PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejarah berdirinya Keraton Surakarta tidak terlepas dari Kerajaan Mataram. Kerajaan
tersebut didirikan oleh Panembahan Senapati pada tahun 1575 dan menjadi Sultan Pertama.
Kerajaan Mataram berkembang hingga mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan
Agung pada tahun 1613-1645. Namun pada tahun 1755 Kerajaan Mataram pecah menjadi 2
dan terbentuk Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Baik Kasultanan Yogyakarta
dan Kasunanan Surakarta memiliki ciri khas budaya masing-masing, seperti gaya bangunan,
Berbagai predikat disandang Kota Surakarta, seperti diantaranya Kota Batik dan Kota
Budaya. Sebagai Kota Budaya, Surakarta menjadi salah satu pusat kebudayaan Jawa dengan
keberadaan Kasunanan Surakarta yang sampai saat ini masih tetap lestari. Sebagai kota
budaya, Surakarta mempunyai benda-benda bersejarah yang merupakan warisan budaya yang
bernilai tinggi salah satunya adalah keris. Hal tersebut dibuktikan dengan pengakuan dunia
melalui UNESCO, PBB sebagai Masterpiece of The Oral and Intangible Heritage of Humanity
tradisional. Kehadiran senjata tradisional tersebut, antara lain dapat diketahui dari prasasti-
prasasti, dalam relief candi, cerita babad, misalnya serat Pararaton (Soekiman, 1983). Salah
satu dari senjata tradisional yang dikenal di Nusantara adalah keris. Senjata-senjata tradisional
yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara tersebut, secara umum hampir memiliki
persamaan-persamaan baik bentuk, nama serta fungsi. Salah satu senjata tradisional yang
tersebar di Nusantara yang memiliki kesamaan baik bentuk dan fungsi adalah keris.
Keris merupakan salah satu senjata adat suku-suku bangsa di Nusantara yang
merupakan senjata penusuk jarak pendek yang dikenal dan dipakai oleh sebagian masyarakat
di Asia Tenggara. Keris merupakan senjata penusuk yang dimuliakan, dihormati bahkan
dianggap keramat. Tidak hanya suku bangsa di Indonesia, bangsa lain di sebagian Asia
Tenggara juga mengenal dan memakainya. Misalnya saja bangsa Malaysia, Brunei, Sabah,
Masing-masing daerah atau suku bangsa di Indonesia memiliki istilah tersendiri dalam
menyebut senjata keris. Di Jawa, keris disebut dhuwung, curiga yang berarti tajam
(Harumbinang, 1985: 1) atau wankingan (wingking atau belakang). Dinamakan demikian karena
keris dikenakan pada bagian belakang badan, di Minangkabau disebut kerieh, di Lampung
disebut terapang, dan punduk, sedangkan di Sulawesi disebut sale atau kreh, di Bali disebut
kadutan, dan di Filipina disebut dengan nama sundang (Argawa, 1994: 4). Nama keris sendiri
diserap dari bahasa Sansekerta dari kata curiga menjadi curika yang artinya keris atau pisau
Istilah keris sebagai benda budaya untuk pertama kali muncul di Jawa sekitar abad ke-6
sampai ke-7 Masehi. Hal itu, diketahui dari bukti-bukti yang ditunjukkan dalam prasasti dan
relief candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam beberapa prasasti kuno yang dibuat dari
lempengan perunggu bertulis yang ditemukan di Karengtengah, berangka tahun 748 Ç (842 M),
menyebut beberapa jenis sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak. Sesaji itu
antara lain berupa kres (keris), wangkiul (sejenis tombak), tewek punuka (senjata bermata
Keberadaan keris juga ditemukan pada relief yang terdapat di Candi Borobudur. Relief
tersebut menggambarkan beberapa orang prajurit yang membawa senjata tajam yang serupa
dengan keris yang ada sekarang. Relief lain yang membuktikan keberadaan keris terdapat di
Candi Panataran (1347 SM). Relief tersebut menggambarkan tokoh-tokoh yang memegang
keris, sehingga dulu keris digunakan sebagai senjata tikam. Selain itu, terdapat patung raksasa
Selain itu, bukti yang paling jelas mengenai cara pembuatan keris dapat disaksikan di
Candi Sukuh yang menceritakan mengenai cara pembuatan keris. Relief pada candi tersebut
tergambar dua orang laki-laki (yang mengenakan perhiasan kepala yang cukup Raya) yang
sedang bekerjasama membuat keris (Sektiadi, 2008). Hal tersebut menunjukkan tidak jauh
berbeda dengan cara pembuatan keris pada zaman sekarang, baik peralatan kerja, palu dan
ububan, maupun hasil karyanya yakni berupa keris, tombak, kudi dan lain sebagainya
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam ceritra, babad ataupun sejarah modern, keris
banyak berfungsi sebagai objek sejarah dan bahkan keris kadang-kadang dapat menjadi
benda penentu sejarah (Surono, 1979: 2). Seperti dalam cerita rakyat tentang Arya
mampu membunuh Danang Sutawijaya, tetapi keris yang Arya Penangsang hunus, yaitu keris
Kyai Setan Kober justru mengiris ususnya sendiri. Arya Penangsang akhirnya tewas seketika
Hal tersebut, juga berpengaruh terhadap kegunaan dan fungsi keris sendiri. Dalam
perkembangannya, benda-benda tajam termasuk juga keris tidak hanya berfungsi secara teknik
saja, tetapi juga berfungsi sebagai peralatan sosio-religi, sebagai penunjuk status sosial serta
sebagai peralatan dan pelengkap baik dalam berbagai upacara maupun dalam kegiatan
keagamaan (Yudha, 2007: 26), misalnya dalam upacara perkawinan dan upacara adat bersih
Keris tidak hanya sebagai senjata penusuk, tetapi juga merupakan benda yang
berfungsi sebagai senjata yang dianggap mempunyai daya magis, benda pusaka, benda
kehormatan, benda sejarah, benda komoditi perdagangan, sebagai simbol pengkawinan antara
bapak angkasa (bahan pamor berupa nikel dan titanium) dengan ibu pertiwi (bahan pamor besi)
(Pamungkas, 2007: 22-23), tanda kehormatan sebagai peyerahan kekuasaan dari raja kepada
pangeran di Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat (Sujito, 2007: 31), pelengkap upacara, dan
pelengkap busana (Solyom, 1978: 12). Maka dari itu, keris dianggap sebagai budaya adiluhung
bangsa Indonesia.
