Anda di halaman 1dari 13

KERIS

MT Arifin, Isoteri Keris Pusaka (Mei 2019)

Keris Pusaka dari Aspek Isoterinya 1

Oleh MT Arifin

Hingga butuh waktu hampir selama satu tahun, yakni sejak menjelang bulan Oktober 2017
hingga Oktober 2018, pada saat saya melakukan kajian dan penelitian terhadap sebuah
bilah keris pusaka yang dianggap legendaris dalam kebudayaan dan masyarakat Jawa, yakni
keris Kyai Rajah Kalacakra. 2 Dalam catatan sejarah tradisional Jawa, keris pusaka tersebut
menjadi sangat populer dan melegenda, terutama setelah digunakan oleh Sunan Kudus di
akhir kekuasaan Kasultanan Demak, untuk hal-hal yang berkaitan dengan proses politik
kekuasaan. Sedangkan untuk mengumpulkan data-data dan hasil kajian yang terkait yang
telah ada sebelumnya dari pelbagai sumber yang lazim digunakan dalam kajian perkerisan
Jawa, 3 masih harus menggunakan waktu sekitar empat tahunan.
Keris tersebut merupakan bilah keris lekuk berluk-11 dengan dapur santan, babaran dari
Mpu Jaka Sura (saat muda) di Majapahit akhir pemerintahan Prabu Brawijaya V atau Bhre
Kertabhumi (1468-1478). Bilahnya berlengkak-lengkok dengan 11-luk yang setiap luknya
sepanjang dua jari tangan (pada bilah bagian tengah hingga atas) serta tiga jari tangan (pada
bilah bagian bawah), yang keadaan lekuknya cenderung teratur secara merata dengan alur
lekuk sedang sehingga tampak enak tatkala dipandang mata. Manakala diukur dari bagian
bawah bilah keris hingga bagian ujung, bilahnya memiliki panjang 36 cm dilengkapi terapan
ganja yang relatif tipis dengan bentuknya ambathok mengkureb kinatah pola lung-lungan
yang memiliki panjang delapan sentimeter, dengan lebar di bagian bawah bilah hingga enam
sentimeter, yang semakin ke ujung bilahnya semakin menciut sehingga bagian tengahnya
hanya selebar satu, delapan per sepuluh sentimeter, sedang pada bilah bagian atas hingga
menjelang ujungnya hanya memiliki lebar satu sentimeter, dengan tampilan ngudhup
gambir. Pada bagian bawah bilah keris memiliki pesi sebagai tempat untuk tangkai kira-kira
sebesar setengah sentimeter dalam keadaan bulat-gilig sepanjang tujuh sentimeter.
Keadaan permukaan bilah terlihat datar dan cenderung rata, dengan memiliki kelengkapan
hiasan yang disebut ricikan dari jenis kembang kacang yang bentuknya seperti kecambah
besar atau disebut ngecambah, jénggot, jalèn, lambé gajah 1, belumbang atau pijetan dan
grènèng serta ron dha nunut. Dilengkapi ganja susulan dan relatif tipis dengan keadaan ekor
yang memanjang runcing atau methit di bagian ujung, yang dihias dengan gambar pamor
motif pola lung-lungan serasah emas pada ganja bagian permukaan bagian bawah serta
permukaan sisi kanan-kiri ganja (biasa disebut kèpèt urang).

1
Artikel untuk katalog acara Temu Budaya dan Wesi Aji di Jawa Tengah, oleh Paguyuban Keris Jawa Tengah
(Kertabrata) bersama Komunitas Pebursa Tosan Aji Indonesia dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah,
bertempat di Museum Ranggawarsita Jl Abdulrahman Saleh No. 1 Kalibanteng Kidul Semarang Barat kota
Semarang, pada tanggal 2-5 Mei 2019
2
MT Arifin, Keris di Tengah Pergolakan Kekuasaan “Kyai Rajah Kalacakra”, Hasil Laporan Kajian Perkerisan,
“Prajasuci” Komunitas Mangkubumen, Surakarta (Unpublished), 30 Oktober 2018, 155 halaman
3
Ir. Haryono H. Guritno menjelaskan bahwa ada beberapa sumber pengetahuan tentang keris, di antaranya:
pengetahuan lisan (rakyat), pengetahuan tertulis, peninggalan kuno, serta peristiwa gaib termasuk di
dalamnya penerapan metode tayuh maupun wejangan orang yang mumpuni atau sakti. Periksa: Dalam
Saresehan Seni Kriya Keris Jakarta 1991, Penerbit Panitia Pameran dan Saresehan Seni Kriya Keris, Jakarta,
1991, hal. 48-49

pg. 1
MT Arifin, Isoteri Keris Pusaka (Mei 2019)

Pada bilahnya, dihiasi dengan pamor dwiwarna sléwah, yakni gambar pamor motif rajah
kalacakra serasah emas pada bagian bawah bilah (dimana pada satu sisi permukaan bilah
berhiaskan gambar anak panah cakra dan pada sisi permukaan bilah yang lain berhiaskan
gambar kalajengking), gambar pamor motif pasir sèwu yang terlihat muyeg pada sepanjang
permukaan bilahnya, serta pamor panji wilis serasah emas pada bagian gandhiknya (hingga
kepala ganja).
Besinya berpori rapat, manakala diraba terasa padat, dan manakala disentil terdengar
nyaring bunyinya, pamor rumit dan halus atau muyeg, besi hitam legam berserat halus
namun manakala terus dipandangi memperlihatkan sedikit warna agak kebiruan. Posisi
duduknya kaku lurus namun seperti tengah menghaturkan sembah sehingga telihat agak
ndengongok (posisi menonjol agak maju) ke depan yang dalam kelompok masyarakat
pecinta budaya perkerisan di Surakarta sering disebut condhonglèlèh, dengan wanda (ciri-
ciri satuan bilah yang memberikan tampilan dan watak) bilahnya diibaratkan sawer
mlampah (bak seekor ular tubuhnya bergerak tatkala merayap) di mana bagian permukaan
bilah keris terlihat datar, tampilan yang angker (pasikutan wingit), besi halus terkesan
kering, pamor pandhes (terapannya hingga mendasar), dan tempaan matang. Bilah keris ini
dianggap memiliki hubungan dengan esoteri, dan biasa digunakan oleh para pemegangnya
(secara turun temurun) sebagai piranti kelengkapan melakukan tindakan dalam keilmuan.

