Keris merupakan pusaka yang sangat populer di Indonesia. Mengacu pada buku
Ensiklopedi Keris dan Keris Dalam Perspektif Keilmuan, secara historis keris memiliki aspek
kesejarahan yang sangat panjang yang bisa ditelusuri kembali hingga ratusan tahun yang lalu.
Namun, titik awal keberadaannya masih diperdebatkan hingga kini oleh banyak pakar yang
mendalami masalah keris.
G.B. Gardner mengemukakan bahwa keris adalah perkembangan dari senjata tikam
zaman prasejarah. Sedangkan Griffith Wilkens mengatakan bahwa budaya keris baru muncul
pada abad-14 dan ke-15. Asumsi tersebut didasarkan pada bentuk keris yang merupakan
perkembangan dari bentuk tombak yang banyak digunakan oleh bangsa-bangsa yang mendiami
benua Asia dan Australia. Ahli yang lain, A.J. Barnet Kempers, mengungkapkan bahwa bentuk
keris merupakan perkembangan dari senjata penusuk pada zaman perunggu
Sementara berdasarkan penelitian arkeologi, menunjukkan bahwa keris telah dikenal
sejak sekitar abad ke-5 sampai 6 Masehi di Jawa. Merujuk pada bukti arkeologis paling tua yang
ditemukan yang menginformasikan mengenai keberadaan senjata keris terlihat pada prasasti batu
yang ditemukan di desa Dakuwu, Grabag, Magelang, Jawa Tengah, yang diperkirakan dibuat
sekitar abad ke-5 Masehi.
Di dalam prasasti tersebut termuat pahatan-pahatan berbagai benda dan senjata yang
dianggap sebagai bagian dari peralatan upacara keagamaan. Salah satunya adalah sebuah belati
yang bentuknya mirip dengan keris buatan Nyi Sombro, seorang empu wanita pada zaman
Pajajaran.
Bukti arkeologis lainnya ditemukan dalam relief Candi Borobudur (abad ke-8) di Jawa
Tengah. Pada salah satu sudut sisi tenggara candi, ditemukan relief yang menggambarkan
prajurit membawa senjata pendek yang serupa dengan keris.
Sementara istilah keris, dijumpai pertama kali pada prasasti kuno yang terbuat dari
lempengan perunggu yang ditemukan di Karang Tengah, Magelang, Jawa Tengah, berangka
tahun 748 Saka (824 Masehi), yang menyebut-nyebut beberapa peralatan seperti: lukai,
punukan, wadung, dan patuk kres. Dalam prasasti tersebut dijelaskan mengenai kres yang
diartikan sebagai keris.
Kata kres juga ditemukan dalam Prasasti Poh berangka tahun 829 Saka (907 Masehi).
Prasasti ini menyebutkan beberapa jenis sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas
pajak. Sesaji itu antara lain berupa: kres, wangkiul , tewek punukan , wesi penghantap.
Keris kemudian menjadi banyak dikenal melalui naskah Pararaton yang terkenal dengan
riwayat Kerajaan Singasari (abad ke-13). Dalam kitab tersebut, keris digambarkan merupakan
sebuah senjata tikam yang memiliki tuah atau kekuatan magis. Keris dibuat oleh seorang empu
(sebutan untuk pembuat/ahli keris), yang terkenal pada era itu adalah Empu Gandring.
Berdasarkan sejumlah laporan asing, budaya keris mencapai puncaknya pada zaman
kerajaan Majapahit (1293-1527 M). Salah satu laporan tersebut didapat dari Ma Huan, musafir
Cina dan penerjemah resmi Cheng Ho, yang menulis pengalaman kunjungannya ke Majapahit
pada abad ke-15 dalam bukunya berjudul Yingyai Sheng-Ian. Dalam catatannya, Ma Huan
melaporkan bahwa ketika datang bersama rombongan Cheng Ho, ia menyaksikan hampir semua
laki-laki di Majapahit mengenakan pu-lak, yaitu semacam belati lurus atau berkelok-kelok. Yang
besar kemungkinan yang dimaksud adalah keris.
Ma Huan juga menyebutkan dalam laporannya, pada zaman itu telah dikenal teknik
pembuatan senjata tikam dengan baja berkualitas dan hiasan pamor garis-garis tipis serta bunga
ketipisan. Gagang atau hulu keris juga sudah dibuat menggunakan bahan emas, cula badak, atau
gading.
Sejumlah literatur lain juga berpendapat bahwa pada era Majapahit keris memperoleh
kepopulerannya. Dibuktikan dengan keris-keris terkenal yang melegenda yang diperkirakan
berasal dari era itu, misalnya Kanjeng Kyai Ageng Sengkelat dan Nagasasra Sabuk Inten. Pada
kekuasaan Majapahit, keris juga menyebar ke wilayah kekuasaannya, antara lain: Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, Lombok, Sumbawa, termasuk juga Malaysia, Brunei,
Filipina, Kamboja, dan Thailand.
Selain melalui ekspedisi dan penaklukan kekuasaan, penyebaran lainnya adalah melalui
jalur perdagangan dan pelayaran. Hal ini menyebabkan budaya keris kemudian dapat ditemui di
hampir seluruh daerah Nusantara.