Perkembangan keris di Nusantara dapat dikatakan cukup lama (keris sebagai senjata
telah berkembang sejak dahulu di seluruh Nusantara), demikian pula keberadaan para empu
telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Hindu, Kahuripan, Singosari, Majapahit, Kesultanan
Demak, Kesultanan Pajang (abad ke-8 sampai 16 M), kemudian dilanjutkan pada zaman
Mataram Islam, Kesultanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta (abad ke-16 sampai 18 M).
Perkembangan keris tidak berhenti pada abad ke-18 saja, melainkan hingga masa
sekarang produksi pembuatan keris masih dapat diketahui di beberapa wilayah di Indonesia,
misalnya di daerah Yogyakarta (Girirejo, Imogiri, Bantul dan Moyudan, Sleman), Surakarta
(Solo) dan di Sumenep, Madura. Pembuatan keris di tempat-tempat tersebut di atas dapat
Keris adalah benda seni yang meliputi seni tempa, seni ukir, seni pahat, seni bentuk,
serta seni perlambang (Harsrinuksmo, 2004:10). Keris terdiri dari bilah, warangka, jejeran,
mendhak, pendhok. Semua itu menjadi satu kesatuan, Proses pembuatan keris pada zaman
sekarang tidak jauh berbeda dengan pembuatan keris pada masa-masa sebelumnya. Aspek
yang mengalami perubahan adalah fungsi dari keris tersebut. Pada masa lalu keris berfungsi
Keris sebagai benda seni lebih mengutamakan segi keindahan pembuatannya, misalnya
memahat dan mengukir permukaan bilah keris dengan motif tertentu sehingga membentuk
gambar timbul, tidak hanya yang dilapisi dengan emas (tinatah/kinatah emas) (Hasrinuksmo,
2004: 13), dan pemberian batu permata dan inten pada mendhak. Hal tersebut menunjukkan
bahwa keris, merupakan sebuah benda seni adi luhung bangsa Indonesia.
Sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat, bentuk bilah keris juga mengalami
perubahan mengikuti kemajuan zaman. Bentuk bilah yang semula relatif gemuk, pendek, dan
tebal, secara berangsur-angsur menjadi lebih tipis, lebih langsing, lebih panjang, dan dengan
sendirinya semakin lama semakin menjadi lebih indah. Meskipun dari segi bentuk dan
pemilihan bahan baku, keris selalu mengalami perkembangan, dan perubahan pola pokok cara
pembuatannya hampir tidak pernah berubah. Pada dasarnya proses pembuatan keris adalah;
membersihkan logam besi yang akan digunakan, mempersatukan besi dan pamor, kemudian
fungsional, aspek tradisi, aspek filosofis, aspek simbolisme, aspek seni dan teknologi. Keris
merupakan suatu karya Adiluhung bangsa Indonesia yang penuh tata nilai dan turut
membentuk identitas dan karakter masyarakat Indonesia. Keris menjadi salah satu pedoman
berperilaku individual, sosial (bermasyarakat), bernegara dan ber ke Tuhanan. Nilai-nilai dunia
perkeris turut berperan membentuk mentalitas masyarakat bangsa Indonesia yang berkarakter
budaya.
Keberadaan keris cukup dalam mewarnai budaya bangsa Indonesia telah selayaknya
menjadi tanggung jawab seluruh rakyat bangsa Indonesia untuk turut berperan melestarikannya
secara utuh. Keris sebagai karya budaya nenek moyang bangsa Indonesia yang demikian lekat
dengan alam pikir dan kehidupan masyarakat Indonesia kini telah terpinggirkan. Tata nilai
dalam dunia perkerisan sering kali dipandang dari satu sisi saja dan tidak secara utuh, sehingga
terjadi pembiasan pemahaman. Pengetahuan dan informasi tentang keris telah selayaknya
dibuka lebar-lebar agar masyarakat dapat memahami sebagaimana mestinya dan tidak terjebak
Keris memiliki banyak filosofi yang masih erat dalam kaitannya dengan kehidupan
masyarakat Jawa. Keris atau dalam bahasa Jawa disebut tosan aji, merupakan penggalan dari
kata tosan yang berarti besi dan aji berarti memiliki nilai yang tinggi atau utama, jadi keris
merupakan perwujudan yang berupa campuran dan berbagai materi khusus yang diyakini
bahwa kandungannya memiliki makna yang bernilai utama. Makna filosofis yang terkandung
dalam sebuah keris sebenarnya bisa dilihat mulai dari proses pembuatan hingga menjadi
Dalam budaya Jawa tradisional, masyarakat meyakini bahwa sebuah benda matipun
dibuat dari materi yang dulunya berasal dari benda hidup sehingga benda tersebut harus dijaga
dan dirawat dengan baik, termasuk keris atau senjata pusaka yang lainnya. Perawatan berkala
seperti jamasan (pencucian) pusaka harus dilakukan agar pusaka menjadi awet dan bersih.
Keris secara utuh memiliki makna filosofis yang menyiratkan hubungan horisontal dan
hubungan vertikal (mikrokosmos dan makrokosmos). Begitu pula hubungan penempatan keris
dengan arsitektural jawa. Kepercayaan akan kekuatan alam semesta, masyarakat jawa percaya
pada keseimbangan dunia yang terbagi dalam mikrokosmos dan makrokosmos. Tanpa adanya
keseimbangan maka kehidupan ini tidak akan bahagia. Masyarakat jawa berpandangan bahwa
dalam kehidupan ini peranan mereka sebagai bagian dari mikrokosmos haruslah
bagian dari makrokosmos. Keris pada arsitektur rumah Jawa ditempatkan pada posisi tengah,
karena keris merupakan perlambang pusaka atau kekuatan yang di dalamnya bisa melindungi
orang yang berada dilingkungan pemiliknya. Selain itu, keris juga salah satu benda yang
istimewa dan layak untuk disimpan di tempat yang istimewa. Bagian keris menjadi satu
menyiratkan hubungan vertikal. Sehingga keris dan pemilik dapat dikatakan sebagai
Dalam upaya pelestarian warisan budaya Indonesia, Museum Keris Nusantara memiliki
material hasil budaya yang memiliki nilai penting dari berbagai aspek untuk nantinya
dikomunikasikan dan dipamerkan kepada masyarakat umum melalui pameran museum. Salah
Maksud dari kajian koleksi Museum Keris Nusantara adalah sebagai berikut:
1.3. Metodologi
a. Pendekatan Penelitian
b. Jenis Data
1) Data primer
Data primer yang berasal dari identifikasi potensi yang ada serta hasil
2) Data sekunder
Data sekunder yang berasal dari studi dokumentasi, literatur, browsing melalui
internet dan arsip dari instansi yang terkait dengan kajian tersebut.
