Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejarah berdirinya Keraton Surakarta tidak terlepas dari Kerajaan Mataram. Kerajaan

tersebut didirikan oleh Panembahan Senapati pada tahun 1575 dan menjadi Sultan Pertama.

Kerajaan Mataram berkembang hingga mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan

Agung pada tahun 1613-1645. Namun pada tahun 1755 Kerajaan Mataram pecah menjadi 2

dan terbentuk Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Baik Kasultanan Yogyakarta

dan Kasunanan Surakarta memiliki ciri khas budaya masing-masing, seperti gaya bangunan,

gaya busana jawa, gamelan, dan keris.

Berbagai predikat disandang Kota Surakarta, seperti diantaranya Kota Batik dan Kota

Budaya. Sebagai Kota Budaya, Surakarta menjadi salah satu pusat kebudayaan Jawa dengan

keberadaan Kasunanan Surakarta yang sampai saat ini masih tetap lestari. Sebagai kota

budaya, Surakarta mempunyai benda-benda bersejarah yang merupakan warisan budaya yang

bernilai tinggi salah satunya adalah keris. Hal tersebut dibuktikan dengan pengakuan dunia

melalui UNESCO, PBB sebagai Masterpiece of The Oral and Intangible Heritage of Humanity

pada tahun 2005.

Sejak berabad-abad yang lampau, di seluruh Nusantara telah mengenal senjata

tradisional. Kehadiran senjata tradisional tersebut, antara lain dapat diketahui dari prasasti-

prasasti, dalam relief candi, cerita babad, misalnya serat Pararaton (Soekiman, 1983). Salah

satu dari senjata tradisional yang dikenal di Nusantara adalah keris. Senjata-senjata tradisional

yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara tersebut, secara umum hampir memiliki

persamaan-persamaan baik bentuk, nama serta fungsi. Salah satu senjata tradisional yang

tersebar di Nusantara yang memiliki kesamaan baik bentuk dan fungsi adalah keris.
Keris merupakan salah satu senjata adat suku-suku bangsa di Nusantara yang

merupakan senjata penusuk jarak pendek yang dikenal dan dipakai oleh sebagian masyarakat

di Asia Tenggara. Keris merupakan senjata penusuk yang dimuliakan, dihormati bahkan

dianggap keramat. Tidak hanya suku bangsa di Indonesia, bangsa lain di sebagian Asia

Tenggara juga mengenal dan memakainya. Misalnya saja bangsa Malaysia, Brunei, Sabah,

Thailand, Kamboja, Laos, Filipina Selatan (Jensen, 1998: 5 -7).

Masing-masing daerah atau suku bangsa di Indonesia memiliki istilah tersendiri dalam

menyebut senjata keris. Di Jawa, keris disebut dhuwung, curiga yang berarti tajam

(Harumbinang, 1985: 1) atau wankingan (wingking atau belakang). Dinamakan demikian karena

keris dikenakan pada bagian belakang badan, di Minangkabau disebut kerieh, di Lampung

disebut terapang, dan punduk, sedangkan di Sulawesi disebut sale atau kreh, di Bali disebut

kadutan, dan di Filipina disebut dengan nama sundang (Argawa, 1994: 4). Nama keris sendiri

diserap dari bahasa Sansekerta dari kata curiga menjadi curika yang artinya keris atau pisau

(Mardiwasito, 1988: 142).

Istilah keris sebagai benda budaya untuk pertama kali muncul di Jawa sekitar abad ke-6

sampai ke-7 Masehi. Hal itu, diketahui dari bukti-bukti yang ditunjukkan dalam prasasti dan

relief candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam beberapa prasasti kuno yang dibuat dari

lempengan perunggu bertulis yang ditemukan di Karengtengah, berangka tahun 748 Ç (842 M),

menyebut beberapa jenis sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak. Sesaji itu

antara lain berupa kres (keris), wangkiul (sejenis tombak), tewek punuka (senjata bermata

dua/dwisula), dan wesi penghatap (Harsrinuksmo, 2004: 24).

Keberadaan keris juga ditemukan pada relief yang terdapat di Candi Borobudur. Relief

tersebut menggambarkan beberapa orang prajurit yang membawa senjata tajam yang serupa

dengan keris yang ada sekarang. Relief lain yang membuktikan keberadaan keris terdapat di

Candi Panataran (1347 SM). Relief tersebut menggambarkan tokoh-tokoh yang memegang
keris, sehingga dulu keris digunakan sebagai senjata tikam. Selain itu, terdapat patung raksasa

kala yang menyandang keris pendek.

Selain itu, bukti yang paling jelas mengenai cara pembuatan keris dapat disaksikan di

Candi Sukuh yang menceritakan mengenai cara pembuatan keris. Relief pada candi tersebut

tergambar dua orang laki-laki (yang mengenakan perhiasan kepala yang cukup Raya) yang

sedang bekerjasama membuat keris (Sektiadi, 2008). Hal tersebut menunjukkan tidak jauh

berbeda dengan cara pembuatan keris pada zaman sekarang, baik peralatan kerja, palu dan

ububan, maupun hasil karyanya yakni berupa keris, tombak, kudi dan lain sebagainya

(Harsrinuksmo, 2004: 26).

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam ceritra, babad ataupun sejarah modern, keris

banyak berfungsi sebagai objek sejarah dan bahkan keris kadang-kadang dapat menjadi

benda penentu sejarah (Surono, 1979: 2). Seperti dalam cerita rakyat tentang Arya

Penangsang yang berperang melawan Danang Sutawijaya. Arya Penangsang seharusnya

mampu membunuh Danang Sutawijaya, tetapi keris yang Arya Penangsang hunus, yaitu keris

Kyai Setan Kober justru mengiris ususnya sendiri. Arya Penangsang akhirnya tewas seketika

(Hasrinuksmo, 2004: 74).

Hal tersebut, juga berpengaruh terhadap kegunaan dan fungsi keris sendiri. Dalam

perkembangannya, benda-benda tajam termasuk juga keris tidak hanya berfungsi secara teknik

saja, tetapi juga berfungsi sebagai peralatan sosio-religi, sebagai penunjuk status sosial serta

sebagai peralatan dan pelengkap baik dalam berbagai upacara maupun dalam kegiatan

keagamaan (Yudha, 2007: 26), misalnya dalam upacara perkawinan dan upacara adat bersih

desa, terlihat penggunaan keris sebagai pelengkap busana adat.

Keris tidak hanya sebagai senjata penusuk, tetapi juga merupakan benda yang

berfungsi sebagai senjata yang dianggap mempunyai daya magis, benda pusaka, benda

kehormatan, benda sejarah, benda komoditi perdagangan, sebagai simbol pengkawinan antara

bapak angkasa (bahan pamor berupa nikel dan titanium) dengan ibu pertiwi (bahan pamor besi)
(Pamungkas, 2007: 22-23), tanda kehormatan sebagai peyerahan kekuasaan dari raja kepada

pangeran di Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat (Sujito, 2007: 31), pelengkap upacara, dan

pelengkap busana (Solyom, 1978: 12). Maka dari itu, keris dianggap sebagai budaya adiluhung

bangsa Indonesia.

Perkembangan keris di Nusantara dapat dikatakan cukup lama (keris sebagai senjata

telah berkembang sejak dahulu di seluruh Nusantara), demikian pula keberadaan para empu

telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Hindu, Kahuripan, Singosari, Majapahit, Kesultanan

Demak, Kesultanan Pajang (abad ke-8 sampai 16 M), kemudian dilanjutkan pada zaman

Mataram Islam, Kesultanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta (abad ke-16 sampai 18 M).

Perkembangan keris tidak berhenti pada abad ke-18 saja, melainkan hingga masa

sekarang produksi pembuatan keris masih dapat diketahui di beberapa wilayah di Indonesia,

misalnya di daerah Yogyakarta (Girirejo, Imogiri, Bantul dan Moyudan, Sleman), Surakarta

(Solo) dan di Sumenep, Madura. Pembuatan keris di tempat-tempat tersebut di atas dapat

dibedakan dari segi gaya dan variasi bentuk yang dibuat.

