Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Penyebaran Keris

Keris merupakan salah satu karya nenek moyang bangsa Indonesia dalam khasanah

budaya tradisional. Pembuatan karya seni tersebut menggunakan teknik tempa yang cukup

rumit. Kerumitannya terletak pada seni tempa pamor yang indah. Ada anggapan bahwa motif

pamor pada bilah keris adalah campur tangan para dewa, makhluk gaib atau kekuatan

supranatural lain. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa keris masa lalu oleh sebagian

masyarakat dikeramatkan dengan segala akibat sampingnya (Haryoguritno, 2006:3).

Peninggalan masa Jawa Kuno yang dapat memberikan gambaran mengenai

kebudayaan pada waktu itu adalah peninggalan-peninggalan yang berupa benda-benda

(bergerak maupun tak bergerak) dan teks. Data tekstual menyatakan bahwa memang ada

suatu benda yang digunakan pada zaman dahulu yang disebut dengan kris. Penyebutan kris

atau keris terdapat di prasasti-prasasti berbahasa jawa kuna dari Jawa yang merinci tentang

upacara penetapan tanah sima, yaitu tanah yang dibebaskan dari pembayaran pajak kepada

‘negara/pusat’ karena satuan wilayah yang bersangkutan dibebani kewajiban tertentu, biasanya

untuk merawat suatu bangunan suci.

Ada kalanya pula suatu desa diberi status sima karena jasa tertentu dari penduduknya

kepada raja. Di antara bagian-bagian teks prasasti yang berkenaan dengan upacara itu

terdapat bagian yang merinci apa yang disebut saji sang makudur. Inti dari upacara

penetapan sima itu adalah: pemimpin upacara, yang disebut sang makudur itu, menandai

perubahan status tanah dengan menetak leher ayam dan membantingkan telur di atas batu

pusat upacara yang disebut watu kulumpang dan sanghyang watu sima, lalu ia

mengucapkan sumpah tentang perubahan status itu agar disaksikan oleh dewa-dewa dan

kekuatan-kekuatan alam yang diserunya, dan minta agar kekuatan-kekuatan itu juga akan

memberikan sanksi apabila ada pihak-pihak yang melanggar ketentuan perubahan status itu.

Bersamaan dengan pelaksanaan upacara itu disiapkan pula sejumlah benda terbuat dari

logam yang disebut saji sang makudur. Sejumlah nama benda yang disebut sebagai saji itu
antara lain adalah twek punukan (pemotong/penusuk yang 'berpunggung' / arit?), nakka-cheda

(pemotong kuku), wangkyul (cangkul?), kris, dan lain-lain. Jelas penyebutan kris dalam konteks

itu adalah di antara benda-benda tajam, meski bagaimana rincian kualifikasi teknisnya tidak

dapat diketahui.

Dapat disimpulkan bahwa pada masa lalu terdapat suatu alat tajam yang disebut

dengan kris, dan sudah tentu sebagaimana peralatan lainnya yang disebut, digunakan dalam

kehidupan sehari-hari pada masa tersebut. Diantara benda-benda fungsional yang lain itu

menyiratkan bahwa kris pada waktu sekitar abad ke-9 dan 10 Masehi, sesuai dengan usia

prasasti-prasasti yang memuatnya memounyai kegunaan praktis, dan belum bernuansa mistik

dan dianggap sebagai pusaka seperti halnya keris pada masa kemudian sampai masa kini.

Pada adegan-adegan yang dipahatkan sebagai relief candi pada masa Jawa Kuna itu

kadang-kadang dapat dijumpai tokoh-tokoh yang menyandang atau memegang semacam

senjata tajam. Pada area-area dewi Durgamahi~asuramardini yang bertangan 8 atau 10

seringkali dijumpai senjata khadga (pedang pendek) di salah satu tangannya.