Studi dokumentasi
Studi dokumentasi atau biasa disebut dengan kajian dokumen merupakan teknik
Literatur
Studi literatur adalah mecari referensi teori yang relefan dengan kasus atau
permasalahan yang ditemukan. Referensi ini dapat dicari dari buku, jurnal,
artikel, laporan penelitian serta situs-situs di internet. Output dari studi literatur ini
Teknik Pengumpulan Data yang dilakukan untuk kajian ini adalah sebagai berikut :
1) Observasi
Kota Surakarta. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh data mengenai sejauh
mana kondisi fisik keris koleksi Museum Keris Nusantara Kota Surakarta. Selain itu,
hal yang berkaitan dengan sejarah dan penyebaran keris koleksi Museum Keris
2) Wawancara
suatu proses interaksi dan komunikasi antara peneliti dengan informan dalam
pengumpulan data. Dari hasil wawancara tersebut dapat diperoleh gambaran
keris, dan pemerhati tosan aji. Wawancara dilakukan secara langsung kepada
pembuatan keris, dalam penelitian ini juga dipersiapkan daftar pertanyaan yang
Dari hasil jawaban yang terkumpul dianalisis, kemudian dibuat kesimpulan mengenai
Analisis data yang digunakan pada kegiatan ini adalah teknik analisis kualitatif
sesuai dengan pendekatannya. Analisis data dilakukan setelah data yang terkumpul
diperoleh dari observasi, baik wawancara maupun studi pustaka. Kemudian data yang
sudah terkumpul tersebut dapat memberikan penjelasan mengenai kondisi fisik keris,
sejarah pembuatan keris serta sejarah penyebaran keris di Museum Keris Nusantara
Kota Surakarta.
Analisis dilakukan untuk mengetahui perjalanan historis atau sejarah yang terjadi dari
waktu ke waktu, sehingga dapat memaksimalkan data yang diperoleh pada masa
pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi
2. Pasal 1 ayat 3, “Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung
pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud
kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat
4. Pasal 1 ayat 5, “Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,
keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil
5. Pasal 1 ayat, “10 Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi
mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan
ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung
Jadi dari ketentuan umum tersebut sangat jelas sekali bahwa Museum Keris Nusantara
Kota Surakarta merupakan tempat wisata yang memiliki keunikan daya tarik wisata melalui
Koleksinya yang didukung juga oleh Pemerintah Daerah serta stakeholder yang nantinya
Nusantara Kota Surakarta adalah asas manfaat, kelestarian, berkelanjutan, kesataraan dan
kesatuan.
c. Bab VII Hak, Kewajiban dan Larangan bagian kedua Kewajiban pasal 23 poin C
mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya Tarik wisata dan
asset potensial yang belum tergali”. Dijelaskan bahwa peran pemerintah daerah untuk
memelihara, mengembangkan dan melestarikan sudah sangat jelas, dalam hal ini
Pemerintah Daerah Kota Surakarta yaitu dengan mendirikan Museum Keris Nusantara Kota
Surakarta. Selain itu, pada pasal 26 juga disampaikan mengenai kewajiban setiap
pengusaha pariwisata yang salah satunya adalah “memberikan informasi yang akurat dan
bertanggungjawab”. Harapannya hasil kajian ini nantinya dapat memberikan informasi yang
d. Bab VIII Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah Pasal 32 ayat 1, “Pemerintah
2.1.2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-
pusat dan Daerah Povinsi dan Daerah Kabupaten/Kota pada kolom V. Pembagian urusan
2.1.3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Rencana
a. Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 8,”Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang
budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisata.”
Koleksi keris di Museum Keris Nusantara Kota Surakarta menjadi salah satu daya tarik
wisata Indonesia. Karena koleksi yang berada di museum ini memiliki keunikan dan
keindahan yang tidak ada duanya. Keris-keris tersebut merupakan tinggalan kebudayaan
yang tak ternilai harganya dan merupakan hasil karya buatan manusia, dalam hal ini ahli
2.1.4. Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 Tentang
a. Bab I Ketentuan Umum Pasal 2,”Usaha daya Tarik Wisata adalah usaha pengelolaan
daya Tarik wisata alam, daya Tarik wisata budaya, dan/atau daya Tarik wisata/binaan
manusia”.
b. pasal 6,”usaha pengelolaan Museum adalah usaha penyediaan tempat dan fasilitas,
serta kegiatan pameran cagar budaya, benda seni,koleksi dan/atau replica yang memiliki
fungsi edukasi, rekreasi dan riset untuk mendukung pengembangan pariwisata dengan
2.1.5. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 28
Dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonnomi Kreatif Republik Indonesia Nomor
Insentif, Konferensi, dan Pameran tidak dijabarkan secara khusus terkait dengan museum dan
cagar budaya. Lebih banyak menjelaskan mengenai standar usaha jasa penyelenggaraan
2.1.6. Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 Tentang
Pedoman Destinasi pariwisata Berkelanjutan juga dijelaskan mengenai Daya Tarik Wisata.
Dimana daya Tarik wisata yang memiliki nilai-nilaki luhur harus senantiasa dilestarikan untuk
kehidupan bangsa.
Pemerintah daerah dalam membuat pedoman daya Tarik wisata harus sesuai dengan
indicator United nation World Tourism Organization (UNWTO) dan mendapatkan pengakuan
dari Global Sustainable Tourism Council (GSTC), sehingga harapannya dapat mensinergikan,
memperkuat tradisi dan kearifan local masyarakat yang multicultural dalam mengelola daya
tarik lingkungan alam dan budaya di destinasi pariwisata secara terpadu dan berkelanjutan.