Keris adalah benda seni yang meliputi seni tempa, seni ukir, seni pahat, seni bentuk,

serta seni perlambang (Harsrinuksmo, 2004:10). Keris terdiri dari bilah, warangka, jejeran,

mendhak, pendhok. Semua itu menjadi satu kesatuan, Proses pembuatan keris pada zaman

sekarang tidak jauh berbeda dengan pembuatan keris pada masa-masa sebelumnya. Aspek

yang mengalami perubahan adalah fungsi dari keris tersebut. Pada masa lalu keris berfungsi

sebagai senjata tajam, sedangkan sekarang keris sebagai benda seni.

Keris sebagai benda seni lebih mengutamakan segi keindahan pembuatannya, misalnya

memahat dan mengukir permukaan bilah keris dengan motif tertentu sehingga membentuk

gambar timbul, tidak hanya yang dilapisi dengan emas (tinatah/kinatah emas) (Hasrinuksmo,

2004: 13), dan pemberian batu permata dan inten pada mendhak. Hal tersebut menunjukkan

bahwa keris, merupakan sebuah benda seni adi luhung bangsa Indonesia.
Sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat, bentuk bilah keris juga mengalami

perubahan mengikuti kemajuan zaman. Bentuk bilah yang semula relatif gemuk, pendek, dan

tebal, secara berangsur-angsur menjadi lebih tipis, lebih langsing, lebih panjang, dan dengan

sendirinya semakin lama semakin menjadi lebih indah. Meskipun dari segi bentuk dan

pemilihan bahan baku, keris selalu mengalami perkembangan, dan perubahan pola pokok cara

pembuatannya hampir tidak pernah berubah. Pada dasarnya proses pembuatan keris adalah;

membersihkan logam besi yang akan digunakan, mempersatukan besi dan pamor, kemudian

membuat bentuk sehingga disebut keris (Hasrinuksmo, 2004: 10).

Keris sebagai warisan budaya di dalamnya mengandung aspek sejarah, aspek

fungsional, aspek tradisi, aspek filosofis, aspek simbolisme, aspek seni dan teknologi. Keris

merupakan suatu karya Adiluhung bangsa Indonesia yang penuh tata nilai dan turut

membentuk identitas dan karakter masyarakat Indonesia. Keris menjadi salah satu pedoman

berperilaku individual, sosial (bermasyarakat), bernegara dan ber ke Tuhanan. Nilai-nilai dunia

perkeris turut berperan membentuk mentalitas masyarakat bangsa Indonesia yang berkarakter

budaya.

Keberadaan keris cukup dalam mewarnai budaya bangsa Indonesia telah selayaknya

menjadi tanggung jawab seluruh rakyat bangsa Indonesia untuk turut berperan melestarikannya

secara utuh. Keris sebagai karya budaya nenek moyang bangsa Indonesia yang demikian lekat

dengan alam pikir dan kehidupan masyarakat Indonesia kini telah terpinggirkan. Tata nilai

dalam dunia perkerisan sering kali dipandang dari satu sisi saja dan tidak secara utuh, sehingga

terjadi pembiasan pemahaman. Pengetahuan dan informasi tentang keris telah selayaknya

dibuka lebar-lebar agar masyarakat dapat memahami sebagaimana mestinya dan tidak terjebak

dalam pemahaman yang bias.

Keris memiliki banyak filosofi yang masih erat dalam kaitannya dengan kehidupan

masyarakat Jawa. Keris atau dalam bahasa Jawa disebut tosan aji, merupakan penggalan dari

kata tosan yang berarti besi dan aji berarti memiliki nilai yang tinggi atau utama, jadi keris
merupakan perwujudan yang berupa campuran dan berbagai materi khusus yang diyakini

bahwa kandungannya memiliki makna yang bernilai utama. Makna filosofis yang terkandung

dalam sebuah keris sebenarnya bisa dilihat mulai dari proses pembuatan hingga menjadi

sebuah pusaka bagi pemiliknya.

Dalam budaya Jawa tradisional, masyarakat meyakini bahwa sebuah benda matipun

dibuat dari materi yang dulunya berasal dari benda hidup sehingga benda tersebut harus dijaga

dan dirawat dengan baik, termasuk keris atau senjata pusaka yang lainnya. Perawatan berkala

seperti jamasan (pencucian) pusaka harus dilakukan agar pusaka menjadi awet dan bersih.

Keris secara utuh memiliki makna filosofis yang menyiratkan hubungan horisontal dan

hubungan vertikal (mikrokosmos dan makrokosmos). Begitu pula hubungan penempatan keris

dengan arsitektural jawa. Kepercayaan akan kekuatan alam semesta, masyarakat jawa percaya

pada keseimbangan dunia yang terbagi dalam mikrokosmos dan makrokosmos. Tanpa adanya

keseimbangan maka kehidupan ini tidak akan bahagia. Masyarakat jawa berpandangan bahwa

dalam kehidupan ini peranan mereka sebagai bagian dari mikrokosmos haruslah

memperhatikan alam sebagai bagian mikrokosmos haruslah memperhatikan alam sebagai

bagian dari makrokosmos. Keris pada arsitektur rumah Jawa ditempatkan pada posisi tengah,

karena keris merupakan perlambang pusaka atau kekuatan yang di dalamnya bisa melindungi

orang yang berada dilingkungan pemiliknya. Selain itu, keris juga salah satu benda yang

istimewa dan layak untuk disimpan di tempat yang istimewa. Bagian keris menjadi satu

kesatuan yang menyiratkan hubungan horisontal. Sedangkan keris dengan pemiliknya

menyiratkan hubungan vertikal. Sehingga keris dan pemilik dapat dikatakan sebagai

perwujudan manunggaling kawula lan gusti.

Dalam upaya pelestarian warisan budaya Indonesia, Museum Keris Nusantara memiliki

peran sebagai tempat untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan

mengkomunikasikannya kepada masyarakat. Museum juga berkewajiban untuk mengelola bukti

material hasil budaya yang memiliki nilai penting dari berbagai aspek untuk nantinya
dikomunikasikan dan dipamerkan kepada masyarakat umum melalui pameran museum. Salah

satunya adalah dengan melakukan kajian koleksi Museum Keris Nusantara.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari kajian koleksi Museum Keris Nusantara adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kondisi fisik keris

2. Mengetahui sejarah pembuatan keris

3. Mengetahui sejarah penyebaran keris di Museum Keris Nusantara Kota Surakarta

1.3. Metodologi

a. Pendekatan Penelitian

Pekerjaan penyusunan Kajian Koleksi Museum Keris Nusantara adalah dengan

pendekatan deskriptif kualitatif. Dengan pertimbangan bahwa data yang dikumpulkan

lebih banyak bersifat deskriptif dan perlu interpretasi mendalam.

b. Jenis Data

1) Data primer

Data primer yang berasal dari identifikasi potensi yang ada serta hasil

penyebaran kuesioner serta wawancara kepada beberapa komunitas pecinta keris

dan pelaku atau pembuat keris yang ada di Kota Surakarta.

2) Data sekunder

Data sekunder yang berasal dari studi dokumentasi, literatur, browsing melalui

internet dan arsip dari instansi yang terkait dengan kajian tersebut.

 Studi dokumentasi

Studi dokumentasi atau biasa disebut dengan kajian dokumen merupakan teknik

pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian

dalam rangka memperoleh informasi terkait objek penelitian. Dalam studi

dokumentasi peneliti biasanya melakukan penelusuran data historis objek


penelitian serta melihat sejauh mana proses yang berjalan telah

terdokumentasikan dengan baik.

 Literatur

Studi literatur adalah mecari referensi teori yang relefan dengan kasus atau

permasalahan yang ditemukan. Referensi ini dapat dicari dari buku, jurnal,

artikel, laporan penelitian serta situs-situs di internet. Output dari studi literatur ini

adalah terkoleksinya referensi yang relefan dengan perumusan masalah.

Tujuannya adalah untuk memperkuat permasalahan serta sebagai dasar teori

dalam melakukan studi kajian keris.

c. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan Data yang dilakukan untuk kajian ini adalah sebagai berikut :

1) Observasi

Observasi dilakukan melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian, yaitu di

Kota Surakarta. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh data mengenai sejauh

mana kondisi fisik keris koleksi Museum Keris Nusantara Kota Surakarta. Selain itu,

juga dilakukan pendokumentasian mengenai kondisi keris tersebut serta berbagai

hal yang berkaitan dengan sejarah dan penyebaran keris koleksi Museum Keris

Nusantara Kota Surakarta

2) Wawancara

Wawancara dilakukan untuk menambah informasi atau data yang sudah

diperoleh sebelumnya melalui proses observasi. Wawancara sendiri merupakan

suatu proses interaksi dan komunikasi antara peneliti dengan informan dalam
pengumpulan data. Dari hasil wawancara tersebut dapat diperoleh gambaran

mengenai keadaan ataupun kondisi daerah penelitian tersebut.

Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth

interview), terhadap narasumber yang berkompeten, misalnya empu, pengrajin

keris, dan pemerhati tosan aji. Wawancara dilakukan secara langsung kepada

sumber-sumber yang mengetahui mengenai sejarah pembuatan keris secara

tradisional serta sejarah penyebaran keris.

Selain wawancara langsung dengan narasumber yang mengetahui tentang

pembuatan keris, dalam penelitian ini juga dipersiapkan daftar pertanyaan yang

dapat dibagikan ke beberapa narasumber yang berkompeten untuk menjawabnya.

Dari hasil jawaban yang terkumpul dianalisis, kemudian dibuat kesimpulan mengenai

informasi yang diperoleh dari jawaban yang diberikan tersebut sebelumnya.

d. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada kegiatan ini adalah teknik analisis kualitatif

sesuai dengan pendekatannya. Analisis data dilakukan setelah data yang terkumpul

diperoleh dari observasi, baik wawancara maupun studi pustaka. Kemudian data yang

sudah terkumpul tersebut dapat memberikan penjelasan mengenai kondisi fisik keris,

sejarah pembuatan keris serta sejarah penyebaran keris di Museum Keris Nusantara

Kota Surakarta.

Untuk menganalisis data-data yang sudah terkumpul digunakan analisis diakronis.

Analisis dilakukan untuk mengetahui perjalanan historis atau sejarah yang terjadi dari

waktu ke waktu, sehingga dapat memaksimalkan data yang diperoleh pada masa

sekarang (Sukesti, 2009:2).


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Kebijakan
2.1.1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
a. Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
1. Pasal 1 ayat 1, “Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,

pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi

dalam jangka waktu sementara”

2. Pasal 1 ayat 3, “Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung

berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,

Pemerintah, dan Pemerintah Daerah”

3. Pasal 1 ayat 4, “Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan

pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud

kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat

setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha”.

4. Pasal 1 ayat 5, “Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,

keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil

buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan”

5. Pasal 1 ayat, “10 Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi

utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang

mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan
ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung

lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan”.

Jadi dari ketentuan umum tersebut sangat jelas sekali bahwa Museum Keris Nusantara

Kota Surakarta merupakan tempat wisata yang memiliki keunikan daya tarik wisata melalui

Koleksinya yang didukung juga oleh Pemerintah Daerah serta stakeholder yang nantinya

berhubungan erat dengan pengembangan Kawasan stategis pariwisata di Kota Surakarta.

b. Bab II Asas, Fungsi dan Tujuan Pasal 2, menyebutkan bahwa kepariwisataan

diselenggarakan berdasarkan asas. Asas yang mendasari berdirinya Museum Keris

Nusantara Kota Surakarta adalah asas manfaat, kelestarian, berkelanjutan, kesataraan dan

kesatuan.

c. Bab VII Hak, Kewajiban dan Larangan bagian kedua Kewajiban pasal 23 poin C

disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban “memelihara,

mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya Tarik wisata dan

asset potensial yang belum tergali”. Dijelaskan bahwa peran pemerintah daerah untuk

memelihara, mengembangkan dan melestarikan sudah sangat jelas, dalam hal ini

Pemerintah Daerah Kota Surakarta yaitu dengan mendirikan Museum Keris Nusantara Kota

Surakarta. Selain itu, pada pasal 26 juga disampaikan mengenai kewajiban setiap

pengusaha pariwisata yang salah satunya adalah “memberikan informasi yang akurat dan

bertanggungjawab”. Harapannya hasil kajian ini nantinya dapat memberikan informasi yang

akurat dan bertanggungjawab.

d. Bab VIII Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah Pasal 32 ayat 1, “Pemerintah

dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan dan penyebarluasan informasi kepada

masyarakat untuk kepentingan pengembangan kepariwisataan”.

2.1.2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-

undang Republik Indonesia Nomor: 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


Dijabarkan dalam lampiran Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah, pembagian urusan pemerintahan konkruen antara pemerintah

pusat dan Daerah Povinsi dan Daerah Kabupaten/Kota pada kolom V. Pembagian urusan

Pemerintahan Bidang Kebudayaan terkait wewenang daerah kabupaten/Kota terkait dengan

Permuseuman adalah “Pengelolaan Museum Kabupaten/Kota”. Dalam hal ini dijelaskan

mengenai pembagian pengelolaan museum ditingkat kabupaten/kota.

2.1.3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Rencana

Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025

a. Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 8,”Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang

memiliki keunikan, keindahan,dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam,

budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisata.”

Koleksi keris di Museum Keris Nusantara Kota Surakarta menjadi salah satu daya tarik

wisata Indonesia. Karena koleksi yang berada di museum ini memiliki keunikan dan

keindahan yang tidak ada duanya. Keris-keris tersebut merupakan tinggalan kebudayaan

yang tak ternilai harganya dan merupakan hasil karya buatan manusia, dalam hal ini ahli

besi (pande besi) atau empu keris.

2.1.4. Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 Tentang

Pendaftaran Usaha Pariwisata

a. Bab I Ketentuan Umum Pasal 2,”Usaha daya Tarik Wisata adalah usaha pengelolaan

daya Tarik wisata alam, daya Tarik wisata budaya, dan/atau daya Tarik wisata/binaan

manusia”.

b. pasal 6,”usaha pengelolaan Museum adalah usaha penyediaan tempat dan fasilitas,

serta kegiatan pameran cagar budaya, benda seni,koleksi dan/atau replica yang memiliki

fungsi edukasi, rekreasi dan riset untuk mendukung pengembangan pariwisata dengan

memperhatikan nilai pelestarian, dengan tujuan untuk memnperoleh keuntungan”.


c. Bab II usaha Pariwisata bagian kedua Pasal 7 poin D tentang bidang usaha daya Tarik

Wisata salah satunya adalah “Pengelolaan museum”

2.1.5. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 28

Tahun 2014 Tentang Standar Usaha Jasa Penyelenggaraan Pertemuan, Perjalanan

Insentif, Konferensi, dan Pameran

Dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonnomi Kreatif Republik Indonesia Nomor

28 Tahun 2014 Tentang Standar Usaha Jasa Penyelenggaraan Pertemuan, Perkalanan

Insentif, Konferensi, dan Pameran tidak dijabarkan secara khusus terkait dengan museum dan

cagar budaya. Lebih banyak menjelaskan mengenai standar usaha jasa penyelenggaraan

pertemuan,perjalanan insentif, konferensi, dan pameran.

2.1.6. Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 Tentang

Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan

Dalam peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia No 14 tahun 2016 tentang

Pedoman Destinasi pariwisata Berkelanjutan juga dijelaskan mengenai Daya Tarik Wisata.

Dimana daya Tarik wisata yang memiliki nilai-nilaki luhur harus senantiasa dilestarikan untuk

meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan kebanggaan nasional,

memperkokoh persatuan bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai arah

kehidupan bangsa.

Pemerintah daerah dalam membuat pedoman daya Tarik wisata harus sesuai dengan

indicator United nation World Tourism Organization (UNWTO) dan mendapatkan pengakuan

dari Global Sustainable Tourism Council (GSTC), sehingga harapannya dapat mensinergikan,

memperkuat tradisi dan kearifan local masyarakat yang multicultural dalam mengelola daya

tarik lingkungan alam dan budaya di destinasi pariwisata secara terpadu dan berkelanjutan.

Karena daya tarik wisata terutama Museum Keris Nusantara kota Surakarta memiliki keunikan,

keindahan, nilai budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan

kunjungan wisatawan.
2.1.7. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 Tahun 2016 tentang Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kota Surakarta Tahun 2016-2026

Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 tahun 2016 tentang Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Tahun 2016-2026.

1, Museum Keris Nusantara termasuk kedalam Kawasan Strategis Pariwisata Daerah

Sriwedari, termasuk didalamnya Museum Radya Pustaka - Museum Ndalem wuryaningratan -

Loji Gandrung_ Museum PON 1 Stadion Sriwedari – Jalan bhayangkara – Taman Sriwedari.

Kawasan Pariwisata Strategis daerah adalah (KSPD) adalah Kawasan yang memiliki fungsi

utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata Daerah yang

mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi,

sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta

pertahanan dan keamanan.

