangan dalam level
rendah (lessdeveloped person) akan merasa memiliki sedikit kompetensi untuk menghadapi
lingkungan dan berupaya menerimanya,apa-pun lingkungan yang mereka dapatkan. Selain itu
mereka cenderung kurang suka hubungan yang memancing pertumbuhan dan produktivitas yang
berasal dari inisiatif mereka sendiri. Mereka lebih memilih beraktivitas dalam lingkungan yang
sudah ada dibanding mengembangkan kesempatan dari dan dengan lingkungan tersebut. Selain
itu ia lebih sulit berhubungan dengan orang di sekeliling mereka. Ia kurang begitu yakin terhadap
kemampuan yang mereka miliki terutama untuk menghadapi masalah-masalah yang yang terjadi.
Enerjinya kebanyakan dibuang hanya untuk meyakinkan bahwa ia masih bisa bertahan dalam
dunia yang tak begitu bersahabat dengannya. Maka bukanlah hal yang mengejutkan jika dalam
tulisan ini didapat hubungan antara kondisi pertumbuhan orang yang penulis amati dan konsep
diri yang mereka miliki. Omnivor adalah mereka yang menerapkan konsep aktualisasi diri.

23
Mereka merasa nyaman dengan diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Sedangkan
pemakai pribadi yang pasif (passive consumer) merasa memiliki kompetensi namun masih
bergantung pada lingkungan untuk memperoleh kesempatan agar bisa produktif dan tumbuh
berkembang. Dan, pemakai pribadi yang segan (reticent consumer) merasa bahwa mereka hidup
di tengah dunia yang menakutkan dan rawan masalah. Kesalahan-kesalahan yang maereka
temukan di sekeliling mereka, merupakan produk dari sesuatu yang tidak berkembang dan tidak
mampu melihat sisa-sisa malah yang tidak bisa kita lihat, malahan hal ini sebenarnya suatu usaha
untuk merasionalisasikan kebutuhan mereka demi melindungi diri mereka sendiri, dari suatu
dunia yang mereka takuti (Joyce, Weil, dan Calchoun, 2009: 397).
Sekarang tiba saatnya berintrospeksi diri. Bagaimana Anda mendeskripsikan diri Anda
sendiri, ternyata bukan pekerjaan mudah. Apakah Anda sebagai siswa yang pandai? Apakah
Anda siswa yang baik dalam arti bermoral, sopan, dan menyenangkan? Dan, apakah Anda
siswa yang menarik kepribadiannya? Suka murung? Terbuka? Beberapa dari jawaban Anda
barangkali mencerminkan sifat-sifat kepribadian tertentu. Namun semua jawaban Anda menjadi
jendela untuk masuk ke dalam perasaan di ri (sense of self) Anda—persepsi, keyakinan, penilaian
dan perasaan Anda tentang siapa Anda sebagai seorang pribadi. Banyak para ahli membedakan
antara dua aspek perasaan diri: konsep diri (self concept)—penilaian terhadap karakter, kekuatan,
dan kelemahan diri seseorang—dan rasa harga diri (self esteem)—penilaian dan perasaan tentang
nilai dan harga diri seseorang. Namun dalam pemakaian istilah sehari-hari bahwa kedua istilah
itu saling melengkapi dan seringkali digunakan secara bergantian (Byrne, 2002: 115; Harter,
1999: 54).
Para siswa cenderung memiliki perasaan harga diri yang bersifat umum: Mereka
meyakini diri mereka entah sebagai individu yang baik, yang cakap, ataukah pribadi yang tidak
layak atau tidak bernilai. Pada saat yang sama, mereka biasanya menyadari bahwa mereka
memiliki kekuatan maupun kelemahan—bahwa mereka melakukan beberapa hal dengan baik,
dan beberapa hal lain dengan buruk. Anak-anak pada kelas pertama sekolah dasar membuat
distingsi yang umum antara dua aspek tentang diri mereka., yaitu seberapa kompeten mereka
mengerjakan tugas-tugas harian, dan seberapa disukai mereka oleh keluarga dan teman-teman.
Mereka membuat distingsi-distingsi yang lebih tajam lagi tatkala semakin beranjak dewasa. Pada
kelas-kelas akhir sekolah dasar mereka mungkin menyadari bahwa mereka sekurang-kurangnya

24
berkompeten atau meraih hasil yang ‘baik’ dalam bidang akademis, aktivitas-aktivitas olah raga,
perilaku di kelas, penerimaan oleh rekan sebaya, dan ketertarikan fisik (Ormrod, 2009: 98).
Menjelang remaja mereka juga membuat asesmen-diri tentang kemampuan mereka dalam
berteman, kompetensi mereka dalam mengerjakan tugas-tugas orang dewasa, dan daya tarik
romantic mereka (Davis-Kean & Sandler, 2001; Harter, 1999).
Gambar 3.1 meringkas delapan komponen yang pada akhirnya muncul, yang
masingmasingnya sedikit banyak berpengaruh terhadap perasaan diri para siswa secara umum
adalah mungkin. Bagi beberapa siswa pencapaian akademis mungkin terjadi factor yang utama,
sementara bagi siswa-siswa yang lain popularitas di antara teman-teman sebaya munkin menjadi
factor yang lebih penting. Bagi banyak anak muda di berbagai belahan dunia, daya tarik fisik
paling banyak berkontribusi terhadap rasa harga diri (self esteem) secara keseluruhan (Hart,
1995; Harter, 1999).

25
Gambar 1-16
Pemahaman Diri

Seberapa Seberapa besar


menarik saya orang lain
secara fisik? menyukai saya?
Apakah saya
Seberapa baik memiliki banyak
saya berperilaku? teman yang

Seberapa Seberapa
terampil saya romantis
dalam olah raga? penampilan saya

Seberapa cerdas Seberapa sukses


saya di sekolah? nanti saya dlm
berkarir?

Pemahaman
diri

26
Sumber: Diadaptasi dari Jeane Ellis Ormroad, Educational Psychology Developing
Learners, Sixth Edition, by Pearson (Merril Prentice Hall), 2008, halm. 99.
Anak-anak dan para remaja cenderung berperilaku dengan cara-cara yang mencerminkan
keyakinan mereka tentang diri mereka sendiri. Walaupun pada umumnya para siswa memiliki
persepsi diri yang positif, mereka cenderung berhasil secara akademis, social, dan fisik
(Caldwell, Rudolph, Troop-Gordon, & Kim, 2004). Misalnya jika memandang diri mereka
sendiri sebagai siswa yang baik, mereka lebih mudah memberi perhatian pada objek yang
dianjurkan, mengikuti petunjuk, bekerja secara individu maupun kelompok, mengerjakan tugas
yang diberikan dan sebagainya.
Namun demikian tidak sedikit para siswa yang memiliki asesmen diri yang berlebihan
(negatif), apakah yang merasa superior yang bersangutan dihadapan teman-temannya dan
memungkinkan mereka melakukan bullying ataupun tindakan-tindakan agresif lainnya terhadap
teman-temannya (Baumeister et al, 2003; Baumeister, Smart, & Booden, 1996), dan sebagian
lain adalah asesmen diri yang terlalu condong ke bias negatif (dengan merendahkan diri sendiri)
menyebabkan siswa menghindari berbagai tantangan yang sesungguhnya mampu meningkatkan
pertumbuhan kognitif, sosial-afektif, dan psikomotor-sosial mereka lebih positif (Assor &
Connel, 1992; Schunk & Pajares, 2004). Di bawah ini akan disajikan model pembelajaran secara
sederhana untuk para siswa yang dicontohkan memiliki asesmen diri pola yang terakhir tersebut.

b.Langkah-langkah Pembelajaran Peningkatan Harga Diri


Para peneliti menyarankan; terdapat empat kata kunci untuk meningkatkan rasa harga diri anak
(Santrock, 2010: 114; Bednar, Wells, & Peterson, 1995; Harter, 1999).
1. Identifikasi penyebab rendah diri dan bidang-bidang kompetensi yang penting bagi
seseorang individu.. Hal ini penting; apakah rasa rendah diri anak itu karena prestasi
sekolahnya yang buruk? Ataukah karena sering konflik keluarga? Ataukah karena
kemampuan social-ekonomi keluarga yang lemah? Perlu diketahui bahwa siswa memiliki
harga diri yang yang cukup positif ketika mereka bisa kompeten dan sukses dalam melakukan

