Anda di halaman 1dari 61

Kronologi Sejarah Kerajaan Gowa, Tallo, dan Gowa-Tallo (Makassar)

Oleh: Muhammad Lazuardi

Era Awal

1320 - Kerajaan Gowa 1 berdiri di bagian barat daya jazirah Sulawesi Selatan, sebagai hasil
musyawarah dari para pemimpin Kasuwiang Salapang (“Sembilan Abdi”) atau Bate Salapang
(“Sembilan Bendera”), yakni Kalling, Data, Lakiung, Tombolo, Bisei, Sero, Saumata,
Parangparang, dan Agangjene. 2 Bukit Tamalate di wilayah Lakiung dipilih sebagai ibukota
kerajaan. Tumanurung Bainea, seorang perempuan suci yang “turun dari langit” di Lakiung,
dilantik sebagai Karaeng3 pertamanya. Ia kemudian menikah dengan seorang pengelana Bajau
asal Bantaeng bernama Karaeng Bayo. Pada masa awalnya, Gowa hanya menguasai wilayah
pedalaman kecil di tenggara kota Makassar saat ini, di sepanjang Sungai Garassi atau Jeneberang.
Wilayah pesisir Makassar sendiri kemungkinan berada di bawah kekuasaan negeri-negeri lain,
barangkali Kerajaan Siang dari Pangkajene atau Kerajaan Bangkala dari Turatea.

1323 - Tumassalangga Baraya lahir sebagai putra dari pasangan Tumanurung Bainea dan
Karaeng Bayo. Dalam Kronik Gowa, dikisahkan bahwa ia berada dalam kandungan ibunya
selama tiga tahun, dan setelah lahir langsung dapat berlari dan berbicara.

1345 - Tumassalangga Baraya naik tahta, menggantikan ibunya yang “menghilang” setelah
memasuki kamarnya di istana Tamalate. Pada masa pemerintahannya, Gowa tampaknya telah
memiliki hubungan – entah diplomatik atau perdagangan – dengan beberapa daerah jauh seperti
Bantaeng di pantai timur Sulawesi Selatan, Kepulauan Selayar, dan Pulau Jawa. Dalam
memerintah, Tumassalangga Baraya selalu mengikuti nasihat dan saran dari majelis Bate
Salapang yang bertindak sebagai dewan kerajaan.

1365 - Nama “Makasar” disebutkan dalam kitab Nagarakretagama karya Mpu Prapanca,
pujangga dari Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa. Ia termasuk dalam wilayah “Nusantara” atau
kerajaan-kerajaan yang diklaim sebagai vasal atau negara bawahan Majapahit. Namun, belum
dapat dipastikan apakah Makasar di sini merujuk kepada wilayah kota Makassar saat ini (yang

1
Lebih tepatnya, Wanua Gowa. Wanua atau banua dapat diartikan sebagai sebuah chiefdom atau negara kesukuan,
karena wilayah kekuasaannya belum terlalu luas dan sistem pemerintahannya masih cukup sederhana.
2
Kesembilan wilayah tersebut saat ini terletak di bagian barat Kabupaten Gowa dan bagian dalam Kota Makassar,
di sepanjang bantaran Sungai Jeneberang. Saya sangat berterimakasih kepada saudara Adil Akbar Ilyas Ibrahim
Husain yang telah banyak membantu saya dalam menelusuri dan mengidentifikasi wilayah-wilayah Kasuwiang
Salapang ini. Beliau telah menemui beberapa narasumber di Makassar seperti Bapak Suriadi Mappangara, Ibu Andi
Madutana, dan Bapak Andi Faisal untuk menanyakan identifikasi Kasuwiang Salapang. Terima kasih pula saya
ucapkan kepada para narasumber tersebut.
3
Karaeng (bhs. Makassar): penguasa/raja suatu daerah, digunakan sebagai julukan bagi banyak bangsawan di
wilayah-wilayah persebaran orang Makassar di Sulawesi Selatan. Pada masa kemudian, gelar ini juga digunakan di
wilayah pengaruh Makassar di seberang laut, terutama Sumbawa dan Flores.
saat itu dikuasai oleh kerajaan lain, entah Siang atau Bangkala), Kerajaan Gowa, ataukah justru
gugusan Kepulauan Sangkarang (Pabbiring/Spermonde) dan Liukang di seberangnya yang juga
dihuni oleh etnis Makassar.

1370 - Karaeng I Puang Loe Lembang naik tahta.

1395 - Karaeng I Tuniatabanri naik tahta.

1420 - Karampang ri Gowa naik tahta.

1445 - Karaeng Tunatangkalopi naik tahta. Ia mempelopori ekspansi wilayah kerajaannya ke


negeri-negeri di sekeliling Gowa. Ke arah timur, ia menundukkan Manuju dan Borisallo di
pedalaman.4 Sedangkan ke utara, ia menaklukkan daerah Tallo, di sekitar kota Makassar saat ini
(Pannampu) sampai daerah Parangloe (Sudiang) dan Moncongloe. Sejak saat itu, Gowa mulai
mengembangkan perdagangan maritim, meskipun penduduknya masih tetap lebih banyak hidup
sebagai petani. Tunatangkalopi tampaknya juga membangun Campagaya sebagai pusat
perdagangan laut kerajaannya. Campagaya nantinya menjadi lokasi didirikannya ibukota
Kerajaan Tallo.

14505 - Tunatangkalopi membagi administrasi kerajaannya menjadi dua, masing-masing untuk


kedua orang putranya (Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero) yang sama-sama ingin menjadi
raja. Batara Gowa diangkat sebagai Raja Muda dengan kekuasaan mencakup enam gallarang6
(Paccellekang, Pattallassang, Bontomanai Timur, Bontomanai Barat, Tombolo, dan Mangasa),
sedangkan Karaeng Loe ri Sero dinobatkan sebagai penguasa yang membawahi empat gallarang
(Saumata, Pannampu, Moncongloe, dan Parangloe). Wilayah kekuasaan Karaeng Loe ri Sero
kemudian menjadi cikal-bakal dari Kerajaan Tallo. Batara Gowa menikah dengan seorang putri
dari Raja Garassi, dan beranak tiga yaitu I Pakere Tau, Barataua, dan Karaeng ri Bone. I Pakere
Tau nantinya menggantikan ayahnya sebagai Karaeng Gowa, sedangkan Barataua menjadi
penguasa di Kerajaan Garassi7. Batara Gowa juga mengawini seorang wanita Mandar bernama I
Rerasi, dan memiliki dua anak yaitu Karaeng Tumaparisi Kallona (Daeng Matanre) dan seorang
perempuan bernama Karaeng Makeboka.

1456 - Kesultanan Melaka dari Semenanjung Malaya membuka hubungan diplomatik dengan
Kerajaan Gowa. Sultan Melaka, Mansur Syah mengirim suatu misi perutusan pimpinan Sri Bija
Pikrama dan Tun Sura Diraja ke Sulawesi Selatan. Mereka menghadap Raja Gowa dan
menjelaskan keinginan Sultan Melaka untuk menjalin hubungan persahabatan. Keinginannya

4
Nurul Hijriah, “Sejarah Kerajaan Manuju”, dalam Nasruddin dkk., Sejarah dan Budaya Lokal Dari Sulawesi Sampai
Bima, hlm. 37-38.
5
Tahun hanya perkiraan.
6
Gallarang atau gelarang (bhs. Makassar): provinsi/negara bagian/kerajaan daerah/kadipaten/kenegerian,
dipimpin oleh seorang kepala gallarang yang tunduk kepada seorang Karaeng.
7
Sebuah kerajaan atau wanua yang menguasai wilayah Somba Opu dan bagian selatan kota Makassar saat ini,
berkembang pada abad ke-15 hingga awal abad ke-16.
diterima, dan Raja Gowa “menghadiahkan” seorang anak kecil – pangeran dari Kerajaan Bajeng
(Polombangkeng), negara tetangga Gowa di selatan – kepada Sultan Melaka. Anak ini kemudian
menjadi salah satu abdi setia sang Sultan. Dia adalah Hang Tuah, yang bernama asli Daeng
Mempawah.8

Era Kerajaan Kembar (Gowa dan Tallo)

1460 - Karaeng Tunatangkalopi wafat. Kerajaan Gowa terbagi dua. Atas hasil kesepakatan
majelis Bate Salapang, Batara Gowa dinobatkan sebagai Karaeng Gowa menggantikan ayahnya.
Namun, tak lama kemudian ia menyerang wilayah kekuasaan adiknya. Akibatnya, Karaeng Loe
ri Sero terpaksa menyingkir ke Jawa9. Tak lama kemudian, Batara Gowa wafat tanpa sebab yang
jelas. Ia dianugerahi gelar anumerta “Tuniawang ri Parallakkenna”. Karaeng Loe ri Sero pun
pulang dan memimpin kembali wilayah kekuasaannya. Atas usul salah satu kepala gallarangnya,
ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Campagaya. Di sini, ia mendirikan Kerajaan Tallo
dan memerdekakannya dari Gowa. Sementara itu, tahta Gowa diserahkan kepada I Pakere Tau.

147010 - Karaeng Samarluka (Same ri Liukang), seorang pangeran Tallo putra Karaeng Loe ri
Sero memimpin ekspedisi penjarahan ke Nusantara bagian barat. Dalam hikayat Melayu
Sulalatus Salatin (epos Dinasti Melaka), ia diabadikan sebagai sosok Raja Semerluki, putra
seorang karaeng dari Tanah Mengkasar (Makassar) yang berhasil memporakporandakan dan
menjarah kota-kota pelabuhan di Jawa (Majapahit), Siam (Ayutthaya), dan Ujung Tanah
(Melaka). Saat menyerang Melaka, Karaeng Samarluka disambut dan dikalahkan oleh armada
Melayu pimpinan Laksamana Hang Tuah. Ia kemudian bertolak ke Pasai di Sumatera, namun di
sini armadanya juga dikalahkan oleh angkatan laut Samudera Pasai pimpinan Raja Kenayan. Ia
kemudian bertolak ke Kepulauan Riau, namun dikejar dan kembali dikalahkan oleh angkatan
laut Melaka di Selat Ungaran (Bunguran, Natuna?). Karaeng Samarluka akhirnya berlayar
kembali ke Makassar bersama sisa armadanya. 11 Dalam ekspedisi ini, Karaeng Samarluka
mengerahkan armada besar sebanyak 200 kapal, menunjukkan kekuatan maritim yang telah
mumpuni. Karenanya, diperkirakan bahwa pada tahun yang sama, Kerajaan Tallo telah
menguasai gugusan kepulauan di seberang barat jazirah Sulawesi Selatan, yakni Kepulauan
Sangkarang dan Liukang. Pulau-pulau ini dihuni oleh etnis Bajau dan Mandar yang merupakan
ahli dalam menyelam dan membuat kapal-kapal cepat. Di kepulauan itu, telah ditemukan

8
Ahmad, A. Samad, Sulalatus Salatin: Sejarah Melayu, hlm. 100-105. Ini adalah salah satu versi dari Sulalatus
Salatin yang berisi kisah tentang asal-usul Hang Tuah, yang dijelaskan berasal dari Kerajaan Bajeng di Sulawesi
Selatan dan merupakan “hadiah” dari Raja Gowa kepada Sultan Melaka. Mengenai apakah versi ini benar atau
tidak, tentu saja masih diperdebatkan.
9
“Jawa” di sini adalah julukan lama bagi wilayah Nusantara bagian barat secara umum, entah memang merujuk
kepada Pulau Jawa atau pulau-pulau lain seperti Borneo atau Sumatera.
10
Tahun hanya perkiraan, karena Sulalatus Salatin menyebutkan bahwa peristiwa ekspedisi Raja Semerluki terjadi
pada masa pemerintahan Sultan Mansur Syah di Melaka, yang berlangsung pada 1456-1477 Masehi.
11
Ahmad, op.cit., hlm. 154-156.
sejumlah artefak dari era kerajaan yang menunjukkan adanya akulturasi antara kebudayaan
Mandar dan Makassar.12 Pasukan laut Karaeng Samarluka kemungkinan didominasi oleh orang
Bajau dan Mandar dari pulau-pulau tersebut.

1490 - Karaeng Samarluka naik tahta di Tallo. Ia memimpin sebuah ekspedisi pelayaran
mengelilingi seluruh Nusantara, dari Melaka sampai Banda.

1493 - Karaeng Samarluka kembali ke Tallo, bertemu dengan putranya yang telah berusia tiga
tahun. Sebelumnya, sang putra masih berada dalam kandungan ketika Karaeng Samarluka
berangkat meninggalkan Tallo.

150013 - Karaeng Samarluka kembali melancarkan sebuah ekspedisi laut, kali ini menuju selatan
untuk menaklukkan Selayar dan Sandao (Pulau Flores). Namun, armadanya diserang oleh kapal-
kapal Kerajaan Bajeng di perairan Selayar. Di sini, Karaeng Samarluka tewas dibunuh oleh
seorang anakkaraeng atau pangeran dari Bajeng. Jenazahnya kemudian ditenggelamkan ke laut.
Putranya, Tunipasuru (I Mangayoang Berang) naik tahta menggantikannya sebagai Karaeng
Tallo. Setelah kematiannya, Karaeng Samarluka dianugerahi gelar anumerta “Tunilabu ri
Suriwa”.

1510 - I Pakere Tau tewas dalam sebuah demonstrasi rakyat. Konon, ia terbunuh setelah
tubuhnya yang kebal ditembus oleh galah atau passukki, sehingga ia pun dianugerahi gelar
anumerta “Tunijallo ri Passukki”. Saudara tirinya, Karaeng Tumaparisi Kallonna naik tahta
menggantikannya. Sebelumnya, ia telah menjabat sebagai seorang kepala gallarang. Di bawah
kepemimpinannya, Gowa menyerang dan menaklukkan Tallo, menjadikan tetangganya itu
sebagai negara bawahan.14

1511 - Jatuhnya Melaka. Penguasaan Portugis atas Melaka mengubah jaringan perdagangan di
Nusantara. Banyak pedagang Muslim yang menghindari Melaka dan mencari pelabuhan-
pelabuhan alternatif lain yang dianggap lebih aman. Salah satu daerah alternatif ini adalah
Sulawesi Selatan, dengan Siang dan Suppa sebagai pelabuhan-pelabuhan utama yang mula-mula
rutin dikunjungi oleh para pedagang Muslim. Pada tahun yang sama, Gowa di bawah Tumaparisi
Kallona menaklukkan Garassi, sebagai usaha untuk memperkuat hegemoninya atas wilayah
pesisir.15 Kedatangan para pedagang Muslim – yang meninggalkan Melaka dan mencari bandar
dagang alternatif – agaknya turut pula menjadi salah satu motivasinya. Dalam penaklukan
Garassi ini, Gowa dibantu oleh Tallo yang turut mengirimkan pasukan.

12
Chalid, Pelestarian Makam Kuno Pulau Barrang Lompo: Upaya Merawat Ke-Indonesiaan, hlm. 89.
13
Tahun hanya perkiraan, karena tidak ada sumber yang menyebutkan dengan jelas kapan masa pemerintahan
Karaeng Samarluka alias Tunilabu ri Suriwa berakhir. Namun, diperkirakan bahwa ia berkuasa pada akhir abad ke-
15.
14
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, hlm. 7
15
Cummings, William, A Chain of Kings, hlm. 33.
1512 - Karaeng Tumaparisi Kallona melancarkan ekspansi besar-besaran ke kerajaan-kerajaan di
sekitarnya. Ia berturut-turut menaklukkan Kantingang (Sanrobone), Parigi, Siang, Sidenreng,
Lembangan (Bantaeng), Bulukumba, Selayar, Panaikang, Madello (Mandalle), Campaga,
Marusu (Maros), dan Polombangkeng (Bajeng).16 Ia juga menaklukkan Galesong, Jipang, dan
Pujananting (Barru/Tanete/Agangnionjo) Semua daerah itu dijadikan palili 17 yang diwajibkan
mengirim upeti tahunan (sabbukkati) kepada Raja Gowa. Kerajaan-kerajaan di Turatea (Laikang,
Bangkala, Binamu) juga telah berada di bawah pengaruh Gowa sejak periode yang sama.
Dengan ini, Gowa telah berhasil menjadi penguasa paling dominan atas seluruh negeri di Tanah
Makassar (Butta Mangkasara).

1513 - Tome Pires, seorang pengelana Portugis menyinggung Makassar dalam bukunya, Suma
Oriental. Ia mendeskripsikan Makassar sebagai sebuah negara kepulauan luas yang berbatasan
dengan Selayar di timur dan Madura di barat. Artinya, Kepulauan Tengah dan Sabalana di Laut
Flores juga telah menjadi wilayah kekuasaan orang Makassar, barangkali melalui Kerajaan Tallo
yang sudah sejak lama kuat di bidang maritim dan memiliki hubungan baik dengan masyarakat
Bajau yang mendiami perairan tersebut. Pires juga menjelaskan kegiatan orang Makassar dan
Bajau yang gemar menjarah daerah-daerah lain di Asia Tenggara, dari Jawa, Sumatera, hingga
Pegu di Myanmar. Menurutnya, orang Makassar dan Bajau memiliki sebuah pangkalan
perompakan dan perdagangan di Pulau Jemaja, di Laut Natuna.

1520 - Perang Gowa-Tallo dimulai. Karaeng Tunipasuru dari Tallo memerdekakan kerajaannya
dari Gowa. Marusu dan Bajeng, masing-masing dipimpin oleh Patanna Langkana dan I Pasairi,
juga ikut memerdekakan diri bersama Tallo. Ketiganya lalu membentuk sebuah koalisi untuk
memerangi kekuasaan Gowa. Mereka menyerang Gowa dengan pasukan besar pimpinan Daeng
Masarro, yang menyerang dari darat dan laut. Pasukan Tallo menyerang lewat darat, sedangkan
pasukan Marusu dan Bajeng menyerang lewat laut dengan kapal-kapal mereka. Namun, serangan
pasukan koalisi ini berhasil dihalau oleh pasukan Gowa yang dipimpin oleh Tumaparisi Kallona
dan para panglimanya, yakni Karaeng Lakiung, Gurudaya, Sulengkaya, Karaeng Data, dan
Cakkuridia. 18 I Manyambungi, seorang panglima militer dari Gowa dilantik sebagai Maradia
(raja) di Kerajaan Balanipa di Tanah Mandar (Sulawesi Barat). I Manyambungi bertindak
sebagai vasal Gowa, berdasarkan kesepakatannya dengan Tumaparisi Kallona.19 I Manyambungi
sendiri masih merupakan kerabat istana Gowa, karena ia menikah dengan keponakan Karaeng
Gowa, sementara ibunda sang Karaeng sendiri juga masih berkerabat dengan orangtua I
Manyambungi.

16
Muhlis Hadrawi, “Kerajaan Siang Kuno dan Keberadaan Orang Melayu di Kerajaan Siang Sulawesi Selatan”,
dalam Fakhriati, dkk., Aksara, Naskah, dan Budaya Nusantara, hlm. 168.
17
Palili (bhs. Makassar): negara yang diwajibkan mengirim upeti dan tetap diperintah oleh seorang raja yang
mengakui supremasi raja lain. Dengan kata lain, negara bawahan atau vasal.
18
Cummings, op.cit., hlm. 32-33.
19
Kila, Syahrir, Budaya Politik Kerajaan Balanipa Mandar, hlm. 29-30.
1521 - Balanipa di bawah I Manyambungi mengirim utusan ke Gowa untuk meminta adat guna
memajukan kehidupan orang Mandar. Sebagai jawabannya, Tumaparisi Kallona menyerahkan
sebuah kitab lontara tentang adat-istiadat orang Makassar. Kitab ini pun dijadikan pedoman bagi
kehidupan sehari-hari penduduk Mandar, khususnya di Balanipa.20 Kemudian, dengan sokongan
Gowa dan Appe Banua Kaiyyang, Balanipa memulai penyerangan terhadap negeri-negeri di
sekitarnya yang memusuhi negeri-negeri Mandar. Balanipa berhasil mengalahkan Lerang,
Lenggo, Lempong, Poisang, Tande, Batu, dan Kadake Lette. Ia juga menyerang Passokkorang,
namun gagal. Meskipun begitu, keberhasilannya telah membuat para pembesar Appe Banua
Kaiyyang menobatkan I Manyambungi sebagai pemimpin persekutuan mereka.21

1525 - Tumaparisi Kallona membangun sebuah kota berbenteng di Somba Opu, di tenggara
pelabuhan Garassi. Ia menyiapkannya sebagai pusat pemerintahan kerajaan yang baru.
Pembangunan Somba Opu yang terletak di muara Sungai Jeneberang ini menunjukkan kebijakan
Gowa yang semakin mengarahkan haluannya kepada perkembangan maritim.

1526 - Perang Cenrana. Gowa menjalin aliansi dengan Bone, kemudian mengumumkan perang
terhadap Luwu dan vasalnya, Wajo. Pasukan aliansi Gowa-Bone berhasil menduduki Cenrana,
Soppeng, dan Lamuru. Soppeng dimerdekakan, sementara Bone mendapatkan kembali
wilayahnya yang telah dikuasai Wajo sejak tahun 1491. Bone juga merebut Cenrana dan
Walanae dari Luwu.

Era Persatuan (Kerajaan Makassar/Gowa-Tallo)

1528 - Sumpah Rua Karaeng Sere Ata. Lahirnya Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo). Perang
Gowa-Tallo berakhir setelah berlangsung selama delapan tahun. Tunipasuru menawarkan
perdamaian kepada Tumaparisi Kallona, di mana ia mengundang sang Karaeng Gowa untuk
berunding di Tallo. Disaksikan oleh para gallarang mereka, kedua pemimpin itu mengucapkan
sumpah Rua Karaeng Sere Ata (“Dua Raja Satu Rakyat”)22, dimana Karaeng Gowa menjabat
sebagai Raja, dan Karaeng Tallo menjabat sebagai wakilnya. Pada tahun yang sama, Marusu
juga telah ditaklukkan kembali dan dianeksasi. Bajeng turut diserang namun gagal ditaklukkan.

1530 - Daeng Pamatte atau Nuruddin Daeng Magassing, penjabat Tumailalang (Menteri) di
bawah Karaeng Gowa menciptakan lontara' mangkasaraka atau aksara Lontara Makassar. Sejak
saat itu, naskah-naskah lontar beraksara Lontara mulai ditulis sebagai catatan-catatan resmi
pemerintah Kerajaan Gowa-Tallo.

20
Ibid., hlm. 37-38.
21
Ibid., hlm. 31.
22
Ibid., hlm. 33.
1532 - Perang Makassar-Luwu. Gowa-Tallo yang masih beraliansi dengan Bone kembali
mengobarkan perang terhadap Luwu. Pasukan Makassar dan Bugis dipimpin langsung oleh putra
mahkota Gowa, Karaeng Tunipallangga.

1533 - Perang Makassar-Luwu berakhir. Aliansi Makassar-Bone berhasil menaklukkan Ware,


ibukota Kedatuan Luwu. Luwu pun bersedia menyerah dan membebaskan Sidenreng. Sementara
Wajo, yang kembali bersikap netral dalam perang ini, memilih memerdekakan diri kembali.

1534 - Perang Luwu-Wajo II. Luwu, yang marah terhadap Wajo, meminta Gowa-Tallo dan Bone
untuk membantunya melancarkan serangan hukuman terhadap kerajaan itu. Gowa-Tallo pun
mengirim pasukan yang kembali dipimpin Karaeng Tunipallangga, sementara Datu Luwu dan
Arumpone (Raja Bone) memimpin langsung pasukan dari negeri mereka masing-masing. Namun,
Bone diam-diam membelot pada Wajo. Pertempuran besar pecah di Topaceddo, di mana laskar
Wajo sukses menghalau dan memukul mundur pasukan Makassar-Luwu, dengan bantuan Bone.
Perang berakhir dengan perjanjian damai, setelah sebelumnya pasukan Luwu telah berhasil
merebut kota pelabuhan Siwa (Pitumpanua) dari Wajo. Wajo kemudian terus menjalin hubungan
baik dengan Bone, namun hal ini segera diketahui oleh Gowa-Tallo karena diberitahu oleh
seorang Wajo yang membelot. Akibatnya, Bone merebut beberapa daerah kekuasaan Wajo di
selatan yakni Baringeng, Cinnong, dan Jampu. Sementara Gowa-Tallo kemungkinan telah
mengakhiri aliansinya dengan Bone sejak tahun ini.

1538 - Kunjungan Antonio de Paiva dari Portugal. Ia tiba di Gowa sebagai utusan Gubernur
Portugis dari Ternate, dan merupakan orang Portugis pertama yang berkunjung ke sana. 23 Ia
berhasil menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Gowa-Tallo. Tumaparisi
Kallona mengizinkan orang Portugis untuk mendirikan pos dagang di Somba Opu, serta
mempersilahkan misionaris-misionaris Katolik untuk melakukan kegiatan penginjilan di
negaranya.