2.2. Tinjauan Konseptual

2.2.1. Sejarah Perkembangan Keris

Sudah menjadi kenyataan bahwa karya tosan aji yang paling menonjol adalah keris

yang merupakan senjata penusuk pendek yang terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian bilah

dan ganja yang melambangkan lingga dan yoni. Dalam falsafah jawa yang memiliki akar kuat

pada falsafah agama Hindu, persatuan lingga dan yoni merupakan perlambang harapan atas

kesuburan, keabadian (kelestarian) dan kekuatan (Hasrinuksmo, 2008; 8-10). Keris juga dapat

diartikan sebagai senjata tikam yang bentuknya indah, asimetris (baik lurus maupun luk), dan

terbuat dari dua, tiga, atau beberapa macam logam yang ditempa menjadi satu (Haryoguritno,

2006; 26). Data prasasti membuktikan bahwa pndai wsi (pandai besi) sudah ada di abad X

(Jones, 1984; 50), bukti-bukti penggunaan senjata terbuat dari logam pada candi-candi abad

VIII-IX tentunya dapat menjadi asumsi bahwa para pande pada abad X sudah sangat terampil

membuat senjata-senjata yang menjadi cikal bakal dari keris yang kita kenal sekarang.
Keris sebagai salah satu karya budaya masyarakat Nusantara dalam bidang teknologi

tempa logam, tentunya memiliki keberagaman corak yang diperkirakan mulai berkembang pada

abad VI atau VII. G.B. Gardner dalam Hasrinuksmo menyatakan bahwa keris adalah

perkembangan bentuk dari senjata tikam masa prasejarah, sedangkan A.J. Barnet Kempers

menduga prototype keris merupakan perkembangan bentuk dari senjata penusuk pada zaman

perunggu (Hasrinuksmo, 2008;27). Ma Huan mencatat bahwa keris mencapai puncaknya pada

masa Kerajaan Majapahit. Pada waktu itu kemampuan membuat keris telah menyebar sampai

Palembang, Riau, Semenanjung Malaya, Brunai Darussalam, Filipina Selatan, Kamboja,

Campa, bahkan sampai ke Surathani dan Pathani di Thailand bagian selatan (Hasrinuksmo,

2008; 27). Dijelaskan oleh Ma Huan dalam laporannya bahwa di Jawa setiap laki-laki sejak

umur 3 tahun sampai dengan orang tua, baik orang kebanyakan atau berada, mengenakan

keris yang pegangannya diukir indah, terbuat dari emas, cula badak, atau gading gajah. Apabila

mereka bertengkar, maka dengan cepat masing-masing telah siap dengan kerisnya (Direktorat

Peninggalan Purbakala, 2006; 30).

Lebih lanjut mengenai perkembangan keris, Ma Huan memberikan keterangan bahwa

setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran diberbagai bidang, kebudayaan tetap

bertahan pada era selanjutnya. Contohnya unsur arsitektural bentuk atap tumpang, seni ukir

sulur-suluran, tumbuhan melata (kalpatala), penataan halaman istana menjadi tiga, termasuk

pembuatan senjata jenis keris yang semakin anggun bentuknya (Direktorat Peninggalan

Purbakala, 2006; 33). Jenis kerispun semakin berkembang dan menyebar ke berbagai daerah

di Nusantara pada masa Demak, Mataram, dan masa-masa berikutnya.

Sebagai karya budaya bersifat material, keris dapat dipandang sebagai objektivitas ide,

nilai, norma, peraturan, maupun perilaku masyarakat yang diwujudkan ke dalam bentuk

tertentu. Hal ini, mencerminkan budaya masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, wujud

keris di suatu daerah akan berbeda dengan wujud keris yang dihasilkan di daerah lain.

Perbedaan tersebut tidak secara kebetulan semata, akan tetapi memiliki latar belakang
pemikiran yang menghasilkan karakteristik khusus menurut kebutuhan budayanya. Hal ini,

dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti letak geografis, kepercayaan adat-istiadat, tatanan

sosial, gaya hidup, dan kepercayaan, serta tentunya dipengaruhi pula oleh masa atau waktu

ketika keris itu dibuat (tangguh). Keris yang memiliki jenis dan kegunaan yang sama sekalipun

akan menampilkan citra bentuk yang berbeda, hal ini merupakan pencitraan identitas dari

daerah masing-masing (Neka dan Yuwono, 2010: 28-30).

Kata kris berate “menghunus” (Haryoguritno, 2006: 30). Senada dengan pendapat

tersebut, kusni memberikan penjelasan bahwa istilah keris sebagai artefak berasal dari

gabungan dua suku kata, yaitu ke dari asal kata “kekeran” dan ris dari asal kata “aris”. Arti kata

“kekeran” sendiri memiliki arti “pagar, penghalang, peringatan, atau pengendalian”, sedangkan

“aris” mempunyai arti “tenang, lambat, atau halus” (Kusni 1979: 108). Munculnya istilah keris ini

diperkirakan bermuara dari bahasa Jawa Ngoko yang terbentuk melalui proses jarwadosok .

Dalam pemahaman ini terlihat bahwa keris sebagai senjata tajam yang kategorinya termasuk

‘piranti’ untuk kekerasan, pengertiannya kemudain diperhalus melalui olah kata seperti itu.

Tersimpan harapan di dalam penghalusan itu bahwa keris dapat berfungsi untuk melindungi

pemiliknya dari ancaman yang bersifat fisik ataupun nonfisik (Arifin, 2006:15: Lumintu,

2002:10). Sebagai pelindung itu pengameng-ameng, keris juga diharapkan dapat berperan

sebagai penolak bala (Jiwa, 2007:23).

Zoetmoelder dan Robson, dalam bukunya “Kamus Jawa Kuno-Indonesia Jilid I”

memberikan pengertian berikut bahwa kata “aris” atau “haris” berarti kelakuan atau tindak-

tanduk yang tenang, sabar, lemah lembut, halus. Ia mencontohkan istilah anharis, inaris,

anharis-haris yang artinya mengerjakan sesuatu dengan hati-hati, memperlakukan sesorang

dengan hati-hati (baik hati, dengan lemah lembut), dengan mesra, dan kasih sayang. Kebalikan

dari aris atau haris adalah tan haris atau tan aris yang artinya keras, kasar, bengis, sengit, dan

galak (1997:340). Istilah pendukung lainnya dijumpai dalam istilah akris artinya menggunakan

keris yang anris, kinkris, silih keris yang artinya menusuk dengan menggunakan keris
(1997:520). Akan tetapi G.P.H Hadiwidjojo berpendapat bahwa kata keris yang berasal dari

bahasa jawa kuno sebenarnya tumbuh dari akar kata kres dalam bahasa Sansekerta (1950).

Istilah keris juga dijumpai pada prasasti-prasasti kuno sebagai sumber data arkeologis.

Data tertua yang menyebutkan istilah keris diperoleh dari lempengan prasasti perunggu asal

Karang Tengah berangka tahun 748 saka (842 Masehi) yang ditemukan di Dusun Karang

Tengah, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti tersebut menyebutkan beberapa

sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak. Sesaji itu antara lain berupa kres,

wangkiul, tewek punukan, wsi penghatap (Hasrinuksmo, 2008:24). Demikian pula yang tertulis

dalam prasasti Tukmas tahun 748 saka (842 Masehi) dan prasasti Humanding tahun 797 saka

(875 Masehi) yang ditemukan di Kelurahan Krapyak, Kec. Kenaren, Kalasan Yogyakarata. Isi

prasasti Humanding tersebut antara lain:

[….] mas ma 4 wdihan ranga yu 4 wadun 1 rinwas 1 patuk 1 kres 1 lukai rwak
punukan 1 landuk 1 lingis n[…].

Artinya :

[…] emas ma pola rangga 4 yu, sebilah wedung, sebilah kapak penebang kayu,
sebilah beliung, sebilah keris Sebilah parang, sebilah parang dengan kapak dibelakang
bilahnya, sebuah cangkul dan sebuah linggis […] (Timbul Haryono, 2001).

