Anda di halaman 1dari 4

Meneropong Dampak Penyerangan Iran

ke Israel Bagi Ekonomi dan Pasar


Saham RI
Senin, 15 April 2024 / 06:00 WIB

Reporter: Rashif Usman, Ridwan Nanda Mulyana, Tendi Mahadi | Editor: Tendi
Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konflik di Timur Tengah kembali memanas dengan


Israel masih menjadi titik pusatnya. Kali ini, Iran menyerang Israel dengan drone dan
rudal pada Sabtu (13/4) malam waktu setempat. Ancaman perang terbuka yang terjadi
di Timur Tengah termasuk dengan negara sekutu semisal Amerika Serikat makin
lebar.

Teheran sendiri menyebut serangan tersebut dilakukan menyusul dugaan serangan


Israel terhadap konsulatnya di Suriah pada tanggal 1 April lalu yang menewaskan
komandan utama Garda Revolusi Iran dan menyusul bentrokan berbulan-bulan antara
Israel dan sekutu regional Iran, yang dipicu oleh perang di Gaza.

Di sisi lain, misi Iran untuk PBB mengatakan serangan itu bertujuan untuk
menghukum kejahatan Israel, namun kini masalah tersebut dianggap sudah selesai.

Kepala Staf Angkatan Darat Iran Mayor Jenderal Mohammad Bagheri


memperingatkan di televisi bahwa respons mereka akan jauh lebih besar daripada aksi
militer kemarin jika Israel membalas serangan Iran.

Baca Juga: Iran Vs Israel, Sekjen PBB Sebut Dunia Tak Mampu Tanggung
Perang Lagi

Ia juga memperingatkan Washington bahwa pangkalan-pangkalan militer mereka juga


bisa diserang jika membantu Israel.

Tak pelak, eskalasi ketegangan di Timur Tengah ini memicu kekhawatiran global
akan adanya dampak buruk yang mengikuti. Termasuk soal ekonomi.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan bahwa Iran
merupakan salah satu negara penghasil minyak dunia. Adanya konflik antara Iran-
Israel tentunya akan mengganggu pasokan minyak global dan berdampak pada trade
balance atau neraca perdagangan Indonesia.

"Pengaruh ke harga minyak itu lumayan besar, termasuk letaknya yang strategis di
selat Hormuz dikhawatirkan mengganggu pasokan minyak global," kata David kepada
Kontan, Minggu (14/4).

"Untuk ekonomi Indonesia dikhawatirkan ada kenaikan harga produk yang kita impor
lebih tinggi dibandingkan produk yang kita ekspor, maka akan mengganggu trade
balance," lanjut dia.

David menilai secara fundamental perekonomian Indonesia masih relatif solid bila
melihat cadangan devisa masih di atas US$ 140 miliar. Kendati demikian, perlu ada
penyesuaian dari sisi kebijakan fiskal terutama untuk merespons kenaikan harga
minyak termasuk pada penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Baca Juga: Iran Serang Israel, Subsidi Energi Indonesia Berpotensi Melonjak

"Mungkin dari sisi anggaran fiskal perlu ada penyesuaian termasuk kemungkinan
terburuk yaitu penyesuaian BBM, karena harga minyak cenderung naik dan rupiah
melemah. Mungkin perlu ada realokasi dari sisi anggaran," ujarnya

Sektor energi paling terancam


David menghitung, setiap rupiah yang melemah sebesar Rp 500 dan harga minyak
naik US$ 10 per barrel, maka anggaran subsidi atau kompensasi diproyeksi meningkat
Rp 100 triliun.

"Dengan rupiah mencapai sekitar Rp 16.000 dan minyak US$ 92 saja defisit sekitar
2,5% produk domestik bruto (PDB)," tutupnya.