1542 - Antonio de Paiva mengunjungi Suppa dan Siang. Ia menyatakan Siang sebagai sebuah
kerajaan besar dan kaya yang telah menjalin hubungan dengan Malaka Portugis. Ini
mengindikasikan bahwa Siang telah melepaskan diri dari Gowa-Tallo, meskipun belum dapat
dipastikan. Siang mungkin tetap eksis sebagai kerajaan yang bertindak sebagai vasal Gowa-Tallo.
Raja Siang dan Suppa juga dikabarkan tertarik untuk memeluk agama Kristen. Datu Suppa, La
Makkarawie bahkan telah dibaptis dengan nama Don Joao oleh para misionaris Portugis.

1543 - Karaeng Tallo Tunipasuru wafat. Daeng Padulu (Tumenanga ri Makkoayang) naik tahta
menggantikannya.

1544 - Orang Portugis melaporkan keadaan Gowa (Somba Opu) yang telah ramai oleh
pedagang-pedagang Muslim dari Johor, Patani, dan Pahang. Mereka juga menyatakan bahwa

23
Mattulada, op.cit., hlm. 8.
sejumlah orang Bugis dan Makassar telah menerima Kristen Katolik dan bersedia dibaptis oleh
misionaris-misionaris Portugis.

1545 - Pembangunan Benteng Ujung Pandang dan Benteng Ujung Tanah. Karaeng Tunijallo ((I
Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa) lahir.

1546 - Karaeng Tunipallangga naik tahta di Gowa. Ia menaklukkan Bajeng, kemudian


menganeksasinya bersama sejumlah vasal lain yang mengelilingi wilayah inti Kerajaan Gowa.
Sang Karaeng juga mempelopori penggunaan batu bata untuk membangun benteng pertahanan.
Benteng Barombong menjadi percobaan pertamanya, yang mulai dibangunnya pada tahun ini.
Tunipallangga juga mempelopori penggunaan senjata api dalam tubuh militer Gowa-Tallo, yang
dikembangkannya dengan bantuan orang Melayu dan Portugis. Ia juga menempatkan meriam-
meriam besar untuk memperkuat benteng-bentengnya.

1547 - Kerajaan Tanete berdiri menggantikan Pujananting. Datu Gollae menjadi raja pertamanya,
dan tetap berkedudukan sebagai vasal Gowa-Tallo.

1548 - Karaeng Tunipallangga secara resmi memindahkan ibukota Gowa-Tallo ke Somba Opu,
yang telah disiapkan oleh ayahnya sejak 23 tahun sebelumnya. Untuk memperkuat pertahanan
ibukota barunya ini, Karaeng Tunipallangga memperkokoh Benteng Somba Opu dengan batu
bata dan menutupnya dengan batu sedimen (nide’de). Dengan bantuan orang Melayu, Portugis,
dan Bacukiki, Karaeng Tunipallangga juga mendirikan kota Makassar sebagai penggabungan
dari bandar Garassi dan bandar Tallo. Makassar kemudian dijadikan sebagai bandar pelabuhan
dan pusat perdagangan internasional utama kerajaannya.24 Pada tahun yang sama, Gowa-Tallo
menundukkan Lamuru, Soppeng, dan Wajo, menjadikan ketiganya sebagai vasal-vasalnya.25

1549 - Karaeng Tunipallangga memulai kampanye militer terhadap Konfederasi Ajatappareng


(Suppa, Sawitto, Alitta, Sidenreng dan Rappang). Casus belli 26 -nya adalah siri’ atau
kehormatannya telah dipermalukan oleh La Makkarawie, Datu Suppa yang menolak lamaran
sang Karaeng dan lebih memilih menikahkan putrinya (We Lampewelua) dengan La Cella Mata,
putra Datu La Paleteang dari Sawitto. Penyerangan Gowa-Tallo ke Ajatappareng akan
berlangsung selama tujuh tahun, dengan setiap tahun dihitung sebagai jadwal penyerangan.27

1550 - Ekspansi Gowa-Tallo ke Sulawesi Tengah. Mengikuti kesuksesan karirnya sebagai


seorang panglima militer yang handal, Karaeng Tunipallangga mempelopori kampanye

24
Andaya, Leonard Y., Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17, hlm. 60.
25
Cummings, op.cit., hlm. 33-34.
26
Casus belli (bhs. Latin): “aksi/insiden yang memicu peperangan”, artinya alasan yang digunakan untuk
mendeklarasikan perang kepada suatu negara
27
Sahrul Habrianto S., M. Saleh Madjid, dan M. Rasyid Ridha, “Ekspansi Kerajaan Gowa-Tallo Ke Limae
Ajatappareng Abad XVI”, PATTINGALLOANG, 6(3), hlm. 24.
penaklukan terhadap negeri-negeri di luar jazirah Sulawesi Selatan. Negeri-negeri Kaili di
Sulawesi Tengah (Donggala, Tawaeli, Sigi, dan Toli-Toli) berhasil ditaklukkan olehnya.28

1556 - Gowa-Tallo menaklukkan Ajatappareng. Setelah tujuh tahun berperang, Ajatappareng


jatuh oleh invasi Gowa-Tallo. Pasukan Makassar membakar pelabuhan-pelabuhan dagang milik
Ajatappareng, terutama Bacukiki, Soreang, dan Suppa. Datu Suppa dan Datu Sawitto akhirnya
bersedia menyerah. Datu La Paleteang dan permaisurinya, berikut La Cella Mata dan We
Lampewelua diboyong ke Gowa sebagai tanda kemenangan. Pasukan Makassar juga
mengangkut banyak penduduk Ajatappareng, khususnya dari Suppa dan Sawitto, serta komunitas
pedagang Melayu di sana ke Gowa-Tallo. Di Gowa, La Cella Mata dan istrinya disiksa sampai
mati, sedangkan Datu La Paleteang diampuni dan diizinkan kembali memerintah di Sawitto
sebagai vasal Gowa-Tallo. Karaeng Tunipallangga juga menempatkan putrinya, We Tosappai
sebagai Datu Suppa, memperkokoh kekuasaan Gowa-Tallo atas Ajatappareng.29 Negeri-negeri
anggota Ajatappareng lainnya juga secara tidak langsung ikut tunduk menjadi vasal-vasal Gowa-
Tallo. Dengan kekalahan Ajatappareng, Gowa-Tallo pun menjadi negara paling berpengaruh di
bagian barat jazirah Sulawesi Selatan. Pelabuhan-pelabuhan milik Ajatappareng dilemahkan
dengan menarik seluruh pedagang yang ada di sana ke Makassar, khususnya orang Melayu dan
Portugis. Dampaknya, kota Makassar pun semakin berkembang menjadi pelabuhan dagang
terbesar di kawasan itu.

1557 - Karaeng Tunipallangga menundukkan kerajaan-kerajaan di Sinjai yang tergabung dalam


Persekutuan Tellulimpoe, yakni Bulobulo, Lamatti, dan Tondong. Ia kemudian mengunjungi
Bulobulo yang memimpin Tellulimpoe. Tunipallangga menemui Raja La Mappasokko dan
menanyakan jumlah negeri (bate) yang membentuk Bulobulo. Ia kemudian mengusulkan agar
daerah tersebut diberi nama "Sinjai". Kerajaan Bulobulo sendiri baru saja menyelesaikan
pembangunan Benteng Balangnipa sebagai pusat pertahanan kerajaan itu.

1559 - Perang Makassar-Bone dimulai. 30 Gowa-Tallo mengumumkan perang kepada Bone.


Casus belli-nya adalah kekalahan Tunipallangga dalam sebuah pertandingan sabung ayam
melawan Raja Bone, yang menyebabkan kerajaan-kerajaan di Sinjai melepaskan diri dari Gowa-
Tallo dan mengalihkan pertuanan mereka ke Bone.31 Pasukan Makassar segera menyerang dan
memblokade wilayah kekuasaan Bone, baik melalui darat maupun laut. Pertempuran pertama
terjadi di selatan Meru, di mana pasukan Makassar menderita kekalahan. 32 Namun, mereka
segera membalas dengan berturut-turut menduduki Cenrana, Salomekko, Cina, Patukung,
Kalubimbing, Bulobulo, Raja, dan Lamatti. 33 Pada tahun yang sama, Gowa-Tallo membuka

28
Cummings, op.cit., hlm. 35.
29
Sahrul Habrianto S., M. Saleh Madjid, dan M. Rasyid Ridha, op.cit., hlm. 24-25.
30
Perang ini berlangsung selama enam tahun. Lihat Cummings, loc.cit.
31
Suriadi Mappangara, “Perjanjian Tellumpoccoe Tahun 1582: Tindak-Balas Kerajaan Gowa terhadap Persekutuan
Tiga Kerajaan di Sulawesi Selatan”, SOSIOHUMANIKA, 7(1), hlm. 45.
32
Ibid.
33
Cummings, loc.cit.
hubungan diplomatik dan perdagangan resmi dengan Malaka Portugis. Orang Makassar yang
berlayar ke Malaka setiap tahun memperdagangkan beras dan rempah-rempah, serta sedikit emas.

1560 - Pasukan Makassar dari Gowa, Tallo, dan Marusu menduduki Walanae, Samanggi, Bengo,
Saomata, dan Camba. Dengan bantuan pasukan dari Sidenreng, mereka lanjut menduduki Otting,
Bulucenrana, Letang, Duri, Panaikang, Pannyikkokang, Pationgi, dan Wero. Pasukan ini pun
semakin mendekati ibukota Bone di Watampone.

1561 - Pendirian permukiman permanen orang Melayu pertama di Makassar. Nakhoda Bonang,
seorang kepala saudagar Melayu meminta izin untuk mendirikan permukiman khusus bagi
kelompoknya kepada Karaeng Tunipallangga. Sang Karaeng mengizinkannya dan menyerahkan
tanah di Mangallekanna kepada mereka. Nakhoda Bonang pun menjadi pemimpin komunitas
pedagang Melayu yang berasal dari Pahang, Patani, Campa, Minangkabau, dan Johor, serta
daerah-daerah lain di Nusantara bagian barat.

1563 - Perang Cellu. Karaeng Tunipallangga memimpin penyerangan pasukan Makassar ke


Bone. Dalam penyerangan ini, ia mendapat tenaga bantuan dari Luwu, Soppeng, Wajo, dan
Sidenreng. Namun, dalam suatu pertempuran, sang Karaeng terluka sehingga harus mundur.34

1564 - Perjanjian Topekkong. Gowa-Tallo dan Bone mengirim misi-misi perutusan secara
bersamaan ke Sinjai untuk berlomba menanamkan pengaruh mereka di daerah itu. Ini membuat
Raja Bulobulo berusaha mendamaikan keduanya dengan menginisiasi sebuah perjanjian yang
menetapkan bahwa Sinjai akan memilih sendiri kerajaan yang akan diikuti sebagai naungannya.

1565 - Karaeng Tunipallangga wafat karena sakit keras. Saudaranya, I Tajibarani Daeng
Marompa naik tahta sebagai Raja Gowa menggantikannya. Baru 20 hari pasca pelantikannya, ia
berangkat ke medan perang untuk memimpin langsung pasukannya menggempur Bone. Namun
ia tewas terpenggal dalam pertempuran. Kematian sang Karaeng pun mengakhiri peperangan.
Keduanya lalu menandatangani Perjanjian Caleppa (Ulukanaya ri Calappa), yang menetapkan
bahwa Gowa-Tallo menerima kekalahannya dan bersedia menyerahkan kembali sebagian besar
daerah kekuasaan Bone yang telah didudukinya. Perbatasan kedua negara diatur kembali, dengan
Sungai Walanae sebagai batas barat dan Sungai Tangka sebagai batas selatannya. 35 Wilayah
Sinjai terbagi dua menjadi wilayah kekuasaan Bone di utara dan Gowa-Tallo di selatan. Karaeng
I Tajibarani yang telah wafat dianugerahi gelar anumerta “Tunibatta”. Kedudukannya sebagai
Raja Gowa digantikan oleh putranya, Karaeng Tunijallo. Penobatannya diatur oleh Raja Tallo
Daeng Padulu, yang kemudian juga mengubah sedikit sistem kepemimpinan kerajaan dengan
menambah jabatan Tumabbicara Butta atau Mangkubumi (Perdana Menteri) sebagai wakil
sekaligus penasihat Raja. Jabatan ini kemudian akan terus dipegang oleh Raja Tallo secara turun-
temurun.

34
Andaya, op.cit., hlm. 37.
35
Mattulada, op.cit., hlm. 33-34.
1566 - Karaeng Tunijallo memperbaiki hubungan diplomatiknya dengan Bone. Ia menyepakati
perjanjian persekutuan dengan Raja Bone, di mana keduanya setuju “bahwa musuh-musuh salah
satu di antara kedua kerajaan menjadi musuh kedua kerajaan.” Keduanya juga sepakat bahwa
rakyat Gowa yang datang ke Bone harus diperlakukan dengan baik, begitupun sebaliknya.36

1570 - Gowa-Tallo mulai mengembangkan kekuatan angkatan lautnya, menunjukkan kebijakan


dan keinginannya untuk menjadi negara maritim yang kuat.

1573 - Karaeng Matoaya (I Mallingkaang Daeng Manyonnri) lahir.

1575 - Karaeng Tunijallo membentuk jabatan palontara’ sebagai juru tulis resmi istana Gowa.

1576 - Raja Tallo dan Tumabbicara Daeng Padulu wafat. Ia dianugerahi gelar anumerta
“Tumenanga ri Makkoayang”. Jabatannya digantikan oleh putrinya, I Sambo alias Karaeng
Bainea (“Raja Wanita”). I Sambo adalah istri Karaeng Tunijallo, sehingga Gowa-Tallo untuk
pertama kalinya dipimpin oleh dua orang raja yang merupakan sepasang suami-istri. Keduanya
berputrakan Karaeng Tunipasulu (Daeng Parabbung), yang nantinya menggantikan kedudukan
mereka.

1579 - Kekuasaan Gowa-Tallo di Sulawesi Tengah (Toli-Toli, Tawaeli, Donggala, dan Sigi)
direbut oleh Kesultanan Ternate dari Maluku yang tengah melancarkan ekspansi wilayah secara
besar-besaran. Sebelumnya, Ternate di bawa Sultan Baabullah telah sukses mengusir Portugis
dari wilayahnya.

1580 - Selayar direbut oleh Ternate. Perjanjian Tamajjara disepakati di Mandar. Balanipa
memimpin pembentukan Persekutuan Pitu Ba’bana Binanga bersama enam kerajaan Mandar
pesisir lain (Binuang, Sendana, Banggae, Pamboang, Mamuju, dan Tappalang). Kerajaan
Balanipa dipilih sebagai pemimpin persekutuan ini, karena sebelumnya telah berhasil
menaklukkan Passokkorang. Balanipa sendiri di bawah Raja Tomepayung (putra I
Manyambungi) sukses melakukan perluasan wilayah, merebut kekuasaan Passokkorang. Karena
Balanipa adalah vasal Gowa-Tallo, maka secara tidak langsung kerajaan-kerajaan Pitu Ba’bana
Binanga juga secara tidak langsung turut menjadi daerah pengaruhnya.

1582 - Perjanjian Timurung. Pembentukan Persekutuan Tellumpocoe. Aliansi tiga kerajaan


Bugis (Bone, Wajo, dan Soppeng) dibentuk di mana ketiganya bersumpah untuk melindungi satu
sama lain apabila terjadi serangan dari luar. Tujuan utama pembentukan persekutuan ini adalah
untuk menghadang ekspansi Gowa-Tallo. Akibat pembentukan aliansi ini, Wajo dan Soppeng
pun melepaskan diri dari Gowa-Tallo dan lebih mendekatkan diri mereka dengan Bone.

1583 - Kunjungan diplomatik penguasa Ternate Sultan Baabullah ke Kerajaan Gowa-Tallo. Ia


berniat membentuk persekutuan dengan Gowa-Tallo, namun dengan syarat agar negara itu
bersedia memeluk Islam. Persekutuan ini gagal terwujud, karena Karaeng Tunijallo menolak

36
Ibid., hlm. 35.
masuk Islam. Meskipun begitu, Sultan Baabullah tetap menjaga hubungan persahabatannya
dengan menyerahkan kembali Selayar kepada Gowa-Tallo sebagai hadiah diplomasi. 37 Pada
tahun yang sama, Karaeng Tunijallo mulai menyerang aliansi Tellumpocoe. Pasukan Makassar
menggempur Wajo, namun berhasil dikalahkan oleh pasukan aliansi Tellumpocoe.38

1585 - Karaeng Tunijallo kembali hendak menyerang Tellumpocoe. Kali ini ia mengirim
pasukannya ke Bone. Namun, tanpa alasan yang jelas, mereka mundur kembali sebelum
melewati perbatasan.39

1586 - I Mangarangi (Daeng Manrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin) lahir.

1588 - Karaeng Tunijallo menyerang Bone. Setelah tujuh bulan peperangan, pasukan Makassar
dipukul mundur oleh pasukan aliansi Tellumpocoe.40

1590 - Karaeng Tunijallo sekali lagi menyerang Bone, di mana kali ini ia memimpin langsung
pasukannya. Namun, di tengah perjalanan ia tewas dibunuh oleh salah seorang anak buahnya 41, I
Lolo Tammakkana yang juga merupakan saudara sepupunya sendiri.42 Pasukan Makassar pun
mengundurkan diri, dan Tellumpocoe berhasil mempertahankan kemerdekaan mereka kembali.
Keberhasilan ini mendorong Soppeng untuk menyerang Lamuru, di mana ia berhasil
menaklukkannya dalam waktu sebulan.43 Di Somba Opu, Karaeng Tunipasulu yang baru berusia
15 tahun naik tahta. Ia menggantikan kedudukan ayahnya (Raja Gowa) sekaligus ibunya (Raja
Tallo dan Tumabbicara), sehingga Gowa-Tallo dipimpin oleh satu orang yang sama. Namun, ia
merupakan seorang raja yang kejam dan semena-mena, sehingga cenderung tak disukai baik oleh
rakyat maupun sesama pejabat pemerintahan dan bangsawan, termasuk Dewan Bate Salapang.

1591 - Soppeng dengan sokongan sekutu-sekutu Tellumpocoe-nya kembali melancarkan


ekspansi wilayah. Mereka menyerang Ajatappareng dan berhasil menaklukkan Sidenreng.44

1593 - Karaeng Tunipasulu dikudeta dalam sebuah revolusi istana. Ia dipaksa turun oleh rakyat
dan para petinggi kerajaan yang semuanya tak menyukainya. Pemimpin kudeta, Karaeng
Matoaya mengasingkan sang raja ke Luwu. Matoaya kemudian menobatkan adik Tunipasulu, I
Mangarangi sebagai Raja Gowa yang baru. Karaeng Matoaya sendiri mengambil alih tahta Tallo
dan menjabat sebagai Tumabbicara mendampingi I Mangarangi. Saat itu, Karaeng Matoaya baru
berusia 14 tahun, sementara I Mangarangi berusia tujuh tahun. 45 Pada tahun yang sama,

37
Ibid., hlm. 37.
38
Suriadi Mappangara, op.cit., hlm. 51.
39
Andaya, op.cit., hlm. 40.
40
Ibid.
41
Ibid.
42
Suriadi Mappangara, loc.cit.
43
Ibid.
44
Suriadi Mappangara, op.cit., hlm. 51-52.
45
Andaya, op.cit., hlm. 41.
Tellumpocoe kembali menyerang kekuasaan Gowa-Tallo. Mereka berhasil merebut Cenrana dan
Walanae.46

1596 - Karaeng Matoaya memimpin ekspedisi militer ke Timor. Ia berusaha menaklukkan pulau
itu dan dapat menempatkan pasukan pendudukan di sana hingga beberapa tahun berikutnya.47

1597 - Raja Tanete To Maburu Limmanna mengganti nama kerajaannya menjadi Agangnionjo.

1600 - Karaeng Pattingalloang (I Mangadacinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud) lahir.

1601 - Gowa-Tallo menyerang Kerajaan Sikka di Flores Tengah.48

1602 - Gowa-Tallo menyerang Solor. Karaeng Matoaya mengirim armada Makassar pimpinan
Dom Joao Juang untuk menaklukkan seluruh kekuasaan Portugis di Nusa Tenggara Timur.
Armada sebanyak 37 kapal dan 3000 prajurit ini memerangi orang Portugis dan sekutu-sekutu
lokalnya di sana, khususnya Kerajaan Kristen Larantuka di Flores Timur yang bertindak sebagai
vasalnya. Dom Joao Juang dibantu oleh Ama Kera, penguasa negeri Mau Mareh di pantai utara
Flores yang berambisi menguasai Larantuka dan Solor.49 Namun, ekspedisi ini berakhir dengan
kegagalan karena armada Makassar tak mampu menjebol benteng Portugis di Solor.50 Sementara
itu, penyerangan terhadap Sikka juga gagal karena pasukan Makassar dikalahkan dalam
pertempuran. Setelah kehilangan lebih dari 100 orang prajurit, mereka mengundurkan diri. 51
Namun, Dom Joao Juang dan armadanya masih berusaha mencari daerah lain untuk dikuasai di
Flores. Mereka pun berlayar ke barat menuju Ende. Benteng Portugis di Pulau Ende digempur
oleh armada Makassar, namun mereka kemudian diusir oleh balabantuan Portugis dari Solor.52
Ekspedisi militer ke Nusa Tenggara Timur pun berakhir dengan kekalahan besar. Oleh Karaeng
Matoaya, seluruh armada Makassar di sana (Solor, Flores, dan Timor) akhirnya ditarik kembali
ke Sulawesi Selatan.

1604 - Datu Luwu memeluk Islam dan memindahkan ibukota kerajaannya ke Palopo.

Era Islam (Imperium Makassar)

1605 - Karaeng Matoaya dan I Mangarangi memeluk Islam melalui Datuk Tallua atau tiga orang
ulama Minangkabau (Sumatera Barat) yaitu Dato ri Bandang, Dato ri Tiro, dan Dato ri Pattimang.

46
Suriadi Mappangara, loc.cit.
47
Hagerdal, Hans, Lords of the Land, Lords of the Sea: Conflict and Adaptation in Early Colonial Timor, 1600-1800,
hlm. 84.
48
Orinbao, P. Sareng, Nusa Nipa, hlm. 58.
49
Abdurachman, Paramita Rahayu, Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di
Indonesia, hlm. 73.
50
Lapian, A.B. dan JR. Chaniago, Timor Timur dalam Gerak Pembangunan, hlm. 10.
51
Orinbao, op.cit.
52
Abdurachman, op.cit., hlm. 74.
Mereka berasal dari Kerajaan Pagaruyung dan pernah belajar Islam di Aceh dan Gresik. Sebelum
ke Makassar, mereka juga telah mengislamkan Datu Luwu serta Mantan Raja Gowa Tunipasulu.
Untuk merayakan masuk Islamnya para raja Gowa-Tallo, dibangunlah sebuah masjid, yakni
Masjid Katangka di Somba Opu.

1606 - Jatuhnya Ternate. Kesultanan Ternate dikalahkan dalam sebuah invasi oleh armada
Spanyol dari Filipina. Sultan Ternate ditawan ke Manila, dan penggantinya dijadikan raja
bawahan oleh Spanyol. 53 Hal ini kemungkinan besar dimanfaatkan oleh Gowa-Tallo untuk
merebut kembali kekuasaannya di Sulawesi Tengah yang sebelumnya diambil oleh Ternate. I
Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung (Sultan Malikussaid) lahir.

1607 - Kerajaan Gowa-Tallo berubah menjadi kesultanan setelah Islam dijadikan agama resmi
negara itu. Dalam waktu dua tahun pasca masuk Islamnya Raja Gowa dan Raja Tallo, sebagian
besar rakyat Makassar telah mengikuti jejak mereka. Hal ini ditandai dengan diadakannya ibadah
salat Jum'at pertama di Masjid Katangka pada 9 November 1607. Raja Gowa dan Raja Tallo
kemudian mengganti nama gelarnya masing-masing menjadi Sultan Alauddin dan Sultan
Abdullah Awwalul Islam. 54 Kedua raja itu kemudian mengajak raja-raja Sulawesi Selatan
lainnya untuk ikut memeluk Islam, sebuah agama yang dianggap sebagai “jalan yang lebih baik”
daripada kepercayaan sebelumnya (agama-agama Patuntung dan Tolotang yang bersifat animis-
monoteis55). Ajakan damai ini disambut baik oleh raja-raja Sawitto, Balanipa, Bantaeng, dan
Selayar. Namun, ia ditolak keras oleh raja-raja Bugis dari Tellumpocoe yang menganggapnya
sebagai siasat orang Makassar untuk menguasai mereka. Pada tahun yang sama, Gowa-Tallo
mengadakan perjanjian dengan Ternate terkait perbatasan wilayah pengaruh di Laut Flores.
Keduanya sepakat bahwa Selayar adalah milik Gowa-Tallo, sedangkan Buton di bawah
Ternate. 56 Di bidang ekonomi, para saudagar Makassar sukses memperluas jangkauan
perdagangannya di Asia Tenggara dan Asia Timur. Berkat pendekatan diplomatik Karaeng
Matoaya, Gowa-Tallo berhasil mendirikan pos-pos dagang di Banda, Manila, dan Makau (koloni
Portugis di Cina). Gowa-Tallo juga memulai penerapan kebijakan perdagangan bebas di mana ia
membuka pelabuhan Makassar bagi semua bangsa asing yang ingin berdagang. Ini juga
menunjukkan bahwa para penguasa Gowa-Tallo telah menganut prinsip mare liberum atau “laut
bebas”.