Prasasti Rukam (829 saka atau 907 Masehi) mengelompokkan keris sebagai alat atau

dan senjata yang terbuat dari besi. Isi prasasti tersebut menyebutkan bahwa :

[…] wsi-wsi prakara, wedung, rinwas, patuk-patuk, lukai, tampilan, linggis, tatah,
wangkiul, kres, gulumi, kerumbhagi, pamaja, kampi, dom […]
Artinya :

[…] segala keperluan yang dibuat dari besi berupa kapak perimbas, beliung,
sabit, tampilan, linggis, pahat, mata bajak, keris, tombak, pisau, ketam, kampit, jarum
[…] (Timbul Haryono, 2001).

Data arkeologis lain yang menyebutkan istilah keris terdapat pada prasasti Jurungan

yang berangka tahun 798 Saka (876 Masehi), prasasti Taji 823 Saka (901 Masehi), prasasti

Poh 827 Saka (905 Masehi), prasasti Wakajana 829 Saka (907 Masehi), dan prasasti

Sanggaran 850 Saka (928 Masehi), dan prasasti Bulian 1103 Saka (1181 Masehi) (Neka dan
Yuwono, 2010:33-38). Selain itu, ditemukan juga beberapa prasasti yang menceritakan

keberadaan juru pande, antara lain prasasti Sukawana A1 tahun 804 Saka (882 Masehi),

prasasti Pura Kehen C tahun 1126 Saka (1204 Masehi), prasasti Tambelingan 1 dan 2 tahun

1306 dan 1320 Saka (1384 dan 1398 Masehi) (Neka dan Yuwono, 2010:38).

Catatan dalam prasasti tersebut menunjukkan bahwa keris telah dikenal pada kisaran

awal abad VIII, dan istilah kris telah cukup popular di masyarakat pada masa itu. Berbagai

temuan arkeologis tersebut mununjukkan bahwa bila ditekusur ke belakang ada indikasi bahwa

istilah ‘keris’ berasal dari bahasa Sansekerta. Data arkeologis berupa prasasti tersebut rata-rata

menyebut istilah ‘kres’ dalam konteks bahasa Sansekerta yang kemudian berubah

penyebutannya menjadi ‘kris’ dalam bahasa Jawa kuna dan kemudian menjadi ‘keris’ dalam

bahasa Jawa Baru dan yang diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia (Arifin, 2006: 13-14).

Keris sebagai salah satu puncak karya seni tradisional bidang tempa logam, terdapat

hampir di seluruh Nusantara. Temuan arkeologis dan data sejarah menunjukkan bahwa keris

pada awalnya dibuat di pulau Jawa (Haryoguritno, 2006: 10). Demikian pula dengan istilah

‘keris’ berasal dari Jawa sebelum menyebar dan popular dipergunakan hampir di seluruh

wilayah Nusantara, kemudian dalam perkembangannya melahirkan istilah-istilah padanan

sesuai daerahnya masing-masing. Istilah padanan tersebut tentunya dikarenakan

menyesuaikan dengan bahasa dan pengertian daerahnya masing-masing. Beberapa istilah

keris di luar Pulau Jawa misalnya di Bali disebut kadutan, di Sumatera Barat disebut karih atau

karieh, di Sulawesi Selatan disebut selle, tappi atau tapping, di Minahasa disebut kekesur, di

Aceh disebut ponok, di Filifina disebut sundang atau sondang, di Lampung disebut terapang, di

Madura disebut kerris, dan lain sebagainya (Sumitarsih dkk, 1990: 2). Selain itu di Jambi keris

juga dikenal dengan istilah koksi (Totok Brojodiningrat, wawancara, 2011).

Selain itu, dapat dijumpai pula dari relief-relief yang tergambar pada badan Candi

Borobudur. Dapat dilihat pada relief Candi Borobudur di sudut bawah bagian tenggara,

tergambar beberapa orang prajurit yang membawa senjata tajam yang mirip dengan keris yang
kita kenal sekarang ini. Di candi Sewu juga terlihat dwarapala (2 arca prajurit) raksasa yang

membawa senjata tajam/tikam yang diselipkan pada pinggang yang mirip dengan senjata keris.

Sementara itu, edisi pertama dan kedua yang disusun oleh Prof. P. A. Van Der Lith

menyebutkan, sewaktu stupa induk Candi Borobudur yang dahulu dibangun pada tahun 875 M

tersebut dibongkar, ditemukan sebilah keris tua. Keris tersebut menyatu antara bilah dengan

hulunya. Tetapi bentuk keris tersebut tidak serupa dengan keris yang tergambar pada relief

candi.

Selain itu, Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java (1817), pernah

menyebutkan bahwa pernah melihat seorang prajurit Jawa yang menyandang tiga buah keris

sekaligus. Disebutkan pula dama bukunya, bahwa tidak kurang dari 30 jenis senjata yang

dimiliki dan digunakan oleh Prajurit Jawa waktu itu, termasuk senjata api, tetapi dari aneka

ragam senjata itu, keris menempati kedudukan yang sangat istimewa.

Kemudian penggambaran yang paling jelas mengenai proses pembuatan keris, dapat

kita jumpai pada relief di Candi Sukuh. Pada Candi Sukuh digambarkan cara pembuatan keris

yang hampir sama dengan proses pembuatan keris pada masa sekarang ini, baik peralatan

kerja, palu dan ububan, maupun hasil karyanya berupa keris, tombak, kudi, dan senjata lainnya.

Kemudian disebutkan pula pada Manuskrip Babad Brahmana Pande merupakan naskah

yang paling lengkap yang memuat mengenai seni tempa keris dari berbagai aspeknya, yang

antara lain mengenai yoga, rerajahan, mantra, teknologi, bentuk keris, pamor, jenis keris dan

tuahnya, banten atau sesaji serta jenis keris dan kecocokannya dengan pemiliknya. Ilmu

kepandean keris sebagai ilmu yang atama atau rahasia antara lain tercantum dalam kalimat

berikut:

“mangkana kramanya haywã tãn prayatna, haywã himã-himã, patitis-aknã ring ŭarran
tã, haywã surup, mãpan bwat ŭttãma karma ka” .
Artinya ‘demikianlah halnya jangan tidak hati-hati, jangan meremehkan, itu semua

satukan/konsentrasikan pada dirimu. Jangan sampai salah menggunakan ilmu ini oleh karena

sangat rahasia (utama).

Demikian pula manuskrip Rerajahan Keris menjelaskan bahwa ilmu kacurigan

merupakan ilmu yang sangat rahasia. Manuskrip yang memberikan penjelasan hampir sama

terdapat dalam naskah ‘kaweruh empu’ bahwa kacurigan merupakan ilmu kang sinengker

(dirahasiakan). Haryoguritno menjelaskan bahwa di zaman dahulu (kaweruh

paduwungan/kaweruh kacurigan) dikenal dengan istilah ilmu kang sinengker atau ilmu yang

disembunyikan, mengapa demikian karena tabu untuk dibicarakan secara luas karena hanya

orang-orang dan golongan masyarakat tertentu yang bisa mempelajaarinya. Dunia perkerisan

hanya menjadi monopoli ilmu pengetahuan bagi masyarakat kelas atas dan para bangsawan

(Haryoguritno, 2006: 8). Dampak dari persebaran ilmu perkerisan yang tertutup tersebut

membuat minimnya data tertulis yang ditinggalkan, keadaan ini menyebabkan sulitnya

memperoleh data untuk menguak keagungan keris karena sering terjadi pembiasan yang

terlampau jauh terhadap aspek-aspek tertentu yang berhubungan dengan nilai. Lebih jauh,

dunia keris terdapat aspek yang cukup luas, yaitu aspek etimologis, aspek seni, aspek bentuk,

aspek material, aspek teknologi, aspek filosofis, aspek sejarah dan mistis (Basuki,2011: 10).

Keris memiliki pengertian makna simbol secara lebih luas dan lebih mendalam bagi

masyarakat Jawa. Pengertian keris sehari-hari oleh masyarakat secara umum dianggap

sebagai senjata tajam yang bersarung dan berbilah lurus atak berlekuk-lekuk. Dalam kehidupan

masyarakat jawa yang keadannya lebih terbuka, pengertian keris mengalami pertumbuhan

makna sejalan dengan perkembangan dari rasa bahasa dan sistem simbol yang dipahami

masyarakat. Keris dimengerti sebagai kaitan maknawi yang cenderung lebih abstrak dan

mendalam (filosofis), sehingga secara kontekstual mengikuti rasa bahasa tertentu. Beberapa

peribahasa yang berkembang di masyarakat menunjukkan terhadap adanya gejala-gejala

seperti itu. Misalnya peribahasa yang berbunyi “ora keris yen ora keras” (bukan keris kalau tidak
kuat atau tegas). “kekeran karono aris” (menjaga diri denga keris). Pengetian tentang keris yang

seperti itu, menunjukkan bahwa peristilahan keris sebenarnya mengandung pengertian yang

khusus tentang hadirnya kekuatan atau kemampuan yang tidak berwujud, bersumber dari

dalam diri sendiri dan tampilan diri sendiri pula. Sebagai suatu kekuatan, keris dipandang

sebagai faktor instrumental yang berfungsi dalam keadaan tertentu. Fungsi senjata itu akan

efektif menjadi suatu kekuatan juga turut ditentukan oleh orang yang menggunakannya.