Karena daya tarik wisata terutama Museum Keris Nusantara kota Surakarta memiliki keunikan,
keindahan, nilai budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan
kunjungan wisatawan.
2.1.7. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 Tahun 2016 tentang Rencana Induk
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 tahun 2016 tentang Rencana Induk Pembangunan
Loji Gandrung_ Museum PON 1 Stadion Sriwedari – Jalan bhayangkara – Taman Sriwedari.
Kawasan Pariwisata Strategis daerah adalah (KSPD) adalah Kawasan yang memiliki fungsi
utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata Daerah yang
mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi,
sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta
Sudah menjadi kenyataan bahwa karya tosan aji yang paling menonjol adalah keris
yang merupakan senjata penusuk pendek yang terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian bilah
dan ganja yang melambangkan lingga dan yoni. Dalam falsafah jawa yang memiliki akar kuat
pada falsafah agama Hindu, persatuan lingga dan yoni merupakan perlambang harapan atas
kesuburan, keabadian (kelestarian) dan kekuatan (Hasrinuksmo, 2008; 8-10). Keris juga dapat
diartikan sebagai senjata tikam yang bentuknya indah, asimetris (baik lurus maupun luk), dan
terbuat dari dua, tiga, atau beberapa macam logam yang ditempa menjadi satu (Haryoguritno,
2006; 26). Data prasasti membuktikan bahwa pndai wsi (pandai besi) sudah ada di abad X
(Jones, 1984; 50), bukti-bukti penggunaan senjata terbuat dari logam pada candi-candi abad
VIII-IX tentunya dapat menjadi asumsi bahwa para pande pada abad X sudah sangat terampil
membuat senjata-senjata yang menjadi cikal bakal dari keris yang kita kenal sekarang.
Keris sebagai salah satu karya budaya masyarakat Nusantara dalam bidang teknologi
tempa logam, tentunya memiliki keberagaman corak yang diperkirakan mulai berkembang pada
abad VI atau VII. G.B. Gardner dalam Hasrinuksmo menyatakan bahwa keris adalah
perkembangan bentuk dari senjata tikam masa prasejarah, sedangkan A.J. Barnet Kempers
menduga prototype keris merupakan perkembangan bentuk dari senjata penusuk pada zaman
perunggu (Hasrinuksmo, 2008;27). Ma Huan mencatat bahwa keris mencapai puncaknya pada
masa Kerajaan Majapahit. Pada waktu itu kemampuan membuat keris telah menyebar sampai
Campa, bahkan sampai ke Surathani dan Pathani di Thailand bagian selatan (Hasrinuksmo,
2008; 27). Dijelaskan oleh Ma Huan dalam laporannya bahwa di Jawa setiap laki-laki sejak
umur 3 tahun sampai dengan orang tua, baik orang kebanyakan atau berada, mengenakan
keris yang pegangannya diukir indah, terbuat dari emas, cula badak, atau gading gajah. Apabila
mereka bertengkar, maka dengan cepat masing-masing telah siap dengan kerisnya (Direktorat
bertahan pada era selanjutnya. Contohnya unsur arsitektural bentuk atap tumpang, seni ukir
sulur-suluran, tumbuhan melata (kalpatala), penataan halaman istana menjadi tiga, termasuk
pembuatan senjata jenis keris yang semakin anggun bentuknya (Direktorat Peninggalan
Purbakala, 2006; 33). Jenis kerispun semakin berkembang dan menyebar ke berbagai daerah
Sebagai karya budaya bersifat material, keris dapat dipandang sebagai objektivitas ide,
nilai, norma, peraturan, maupun perilaku masyarakat yang diwujudkan ke dalam bentuk
tertentu. Hal ini, mencerminkan budaya masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, wujud
keris di suatu daerah akan berbeda dengan wujud keris yang dihasilkan di daerah lain.
Perbedaan tersebut tidak secara kebetulan semata, akan tetapi memiliki latar belakang
pemikiran yang menghasilkan karakteristik khusus menurut kebutuhan budayanya. Hal ini,
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti letak geografis, kepercayaan adat-istiadat, tatanan
sosial, gaya hidup, dan kepercayaan, serta tentunya dipengaruhi pula oleh masa atau waktu
ketika keris itu dibuat (tangguh). Keris yang memiliki jenis dan kegunaan yang sama sekalipun
akan menampilkan citra bentuk yang berbeda, hal ini merupakan pencitraan identitas dari
Kata kris berate “menghunus” (Haryoguritno, 2006: 30). Senada dengan pendapat
tersebut, kusni memberikan penjelasan bahwa istilah keris sebagai artefak berasal dari
gabungan dua suku kata, yaitu ke dari asal kata “kekeran” dan ris dari asal kata “aris”. Arti kata
“kekeran” sendiri memiliki arti “pagar, penghalang, peringatan, atau pengendalian”, sedangkan
“aris” mempunyai arti “tenang, lambat, atau halus” (Kusni 1979: 108). Munculnya istilah keris ini
diperkirakan bermuara dari bahasa Jawa Ngoko yang terbentuk melalui proses jarwadosok .
Dalam pemahaman ini terlihat bahwa keris sebagai senjata tajam yang kategorinya termasuk
‘piranti’ untuk kekerasan, pengertiannya kemudain diperhalus melalui olah kata seperti itu.
Tersimpan harapan di dalam penghalusan itu bahwa keris dapat berfungsi untuk melindungi
pemiliknya dari ancaman yang bersifat fisik ataupun nonfisik (Arifin, 2006:15: Lumintu,
2002:10). Sebagai pelindung itu pengameng-ameng, keris juga diharapkan dapat berperan
memberikan pengertian berikut bahwa kata “aris” atau “haris” berarti kelakuan atau tindak-
tanduk yang tenang, sabar, lemah lembut, halus. Ia mencontohkan istilah anharis, inaris,
dengan hati-hati (baik hati, dengan lemah lembut), dengan mesra, dan kasih sayang. Kebalikan
dari aris atau haris adalah tan haris atau tan aris yang artinya keras, kasar, bengis, sengit, dan
galak (1997:340). Istilah pendukung lainnya dijumpai dalam istilah akris artinya menggunakan
keris yang anris, kinkris, silih keris yang artinya menusuk dengan menggunakan keris
(1997:520). Akan tetapi G.P.H Hadiwidjojo berpendapat bahwa kata keris yang berasal dari
bahasa jawa kuno sebenarnya tumbuh dari akar kata kres dalam bahasa Sansekerta (1950).