53
Amal, M. Adnan, Kepulauan Rempah-rempah, hlm. 101-104.
54
Di kalangan sejarawan modern, Raja Tallo tetap lebih dikenal dengan nama lamanya, Karaeng Matoaya. Hal yang
sama juga berlaku kepada cucunya, Sultan Mahmud yang lebih dikenal dengan nama Karaeng Pattingalloang.
55
Patuntung memuja satu Tuhan yang dijuluki Tu Rie A’rakna, sementara Tolotang memuja Dewata SeuwaE.
Kedua agama lokal ini masih bertahan sampai sekarang sebagai aliran-aliran kepercayaan yang dianut oleh
masyarakat minoritas di Sulawesi Selatan, seperti orang Kajang di Bulukumba dan orang Towani Tolotang di
Sidenreng Rappang. Lihat Hasan dan Hasruddin Nur, “Patuntung Sebagai Kepercayaan Masyarakat Kajang Dalam
(Ilalang Embayya) Di Kabupaten Bulukumba”, Phinisi Integration Review, 2(2); dan Muh. Rusli, “Kearifan Lokal
Masyarakat Towani Tolotang di Kabupaten Sidenren Rappang", Jurnal Al-Ulum, 12(2).
56
Zuhdi, Susanto, Sejarah Buton Yang Terabaikan, Labu Rope Labu Wana, hlm. 122.
1608 - Perang Islam 57 (Musu' Asselengngeng atau Bundu’ Kasallanga) pecah. Dimulainya
peperangan besar antara Gowa-Tallo dan Tellumpocoe. Penolakan raja-raja Bugis terhadap
ajakan memeluk Islam dijadikan alasan oleh Gowa-Tallo untuk menyerang mereka. Pasukan
Makassar mulai menggempur wilayah Tellumpocoe. Soppeng menjadi kerajaan pertama yang
diserang, melalui Sawitto di barat. Dalam pertempuran tiga hari di Pakenya, pasukan Makassar
dikalahkan oleh pasukan aliansi Tellumpocoe.58

1609 - Jatuhnya Soppeng. Pasukan Makassar mengalahkan dan menaklukkan Soppeng, setelah
sebelumnya berhasil menundukkan kembali Sidenreng dan mengislamkannya. Mereka lanjut
menyerang Wajo, dengan dibantu oleh Luwu serta negeri-negeri bawahan Wajo yang membelot,
yakni Akkotengeng, Keera, dan Sakuli. Namun, mereka dikalahkan dalam pertempuran lima hari
di Peneki.59 Kompeni VOC Belanda mengirim perwakilan ke Makassar untuk meminta izin pada
Sultan Alauddin agar diperbolehkan mendirikan kantor dagang di kota Makassar. Sang Sultan
mengizinkannya, tapi membatasi operasinya hanya untuk sembilan tahun saja. Namun, ia
nantinya justru memperbolehkan bangsa-bangsa Eropa lain untuk mendirikan pos dagang
permanen. Ini menjadi awal mula perseteruan Kompeni VOC dengan Kesultanan Gowa-Tallo.
Sementara itu, seluruh vasal Gowa-Tallo di pantai barat Sulawesi Selatan tampaknya telah
dianeksasi sejak tahun ini.

1610 - Jatuhnya Wajo. Gowa-Tallo dan sekutunya kembali menggempur Wajo dan akhirnya
berhasil menaklukkannya.

1611 - Jatuhnya Bone. Arumpone La Tenriruwa berniat menyerah dan memeluk Islam, namun
ditentang oleh rakyatnya. Ia digulingkan dan digantikan oleh saudaranya, La Tenripale yang
melanjutkan perang melawan Gowa-Tallo. Namun, ia akhirnya dapat dipaksa menyerah oleh
pasukan Makassar. 60 Perang Islam yang telah berlangsung selama tiga tahun pun berakhir
dengan kemenangan Gowa-Tallo. Tiga kerajaan Tellumpocoe dijadikan negara bawahan oleh
Gowa-Tallo, dan raja-rajanya akhirnya bersedia memeluk Islam. Persekutuan Tellumpocoe tetap
dipertahankan, dengan syarat mereka bersedia menyerahkan hak urusan luar kepada Gowa-
Tallo. 61 Sultan Alauddin dan Karaeng Matoaya kemudian segera mengirimkan ulama-ulama
untuk mempercepat Islamisasi terhadap negeri-negeri Bugis tersebut. Dengan ini, maka seluruh
Sulawesi Selatan (kecuali Tana Toraja) telah menerima Islam. Kemenangan atas Bone juga
menjadi arti tersendiri bagi Gowa, karena ini menjadi kali pertama ia berhasil mendominasi dan
membawahi rival lamanya itu.

57
Dinamakan “Perang Islam” karena timbul akibat penolakan Tellumpocoe terhadap ajakan Gowa-Tallo untuk
memeluk Islam. Tellumpocoe bahkan membalas dengan sebuah “hinaan” terhadap kejantanan penguasa Gowa-
Tallo. Ini menjadi casus belli Gowa-Tallo untuk memerangi persekutuan itu.
58
Andaya, op.cit., hlm. 42.
59
Ibid., hlm. 42-43.
60
Ibid., hlm 43.
61
Ibid., hlm. 47-48.
1612 - Gowa-Tallo menundukkan konfederasi tujuh kerajaan Mandar pedalaman, Pitu Ulunna
Sallu. Seperti Pitu Babana Binanga di wilayah pesisir, setiap kerajaan dalam konfederasi ini juga
dijadikan vasal, dengan tetap mempertahankan keberadaan persekutuan mereka.

1613 - Ketegangan hubungan timbul antara Gowa-Tallo dan Kesultanan Buton di Sulawesi
Tenggara. Di bawah Sultan La Elangi, Buton yang merasa terancam oleh ekspansi Gowa-Tallo
menandatangani kontrak dengan VOC berupa sebuah “persekutuan abadi” atau hubungan aliansi
yang saling menguntungkan. Buton mendekati VOC karena sama-sama bermusuhan dengan
Gowa-Tallo, dan diharapkan mampu melindunginya dari ancaman Raja Makassar. 62 Inggris
melalui Kompeni EIC mendirikan pos dagang di Makassar.

1615 - Spanyol mendirikan pos dagang di Makassar. Para pedagang VOC Belanda menculik
syahbandar Makassar, Encik Using serta seorang bangsawan Gowa, Karaeng Kotengang. 63
Hubungan VOC dengan pemerintah Gowa-Tallo pun memburuk, sehingga pada tahun yang sama
mereka menutup dan meninggalkan pos dagangnya di Makassar.

1616 - Di bawah perintah Karaeng Matoaya, Gowa-Tallo memulai kampanye militer ke Nusa
Tenggara. Pulau Sumbawa menjadi target pertama yang diincarnya. Sembilan kapal perang
Makassar pimpinan Lo’mo Mandalle dan Karaeng Boroanging mulai memblokade Kerajaan
Bima yang menguasai bagian timur pulau itu, serta Pulau Sangeang, Sumba, dan Manggarai
(Flores Barat).64

1617 - Tunipasulu, Mantan Raja Gowa-Tallo dan kakanda Sultan Alauddin, wafat dalam
pengasingannya di Buton.65

1618 - Gowa-Tallo mengirim utusan kepada Raja Bima Rumata Manuru Salisi (Mantau Asi Peka)
untuk mengajaknya masuk Islam. Bersama dua orang utusan dari Giri (Jawa Timur), utusan
Makassar menemui Rumata Manuru Salisi dan menawarkannya untuk memeluk Islam dengan
sukarela. 66 Ajakan ini tampaknya ditolak, karena yang terjadi selanjutnya adalah pecahnya
perang antara Gowa-Tallo dan Bima. Armada Makassar mendaratkan pasukannya dan mulai
menyerang Bima. Rumata Manuru Salisi memimpin perlawanan menghadapi invasi itu. Namun,
pasukan Bima mengalami kekalahan dalam sebuah pertempuran melawan pasukan Karaeng
Boroanging. Armada Makassar juga berlayar ke barat untuk menyerang kerajaan-kerajaan
Sanggar, Kengkelu (Tambora), Papekat (Pekat), dan Dompu di Sumbawa Tengah. Denmark dan
Cina (Dinasti Qing) mendirikan pos dagang di Makassar.

62
Zuhdi, op.cit., hlm. 121-122.
63
Cummings, William, The Makassar Annals, hlm. 35.
64
Tahun keberangkatan ekspedisi ke Sumbawa sebenarnya masih diperdebatkan, karena lontara’ bilang (catatan
sejarah resmi istana Gowa-Tallo) tidak menuliskan tahun terjadinya peristiwa itu. Hanya disebutkan bahwa
ekspedisi diberangkatkan pada bulan April. Lihat Ibid., hlm.36.
65
Cummings, A Chain of Kings, hlm. 42.
66
Tawalinuddin Haris, “Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa”, WACANA, 8(1), hlm. 23.
1619 - Gowa-Tallo menaklukkan Bima, setelah kembali berhasil mengalahkan perlawanan
Rumata Manuru Salisi dan pasukannya. Penaklukan Sumbawa Tengah juga berakhir dengan
kemenangan setelah seluruh kerajaan di sana menyerah kepada Gowa-Tallo. Bima, Sanggar,
Tambora, Pekat dan Dompu, semuanya dijadikan vasal oleh Gowa-Tallo. Bima diwajibkan
mengirim upeti tahunan berupa hasil bumi, kain kasar, kayu, dan kuda. Semua vasal juga
diwajibkan untuk memasok pasukan kepada Gowa-Tallo apabila terjadi perang. 67 Karaeng
Boroanging dan armadanya kemudian lanjut menggempur Kerajaan Sumbawa, negara bawahan
Kerajaan Gelgel Bali yang berkuasa atas Lombok dan Sumbawa bagian barat. Pasukan Makassar
juga telah mulai menyerang Bayan di pantai utara Lombok.68

1620 - Tumabbicara Karaeng Matoaya "menyewa" wilayah Atas Angin milik Kesultanan Banjar
yang mencakup Pamukan, Paser, Kutai, dan seluruh jajahan Banjar di pantai timur Kalimantan,
menjadikan mereka sebagai vasal dan wilayah kekuasaan Gowa-Tallo.69 Dengan bantuan orang-
orang Portugis dan Spanyol, angkatan laut Gowa-Tallo mulai mengembangkan jenis kapal galle
(galai/galley) dan gorab untuk memajukan kekuatan maritimnya. Di Nusa Tenggara, armada
Karaeng Boroanging dapat menduduki Lombok, semakin melemahkan kekuatan Kerajaan
Sumbawa dan atasannya, Gelgel.

1621 - Raja Bima Rumata Manuru Salisi turun tahta dan digantikan oleh keponakannya, Rumata
Mantau Bata Wadu. Pada masa pemerintahannya, Bima resmi menjadi kesultanan setelah sang
raja bersedia memeluk Islam atas tawaran Sultan Gowa melalui Dato ri Bandang dan Dato ri
Tiro sebagai perantara. 70 Rumata Mantau Bata Wadu mengadopsi sebuah gelar baru, Sultan
Abdul Kahir. Seiring dengan itu, lingkungan istana Bima juga mulai mengalami Makassarisasi,
contohnya dalam hal adat-istiadat dan pemakaian gelar kebangsawanan seperti Raja Bicara
(Tumabbicara) dan Galara (Gallarang). Raja yang sebelumnya bergelar Sangaji juga berubah
menjadi Sultan. Ini menandakan pergantian orientasi kultural Bima yang sebelumnya ke barat
(Jawa Hindu) beralih ke utara (Makassar Islam).71 Pada tahun yang sama, armada Makassar telah
berhasil menaklukkan Sumbawa dan Lombok. Kerajaan Sumbawa, serta Selaparang di Lombok
dijadikan vasal oleh Gowa-Tallo.

1624 - Invasi ke Buton. Gowa-Tallo tampaknya telah memulai kampanye militer untuk
menaklukkan Buton, karena pada akhir tahun ini Sultan Buton diketahui meminta bantuan
armada kepada VOC untuk menghadapi ancaman orang Makassar. 72 Raja Sumbawa
memberontak melawan dominasi Gowa-Tallo, namun dapat segera dipadamkan oleh armada
Karaeng Boroanging yang masih berada di sana. Sultan Alauddin mendorong kerajaan-kerajaan
Tellumpocoe untuk mempertahankan persatuan mereka dan mengajak untuk memerangi negeri-

67
Ibid., hlm. 24.
68
Hagerdal, Hans, Candrasangkala: The Balinese Art of Dating Events, hlm. 7.
69
Cummings, op.cit., hlm. 88.
70
Susi Sulastri, “Mengenal Silsilah Raja Bima / Mbojo”, dalam Fakhriati, dkk., op.cit., hlm. 67.
71
Sjamsuddin, Helius, Memori Pulau Sumbawa, hlm. 57-59.
72
Zuhdi, op.cit., hlm. 125.
negeri yang memusuhi Islam, mempertegas dominasi Gowa-Tallo atas persekutuan itu. 73 Di
Somba Opu, sekitar 600 pedagang asing (kebanyakan orang Melayu) berangkat berlayar ke
Ambon untuk melanjutkan perdagangan mereka, dengan dikawal oleh kapal-kapal Makassar. Ini
menunjukkan bahwa pemerintah Gowa-Tallo melindungi dan menjamin keamanan para
pedagang asing di kerajaannya. Kebijakan ini menjadi faktor yang semakin memikat orang-orang
asing untuk berdagang di Makassar.

1625 - Gubernur VOC di Ambon, van Speult mengunjungi Makassar dan menemui Sultan
Alauddin, mendesaknya untuk membebaskan Buton dari pendudukan pasukan Makassar. Namun,
Sultan Alauddin menolak berunding dan tak mengakui posisi VOC sebagai perantara dalam
masalah itu, dan menyatakan bahwa ia lebih memilih berunding langsung dengan Sultan Buton.74
Armada Makassar pun tetap melanjutkan invasinya terhadap Buton. Mereka tampaknya juga
telah mulai menggempur Kerajaan Banggai di pantai timur Sulawesi Tengah. 75 Sultan Abdul
Kahir dari Bima menikah dengan Daeng Sikontu, seorang putri Makassar yang masih berkerabat
dengan Sultan Alauddin. Keluarga kerajaan Bima pun kini menjadi bagian dari keluarga besar
bangsawan Makassar Gowa-Tallo. 76 Jatuhnya Surabaya. Penaklukan Mataram atas Surabaya
mengakhiri dominasi pelabuhan-pelabuhan maritim di pantai utara Jawa terhadap perdagangan
internasional di kawasan Laut Jawa. Kedudukan mereka dengan cepat diambil alih oleh
pelabuhan Makassar. Pedagang-pedagang Jawa yang menolak mengakui kekuasaan Mataram
menyingkir ke pelabuhan-pelabuhan di Kalimantan dan Sulawesi, di mana Makassar menjadi
salah satu tujuan utama mereka. Kota Makassar pun menjadi semakin ramai dan semakin
berkembang pesat sebagai pusat perdagangan internasional, khususnya dalam perniagaan
rempah-rempah. 77 Beberapa koloni Surabaya di pantai timur Kalimantan Selatan juga
kemungkinan direbut oleh Gowa-Tallo, yakni Laut-Pulau (Pulau Laut), Satui, Kintap, Asam-
Asam, dan Sawarangan. Sementara sisanya diambil alih kembali oleh Kesultanan Banjar.

1626 - Dipimpin langsung oleh Sultan Alauddin dan Karaeng Matoaya, Gowa-Tallo mengadakan
ekspedisi ke Nusa Tenggara Timur. Mereka mempertegas dominasi Makassar dan Bima di
Manggarai, serta menundukkan Flores Tengah. Hanya Ende di pantai selatan dan Larantuka di
pantai timur yang tak ditundukkan, karena keduanya berada di bawah naungan Portugis. Gowa-
Tallo menganeksasi pantai utara Manggarai (dari Labuan Bajo, Bari, Reo, Pota, hingga Wuring
dan Geliting) serta Flores Tengah dan menggabungkannya menjadi satu koloni bernama Sandao.
Koloni ini dipimpin oleh I Papu, kepala masyarakat pelaut Bajau yang telah sejak lama
mengabdi kepada Gowa-Tallo. Armada Makassar kemudian lanjut menundukkan Pantar dan
Alor (Persekutuan Galiau Watang Lema), hingga sejauh pulau-pulau di Maluku Tenggara yang
terbentang dari Wetar hingga Tanimbar, serta Kepulauan Kei dan Aru.78 Sebelumnya, Gowa-

73
Andaya, op.cit., hlm. 47.
74
Zuhdi, op.cit., hlm. 125-126.
75
Madina, Sofyan, dkk., Sejarah Kesultanan Banggai, hlm. 151.
76
Fakhriati, dkk., loc.cit.
77
Mattulada, op.cit., hlm. 4-6.
78
Andaya op.cit., hlm. 45 dan 59.
Tallo juga telah berhasil menjadikan Luwu sebagai vasalnya, serta merebut Bungku dan Banggai
dari Ternate. Jatuhnya Buton. Konflik internal dan tak datangnya armada bantuan VOC membuat
Buton akhirnya takluk kepada pasukan Makassar yang telah menggempurnya selama dua tahun.
Buton dan seluruh vasalnya (kecuali Poleang, Bombana, Rumbia, dan Kabaena di pantai selatan
jazirah tenggara Sulawesi) dijadikan bawahan oleh Gowa-Tallo.

1627 - Buton memberontak. Sultan Alauddin memimpin sejumlah besar pasukan untuk
menundukkannya kembali. Sebelum berangkat, ia ditemui oleh Arung Matoa Wajo,
Topassaunge yang menawarkan diri untuk menjaga keamanan ibukota Gowa-Tallo selama
kepergiannya. Sang Sultan setuju dan mempersilahkan Arung Matoa dan pasukan Wajo untuk
menempati Benteng Panakkukang.79

1628 - Pemberontakan Buton berhasil dipadamkan setelah tiga bulan peperangan. 80 Sultan
Alauddin dan armadanya kembali ke Somba Opu membawa kemenangan.

1629 - Ternate di bawah Sultan Hamzah mengirim ekspedisi militer ke Sulawesi untuk
“menertibkan kembali” vasal-vasalnya yang “membangkang” karena telah mengalihkan
pertuanan mereka kepada Gowa-Tallo. Armada Ternate pimpinan Kapita Laut Ali menyerang
Banggai dan Bungku yang dipertahankan oleh suatu garnisun Makassar yang telah ditempatkan
di sana oleh Sultan Gowa. Pasukan Ternate berhasil memenangkan pertempuran dan merebut
kembali kedua kerajaan itu.81

1630 - Karaeng Matoaya menikahi seorang putri dari Kerajaan Wehali, negara paling
berpengaruh di Pulau Timor.82 Ia pun mengikat kerajaan itu ke dalam daerah pengaruh Gowa-
Tallo. Raja Jari Jawa mendirikan Kerajaan Ende di pantai selatan Flores, setelah berhasil
mengusir orang-orang Portugis dari sana. Sejak pendiriannya, Ende telah menjadi kerajaan Islam
sehingga ada kemungkinan bahwa ia juga berkedudukan sebagai vasal Gowa-Tallo. Raja Mauritz
Datu Binangkal Korompot naik tahta di Kaidipang (sebuah kerajaan di Sulawesi Utara). Ia
dinobatkan secara resmi di Makassar oleh seorang pegawai VOC bernama Pieter van den Broeke
dan Raja Gowa Sultan Alauddin. VOC menghadiahkan sebuah mahkota korompot (crown pet)
kepada Raja Mauritz sebagai penghormatan tertinggi kepadanya. Penobatan ini mengindikasikan
bahwa Kerajaan Kaidipang telah menjadi vasal Gowa-Tallo. Arumpone La Madaremmeng naik
tahta di Bone sebagai raja bawahan Gowa-Tallo.

1631 - I Mallombassi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe (Sultan
Hasanuddin) lahir. Ternate merebut kembali Buton dari Makassar. Perang pecah antara armada
Ternate dan armada Gowa-Tallo yang berusaha merebutnya kembali. Kapita Laut Ali
memutuskan untuk menetap di Buton guna mempertahankan kekuasaan Ternate atas kesultanan

79
Ibid., hlm. 46-47.
80
Ibid.
81
Amal, op.cit., hlm. 116-118.
82
Hagerdal, loc.cit.
itu. 83 Bencana kebakaran melanda permukiman pedagang Melayu dan Jawa di Makassar, di
mana 556 rumah hangus oleh api.84

1632 - Sultan Alauddin memimpin ekspedisi ke Tana Toraja dan berhasil menaklukkan wilayah
Polong (Bolong) dan Welinrang (Walenrang). 85 Buton ditaklukkan kembali oleh Gowa-Tallo,
setelah Kapita Laut Ali dari Ternate wafat mendadak. Ada kemungkinan ia diracun oleh Sultan
Gowa. 86 Seiring dengan itu, Banggai dan Bungku juga dapat direbut kembali oleh armada
Makassar. Revolusi istana pecah di Bima. Sultan Abdul Kahir digulingkan oleh sebagian besar
rakyatnya yang menentang kekuasaan Gowa-Tallo. Atas sokongan Raja Dompu yang juga
memberontak, sang Sultan dapat disingkirkan dan diasingkan ke Pulau Sangeang. Mengetahui
berita ini, Sultan Alauddin segera mengirim ekspedisi pimpinan Karaeng Bura’ne ke Bima untuk
memulihkan tahta Sultan Abdul Kahir sekaligus menumpas kaum pemberontak. 87 Datuk
Maharajalela, seorang bangsawan Melayu dari Kesultanan Patani (pantai utara Semenanjung
Malaya) tiba di Makassar bersama rombongannya. Atas persetujuan Sultan Alauddin dan
Karaeng Matoaya, ia diangkat oleh para pedagang Melayu sebagai pemimpin mereka. Datuk
Maharajalela menjalin hubungan yang baik dengan para pembesar Gowa dan Tallo. Pada tahun
yang sama, seorang pejabat VOC (anggota Raad van Indie) dari Batavia bernama Anthony Caen,
serta seorang utusan dari Kerajaan Hitu datang berkunjung ke Makassar. Pejabat VOC datang
untuk membujuk Sultan Alauddin dan Karaeng Matoaya agar mau bersahabat dengan Kompeni,
namun bujukan ini ditolak sebab VOC tetap memaksakan monopoli perdagangannya. Sementara
itu, utusan Hitu datang mewakili Kapita Kakiali (seorang pembesar Hitu) untuk meminta
bantuan melawan kekuasaan Ternate dan VOC di Ambon. Permintaan ini dikabulkan oleh Sultan
Alauddin.

1633 - Pemberontakan Bima berhasil dipadamkan. Sultan Abdul Kahir dipulihkan kembali ke
atas tahtanya. 88 Laporan pedagang VOC menyatakan bahwa seluruh negeri Bima
diporakporandakan oleh pasukan Makassar yang membawa 400 kapal. Mereka berhasil
menempatkan kembali adik ipar Sultan Gowa sebagai Raja Bima. 89 Pemberontakan di pulau-
pulau lain milik Bima seperti di Sumba90 juga dapat ditumpas, begitupula Dompu yang juga
dapat ditundukkan kembali. Armada Makassar pimpinan Daeng Mangamara dan Daeng
Mangalle menundukkan Poleang, Bombana, Rumbia, dan Kabaena 91, serta Laiwoi (Konawe).
Sultan Alauddin mengirim armada laut ke Maluku Tengah untuk mendukung perlawanan Kapita
Kakiali dari Hitu yang menentang monopoli VOC di Ambon. Meskipun secara formal Hitu
83
Amal, op.cit., hlm. 118.
84
Cummings, The Makassar Annals, hlm. 43.
85
Ibid., hlm. 45.
86
Amal, op.cit., hlm. 118-119.
87
Fakhriati, dkk., hlm. 68.
88
Fakhriati, dkk., loc.cit.
89
Tawalinuddin Haris, op.cit., hlm. 22.
90
Dewa Made Alit, “Prahara di Kerajaan Gelgel: Studi Kasus Pemberontakan I Gusti Agung Maruti terhadap Dalem
Dimade Tahun 1651” [makalah], hlm. 2.
91
Cummings, op.cit., hlm. 46.
merupakan vasal Ternate (yang bersekutu dengan VOC), namun ia mampu bertindak lebih bebas
karena otoritas atasannya itu telah melemah, sehingga ia pun juga dapat menjalin persekutuan
dengan orang Makassar. Kesultanan Mataram dari Jawa mengirim utusan ke Makassar,
mengajak Sultan Gowa untuk membentuk aliansi. 92 Karena sama-sama bermusuhan dengan
VOC, Sultan Alauddin menerima ajakan itu. Aliansi Makassar-Mataram pun dibentuk, dan
ditegaskan dengan hubungan perkawinan antara Sultan Alauddin dan seorang putri dari Sultan
Agung, Raja Mataram. Sejak saat itu, aliansi ini memberikan dukungan dana dan persenjataan
kepada perlawanan-perlawanan anti-VOC, khususnya di Maluku.