Kesadaran tersebut mendorong orang Jawa untuk mengkaji lebih mendalam, dalam kaitan

filosofis dan etik (Arifin, 2006: 14-15).

Lebih jauh lagi, keris bagi orang Jawa memiliki pengertian yang mendalam dan

merupakan benda yang dianggap penting karena memiliki muatan nilai yang menjadi acuan

khusus bagi masyarakat, bahkan mempengaruhi sikap-sikap yang bersifat simbolis. Keris

bukan semata-mata sebagai senjata tajam, namun merupakan sebuah objek yang penuh

makna simbolis dan dipercaya memiliki kekuatan supranatural tersembunyi (Centini Jilid 3,

2008:238-244).

2.2.2. Sejarah Mataram

Kesultanan Mataram (Kerajaan Mataram Islam) merupakan kerajaan Islam di tanah

Jawa yang berdiri pada abad ke-17. Kesultanan ini dipimpin oleh dinasti keturunan Ki Ageng

Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai keturunan penguasa Majapahit. Asal-

usul kerajaan Mataram Islam berawal dari suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang,

berpusat di 'Bumi Mentaok' yang diberikan untuk Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas

jasa yang diberikannya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), ia

adalah putra Ki Ageng Pemanahan.

Kerajaan Mataram Islam pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan

Madura. Kerajaan ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin
berkuasanya VOC, namun ironisnya Kerajaan ini malah menerima bantuan VOC pada masa

akhir menjelang keruntuhan.

Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian. Kerajaan ini meninggalkan

beberapa jejak sejarah yang dapat ditemui hingga kini, seperti kampung Matraman di

Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Jawa Barat (Pantura), penggunaan hanacaraka, serta

beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku sampai sekarang.

a. Masa Awal Mataram

Setelah Sutawijaya merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya ia kemudian naik

tahta dengan gelar Panembahan Senopati. Pada masa itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa

Tengah, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan Kesultanan Mataram

berada di daerah Mentaok, wilayah nya terletak kira-kira di selatan Bandar Udara Adisucipto

sekarang (timur Kota Yogyakarta). Lokasi keraton pada masa awal terletak di Banguntapan,

kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal kekuasaan diteruskan oleh

putranya, yaitu Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.

Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat yang

disebabkan oleh kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Setelah itu, tahta

pindah ke putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati

Martoputro memiliki penyakit syaraf sehingga tahtanya beralih dengan cepat ke putra

sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang. Pada masa pemerintahan Mas

Rangsang, Kerajaan Mataram mengalami masa kejayaan.

b. Terpecahnya Mataram

Pada tahun 1647 Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered, tidak jauh dari

Karta. Pada saat itu, ia tidak lagi memakai gelar sultan, melainkan 'sunan' (berasal dari kata

'Susuhunan' atau 'Yang Dipertuan'). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena

banyak yang tidak puas dan pemberontakan. Pernah terjadi pemberontakan besar yang

dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat untuk berkomplot dengan VOC. Pada
tahun 1677 Amangkurat I meninggal di Tegalarum ketika mengungsi sehingga ia dijuluki

Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat tunduk pada

VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak suka dan pemberontakan terus terjadi.

Pada tahun 1680 kraton dipindahkan lagi ke Kartasura. karena kraton yang lama dianggap

telah tercemar.

Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (tahun 1703-1708),

Pakubuwana I (tahun 1704-1719), Amangkurat IV (tahun 1719-1726), Pakubuwana II (tahun

1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena ia tidak patuh (tunduk) kepada

VOC sehingga VOC menobatkan Pakubuwana I sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki

dua orang raja dan hal tersebut menyebabkan perpecahan internal di Kerajaan. Amangkurat

III kemudian memberontak dan menjadi ia sebagai "king in exile" hingga akhirnya

tertangkap di Batavia dan dibuang ke Ceylon.

Kekacauan politik ini baru terselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian

wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta

(Pada 13 Februari 1755). Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti.

Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian

sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kasunanan Surakarta dan Kesultanan

Yogyakarta merupakan 'ahli waris' dari Mataram.

Tabel 2.2 Peristiwa dan Periode Pemerintahan


Pada Masa Kerajaan Mataram Yogyakarta
N
TAHUN PERISTIWA
O
Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan
1 1558 Pajang Adiwijaya atas jasanya yang telah mengalahkan Arya
Penangsang
Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau
2 1577
Kotagede
3 1584 Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat
Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru
(raja) di Mataram, yang sebelumnya sebagai putra angkat Sultan
Pajang bergelar "Mas Ngabehi Loring Pasar". Ia mendapat gelar
"Senapati in Ngalaga" (karena masih dianggap sebagai Senapati
N
TAHUN PERISTIWA
O
Utama Pajang).
Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-
4 1587 poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi, namun
Sutawijaya dan pasukannya selamat.
Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan,
5 1588 bergelar 'Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama' yang artinya
Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang
yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal
6 1601
sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat
berburu di hutan Krapyak
Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran
7 1613 Aryo Martoputro. Karena Pangeran Aryo sering sakit, kemudian
digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang.
Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan
8 1645
Amangkurat I.
1645 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram,
9
1677 yang dimanfaatkan oleh VOC
Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan
Amangkurat I meninggal. Putra Mahkota dilantik menjadi
10 1677 Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang
diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah
dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
Susuhunan Amangkurat II memindahkan pusat pemerintahan (ibu
11 1680
kota) ke Kartasura
12 1681 Pangeran Puger diturunkan dari tahta Plered.
Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi
13 1703
Susuhunan Amangkurat III.
Atas pertolongan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai
Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708).
14 1704
Susuhunan Amangkurat III kemudian membentuk pemerintahan
pengasingan.
Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka
15 1708
sampai wafatnya pada 1734
Susuhunan Paku Buwono I meninggal kemudian digantikan putra
16 1719 mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu
Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta Jawa Kedua (1719-1723)
Susuhunan Amangkurat IV meninggal kemudian digantikan Putra
17 1726
Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku
18 1742
Buwana II berada dalam pengasingan.
Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari
tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah
perjanjian yang sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram
19 1743
kepada VOC selama Mataran belum melunasi hutang biaya
perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II
sebagai imbalan atas pertolongan yang diberikan VOC.
20 1745 Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa
N
TAHUN PERISTIWA
O
Sala di tepian Bengawan Beton.
Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru
yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara
Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus
21 1746
Perang Tahta Jawa Ketiga yang berlangsung lebih dari 10 tahun
(1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua
Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
11 Desember Paku Buwono II menandatangani penyerahan
kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto
Mataram baru ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember
22 1749 Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai
Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. pada 15
Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai
Susuhunan Paku Buwono III.
Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di daerah
23 1752 Pesisiran (daerah pantura) mulai dari Banten sampai Madura.
Perpecahan Mangkubumi-Raden Mas Said
Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian.
Pada tanggal 23 September, Nota Kesepahaman Hartingh-
24 1754 Mangkubumi. 4 November, Paku Buwana III meratifikasi nota
kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain
selain meratifikasi nota yang sama.
13 Februari menjadi Puncak perpecahan, hal ini ditandai dengan
Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua,
yaitu Kesunanan Surakarta dan Yogyakarta. Pangeran
25 1755 Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan
gelar 'Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono
Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama
Khalifatullah' atau dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I
Perpecahan kembali melanda Kerajaan Mataram. sehingga
muncul Perjanjian Salatiga, perjanjian yang lebih lanjut membagi
wilayah Kesultanan Mataram yang sudah terpecah,
ditandatangani pada 17 Maret 1757 di Kota Salatiga antara Sultan
26 1757
Hamengku Buwono I, Sunan Paku Buwono III, Raden Mas
Said dan VOC. Raden Mas Said kemudian diangkat sebagai
penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran
yang terlepas dari Kesunanan Surakarta.
27 1788 wafat nya Susuhunan Paku Buwono III
28 1795 wafat nya KGPAA Mangku Nagara I wafat
29 1799 dibubarkan nya VOC oleh Belanda
Akhir perang Diponegoro. Semua daerah kekuasaan Surakarta
dan Yogyakarta dirampas Belanda. Pada 27 September,
Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta
30 1830 dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan
Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem
Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram
secara resmi dikuasai Belanda.
Sejarah Penyebaran Keris

Keris merupakan salah satu karya nenek moyang bangsa Indonesia dalam khasanah

budaya tradisional. Pembuatan karya seni tersebut menggunakan teknik tempa yang cukup

rumit. Kerumitannya terletak pada seni tempa pamor yang indah. Ada anggapan bahwa motif

pamor pada bilah keris adalah campur tangan para dewa, makhluk gaib atau kekuatan

supranatural lain. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa keris masa lalu oleh sebagian

masyarakat dikeramatkan dengan segala akibat sampingnya (Haryoguritno, 2006:3).