Kekuatan di balik bilah


Keberadaan bilah keris Kyai Rajah Kalacakra dalam masyarakat Jawa sejak akhir abad 15
dikenal memiliki kaitan dengan persoalan esoteri. Setidaknya hal itu diketahui secara
terbuka pada saat dipergunakan oleh Sunan Kudus untuk kepentingan penerapan bagi
jalannya ilmu rajah kalacakra 4 dalam kaitan penyelesaian persoalan suksesi tahta
Kasultanan Demak melalui cara-cara yang bercorak politis. Sedangkan keterangan yang
tertutup yang diperoleh dari beberapa orang yang mengenal dan memiliki kedekatan

4
Rajah kalacakra dalam perkerisan berbeda secara konseptual dengan rajah kalacakra dalam perwayangan.
Dalam perwayangan, keberadaannya dikaitkan dengan tradisi ruwatan melalui penerapan matram (dalam
bentuk suara) caraka balik, sastra pedati, rajah kalacakra dan kumbalageni. Dengan maksud agar kelompok
manusia tertentu selamat dan sejahtera, serta tidak menjadi korban dan tidak diganggu Bethara Kala sebagai
pembawa nasib sial. Hal itu dilatari oleh kesadaran manusia terhadap keberadaannya yang terikat pada tanah
dengan suatu patronase sosial di bawah kepemimpinan setempat yang didasarkan atas hukum keluarga dan
hukum agraria, yang menempatkannya sebagai pusat dan karena itu disebut pancer, yang secara leksikal
artinya oyod lajer, kang dadi baku utawa paugeran. Itu merupakan “kesadaran simbolik” yang telah
melahirkan tradisi-tradisi sosial baik dalam bentuk norma, kebiasaan dan proses ritual, maupun ragam seni
tradisi termasuk ruwatan Bethara Kala. Sedang rajah kalacakra dalam perkerisan, berkaitan dengan
“kesadaran isoteri”, yang berkembang tatkala untuk menata kehidupan praksis, sosial dan moralnya, manusia
berpaling ke langit. Dari langit, orang menjelaskan tentang ruang yang berisi daya-daya magis, yang harus
dipahami aktivitas dan daya-dayanya agar mampu memperhitungkan dan menghindari pengaruh yang
membahayakan dalam kaitan kepentingan duniawiahnya. Corak sinkretis membedakan “yang jasmani” dan
“yang rohani”, melahirkan kesadaran esoteri sangkan paraning dumadi berpusat pada kesadaran penciptaan,
rasa keimanan, spiritualitas serta rasa kesucian. Di sini, kehidupan manusia muncul dalam dua dimensi paralel,
yaitu badan fisik dan badan halus, yang terbentuk melalui psikologi, emosional, pikiran, non-fisik, yang
seluruhnya adalah enerji. Badan halus terdiri dari nadi (saluran enerji) yang dihubungkan oleh persetujuan
enerji psikis yang disebut cakra. Cakra ini dibangkitkan dan dienerjikan sebagai bentuk inner-self melalui
latihan pernafasan dengan metoda meditasi. Dalam tradisi masyarakat Jawa, dikembangkan melalui pola
samadi yang disebut tapabrata, disatukan dengan konsep dzikir sebagai bagian dari metodologi esoteri.
Penerapannya dikembangkan sejalan tahap-tahap kehidupan lain, di antaranya aplikasi sinkronik antara pola
dzikir dengan pelepasan dalam yoga untuk tindakan ilmu senggarageni atau rajah kalacakra, disertai hasil
terapan ilmu dan teknologi semacam keris sebagai piranti penguatnya.

pg. 2
MT Arifin, Isoteri Keris Pusaka (Mei 2019)

dengan keris tersebut, 5 menyatakan bahwa sebagian dari mereka pernah menggunakan
bilah keris itu (ada yang sebanyak sekali atau bahkan lebih) sebagai kelengkapan dalam
mempelajari dan melaksanakan laku amaliah dari ilmu senggarageni, yang secara umum
lebih dikenal sebagai ilmu rajah kalacakra.6 Penggunaan piranti pembantu seperti itu, dapat
kita temukan pula pada keris-keris pusaka jaman kuno lainnya, meski sejak jaman awal,
yakni tatkala Mpu Wanapala Wijaya yang terkenal sebagai Mpu Ramadi di Medang Kuno
menciptakan bilah keris seperti Sang Mahesaséla (306) atau Sang Lar Ngatap (311) yang
memiliki kaitan pula dengan kemampuan menjalankan tradisi laku esoterik. 7 Memang, tidak
semua keris pusaka dalam penciptaannya dikaitkan dengan laku ilmu isoteri. Hasil temuan
sementara dalam telaah saya misalnya, ternyata dari keris-keris babaran Mpu Ramadi hanya
sekitar separoh atau 50 persen saja yang dikaitkan dengan laku ilmu isoteri. Namun
kebiasaan bagi pembabaran keris pusaka yang dikaitkan secara sistematik, padu dan
harmoni antara tujuan esoteri dan fungsi eksoteri, terutama berlangsung setelah jaman
Sigaluh Kuno, dirintis tokoh semacam Mpu Begawan Wilwatikta (patrem Sang Sinanggar
Angin). Pada jaman Mataram Kuno juga dikembangkan oleh Mpu Resi Drupo (tombak Sang
Beras Klinthing), Mpu Maharesi Watugunung (keris Sang Sembrani), dan kemudian Mpu
Sindok (keris Sang Pulanggeni dan keris Sang Kalamayit). Sedang pada jaman Kahuripan,
dilakukan oleh Mpu Baradhah (keris Sang Srenggana) atau Mpu Taksaka Murdha (keris Sang
Pasopati). Dalam pada mana kapasitas keilmuan dari kekuatan halus yang ada dibalik bilah
keris, berhubungan dengan piranti kelengkapan dari aspek laku esoteri yang banyak
dikaitkan dengan kepentingan kekuasaan dalam kesejahteraan hidup dan keamanan.
1. Paradigma tradisi esoteri
Pengertian ilmu dalam kaitan esoteri (yang biasa dalam masyarakat tradisional disebut
dengan jargon ngèlmu), merupakan suatu pengertian tentang sesuatu permasalahan
yang menjadi pembahasan (analisis-sintesis) tersendiri. “Esoterik” secara leksikal
5
Diantaranya yang dimintai keterangan (nama diri disingkat): Tf alias Gepeng (Ngawi/IlmuKomunikasi UNSA,
karyawan); FyGP alias Tama (Bojonegoro/Teknik Arsitektur UNSA, pengusaha); YTA alias Yusron (Sragen/Ilmu
Syariah IAIN, hakim); AS alias Wawan (Kebumen/Ilmu Menejemen UNS, motivator); AdH alias Andy
(Semarang/Teknik Listrik, driver); DY alias Dn Bagus (Surakarta/Bahasa Inggris, pengusaha); ASMT alias Anang
(Ngawi/Geografi UNS, guru/pengusaha).
6
Ilmu senggarageni merupakan salah satu ilmu esoteris, yang dahulunya diajarkan Syèikh Jumadilkubra dan
biasa ditindakkan oleh Pangéran Alit yang bernama Raden Angkawijaya dan bergelar Bhré Kertabhumi di
Majapahit. Ilmu merupakan tindak lanjut bagi mereka yang telah menguasai pelbagai kompleks pengetahuan
esoteri tertentu, dengan basisnya telah menjalani puasa keilmuan dan kemudian melaksanakan ilmu qasam.
Senggarageni diamalkan melalui prosesi “amalan khusus”, yakni suatu ritus keilmuan yang dilakukan dengan
niat untuk pembersihan jiwa dan pendalaman esoteri, setelah bersuci (bersih badan, pakaian, niatan dan telah
mengambil air wudlu), kemudian duduk bersila sebagaimana laku berdzikir menghadap ke arah kiblat, dengan
melafadzkan kumpulan doa tertentu secara berulang-ulang hingga sampai ke tingkat hening dan sikap pasrah
kepada Allah. Amalan ini dilaksanakan dalam suatu kamar khusus yang bersih dan terbebas dari pelbagai
kegiatan lain. Amalan khusus dilanjutkan amalan senggarageni. Diawali niat dan takbiratul ikhram, kemudian
memasuki pelafadzan doa secara berulang-ulang hingga jumlah tertentu, dengan pemusatan perhatian dan
pengaturan nafas, serta irama bacaannya. (Sebelumnya bilah keris Kyai Rajah Kalacakra telah dikeluarkan dari
warangka dengan tangan kiri dan diletakkan di atas pangkuan). Pada saat pemusatan, yang bersangkutan akan
mengalami perasaan-perasaan tertentu. Sejak adanya pusaran panas dari dalam perut, hingga naik sampai di
bagian kepala, dan kemudian di tengah rasa hening akan merasakan seperti orang yang dirinya mulai terangkat
naik ke atas. Pelbagai rasa spiritual dan proses komunikasi esoteri mereka alami. Pada saat dirinya seakan
sudah turun kembali ke bawah, maka tubuhnya bagai masuk ke pusaran air, merasakan hawa dingin. Setelah
itu, amalan diakhiri dengan semacam doa witir. Bilah keris dimasukkan ke dalam warangka, dan selesai.
7
Persoalan proses ilmu esoteri yang dimasukkan ke dalam bilah keris pusaka, hingga sekarang (2019) masih
saya telaah dalam penelitian “Tradisi tutur Perkerisan Mpu Ramadi”. Proses itu dirintis Mpu Ramadi, dan
dibahas secara lebih sistematik sejak jaman Mataram Kuno di bawah pemerintahan Mpu Sindok (929-947).