1634 - Armada Makassar di Hitu mulai bertempur melawan pasukan VOC. Kompeni VOC juga
mengirim armada laut ke Sulawesi Selatan untuk mencegah datangnya bantuan Makassar ke Hitu.
Di bawah pimpinan Gijsbert Lodensteijn, armada VOC mulai memblokade Kota Makassar
dengan 12 kapal. Gubernur Jenderal VOC di Batavia juga memerintahkan armada ini untuk
menghancurkan semua kapal Portugis dan pedagang bangsa lain yang tengah bersandar di
pelabuhan Makassar. Namun, kedatangan armada Belanda ini telah diketahui oleh Sultan
Alauddin dan Karaeng Matoaya melalui mata-mata Makassar di Jepara. Saat kapal-kapal VOC
tiba, mereka mendapati bahwa pelabuhan Makassar telah dikosongkan dan hanya berjumpa
dengan satu skuadron laut Gowa-Tallo. Saat mendekati Benteng Panakkukang, armada VOC
ditembaki. Kapal-kapal Makassar kemudian memancing armada Belanda untuk mengejar mereka
ke arah selatan. Mereka pun meninggalkan Makassar, sehingga usaha VOC untuk memblokade
kota itu pun gagal. Namun, armada VOC sempat membakar permukiman di Pulau Lae-Lae.93
Pada tahun yang sama, Makassar berturut-turut menaklukkan Parigi, Buol, Manado, Sula, Buru,
dan kerajaan-kerajaan di jazirah Sulawesi Utara (Boalemo, Gorontalo, Bulango, Limboto,
Atinggola, Bintauna, Bolaang Uki, dan Bolaang Mongondow), serta menegaskan dominasinya
atas Banggai dan Bungku. Gowa-Tallo pun telah menjadi penguasa atas seluruh pantai di pulau
utama Sulawesi.

1635 - La Tenritatta (Arung Palakka) lahir. Gowa-Tallo mengirim pasukan pimpinan Karaeng
Suli ke Luwu untuk mempertegas dominasinya atas kerajaan itu.94 Perang laut pecah di perairan
Ambon antara armada Makassar dan armada VOC. Dalam pertempuran ini, pasukan Makassar
mampu menewaskan seorang petinggi Kompeni bernama van Vliet beserta lima orang krunya.
VOC juga kembali mengirim armada ke Sulawesi Selatan. Kali ini mereka menembaki Galesong,
namun gagal meruntuhkan pertahanannya.

1636 - Gowa-Tallo menegaskan dominasinya atas Buton, Banggai, Sula, Bungku, Manado, dan
Buru.95 Suatu wabah mematikan melanda Kesultanan Gowa-Tallo. Karaeng Matoaya wafat. Ia
digantikan oleh putranya, Karaeng Kanjilo (Sultan Abdul Jafar Muzaffar). Kutai, Paser, dan
wilayah pengaruh Gowa-Tallo di pantai timur Kalimantan direbut kembali oleh Banjar yang
92
Cummings, loc.cit.
93
Cummings, op.cit., hlm. 47.
94
Cummings, op.cit., hlm. 49.
95
Andaya, Leonard Y., Dunia Maluku: Indonesia Timur pada Zaman Modern Awal, hlm. 223.
bersekutu dengan VOC. Gubernur Jenderal VOC, Anthony van Diemen berkunjung ke Makassar
untuk membicarakan perundingan damai dengan Sultan Gowa. Melalui Anthony Caen sebagai
perantara, Kompeni VOC menyatakan keinginannya untuk menjalin “perdamaian abadi” dengan
Gowa-Tallo. Ia juga menyampaikan permintaan agar VOC diizinkan kembali mendirikan pos
dagang di Makassar. Namun, ia juga mengajukan syarat perdamaian itu, yakni agar Sultan Gowa
melarang rakyatnya berlayar dan menjalin hubungan dengan negara-negara yang memusuhi
VOC. Permintaan ini ditolak oleh Sultan Alauddin, namun van Diemen dan Caen terus berusaha
mendesaknya untuk berdamai sampai satu tahun kemudian.

1637 - Perjanjian Somba Opu. Penandatanganan “perdamaian abadi” dilaksanakan di Somba


Opu antara Sultan Alauddin dan Gubernur Jenderal Anthony van Diemen. Secara ringkas,
perdamaian ini berisi persetujuan Gowa-Tallo dan VOC untuk melaksanakan “perdamaian abadi”
dan perdagangan bebas, namun VOC tak diizinkan mendirikan pos dagang permanen di Kota
Makassar. Dalam penandatanganan ini, Sultan Alauddin disokong oleh para sekutunya, yakni
Sultan Iskandar Tsani dari Aceh, Sultan Abulmafakhir dari Banten, dan Sultan Agung dari
Mataram. Ketiga penguasa Muslim dari Indonesia Barat ini semuanya memusuhi Kompeni VOC,
dan menjadi salah satu sebab utama yang memaksa VOC untuk menarik syarat-syarat
perdamaian yang memberatkan bagi pihak Gowa-Tallo. Di Flores, kapal-kapal VOC pimpinan
van Tomsbergen berlabuh di Ende dan sukses membujuk rajanya untuk mengakui pertuanan
VOC96, melepaskannya dari naungan Gowa-Tallo.

1638 - Gowa-Tallo merebut kembali Paser, Kutai, serta Berau dan bawahan-bawahannya
(Bulungan dan Tidung) dari Banjar yang telah mengakhiri hubungan aliansinya dengan VOC.

1639 - Sultan Alauddin wafat. Sultan Malikussaid atau Muhammad Said (I Manuntungi Karaeng
Ujung) naik tahta menggantikannya sebagai Raja Gowa. Pada masa pemerintahannya,
Kesultanan Gowa-Tallo mencapai puncak ekspansinya. Ia juga mempererat hubungan diplomatik
dengan kerajaan-kerajaan Nusantara lain, khususnya Mataram, Aceh, dan Banten. Ia juga
mempererat hubungan diplomatik dengan pemimpin-pemimpin dunia lainnya, antara lain
Gubernur Jenderal Spanyol di Filipina, Raja Muda Portugis di Goa (India), Raja Inggris, Raja
Spanyol dan Portugal (Uni Iberia, persatuan Spanyol-Portugal), Mufti Mekkah (yang mewakili
Sultan Turki Utsmani, Khalifah Islam), dan Gubernur Kekaisaran Mughal di Benggala. Oleh
Mufti Mekkah, ia dilantik secara resmi sebagai seorang raja Muslim dengan gelar Sultan
Muhammad Said.97

1640 - Sultan Malikussaid memimpin ekspedisi ke Luwu, Tiworo, dan Welinrang (Toraja) untuk
menegaskan dominasi Gowa-Tallo terhadap daerah-daerah itu. Orang Makassar juga mulai
mengadakan ekspedisi dagang ke Benua Australia di selatan Laut Arafura. Orang Makassar
menjalin hubungan dengan orang Aborigin di Marege (Northern Territory) dan Kayu Jawa
(Kimberley), khususnya dengan masyarakat Yolngu yang tinggal di wilayah yang kini menjadi
96
Abdurachman, op.cit., hlm. 81.
97
Cummings, op.cit., hlm. 47.
Kota Darwin dan sekitarnya. Mereka tampaknya mendirikan koloni-koloni berupa permukiman
non-permanen di wilayah-wilayah tersebut yang difungsikan sebagai pos-pos dagang. Sejak saat
itu, pedagang Makassar rutin bolak-balik Sulawesi-Australia. Teripang (timun laut) menjadi
komoditas utama yang dicari oleh orang Makassar di benua ini, karena merupakan produk yang
cukup laris di pasaran Asia Tenggara dan Asia Timur. Armada Makassar menundukkan Pulau
Obi di Maluku Utara. Pemberontakan pecah di Lombok. Raja Lombok, Kebo Mundar berhasil
mengalahkan dan mengusir garnisun Makassar yang menduduki pulau itu kembali ke Sulawesi.
Ia pun mendeklarasikan Lombok sebagai negara berdaulat, yang merdeka dari kekuasaan Gowa-
Tallo ataupun Gelgel Bali. 98 Sultan Bima pertama Abdul Kahir wafat dan digantikan oleh
putranya, Sultan Abil Khair Sirajuddin. Arumpone La Madaremmeng dari Bone mengumumkan
pelarangan perbudakan di kerajaannya sebagai usaha untuk mempromosikan Islam yang lebih
murni. Ia melarang siapapun di Bone memiliki budak, dan bagi yang masih punya diminta untuk
segera membebaskan mereka, atau setidaknya memberi gaji sebagai imbalan pekerjaan mereka.
Kebijakan ini ditentang oleh banyak kalangan bangsawan Bugis di Bone, termasuk ibunda sang
Arumpone sendiri, Datu Pattiro We Tenrisoloreng. Ia menolak aliran Islam yang dianut putranya
(yang dianggap terlalu kaku), dan bersama bangsawan Bone lainnya memutuskan pergi ke Gowa
untuk meminta bantuan. Bone di bawah La Madaremmeng kemudian berusaha menyebarkan dan
memaksakan aliran Islamnya ke kerajaan-kerajaan Bugis di sekitarnya (Wajo, Soppeng, dan
Ajatappareng).

1641 - Invasi Makassar ke Timor. Dari Kalakongkong di Bulukumba, Sultan Tallo Karaeng
Kanjilo berangkat memimpin ekspedisi militer ke Pulau Timor, dengan tujuan akhir
menaklukkan pusat kolonial Portugis di Larantuka. Pasukannya mendarat dari pantai utara Timor
Leste, kemudian menundukkan kerajaan-kerajaan Luca, Ade (Vemasse), Manatuto, Cailaco,
Mena, hingga Wehali. Karaeng Kanjilo berhasil mengislamkan Raja Wehali, penguasa paling
dihormati di Timor. Ia pun menjadi raja bawahan Gowa-Tallo, dan diikuti oleh banyak raja
lainnya. Karaeng Kanjilo dan pasukannya kemudian menjarah seluruh pesisir pulau itu dan
menangkap sekitar 4000 orang tawanan. Pasukan Makasar terus bergerak sampai menduduki
kerajaan-kerajaan Batumean (Damitiao/Amanatun), Amanuban (Manubao), Sorbian
(Serviao/Amfoan), dan Lifau (Ambeno) di Timor Barat yang bersekutu dengan Portugis.
Karaeng Kanjilo kemudian pulang ke Tallo, sementara armadanya menggempur Larantuka. 99
Sesampainya di Tallo, sang Tumabbicara tiba-tiba dibunuh oleh istrinya yang selingkuh dan
takut ketahuan olehnya. Jabatannya sebagai Raja Tallo dan Tumabbicara pun digantikan oleh
saudaranya, Karaeng Pattingalloang (Sultan Mahmud). Perang Hitu dimulai. Sultan Malikussaid
mengirim 1200 prajurit Makassar pimpinan I Baliung dan I Daeng Battu ke Maluku Tengah
untuk membantu Salahakan Luhu, penguasa Huamual yang memberontak dari Ternate.
Salahakan Luhu bersama pasukan Makassar menggempur pos-pos VOC yang ada di sana.
Mereka berhasil menguasai seluruh Huamual dan Seram Barat setelah membersihkannya dari

98
Dewa Made Alit, loc.cit.
99
Hagerdal, Hans, “Serviao and Belu: Colonial Conceptions and the Geographical Partition” [makalah], hlm. 57.
pasukan VOC dan Ternate yang mempertahankannya. Salahakan Luhu pun dijadikan raja
bawahan oleh Gowa-Tallo.

1642 - Armada Makassar gagal menaklukkan Larantuka dan mengalami kekalahan. Garnisun
Makassar di Timor Barat juga dipukul mundur oleh pasukan Portugis yang dibantu oleh orang
Topas100 dan sekutu-sekutu Timor mereka. Pasukan Makassar dikalahkan di daerah Amanatun-
Belu dan kota pelabuhan Mena, memaksa mereka mundur ke Timor Leste. Batumean,
Amanuban, Sorbian, dan Lifau direbut kembali oleh Portugis, menyisakan Wehali, Mena, dan
negeri-negeri di Timor Leste sebagai vasal-vasal Gowa-Tallo di Pulau Timor. Di Sulawesi Utara,
Kerajaan Siau memerdekakan diri dari Ternate, kemudian merebut seluruh Kepulauan Sitaro. Ia
juga menyerang dan menduduki wilayah Talawaan (Manado dan sekitarnya) dari Gowa-Tallo.
Pada tahun yang sama, armada VOC mulai menggempur kedudukan Portugis di Kupang, Timor.

1643 - Salahakan Luhu ditangkap oleh VOC. Atas perintah Sultan Ternate, ia dihukum gantung
di hadapan penduduk Ambon karena terbukti memimpin pemberontakan. Perjuangannya
dilanjutkan oleh Kapita Kakiali dan Tulukabessy, yang terus mendapatkan sokongan dari Gowa-
Tallo. Siau menduduki Singkil (Bitung dan sekitarnya). Perang Passempe I pecah. Bone di
bawah Arumpone La Madaremmeng menjarah wilayah kekuasaan Wajo di Peneki, menimbulkan
ketegangan hubungan di antara kedua negara itu. Sultan Gowa sebagai atasan mereka segera
mengambil tindakan dengan mengirim surat kepada Arumpone untuk meminta penjelasan,
namun surat ini tak dibalas. Akibatnya, Gowa-Tallo pun mengerahkan pasukan ke Bone. Dibantu
oleh Wajo dan Soppeng, pasukan Makassar yang dipimpin langsung oleh Sultan Malikussaid
mengalahkan pasukan Bone dalam pertempuran di Passempe. Arumpone dan saudaranya, La
Tenriaji melarikan diri ke Larompong di Luwu. Sang Arumpone nantinya dapat ditangkap dan
digiring ke Gowa. Karaeng Pattingalloang sebagai Tumabbicara kemudian meminta Aruppitu
(dewan adat Kerajaan Bone) untuk memilih penguasa Bone menggantikan La Madaremmeng.
Setelah dimusyawarahkan, mereka sepakat untuk melantik Tobala (bangsawan Bugis Bone dan
seorang anggota Aruppitu) sebagai Arumpone. Ia tetap memerintah sebagai bawahan Gowa-
Tallo, dengan didampingi oleh seorang petinggi Makassar bernama Karaeng Sumanna. Untuk
sementara, keadaan di Bone stabil kembali.

1644 - Tumabbicara Karaeng Pattingalloang memesan sejumlah benda-benda iptek dari Eropa,
yakni dua buah bola dunia (globe), peta dunia dan atlas dalam bahasa Latin, sepasang teropong
berkualitas terbaik, 12 prisma segitiga, 30-40 tongkat baja kecil, serta sebuah bola dari tembaga
atau baja.101 Benda-benda ini dipesan melalui utusan VOC yang singgah di Makassar menuju
Batavia. Karaeng Pattingalloang adalah seorang raja yang menggemari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi termutakhir saat itu di Eropa, khususnya terkait geografi dan
matematika. Perang Passempe II pecah. Tobala dikudeta oleh La Tenriaji, saudara La
100
Topas atau tupas (diduga berasal dari bahasa Tamil tuppasi yang berarti “jurubahasa”): julukan bagi penduduk
Nusa Tenggara Timur yang merupakan mestizo atau berdarah separuh Portugis. Mereka juga dikenal dengan nama
Portugis Hitam. Lihat Lapian dan Chaniago, op.cit., hlm. 11.
101
Andini Perdana, “Representasi Warisan Karaeng Pattingalloang di Museum”, Pangadereng, 6(1), hlm. 66.
Madaremmeng yang berhasil lolos dari kejaran pasukan Makassar. Ia memerdekakan Bone dan
dengan cepat menghimpun kekuatan untuk kembali melawan Gowa-Tallo. Pada tahun yang sama,
Sultan Malikussaid mengirim misi diplomatik ke Mataram untuk mempererat hubungan
persahabatannya dengan kerajaan itu.

1645 - Perang Passempe II berakhir. Pemberontakan Bone berhasil diredam oleh pasukan
Makassar yang dipimpin langsung oleh Sultan Malikussaid. 102 Arumpone La Tenriaji dan
seluruh bangsawan Bone dijadikan tawanan oleh Sultan Malikussaid, termasuk La Tenritatta
(Arung Palakka), yang kala itu masih kecil. Mereka diboyong ke Gowa dan dijadikan pelayan
atau budak para bangsawan Makassar. Arung Palakka sendiri menjadi pelayan Tumabbicara
Karaeng Pattingalloang, yang memperlakukannya dengan baik. Saat remaja, ia menjalin
persahabatan dengan para pangeran Makassar, termasuk I Mallombasi (Sultan Hasanuddin).
Sementara itu, Kerajaan Bone dianeksasi oleh Kesultanan Gowa-Tallo. Statusnya diturunkan dari
palili (“bawahan”) menjadi ata (“budak”). Tobala tetap menjabat sebagai pemimpin Bone yang
mewakili Gowa-Tallo, karena sikap netralnya dalam perang ini. Pertempuran laut Makassar-Siau
pecah di Teluk Buol. Siau merebut Buol dan seluruh jazirah Sulawesi Utara dari Gowa-Tallo.
Dua bulan pasca perang, Gowa-Tallo dan Siau memutuskan untuk mengadakan perjanjian damai,
di mana seluruh semenanjung Sulawesi Utara dari Manado sampai Buol diserahkan kepada
Kerajaan Siau. Kedua negara itu kemudian menjalin aliansi. Pasukan Huamual-Hitu pimpinan
Kapita Kakiali dan Tulukabessy bersama armada Makassar menaklukkan Hitu dan hampir
seluruh Kepulauan Ambon. Di Lombok, pasukan Gelgel Bali mengalahkan Kebo Mundar dan
menaklukkan kembali pulau itu.103

1646 - Perang Hitu berakhir. Ternate mendapatkan kembali kekuasaannya di Maluku Tengah
setelah pasukan Huamual-Hitu dan armada Makassar di sana disapu bersih oleh armada VOC.
Kapita Kakiali terbunuh, sementara Tulukabessy tertangkap dan dieksekusi. Gowa-Tallo pun
kehilangan kekuasaannya di Maluku Tengah. Sultan Abil Khair Sirajuddin dari Bima menikah
dengan Karaeng Bonto Jene, adik kandung I Mallombasi (Sultan Hasanuddin). 104 Hubungan
kekeluargaan Bima-Makassar pun semakin dipererat. VOC mengusir Portugis dari Kupang.
Benteng Portugis di sana diduduki dan diambil alih oleh pasukan VOC.

1648 - Benda-benda pesanan Karaeng Pattingalloang dari Eropa mulai tiba dan diterima di
Makassar. 105 Gowa-Tallo menyerang Lombok dan merebutnya kembali dari Gelgel. Untuk
mencegah pemberontakan, orang Makassar mendekati para bangsawan Lombok dan mengangkat
beberapa di antara mereka sebagai pejabat-pejabat penting di sejumlah wilayah kekuasaan

102
Cummings, op.cit., hlm. 66.
103
Hagerdal, Candrasangkala: The Balinese Art of Dating Events, hlm. 138-139.
104
Fakhriati, dkk., op.cit., hlm. 68.
105
Andini Perdana, loc.cit.
Gowa-Tallo di Nusa Tenggara. Salah satunya adalah Ammasa Pamayan, seorang anak Raja
Selaparang yang dilantik menjadi Raja Sumbawa.106

1650 - Bola dunia pesanan Karaeng Pattingalloang tiba di Batavia pada tanggal 25 November.
Bola dunia ini dibuat oleh Joan Blaeu, seorang kartografer Belanda yang juga pernah membuat
benda yang sama kepada beberapa penguasa Eropa, seperti Ratu Swedia dan Pangeran
Liechtenstein.107 Dari Batavia, bola dunia ini akan dikirim ke Makassar dua bulan kemudian.
Raja Sumbawa menikahi Karaeng Panaikang, seorang putri Gowa.

1651 - Pada tanggal 12 Februari, bola dunia Joan Blaeu tiba di Makassar dan diterima oleh
Karaeng Pattingalloang. Perlawanan Majira pecah di Maluku Tengah. Salahakan Majira, seorang
pejabat Ternate di Seram Barat melancarkan pemberontakan menentang kekuasaan negara
atasannya, yang tengah dilanda huru-hara perebutan tahta. Perlawanan ini didukung oleh Sultan
Malikussaid, yang ingin mengembalikan kekuasaan Gowa-Tallo atas Maluku Tengah. Ia
mengirim bantuan militer di bawah pimpinan Daeng Bulekang.108

1652 - Karaeng Pattingalloang dihadiahkan sebuah bola dunia seharga 12 ribu franc oleh VOC,
sebagai bentuk apresiasi kepada kepeduliannya terhadap perkembangan iptek. Ia juga menerima
teleskop model Galilean (teleskop pembiasan) sebagai hadiah dari Raja Inggris.109 Di Maluku,
VOC mulai melancarkan kebijakan Hongi Tochten atau Pelayaran Hongi, yakni ekspedisi
pemusnahan pohon cengkih di seluruh Maluku untuk memantapkan monopoli perdagangannya.
Kebijakan ini direstui oleh Sultan Ternate, memperkeruh hubungannya dengan wilayah-wilayah
seberang lautnya, khususnya di Maluku Tengah. Para pejabat Ternate di sana pun semakin aktif
mendekati Gowa-Tallo, yang menentang keras kebijakan VOC. Dalam sebuah surat kepada
VOC, Sultan Malikussaid secara tersirat menyatakan bahwa ia tidak mengakui kekuasaan VOC
di Seram dan Ambon. 110 Salahakan Majira berkunjung ke Makassar. Ia diterima oleh Sultan
Malikussaid yang menghadiahkannya 30 kapal perang sebagai bantuan terhadap perjuangannya
di Seram. Pada tahun yang sama, Ternate mengirim ekspedisi militer ke Buton sebagai usaha
terakhir untuk merebut kembali pulau itu, namun berakhir gagal. Armada Ternate dikalahkan
oleh pasukan Buton yang dibantu oleh armada Makassar.

1653 - Sultan Malikussaid turun tahta, kemudian mengangkat putranya, Sultan Hasanuddin (I
Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangepe) sebagai penggantinya. Malikussaid
tetap mendampingi putranya itu sebagai penasihat hingga setahun kemudian. VOC mengirim
armada ke Makassar pimpinan Jacob Hustaerdt untuk menangkap Salahakan Majira, namun
gagal dan kecolongan karena ia telah kembali ke Seram Barat bersama armada bantuan dari
Sultan Gowa. Armada pimpinan Daeng Bulekang ini berhasil menguasai Seram Barat dan Buru,

106
Cummings, op.cit., hlm. 70.
107
Andini Perdana, op.cit., hlm. 67.
108
Cummings, op.cit., hlm. 77.
109
Andini Perdana, op.cit., hlm. 68.
110
Mattulada, op.cit., hlm. 73.-74.
merebutnya kembali dari VOC dan Ternate. Pengaruh dan kekuasaan Gowa-Tallo atas kedua
daerah itu pun berhasil dipulihkan. Kota Asahudi (Asaude, Waesala) di Seram Barat dijadikan
pusat pertahanan oleh Salahakan Majira. Sebelumnya, Kompeni VOC telah mendeklarasikan
perang kepada Gowa-Tallo, setelah menganggap dukungan Sultan Gowa kepada Salahakan
Majira sebagai pelanggaran terhadap kekuasaan VOC di Maluku Tengah. Orang-orang Belanda
merobek-robek surat “perdamaian abadi” tahun 1637, menandakan timbulnya kembali
ketegangan hubungan antara mereka dan orang Makassar. Di Timor, VOC mendirikan Benteng
Concordia sebagai pemugaran dari benteng Portugis sebelumnya, dan menjadikan Kupang
sebagai pusat kegiatannya di perairan Nusa Tenggara.

1654 - Sultan Malikussaid dan Karaeng Pattingalloang wafat. Jabatan Tumabbicara diambil alih
oleh Sultan Hasanuddin selama beberapa bulan, sampai akhirnya ia menobatkan Karaeng
Karunrung (salah satu putra Karaeng Pattingalloang) sebagai Tumabbicara yang baru. Namun,
Karaeng Karunrung hanya menjadi Tumabbicara, sementara jabatan Raja Tallo diserahkan
kepada saudaranya, Daeng Manyauru (Sultan Harunurrasyid). Armada VOC pimpinan
Laksamana de Vlaming van Oudshoorn melancarkan Ekspedisi Kruistocht (“Pelayaran Salib”)
menuju wilayah-wilayah kekuasaan Gowa-Tallo. Armada VOC menggempur vasal-vasal Gowa-
Tallo di pantai timur Sulawesi (Banggai, Bungku, dan Buton) dan Maluku. Mereka berhasil
menduduki Buton, kemudian mulai memblokade Kota Makassar dan sekitarnya. Armada VOC
juga menggempur Asahudi di Seram Barat.