Senjata inilah yang paling dekat kemiripan bentuknya dengan keris, walau

perbedaannya jelas juga, yaitu bilahnya lebih lebar merata, sedangkan keris lebih ramping

meruncing. Senjata seperti itu juga sering disandang oleh area-area penjaga (dwarapala) yang

berbadan besar dan gemuk. Sebuah pahatan relief yang terdapat pada eandi Sukuh (abad ke-

14 Masehi, di lereng gunung Lawu) memperlihatkan adegan di tempat kerja pandai besi, di

mana terlihat sejumlah benda (besi) yang dihasilkan, antara lain sebuah alat tusuk berbilah

ramping runcing, seperti halnya bilah keris yang kita kenal dewasa ini. Dengan demikian

dapatlah dikatakan bahwa bentuk keris seperti yang dikenal sekarang sudah lazim didapati

pada abad ke-14 Masehi. Apakah bentuknya memang sejak lama demikian, termasuk yang

dikenal dengan sebutan kris pada prasasti-prasasti sekitar abad ke-10, hanyalah dapat

diperkirakan.
Pulau Jawa diduga sudah mengenal keris sekitar abad ke-6 atau ke-7 (Zoetmulder,

1985: 87). Di kalangan penggemarnya, keris buatan masa itu disebut keris Buda atau

kabudhan. Sesuai dengan kedudukannya sebagai sebuah karya awal sebuah budaya,

bentuknya masih sederhana. Menurut Serat Pustaka Raja Purwa, pusaka atau senjata orang

Jawa sebelum keris berupa jemparing, tomara, dadali, nenggala, sali, druwasa, trisula,

candrasa, ardacandra, candrapurnama, martyajiwa, limpung, tuhuk, parasu, duduk, boji,

musala, musara, lori, bajra, gandi, palu, piling, putu, ca/um, sadaka,baradi, gada, bindi,

badama, denda, kretala, a/u-a/u, a/ugora, sarampang, busur, gayur, salukun, cacap, calimprit,

berang, rajang, tamsir, kanjar, karsula, sa/emuka, lohita muka, barandang, kalawahi, taladak,

karantang, luyang (Zoetmulder, 1985: 89).

Dr. J.L.A. Brandes secara hipotetis pernah mengatakan bahwa jauh sebelum mendapat

pengaruh dari kebudayaan India, bangsa Indonesia telah memiliki pengetahuan dan

kemampuan dalam bidang metalurgi (Brandes, 1889:152). Pengetahuan metalurgi tersebut

adalah salah satu dari 10 unsur kebudayaan yang telah dimiliki bangsa Indonesia yaitu : (1)

wayang, (2) gamelan, (3) ilmu irama puisi, (4) membatik, (5) mengerjakan logam, (6) sistem

rnata uang, (7) ilmu pelayaran, (8) astronomi, (9) penanaman padi, dan (10) birokrasi

pemerintahan yang teratur. Di Indonesia memang telah banyak ditemukan artefak logam yang

berasal dari masa perundagian. Pembuatan keris sangat berkaitan erat dengan ilmu metalurgi

yaitu ilmu tentang logam. Di Jawa pada umumnya masyarakat mengelompokkan keris ke dalam

'tosan aji' atau 'wesi aji', artinya besi yang bernilai tinggi atau dimuliakan. ltulah sebabnya maka

dalam lingkungan budaya kerajaan Jawa, penyebutan keris sebagai pusaka kraton selalu diberi

kata sandang 'Kyai' atau 'Kanjeng Kyai'.

Walaupun masyarakat Jawa pada zaman dahulu umumnya beragama Hindu dan

Budha, namun tidak pernah ditemukan bukti bahwa budaya keris berasal dari India atau negara

lain. Tidak pula ditemukan bukti adanya kaitan langsung antara senjata tradisional itu dengan

kedua agama itu. Jika pada beberapa candi di Pulau Jawa ditemui adanya relief yang
menggambarkan adanya senjata yang berbentuk keris, maka pada candi yang ada di India atau

negara lain, bentuk senjata yang menyerupai keris tidak pernah ada. Pada pemandian Candi

Cetha, di lereng Gunung Lawu, terdapat sebuah patung yang menggambarkan seorang lelaki

Jawa memakai pakaian Jawa lengkap dengan keris diselipkan di pinggang. Candi Cetha

tersebut, merupakan peninggalan dari abad ke-15.