pg. 3
MT Arifin, Isoteri Keris Pusaka (Mei 2019)

diartikan bersifat khusus (rahasia, terbatas), sebagai lawan dari “eksoterik” yang
artinya pengetahuan yang boleh diketahui atau dimengerti oleh siapa saja. 8 Dengan
demikian, maka ilmu eksoteri dengan sifatnya yang terbatas dan rahasia, hanya
diketahui oleh suatu kelompok orang yang khusus karena mengetahui atau
menjalaninya. Formulasinya adalah sebagaimana dinyatakan melalui suatu kearifan
kultural, yang mengatakan bahwa “ilmu iku kelakoné kanthi laku” (ilmu itu
terlaksananya melalui tindakan). Sehingga hal itu bukan hanya pengetahuan yang
bercorak transferan secara kultural, melainkan pengetahuan hasil pengalaman
“penyingkapan” spiritual (makrifah). 9 Hal tersebut berkaitan dengan fenomena
pengetahuan yang saling terkait: “zahir” (yakni yang literal, eksternal, eksoterik),
berhubungan dengan “bathin” (yakni sesuatu yang tersembunyi, spiritual, internal,
esoterik), yang ini merupakan prinsip skriptual yang menjadi fundasi keyakinannya. Ia
merupakan postulasi sentral dari esoterisme dan hermeneutika esoterik, dan inilah
yang disebut intelligentia spiritualis. 10 Hal demikian, dalam komunitas-komunitas
tradisional dipahami sebagai pengetahuan tentang kesempurnaan hidup, yang dalam
konsep tasawuf merupakan laku dari setiap salik, yakni orang menempuh dan
menjalankan suluk. Suluk adalah sebutan yang lazim digunakan bagi jalan menuju
kesempurnaan jiwa, sehingga melalui pengalaman spiritualnya orang mampu
mengembangkan cita ihsan. Ihsan adalah kebajikan Nabi saw. yang menjelaskan:
“Ihsan ialah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Dan bila
kamu tak melihat-Nya, Ia tetap melihatmu”. 11
Penguasaan atas laku keilmuan demikian berada pada tingkat kesadaran manusia,
yang berkaitan dengan derajat atau peringkat kehidupan ruhani yang diperoleh
melalui latihan dan perjuangan, sehingga akan sampai pada kemampuan untuk berada
pada tingkat kesadaran tentang kesucian, kejujuran dan kearifan. Proses demikian
manakala meminjam konsep-konsep yang dikembangkan dalam ilmu cakra,
merupakan perkembangan spiritual dari pengalaman laku esoteri yang berlangsung
melalui eksistensi di luar badan fisik, yang melibatkan “psikologi, emosional, pikiran,
dan non-fisik” yang disebut sebagai ”badan halus” (suksma sarira).12 Dalam konsep
itu, badan halus adalah enerji yang prosesnya tersalurkan melalui nadi, yang
keberadaannya harus selalu berkorespondensi dengan badan fisik, sehingga antara
keduanya, yakni badan dan pikiran, akan saling mempengaruhi antara yang satu
dengan yang lain. Namun lebih dari itu kapasitas dan kemampuannya manakala telah
terlatih dan teruji sampai pada taraf spiritual tertentu, juga akan memiliki kekuatan
untuk berinteraksi dan bersinerji dengan faktor-faktor eksternal, baik yang
berhubungan dengan fungsi-fungsi kehidupan manusia non-fisik di alam fisik, maupun
yang sering dikatakan sebagai kompleksitas dari makhluk halus (kelompok arwah atau
rijalul ghaib yang ada di alam halus, variasi makhluk jin di alam kajiman, jin malakut
maupun kelompok-kelompok makhluk malaikat) yang ada di alam halus.

8
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, edisi keempat, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta,
2008, hal. 358, 382
9
Persoalan ini, periksa: William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge, Hermeneutika Al-Qur`an Ibnu Al-
`Araby, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2001,hal. 20-43
10
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn `Arabi, Princeton University Press, New York, 1969,
hal. 77-79
11
Abdul Qadir Jailani, Futuhul Ghaib Menyingkap Kegaiban, Penebit Mizan,Bandung, 1985, hal. 11-12
12
https://en.wikipedia.org/wiki/Chakra. Diakses Kamis 27 September 2018

pg. 4
MT Arifin, Isoteri Keris Pusaka (Mei 2019)