1655 - Syarif Mekkah menyeru para raja Muslim di Nusantara untuk bersatu dan bersama-sama
mengusir Kompeni VOC Belanda yang telah banyak merugikan orang Islam. Sultan Hasanuddin
segera menanggapinya dengan menjalin aliansi dengan Sultan Abdul Fattah (Ageng Tirtayasa)
dari Banten.111 Sebuah misi perutusan Mataram datang ke Makassar, agaknya berhubungan pula
dengan seruan itu, sekaligus untuk mempererat hubungan diplomatik. Sultan Hasanuddin
kemudian memimpin ekspedisi laut ke Buton untuk mengusir pasukan VOC yang menduduki
kerajaan itu. Armada Makassar berhasil mengalahkan mereka dan mengamankan kembali
kekuasaan Gowa-Tallo atas Buton. Sebagai hukuman karena dituduh memberontak, Buton
didenda 888 kati oleh Sultan Hasanuddin. Ia tampaknya juga menganeksasi Kepulauan Tobea di
Selat Tiworo, kemungkinan untuk memudahkan pengawasannya terhadap Buton.112 Di Seram,
Salahakan Majira dan pasukannya (termasuk prajurit-prajurit bantuan dari Makassar) dikalahkan
oleh armada VOC pimpinan de Vlaming. Bersama sisa pengikutnya, Majira tersingkir dari
Seram dan mengungsi ke Makassar. Ia diterima oleh Sultan Hasanuddin.

1656 - Perlawanan Majira berakhir. Sang Salahakan ditangkap di Makassar setelah diadakan
perjanjian antara VOC-Ternate dan Gowa-Tallo. Perjanjian damai itu juga berisi persetujuan
bahwa Sultan Gowa bersedia menarik seluruh pasukan Makassar dari Maluku Tengah dan

111
Reid, Anthony, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global, hlm. 371.
112
Cummings, op.cit., hlm. 80-81.
menghentikan bantuannya terhadap Majira.113 Perjanjian yang sama juga berisi bahwa Kompeni
VOC tidak akan ikut campur apabila Gowa-Tallo berperang dengan negara lain, dan bahwa
kedua pihak sama-sama menghormati pandangan mereka terhadap Kerajaan Portugal, di mana ia
merupakan musuh VOC (dan Negara Belanda) namun bukan musuh Gowa-Tallo. Meskipun
begitu, perjanjian ini mengecewakan Gubernur Jenderal VOC di Batavia, G.G. Maetsuycker.114
Kaicil Kalamata, seorang pangeran Ternate yang menentang kekuasaan saudaranya tiba di
Somba Opu untuk meminta suaka kepada Sultan Hasanuddin. Pada tahun yang sama, sang
Sultan mengirim misi perutusan pimpinan Koja Ibrahim ke Mataram untuk mempererat
hubungan diplomatik.

1657 - Salahakan Majira dan saudara tirinya, Labiji, dihukum mati oleh VOC. Sebelum eksekusi,
keduanya sempat dijenguk oleh Kaicil Kalamata yang telah mengabdi kepada Gowa-Tallo.115

1658 - Sultan Hasanuddin kembali mengirim misi diplomatik ke Mataram. Namun, kali ini para
utusan Makassar kurang diterima dengan baik oleh Susuhunan Mataram, Amangkurat I. Ia
meminta agar Sultan Hasanuddin sendiri yang datang menghadap kepadanya, karena sang
Susuhunan tampaknya memandang Sultan Gowa sebagai bawahannya. Permintaan itu jelas
ditolak, karena Hasanuddin memandang dirinya sebagai seorang penguasa merdeka yang sejajar
dengan penguasa Mataram. Ia hanya mengirim utusan untuk menjaga hubungan baik kedua
negara sebagai sekutu sekaligus sesama negara Islam. Namun, sikap Amangkurat I yang kurang
bersahabat ini malah menyebabkan merenggangnya hubungan Mataram dengan Gowa-Tallo.

1659 - VOC mengutus Willem Haastingh ke Makassar untuk menyerahkan sebuah ultimatum
bernada ancaman kepada Sultan Gowa, sebagai tindak lanjut atas kekecewaan Gubernur Jenderal
VOC terkait perjanjian damai tiga tahun sebelumnya. Ultimatum ini menyatakan bahwa
Kompeni lebih memilih tetap berperang melawan Gowa-Tallo daripada berdamai tapi dibuat-
buat. Sultan Hasanuddin membalas melalui sebuah surat dengan nada yang sama kerasnya, yakni
bahwa VOC harus segera membongkar bentengnya di Manado. Ketegangan ini nantinya akan
berakibat pada timbulnya kembali perang antara Gowa-Tallo dan VOC. Kerajaan Bone di bawah
pimpinan Arung Palakka dan Tobala kembali memberontak menentang kekuasaan Gowa-Tallo.
Bone didukung oleh Soppeng dan Balanipa, yang ikut memberontak bersama. Sebelumnya,
Gowa-Tallo yang tengah berkonflik dengan VOC berusaha memperkuat pertahanannya dengan
mempekerjakan 10.000 orang Bone pimpinan Tobala untuk menggali parit di sekeliling Benteng
Panakukkang. Namun, orang-orang Bone ini diperlakukan dengan keras oleh Tumabbicara
Karaeng Karunrung, sehingga mereka pun serentak meninggalkan Makassar tanpa izin. Mereka
kembali ke Bone, dan – bersama Arung Palakka – melancarkan pemberontakan melawan
kekuasaan Gowa-Tallo. Pada tahun yang sama, Sultan Hasanuddin berangkat ke Mandar untuk
menumpas pemberontakan Balanipa. Dengan membawa 1183 kapal, ia berhasil menundukkan

113
Amal, op.cit., hlm. 126.
114
Mattulada, op.cit., hlm. 86-87.
115
Amal, loc.cit.
kembali kerajaan itu. 116 Sang Sultan juga kembali mengirim utusan ke Mataram. Atas
permintaan Amangkurat I, ia menyerahkan dua orang putri dari istana Gowa untuk dinikahkan
dengan sang Susuhunan. Kedua negara juga menegaskan kembali hubungan aliansi mereka
untuk menentang VOC. Hubungan Gowa-Tallo dan Mataram pun membaik.

1660 - Perang Panakkukang. Perang terbuka kembali pecah antara Gowa-Tallo dan VOC.
Batavia mengirim 31 kapal berisi 2600 prajurit pimpinan Johan van Dam dan Johan Truytman
untuk menyerang Makassar.117 Armada ini berhasil menghancurkan kapal-kapal Portugis yang
sedang berlabuh di sana. Mereka kemudian menggempur Benteng Panakkukang dan berhasil
merebutnya, membunuh tiga orang pangeran yang mempertahankannya (Karaeng Batubatu,
Karaeng Tompobalang, dan Karaeng Bontomanompo). 118 Perang berakhir dengan perjanjian
damai di mana Gowa-Tallo bersedia melepaskan kekuasaannya atas Buton, melepaskan
klaimnya atas wilayah-wilayah di Maluku dan Manado. Sementara, VOC diharuskan
menyerahkan kembali Benteng Panakkukang. Gowa-Tallo juga diharuskan melarang orang
Portugis berdagang di Makassar. Sebaliknya, orang Belanda boleh menetap di Makassar. 119
Perjanjian ini dilaksanakan di Batavia antara Gubernur Jenderal G.G. Maetsuycker dan Karaeng
Popo (perwakilan Gowa-Tallo), yang kemudian membawanya ke Makassar untuk ditandatangani
oleh Sultan Hasanuddin. VOC lalu mengadakan perjanjian dagang dengan Bima. Pada tahun
yang sama, pemberontakan Bone berhasil dipadamkan oleh Gowa-Tallo. Arung Palakka dan
Tobala bersama 11.000 pasukan Bugis diserang oleh pasukan Makassar pimpinan Karaeng
Sumanna di Lamuru. Setelah sempat mengepung musuhnya, pasukan Bugis akhirnya terpukul
mundur akibat datangnya pasukan Wajo yang membantu pasukan Makassar. Setelah serangkaian
pertempuran di Bone bagian utara (Nampu, Sallong, Timuru), pasukan Bugis kalah. Tobala
tewas, sementara Arung Palakka lolos dan mundur ke Pegunungan Maccini. Setelah
mengumpulkan 4000 prajurit, ia kembali menyerang garnisun Makassar di Bone dan Soppeng,
namun ia kalah. Ia dan pengikutnya akhirnya mengungsi ke Buton, dimana Sultan Buton
bersedia menyembunyikan mereka. Saat armada Makassar hendak mencari Arung Palakka di
sana, Sultan Buton mengucapkan sumpah bahwa sang pangeran Bone tidak ada di Negeri Buton.
Sultan Hasanuddin mempercayainya, dan menarik kembali armadanya dari Buton. Arung
Palakka pun berhasil lolos kembali. Sementara itu, untuk mencegah timbulnya kembali
pemberontakan, Sultan Hasanuddin menganeksasi Bone dan Soppeng.

1661 - Karaeng Karunrung diturunkan dari jabatannya sebagai Tumabbicara. Ia digantikan oleh
rival politiknya, Karaeng Sumanna yang berhasil membujuk Sultan Hasanuddin untuk
melengserkan Karaeng Karunrung. VOC mengakui kekuasaan Bima atas wilayah Manggarai di
Flores Barat. Kesultanan Bima sendiri masih tetap menjadi vasal Gowa-Tallo. 120 Di Buton,
Arung Palakka dan 400 orang pengikutnya berlayar ke Batavia untuk meminta bantuan Belanda.
116
Cummings, op.cit., hlm. 86.
117
Mattulada, op.cit., hlm. 87.
118
Cummings, op.cit., hlm. 88.
119
Mattulada, op.cit., hlm. 90.
120
Hans Daeng, Manggarai Daerah Sengketa Antara Bima dan Gowa, Humaniora, II, hlm. 17.
Mereka disambut oleh para petinggi VOC, dan dipersilahkan bermukim di wilayah Angke. Sejak
saat itulah, Bone dan VOC (bersama Buton dan Ternate) membentuk sebuah koalisi untuk
melawan Gowa-Tallo.

1662 - Insiden De Walvis. Sebuah kapal Belanda bernama De Walvis yang berada di perairan
Makassar disergap oleh kapal-kapal Gowa-Tallo. Oleh Sultan Hasanuddin, kapal itu disita dan
16 pucuk meriamnya diambil oleh seorang pembesar kerajaan Gowa. Insiden ini memperkeruh
hubungan VOC-Makassar. Orang Belanda menyatakan bahwa kapal itu terdampar dan dirampok
oleh orang Makassar. Sebaliknya, orang Makassar berdalih bahwa kapal Belanda itu memasuki
batas perairan Gowa-Tallo tanpa izin sehingga disergap dan disita.

1664 - Tanpa persetujuan Sultan Gowa, Sultan Ternate menyerahkan Muna kepada Sultan Buton.
Sultan Hasanuddin masih memandang Muna sebagai wilayah bawahannya, karena dalam
perjanjian tahun 1660 ia hanya diharuskan melepaskan Buton. Akibatnya, hubungan Gowa-Tallo
dengan Ternate dan Buton pun semakin memburuk. Atas desakan Karaeng Sumanna dan Raja
Tallo (Sultan Harunurrasyid), Sultan Hasanuddin mengasingkan Karaeng Karunrung ke
Sumbawa dan menyita seluruh hartanya.

1665 - Ekspedisi Bila-Bila. Sultan Hasanuddin mengirimkan armada besar ke timur untuk
menegaskan dominasi Gowa-Tallo atas Sula 121 , Banggai, dan Bungku. 122 Setelah ekspedisi
kembali dengan kemenangan, ia segera mempersiapkan 300 kapal untuk ekspedisi tahun
berikutnya yang ditujukan ke Buton, Ambon, dan Ternate.

1666 - Perang Makassar dimulai. Koalisi VOC-Bone-Buton-Ternate mendeklarasikan perang


terhadap Kesultanan Gowa-Tallo. Sultan Hasanuddin disokong oleh segenap vasal setianya,
seperti Bima, Wajo, dan Luwu, sementara pasukan koalisi dipimpin oleh tiga serangkai Cornelis
Speelman, Arung Palakka, dan Kapitan Jonker, yang membawa armada sebanyak 21 kapal untuk
memblokade kota Makassar. Pertempuran pecah di seantero Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Selat Makassar, dan Laut Flores. Sultan Hasanuddin mengirim armada sebanyak 450
kapal dan 15.000 pasukan ke Buton untuk menyerang kerajaan itu, dengan tujuan akhir untuk
menaklukkan Ternate. Armada yang dipimpin oleh Karaeng Bontomarannu, Laksamana
Alimuddin, Sultan Bima, Datu Luwu, dan Maradia Balanipa ini berhasil memblokade
Kesultanan Buton dan mendaratkan pasukannya. Mereka mengalahkan pasukan koalisi VOC-
Bone-Buton di sana, kemudian menduduki ibukota Buton dan wilayah sekitarnya. Sejumlah
besar pasukan Bugis (pengikut Arung Palakka) menyerah dan menggabungkan diri dengan
pasukan Makassar. Sementara itu, armada koalisi menduduki Pulau Tanakeke, kemudian
berlayar ke Makassar untuk menawarkan perundingan. Setelah gagal, mereka pun berlayar ke
selatan lalu ke timur. Mereka menggempur Kalumpangkeke dan berusaha mendaratkan pasukan
di Binamu, namun terpukul mundur. Mereka selanjutnya menggempur Sinjai dan berhasil
mendaratkan sejumlah detasemen Bugis-VOC pimpinan Arung Palakka. Armada lalu
121
Cummings, op.cit., hlm. 98.
122
Andaya, op.cit., hlm. 80.
menggempur Bantaeng, sebuah kota pelabuhan besar di pantai selatan dan berhasil
membumihanguskannya. 123 Setelah menduduki Bantaeng, armada koalisi berlayar ke Selayar
dan mendudukinya, kemudian bertolak ke timur untuk menggempur armada Karaeng
Bontomarannu yang tengah mengepung Buton. Karaeng Karunrung dibebaskan dari
pengasingannya. Namun, setelah sembilan bulan di Makassar, ia diasingkan kembali ke
Sumbawa.

1667 - Perjanjian Bungaya dan Jatuhnya Makassar. Armada Makassar di Buton dikalahkan oleh
armada koalisi. Pembelotan dari sejumlah besar pasukan di pihak Gowa-Tallo, seperti 800
pasukan Mandar pimpinan Maradia Balanipa, serta 1500 pasukan Bugis yang membawahi 86
kapal, ditengarai menjadi salah satu penyebab utama kekalahan itu. Setelah armadanya kocar-
kacir dan mengalami penurunan moral, Karaeng Bontomarannu, didampingi Sultan Bima dan
Datu Luwu, terpaksa menyerah. Pasukan Makassar yang tersisa dijadikan tawanan oleh pasukan
koalisi dan ditempatkan di Pulau Makassar di lepas pantai barat Pulau Buton. 200 kapal
Makassar dihancurkan, sementara sisanya dirampas dan dibagi-bagi di antara para pemenang
pertempuran, khususnya Sultan Buton dan Arung Palakka. Setelah mengamankan Buton, armada
koalisi membagi pasukannya menjadi tiga. Satu di bawah Speelman berlayar ke Maluku untuk
menambah jumlah pasukan dari Ambon, Ternate, dan pulau-pulau sekitarnya; satu di bawah
Arung Palakka tinggal di Buton untuk mengawasi para tawanan Makassar; dan satu yang lain di
bawah Arung Belo dan Arung Kaju pergi ke Bone untuk memulai pemberontakan melawan
Gowa-Tallo. Selanjutnya, armada Speelman kembali ke Sulawesi bersama armada Ternate yang
dipimpin langsung oleh rajanya (Sultan Mandar Syah), sementara Arung Palakka dan pasukan
Bugisnya (didampingi detasemen darat VOC pimpinan Kapten Christian Poleman) pergi ke
Bone setelah mendengar bahwa pemberontakan yang dipimpin dua anak buahnya berakhir gagal.
Sementara itu, Sultan Hasanuddin mengirim 7000 pasukan pimpinan Karaeng Bontomajannang
ke Bantaeng untuk membebaskannya dari pendudukan pasukan koalisi. Mereka dapat
merebutnya kembali, namun akhirnya terpukul mundur oleh serangan armada koalisi pimpinan
Speelman dan Sultan Ternate. Sultan Hasanuddin juga memanggil Karaeng Karunrung dan
mengangkatnya kembali menjadi Tumabbicara. Sementara itu, pasukan Arung Palakka berhasil
menduduki Sinjai dan Bulukumba. 124 Pasukan koalisi selanjutnya melancarkan serangan
terkoordinasi dari darat dan laut. Mereka berturut-turut menduduki Turatea, Takalar,
Bontonompo, Bajeng, Barombong, dan Galesong, sebelum kota Makassar itu sendiri akhirnya
digempur. Setelah pertempuran sengit yang panjang, Makassar akhirnya jatuh. Kedua pihak yang
sama-sama kelelahan akhirnya sepakat mengadakan gencatan senjata dan berunding.
Perundingan dilakukan di Bungaya, di mana kemudian ditetapkan sebuah perjanjian yang antara
lain berisi bahwa: Gowa-Tallo harus memerdekakan Bone dan Soppeng, melepaskan seluruh
negara bawahannya di seberang laut, dan melepaskan klaim dan kekuasaannya dari Mandar
sampai Manado; mengembalikan kekuasaannya di pantai timur dan pantai utara Sulawesi kepada

123
Andaya, op.cit., hlm. 94-95.
124
Ibid., hlm. 107.
Kesultanan Ternate; menyerahkan semua daerah yang telah diduduki oleh pasukan VOC;
menghancurkan seluruh benteng Makassar yang ada kecuali Somba Opu; memberikan hak
monopoli perdagangan bebas bea kepada Kompeni VOC; melepaskan hak dagang yang telah
diberikan kepada bangsa-bangsa Eropa lain dan melarang mereka untuk berdagang di Makassar;
serta membayar kompensasi atas segala kerusakan dan penjarahan yang terjadi selama perang
berlangsung. Sultan Hasanuddin bersedia melakukan penandatanganan, namun menolak untuk
menyerah atas desakan sebagian petinggi kerajaan, seperti Karaeng Popo dan Karaeng
Karunrung. Sejumlah raja bawahan dan pemimpin koloni seberang laut Gowa-Tallo juga
menolak mengakui Perjanjian Bungaya dan memilih tetap setia pada atasannya, seperti Arung
Matoa dari Wajo dan I Papu dari Sandao. 125 Peperangan pun terus berlangsung. VOC
mendirikan Benteng Rotterdam sebagai pusat pertahanannya di Makassar.

1668 - Wabah demam mematikan melanda Sulawesi Selatan, melemahkan kekuatan Gowa-Tallo
maupun pasukan koalisi. Meskipun pertempuran masih berlangsung di berbagai daerah, namun
jumlahnya menurun akibat mengganasnya wabah itu. Pada tahun ini, banyak bangsawan
Makassar yang gugur, baik oleh wabah maupun peperangan. Mereka antara lain ialah Haji
Bulobulo, Karaeng Garassi, Karaeng Tamalaba, Daeng Sampulungan, Karaeng Katapang,
Karaeng Panjallingang, Karaeng Bontomajannang, Daengta I Karaeng Sallang, I Tosadang,
Karaeng Tomponga, Paccocconga, dan Paqqih Dambo Abdurrahim.126 Pasukan koalisi, dibantu
oleh pasukan Turatea dan orang-orang Makassar yang membelot, menggempur dan menduduki
wilayah-wilayah Barru, Tanete, Segeri, Labakkang, Siang, dan Maros. Garnisun-garnisun
Makassar yang mempertahankan wilayah-wilayah itu dikalahkan. Di tubuh kubu Gowa-Tallo
sendiri, timbul konflik internal di antara kelompok yang ingin segera berdamai dan kelompok
yang ingin terus melanjutkan peperangan. Raja Tallo Sultan Harunurrasyid, serta Karaeng
Lengkese dan beberapa bangsawan Makassar lain menghubungi orang Belanda dan menawarkan
perdamaian. Mereka akhirnya menyeberang dan meminta perlindungan kepada VOC di Benteng
Rotterdam. Penduduk Tallo yang menolak mengikuti raja mereka menyingkir ke timur dan
mengabdikan diri kepada Sultan Gowa.127

1669 - Jatuhnya Somba Opu. Gowa-Tallo di bawah Sultan Hasanuddin akhirnya menyerah kalah
setelah benteng pertahanan terakhir sekaligus ibukota kerajaannya, Somba Opu jatuh oleh
pengepungan pasukan koalisi pada tanggal 24 Juni. Kesultanan Gowa-Tallo runtuh. Kekuasaan
Gowa semakin mengecil dan kini hanya mencakup wilayah Gowa saat ini, sementara Tallo telah
menyeberang kepada VOC dan menjadi vasalnya. Jatuhnya Somba Opu memaksa Sultan
Hasanuddin memindahkan ibukota kerajaannya ke Kalegowa di pedalaman. Dari sini, ia
berusaha menjalin kontak dengan sekutu lamanya, Kesultanan Mataram di Jawa. Ia mengirim
utusan ke Mataram untuk meminta balabantuan, namun tak mendapat tanggapan yang berarti.

125
Lihat Nolde, Lance, “Changing Tides: A History of Power, Trade, and Transformation among the Sama Bajo Sea
Peoples of Eastern Indonesia in the Early Modern Period” [disertasi], hlm. 161.
126
Cummings, op.cit., hlm. 103-106.
127
Ibid., hlm. 311.
Sultan Hasanuddin akhirnya turun tahta dan menyerahkan kekuasaannya kepada putranya, Sultan
Amir Hamzah (I Mappasomba Daeng Nguraga). Setelah naik tahta, Sultan baru ini memutuskan
untuk mengakhiri peperangan. pada tanggal 28 Juli, ia menandatangani kesepakatan dengan
pasukan koalisi di tepi Sungai Jeneberang.128 Kesultanan Gowa muncul sebagai pihak yang kalah,
dan sejak saat itu berada di bawah bayang-bayang VOC dan Bone. Kondisi ekonomi dan
administrasi di Indonesia Timur mengalami kekacauan, akibat dampak langsung dari Perang
Makassar.

Era Kemunduran (Pasca Jatuhnya Somba Opu, Dominasi oleh Bone dan VOC)

1670 - Sultan Hasanuddin wafat. Sebagai tindak lanjut Perjanjian Bungaya, Sultan Amir Hamzah
memerintahkan penghancuran terhadap benteng-benteng di seluruh wilayah Gowa. Jatuhnya
Tosora. Laskar Bugis Bone pimpinan Arung Palakka menggempur Wajo, yang masih terus
melancarkan perlawanan terhadap pasukan koalisi meskipun Gowa telah menyatakan kalah.
Pasukan Bugis berturut-turut menaklukkan Lamuru, Pammana, dan Peneki, hingga akhirnya
Tosora, ibukota Wajo yang berdinding kokoh berhasil ditundukkan setelah gempuran beruntun
selama tiga bulan. Wajo pun takluk pada Bone. Takluknya Gowa dan Wajo pada Arung Palakka
mendorong terjadinya eksodus besar-besaran penduduk Makassar serta Bugis Wajo dan Luwu ke
seantero Nusantara. Banyak yang mengungsi ke Jawa dan Madura, meminta suaka kepada raja-
raja Banten, Mataram, dan Blambangan. Karaeng Bontomarannu, yang memimpin armada besar
sebanyak 70 kapal yang mengangkut beberapa ribu orang, berlayar ke Banten dan meminta
suaka kepada Sultan Abdul Fattah. Mereka diterima dan diizinkan mendirikan permukiman.
Pengungsi lain pergi ke pulau-pulau Nusa Tenggara seperti Bali, Lombok, Sumbawa, dan Flores.
Kerajaan-kerajaan di Sumbawa yang memiliki pengaruh Makassar yang kuat, menerima para
pengungsi ini, misalnya Raja Tallo Sultan Harunarrasyid yang mengungsi ke Bima bersama
istrinya. Sementara sisanya berlayar ke pulau-pulau di Laut Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan
Semenanjung Malaya.

1671 - Serombongan armada pengungsi pimpinan Karaeng Galesong (seorang putra Sultan
Hasanuddin) berlayar meninggalkan Gowa. Mereka pergi ke Bima untuk menjemput Raja Tallo.
Setelah gagal membujuknya untuk pergi bersama, Karaeng Galesong pun membawa armadanya
ke barat menuju Pulau Jawa. Ia menyusul rombongan Karaeng Bontomarannu yang telah
menetap di Banten.