Bahkan senjata yang berpamor, tidak pernah ada dalam sejarah India. Bentuk senjata

yang menyerupai keris pun tidak pernah dijumpai di negeri lain selain India. Kitab Mahabarata

dan Ramayana yang ditulis pujangga India, tidak menyebut satu pun senjata yang bernama

keris. Jenis senjata yang ada dalam buku epos agama Hindu itu adalah gendewa, gada,

pedang, tombak, kunta, limpung, nenggala dan cakra. Tetapi tidak sepotong-pun menyebut

keris! Keris baru dijumpai setelah kedua cerita itu diadaptasi oleh orang Jawa dan menjadi

cerita wayang (Sudewa, 1989: 65). Misalnya, Arjuna memiliki keris yang bernama Keris Kyai

Pulanggeni dan Kyai Pasopati. Meskipun keris digolongkan sebagai jenis senjata tikam, tapi

keris dibuat bukan semata-mata untuk membunuh. Keris bagi masyarakat Jawa lebih bersifat

sebagai senjata dalam pengertian simbolis spiritual, yakni sifat kandel. Karenanya oleh

sebagian orang keris juga dianggap memiliki kekuatan gaib.

Keris merupakan benda seni yang meliputi seni tempa, seni ukir, seni pahat, seni

bentuk, serta seni perlambang. Pembuatannya selalu disertai dengan doa-doa tertentu,

berbagai mantera, serta upacara dan sesaji khusus (Moedjanto, 1994:76). Setiap empu akan

memulai proses pembuatan keris senantiasa memohon kepada Yang Maha Kuasa, dengan

harapan agar hasilnya baik, tidak mencelakakan pemiliknya maupun orang lain.

Di dalam sumber-sumber tertulis seperti prasasti dan naskah sastra banyak disebut-

sebut kelompok profesi pembuat artefak logam dengan sebutan 'pande' atau 'pandai' sesuai

dengan bidangnya masing-masing. Oleh karena itu dikenal adanya pande mas, pandai salaka

(perak), pande tamra atau pande tamwaga (tembaga), pande kamsa atau gangsa (perunggu)

dan pande wsi. Bahkan spesialisasi pekerjaan bukan atas dasar bahan saja tetapi juga atas
dasar benda yang dihasilkan. Pada masa itu dikenal pande dang (ahli dalam pembuatan bejana

atau dandang), pande dadap (ahli di bidang pembuatan perisai), pande kawat (ahli pembuatan

kawat),

pande singasingan atau apande sisinghen (ahli di bidang pembuatan senjata tajam, termasuk

pembuat keris). Mereka (masyarakat pande) membentuk kelompok sendiri yang diketuai oleh

seorang pemimpin disebut dengan istilah 'tuha gusali' atau 'juru gusa/i'. Tempat 'gusa/i' yaitu

'gusalian' tersebut sekarang menjadi kata ' besalen' yang artinya juga tempat pertukangan

logam. Kelompok masyarakat pande logam tersebut di dalam kehidupan sosial termasuk

sebagai kelompok sang mangi/a/a drawya haji atau sang maminta drwya haji yaitu para abdi

dalam kraton yang tidak mendapatkan daerah /ungguh sehingga kehidupan ekonominya

tergantung dari upah yang diambil dari perbendaharaan kerajaan.

Keris merupakan senjata yang bertuah dan berfungsi sebagai 'pusaka', dipaparkan

dalam karya sastra kronik yang berjudul Pararaton, yang diperkirakan ditulis pada sekitar abad

ke-16 Masehi. Di situlah terdapat tema dasar cerita mengenai "keris Empu Gandring", yang

dipesan khusus dan kemudian 'memakan' korban tokoh demi tokoh pimpinan kerajaan, yaitu

Tunggul Ametung, Ken Angrok, dan seterusnya. Dalam narasi tersebut sudah ditampilkan

kualifikasi suatu keris sebagai sesuatu yang dapat amat bertuah. Dinyatakan juga bahwa

kekuatan tuah suatu keris itu bergantung pada tingkat kesaktian pembuatnya, yang pada

gilirannya dapat memasukkan daya sakti itu ke dalam keris yang dibuatnya. Namun uraian

mengenai teknik pembuatan suatu keris tidak ditonjolkan, bahkan sama sekali tak disebut,

seolah-olah memang sesuatu yang harus dirahasiakan.