Ilmu esoterik yang berkaitan dengan badan halus, alam roh atau aspek batin manusia,
merupakan kelengkapan dari unsur pengetahuan inderawi untuk memasuki, melatih
disiplin dan memperjuangkan pencapaian pengalaman-pengalaman dan kesadaran
ruhaniyah dengan tingkat dan kapasitasnya, yang menyangkut pelbagai persoalan,
diantaranya: struktur dari doa-doa; manfaat dari penerapan ilmu dalam pelbagai
bentuk kemampuan; tindakan-tindakan yang diperlukan untuk dapat menguasai ilmu
tersebut; proses-proses penguatan terhadap penguasaan seseorang atas ilmu itu;
ataupun amaliah dan persyaratan atau piranti yang ada dan dibutuhkan, untuk dapat
melaksanakan ilmu atau pengetahuan tersebut secara terap.
Ada perbedaan yang bersifat mendasar antara pengertian ilmu-ilmu yang ada di
wilayah pengetahuan modern dengan yang dipahami oleh masyarakat secara
tradisional, yang akan dipengaruhi oleh persoalan logika (teori penalaran),
epistimologi (teori pengetahuan), metafisika (teori konsep dan hubunganya), dan etika
(teori evaluasi).13 Ilmu pengetahuan yang dipahami sebagai pengetahuan modern
ditentukan oleh cara kerjanya dalam hubungan yang bersifat inderawi dengan
lingkungan (alam, tumbuh-tumbuhan dan hewan, maupun manusia), beserta seluruh
gejala-gejalanya. Hubungan tersebut akan mendorong kemampuan-kemampuan
tertentu, seperti kemampuan dalam mempersepsikan persoalan-persoalan yang ada,
membangun jeneralisasi-jeneralisasi, serta merumuskan konsepsi-konsepsi. Langkah-
langkah tersebut akan membentuk suatu susunan cara kerja yang teratur, dalam
artian memiliki suatu sistem dan metoda yang cukup jelas. Cara kerja yang demikian
memungkinkan berkembangnya asas pengaturan pengetahuan, dan sebagai titik tolak
untuk penemuan pengetahuan baharu, dengan ciri langkahnya yang bersifat empirik
(bahan mentah diperoleh melalui pencarian sistematik seperti observasi atau
interview terhadap kenyataan-kenyataan; proses mental mengubah observasi ke
dalam informasi; memiliki struktur atau rancangan (seperangkat petunjuk tertulis
mengenai urutan kegiatan yang akan dilaksanakan).14 Dalam konsep modern, ilmu
tumbuh dari proses-proses akal fikir untuk merumuskan kenyataan-kenyataan empiris
sebagai suatu susunan pengetahuan yang bersifat sistematis. Sehingga tempat utama
bersemayamnya ilmu adalah pada akal, dengan sifat-sifat dan bentuknya yang
kebendaan (materi), kenyataan-kenyataan sosial, ataupun psikis (gejala kejiwaan).
Sedangkan ilmu pengetahuan dalam wilayah tradisional, lebih dipahami berdasarkan
atas suatu sikap perasaan atau kelembutan dari hakekat manusia atau al-lathīfat al-
insāniyyah yang disebut jiwa. Juga menyangkut seluruh hubungannya dengan segala
sesuatu yang ada, yang oleh masyarakat disebut dengan suksmaning jalma atau
kemudian disebut juga sebagai alam roh. Dalam pandangan ilmu-ilmu tradisional,
perasaan lebih utama daripada akal, karena apa yang dirasakan pada hari ini, masih
bersifat gaib di mata akal, sedang yang masuk di akal hari ini, adalah hal-hal yang
tampak. Penglihatan-penglihatan memang mampu melihat namun rukyat perasaan
merupakan puncak dari pada pandangan (bashirah) tersebut; yang jadi milik akal
hanyalah awal dari penglihatan. Kajian terhadap pengetahuan-pengetahuan demikian
dasarnya mengambil pengalaman umum dari manusia terhadap perihal hidup dan

13
Persoalan ini, periksa: Sayyed Hossen Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, Penerbit Mizan, Bandung,
1983, hal. 18; Fuad Hassan, “Beberapa Azas Metodologi Ilmiah”, dalam: Koentjaraningrat (ed), Metode-
metode Penelitian Masyarakat, Penerbit Gramedia, Jakarta, 1977, hal. 8-23; R. Harré, The Philosophies of
Science An Introductory Survey, Oxford University Press, New York, 1985, hal. 2-34
14
MT Arifin, Rajah Pitu, Komunitas Mangkubumen Surakarta (Unpublished), 2005,hal.8

pg. 5
MT Arifin, Isoteri Keris Pusaka (Mei 2019)

mati, sehingga merupakan langkah penyatuan atau penggabungan terhadap gejala-


gejala dan kesaksian-kesaksian yang dikumpulkan dan dipelajari dalam wilayah ilmu-
ilmu dari kedua “alam” itu, dan paduan pengetahuan seperti itu dalam alam halus
sering disebut dengan ilmu marmati atau ilmu zabur.15
Alam dalam sistem pengetahuan tradisional (kultural), mengacu kepada segala
sesuatu yang bukan Sang Khaliq. Alam pada dasarnya mencakup alam nyata yang
dapat disaksikan secara fisik (`ālam syahādah) dan alam halus (`ālam ghāib) yang tidak
dapat dilihat dengan pandangan mata secara fisik, dan mencakup apa yang ada di
bumi dan di langit. Dalam ensiklopedi dijelaskan, bahwa istilah alam berasal dari kata
`alam yang memiliki akar sama dengan kata `ilm (ilmu pengetahuan), `ālim (yang
mengetahui), `alīm (yang maha mengetahui) dan `alāmat (tanda-tanda). Dari titik
tolak itu, alam dipahami bukan hanya sebagai sebab bagi aktualnya pengetahuan
dalam kesadaran manusia, sehingga manusia menjadi `alim (orang yang
berpengetahuan), tetapi juga sebagai tanda (ayat atau `alāmat) yang menunjukkan
keberadaan dari Tuhan sebagai Yang Maha Mencipta. 16
Ilmu pengetahuan yang dipahami masyarakat secara tradisional memang bergerak
pada lapisan perasaan, sehingga coraknya sintetis. Namun bagi mereka yang telah
mendalami sampai taraf tertentu, misalnya memiliki kemampuan menangkap adanya
gejala-gejala dari alam halus secara langsung melalui komunikasi dan interaksi yang
intensif, biasanya melalui mata batin akan melihat, bahwa pengetahuan tersebut juga
bersifat “empirik”. Artinya, pengetahuan yang berhasil diperoleh adalah hasil dari
pengalaman batiniah (membukanya pintu pengetahuan) dan bukan sebagai sesuatu
yang spekulatif dan tidak berdasar. Persoalannya yang sering mempengaruhi, proses
dan pengalaman seperti itu bagi seseorang biasanya lebih bersifat tertutup dan
pribadi. Dilihat secara lebih mendasar, antara ilmu-ilmu yang modern dengan yang
tradisional juga memang memiliki keberadaan dan paradigma yang tidak sama, karena
antara dua poros pengetahuan itu memiliki doktrin-doktrin esoterik yang berbeda.
Pengetahuan masyarakat yang tradisional itu biasanya dianggap bersumber dari
tradisi berfikir sufistik, berkonsentrasi pada pemahaman visioner (pemahaman batin)
dan praksis (lahir), melawan pemahaman yang murni spekulatif atau teoritis, terhadap
pemaknaan “kesatuan wujud”. Wilayah ilmu pengetahuan modern dari Barat
didasarkan atas pandangan “kesatuan wujud” teoritis, yakni sebuah filsafat yang
diperoleh oleh akal rasional, dan karenanya merupakan wilayah ego. Kepercayaan
pada filsafat hampa akan keuntungan spiritual karena hanya menekankan pada
pembicaraan atau wacana dan terkaan. Sedangkan ilmu-ilmu yang dipahami secara
tradisional oleh masyarakat, didasarkan atas pandangan “kesatuan wujud” yang
visioner menyiratkan penglihatan hati, sebuah kemampuan penglihatan yang dikenal
hanya oleh “para pemilik hati”, mereka yang menjauhkan diri dari wilayah ego dan
kepribadian temporal berkat cinta Ilahi. Mereka mendorong pelayanan masyarakat,
toleransi dan kebaikan yang diarahkan pada satu doktrin tentang kehidupan yang
dipelajari oleh pikiran, serta sebuah praktek yang didasarkan pada pengalaman dan
perwujudan langsung dalam bentuk penglihatan batin. 17
Ilmu pengetahuan manusia sendiri sebenarnya dapat diperoleh melalui pelbagai cara.
Ketika manusia mendapatkan pengetahuan melalui refleksi, maka alat yang digunakan