1672 - Arung Palakka secara resmi naik tahta menjadi Arumpone. Ia naik tahta dengan gelar
Sultan Saaduddin. Selama memerintah, ia memiliki dua istana, yakni di Watampone (Bone) dan
Bontoala (Makassar). Sepanjang masa kepemimpinannya, ia lebih banyak menempati istananya
di Bontoala, yang berdekatan dengan Benteng Rotterdam VOC sekaligus istana Sultan Gowa. Di
Banten, rombongan besar pengungsi Makassar meninggalkan negara itu setelah terlibat
128
Ibid., hlm. 107.
perselisihan dengan Sultan Abdul Fattah. Karaeng Bontomarannu dan Karaeng Galesong pun
berlayar ke Mataram. Namun, mereka dicegat oleh kapal-kapal VOC di perairan Semarang.
Pertempuran pun pecah, dan berakhir dengan gugurnya Karaeng Bontomarannu. Kepemimpinan
armada pengungsi diambil alih oleh Karaeng Galesong, yang berhasil membawa mereka ke
pantai utara Jawa Timur. Atas izin Adipati Anom (Putra Mahkota Mataram), para pengungsi
dipersilahkan mendirikan permukiman di daerah Situbondo dan Sidoarjo. Para pengungsi juga
diterima oleh penguasa Kerajaan Hindu Blambangan, Tawang Alun II. Karaeng Galesong dan
rombongannya pun segera mendirikan tempat tinggal baru di sana, yakni Demung dan Kakaper.

1673 - Karaeng Galesong menjalin persekutuan dengan Raden Trunajaya, penguasa Madura
yang tengah bersiap melancarkan pemberontakan besar-besaran melawan pemerintahan
Amangkurat I dari Mataram yang represif. Sang Karaeng diangkat sebagai salah satu panglima
perang oleh Trunajaya. Mantan Raja Tallo Sultan Harunarrasyid wafat di Sumbawa.

1674 - Sultan Amir Hamzah wafat. Saat itu, usianya baru 19 tahun. Ia digantikan oleh
saudaranya, Karaeng Bisei yang naik tahta dengan gelar Sultan Muhammad Ali. Karaeng
Karunrung memimpin pemberontakan melawan kekuasaan VOC-Bone. Mereka menyerang
wilayah pedalaman Kota Makassar, menawan pejabat-pejabat Bugis dan Makassar yang pro-
VOC, dan menggerakkan pemberontakan di Cenrana dan Bulukumba. Sementara, beberapa
bangsawan Gowa di bawah I Jaga menculik salah satu selir Arung Palakka. Perempuan itu
disetubuhi sebagai sebuah ejekan yang ditujukan kepada sang Arumpone129, khususnya terhadap
kejantanannya karena diketahui bahwa Arung Palakka tidak memiliki anak meskipun beristri
banyak. Ini menunjukkan bahwa rasa permusuhan tetap ada di antara orang Makassar dan orang
Bugis Bone. Pada waktu itu, Arung Palakka tengah memimpin kampanye perluasan wilayahnya
ke seluruh Sulawesi Selatan. Perang Trunajaya pecah di Jawa. Aliansi Madura-Makassar di
bawah Trunajaya dan Karaeng Galesong memulai penyerangan terhadap kekuasaan Mataram di
Jawa Timur.

1675 - Sultan Muhammad Ali pergi ke Bone untuk berburu rusa, didampingi oleh sejumlah
petinggi istana Gowa. Mereka diterima oleh Arung Palakka. Namun, sang Sultan dan
pengikutnya (Karaeng Lambengi dan Daeng Mamara) menyalahgunakan posisi mereka sebagai
tamu. Mereka menyetubuhi beberapa orang istri Arung Palakka. Sang Arumpone yang merasa
dihina kehormatannya, tak mampu melakukan apa-apa karena para bangsawan Gowa itu adalah
tamunya.130 Ia akan membalas penghinaan itu pada tahun berikutnya. Sebelum melakukan itu, ia
menghubungi Tumabbicara Gowa, Karaeng Karunrung. Sang Tumabbicara mendukungnya,
namun tak lama kemudian ia diturunkan oleh Sultan Muhammad Ali, yang menggantikannya
dengan Karaeng Lambengi sebagai Tumabbicara yang baru. Di Jawa, Karaeng Galesong dan
pasukan Makassar berturut-turut menduduki Pasuruan, Pajarakan, Gombang, dan Gerongan.
Bersama pasukan Madura pimpinan Trunajaya, mereka kemudian menggempur Surabaya.

129
Cummings, op.cit., hlm. 120-121.
130
Andaya, op.cit., hlm. 208-209.
Mereka berhasil mendudukinya dan menjadikannya markas sementara. Atas keberhasilannya,
Karaeng Galesong dinikahkan dengan putri dari Trunajaya, menjadikan pangeran Makassar itu
sebagai menantunya. Sementara itu, Mataram meminta bantuan kepada VOC untuk menghadapi
pasukan Madura-Makassar. VOC pun mengirim armada ke Pasuruan dan Panarukan,
menggempur permukiman-permukiman Makassar di sana.

1676 - Arung Palakka menggempur Gowa. Ia memimpin 3000 tentara Bugis dari Bontoala, dan
bergerak ke Gowa untuk mengepung kerajaan itu. Ia menuntut untuk menyerahkan Karaeng
Lambengi dan Daeng Mamara, serta bagi Sultan Muhammad Ali untuk menyerahkan istrinya
kepada sang Arumpone atau VOC. Ini merupakan cara Arung Palakka untuk membalas
penghinaan besar yang telah dilakukan para bangsawan Gowa itu terhadapnya. Namun, Sultan
Muhammad Ali menjawab dengan mengirim pasukan. Arung Palakka segera mendirikan
perkubuan untuk menghadapi serangan pasukan Gowa. Serangkaian pertempuran pun pecah.
Pasukan Gowa dapat merebut salah satu perkubuan pasukan Bugis, dan bahkan salah seorang
prajurit bersenjata apinya hampir menembak mati Arung Palakka. Namun, kedudukan yang tidak
menguntungkan akhirnya memaksa Gowa untuk menyerah. Dengan mediasi VOC, Sultan
Muhammad Ali bersedia memenuhi tuntutan Arung Palakka, sekaligus tuntutan VOC agar Gowa
membayar denda, menyerahkan senjata apinya, dan menghancurkan benteng-bentengnya. 131
Karaeng Karunrung diangkat kembali sebagai Tumabbicara. Pada tahun yang sama, Arung
Palakka menaklukkan Luwu dan menjadikannya sebagai vasal Bone. Amanna Gappa, seorang
matoa 132 Wajo di Makassar (pemimpin diaspora Bugis Wajo yang mengabdi kepada Arung
Palakka) menyelesaikan penulisan Ade’ Alopi-loping Bicaranna Pabalue, sebuah kitab hukum
pelayaran dan perdagangan. Kitab ini, yang kemudian lebih dikenal dengan nama “Kitab Hukum
Pelayaran Amanna Gappa”, dijadikan pedoman bagi seluruh pedagang dan pelaut Bugis dan
Makassar di Sulawesi Selatan maupun di pulau-pulau lainnya. Kaicil Kalamata, pangeran
Ternate yang telah lama mengabdi kepada Gowa, wafat.133

1677 - Arung Palakka, bersama Datu Soppeng dan pasukan VOC, kembali menggempur Gowa.
Mereka berhasil menduduki istana Gowa di Kalegowa dan melengserkan Sultan Muhammad Ali,
karena dianggap bertanggungjawab atas pemberontakan-pemberontakan yang timbul di
Makassar dan sekitarnya, sekaligus atas penodaan terhadap istri-istri Arung Palakka. Para
penakluk mengangkat saudara sang Sultan, Karaeng Sanrobone sebagai penggantinya dengan
gelar Sultan Abdul Jalil. Sultan Muhammad Ali kemudian ditempatkan di bawah pengawasan
Belanda di sebuah rumah di Vlaardingen, Makassar. Dengan pengangkatan Sultan Abdul Jalil
yang dekat dengan Arung Palakka, Gowa pun sejak saat itu menjadi vasal Bone.134 Karena Gowa
juga masih memiliki kekuasaan di Sandao (pantai utara Flores), maka Bone pun secara tidak

131
Ibid, hlm. 214-215.
132
Matoa: julukan bagi pemimpin, ketua, atau kepala komunitas tertentu (biasanya pedagang) dalam masyarakat
Bugis Wajo.
133
Cummings, op.cit., hlm. 128.
134
Andaya, op.cit., hlm. 249.
langsung juga telah menguasai wilayah tersebut. Di Jawa, pasukan Madura-Makassar berhasil
menduduki istana Mataram di Plered.

1678 - Mantan Sultan Gowa Muhammad Ali pindah ke Benteng Rotterdam, kemudian ke
Batavia akibat adanya usaha pembunuhan terhadapnya, kemungkinan oleh Arung Palakka dan
sekutunya. Di Jawa, Mataram menjalin aliansi dengan VOC untuk menghadapi Trunajaya. Atas
usul Speelman, VOC meminta bantuan sekutu-sekutunya sesama veteran Perang Makassar,
yakni Arung Palakka dan Kapitan Jonker. Keduanya datang ke Jawa memimpin langsung
balabantuan dari Bone dan Ambon. Pasukan aliansi ini kemudian berhasil membalikkan keadaan,
di mana seluruh pantai utara Jawa dari Tegal sampai Surabaya dapat dibebaskan dari penguasaan
pasukan Madura-Makassar.

1679 - Jatuhnya Kediri. Pasukan Trunajaya didesak oleh pasukan aliansi. Pusat perlawanan
Trunajaya di Kediri jatuh oleh gempuran pasukan VOC-Mataram pimpinan Jacob Couper dan
dua komandan Belanda lainnya. Di front lain, 6000 pasukan Bugis yang dipimpin langsung oleh
Arung Palakka berhasil menduduki daerah pertahanan pasukan Makassar di Kakaper dan
Demung. Trunajaya, Karaeng Galesong, dan sisa pasukan mereka mengundurkan diri ke
pegunungan, namun terus dikejar oleh pasukan VOC. Dalam pengejaran, Karaeng Galesong
sempat melancarkan perlawanan terakhir di Ngantang (Malang) sebelum akhirnya jatuh sakit dan
wafat. Seiring dengan kematiannya, sebagian besar pengungsi Makassar yang dipimpinnya
menyerahkan diri kepada VOC dan Bone.

1680 - Sultan Abdul Jalil mendirikan istana baru di Ujung Tanah (di dekat Tallo), memindahkan
ibukota Gowa ke tempat itu. 135 Di Jawa, Perang Trunajaya berakhir dengan kemenangan
Mataram dan sekutunya, VOC dan Bone. Trunajaya dihukum mati. Sisa-sisa perlawanan
Madura-Makassar dapat dipadamkan. Arung Palakka kembali ke Sulawesi Selatan dengan
membawa serta para pengungsi Makassar yang telah menyerah. Sebagian besar pelarian perang
itu dipulangkan ke Gowa, Luwu, dan Wajo. Pada tahun yang sama, Cornelis Speelman,
laksamana Belanda penakluk Makassar dilantik sebagai Gubernur Jenderal VOC di Batavia.

1681 - Mantan Sultan Gowa Muhammad Ali wafat dalam pengasingan di Batavia.

1682 - Jenazah Sultan Muhammad Ali dibawa kembali ke Gowa dan dimakamkan di Tamalatea.

1683 - Bone melancarkan invasi ke Tana Toraja. Arung Palakka memimpin langsung kampanye
militer ini, didampingi oleh banyak raja bawahannya, termasuk Sultan Abdul Jalil dari Gowa.136

1684 - Sultan Abdul Jalil meninggalkan Ujung Tanah akibat gagal menyelesaikan ketegangan
hubungan antara orang Bugis dan Makassar di tempat itu. Ibukota Gowa pun dipindah lagi ke
Mangallekana di dekat Somba Opu.137

135
Cummings, op.cit., hlm. 141.
136
Ibid., hlm. 149.
1685 - Tumabbicara Karaeng Karunrung wafat. Kedudukannya digantikan oleh I Kare Tulusu.

1687 - Arung Palakka menikahkan keponakan dan pewaris tahtanya, La Patau Matanna Tikka
dengan I Mariama (Karaeng Patukangang), putri dari Sultan Abdul Jalil. Keduanya berputrakan
La Pareppa Tosappewali, yang nantinya mewarisi tahta kedua kerajaan orangtuanya, Gowa dan
Bone. La Patau juga dinikahkan dengan We Ummu, putri dari Datu Luwu, di mana keduanya
berputrikan Batari Toja (Daeng Talaga Matinroe ri Tippulunna) yang nantinya berkuasa sebagai
ratu di Luwu dan Bone.

1690 - Labuan Bajo berkembang menjadi pusat perdagangan regional yang dikunjungi oleh
pedagang dari seluruh Nusantara, khususnya dari Sulawesi dan Indonesia Timur. Labuan Bajo
berada di bawah kekuasaan Sandao, wilayah Gowa di Flores yang dipimpin I Papu. Bone sebagai
atasan Gowa juga ikut diuntungkan oleh perdagangan ini.138

1691 - Atas usaha diplomasi Sultan Abdul Jalil, VOC bersedia mengembalikan wilayah Sediang
(Sudiang) dan sekitarnya kepada Gowa.

1692 - Sultan Abdul Jalil menuntut VOC untuk mengembalikan Benteng Ujung Pandang kepada
Gowa, dengan alasan bahwa benteng itu hanya “disewakan” oleh Sultan Hasanuddin kepada
VOC. Namun, tuntutan ini ditolak. Pada tahun yang sama, Sultan Abdul Jalil memindahkan
kembali ibukota kerajaannya ke Kalegowa. Dari sana, ia berusaha membujuk Arung Palakka
untuk kembali membentuk persekutuan Bone-Gowa dan menghentikan aliansinya dengan VOC.
Namun, bujukan ini gagal meyakinkan Arung Palakka, sehingga ia terus mempertahankan
hubungan baiknya dengan VOC.

1693 - I Kare Mangalle diangkat menjadi Tumabbicara. Daeng Burane dan I Kare Bangung
berangkat memimpin ekspedisi laut ke Sandao.139 Tampaknya mereka dikirim untuk membantu
penguasa Sandao, I Papu yang tengah terlibat konflik dengan Sultan Bima.140

1694 - Daeng Burane dan I Kare Bangung kembali ke Gowa. Tampaknya ekspedisi mereka
berakhir gagal, karena disebutkan bahwa masing-masing panglima itu diasingkan dan dicopot
dari jabatannya oleh Sultan Gowa.141 Di Sumbawa, Kerajaan Tambora memberontak dari VOC
kemudian menyerang Bima dan Dompu, membumihanguskan banyak desa di dua kerajaan itu.
Pasukan Tambora juga menggempur benteng VOC di Bima.

1695 - Arung Palakka mengirim armada ke Sumbawa untuk membantu VOC dalam usahanya
menumpas pemberontakan Tambora. Armada yang dikirimnya dipimpin oleh Arung Tosiada dan

137
Ibid., hlm. 151.
138
Nolde, op.cit., hlm. 195.
139
Cummings, op.cit., hlm. 163.
140
Nolde, op.cit., hlm. 279.
141
Cummings, op.cit., hlm. 164.
I Tojumaat, serta Karaeng Jarannika yang memimpin pasukan Makassar dari Gowa.142 Setelah
beberapa bulan, perlawanan dapat dipadamkan dan situasi di Sumbawa berangsur-angsur pulih.

1696 - Arung Palakka wafat. Keponakannya, La Patau Matanna Tikka, naik tahta
menggantikannya sebagai Arumpone dengan gelar Sultan Idris Azimuddin. Armada Bone-Gowa
kembali dari ekspedisinya melawan Tambora. Soppeng memberontak, namun dapat segera
ditumpas oleh Bone.

1698 - Atas restu Sultan Abdul Jalil, pasukan Gowa di bawah I Kare Passere I Jaga dan Daeng
Mangalliki menduduki Bantaeng. Saat itu, Bantaeng merupakan wilayah kekuasaan VOC yang
telah dihibahkan kepada Daeng Talele (janda Arung Palakka), dan diduduki oleh Gowa karena
kepala daerahnya adalah saudara dari Daeng Mangalliki, sehingga Gowa menggunakan alasan
itu untuk merebut Bantaeng. Namun, pasukan Gowa kemudian dapat diusir kembali oleh
pasukan Bone pimpinan Arung Cello.143

1699 - Gowa mengirim ekspedisi laut pimpinan Karaeng Bontomanompo ke Sandao untuk sekali
lagi membantu I Papu yang masih bermusuhan dengan Bima. Setelah lima bulan, armada itu
kembali dengan kemenangan.144

1700 - I Kare Passere I Jaga menyerahkan diri dan dihukum gantung oleh VOC. Beberapa
bangsawan Gowa yang tengah berada di Lombok tewas dibunuh oleh orang Bali, yakni Karaeng
Jarannika, Karaeng Bontokeke, dan Karaeng Bontolangkasa. 145 Tampaknya, mereka menjadi
korban dari invasi Kerajaan Karangasem ke Lombok yang telah berlangsung sejak beberapa
tahun sebelumnya.

1701 - Sultan Abdul Jalil dan Arumpone La Patau mengadakan pertemuan di Benteng Rotterdam.
Ini merupakan langkah awal dari usaha perbaikan hubungan antara Gowa dan Bone.

1702 - Sultan Abdul Jalil mendirikan istana baru Balla Kiria (“Istana Kiri”) dan menjadikannya
pusat pemerintahan dan tempat kediamannya yang baru.

1703 - Sultan Gowa dan Arumpone kembali bertemu di Latimojong (Gunung Latimojong?)
diiringi oleh banyak pengikut. Keduanya membawa kalompoang atau pusaka kebesaran
kerajaannya masing-masing, Pedang Sudiang dan Pedang Latea ri Duni, kemudian
menjejerkannya. Bersama seluruh pengikut mereka, keduanya mengucapkan sumpah bahwa
Gowa dan Bone adalah sahabat yang akan saling membantu. Hubungan kedua negara pun terus
membaik dan semakin erat.146 Penguasa Bajau di Sandao, Daeng Numalo wafat. Kedudukannya
sebagai I Papu digantikan oleh Daeng Makkulle Ahmad.

142
Ibid., hlm. 167.
143
Ibid., hlm. 168-169.
144
Ibid., hlm. 169 dan 171.
145
Ibid., hlm. 171-172.
146
Ibid., hlm. 178.
1704 - Sultan Sulu dari Filipina Selatan menghadiahkan sebuah jam kepada Sultan Abdul Jalil.
Sandao kembali memberontak. Dengan bantuan armada Bugis Bone, Karaeng Bontomanompo
sekali lagi memimpin ekspedisi Gowa ke daerah itu untuk menyokong I Papu dalam konfliknya
melawan Bima. Ekspedisi yang berlangsung selama tiga bulan itu berakhir dengan
kesuksesan.147

1709 - Sultan Abdul Jalil wafat. La Pareppa Tosappewali (Karaeng Anamoncong Tuminanga ri
Somba Opu) naik tahta dengan gelar Sultan Ismail. Ia merupakan putra dari Arumpone La Patau
dengan istrinya dari Gowa, sehingga ia pun menjadi penguasa Gowa pertama yang berdarah
Bugis Bone. Karaeng Bontosunggu dilantik menjadi Tumabbicara menggantikan I Kare
Mangalle. VOC memperkuat pertahanan dan kekuasaannya di Makassar.

1712 - Sultan Ismail dilengserkan oleh Tumabbicara Karaeng Bontosunggu yang tak menyukai
kepemimpinannya. Ia menyerahkan tahta Gowa kepada seorang kerabatnya dari Dinasti Tallo, I
Mappaurangi (Karaeng Tallo Tuminanga ri Pasi), yang dinobatkan dengan gelar Sultan
Sirajuddin. 148 La Pareppa yang tersingkir pulang kembali ke Bone. Sultan Sirajuddin sendiri
sebelumnya telah menjabat sebagai Raja Tallo sejak tahun 1709, dan masih mempertahankan
jabatan itu. Sehingga, karena dipimpin oleh raja yang sama, Gowa dan Tallo pun kembali
disatukan. Namun, pelantikan Sultan Sirajuddin ditentang oleh seorang bangsawan lain, Karaeng
Bontolangkasa (I Mappasempa Daeng Mamaro), yang merasa lebih berhak atas tahta Gowa. Ia
juga tak mau bekerjasama dengan VOC dan Bone, dan pernah menembak mati seorang putri dari
Sultan Ismail. Karena hal ini, Karaeng Bontolangkasa diusir dari Gowa. Ia pun pergi ke
Kampung Beru di Ujung Pandang, sebelum akhirnya pindah ke Sumbawa. 149 Dua dekade
kemudian, ia akan memainkan peran penting dalam perpolitikan Kesultanan Gowa.

1714 - Arumpone La Patau wafat dan digantikan oleh putrinya, Batari Toja. Sultan Bima
Mappatali berkunjung ke Gowa untuk melamar seorang putri Makassar, Karaeng Bisangpole.
Setelah menikahinya, ia menetap di Gowa untuk sementara waktu.150 Sultan Sirajuddin melantik
putranya, Najamuddin (I Manrabbia Karaeng Kanjilo) sebagai Raja Tallo menggantikannya,
sementara ia sendiri melanjutkan kepemimpinannya sebagai Sultan Gowa.

1715 - Di Bone, Arumpone Batari Toja turun tahta dan digantikan oleh La Padassajati.

147
Ibid., hlm. 179.
148
Sultan Sirajuddin adalah putra dari Raja Tallo, Sultan Abdul Qadir La Mallawakkang dengan I Hadijah Karaeng
Parangparang, putri dari Sultan Gowa Muhammad Ali (1674-1677). Artinya, ia masih merupakan cucu dari Sultan
Hasanuddin melalui garis ibundanya.
149
Kila, Syahrir, hlm. 87.
150
Ibid., hlm. 208.
1717 - Sultan Sirajuddin mendampingi Arumpone La Padassajati dalam ekspedisi militer ke
Toraja. Mereka berhasil menundukkan wilayah Baroko. Pada tahun yang sama, ia mulai
mendirikan istana baru di Katangka.151

1718 - Sultan Sirajuddin memindahkan ibukota Gowa ke Katangka setelah istana barunya selesai.
Istana lama di Balla Kiria pun dirobohkan, dan ia mulai memerintah dari Katangka.
Pemberontakan Sanrobone. Penguasa Sanrobone, Karaeng Mamampang membelot dari Gowa
dan berpaling kepada VOC. Gowa melaporkannya kepada Bone yang segera menangkap
Karaeng Mamampang dan membawanya ke hadapan Sultan Gowa untuk meminta ampun,
mengakhiri pemberontakan itu.152

1720 - VOC mengembalikan wilayah Topejawa di pesisir Takalar kepada Gowa. Pemberontakan
pecah di Sandao. Wilayah Toring memerdekakan diri menjadi kerajaan yang menguasai pantai
utara Ngada-Nagekeo di Flores Tengah. Reo direbut oleh Bima, sementara wilayah Sandao di
timur direbut oleh Ende dan Sikka, yang masing-masing bertindak sebagai vasal VOC dan
Portugis. Arumpone La Padassajati dilengserkan dari tahta oleh La Pareppa, pangeran Bone yang
pernah menjadi Sultan Gowa. La Padassajati yang tersingkir meninggalkan Bone dan meminta
suaka kepada VOC.

1721 - Penaklukan Toring. Gowa mengirim ekspedisi pimpinan Daeng Manassa dan I Papu
untuk menaklukkan kembali Toring. Setelah dua bulan, armada yang terdiri dari pelaut-pelaut
Makassar dan Bajau itu berhasil menundukkan Toring.153 Karaeng Bontolangkasa kembali ke
Gowa dan diampuni oleh Tumabbicara Karaeng Bontosunggu.

1722 - Sultan Sirajuddin memindahkan ibukota ke Pabineang yang menghadap pesisir pantai
barat di dekat Galesong, di daerah Moncobalang. Di Flores, Toring dan Wangka memberontak.
Karaeng Batuputeh dan Daeng Manassa memimpin armada Gowa ke Sandao.154

1723 - Toring dan Wangka dapat ditaklukkan kembali oleh armada Gowa. 155 Keduanya
ditempatkan kembali di bawah pengawasan I Papu dari Sandao. Karaeng Bontolangkasa kembali
ke Sumbawa dan menikahi I Sugiaratu, putri Sultan Sumbawa.156

1724 - Arumpone La Pareppa dilengserkan dari tahtanya oleh rakyat Bone. Mereka
menempatkan La Panaongi Topawawoi (Arung Mampu Karaeng Bisei) sebagai Arumpone yang
baru. Namun baru beberapa bulan memerintah, ia juga diturunkan oleh rakyat, yang kemudian
mengangkat kembali Batari Toja sebagai Arumpone berikutnya.