Peninggalan masa Jawa Kuno yang dapat memberikan gambaran mengenai

kebudayaan pada waktu itu adalah peninggalan-peninggalan yang berupa benda-benda

(bergerak maupun tak bergerak) dan teks. Data tekstual menyatakan bahwa memang ada

suatu benda yang digunakan pada zaman dahulu yang disebut dengan kris. Penyebutan kris

atau keris terdapat di prasasti-prasasti berbahasa jawa kuna dari Jawa yang merinci tentang

upacara penetapan tanah sima, yaitu tanah yang dibebaskan dari pembayaran pajak kepada

‘negara/pusat’ karena satuan wilayah yang bersangkutan dibebani kewajiban tertentu, biasanya

untuk merawat suatu bangunan suci.

Ada kalanya pula suatu desa diberi status sima karena jasa tertentu dari penduduknya

kepada raja. Di antara bagian-bagian teks prasasti yang berkenaan dengan upacara itu

terdapat bagian yang merinci apa yang disebut saji sang makudur. Inti dari upacara
penetapan sima itu adalah: pemimpin upacara, yang disebut sang makudur itu, menandai

perubahan status tanah dengan menetak leher ayam dan membantingkan telur di atas batu

pusat upacara yang disebut watu kulumpang dan sanghyang watu sima, lalu ia

mengucapkan sumpah tentang perubahan status itu agar disaksikan oleh dewa-dewa dan

kekuatan-kekuatan alam yang diserunya, dan minta agar kekuatan-kekuatan itu juga akan

memberikan sanksi apabila ada pihak-pihak yang melanggar ketentuan perubahan status itu.

Bersamaan dengan pelaksanaan upacara itu disiapkan pula sejumlah benda terbuat dari

logam yang disebut saji sang makudur. Sejumlah nama benda yang disebut sebagai saji itu

antara lain adalah twek punukan (pemotong/penusuk yang 'berpunggung' / arit?), nakka-cheda

(pemotong kuku), wangkyul (cangkul?), kris, dan lain-lain. Jelas penyebutan kris dalam konteks

itu adalah di antara benda-benda tajam, meski bagaimana rincian kualifikasi teknisnya tidak

dapat diketahui.

Dapat disimpulkan bahwa pada masa lalu terdapat suatu alat tajam yang disebut

dengan kris, dan sudah tentu sebagaimana peralatan lainnya yang disebut, digunakan dalam

kehidupan sehari-hari pada masa tersebut. Diantara benda-benda fungsional yang lain itu

menyiratkan bahwa kris pada waktu sekitar abad ke-9 dan 10 Masehi, sesuai dengan usia

prasasti-prasasti yang memuatnya memounyai kegunaan praktis, dan belum bernuansa mistik

dan dianggap sebagai pusaka seperti halnya keris pada masa kemudian sampai masa kini.

Pada adegan-adegan yang dipahatkan sebagai relief candi pada masa Jawa Kuna itu

kadang-kadang dapat dijumpai tokoh-tokoh yang menyandang atau memegang semacam

senjata tajam. Pada area-area dewi Durgamahi~asuramardini yang bertangan 8 atau 10

seringkali dijumpai senjata khadga (pedang pendek) di salah satu tangannya.

Senjata inilah yang paling dekat kemiripan bentuknya dengan keris, walau

perbedaannya jelas juga, yaitu bilahnya lebih lebar merata, sedangkan keris lebih ramping

meruncing. Senjata seperti itu juga sering disandang oleh area-area penjaga (dwarapala) yang

berbadan besar dan gemuk. Sebuah pahatan relief yang terdapat pada eandi Sukuh (abad ke-
14 Masehi, di lereng gunung Lawu) memperlihatkan adegan di tempat kerja pandai besi, di

mana terlihat sejumlah benda (besi) yang dihasilkan, antara lain sebuah alat tusuk berbilah

ramping runcing, seperti halnya bilah keris yang kita kenal dewasa ini. Dengan demikian

dapatlah dikatakan bahwa bentuk keris seperti yang dikenal sekarang sudah lazim didapati

pada abad ke-14 Masehi. Apakah bentuknya memang sejak lama demikian, termasuk yang

dikenal dengan sebutan kris pada prasasti-prasasti sekitar abad ke-10, hanyalah dapat

diperkirakan.

Pulau Jawa diduga sudah mengenal keris sekitar abad ke-6 atau ke-7 (Zoetmulder,

1985: 87). Di kalangan penggemarnya, keris buatan masa itu disebut keris Buda atau

kabudhan. Sesuai dengan kedudukannya sebagai sebuah karya awal sebuah budaya,

bentuknya masih sederhana. Menurut Serat Pustaka Raja Purwa, pusaka atau senjata orang

Jawa sebelum keris berupa jemparing, tomara, dadali, nenggala, sali, druwasa, trisula,

candrasa, ardacandra, candrapurnama, martyajiwa, limpung, tuhuk, parasu, duduk, boji,

musala, musara, lori, bajra, gandi, palu, piling, putu, ca/um, sadaka,baradi, gada, bindi,

badama, denda, kretala, a/u-a/u, a/ugora, sarampang, busur, gayur, salukun, cacap, calimprit,

berang, rajang, tamsir, kanjar, karsula, sa/emuka, lohita muka, barandang, kalawahi, taladak,

karantang, luyang (Zoetmulder, 1985: 89).

Dr. J.L.A. Brandes secara hipotetis pernah mengatakan bahwa jauh sebelum mendapat

pengaruh dari kebudayaan India, bangsa Indonesia telah memiliki pengetahuan dan

kemampuan dalam bidang metalurgi (Brandes, 1889:152). Pengetahuan metalurgi tersebut

adalah salah satu dari 10 unsur kebudayaan yang telah dimiliki bangsa Indonesia yaitu : (1)

wayang, (2) gamelan, (3) ilmu irama puisi, (4) membatik, (5) mengerjakan logam, (6) sistem

rnata uang, (7) ilmu pelayaran, (8) astronomi, (9) penanaman padi, dan (10) birokrasi

pemerintahan yang teratur. Di Indonesia memang telah banyak ditemukan artefak logam yang

berasal dari masa perundagian. Pembuatan keris sangat berkaitan erat dengan ilmu metalurgi

yaitu ilmu tentang logam. Di Jawa pada umumnya masyarakat mengelompokkan keris ke dalam
'tosan aji' atau 'wesi aji', artinya besi yang bernilai tinggi atau dimuliakan. ltulah sebabnya maka

dalam lingkungan budaya kerajaan Jawa, penyebutan keris sebagai pusaka kraton selalu diberi

kata sandang 'Kyai' atau 'Kanjeng Kyai'.

Walaupun masyarakat Jawa pada zaman dahulu umumnya beragama Hindu dan

Budha, namun tidak pernah ditemukan bukti bahwa budaya keris berasal dari India atau negara

lain. Tidak pula ditemukan bukti adanya kaitan langsung antara senjata tradisional itu dengan

kedua agama itu. Jika pada beberapa candi di Pulau Jawa ditemui adanya relief yang

menggambarkan adanya senjata yang berbentuk keris, maka pada candi yang ada di India atau

negara lain, bentuk senjata yang menyerupai keris tidak pernah ada. Pada pemandian Candi

Cetha, di lereng Gunung Lawu, terdapat sebuah patung yang menggambarkan seorang lelaki

Jawa memakai pakaian Jawa lengkap dengan keris diselipkan di pinggang. Candi Cetha

tersebut, merupakan peninggalan dari abad ke-15.

