Keris merupakan salah satu karya nenek moyang bangsa Indonesia dalam khasanah
budaya tradisional. Pembuatan karya seni tersebut menggunakan teknik tempa yang cukup
rumit. Kerumitannya terletak pada seni tempa pamor yang indah. Ada anggapan bahwa motif
pamor pada bilah keris adalah campur tangan para dewa, makhluk gaib atau kekuatan
supranatural lain. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa keris masa lalu oleh sebagian
(bergerak maupun tak bergerak) dan teks. Data tekstual menyatakan bahwa memang ada
suatu benda yang digunakan pada zaman dahulu yang disebut dengan kris. Penyebutan kris
atau keris terdapat di prasasti-prasasti berbahasa jawa kuna dari Jawa yang merinci tentang
upacara penetapan tanah sima, yaitu tanah yang dibebaskan dari pembayaran pajak kepada
‘negara/pusat’ karena satuan wilayah yang bersangkutan dibebani kewajiban tertentu, biasanya
Ada kalanya pula suatu desa diberi status sima karena jasa tertentu dari penduduknya
kepada raja. Di antara bagian-bagian teks prasasti yang berkenaan dengan upacara itu
terdapat bagian yang merinci apa yang disebut saji sang makudur. Inti dari upacara
penetapan sima itu adalah: pemimpin upacara, yang disebut sang makudur itu, menandai
perubahan status tanah dengan menetak leher ayam dan membantingkan telur di atas batu
pusat upacara yang disebut watu kulumpang dan sanghyang watu sima, lalu ia
mengucapkan sumpah tentang perubahan status itu agar disaksikan oleh dewa-dewa dan
kekuatan-kekuatan alam yang diserunya, dan minta agar kekuatan-kekuatan itu juga akan
memberikan sanksi apabila ada pihak-pihak yang melanggar ketentuan perubahan status itu.
Bersamaan dengan pelaksanaan upacara itu disiapkan pula sejumlah benda terbuat dari
logam yang disebut saji sang makudur. Sejumlah nama benda yang disebut sebagai saji itu
antara lain adalah twek punukan (pemotong/penusuk yang 'berpunggung' / arit?), nakka-cheda
(pemotong kuku), wangkyul (cangkul?), kris, dan lain-lain. Jelas penyebutan kris dalam konteks
itu adalah di antara benda-benda tajam, meski bagaimana rincian kualifikasi teknisnya tidak
dapat diketahui.
Dapat disimpulkan bahwa pada masa lalu terdapat suatu alat tajam yang disebut
dengan kris, dan sudah tentu sebagaimana peralatan lainnya yang disebut, digunakan dalam
kehidupan sehari-hari pada masa tersebut. Diantara benda-benda fungsional yang lain itu
menyiratkan bahwa kris pada waktu sekitar abad ke-9 dan 10 Masehi, sesuai dengan usia
prasasti-prasasti yang memuatnya memounyai kegunaan praktis, dan belum bernuansa mistik
dan dianggap sebagai pusaka seperti halnya keris pada masa kemudian sampai masa kini.
Pada adegan-adegan yang dipahatkan sebagai relief candi pada masa Jawa Kuna itu
Senjata inilah yang paling dekat kemiripan bentuknya dengan keris, walau
perbedaannya jelas juga, yaitu bilahnya lebih lebar merata, sedangkan keris lebih ramping
meruncing. Senjata seperti itu juga sering disandang oleh area-area penjaga (dwarapala) yang
berbadan besar dan gemuk. Sebuah pahatan relief yang terdapat pada eandi Sukuh (abad ke-
14 Masehi, di lereng gunung Lawu) memperlihatkan adegan di tempat kerja pandai besi, di
mana terlihat sejumlah benda (besi) yang dihasilkan, antara lain sebuah alat tusuk berbilah
ramping runcing, seperti halnya bilah keris yang kita kenal dewasa ini. Dengan demikian
dapatlah dikatakan bahwa bentuk keris seperti yang dikenal sekarang sudah lazim didapati
pada abad ke-14 Masehi. Apakah bentuknya memang sejak lama demikian, termasuk yang
dikenal dengan sebutan kris pada prasasti-prasasti sekitar abad ke-10, hanyalah dapat
diperkirakan.