151
Ibid., hlm. 217-218.
152
Ibid., hlm. 222.
153
Ibid., hlm. 233-234.
154
Ibid., hlm. 237.
155
Ibid., hlm. 238.
156
Tika, Zainuddin, Syarifuddin Kulle, dan Ridwan Syam, I Mappasempa Daeng Mamaro Karaengta Bontolangkasa,
hlm. 24-25.
1725 - Penguasa Sandao I Papu melancarkan ekspedisi penjarahan ke Nusa Tenggara Timur.
Sekitar 7-10 kapal Bajau yang dikerahkannya menjarah pulau-pulau Solor, Lembata, Pantar,
Alor, hingga Timor, Rote dan Sawu. Mereka juga menyerang kapal-kapal patroli VOC di
perairan Kupang, Semau, dan Barnusa (Alor). Setelah empat bulan, mereka akhirnya dihentikan
dan ditangkap oleh otoritas VOC di Kupang. Mereka akhirnya dibebaskan setelah VOC
menghubungi atasan mereka, Sultan Sirajuddin dari Gowa. I Pappu sendiri kemudian
menghubungi VOC dan meminta agar mereka dipulangkan ke Sandao. Ia juga menjelaskan
bahwa mereka hanyalah nelayan biasa. 157 Di Sumbawa, Karaeng Bontolangkasa bersama
mertuanya (Sultan Sumbawa) memimpin ekspedisi ke Lombok untuk memerangi pasukan
Karangasem dari Bali yang tengah menyerang Kerajaan Selaparang. Namun, pasukan Sumbawa
kalah dan Sultannya bahkan gugur dalam pertempuran. Karaeng Bontolangkasa dan sisa
pasukannya dapat menyelamatkan diri dan berlayar kembali ke Sumbawa. 158 Ia kemudian
dipanggil kembali ke Gowa dan tampaknya diangkat menjadi seorang panglima perang.

1726 - Tumabbicara Karaeng Bontosunggu wafat. Jabatan Tumabbicara diambil alih oleh Sultan
Sirajuddin selama satu bulan (Agustus-September), sebelum kemudian ia melantik I Kare
Parampang (Gallarang Camba) untuk mengisi jabatan itu. Pada tahun yang sama, Arumpone
Batari Toja mengembalikan wilayah Ganta, Kassi, dan Sangkala kepada Gowa.159

1727 - Bone mengembalikan Takalar kepada Gowa.160 Sultan Sirajuddin memindahkan ibukota
ke Mallengkeri. Sultan kemudian menikahkan putrinya, Daeng Tamima dengan putra Sultan
Musa Lani Alima dari Bima. Putra Sultan Bima menghadiahkan tanah Reo kepada istrinya.
Daeng Tamima kemudian mendirikan Kerajaan Reo di atas tanah ini, 161 dan memerintah di
bawah Gowa melalui Sandao. Ia didampingi oleh seorang pejabat Gowa bernama Daeng
Mangaliki, yang bertindak sebagai panglima perangnya, sekaligus mewakili penguasa Sandao, I
Papu. Namun, penyerahan Reo kepada Daeng Tamima ternyata tidak direstui oleh Sultan Bima.
Ia pun segera menyerang Reo dan berhasil merebutnya kembali setelah mengusir Daeng
Mangaliki dari sana.

1729 - Raja Tallo Sultan Najamuddin wafat, dan digantikan oleh saudaranya, Sultan Syafiuddin
(I Mangkasumang Karaeng Lempangang). Kekuasaan Gowa atas Tallo dipertegas oleh Sultan
Sirajuddin. Reo kembali direbut oleh Gowa melalui I Papu dari Sandao.162

1730 - Pelayaran di pantai utara Flores dianggap berbahaya akibat perebutan kekuasaan antara
Gowa dan Bima di Reo. 163 Gowa mengirim armada pimpinan Karaeng Bontomajannang dan

157
Nolde, op.cit., hlm. 122-124.
158
Tika, Kulle, dan Syam, op.cit., hlm. 26-27.
159
Cummings, op.cit., hlm. 251.
160
Ibid., hlm. 253.
161
Hans Daeng, loc.cit.
162
Nolde, op.cit., hlm. 349.
163
Ibid.
Karaeng Bontotanga ke Sandao untuk membantu pasukan Bajau-Makassar di Reo yang kembali
diserang oleh pasukan Sultan Bima.

1731 - Armada Gowa di Sandao menaklukkan Poma. VOC membuka kembali pelabuhan
Makassar kepada pedagang Cina, sebagai bagian dari usaha Belanda untuk memperbaiki
hubungan dengan Kekaisaran Cina menyusul larisnya produk-produk Cina (terutama teh) di
Eropa.

1732 - Banjir bandang melanda ibukota Gowa di Mallengkeri akibat meluapnya Sungai
Jeneberang. Di Flores, Bima berhasil menaklukkan kembali Reo. Dengan bantuan para dalu164
dari Bajo dan Todo, Sultan Bima menggempur Reo selama dua kali. Reo pun ditaklukkan
kembali oleh Bima, memaksa Daeng Tamima dan orang-orang Makassar lainnya untuk
meninggalkannya.165

1734 - Pasukan Gowa pimpinan Karaeng Bontolangkasa menyerang Bantaeng dan berhasil
memenangkan pertempuran.166 Ini merupakan usaha Karaeng Bontolangkasa untuk mendapatkan
kepercayaan dari para petinggi istana Gowa, yang nantinya dimanfaatkannya untuk
menyingkirkan Sultan Sirajuddin yang dianggapnya terlalu dekat dengan VOC.

1735 - Atas desakan Karaeng Bontolangkasa, Sultan Sirajuddin turun tahta dan kembali ke Tallo.
Para petinggi istana Gowa menobatkan cucunya, I Mallawagau sebagai Patimatarang atau Putra
Mahkota dengan gelar Sultan Abdul Khair Almansur. Ia merupakan putra dari Raja Tallo, Sultan
Syafiuddin alias Karaeng Lempangang. Karaeng Majannang dilantik menjadi Tumabbicara.167
Daeng Mangaliki kembali ke Sandao untuk membantu I Papu dalam perangnya melawan Bima.
Ia berhasil memimpin perebutan kembali atas Reo dan mengusir garnisun Bima di daerah itu.

1736 - Sultan Abdul Khair resmi dinobatkan sebagai Sultan Gowa. Perang kemerdekaan Wajo
pecah. Di bawah pimpinan La Maddukelleng (Arung Singkang), Kerajaan Wajo menentang
pendudukan Bone yang telah berlangsung selama lebih dari 50 tahun. La Maddukelleng adalah
seorang pangeran Wajo yang merantau di Kalimantan Timur dan sukses menjadi penguasa atas
Paser dan Kutai. Setelah sukses mengumpulkan kekuatan militer yang besar, ia memimpin
ekspedisi ke Sulawesi Selatan untuk memerangi Bone dan VOC. Ia didukung oleh Karaeng
Bontolangkasa yang membelot dari Gowa dan telah berhasil mengumpulkan banyak pengikut.
Pada tahun ini, armada La Maddukelleng telah dapat menduduki wilayah Batu (Aeng Batu-Batu,
Takalar), sementara Karaeng Bontolangkasa menggempur Panakkukang dan Mattoangin,
kemudian berturut-turut menduduki Maros, Pangkajene, Segeri, dan Mandalle.168 Di sini, suatu
pasukan Bugis Bone yang membelot pimpinan Arung Kaju (mantan suami Batari Toja)

164
Dalu (bhs. Manggarai): gelar bagi para datu atau raja daerah di Pulau Flores, khususnya di bagian barat dan
tengah. Sebuah wilayah yang dikuasai seorang Dalu dinamakan kedaluan.
165
Hans Daeng, loc.cit.
166
Tika, Kulle, dan Syam, op.cit., hlm. 35.
167
Cummings, op.cit., hlm. 278.
168
Kila, op.cit., hlm. 89.
menggabungkan diri dengannya. Namun, dalam pertempuran melawan pasukan VOC di Maros,
pasukan gabungan ini terpukul mundur dan Arung Kaju tewas dalam pertempuran. Pada tahun
yang sama, pertempuran juga pecah di Peneki antara pasukan Bone dan pasukan Wajo, dan
dimenangkan oleh Wajo. 169 Di Bone sendiri, Arumpone Batari Toja dikudeta oleh La
Tenrioddang (Raja Agangnionjo), memaksanya menyingkir ke Bontoala dan meminta
perlindungan kepada VOC. Kapal-kapal jung Cina mulai kembali berkunjung dan berdagang di
Makassar. Sejak saat itu, geliat perdagangan internasional di Makassar kembali berkembang,
setelah hampir 70 tahun stagnan akibat kebijakan VOC yang monopolistik. Kota Makassar
kemudian menjadi pasar utama di Indonesia Timur untuk produk Cina (teh) dan produk laut
(teripang, sisik penyu, agar-agar, kerang). Di Flores, Bima kembali menyerang Reo. Ia dibantu
oleh sebuah kapal VOC yang memblokade pelabuhan Reo. Namun, mereka gagal memaksa
pasukan Gowa di sana untuk menyerah. Daeng Mangaliki berhasil mempertahankan
kedudukannya.

1737 - Kerajaan Bone kolaps. Wajo berhasil merdeka setelah memenangkan banyak pertempuran
melawan pasukan Bone-VOC. La Maddukelleng merebut sejumlah wilayah Bone di utara,
kemudian menggempur Watampone. Ia berhasil menyingkirkan La Tenrioddang dan
mengangkat Danradatu Sitti Nafisa sebagai penguasa bawahan di atas tahta Bone.

1738 - VOC mengirim surat perintah kepada Sultan Bima untuk kembali menyerang Sandao dan
mengusir seluruh orang Makassar dari wilayah itu.

1739 - Mantan Sultan Sirajuddin wafat di Tallo. Sultan Abdul Khair dilengserkan oleh Karaeng
Bontolangkasa. Sang Sultan yang tersingkir, didampingi Tumabbicara Karaeng Majannang,
meminta suaka kepada VOC di Benteng Ujung Pandang. Karaeng Bontolangkasa menobatkan
dirinya sebagai Sultan Gowa dan memerdekakan diri, lalu menjalin aliansi dengan Wajo. Segera
setelah itu, armada Wajo mulai mengepung Makassar, setelah sebelumnya sukses menaklukkan
Macconggi di Sinjai. Karaeng Bontolangkasa turut menggabungkan diri bersama pasukannya,
dan berhasil mengepung Benteng Ujung Pandang 170 , serta membakar istana Arumpone di
Bontoala dan membunuh banyak prajurit Bugis. 171 Serangkaian pertempuran pun pecah di
Baraya, Jongaya, Maricaya, dan Pannampu. Pasukan aliansi Wajo-Gowa dapat dikalahkan oleh
pasukan VOC-Bone yang dipimpin oleh Gubernur Makassar Adriaan Hendrik Smout. Karaeng
Bontolangkasa, La Maddukelleng, dan sisa pasukan mereka pun menyingkir ke Gowa. Namun,
mereka terus dikejar oleh pasukan Gubernur Smout dan pasukannya yang segera menggempur
Gowa dan berhasil menaklukkannya. Dalam pertempuran di Bontoparang, Karaeng
Bontolangkasa tertembak hingga akhirnya gugur.172 Ia baru memerintah sebagai Sultan Gowa
selama lima bulan. Sementara itu, La Maddukelleng bersama sisa pasukannya dapat meloloskan
diri dan mundur kembali ke Wajo. Ibukota Gowa dijarah oleh pasukan VOC-Bone. Gowa
169
Cummings, op.cit., hlm. 280-281.
170
Kila, op.cit., hlm. 92.
171
Tikka, Kulle, dan Syam, op.cit., hlm. 39.
172
Kila, loc.cit.
kemudian diamankan oleh sebuah garnisun Belanda-Bugis pimpinan Arung Sumaling. Mereka
menjaga Gowa sampai Sultan Abdul Khair pulang dan menduduki kembali tahtanya.

1740 - Konflik Wajo-Gowa dengan Agangnionjo dan VOC-Bone berakhir. Batari Toja berhasil
mendapatkan kembali tahtanya sebagai Arumpone melalui bantuan VOC, sementara Gowa
kembali menjadi vasal Bone. Sebagai hukuman atas penyerangan Karaeng Bontolangkasa
sebelumnya, Gowa didenda 96.000 ringgit dan diharuskan menyerahkan kembali wilayah
Sudiang kepada VOC. 173 Gubernur Smout mendesak Gowa untuk memanggil kembali Daeng
Mangaliki dari Sandao. Di Jawa, pembantaian orang Cina oleh VOC pecah di Batavia. Peristiwa
ini memperburuk hubungan VOC dengan Kekaisaran Cina yang belum lama membaik. Jung-
jung Cina mulai meninggalkan kembali pelabuhan-pelabuhan yang dikelola oleh VOC, termasuk
Makassar.

1741 - VOC menyerahkan Kampung Sambung Jawa (sebuah daerah di Makassar bagian selatan)
kepada Sultan Gowa sebagai pinjaman untuk tempat penanaman padi.

1742 - Sultan Abdul Kudus (I Mappibabasa) naik tahta. Sultan Gowa dan Raja Tallo
memperbarui Sumpah Rua Karaeng Sere Ata, mengumumkan bahwa kedua kerajaan telah
bersatu kembali menjadi Kesultanan Gowa-Tallo.

1743 - Sebagai tindak lanjut atas pembaruan sumpah persekutuan Gowa-Tallo, Karaeng
Majannang menanggalkan jabatannya sebagai Tumabbicara dan menyerahkannya kepada Raja
Tallo, Sultan Syafiuddin.

1746 - VOC menutup pelabuhan Makassar bagi pedagang Cina.

1749 - Arumpone Batari Toja wafat. La Temmassonge naik tahta menggantikannya.

1752 - VOC membuka kembali Makassar bagi pedagang Cina, namun hanya membatasi jumlah
kunjungan sebanyak satu jung per tahun.

1753 - Sultan Abdul Kudus wafat mendadak, diduga karena diracun.174 Ia digantikan oleh Amas
Madina, putra sang Sultan dengan Karaeng Ballasari (putri Sultan Alauddin Muhammad Syah
dari Bima). Amas Madina naik tahta dengan gelar Sultan Fakhruddin. Ia juga dianugerahi gelar
“Batara Gowa” oleh Dewan Bate Salapang dan Arumpone La Temmasonge, menunjukkan
harapan mereka agar Gowa-Tallo bisa kembali menjadi sebuah negara yang kuat dan makmur.
Ini juga mengindikasikan bahwa Bone mulai tak menyukai VOC dan berusaha memperkuat
kedudukan Gowa-Tallo sebagai vasalnya. Saat naik tahta, Sultan Fakhruddin baru berusia tujuh
tahun, karenanya kendali pemerintahan pun dipegang oleh Tumabbicara Sultan Syafiuddin. Pada
masa pemerintahan Sultan Fakhruddin, ibukota Gowa dipindahkan kembali ke Kalegowa.

173
Tikka, Kulle, dan Syam, op.cit., hlm. 40-41.
174
Kila, op.cit., hlm. 93.
1755 - Bima di bawah Sultan Abdul Kadim175 kembali menggempur Reo, dan kali ini berhasil
menaklukkannya kembali. Mereka mengusir pasukan Gowa-Tallo pimpinan Daeng Mangaliki
dari sana. Daeng Mangaliki yang telah kalah berlayar kembali ke Gowa.176

1760 - Perang Makassar-Bima kembali pecah di Flores. Atas restu Sultan Fakhruddin, I Papu
Daeng Mangemba memimpin pasukan Bajau-Makassar dari Sandao untuk menggempur seluruh
kekuasaan Bima di Flores. Mereka berhasil merebut kembali Reo, kemudian menduduki seluruh
wilayah Manggarai.177 Raja Tallo dan Tumabbicara Sultan Syafiuddin wafat. Jabatannya sebagai
Tumabbicara digantikan oleh saudaranya, Sultan Zainuddin (I Temmasongeng Karaeng
Katangka), sementara tahtanya sebagai penguasa Tallo diwarisi oleh putrinya, Sultanah Sitti
Saleha (I Maddellung Karaeng Karuwisi). Sebagai Tumabbicara, Sultan Zainuddin juga tetap
memegang kendali pemerintahan mewakili Sultan Fakhruddin yang masih belum dewasa.

1761 - Sultan Abdul Kadim dari Bima mengirim pasukan pimpinan Dalu Bajo dan Dalu Todo
untuk merebut kembali Manggarai. Pasukan Bima berhasil mengalahkan pasukan Bajau-
Makassar, kemudian berturut-turut menduduki Gunung Tallo (di dekat Labuan Bajo) dan Reo. I
Papu dan pasukannya mundur ke pusat pemerintahan Sandao di Pota.

1762 - Pemberontakan Manggarai pecah di Flores. Disokong oleh beberapa bangsawan Gowa-
Tallo yakni Karaeng Balu, Daeng Makuli, dan Daeng Mamaruh, sebagian besar dalu di
Manggarai memberontak melawan kekuasaan Bima. Sultan Abdul Kadim mengirim 1500
pasukan pimpinan Turelli Bolo, Dalu Bajo, dan Dalu Todo untuk memerangi para
pemberontak.178 VOC menutup kembali Makassar bagi pedagang Cina.

1765 - Sultan Fakhruddin dilantik secara resmi sebagai Sultan Gowa.179

1766 - Sultan Fakhruddin meninggalkan Gowa dan berlayar ke kampung halaman ibundanya di
Bima. Ia pergi tanpa seizin Dewan Bate Salapang dan para petinggi istana lainnya. Tak diketahui
dengan jelas apa yang dilakukannya di sana, dan mengapa dia pergi ke sana, namun
kemungkinan ia tak tahan dalam menjalankan pemerintahan karena banyak menghadapi
persoalan keluarga sekaligus tekanan politik dari VOC.180

1767 - Sultan Fakhruddin ditangkap di Bima oleh VOC. Ia dituduh bersekongkol dengan
Kompeni EIC Inggris181 dan menggerakkan perompakan terhadap kapal-kapal VOC di perairan
Lombok. Bersama keluarganya, Sultan Fakhruddin diasingkan ke Batavia, sebelum akhirnya

175
Sultan Abdul Kadim adalah saudara dari Karaeng Ballasari, ibunda Sultan Fakhruddin. Artinya, Sultan Abdul
Kadim adalah paman dari Sultan Fakhruddin.
176
Nolde, op.cit., hlm. 350-351.
177
Ibid., hlm. 351.
178
Sjamsuddin, op.cit., hlm. 62-64.
179
Suryadi, “Sepucuk surat dari seorang bangsawan Gowa di tanah pembuangan (Ceylon)”, WACANA, 10(2), hlm.
216.
180
Ibid.
181
Ibid, hlm. 217.
dipindahkan ke Sailan (Sri Lanka). Di Sailan, salah seorang putranya, Karaeng Sangunglo,
mengabdi kepada Kerajaan Kandy dan turut berperan dalam mempertahankan negara itu dari
serangan Belanda dan Inggris. Sementara empat putranya yang lain mengabdi kepada Inggris.
Tahta Gowa diambil alih oleh saudaranya, Arung Mampu (I Mallisujawa Daeng Riboko) yang
naik tahta dengan gelar Sultan Makduddin. Untuk melegitimasinya, ia menyerahkan pusaka-
pusaka kebesaran istana Gowa kepada Arumpone La Temmassonge.182 Ini mempertegas bahwa
Gowa masih berkedudukan sebagai vasal Bone.

1768 - Sultan Makduddin berkali-kali mengirim permintaan kepada VOC untuk memulangkan
saudaranya, Sultan Fakhruddin, kembali ke Gowa. Namun, permintaannya selalu ditolak. 183
VOC membuka kembali Makassar bagi pedagang Cina. Jumlah kapal yang diizinkan berdagang
ditambah menjadi dua jung per tahun.

1769 - Sultan Makduddin turun dari tahta Gowa. Belum dapat dipastikan apa yang
menyebababkannya melakukan itu. Ada kemungkinan akibat sikap permusuhan dari sebagian
besar petinggi istana, yang menganggapnya telah sengaja merampas tahta dari saudaranya.
Namun, ada kemungkinan pula bahwa ia turun tahta sebagai bentuk protes terhadap VOC yang
selalu menolak untuk memulangkan saudaranya dari tempat pengasingan.184 Sultan Makduddin
pergi ke Malimongang di Barombong dan menetap di sana.185 Untuk mengisi kekosongan tahta,
Dewan Bate Salapang menobatkan Tumabbicara Sultan Zainuddin sebagai pemegangnya
sementara. Jatuhnya Pota. Pasukan Bima menggempur pusat kekuasaan Gowa di Sandao, Pota.
Setelah tiga hari pengepungan, Daeng Mangemba dan pasukannya menyerah kalah. Oleh Sultan
Abdul Kadim, ia dicopot dari jabatannya sebagai I Papu dan digantikan oleh saudaranya, Daeng
Malaja. 186 Sejak saat itu, Sandao takluk kepada Bima, menandakan lenyapnya kekuasaan
seberang laut terakhir Gowa di Pulau Flores.

1770 - Sultan Zainuddin secara resmi dilantik menjadi Sultan Gowa. Jabatan Tumabbicara
diserahkan kepada Ratu Tallo, Sultanah Sitti Saleha.

Era Gerakan Batara Gowa

1776 - Gerakan Batara Gowa pecah. I Sangkilang, seseorang yang mengaku sebagai sosok
Batara Gowa alias Sultan Fakhruddin (yang telah diasingkan ke Sailan sejak tahun 1767),
mendarat di Sanrobone dengan pakaian kebesaran raja. Setelah berhasil mengumpulkan banyak
pengikut, ia mengobarkan perlawanan terhadap VOC, Bone, dan Gowa. Klaimnya sebagai
Batara Gowa diakui oleh banyak pembesar istana Gowa, seperti Karaeng Ballasari, Arung

182
Kila, op.cit., hlm. 94.
183
Suryadi, loc.cit.
184
Ibid.
185
Kila, op.cit., hlm. 94-95.
186
Nolde, op.cit., hlm. 352-353.
Mampu, dan Karaeng Pattung. Sementara Sultan Zainuddin tidak mengakuinya karena merasa
terancam kedudukannya. I Sangkilang pun segera dapat mengkonsolidasikan kekuatan yang
besar dan menguasai wilayah-wilayah Sanrobone, Bangkala, Binamu, Laikang (Takalar), dan
Bajeng.

1777 - I Sangkilang dan pasukannya menggempur Gowa dan berhasil menduduki istananya di
Kalegowa. Ia menobatkan diri sebagai Sultan dengan gelar Batara Gowa. Sultan Zainuddin
disingkirkan dan terpaksa mengungsi ke Mattoangin di Makassar, menjadikannya sebagai pusat
pemerintahan darurat. Sebelumnya, I Sangkilang juga telah menduduki Maros dan Tallo,
mengusir garnisun-garnisun VOC yang berjaga di sana. Di Tallo, ia diterima oleh Sultanah Sitti
Saleha, yang kemudian bersedia menyerahkan tahtanya kepada I Sangkilang. Sang Sultanah juga
mengumumkan bahwa Tallo tidak lagi berada di bawah kekuasaan Gowa. Namun, I Sangkilang
dan pasukannya akhirnya dapat dikalahkan dan diusir oleh pasukan Datu Baringeng dari Bone
dan pasukan Aru Pancana dari Tanete. Saat menggempur Gowa, I Sangkilang berhasil
mengalahkan 400 prajurit Belanda dan pasukan Bone yang menjaganya. Ia tak mendapat
perlawanan dari pihak istana dan militer Gowa. Pasukan Bone sendiri akhirnya juga tak
melakukan apa-apa, sehingga pasukan Belanda pun mengalami kekalahan.

1778 - Sultan Zainuddin wafat di Mattoangin. Sultan Abdul Hadi (I Mannawari Karaeng
Bontolangkasa) naik tahta menggantikannya. I Sangkilang dan pengikutnya dipukul mundur dari
Kalegowa oleh pasukan VOC, yang telah mendapatkan balabantuan dari Batavia. Namun, I
Sangkilang telah berhasil merebut kalompoang istana dan membawanya lari. Ia terus
melanjutkan perlawanannya secara gerilya di wilayah pedalaman, berpusat di Malewang,
Polongbangkeng. Sementara itu, Sultan Abdul Hadi menempati kembali istana Gowa di
Kalegowa. Kesultanan Gowa pun tetap terpecah menjadi dua, Gowa Barat di Kalegowa yang
berkedudukan sebagai vasal Bone dan disokong oleh VOC, serta Gowa Timur di Malewang yang
tetap merdeka di bawah Batara Gowa I Sangkilang.

1779 - VOC menetapkan I Sangkilang sebagai buronan, dengan harapan dapat melemahkan
gerakan perlawanannya. Namun, sebagian besar rakyat Gowa (khususnya di pedalaman) masih
setia kepadanya, karena Batara Gowa masih membawa kalompoang istana bersamanya. 187
Arumpone La Tenrituppu naik tahta di Bone.

1780 - Sultan Abdul Hadi dilantik secara resmi menjadi Sultan Gowa. Ia menandantangani
perjanjian dengan VOC, yang menetapkan bahwa Kesultanan Gowa kini berkedudukan sebagai
bawahannya. Perang Inggris-Belanda pecah. VOC meninggalkan perhatiannya terhadap I
Sangkilang, dan memfokuskan diri kepada persiapan pertahanan di seluruh jajahannya untuk
menghadapi ancaman serangan Inggris. Gerakan Batara Gowa pun terus aktif dan bertahan di
wilayah pedalaman Gowa. I Sangkilang juga mulai didukung oleh Bone. Tampaknya, kebijakan

187
Kila, op.cit., hlm. 99.
VOC yang menjadikan Gowa menjadi vasalnya dilakukan tanpa persetujuan Bone, sehingga ia
pun mulai menjauhkan diri dari sekutu lamanya itu dan berbalik mendekati I Sangkilang.