Istilah keris juga dijumpai pada prasasti-prasasti kuno sebagai sumber data arkeologis.
Data tertua yang menyebutkan istilah keris diperoleh dari lempengan prasasti perunggu asal
Karang Tengah berangka tahun 748 saka (842 Masehi) yang ditemukan di Dusun Karang
sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak. Sesaji itu antara lain berupa kres,
wangkiul, tewek punukan, wsi penghatap (Hasrinuksmo, 2008:24). Demikian pula yang tertulis
dalam prasasti Tukmas tahun 748 saka (842 Masehi) dan prasasti Humanding tahun 797 saka
(875 Masehi) yang ditemukan di Kelurahan Krapyak, Kec. Kenaren, Kalasan Yogyakarata. Isi
[….] mas ma 4 wdihan ranga yu 4 wadun 1 rinwas 1 patuk 1 kres 1 lukai rwak
punukan 1 landuk 1 lingis n[…].
Artinya :
[…] emas ma pola rangga 4 yu, sebilah wedung, sebilah kapak penebang kayu,
sebilah beliung, sebilah keris Sebilah parang, sebilah parang dengan kapak dibelakang
bilahnya, sebuah cangkul dan sebuah linggis […] (Timbul Haryono, 2001).
Prasasti Rukam (829 saka atau 907 Masehi) mengelompokkan keris sebagai alat atau
dan senjata yang terbuat dari besi. Isi prasasti tersebut menyebutkan bahwa :
[…] wsi-wsi prakara, wedung, rinwas, patuk-patuk, lukai, tampilan, linggis, tatah,
wangkiul, kres, gulumi, kerumbhagi, pamaja, kampi, dom […]
Artinya :
[…] segala keperluan yang dibuat dari besi berupa kapak perimbas, beliung,
sabit, tampilan, linggis, pahat, mata bajak, keris, tombak, pisau, ketam, kampit, jarum
[…] (Timbul Haryono, 2001).
Data arkeologis lain yang menyebutkan istilah keris terdapat pada prasasti Jurungan
yang berangka tahun 798 Saka (876 Masehi), prasasti Taji 823 Saka (901 Masehi), prasasti
Poh 827 Saka (905 Masehi), prasasti Wakajana 829 Saka (907 Masehi), dan prasasti
Sanggaran 850 Saka (928 Masehi), dan prasasti Bulian 1103 Saka (1181 Masehi) (Neka dan
Yuwono, 2010:33-38). Selain itu, ditemukan juga beberapa prasasti yang menceritakan
keberadaan juru pande, antara lain prasasti Sukawana A1 tahun 804 Saka (882 Masehi),
prasasti Pura Kehen C tahun 1126 Saka (1204 Masehi), prasasti Tambelingan 1 dan 2 tahun
1306 dan 1320 Saka (1384 dan 1398 Masehi) (Neka dan Yuwono, 2010:38).
Catatan dalam prasasti tersebut menunjukkan bahwa keris telah dikenal pada kisaran
awal abad VIII, dan istilah kris telah cukup popular di masyarakat pada masa itu. Berbagai
temuan arkeologis tersebut mununjukkan bahwa bila ditekusur ke belakang ada indikasi bahwa
istilah ‘keris’ berasal dari bahasa Sansekerta. Data arkeologis berupa prasasti tersebut rata-rata
menyebut istilah ‘kres’ dalam konteks bahasa Sansekerta yang kemudian berubah
penyebutannya menjadi ‘kris’ dalam bahasa Jawa kuna dan kemudian menjadi ‘keris’ dalam
bahasa Jawa Baru dan yang diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia (Arifin, 2006: 13-14).
Keris sebagai salah satu puncak karya seni tradisional bidang tempa logam, terdapat
hampir di seluruh Nusantara. Temuan arkeologis dan data sejarah menunjukkan bahwa keris
pada awalnya dibuat di pulau Jawa (Haryoguritno, 2006: 10). Demikian pula dengan istilah
‘keris’ berasal dari Jawa sebelum menyebar dan popular dipergunakan hampir di seluruh
keris di luar Pulau Jawa misalnya di Bali disebut kadutan, di Sumatera Barat disebut karih atau
karieh, di Sulawesi Selatan disebut selle, tappi atau tapping, di Minahasa disebut kekesur, di
Aceh disebut ponok, di Filifina disebut sundang atau sondang, di Lampung disebut terapang, di
Madura disebut kerris, dan lain sebagainya (Sumitarsih dkk, 1990: 2). Selain itu di Jambi keris
Selain itu, dapat dijumpai pula dari relief-relief yang tergambar pada badan Candi
Borobudur. Dapat dilihat pada relief Candi Borobudur di sudut bawah bagian tenggara,
tergambar beberapa orang prajurit yang membawa senjata tajam yang mirip dengan keris yang
kita kenal sekarang ini. Di candi Sewu juga terlihat dwarapala (2 arca prajurit) raksasa yang
membawa senjata tajam/tikam yang diselipkan pada pinggang yang mirip dengan senjata keris.
Sementara itu, edisi pertama dan kedua yang disusun oleh Prof. P. A. Van Der Lith
menyebutkan, sewaktu stupa induk Candi Borobudur yang dahulu dibangun pada tahun 875 M
tersebut dibongkar, ditemukan sebilah keris tua. Keris tersebut menyatu antara bilah dengan
hulunya. Tetapi bentuk keris tersebut tidak serupa dengan keris yang tergambar pada relief
candi.
Selain itu, Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java (1817), pernah
menyebutkan bahwa pernah melihat seorang prajurit Jawa yang menyandang tiga buah keris
sekaligus. Disebutkan pula dama bukunya, bahwa tidak kurang dari 30 jenis senjata yang
dimiliki dan digunakan oleh Prajurit Jawa waktu itu, termasuk senjata api, tetapi dari aneka
Kemudian penggambaran yang paling jelas mengenai proses pembuatan keris, dapat
kita jumpai pada relief di Candi Sukuh. Pada Candi Sukuh digambarkan cara pembuatan keris
yang hampir sama dengan proses pembuatan keris pada masa sekarang ini, baik peralatan
kerja, palu dan ububan, maupun hasil karyanya berupa keris, tombak, kudi, dan senjata lainnya.