Pulau Jawa diduga sudah mengenal keris sekitar abad ke-6 atau ke-7 (Zoetmulder,
1985: 87). Di kalangan penggemarnya, keris buatan masa itu disebut keris Buda atau
kabudhan. Sesuai dengan kedudukannya sebagai sebuah karya awal sebuah budaya,
bentuknya masih sederhana. Menurut Serat Pustaka Raja Purwa, pusaka atau senjata orang
Jawa sebelum keris berupa jemparing, tomara, dadali, nenggala, sali, druwasa, trisula,
musala, musara, lori, bajra, gandi, palu, piling, putu, ca/um, sadaka,baradi, gada, bindi,
badama, denda, kretala, a/u-a/u, a/ugora, sarampang, busur, gayur, salukun, cacap, calimprit,
berang, rajang, tamsir, kanjar, karsula, sa/emuka, lohita muka, barandang, kalawahi, taladak,
Dr. J.L.A. Brandes secara hipotetis pernah mengatakan bahwa jauh sebelum mendapat
pengaruh dari kebudayaan India, bangsa Indonesia telah memiliki pengetahuan dan
adalah salah satu dari 10 unsur kebudayaan yang telah dimiliki bangsa Indonesia yaitu : (1)
wayang, (2) gamelan, (3) ilmu irama puisi, (4) membatik, (5) mengerjakan logam, (6) sistem
rnata uang, (7) ilmu pelayaran, (8) astronomi, (9) penanaman padi, dan (10) birokrasi
pemerintahan yang teratur. Di Indonesia memang telah banyak ditemukan artefak logam yang
berasal dari masa perundagian. Pembuatan keris sangat berkaitan erat dengan ilmu metalurgi
yaitu ilmu tentang logam. Di Jawa pada umumnya masyarakat mengelompokkan keris ke dalam
'tosan aji' atau 'wesi aji', artinya besi yang bernilai tinggi atau dimuliakan. ltulah sebabnya maka
dalam lingkungan budaya kerajaan Jawa, penyebutan keris sebagai pusaka kraton selalu diberi
Walaupun masyarakat Jawa pada zaman dahulu umumnya beragama Hindu dan
Budha, namun tidak pernah ditemukan bukti bahwa budaya keris berasal dari India atau negara
lain. Tidak pula ditemukan bukti adanya kaitan langsung antara senjata tradisional itu dengan
kedua agama itu. Jika pada beberapa candi di Pulau Jawa ditemui adanya relief yang
menggambarkan adanya senjata yang berbentuk keris, maka pada candi yang ada di India atau
negara lain, bentuk senjata yang menyerupai keris tidak pernah ada. Pada pemandian Candi
Cetha, di lereng Gunung Lawu, terdapat sebuah patung yang menggambarkan seorang lelaki
Jawa memakai pakaian Jawa lengkap dengan keris diselipkan di pinggang. Candi Cetha
Bahkan senjata yang berpamor, tidak pernah ada dalam sejarah India. Bentuk senjata
yang menyerupai keris pun tidak pernah dijumpai di negeri lain selain India. Kitab Mahabarata
dan Ramayana yang ditulis pujangga India, tidak menyebut satu pun senjata yang bernama
keris. Jenis senjata yang ada dalam buku epos agama Hindu itu adalah gendewa, gada,
pedang, tombak, kunta, limpung, nenggala dan cakra. Tetapi tidak sepotong-pun menyebut
keris! Keris baru dijumpai setelah kedua cerita itu diadaptasi oleh orang Jawa dan menjadi
cerita wayang (Sudewa, 1989: 65). Misalnya, Arjuna memiliki keris yang bernama Keris Kyai
Pulanggeni dan Kyai Pasopati. Meskipun keris digolongkan sebagai jenis senjata tikam, tapi
keris dibuat bukan semata-mata untuk membunuh. Keris bagi masyarakat Jawa lebih bersifat
sebagai senjata dalam pengertian simbolis spiritual, yakni sifat kandel. Karenanya oleh
Keris merupakan benda seni yang meliputi seni tempa, seni ukir, seni pahat, seni
bentuk, serta seni perlambang. Pembuatannya selalu disertai dengan doa-doa tertentu,
berbagai mantera, serta upacara dan sesaji khusus (Moedjanto, 1994:76). Setiap empu akan
memulai proses pembuatan keris senantiasa memohon kepada Yang Maha Kuasa, dengan
harapan agar hasilnya baik, tidak mencelakakan pemiliknya maupun orang lain.