1784 - Perang Inggris-Belanda berakhir.

1785 - I Sangkilang wafat di Kampung Lanna, Parangloe. Belum dapat dipastikan penyebab
kematiannya, namun ada kemungkinan ia diracun. Para pengikutnya mengangkat putranya,
Karaeng Data sebagai penggantinya. Ia dinobatkan sebagai raja dengan gelar Sultan Abu Bakar,
dan melanjutkan perjuangan ayahnya dalam menentang VOC dan Gowa Barat. Saat naik tahta,
Karaeng Data baru berusia delapan tahun.188 Namun, ada sekelompok pengikutnya yang telah
membawa pergi kalompoang istana Gowa dan menyerahkannya kepada Arung Mampu alias
Mantan Sultan Makduddin.

1793 - Arumpone La Tenrituppu menandatangani perjanjian rahasia dengan Inggris. Keduanya


menjalin aliansi untuk memerangi Belanda. Mereka juga didekati oleh Karaeng Data alias Sultan
Abu Bakar yang telah dewasa. Ia pun bergabung dengan mereka dalam persekutuan melawan
Belanda.

1795 - Di Eropa, pusat pemerintahan Belanda ditaklukkan oleh Prancis, yang kemudian
mendirikan pemerintahan demokratis bernama Republik Batavia sebagai negara bawahannya.
Jajahan-jajahan seberang laut Belanda, termasuk milik VOC, secara tidak langsung turut jatuh ke
tangan Prancis.

1796 - Bone menyerang wilayah Zuider Districten (Takalar, Bantaeng, dan Bulukumba) dari
VOC, memanfaatkan melemahnya kekuatan Kompeni itu akibat serangkaian peperangannya
dengan Inggris sejak dekade 1780an.

1797 - Persekutuan Inggris, Bone, dan Sultan Abu Bakar bersama-sama menggempur dan
menduduki pos-pos VOC di Bantaeng dan Bulukumba.189 Kedua wilayah itu diambil alih oleh
Bone, yang segera menegaskan kekuasaannya dengan mengarahkan seluruh penduduk di sana
untuk menyerahkan hasil pajak mereka kepada Arumpone. Sejumlah pemberontakan juga pecah
di wilayah kekuasaan Gowa Barat dan VOC, yakni gerakan Nyanre Karaeng Panrita dan Datu
Batu Gulung di Topejawa. Mereka merupakan simpatisan Gerakan Batara Gowa pimpinan
Sultan Abu Bakar. Namun, perlawanan mereka dapat segera ditumpas oleh Gowa Barat dengan
bantuan VOC. Nyanre Karaeng Panrita ditangkap oleh Karaeng Gantarang, sementara Datu Batu
Gulung menyingkir ke wilayah kekuasaan Sultan Abu Bakar di Gowa Timur.

1798 - Sultan Abu Bakar berlayar ke Ambon dan menemui Residen Inggris di sana untuk
meminta bantuan dan memperkuat hubungan aliansi mereka. Saat ditinggalkan olehnya,

188
Rosdiana, “Analisis Struktural Mitos Tujua ri Galesonga Kabupaten Takalar (Strukturalisme Levi-Strauss)”
[skripsi], hlm. 55.
189
Kila, op.cit., hlm. 105.
pengikut-pengikutnya di Gowa Timur telah mulai terpencar, namun wilayah kekuasaannya
masih relatif kokoh berkat sokongan dari Bone.

1799 - Pembubaran Kompeni VOC.

1800 - Seluruh jajahan VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda, secara langsung ditempatkan
di bawah pengawasannya. Makassar dikepung oleh aliansi Bone-Inggris. Kota itu diblokade oleh
armada Inggris di laut dan diserang oleh pasukan Bone di darat. Namun, pengepungan itu gagal
dan kapal-kapal Inggris segera meninggalkannya.

1803 - Perang Napoleon pecah di Eropa. Dampaknya meluas hingga ke Nusantara, di mana
kekuasaan Belanda yang disokong Prancis berperang melawan Inggris dan sekutunya.

1806 - Kaisar Prancis, Napoleon Bonaparte membubarkan Republik Batavia dan menggantinya
dengan Kerajaan Holandia di bawah pimpinan Louis Bonaparte, adik Napoleon.

1810 - Sultan Abdul Hadi wafat. Karena ia belum memiliki pewaris tahta, dibentuklah
pemerintahan perwalian di bawah Karaeng Pangkajene. Kaisar Napoleon menganeksasi
Holandia. Seluruh kekuasaan Belanda di Nusantara kini berada di bawah pengawasan langsung
Prancis.

1811 - Kapitulasi Tuntang. Inggris menaklukkan Batavia. Seluruh kekuasaan Belanda-Prancis di


Nusantara pun diambil alih oleh Inggris, di bawah pengawasan Letnan Gubernur Thomas
Stamford Raffles.

1812 - Raffles mengangkat Richard Phillips sebagai Residen Makassar. Arumpone La


Mappasessu (Toappatunru Arung Palakka) naik tahta di Bone. Di bawah Residen Phillips,
Inggris berusaha memperkuat kedudukan Gowa dan menempatkannya sebagai protektorat.
Sebaliknya, Arumpone berusaha menanamkan kembali dominasinya terhadap Gowa. Ia melantik
kembali Arung Mampu alias Sultan Makduddin sebagai Sultan, setelah menerima kalompoang
istana Gowa darinya. Pada bulan Desember, Sultan Makduddin bersama pasukan Bone
menyerang Kalegowa dan berusaha menyingkirkan Karaeng Pangkajene. Namun, mereka
dipukul mundur oleh pasukan pertahanan Gowa yang disokong oleh pasukan Inggris, Sidenreng,
dan Soppeng.190 Perebutan pengaruh di Gowa ini pun menandai dimulainya permusuhan antara
Bone dan Inggris, dan berakhirnya hubungan persekutuan mereka. Sementara itu, penguasa
Gowa Timur Sultan Abu Bakar kembali ke Sulawesi setelah lama menetap di Ambon. Ia
diterima oleh Residen Phillips dan diizinkan tinggal di Beba (Tamasaju, Galesong). Dari sini, ia
menjalin kontak dengan Arumpone, serta para pengikutnya di wilayah pedalaman Gowa. Setelah
mengetahui bahwa Arumpone bermusuhan dengan Inggris, Sultan Abu Bakar pun mulai
merencanakan pemberontakan.

190
Ibid.
1814 - Perang Inggris-Bone pecah. Ibukota Bone digempur dan diduduki oleh pasukan Inggris
yang dibantu oleh Gowa, Soppeng, dan Sidenreng. Arumpone berhasil menyingkir ke pedalaman,
namun tanpa membawa kalompoang istana Gowa. Kalompoang itu direbut oleh Datu Soppeng,
yang lalu menyerahkannya kepada Residen Phillips, yang kemudian menyerahkannya kepada
Dewan Bate Salapang. Pada tahun yang sama, Sultan Abu Bakar memulai pemberontakannya
melawan Inggris. Ia menguasai wilayah Galesong dan menjadikan Beba sebagai pusat
pemerintahannya.

1815 - DM Dalton dilantik menjadi Residen Makassar menggantikan Phillips. Pada bulan
September, Sultan Abu Bakar memimpin penyerangan terhadap wilayah Ballo (di wilayah
tenggara Bajeng-Sanrobone). Ia bekerjasama dengan pasukan dari Tanete yang juga telah
bersekutu dengan Bone. Namun, setelah satu bulan, mereka dapat dipukul mundur oleh pasukan
Inggris dan Gowa. Sultan Abu Bakar dan pasukannya kemudian bergerak ke utara menuju Barru
di wilayah Noorden Districten (Maros, Pangkajene, Segeri, Mandalle, Barru, Tanete), tampaknya
untuk bergabung dengan pasukan Bone yang tengah berperang dengan Inggris di sana.
Sementara itu, Inggris melalui Kapten Cameron dan Karaeng Binamu mengadakan pertemuan
dengan tiga orang pengikut Sultan Abu Bakar (Daeng Mananri, Daeng Manompo, dan Daeng
Manajai) di Laikang, dan berhasil membujuk mereka untuk menyatakan kesetiaan kepada Inggris
pada tanggal 23 Oktober. Pada bulan November, Sultan Abu Bakar berhasil menduduki
Bantaeng dan Rumbia setelah membujuk para pemimpinnya untuk bergabung dengannya.

Era Kolonial (di bawah Hindia Belanda)

1816 - Raja Tallo Sultan Abdul Rauf (I Mappatunru Karaeng Lembangparang Tuminanga ri
Katangka, putra Sultan Syafiuddin) dinobatkan sebagai Sultan Gowa oleh Dewan Bate Salapang.
Namun, ia tak diakui sebagai Sultan oleh penduduk pedalaman yang tetap setia kepada Sultan
Abu Bakar. Sultan Abu Bakar sendiri telah semakin sukses memperluas pengaruh dan
kekuasaannya. Ia mendapat dukungan dari Arung Mampu (Sultan Makduddin) serta beberapa
orang bangsawan Gowa, Bone, dan Bulukumba seperti Arung Cina, Arung Panre, dan Daeng
Siala. Sejumlah prajurit Belanda dan Jawa dalam tubuh pasukan Inggris juga bergabung
dengannya. Namun, Sultan Abu Bakar kehilangan wilayah Bulutana di Tinggimoncong yang
bergabung kembali dengan wilayah Gowa pimpinan Karaeng Lembangparang. Wilayah
Polongbangkeng juga digempur oleh Inggris dan Gowa. Pada tahun yang sama, Inggris
mengembalikan Batavia dan seluruh koloni Hindia kepada Belanda. Pemerintahan kolonial
Hindia Belanda di Indonesia dimulai. Belanda pun kembali ke Sulawesi Selatan.

1819 - Gerakan Batara Gowa berakhir. Beba digempur oleh Belanda dan Gowa, setelah Sultan
Abu Bakar mengajukan tuntutan kepada keduanya untuk tunduk di bawah kekuasaannya. Dalam
penyerangan, Sultan Abu Bakar dan 200 orang pengikutnya berusaha melancarkan perlawanan
terakhir menghadapi 253 pasukan Belanda-Gowa pimpinan Kolonel La Fontaine, namun mereka
akhirnya dikalahkan dan ditangkap. Nasib Sultan Abu Bakar setelah itu masih diperdebatkan.
Ada yang menyatakan bahwa tewas dalam pertempuran dan kepalanya dipenggal oleh Belanda,
namun ada yang menyatakan bahwa ia berhasil lolos ke pedalaman dan kemudian menjadi
seorang ulama. Bahkan ada yang mempercayai bahwa ia sebenarnya masih hidup dan akan
kembali untuk mewujudkan perdamaian dunia. Namun, yang jelas adalah gerakannya berhasil
ditumpas dan kekuasaannya telah ditaklukkan kembali oleh Belanda dan Gowa. Kesultanan
Gowa pun kembali bersatu di bawah satu pemerintahan, dan berkedudukan sebagai vasal Hindia
Belanda.

1824 - Traktat London. Kesepakatan pembagian wilayah kolonial antara Belanda dan Inggris di
Nusantara, menjadi cikal-bakal terbentuknya perbatasan negara Indonesia dan Malaysia saat ini.
Perang Belanda-Bone I pecah. Belanda mendeklarasikan perang kepada Bone setelah Arumpone
menolak untuk mengembalikan wilayah Noorden Districten kepada Belanda. Dalam
penyerangan ini, Belanda mendapatkan pasukan bantuan dari Gowa, Bantaeng, Galesong,
Binamu, dan Bangkala. Gowa sendiri menyuplai 3200 orang prajurit, sebagian bersenjata api dan
sisanya bersenjata tajam.191

1825 - Sultan Muhammad Zainal Abidin Abdul Rahman (La Oddanriu Daeng Mangeppe
Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga) naik tahta sebagai Sultan Gowa sekaligus Raja Tallo.
Ia merupakan putra dari Sultan Abdul Rauf dengan istrinya, I Ralle Arung Lipukasi yang
merupakan putri dari Datu Soppeng La Mappajanci.

1826 - Sultan Abdul Kadir Mohammad Aidid (I Kumala Karaeng Lembangparang Tuminanga ri
Kakuasanna) naik tahta. Ia merupakan putra dari Daeng Sisila Karaeng Beroanging dengan I
Galaga, putri Sultan Abdul Rauf. Artinya, Sultan Abdul Kadir adalah keponakan dari La
Oddanriu. Pamannya itu sendiri, setelah turun tahta tetap berkuasa sebagai raja di Tallo, yang
juga memerintah sebagai vasal Belanda. Saat dinobatkan, Sultan Abdul Kadir masih berusia
enam tahun, sehingga kendali pemerintahan pun dipegang oleh ayahnya, Daeng Sisila.

1844 - Sultan Abdul Kadir dilantik secara resmi sebagai Sultan Gowa setelah usianya telah
menginjak dewasa.

1846 - Atas desakan Menteri Koloni di pusat kerajaan, Hindia Belanda mengklaim seluruh Pulau
Sulawesi sebagai wilayah kekuasaannya. Gouvernement Makassar en Oonderhoorigheden
diganti namanya menjadi Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden. Ini merupakan antisipasi
Belanda untuk mencegah orang Eropa lain menanamkan kekuasaannya di wilayah Indonesia,
seperti yang telah dilakukan oleh James Brooke dari Inggris di Sarawak beberapa tahun
sebelumnya. Namun, secara de facto sebagian wilayah Sulawesi masih merupakan kerajaan-
kerajaan lokal yang merdeka.

191
Kila, op.cit., hlm. 149-150.
1847 - Hindia Belanda menetapkan Makassar sebagai pelabuhan bebas, namun tetap
memberlakukan pajak tinggi dan beberapa aturan ketat lainnya bagi para pedagang luar.

1856 - Hindia Belanda menganeksasi Kerajaan Tallo.

1868 - Pemberontakan Karaeng Bonto-Bonto pecah di Labakkang. Sultan Gowa mengirim


pasukan bantuan kepada Belanda, yang kemudian dapat mengamankan wilayah Tanete dan
Mario.

1893 - Sultan Idris (I Malingkaan Tuminanga ri Kalabbiranna) naik tahta.

1895 - Sultan Husain (I Makkulau Tuminanga ri Bunduna) naik tahta menggantikan ayahnya,
Sultan Idris yang wafat mendadak. Ia memindahkan ibukota Gowa ke Jongaya.

1904 - Belanda memulai "Ekspedisi ke Sulawesi Selatan", yakni perang aneksasi terhadap
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan (Bone, Gowa, Luwu, Agangnionjo, serta Konfederasi
Ajatappareng). Meskipun telah lama menjadi vasal Belanda, namun Gowa ikut diserang karena
Sultan Husain menolak permintaan Belanda untuk menyerahkan seluruh senjata yang dimiliki
oleh Kesultanan Gowa. Penolakannya ini hanyalah alasan untuk dijadikan casus belli, karena
sejatinya pemerintah Hindia Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal JB van Heutsz
memang tengah melancarkan kampanye Pax Neerlandica untuk menaklukkan total seluruh
kerajaan di Nusantara yang masih merdeka ataupun dianggap memiliki bibit-bibit perlawanan
terhadap Belanda. Kesultanan Gowa dan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan termasuk dalam
target-target kampanye ini.

1905 - Invasi Belanda ke Gowa dimulai. Ibukota Gowa di Jongaya dikepung dan digempur. Di
tengah pengepungan, Sultan Husain meloloskan diri ke Limbung (Bajeng) setelah
mempercayakan keamanan istana pada tiga orang putranya (I Pangsuriseng, I Mangimangi, dan I
Mappanyukki) serta Tumarilalang Towa dan Dewan Bate Salapang. Sang Sultan pun memimpin
perlawanan gerilya di wilayah pegunungan. Ia kemudian pergi ke utara menuju Sawitto untuk
menjalin kontak dengan Petta La Sinrang, Datu Sawitto yang juga tengah berperang melawan
Belanda. Sultan Husain didampingi oleh dua orang putranya, Karaeng Bontonompo dan Lapang
Garising. Sementara tiga putranya yang lain berusaha mempertahankan Jongaya bersama para
petinggi istana lainnya. Namun, mereka akhirnya terpaksa mundur oleh serangan Belanda dan
menyusul ayah mereka dalam perlawanan gerilyanya. Jongaya pun jatuh dan pasukan Belanda
melakukan pengejaran terhadap Sultan, para pangeran, dan pengikut mereka.

1906 - Belanda mengirim pasukan Marsose pimpinan Letnan Hans Christoffel (yang baru saja
menyelesaikan misi penaklukan atas Pegustian Banjar di Kalimantan Tengah) untuk memburu
Sultan Husain dan sisa pasukan Gowa yang tengah bergerilya di pegunungan. Belanda berusaha
mencegah sang Sultan untuk bertemu dengan La Sinrang, karena ditakutkan bahwa apabila
keduanya bersatu dan bersekutu, maka Belanda akan mengalami kesulitan dalam menaklukkan
Sulawesi Selatan. Setelah tiba di Parepare, Christoffel dan pasukan Marsosenya segera bergerak
ke Alitta, tempat di mana mereka berhasil memergoki Sultan Husain dan 60 orang pengikutnya.
Dalam serangan mendadak ini, para prajurit Gowa berusaha mempertahankan diri, namun
akhirnya kalah. Lapang Garising gugur, sementara Karaeng Bontonompo terluka. Sultan Husain
dan sisa pengikutnya pun ditawan dan digiring oleh pasukan Marsose. Namun, di tengah
perjalanan, sang Sultan berusaha meloloskan diri. Ia pun lari, namun karena kondisi gelap di
malam hari, ia tak menyadari bahwa ia berlari ke arah jurang yang dalam. Sultan Husain pun
terjatuh dan gugur. Pasca kematiannya, para pengikutnya mengangkat salah satu putranya, I
Mangimangi, sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin. Ia
mendirikan istana baru Balla Lompoa di Sungguminasa, dan menjadikannya sebagai pusat
perlawanannya menghadapi Belanda. Namun, perlawanannya dapat segera ditekan dan dikalahan
oleh Belanda. Sultan Muhammad Tahir ditangkap, kemudian diturunkan dari jabatannya dan
diasingkan ke Bima, sementara saudaranya, Andi Mappanyukki diasingkan ke Selayar.
Kesultanan Gowa dianeksasi dan digabungkan dengan wilayah-wilayah yang telah diperintah
langsung oleh Hindia Belanda di Sulawesi Selatan, dengan pusat pemerintahan di Makassar.

1908 - Pasukan Belanda menumpas sisa-sisa perlawanan Gowa yang terpencar di berbagai
daerah.

1915 - Gerakan Tollo pecah di Gowa dan Takalar. Seorang perampok dari kalangan rakyat jelata
bernama Tollo memimpin perlawanan terhadap Belanda. Ia menyerang kantor Kontrolir Belanda
di Paleko (Takalar) kemudian mengacau di daerah Sungguminasa. Keberaniannya melawan
Belanda membuat sejumlah bangsawan Gowa sempat menemui dan menyuplai senjata
kepadanya. Ia diangkat menjadi seorang pemimpin bergelar Tollo Daeng Magassing yang
bermarkas di Sungguminasa. Ia didampingi oleh 40 orang prajurit inti bernama Pagorra
Patampulowa. Motivasi para bangsawan yang mendukung Tollo adalah rasa dendam kepada
Belanda dan harapan agar Gowa dapat kembali menjadi negara merdeka. Namun, dukungan ini
akhirnya berhenti setelah dua bulan. Para bangsawan Gowa melihat bahwa kekuatan Tollo tidak
cukup kuat, sehingga akhirnya mereka melaporkannya kepada para pejabat Belanda. Pemerintah
kolonial pun menerjunkan 8 kompi militer dari Jawa untuk menumpas Tollo dan pengikutnya.

1917 - Gerakan Tollo berakhir. Tollo dan pengikutnya tersingkir dari Sungguminasa dan
berpindah ke Kalampak di Polongbangkeng. Namun, seorang pengikutnya bernama Camanggo
mengkhianatinya dan melaporkan kedudukannya kepada Belanda. Tollo pun ditangkap,
kemudian dihukum mati di depan umum di tangsi Belanda di Limbung.

1936 - Kesultanan Gowa dihidupkan kembali oleh Belanda. I Mangimangi alias Sultan
Muhammad Tahir dipulihkan kekuasaannya sebagai Sultan Gowa. Ia diizinkan kembali
memerintah sebagai zelfbestuur, yakni seorang kepala swapraja atau protektorat Kerajaan
Belanda. Sungguminasa dijadikan pusat pemerintahan Gowa di bawah Hindia Belanda. Wilayah
administrasi Gowa diatur kembali di bawah pengawasan Belanda. Ia dibagi menjadi sejumlah
distrik, serta kekaraengan atau pemerintahan adat (adatgemeenschaap), yang menjadi cikal-bakal
kecamatan-kecamatan yang membentuk Kabupaten Gowa saat ini. Pembagian itu berjumlah
empat distrik (Karuwisi, Limbung, Bontonompo, dan Malakaji) dan delapan kekaraengan
(Mangasa, Tombolo, Borongloe, Pattallassang, Manuju, Borisallo, Parigi, dan Pao). 192 Pada
tahun yang sama, Andi Mappanyukki (saudara Sultan Muhammad Tahir) juga dinobatkan
menjadi raja di Bone, juga sebagai protektorat Belanda.

Era Perang Kemerdekaan Indonesia

1945 - Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Di hadapan Sam Ratulangi (Gubernur


Sulawesi pertama), tiga raja Sulawesi Selatan: La Mappanyukki dari Bone, Sultan Muhammad
Tahir dari Gowa, dan Andi Djemma dari Luwu, mengikrarkan sumpah setia kepada Republik
Indonesia. Mereka mulai membantu mendirikan badan-badan perjuangan kemerdekaan untuk
menghadapi kemungkinan perlawanan pasukan Jepang sekaligus menyongsong kedatangan
pasukan Sekutu. Namun, sejak 21 September, pasukan Sekutu dan NICA telah tiba di Makassar
dan segera menduduki Sulawesi Selatan. Keberadaan mereka ditentang oleh kaum nasionalis
Indonesia, khususnya para pemuda. Sejak akhir Oktober, serangkaian bentrokan dan baku
tembak pecah antara kaum nasionalis dan pasukan Sekutu-NICA. Namun, pasukan Sekutu
sedikit banyak berhasil mempertahankan kedudukan mereka, sehingga pada akhir tahun ini,
Sulawesi Selatan telah kembali berada di bawah kontrol Hindia Belanda. Para raja lokal,
termasuk Sultan Gowa kembali diikat sebagai protektorat Belanda. Sementara itu, kaum
nasionalis Indonesia mulai melancarkan perlawanan gerilya mereka. Perang kemerdekaan
Indonesia pun pecah di Sulawesi Selatan.

1946 - Sultan Muhammad Tahir wafat. Ia digantikan oleh putranya, Andi Idjo (Daeng
Mattawang Karaeng Lalolang) yang naik tahta dengan gelar Sultan Abdul Kadir Aiduddin. Ia
tetap memerintah di bawah Hindia Belanda. Sementara itu, perang kemerdekaan Indonesia terus
berlangsung. Kelompok-kelompok pejuang Indonesia di bawah komando Robert Wolter
Mongisidi terlibat serangkaian pertempuran melawan pasukan Belanda di berbagai wilayah
Sulawesi Selatan, termasuk di Gowa. Sebagian besar melancarkan perlawanan gerilya, seperti
para pejuang di Limbung pimpinan Pattola Bali, Sultan Daeng Mile, dan Baharuddin Sarro. 193
Pada bulan Juli, Belanda melangsungkan Konferensi Malino, disusul oleh Konferensi Denpasar
pada bulan Desember. Keduanya menetapkan pembentukan negara-negara bagian untuk
disiapkan sebagai anggota federasi RIS (Republik Indonesia Serikat), salah satunya adalah NIT
atau Negara Indonesia Timur yang beribukota di Makassar. Seluruh Sulawesi menjadi bagian
dari NIT, termasuk Kesultanan Gowa yang berkedudukan sebagai swapraja. Pada Desember pula,
pasukan khusus Belanda KST (Korps Speciale Troepen) pimpinan Raymond PP Westerling tiba

192
Akbar, Adil, “Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Beras di Sulawesi Selatan pada Tahun 1946-1950” [tesis], hlm.
47-48.
193
Syamsul Bahri, “Perjuangan Orang-orang Limbung dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI (1945-1949)”, hlm.
140.
di Sulawesi Selatan dan mulai melancarkan pembantaian terhadap ribuan penduduk sipil untuk
menumpas elemen-elemen pejuang Indonesia, sehingga mampu memperkuat kedudukan Belanda.

1947 - