Anda di halaman 1dari 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat

terus berlanjut. Dolar AS yang kini sudah menembus Rp16.200 akan berdampak terhadap
kantong warga Indonesia.

Berdasarkan data Refinitiv, pada pembukaan perdagangan Rabu (17/4/2024) nilai tukar
rupiah dibuka menyentuh Rp16.250 per dolar AS, anjlok 0,49% dibanding penutupan
perdagangan kemarin. Posisi ini merupakan yang terendah sejak April 2020.

Pilihan Redaksi Ekonom


Senior yang
 Kena Pukul Bertubi-tubi: Rupiah Terlemah Sejak Pandemi, Dolar Rp16.245 juga
 Iran-Israel Panas & Dolar Tembus Rp 16.000, Pengusaha: Kondisi Berat! merupakan
 Menukik! Begini Gerak Rupiah dari Rp15.800/US$ ke Rp16.250/US$ mantan
 Rupiah Kembali Ambruk, Segini Kurs Dolar di BCA, Mandiri Hingga UOB Direktur
Pelaksana
Bank Dunia, Mari Elka Pangestu mengatakan, penguatan dolar beberapa hari terakhir dipicu
sentimen negatif pelaku pasar keuangan terhadap memanasnya tensi perang di Timur Tengah,
setelah Iran meluncurkan rudal ke Israel pada Sabtu lalu.

"Kejadian di Timur Tengah baru-baru ini dengan serangan Iran ke Israel yang meningkatkan
ketidakpastian investor cari aman dan memindahkan dana dari emerging market, bukan hanya
Indonesia, sehingga terjadi capital outflow untuk cari aman. Biasanya cari aman itu dolar,
harga emas naik dan obligasi atau saham di negara seperti AS," kata Mari dalam program
Squawk Box CNBC Indonesia, dikutip Rabu (17/4/2024).

Tingginya nilai dolar yang menyebabkan nilai tukar rupiah melemah menurut Mari akan
menyebabkan inflasi nantinya naik, terutama terhadap barang-barang yang bahan baku
produksinya dari impor. Diperburuk dengan harga minyak mentah dan biaya logistik naik
akibat jalur perdagangan di kawasan TImur Tengah terganggu perang.

"Impor akan terpengaruh dari segi kita karena net importir minyak. Dengan harga lebih tinggi
itu tentu peningkatan dari pengeluaran impor juga akan terjadi, ini yang dari segi makro perlu
kita waspadai," ucap Mari.

Pelemahan nilai tukar dan kenaikan harga minyak mentah ini menurut Mari juga harus
diwaspadai pengaruhnya terhadap harga pangan. Sebab, biaya logistik berpotensi naik dan
memperburuk tekanan inflasi di tengah-tengah masyarakat.

"Misal harga beras ini bulan-bulan yang harusnya panen tapi apakah el-nino akan ada
pengaruh ke panen nya sehingga apakah produksi kita cukup. Dalam keadaan inflasi
meningkat saat harga minyak naik kita perlu jaga harga-harga lain tidak meningkat," tutur
Mari.

Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro juga memiliki
pandangan serupa dengan Mari. Ia mengatakan, kenaikan harga minyak mentah dunia ini
berkorelasi langsung dengan kenaikan inflasi nantinya di berbagai negara, termasuk
Indonesia, karena Indonesia negara net importir minyak.

Selain inflasi, kenaikan harga minyak mentah dunia juga akan terus mengikis anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) pemerintah, sebab beban subsidi energi akan
bertambah menyebabkan ruang fiskal pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
dan daya beli masyarakat sedikit banyak terganggu.

"Karena oil itu yang akan memicu semua mulai dari inflasi, pertumbuhan, dan APBN," ucap
Bambang dalam program Closing Bell CNBC Indonesia, dikutip Rabu (17/4/2024).

Potensi kenaikan harga-harga produk di dalam negeri ini juga diamini oleh Ketua Gabungan
Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman. Ia mengatakan,
industri makanan dan minuman di Indonesia masih banyak yang membutuhkan bahan baku
impor untuk produksi.

"Kita banyak sekali bahan baku yang harus kita impor dan tentu akan berpengaruh terhadap
harga pokok produksi kita. Meskipun kita ada ekspor juga. Kalau industri mamin total ekspor
kita sekitar 11 miliar dolar. Impor kita cukup banyak untuk bahan baku. Ini yang sangat berat.
Belum biaya logistik meningkat. Tadi kita bicara dengan asosiasi terigu juga mereka katakan
akan mengganggu logistik sehingga dikhawatirkan akan ada peningkatan biaya. Ini yang
harus kita antisipasi," katanya di kantor Kemenperin, Selasa (16/4/2024).

Kondisi ini mirip dengan situasi peperangan antara Rusia-Ukraina, namun belum diketahui
dampaknya bakal bertahan berapa lama. Kalau ini cukup lama tentunya akan sangat
mengganggu. Adhi menyebut dari laporan FAO saja, sebelum serangan Iran ke Israel saja
sudah ada peningkatan 1% harga pangan dunia dibandingkan bulan Februari.

"Terutama biji-bijian, beberapa produk dairy, susu dan daging-dagingan dan sebagainya, ini
yang harus kita antisipasi. Bagi industri kita harus terus berupaya mencari alternatif. Jangan
sampai gangguan dari logistik akan mengganggu bahan baku," sebut Adhi.

Anda mungkin juga menyukai