Dari karya-karya sastra berbahasa Jawa Kuna sejak abad ke-11 Masehi, khususnya

dalam kakawin Arjunawiwoha yang ditulis di masa pemerintahan Raja Erlangga, telah dapat

dijumpai kutipan yang menyatakan bahwa bahwa Keris adalah senjata untuk perang. Demikian

juga dalam kakawin Sumanasontaka yang ditulis di masa Kadiri (abad ke-12 M.) disebutkan

keris sebagai senjata potong. Selanjutnya dalam kakawin Sutasoma yang ditulis pada abad ke-
14 M. di masa Majapahit, disebutkan bahwa senjata keris itu diberi sarung, dan dibuka jika

hendak dipakai.

Pada dasarnya perkembangan serta penyebaran keris di Nusantara tidak dapat

dipisahkan dari Kerajaan-kerajaan yang berada di Indonesia. Sebenarnya garis sejarah

perkerisan dengan sejarah Indonesia bukan seperti benang merah yang jelas. Hal ini

disebabkan karena studi atau kajian sejarah tentang perkerisan di Indonesia secara khusus

belum pernah dilakukan.

Tabel Penyebaran Keris berdasarkan Kerajaan di Indonesia

No Kerajaan Tahun Keterangan

1. Mataram Hindu Abad ke 8-10 M Diperkirakan budaya tentang


keris sudah mulai tumbuh dan
mulai diciptakan/dibuat, misal
keris buda, keris sajen
2. Kahuripan, Jenggala, Daha Abad ke 10-13 M Keris Jenggala dianggap
dan Singosari beberapa penggemar tosan aji
memiliki besi yang bagus dan
memiliki kualitas yang baik.
Kemudian Singosari dengan
cerita tentang kesaktian seorang
pembuat keris bernama empu
Gandring
3. Kerajaan Majapahit Abad ke 13-15 M Diperkirakan pada masa Kerajaan
majapahit inilah budaya keris
mulai menyebar ke seluruh
Nusantara
4. Kasultanan Demak 1480-1550 Dari pasikutannya dan
materialnya tidak berbeda dengan
era Kerajaan Majapahit
5. Kasultanan Pajang 1551-1582 Diperkirakan pada masa
Kasultanan Pajang terdapat empu
yang terkenal akan karyanya,
yakni Empu Umyang
6. Mataram Islam 1582-1749 Pada masa Kerajaan mataram
Islam, budaya keris berkembang
dengan pesat baik secara kualitas
maupun kuantitas.
7. Kasunanan Surakarta 1749-sekarang Budaya Keris di Tanah jawa
berkembang pesat pada
pemerintahan Paku Buwono VII,
Paku Buwono IX, dan Paku
Buwono. Beberapa empu yang
terkenal akan karyanya adalah
Empu Brajaguna, empu
Singawijaya, Empu Japan, dll.

Tabel Proses Penyebaran Keris di Jawa

No Proses Penyebaran Keterangan

1. Kekerabatan a. Pemberian hadiah dari Raja


b. Pertukaran cinderamata antar Kerajaan
berupa keris dan tosan aji
2. Perdagangan a. Hubungan dagang antar kerajaan atau
wilayah mempengaruhi proses
penyebaran keris.
b. Para saudagar tidak hanya membawa
barang kebutuhan pokok, termasuk
senjata, keris,dan tosan aji
3. Budaya a. Kadang setiap kerajaan memiliki
karakteristik karya keris yang khas,
sehingga menimbulkan keinginan
Kerajaan/wilayah lain untuk memiliki keris
tersebut.
b. Pertukaran kebudayaan antar wilayah
juga berpengaruh terhadap penyebaran
keris di Indonesia
4. Perang Selain merebutkan kekuasaan dan
wilayah, perang juga berperan untuk
menguasai hasil budaya setempat.
Kerajaan yang menang di medan perang
tentu akan mendapatkan hasil jarahannya
baik berupa emas, perak, barang pokok,
senjata, keris, tosan aji dsbnya.

Anda mungkin juga menyukai