15
Ibid., hal. 9
16
Ensiklopedi Islam Indonesia, Penerbit Djambatan,Jakarta, 1992,hal. 99-101
17
Arifin, Rajah..op.cit., hal. 10

pg. 6
MT Arifin, Isoteri Keris Pusaka (Mei 2019)

disebut “akal”. Di sini akal atau kekuatan rasional (intelek) adalah sumber dari
kekuatan fundamental jiwa manusia. Akal memiliki kemampuan yang melekatkan
secara inheren, yakni pengetahuan intuitif yang tidak memerlukan bantuan di luar
dirinya, ataupun pelbagai alat, seperti panca indera serta “kemampuan reflektif” (yang
mencakup refleksi dan pertimbangan).
Refleksi adalah kekuatan pikiran atau kogitasi, yakni kemampuan jiwa untuk
mengumpulkan data-data yang disampaikan oleh daya persepsi ataupun imajinasi
supaya dapat memperoleh simpulan-simpulan yang rasional. Pertimbangan (nadhar)
menunjuk pada aktivitas tertentu dari pikiran ketika ia melakukan refleksi. Ia identik
dengan fikir. Ia diterapkan untuk menunjuk pada penglihatan fisikal mata, akal
ataupun hati, yakni tingkatan-tingkatan sensoris, rasional dan supra-rasional. Refleksi
merupakan salah satu dari enam instrumen yang dimiliki oleh kekuatan rasional dalam
memperoleh ilmu, di mana lima instrumen lainnya adalah pancaindera (pendengaran,
penglihatan, penciuman, peraba, perasaan); refleksi disebut indera keenam. Para ahli
ilmu jiwa menyebut indera keenam seperti clairvoyance dan telepati. 18
2. Keris pusaka dan esoteri
Ilmu esoteri merupakan hasil dari pergulatan batin yang mendorong berkembangnya
kemampuan dan kesadaran spiritual bagi yang menjalankannya, dengan capaian lebih
mendalam dan terstruktur sebagai suatu inner-self yang akan membangunkan
kekuatan spirit dari potensi–potensi dalam kepribadiannya. Prosesnya berkembang
melalui tiga tahap: pertama, pelatihan pengenalan dasar-dasar pengetahuan spiritual
melalui pengalaman, dengan banyak berpuasa sunat dituntun upaya inderawi secara
teknis-metodis untuk menyatukan fikiran dan hati ketika berdo’a atau berdzikir
sehingga orang mulai dapat menahan amarah dan tak lagi terusik oleh dorongan hawa
nafsu, awal mengenal makrifat secara mengalir untuk berserah diri kepada kehendak
Allah, diindikasikan laku terpusat dan hening atau tumakninah. Proses mulai dirasakan
secara spiritual manakala berlatih intensif masuk tingkat ke enam hingga ke sepuluh.
Kedua, pendalaman laku yang memperkuat proses kemampuan (dalam ilmu) dan
kesadaran esoterik dari bentuk ruh diri, diperkuat penataan kinerja syaraf-syaraf halus
melalui berdzikir dalam air (menggunakan teknik keblat papat kalima pancer) dengan
mengenal makrifat yang berinteraksi lintas alam. Kapasitas dari kesadaran esoterik
akan dirasakan melalui tingkat kecermatan dan ketajaman spiritual yang tercermin
dalam kepribadian diri sebagai bagian dari ketahanan ruhani, wawasan hidup,
kesalehan dan kearifan, serta tingkat kesabaran. Proses berlangsung melalui tapa-
dzikir intensif di malam hari hingga tingkat ke sepuluh.
Ketiga, pendalaman keilmuan secara komprehensif dalam memperkuat proses ruhani
seolah-olah tengah berhadapan dengan-Nya, sehingga akan mendapatkan anugerah
Ilahi yang membentuk pengaruh terhadap kapasitas dan otoritas spiritual serta
ketawakalan dalam kepemimpinan esoterik dan pengaruhnya secara eksternal
terhadap wilayah kehidupan lintas makhluk berdasar asas manfaat dengan wawasan
jernih, sikap hanyegara, didorong memiliki komitmen dan berpihak kepada nilai-nilai
kebenaran, berkepribadian yang jujur, salih dan bersikap adil. Proses berlangsung
melalui pemusatan laku keilmuan intensif di malam hari hingga tingkat ke sepuluh.
Dalam ilmu esoterik yang mampu dikuasai hingga tingkatan seperti itu didalamnya
terkandung tiga kekuatan fungsional yang bercorak eksternal pada lingkungan