Di dalam sumber-sumber tertulis seperti prasasti dan naskah sastra banyak disebut-
sebut kelompok profesi pembuat artefak logam dengan sebutan 'pande' atau 'pandai' sesuai
dengan bidangnya masing-masing. Oleh karena itu dikenal adanya pande mas, pandai salaka
(perak), pande tamra atau pande tamwaga (tembaga), pande kamsa atau gangsa (perunggu)
dan pande wsi. Bahkan spesialisasi pekerjaan bukan atas dasar bahan saja tetapi juga atas
dasar benda yang dihasilkan. Pada masa itu dikenal pande dang (ahli dalam pembuatan bejana
atau dandang), pande dadap (ahli di bidang pembuatan perisai), pande kawat (ahli pembuatan
kawat),
pande singasingan atau apande sisinghen (ahli di bidang pembuatan senjata tajam, termasuk
pembuat keris). Mereka (masyarakat pande) membentuk kelompok sendiri yang diketuai oleh
seorang pemimpin disebut dengan istilah 'tuha gusali' atau 'juru gusa/i'. Tempat 'gusa/i' yaitu
'gusalian' tersebut sekarang menjadi kata ' besalen' yang artinya juga tempat pertukangan
logam. Kelompok masyarakat pande logam tersebut di dalam kehidupan sosial termasuk
sebagai kelompok sang mangi/a/a drawya haji atau sang maminta drwya haji yaitu para abdi
dalam kraton yang tidak mendapatkan daerah /ungguh sehingga kehidupan ekonominya
Keris merupakan senjata yang bertuah dan berfungsi sebagai 'pusaka', dipaparkan
dalam karya sastra kronik yang berjudul Pararaton, yang diperkirakan ditulis pada sekitar abad
ke-16 Masehi. Di situlah terdapat tema dasar cerita mengenai "keris Empu Gandring", yang
dipesan khusus dan kemudian 'memakan' korban tokoh demi tokoh pimpinan kerajaan, yaitu
Tunggul Ametung, Ken Angrok, dan seterusnya. Dalam narasi tersebut sudah ditampilkan
kualifikasi suatu keris sebagai sesuatu yang dapat amat bertuah. Dinyatakan juga bahwa
kekuatan tuah suatu keris itu bergantung pada tingkat kesaktian pembuatnya, yang pada
gilirannya dapat memasukkan daya sakti itu ke dalam keris yang dibuatnya. Namun uraian
mengenai teknik pembuatan suatu keris tidak ditonjolkan, bahkan sama sekali tak disebut,
Dari karya-karya sastra berbahasa Jawa Kuna sejak abad ke-11 Masehi, khususnya
dalam kakawin Arjunawiwoha yang ditulis di masa pemerintahan Raja Erlangga, telah dapat
dijumpai kutipan yang menyatakan bahwa bahwa Keris adalah senjata untuk perang. Demikian
juga dalam kakawin Sumanasontaka yang ditulis di masa Kadiri (abad ke-12 M.) disebutkan
keris sebagai senjata potong. Selanjutnya dalam kakawin Sutasoma yang ditulis pada abad ke-
14 M. di masa Majapahit, disebutkan bahwa senjata keris itu diberi sarung, dan dibuka jika
hendak dipakai.
perkerisan dengan sejarah Indonesia bukan seperti benang merah yang jelas. Hal ini
disebabkan karena studi atau kajian sejarah tentang perkerisan di Indonesia secara khusus