Kemudian disebutkan pula pada Manuskrip Babad Brahmana Pande merupakan naskah
yang paling lengkap yang memuat mengenai seni tempa keris dari berbagai aspeknya, yang
antara lain mengenai yoga, rerajahan, mantra, teknologi, bentuk keris, pamor, jenis keris dan
tuahnya, banten atau sesaji serta jenis keris dan kecocokannya dengan pemiliknya. Ilmu
kepandean keris sebagai ilmu yang atama atau rahasia antara lain tercantum dalam kalimat
berikut:
“mangkana kramanya haywã tãn prayatna, haywã himã-himã, patitis-aknã ring ŭarran
tã, haywã surup, mãpan bwat ŭttãma karma ka” .
Artinya ‘demikianlah halnya jangan tidak hati-hati, jangan meremehkan, itu semua
satukan/konsentrasikan pada dirimu. Jangan sampai salah menggunakan ilmu ini oleh karena
merupakan ilmu yang sangat rahasia. Manuskrip yang memberikan penjelasan hampir sama
terdapat dalam naskah ‘kaweruh empu’ bahwa kacurigan merupakan ilmu kang sinengker
paduwungan/kaweruh kacurigan) dikenal dengan istilah ilmu kang sinengker atau ilmu yang
disembunyikan, mengapa demikian karena tabu untuk dibicarakan secara luas karena hanya
orang-orang dan golongan masyarakat tertentu yang bisa mempelajaarinya. Dunia perkerisan
hanya menjadi monopoli ilmu pengetahuan bagi masyarakat kelas atas dan para bangsawan
(Haryoguritno, 2006: 8). Dampak dari persebaran ilmu perkerisan yang tertutup tersebut
membuat minimnya data tertulis yang ditinggalkan, keadaan ini menyebabkan sulitnya
memperoleh data untuk menguak keagungan keris karena sering terjadi pembiasan yang
terlampau jauh terhadap aspek-aspek tertentu yang berhubungan dengan nilai. Lebih jauh,
dunia keris terdapat aspek yang cukup luas, yaitu aspek etimologis, aspek seni, aspek bentuk,
aspek material, aspek teknologi, aspek filosofis, aspek sejarah dan mistis (Basuki,2011: 10).
Keris memiliki pengertian makna simbol secara lebih luas dan lebih mendalam bagi
masyarakat Jawa. Pengertian keris sehari-hari oleh masyarakat secara umum dianggap
sebagai senjata tajam yang bersarung dan berbilah lurus atak berlekuk-lekuk. Dalam kehidupan
masyarakat jawa yang keadannya lebih terbuka, pengertian keris mengalami pertumbuhan
makna sejalan dengan perkembangan dari rasa bahasa dan sistem simbol yang dipahami
masyarakat. Keris dimengerti sebagai kaitan maknawi yang cenderung lebih abstrak dan
mendalam (filosofis), sehingga secara kontekstual mengikuti rasa bahasa tertentu. Beberapa
seperti itu. Misalnya peribahasa yang berbunyi “ora keris yen ora keras” (bukan keris kalau tidak
kuat atau tegas). “kekeran karono aris” (menjaga diri denga keris). Pengetian tentang keris yang
seperti itu, menunjukkan bahwa peristilahan keris sebenarnya mengandung pengertian yang
khusus tentang hadirnya kekuatan atau kemampuan yang tidak berwujud, bersumber dari
dalam diri sendiri dan tampilan diri sendiri pula. Sebagai suatu kekuatan, keris dipandang
sebagai faktor instrumental yang berfungsi dalam keadaan tertentu. Fungsi senjata itu akan
efektif menjadi suatu kekuatan juga turut ditentukan oleh orang yang menggunakannya.
Kesadaran tersebut mendorong orang Jawa untuk mengkaji lebih mendalam, dalam kaitan
Lebih jauh lagi, keris bagi orang Jawa memiliki pengertian yang mendalam dan
merupakan benda yang dianggap penting karena memiliki muatan nilai yang menjadi acuan
khusus bagi masyarakat, bahkan mempengaruhi sikap-sikap yang bersifat simbolis. Keris
bukan semata-mata sebagai senjata tajam, namun merupakan sebuah objek yang penuh
makna simbolis dan dipercaya memiliki kekuatan supranatural tersembunyi (Centini Jilid 3,
2008:238-244).
Jawa yang berdiri pada abad ke-17. Kesultanan ini dipimpin oleh dinasti keturunan Ki Ageng
Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai keturunan penguasa Majapahit. Asal-
usul kerajaan Mataram Islam berawal dari suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang,
berpusat di 'Bumi Mentaok' yang diberikan untuk Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas
jasa yang diberikannya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), ia
Kerajaan Mataram Islam pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan
Madura. Kerajaan ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin
berkuasanya VOC, namun ironisnya Kerajaan ini malah menerima bantuan VOC pada masa
beberapa jejak sejarah yang dapat ditemui hingga kini, seperti kampung Matraman di
tahta dengan gelar Panembahan Senopati. Pada masa itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa
berada di daerah Mentaok, wilayah nya terletak kira-kira di selatan Bandar Udara Adisucipto
sekarang (timur Kota Yogyakarta). Lokasi keraton pada masa awal terletak di Banguntapan,
putranya, yaitu Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat yang
disebabkan oleh kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Setelah itu, tahta
pindah ke putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati
Martoputro memiliki penyakit syaraf sehingga tahtanya beralih dengan cepat ke putra
sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang. Pada masa pemerintahan Mas
b. Terpecahnya Mataram
Pada tahun 1647 Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered, tidak jauh dari
Karta. Pada saat itu, ia tidak lagi memakai gelar sultan, melainkan 'sunan' (berasal dari kata
banyak yang tidak puas dan pemberontakan. Pernah terjadi pemberontakan besar yang
dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat untuk berkomplot dengan VOC. Pada
tahun 1677 Amangkurat I meninggal di Tegalarum ketika mengungsi sehingga ia dijuluki
VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak suka dan pemberontakan terus terjadi.
Pada tahun 1680 kraton dipindahkan lagi ke Kartasura. karena kraton yang lama dianggap
telah tercemar.
