Anda di halaman 1dari 1

Pasikutan, tangguh keris, dan perkembangan pada masa kini

Dataran Keris di Melaka, Malaysia.

Yang dimaksud dengan pasikutan adalah "roman" atau kesan emosi yang dibangkitkan oleh
wujud suatu keris. Biasanya, personifikasi disematkan pada suatu keris, misalnya suatu keris
tampak seperti "bungkuk", "tidak bersemangat", "riang", "tidak seimbang", dan sebagainya[17].
Kemampuan menengarai pasikutan merupakan tahap lanjut dalam mendalami ilmu
perkerisan dan membawa seseorang pada panangguhan keris.
Langgam/gaya pembuatan suatu keris dipengaruhi oleh zaman, tempat tinggal dan selera
empu yang membuatnya. Dalam istilah perkerisan Jawa, langgam keris menurut waktu dan
tempat ini diistilahkan sebagai tangguh. Tangguh dapat juga diartikan sebagai "perkiraan",
maksudnya adalah perkiraan suatu keris mengikuti gaya suatu zaman atau tempat tertentu.
"Penangguhan" keris pada umumnya dilakukan terhadap keris-keris pusaka, meskipun keris-
keris baru dapat juga dibuat mengikuti tangguh tertentu, tergantung keinginan pemilik keris
atau empunya.
Tangguh keris tidak bersifat mutlak karena deskripsi setiap tangguh pun dapat bersifat
tumpang tindih. Selain itu, pustaka-pustaka lama tidak memiliki kesepakatan mengenai
empu-empu yang dimasukkan ke dalam suatu tangguh. Hal ini disebabkan tradisi lisan yang
sebelum abad ke-20 dipakai dalam ilmu padhuwungan.
Meskipun tangguh tidak identik dengan umur, tangguh keris (Jawa) yang tertua yang dapat
dijumpai saat ini adalah tangguh Buda (atau keris Buda). Keris modern pusaka tertua
dianggap berasal dari tangguh Pajajaran, yaitu dari periode ketika sebagian Jawa Tengah
masih di bawah pengaruh Kerajaan Galuh. Keris pusaka termuda adalah dari masa
pemerintahan Pakubuwana X (berakhir 1939). Selanjutnya, kualitas pembuatan keris terus
merosot, bahkan di Surakarta pada dekade 1940-an tidak ada satu pun pandai keris yang
bertahan [18].
Kebangkitan seni kriya keris di Surakarta dimulai pada tahun 1970, dibidani oleh
K.R.T. Hardjonagoro (Go Tik Swan) dan didukung oleh Sudiono Humardani[18], melalui
perkumpulan Bawa Rasa Tosan Aji. Perlahan-lahan kegiatan pandai keris bangkit kembali
dan akhirnya ilmu perkerisan juga menjadi satu program studi pada Sekolah Tinggi Seni
Indonesia Surakarta (sekarang ISI Surakarta).
Keris-keris yang dibuat oleh para pandai keris sekarang dikenal sebagai keris
kamardikan ("keris kemerdekaan"). Periode ini melahirkan beberapa pandai keris kenamaan
dari Solo[18] seperti KRT. Supawijaya (Solo), Pauzan Pusposukadgo (Solo), tim pandai keris
STSI Surakarta, Harjosuwarno (bekerja pada studio milik KRT Hardjonagoro di Solo),
Suparman Wignyosukadgo (Solo)[19].

Anda mungkin juga menyukai