18
Ibid., hal. 10-12; Chitick, op.cit., hal. 76-83

pg. 7
MT Arifin, Isoteri Keris Pusaka (Mei 2019)

kehidupan manusia, diantaranya: kekuatan untuk jaringan dukungan; kekuatan dalam


teknis pengelolaan kesejahteraan; kekuatan dalam teknis pengelolaaan pertahanan/
keamanan. Keberadaan dari kapasitas seperti itu bagi mereka yang menguasainya
sebenarnya merupakan paduan dari kemampuan utama, diantaranya komunikasi dan
pengaruh interaksi terhadap kelompok tertentu dari makhluk di alam halus terutama
dari kalangan bangsa jin. Juga komunikasi dan pengaruh interaksi kelompok dari
arwah yang ada di alam kesaksian (`ālam syahādah), di samping kemampuan untuk
komunikasi dan berinteraksi mempengaruhi alam manusia. Bagi mereka yang telah
menguasai hingga tingkat keilmuan esoterik tertinggi, akan memiliki kemampuan dan
otoritas untuk mempengaruhi secara badan halus guna mendorong perlakuan dan
eksekusi terhadap kelompok-kelompok makhluk tertentu di alam halus maupun
kemungkinannya terhadap alam manusia.
Luberan pengaruh dari terapan ilmu-ilmu tersebut terhadap kehidupan eksternal yang
ada di alam manusia, fundasinya dibangun melalui proses ilmu kamarogan dan ilmu
samparangin. 19 Yang disebut dengan Ilmu kamarogan, merupakan suatu kumpulan
pengetahuan yang di dalamnya mengandung kemampuan-kemampuan perwujudan
secara interaksional, yang diperkirakan akan memiliki pengaruh terhadap lingkungan
sosial politik dan komunikasi publik, untuk kepentingan-kepentingan kehidupan yang
luas. Sedangkan ilmu samparangin, dimaksudkan sebagai kumpulan dari pengetahuan
yang diperkirakan berkaitan dengan pengembangan fungsi kekuatan dalam kecepatan
interaksi dan daya hubungan yang bersifat lintas alam.
Untuk penerapan di dalam praktek, kemampuan dari ilmu-ilmu tersebut dengan
sendirinya akan ditentukan oleh inner-self secara esoterik dari orang yang
bersangkutan. Namun di dalam proses tindakan keilmuannya, dapat dikuatkan melalui
keterlibatan dari jaringan kelompok kekuatan halus tertentu (hadam) baik yang ada
pada orang yang bersangkutan mapun yang ada dalam piranti pendukung yang
berbentuk benda-benda pusaka. Sehingga keberadaan dari benda-benda itu berfungsi
sekunder dalam menambah kekuatan dari pengaruh ilmu yang telah dikuasai orang
yang bersangkutan. Dalam konteks tersebut secara tradisi dinyatakan bahwa ilmu
kamarogan adalah piranti yang pendukungnya adalah suatu otoritas atau mahkota,
sedangkan ilmu samparangin adalah piranti yang pendukungnya sebilah keris pusaka.
Dilihat dari keberadaan benda pusaka yang dianggap mampu berfungsi sebagai piranti
kelengkapan dalam tindakan ilmu, terasa sekali bahwa keberadaan dari pusaka-pusaka
seperti itu bukanlah terjadi hanya karena berdasar prinsip kebetulan. Mengingat
bahwa ilmu-ilmu yang ada memang merupakan bagian dari kemampuan untuk
melaksanakan suatu otoritas yang dikuasai oleh seseorang yang berhak, sangat wajar
jika keberadaan dari pusaka memang fungsional dan bersifat inherent dalam tindakan
untuk ilmu-ilmu yang bersangkutan. 20

19
Ibid., hal. 131
20
Dalam mendekati keris sebagai benda budaya, telah berkembang dua pandangan paradigmatik. Pertama,
kelompok yang menghargai keris karena keindahan dan mutu secara eksoteri, fokusnya pada aspek garap dan
teknis sehingga keris bersifat meterial dan bisnis semata, serta dengan penolakan terhadap fungsi esoterinya.
Kedua, kelompok yang memandang keris sebagai karya budaya yang dalam penciptaannya menggunakan
dimensi material, teknik dan keidahan, namun dalam hal tertentu tak lepas berkaitan dengan fungsi esoterik
yang dipahami melalui underaning ngèlmu. Sehingga pada keris mengandung nilai-nilai keindahan fisik, makna
simbolis, etik, serta terkait latar historis dan kekuatan yang ada di balik bilah. Periksa: MT Arifin, Keris Jawa,
Bilah, Latar Sejarah hingga Pasar, diterbitkan Hajied Pustaka, Jakarta,2006, hal. 233-270

pg. 8
MT Arifin, Isoteri Keris Pusaka (Mei 2019)

Tradisi ataupun adat kebiasaan dari keberadaan dari benda-benda pusaka yang dapat
digunakan untuk mendukung pelaksanaan tindakan ilmu, belum tentu memiliki sifat
yang melekat secara langsam dengan suatu ilmu. Memang, ada jaringan ilmu yang
dapat menerima dan menempatkan benda–benda seperti itu dalam wacana keilmuan.
Namun ada pula paham tertentu yang menolak kehadiran dari benda pusaka, karena
dianggap bagian dari tindakan menyimpang, yang di antaranya dianggap sebagai salah
satu bentuk dari penyekutuan Tuhan. Keberadaan benda-benda pusaka dapat
diterima oleh kelompok jaringan ilmu tertentu memang didasarkan atas alasan
masing-masing, beserta konsekwensi terhadap posisi fungsional dari benda tersebut di
dalam jaringan ilmu mereka. Dalam masyarakat Jawa, diketemukan tiga gejala
hubungan keris pusaka dengan laku esoteri: pertama, kelompok yang menolak
penggunaan pusaka, karena esoteri berkaitan dengan tindakan keyakinan oleh person
bersangkutan berdasar argumentasi dan ketentuan hukum, sebagaimana model
komunitas santri Sunan Kudus; kedua, kelompok yang hampir sepenuhnya
menyandarkan fungsi esoteri kepada kekuatan dari keris pusaka, yang sering
diketemukan di lingkungan tradisi dari para bangsawan keraton; ketiga, kelompok
yang dalam esoteri ditentukan oleh laku keilmuan dari person bersangkutan namun
dibolehkan menggunakan keris pusaka sebagai penguat, sebagaimana santri Sunan
Kalijaga. Terlepas dari sistem nilai yang berlaku secara internal seperti itu, tampaknya
jaringan dari ilmu-ilmu yang menerima kehadiran benda-benda pusaka, karena
mereka umumnya memang memiliki latar kehidupan dan tradisi keilmuan yang secara
fungsional mengharuskan dekat dengan benda-benda persenjataan semacam itu.
Bahwa penerapan ilmu berkaitan dengan orang-orang penting atau jaringan ilmu yang
memiliki kedekatan dengan politik, kekuasaan dan bahkan negara, sehingga
keberadaan dari ilmu juga sebagian untuk mendukung proses-proses dan fungsional
tersebut. Seperti terlihat melalui jaringan ilmu putih (mutihan) yang dekat dengan
otoritas-otoritas spiritual, demikian pula ilmu merah (kabangan) yang pada dasarnya
lebih banyak berhubungan dengan kelompok-kelompok priyayi ataupun kelompok
lainnya yang banyak memiliki kedekatan hubungan dengan pusat-pusat kekuasaan.
Atau tradisi wiratani dimana setiap penduduk masyarakat pedesaan memiliki
kewajiban menjadi prajurit dalam bela negara pada saat musim kemarau. 21
Bertolak dari anggapan seperti itu, keberadaan senjata bukan saja bagian dari piranti
keilmuan, juga menyatu dalam tradisi ksatria. Beberapa peribahasa menunjuk gejala
itu. “Berkeras tidak berkeris” (sikap keras, tak punya andalan); “ora keris yen keras”
(senadyan ora sembada, nanging katon gagah, meski tak-mampu tampil gagah). Itu
memperlihatkan ada hubungan antara pusaka (sebagai karya seni) dengan disiplin
spiritual dan keilmuan yang diperlihatkan dari makna spiritual dari ajaran metafisis
dan kosmologis yang mendasari simbolisme bilah keris, yang dalam kesejarahan
tradisi Jawa ditunjukkan melalui hubungan para begawan, para wali dan ulama
dengan keris, serta hubungan kekerabatan dan keilmuan kewalian terutama Sunan
Bonang dan Sunan Kalijaga dengan Mpu Supa atau Pangéran Sendhang dan
keturunannya yang dianggap legendaris dalam tradisi akhir Majapahit, jaman Demak
hingga Mataram. Keberadaan benda pusaka memperlihatkan bahwa nilai-nilai “cara
ksatria” seperti keberanian dan kegagahan yang mulanya diterapkan untuk membela