Bahkan senjata yang berpamor, tidak pernah ada dalam sejarah India. Bentuk senjata

yang menyerupai keris pun tidak pernah dijumpai di negeri lain selain India. Kitab Mahabarata

dan Ramayana yang ditulis pujangga India, tidak menyebut satu pun senjata yang bernama

keris. Jenis senjata yang ada dalam buku epos agama Hindu itu adalah gendewa, gada,

pedang, tombak, kunta, limpung, nenggala dan cakra. Tetapi tidak sepotong-pun menyebut

keris! Keris baru dijumpai setelah kedua cerita itu diadaptasi oleh orang Jawa dan menjadi

cerita wayang (Sudewa, 1989: 65). Misalnya, Arjuna memiliki keris yang bernama Keris Kyai

Pulanggeni dan Kyai Pasopati. Meskipun keris digolongkan sebagai jenis senjata tikam, tapi

keris dibuat bukan semata-mata untuk membunuh. Keris bagi masyarakat Jawa lebih bersifat

sebagai senjata dalam pengertian simbolis spiritual, yakni sifat kandel. Karenanya oleh

sebagian orang keris juga dianggap memiliki kekuatan gaib.

Keris merupakan benda seni yang meliputi seni tempa, seni ukir, seni pahat, seni

bentuk, serta seni perlambang. Pembuatannya selalu disertai dengan doa-doa tertentu,

berbagai mantera, serta upacara dan sesaji khusus (Moedjanto, 1994:76). Setiap empu akan
memulai proses pembuatan keris senantiasa memohon kepada Yang Maha Kuasa, dengan

harapan agar hasilnya baik, tidak mencelakakan pemiliknya maupun orang lain.

Di dalam sumber-sumber tertulis seperti prasasti dan naskah sastra banyak disebut-

sebut kelompok profesi pembuat artefak logam dengan sebutan 'pande' atau 'pandai' sesuai

dengan bidangnya masing-masing. Oleh karena itu dikenal adanya pande mas, pandai salaka

(perak), pande tamra atau pande tamwaga (tembaga), pande kamsa atau gangsa (perunggu)

dan pande wsi. Bahkan spesialisasi pekerjaan bukan atas dasar bahan saja tetapi juga atas

dasar benda yang dihasilkan. Pada masa itu dikenal pande dang (ahli dalam pembuatan bejana

atau dandang), pande dadap (ahli di bidang pembuatan perisai), pande kawat (ahli pembuatan

kawat),

pande singasingan atau apande sisinghen (ahli di bidang pembuatan senjata tajam, termasuk

pembuat keris). Mereka (masyarakat pande) membentuk kelompok sendiri yang diketuai oleh

seorang pemimpin disebut dengan istilah 'tuha gusali' atau 'juru gusa/i'. Tempat 'gusa/i' yaitu

'gusalian' tersebut sekarang menjadi kata ' besalen' yang artinya juga tempat pertukangan

logam. Kelompok masyarakat pande logam tersebut di dalam kehidupan sosial termasuk

sebagai kelompok sang mangi/a/a drawya haji atau sang maminta drwya haji yaitu para abdi

dalam kraton yang tidak mendapatkan daerah /ungguh sehingga kehidupan ekonominya

tergantung dari upah yang diambil dari perbendaharaan kerajaan.

Keris merupakan senjata yang bertuah dan berfungsi sebagai 'pusaka', dipaparkan

dalam karya sastra kronik yang berjudul Pararaton, yang diperkirakan ditulis pada sekitar abad

ke-16 Masehi. Di situlah terdapat tema dasar cerita mengenai "keris Empu Gandring", yang

dipesan khusus dan kemudian 'memakan' korban tokoh demi tokoh pimpinan kerajaan, yaitu

Tunggul Ametung, Ken Angrok, dan seterusnya. Dalam narasi tersebut sudah ditampilkan

kualifikasi suatu keris sebagai sesuatu yang dapat amat bertuah. Dinyatakan juga bahwa

kekuatan tuah suatu keris itu bergantung pada tingkat kesaktian pembuatnya, yang pada

gilirannya dapat memasukkan daya sakti itu ke dalam keris yang dibuatnya. Namun uraian
mengenai teknik pembuatan suatu keris tidak ditonjolkan, bahkan sama sekali tak disebut,

seolah-olah memang sesuatu yang harus dirahasiakan.

Dari karya-karya sastra berbahasa Jawa Kuna sejak abad ke-11 Masehi, khususnya

dalam kakawin Arjunawiwoha yang ditulis di masa pemerintahan Raja Erlangga, telah dapat

dijumpai kutipan yang menyatakan bahwa bahwa Keris adalah senjata untuk perang. Demikian

juga dalam kakawin Sumanasontaka yang ditulis di masa Kadiri (abad ke-12 M.) disebutkan

keris sebagai senjata potong. Selanjutnya dalam kakawin Sutasoma yang ditulis pada abad ke-

14 M. di masa Majapahit, disebutkan bahwa senjata keris itu diberi sarung, dan dibuka jika

hendak dipakai.

Pada dasarnya perkembangan serta penyebaran keris di Nusantara tidak dapat

dipisahkan dari Kerajaan-kerajaan yang berada di Indonesia. Sebenarnya garis sejarah

perkerisan dengan sejarah Indonesia bukan seperti benang merah yang jelas. Hal ini

disebabkan karena studi atau kajian sejarah tentang perkerisan di Indonesia secara khusus

belum pernah dilakukan.

Tabel Penyebaran Keris berdasarkan Kerajaan di Indonesia

No Kerajaan Tahun Keterangan

1. Mataram Hindu Abad ke 8-10 M Diperkirakan budaya tentang


keris sudah mulai tumbuh dan
mulai diciptakan/dibuat, misal
keris buda, keris sajen
2. Kahuripan, Jenggala, Daha Abad ke 10-13 M Keris Jenggala dianggap
dan Singosari beberapa penggemar tosan aji
memiliki besi yang bagus dan
memiliki kualitas yang baik.
Kemudian Singosari dengan
cerita tentang kesaktian seorang
pembuat keris bernama empu
Gandring
3. Kerajaan Majapahit Abad ke 13-15 M Diperkirakan pada masa Kerajaan
majapahit inilah budaya keris
mulai menyebar ke seluruh
Nusantara
4. Kasultanan Demak 1480-1550 Dari pasikutannya dan
materialnya tidak berbeda dengan
era Kerajaan Majapahit
5. Kasultanan Pajang 1551-1582 Diperkirakan pada masa
Kasultanan Pajang terdapat empu
yang terkenal akan karyanya,
yakni Empu Umyang
6. Mataram Islam 1582-1749 Pada masa Kerajaan mataram
Islam, budaya keris berkembang
dengan pesat baik secara kualitas
maupun kuantitas.
7. Kasunanan Surakarta 1749-sekarang Budaya Keris di Tanah jawa
berkembang pesat pada
pemerintahan Paku Buwono VII,
Paku Buwono IX, dan Paku
Buwono. Beberapa empu yang
terkenal akan karyanya adalah
Empu Brajaguna, empu
Singawijaya, Empu Japan, dll.

Tabel Proses Penyebaran Keris di Jawa

No Proses Penyebaran Keterangan

1. Kekerabatan a. Pemberian hadiah dari Raja


b. Pertukaran cinderamata antar Kerajaan
berupa keris dan tosan aji
2. Perdagangan a. Hubungan dagang antar kerajaan atau
wilayah mempengaruhi proses
penyebaran keris.
b. Para saudagar tidak hanya membawa
barang kebutuhan pokok, termasuk
senjata, keris,dan tosan aji
3. Budaya a. Kadang setiap kerajaan memiliki
karakteristik karya keris yang khas,
sehingga menimbulkan keinginan
Kerajaan/wilayah lain untuk memiliki keris
tersebut.
b. Pertukaran kebudayaan antar wilayah
juga berpengaruh terhadap penyebaran
keris di Indonesia
4. Perang Selain merebutkan kekuasaan dan
wilayah, perang juga berperan untuk
menguasai hasil budaya setempat.
Kerajaan yang menang di medan perang
tentu akan mendapatkan hasil jarahannya
baik berupa emas, perak, barang pokok,
senjata, keris, tosan aji dsbnya.

Anda mungkin juga menyukai