Ihwal kepercayaan adanya kekuatan magis pada keris setidaknya dapat ditelusuri sejak
masa Kerajaan Singasari. Ditandai dengan keberadaan keris Empu Gandring yang digunakan
Ken Arok untuk merebut Ken Dedes dari Tunggul Ametung.
Dalam naskah Pararaton diceritakan, Ken Arok memesan keris kepada Empu Gandring,
yang menjanjikan keris ampuh untuk membunuh Tunggul Ametung dalam waktu satu tahun.
Akan tetapi, belum sampai satu tahun, Ken Arok tidak sabar. Ia merebut keris yang belum
sempurna dan kemudian menusukkannya ke dada Empu Gandring hingga tewas.
Sebelum mati, dalam kondisi sekarat, Empu Gandring mengutuk keris tersebut nantinya
akan membunuh tujuh turunan raja Singasari. Keris ini akhirnya benar-benar menewaskan tujuh
raja Singasari, termasuk Ken Arok sendiri. Dari situ, keris kemudian dipercaya sebagai senjata
pusaka yang memiliki daya magis dan kemudian memasuki ranah sosial yang kompleks.
Dalam perkembangan selanjutnya, aspek mistik ini menjadi salah satu hal terpenting
pada keris, yang membuat keris mempunyai tempat demikian penting di dalam tradisi, secara
khusus di Jawa. Seorang empu juga mempunyai kedudukan tersendiri di dalam masyarakat,
sebab dianggap orang linuwih (sakti). Berdasarkan keyakinan seperti itu pula keris pusaka sering
diberi nama bahkan gelar, seperti ‘kyai’ dan ‘nyai’.
Raja-raja Jawa menggunakan keris sebagai basis legitimasi kekuasaannya secara esoteris.
Bahkan, seorang raja baru dipandang sah oleh rakyatnya ketika raja mengenakan salah satu keris
pusaka kerajaan pada saat penobatannya. Keraton Jawa mempunyai tradisi atas sebuah keris
pusaka, yang akan diberikan oleh raja pendahulunya kepada raja baru yang akan naik tahta.
Sir Thomas Stamford Raffles, dalam bukunya The History of Java, mengatakan senjata
keris mendapat kedudukan istimewa bagi prajurit Jawa. Mereka umumnya menyandang tiga
buah keris sekaligus. Raffles juga mengatakan tentang kebiasan Raja Yogyakarta yang
menghadiahi seseorang abdi dalem-nya saat naik pangkat dengan sebilah.
Unggul Sudrajat dan Dony Satryo Wibowo dalam buku Keris, menyebutkan, seiring
waktu tradisi keris dalam kehidupan Jawa bahkan masuk hingga ke dalam sebuah ikatan
perkawinan. Jika seseorang menikahi seorang perempuan Jawa, maka ayah pengantin wanita
akan memberikan sebuah keris sebagai pengikat tali keluarga, yang biasa disebut dengan keris
kancing gelung atau cundhuk ukel. Keris itu menjadi simbol penyerahan tanggung jawab dari
sang ayah mertua kepada menantu yang untuk selanjutnya berkewajiban menjaga puterinya
tersebut. Bahkan, keris dapat menggantikan sosok pengantin pria dalam upacara perkawinan.
Adanya pemaknaan keris sebagai benda pusaka yang memiliki daya kekuatan
supranatural membuatnya juga dimanfaatkan untuk media penyembuhan penyakit, membantu
proses kelahiran bayi, mengusir setan, menjaga keselamatan rumah tangga dan mendatangkan
hujan. Seturut berjalannya waktu dan dinamika masyarakat yang terus berubah, fungsi keris
terus mengalami perkembangan. Dewasa ini, keris lebih dominan sebagai kelengkapan sarana
upacara, atribut busana adat, dan cenderamata (souvenir). Lebih dari itu, sebagai benda pusaka,
saat ini keris juga mewujud sebagai barang koleksi para kolektor. Peminatnya pun tidak sedikit
di Indonesia. Hal ini diketahui dari adanya berbagai komunitas pecinta keris di berbagai daerah.
Juga dari sering diadakannya acara pameran keris, seperti Pameran Tosan Aji di Gedung
Monodhuis, Kota Lama, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (23/8/2023).
Keris yang semakin langka, berusia tua, dan memiliki sejarah akan menjadi buruan
kolektor. Keris seperti itu memiliki nilai ekonomi relatif tinggi, bisa mencapai ratusan juta
bahkan miliaran rupiah. Sehingga ada pula yang menjadikannya sebagai barang investasi.
Menariknya, ada perlakuan atau etika khusus pecinta keris terhadap keris saat membeli dan
menjualnya. Pemindahan kepemilikan keris biasa disebut dengan perjodohan keris, sebab istilah
jual-beli dihindari. Bila orang ingin membeli keris dari orang lain, ia akan menyatakan hasratnya
untuk membeli dengan mengatakan ingin melamar keris tersebut. Adapun harganya, umumnya
disebut mas kawin. Hal itu berasal dari keyakinan bahwa keris bukan sekedar bilah senjata
profan yang dapat diperlakukan seenaknya. Penggunaan istilah perjodohan juga merupakan
bentuk kepercayaan bahwa tidak sembarang keris dapat cocok dengan seseorang.