21
Arifin, Rajah..op.cit., hal.132

pg. 9
MT Arifin, Isoteri Keris Pusaka (Mei 2019)

rakyat dan negeri, dimasukkan ke dalam nilai etika, seperti berkorban berdasar rasa
kemanusiaan, setia kepada janji, ataupun kejujuran.
Keberadaan benda-benda pusaka sebagai pendukung untuk pelaksanaan ilmu-ilmu
tradisional yang esoteris, memiliki hubungan dengan kandungan nilai-nilai tersebut,
terutama lebih didasarkan atas fungsionalisasi dari ilmu yang bersangkutan dengan
kepentingan kehidupan kolektif tertentu. Tentang keberadaan dari ilmu-ilmu dan
benda-benda pusaka sebagai piranti pendukungnya itu, tidak diperoleh secara
langsam dengan sendirinya dalam satu paket. Ilmu-ilmu dan piranti pendukungnya itu,
secara sebagian-sebagian mulai terkumpul bukti fisiknya (sedang sebagian lainnya
masih disembunyikan di alam halus). Berdasar pelbagai pengalaman, yang pertama-
tama berhasil diperoleh adalah beberapa piranti pendukung yang berbentuk benda-
benda pusaka fisik (yang keberadaannya lintas jaman), baru kemudian disusul oleh
pengajaran akan ilmunya. Dengan demikian, yang berhasil diperoleh pertama sekali
justru benda-benda pusaka sebagai piranti dari ilmu-ilmu tersebut. Disusul dengan
mulai turunnya pelbagai informasi dan doa-doa dari ilmu-ilmu yang bersangkutan. 22

Persoalan Mistik Keris


Dalam anggapan umum dunia perkerisan, kata esoteri yang lazim diterapkan untuk
penyebutan dalam kaitan keris-keris pusaka mengandung konotasi tentang adanya suatu
misteri atau”isi” yang ada di balik bentuk fisik keris. Sehingga dalam perkembangannya,
esoteri juga dianggap sebagai kekuatan gaib keris. Kekuatan semacam ini hingga sekarang
sering menjadi faktor tersendiri yang dapat memunculkan bilah keris tertentu menjadi
melegenda dalam masyarakat tatkala telah terbukti keberhasilannya setelah ditayuh oleh
proses sejarah. Sedangkan dalam dunia perkerisan pada umumnya, kekuatan gaib seperti
itu sering kali akan menjadi daya tarik penggemar keris karena mengandung sebuah
harapan agar keris miliknya atau harapan agar mendapat keselamatan serta kelancaran
dalam pelbagai aspek dari kehidupannya. 23
Dalam hubungan yang berkaitan antara pusaka dan kekuatan halus keilmuan, pada dekade
tahun 1960-an GKPH Hadiwidjaja menuliskan buku tentang perkerisan berjudul ”Krisologie”,
yang mana beliau menukil salah satu ungkapan bahwa Krisologie zonder mystiek is soep
zonder zout, artinya: berbicara ilmu pengetahuan tentang keris tanpa menyinggung hal-hal
gaib adalah sama juga dengan sup tanpa garam. 24 Di sini muncul persoalan mistik keris, yang
berkaitan dengan pemahaman dari kepercayaan sebagian masyarakat perkerisan yang
menganggap bahwa bilah keris sebagai jasmaniah atau badan wadag, yang di dalamnya
dianggap memiliki sesuatu, apakah yang disebut “isi”, “yoni”,25 atau “makhluk halus”. Secara
22
Ibid., hal. 133
23
Toni Junus, Tafsir Keris Kris: An Interpretation, Penerbit Komunitas Panji Nusantara, Jakarta, 2012, hal. 56
24
Ibid., hal. 80
25
Istilah yoni dikaitkan dengan keris dikenal melalui ucapan Bango Samparan dari Karuman kepada Ken
Angrok, degan mengatakan: “Rahayu yen mangkana, Ingsun kaki, angadyani, yen sirâharěp ambahud angěris
ring sira Tunggul Amětung, anghing ta sira kaki Angrok, sirâkuwu těguh, menawi nora těḑas yen derasuduka
ring kěris kurang yoninya. Hana mitraningsun panḑe ring Lulumbang, aran mpu Gandring, yoni olih agawe
kěris, norana wong atěguh dene pagawene, tan amingroni yen sinudukakěn, ika koněn akarya ḑuhung”.
Artinya: Nah, baiklah kalau demikian, saya memberi izin, bahwa kamu akan menusuk kepada Tunggul Ametung
dan mengambil isterinya itu, tetapi hanya saja, buyung Angrok, akuwu itu sakti, mungkin tidak luka, jika kamu
tusuk keris yang kurang bertuah. Saya ada seorang teman, seorang pande keris di Lulumbang, benama Mpu
Gandring, keris buatannya bertuah, tak ada orang yang sakti terhadap buatannya, tak perlu dua kali kalau
ditusukkan, hendaknyalah kamu menyuruh membuat keris kepadanya. Ki J. Padmapuspita, Pararaton Teks
Bahasa Kawi Terjemahan Bahasa Indonesia, Penerbit Taman Siswa,Jogjakarta, 1966, hal. 28, 60

pg. 10
MT Arifin, Isoteri Keris Pusaka (Mei 2019)