1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena ia tidak patuh (tunduk) kepada
VOC sehingga VOC menobatkan Pakubuwana I sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki
dua orang raja dan hal tersebut menyebabkan perpecahan internal di Kerajaan. Amangkurat
III kemudian memberontak dan menjadi ia sebagai "king in exile" hingga akhirnya
Kekacauan politik ini baru terselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian
wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta
(Pada 13 Februari 1755). Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti.
Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian
Keris merupakan salah satu karya nenek moyang bangsa Indonesia dalam khasanah
budaya tradisional. Pembuatan karya seni tersebut menggunakan teknik tempa yang cukup
rumit. Kerumitannya terletak pada seni tempa pamor yang indah. Ada anggapan bahwa motif
pamor pada bilah keris adalah campur tangan para dewa, makhluk gaib atau kekuatan
supranatural lain. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa keris masa lalu oleh sebagian
(bergerak maupun tak bergerak) dan teks. Data tekstual menyatakan bahwa memang ada
suatu benda yang digunakan pada zaman dahulu yang disebut dengan kris. Penyebutan kris
atau keris terdapat di prasasti-prasasti berbahasa jawa kuna dari Jawa yang merinci tentang
upacara penetapan tanah sima, yaitu tanah yang dibebaskan dari pembayaran pajak kepada
‘negara/pusat’ karena satuan wilayah yang bersangkutan dibebani kewajiban tertentu, biasanya
Ada kalanya pula suatu desa diberi status sima karena jasa tertentu dari penduduknya
kepada raja. Di antara bagian-bagian teks prasasti yang berkenaan dengan upacara itu
terdapat bagian yang merinci apa yang disebut saji sang makudur. Inti dari upacara
penetapan sima itu adalah: pemimpin upacara, yang disebut sang makudur itu, menandai
perubahan status tanah dengan menetak leher ayam dan membantingkan telur di atas batu
pusat upacara yang disebut watu kulumpang dan sanghyang watu sima, lalu ia
mengucapkan sumpah tentang perubahan status itu agar disaksikan oleh dewa-dewa dan
kekuatan-kekuatan alam yang diserunya, dan minta agar kekuatan-kekuatan itu juga akan
memberikan sanksi apabila ada pihak-pihak yang melanggar ketentuan perubahan status itu.
Bersamaan dengan pelaksanaan upacara itu disiapkan pula sejumlah benda terbuat dari
logam yang disebut saji sang makudur. Sejumlah nama benda yang disebut sebagai saji itu
antara lain adalah twek punukan (pemotong/penusuk yang 'berpunggung' / arit?), nakka-cheda
(pemotong kuku), wangkyul (cangkul?), kris, dan lain-lain. Jelas penyebutan kris dalam konteks
itu adalah di antara benda-benda tajam, meski bagaimana rincian kualifikasi teknisnya tidak
dapat diketahui.
Dapat disimpulkan bahwa pada masa lalu terdapat suatu alat tajam yang disebut
dengan kris, dan sudah tentu sebagaimana peralatan lainnya yang disebut, digunakan dalam
kehidupan sehari-hari pada masa tersebut. Diantara benda-benda fungsional yang lain itu
menyiratkan bahwa kris pada waktu sekitar abad ke-9 dan 10 Masehi, sesuai dengan usia
prasasti-prasasti yang memuatnya memounyai kegunaan praktis, dan belum bernuansa mistik
dan dianggap sebagai pusaka seperti halnya keris pada masa kemudian sampai masa kini.
Pada adegan-adegan yang dipahatkan sebagai relief candi pada masa Jawa Kuna itu
Senjata inilah yang paling dekat kemiripan bentuknya dengan keris, walau
perbedaannya jelas juga, yaitu bilahnya lebih lebar merata, sedangkan keris lebih ramping
meruncing. Senjata seperti itu juga sering disandang oleh area-area penjaga (dwarapala) yang
berbadan besar dan gemuk. Sebuah pahatan relief yang terdapat pada eandi Sukuh (abad ke-
14 Masehi, di lereng gunung Lawu) memperlihatkan adegan di tempat kerja pandai besi, di
mana terlihat sejumlah benda (besi) yang dihasilkan, antara lain sebuah alat tusuk berbilah
ramping runcing, seperti halnya bilah keris yang kita kenal dewasa ini. Dengan demikian
dapatlah dikatakan bahwa bentuk keris seperti yang dikenal sekarang sudah lazim didapati
pada abad ke-14 Masehi. Apakah bentuknya memang sejak lama demikian, termasuk yang
dikenal dengan sebutan kris pada prasasti-prasasti sekitar abad ke-10, hanyalah dapat
diperkirakan.