27
sesuatu di bidang yang mereka anggap penting. Dalam riset Susan Harter (1990; 1996; 1999)
penampilan fisik dan penerimaan sosial teman sekelasnya merupakan kontributor amat
penting bagi rasa harga diri. Penerimaan sosial teman sekelas lebih penting bagi rasa harga
diri remaja ketimbang penerimaan sosial dari gurunya. Meskipun demikian, guru masih
memainkan peran penting dalam meningkatkan perasaan harga diri remaja yang orang tuanya
tidak peduli (Santrock, 2010: 114).
2. Beri dukungan emosional dan penerimaan social. Setiap kelas pasti ada yang sering
memperoleh nilai buruk di kelasnya. Jika ditelusuri faktor penyebabnya, terdapat berbagai
kemungkinan. Bisa terjadi karena anak ini berasal dari keluarga yang suka menghina dan
merendahkan dirinya yang terus-menerus membuat si anak tidak berdaya, atau mungkin
mereka sebelumnya menjadi siswa di kelas yang terlalu banyak member penilaian negatif.
Dukungan emosional dan sosial Anda bisa sangat membantu mereka menghargai diri mereka
sendiri. Konselor sekolah atau guru BK bisa membantu anak semacam ini dengan. Bagi anak
dari keluarga single parent, dapat diberi program Big Brother atau Big Sister yang
menyediakan orang dewasa member dukungan emosional dan penerimaan sosial. Perlu
diketahui bahwa penerimaan teman sebaya menjadi amat penting dalam masa sekolah
menengah ini. Dalam suatu penelitian yang dilakukan Robinson (1995: 278) ternyata
dukungan orang tua maupun teman sebaya akan mempengaruhi perasaan remaja dalam
memandang martabat dirinya. Jadi rekomendasi untuk meningkatkan keahlian social anak
yang telah diuraikan di awal bab ini, mungkin juga bisa meningkatkan perasaan harga diri
anak.
3. Bantu anak dalam mencapai tujuan untuk berprestasi. Prestasi bisa menaikkan perasaan harga
diri seseorang siswa. Hasil belajar siswa yang meningkat dalam pembelajaran secara langsung
atau bisa menaikkan prestasi anak, dan akibatnya bisa menaikkan rasa harga diri mereka.
Sering kali tidak cukup hanya memberitahu siswa bahwa mereka bisa mencapai sesuatu yang
diinginkan, tetapi sebagai guru juga harus membantu agar siswa tersebut untuk meraih dan
mengembangkan keahlian akademik mereka. Hal ini terbukti dari kajian Henry Gaskins yang
menjadi seorang relawan dalam menjalankan program tutorialnya setelah jam-jam sekolah
untuk para siswa di Washington DC. Selama empat jam pada waktu malam dan di sepanjang
hari Sabtu, 80 siswa menerima bantuan langsung satu-satu dari Ginskins, istrinya, dua

28
relawan dewasa, dan anak yang berbakat secara akademik. Selain diajarkan mata pelajaran
tertentu, anak-anak juga menentukan tujuan pribadinya dan menyususun rencana sendiri
untuk mencapai tujuan itu. Banyak orang tua dari para siswa tersebut yang dahulunya drop-
out dari sekolah maupun yang tidak termotivasi sekolah, ternyata hasil usaha Gaskins tersebut
dapat membantu para siswa untuk kembali bergairah dalam mengikuti pelajaran di sekolah
secara antusias. Pada umumnya mereka merasa bangga dan percaya diri untuk melanjutkan
sekolah kembali.
4. Kembangkan keterampilan mengatasi masalah. Ketika anak menghadapi problem dan bisa
mengatasinya, bukan menghindarinya, maka rasa harga diri anak akan menaik. Siswa yang
mau mengatasi masalah kemungkinan akan menghadapi problem secara realistis, jujur, dan
nondefensif. Ini menghasilkan pemikiran positif tentang diri mereka sendiri yang akibatnya
bisa meningkatkan perasaan harga dirinya. Di lain pihak, siswa yang rendah diri biasanya
mengevaluasi diri secara negative dan menyebabkan sikap penolakan, penipuan, dan
penghindaran. Tipe penolakan ini membuat siswa merasa tidak mampu secara personal.

29

Anda mungkin juga menyukai