Sementara itu, dirinya berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang


2024 masih berada di level 5%-5,2% dengan berbagai kalkulasi, termasuk konflik
Iran-Israel.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti
bilang konflik Timur Tengah antara Iran-Israel tentu sangat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia,
terutama pada harga energi. Pasalnya, Indonesia masih menjadi salah satu negara pengimpor minyak meski
memiliki sumber energi tersebut.
"Hitungan kasar saya akan ada kenaikan subsidi energi sebanding kenaikan harga
minyak yaitu sekitar 26%-32%," kata Esther kepada Kontan, Minggu (14/4).

Terkait konflik tersebut, dirinya mengatakan hal utama yang harus dilakukan
pemerintah adalah merevisi asumsi indikator makro ekonomi di Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Indonesia (APBN) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Baca Juga: Iran Serang Israel, Tensi di Timur Tengah Kian Memanas

"Kedua indikator itu berdampak pada kenaikan anggaran APBN khususnya belanja
terkait subsidi BBM, energi, impor dan lainnya. Apalagi besarnya cicilan utang luar
negeri dan bunga juga meningkat," jelasnya

"Belum lagi berbagai belanja pemerintah terkait infrastruktur dan belanja


pembangunan lainnya juga akan meningkat," lanjutnya.

Maka dari itu, Esther menyarankan agar anggaran dapat dialokasikan ke aktivitas
yang lebih produktif, sehingga bisa meraup pendapatan lebih banyak. Selain itu, perlu
adanya dorongan ekspor produksi industri dalam negeri.

"Anggaran (perlu) dikelola secara efisien dan hindari pemborosan," ucapnya.

IHSG berpeluang makin fluktuatif

Memanasnya konflik Iran vs Israel ini pada gilirannya juga akan berdampak ke pasar
modal. Head of Equities Investment Berdikari Manajemen Investasi, Agung
Ramadoni memprediksi tekanan eskalasi konflik di Timur Tengah bakal makin
membuat IHSG berfluktuasi.

Baca Juga: Perang Iran-Israel Dongkrak Harga Minyak, Sejumlah Emiten


Terdampak Sentimen Positif

Agung melihat kemungkinan IHSG bakal terkena tekanan jual dan melemah tipis
dalam jangka pendek. Dia memprediksi pada bulan April ini IHSG bakal bergerak
dalam rentang support 7.145-7.200 dan resistance 7.375-7.400.

"Memanasnya konflik antara Iran dan Israel berpotensi membuat investor lebih
mencari asset class yang cenderung aman dan outflow pada pasar saham," kata
Agung kepada Kontan.co.id, Minggu (14/4).

CEO Edvisor Profina Visindo, Praska Putrantyo menambahkan, dampak dari konflik
Iran vs Israel yang merembet pada ketegangan di Timur Tengah bisa berdampak
signifikan. Terlebih jika menyulut lonjakan harga komoditas energi, seperti efek saat
krisis Rusia vs Ukraina.

Secara umum, kondisi ini berpotensi mendorong kenaikan inflasi global. Sekaligus
kembali menunda pemangkasan suku bunga acuan untuk waktu yang lebih lama.
Tingginya inflasi juga menimbulkan spekulasi perlambatan ekonomi dan pelemahan
kurs.

Dalam skenario tersebut, Praska menaksir pasar saham akan


bergerak sideways hingga akhir semester I-2024. Pelaku pasar akan terlebih dulu
menunggu rilis kinerja emiten dan perkembangan isu geopolitik di Timur Tengah
yang rawan memantik lonjakan harga komoditas energi.

Dengan kondisi ini, Praska memilih saham minyak dan gas serta batubara sebagai
pilihan. Kemudian sektor barang konsumsi primer dan non-primer, serta saham
telekomunikasi. Saran dia, cermati peluang buy on weakness pada ASII, INDF,
TLKM, BRPT dan PTRO.

Sementara Agung menjagokan saham dari sektor yang terkait dengan komoditas
seperti MEDC, ELSA, MDKA, ADRO, ITMG, INCO dan NCKL.

Anda mungkin juga menyukai