Pulau Jawa diduga sudah mengenal keris sekitar abad ke-6 atau ke-7 (Zoetmulder,
1985: 87). Di kalangan penggemarnya, keris buatan masa itu disebut keris Buda atau
kabudhan. Sesuai dengan kedudukannya sebagai sebuah karya awal sebuah budaya,
bentuknya masih sederhana. Menurut Serat Pustaka Raja Purwa, pusaka atau senjata orang
Jawa sebelum keris berupa jemparing, tomara, dadali, nenggala, sali, druwasa, trisula,
musala, musara, lori, bajra, gandi, palu, piling, putu, ca/um, sadaka,baradi, gada, bindi,
badama, denda, kretala, a/u-a/u, a/ugora, sarampang, busur, gayur, salukun, cacap, calimprit,
berang, rajang, tamsir, kanjar, karsula, sa/emuka, lohita muka, barandang, kalawahi, taladak,
Dr. J.L.A. Brandes secara hipotetis pernah mengatakan bahwa jauh sebelum mendapat
pengaruh dari kebudayaan India, bangsa Indonesia telah memiliki pengetahuan dan
adalah salah satu dari 10 unsur kebudayaan yang telah dimiliki bangsa Indonesia yaitu : (1)
wayang, (2) gamelan, (3) ilmu irama puisi, (4) membatik, (5) mengerjakan logam, (6) sistem
rnata uang, (7) ilmu pelayaran, (8) astronomi, (9) penanaman padi, dan (10) birokrasi
pemerintahan yang teratur. Di Indonesia memang telah banyak ditemukan artefak logam yang
berasal dari masa perundagian. Pembuatan keris sangat berkaitan erat dengan ilmu metalurgi
yaitu ilmu tentang logam. Di Jawa pada umumnya masyarakat mengelompokkan keris ke dalam
'tosan aji' atau 'wesi aji', artinya besi yang bernilai tinggi atau dimuliakan. ltulah sebabnya maka
dalam lingkungan budaya kerajaan Jawa, penyebutan keris sebagai pusaka kraton selalu diberi
Walaupun masyarakat Jawa pada zaman dahulu umumnya beragama Hindu dan
Budha, namun tidak pernah ditemukan bukti bahwa budaya keris berasal dari India atau negara
lain. Tidak pula ditemukan bukti adanya kaitan langsung antara senjata tradisional itu dengan
kedua agama itu. Jika pada beberapa candi di Pulau Jawa ditemui adanya relief yang
menggambarkan adanya senjata yang berbentuk keris, maka pada candi yang ada di India atau
negara lain, bentuk senjata yang menyerupai keris tidak pernah ada. Pada pemandian Candi
Cetha, di lereng Gunung Lawu, terdapat sebuah patung yang menggambarkan seorang lelaki
Jawa memakai pakaian Jawa lengkap dengan keris diselipkan di pinggang. Candi Cetha
Bahkan senjata yang berpamor, tidak pernah ada dalam sejarah India. Bentuk senjata
yang menyerupai keris pun tidak pernah dijumpai di negeri lain selain India. Kitab Mahabarata
dan Ramayana yang ditulis pujangga India, tidak menyebut satu pun senjata yang bernama
keris. Jenis senjata yang ada dalam buku epos agama Hindu itu adalah gendewa, gada,
pedang, tombak, kunta, limpung, nenggala dan cakra. Tetapi tidak sepotong-pun menyebut
keris! Keris baru dijumpai setelah kedua cerita itu diadaptasi oleh orang Jawa dan menjadi
cerita wayang (Sudewa, 1989: 65). Misalnya, Arjuna memiliki keris yang bernama Keris Kyai
Pulanggeni dan Kyai Pasopati. Meskipun keris digolongkan sebagai jenis senjata tikam, tapi
keris dibuat bukan semata-mata untuk membunuh. Keris bagi masyarakat Jawa lebih bersifat
sebagai senjata dalam pengertian simbolis spiritual, yakni sifat kandel. Karenanya oleh
Keris merupakan benda seni yang meliputi seni tempa, seni ukir, seni pahat, seni
bentuk, serta seni perlambang. Pembuatannya selalu disertai dengan doa-doa tertentu,
berbagai mantera, serta upacara dan sesaji khusus (Moedjanto, 1994:76). Setiap empu akan
memulai proses pembuatan keris senantiasa memohon kepada Yang Maha Kuasa, dengan
harapan agar hasilnya baik, tidak mencelakakan pemiliknya maupun orang lain.
Di dalam sumber-sumber tertulis seperti prasasti dan naskah sastra banyak disebut-
sebut kelompok profesi pembuat artefak logam dengan sebutan 'pande' atau 'pandai' sesuai
dengan bidangnya masing-masing. Oleh karena itu dikenal adanya pande mas, pandai salaka
(perak), pande tamra atau pande tamwaga (tembaga), pande kamsa atau gangsa (perunggu)
dan pande wsi. Bahkan spesialisasi pekerjaan bukan atas dasar bahan saja tetapi juga atas
dasar benda yang dihasilkan. Pada masa itu dikenal pande dang (ahli dalam pembuatan bejana
atau dandang), pande dadap (ahli di bidang pembuatan perisai), pande kawat (ahli pembuatan
kawat),
pande singasingan atau apande sisinghen (ahli di bidang pembuatan senjata tajam, termasuk
pembuat keris). Mereka (masyarakat pande) membentuk kelompok sendiri yang diketuai oleh
seorang pemimpin disebut dengan istilah 'tuha gusali' atau 'juru gusa/i'. Tempat 'gusa/i' yaitu
'gusalian' tersebut sekarang menjadi kata ' besalen' yang artinya juga tempat pertukangan
logam. Kelompok masyarakat pande logam tersebut di dalam kehidupan sosial termasuk
sebagai kelompok sang mangi/a/a drawya haji atau sang maminta drwya haji yaitu para abdi
dalam kraton yang tidak mendapatkan daerah /ungguh sehingga kehidupan ekonominya
Keris merupakan senjata yang bertuah dan berfungsi sebagai 'pusaka', dipaparkan
dalam karya sastra kronik yang berjudul Pararaton, yang diperkirakan ditulis pada sekitar abad
ke-16 Masehi. Di situlah terdapat tema dasar cerita mengenai "keris Empu Gandring", yang
dipesan khusus dan kemudian 'memakan' korban tokoh demi tokoh pimpinan kerajaan, yaitu
Tunggul Ametung, Ken Angrok, dan seterusnya. Dalam narasi tersebut sudah ditampilkan
kualifikasi suatu keris sebagai sesuatu yang dapat amat bertuah. Dinyatakan juga bahwa
kekuatan tuah suatu keris itu bergantung pada tingkat kesaktian pembuatnya, yang pada
gilirannya dapat memasukkan daya sakti itu ke dalam keris yang dibuatnya. Namun uraian
mengenai teknik pembuatan suatu keris tidak ditonjolkan, bahkan sama sekali tak disebut,
Dari karya-karya sastra berbahasa Jawa Kuna sejak abad ke-11 Masehi, khususnya
dalam kakawin Arjunawiwoha yang ditulis di masa pemerintahan Raja Erlangga, telah dapat
dijumpai kutipan yang menyatakan bahwa bahwa Keris adalah senjata untuk perang. Demikian
juga dalam kakawin Sumanasontaka yang ditulis di masa Kadiri (abad ke-12 M.) disebutkan
keris sebagai senjata potong. Selanjutnya dalam kakawin Sutasoma yang ditulis pada abad ke-
14 M. di masa Majapahit, disebutkan bahwa senjata keris itu diberi sarung, dan dibuka jika
hendak dipakai.
perkerisan dengan sejarah Indonesia bukan seperti benang merah yang jelas. Hal ini
disebabkan karena studi atau kajian sejarah tentang perkerisan di Indonesia secara khusus