ringkas aliran kepercayaan pada kekuatan magis keris dibahas dalam buku karya Toni Junus
yang berjudul “Tafsir Keris” digolongkan atas tiga aliran, yakni:
 Aliran elektromagnetik, yang beranggapan bahwa enerji yang tertanam pada
keris dapat dideteksi dengan perabaan telapak tangan, yang akan memberi
sinyal tatkala menyentuh cakra-cakra manusia;
 Aliran personifikasi enerji tayuh, yang mempercayai adalah enerji yang
dipersonifiasikan melalui fantasi figur makhluk atas dasar latihan
memvisualisasi sinyal yang ditangkap dari bawah sadar melalui ilmu tayuh
keris, yang didasarkan atas ilmu kawaskithan dengan menerawangi masa lalu
keris, usianya, empu pande pembuatnya serta kekuatan yang diinduksikan;
 Aliran roh halus, yang mempercayai keris sebagai badan wadag dihuni roh
halus yang dipahami melalui ilmu kajiman atau padhanyangan, yang mana
kegaiban keris ditelaah dengan cara laku tirakat. 26
Sesuatu hal yang misalnya sering disebut yoni, sebagai sebutan pada “isi” pusaka, yang
menjadikan ia bukan lagi menjadi lambang realitas kongkret tetapi sebagai lambang
realitas abstrak. Dalam jagad keris pusaka, konon yoni mempunyai padanan kata daya
kekuatan gaib atau daya kekuatan adikodrati, berkat kerja suntuk empu pande
pembuatnya dan berkat rahmat perkenan Tuhan. Manakala tanpa daya yoni, Linus
Suryadi AG menekankan pandangan kritisnya, bahwa bilah keris tersebut sebenarnya
tanpa daya kekuatan apa-apa. Ia hanyalah sebentuk wujud benda metal yang dibuat
dengan citarasa artistik berselera tinggi, sekedar berfungsi sebagai piranti asesori
untuk desain ruang dalam rumah atau untuk pemaès pakaian adat Jawa yang bernilai
sekedarnya.27

Semarang, 2 Mei 2019

26
Ibid., hal. 82-88
27
Linus Suryadi AG, Regol Megal Megol Fenomena Kosmologi Jawa, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta, 1993,
hal. 42

pg. 11
MT Arifin, Isoteri Keris Pusaka (Mei 2019)

Riwayat Penulis

Penulis, yakni MT Arifin, merupakan salah seorang pemerhati


kebudayaan dari Surakarta, terutama dalam hal sosial, politik dan
kebudayaan termasuk perkerisan, yang sejak dua puluh tahun lalu telah
mencoba untuk mencermati dan menekuni dengan melakukan telaah
terhadap bilah-bilah keris yang menjadi koleksinya.
Pada saat ini sedang melakukan penelitian terhadap perkerisan generasi
pertama, berjudul: “Melacak ‘Netra Jagad Paninten’ Keris Sang
Larngatap, Tradisi Tutur Perkerisan Mpu Ramadi”, yang mencoba untuk
menelah sumber-sumber informasi lahirnya jagad perkerisan di Tanah
Jawa berdasar sumber tutur dan karya-karya perkerisan babaran Mpu
Ramadi, seorang perintis jagad perkerisan itu. Baru-baru ini, penulis berhasil menyelesaikan naskah
berjudul “Kebumen, Sema`an Panorama Kanvas: Bung Rampai Kajian Sosiobudaya”, Prajasuci
Komunitas Mangkubumen, Surakarta (Unpublished, Maret 2019, 131 halaman). Kemudian dari
telaah karyanya lain, naskah perkerisan berjudul “Keris di Tengah Pergolakan Kekuasaan ‘Kyai Rajah
Kalacakra’”, Prajasuci Komunitas Mangkubumen, Surakarta, (Unpublished, Oktober 2018, 155
halaman). Juga menuliskan buku berjudul: “Nagasasra Legendaris keris Siji Dhapur Sewu” (Penerbit
CV Aneka, Solo, 2003, 95 halaman). “Keris Jawa: Bilah, Latar Sejarah hingga Pasar” (Penerbit Hajied
Pustaka, Jakarta, 2006, 426 halaman). Naskah yang juga belum diterbitkan adalah “Kamus Keris,
Advanced Leaner`s Dictionary of Traditional Weapon”, Prajasuci Komunitas Mangkubumen,
Surakarta (Unpublished, 2014, 1.500 halaman).
Di antara beberapa makalah kajian tentang perkerisan yang pernah dituliskan: “Sang Mahesaladrang
Wuku Jamus Sada dan Implikasi Padhuwungan” (Makalah disampaikan dalam Saresehan Tosan Aji di
FBRTA Soedjatmoko, Solo, Kamis tgl. 28 Oktober 2010). “Khazanah Kosakata Perkerisan, Sebagai
Cermin Jati diri Bangsa Indonesia” (Makalah disampaikan dalam Seminar Bahasa, Majelis Bahasa
Brunei Darussalam - Indonesia - Malaysia [Mabbim], Jakarta, 22-23 Maret 2011). “Keris Naga Jawa:
Kajian Buku Dhapur Keris Karya Basuki Teguh Yuwono” (Makalah dalam Acara Diskusi Kajian Buku
Keris Naga, bertempat di Balai Soedjatmoko, Surakarta, Rabu tgl. 10 Oktober 2012). “Peran SNKI
dalam Pelestarian Keris dan Pengembangan Keris Indonesia” (Makalah disampaikan dalam acara
Seminar Keris yang diselenggarakan dalam Kongres Sekretariat Nasional Keris Indonesia ke-2 di
Kampus ISI Surakarta, tgl. 12 dan 13 Nopember 2016). “Dasar Kuratorial Keris dan Senjata Tradional
Nusantara” (Makalah disampaikan dalam Seminar Kuratorial Keris dan Senjata Tradisional
Nusantara, kerjasama Program Studi Keris dan Senjata Tradisional Fakultas Seni Rupa dan Disain
[FSRD] ISI Surakarta bersama SNKI [Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia], bertempat di
Kampus ISI Surakarta, Minggu tgl.26 Nopember 2017). “Khazanah Wisata Budaya Perkerisan Dalam
Membentuk Jati Diri Masyarakat Indonesia” (Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional
Peringatan Dies Natalis STIEPARI, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata Indonesia, Semarang ke 47
di Semarang, Selasa tgl.14 Nopember 2017). ”Keris Kyai Rajah Kalacakra, Menguak Isu-isu Perkerisan
Legendaris” (Disampaikan dalam Dialog Budaya dengan Tema: Keris Sebagai Warisan Dunia dalam
Aktualisasi Kekinian, bertempat di Hotel Dana, Surakarta, hari Kamis tgl 23 Nopember 2017).
Di antara beberapa artikel perkerisan yang pernah dimuat dalam pelbagai media cetak, di antaranya:
“Piandel Kekuasaan” (Pringgitan Suara Merdeka Minggu, Semarang, 28 Mei 2006); “Keris Senjata
Kultural” (Majalah Gong, Yogyakarta 25 Maret 2009; diambil Liberty, Surabaya, 9 Mei 2009); “Keris
Ngadeg”(Solo Pos, Surakarta). “Keris Jawa Era Awal”, (Majalah Sasmita, Oktober 2007); “Keris:
Simbolikum-Etik” (Majalah Sasmita, Nopember 2007); “Hipotesis Panangguhan Keris” (Majalah
Sasmita, Desember 2007); “Pakerisan Wong Semarang” (Sindo,16 Desember 2007); “Keris Nem-
neman” (Majalah Sasmita, Januari 2008); “Keris Enggalan” (Majalah Sasmita, Pebruari 2008).

pg. 12

Anda mungkin juga menyukai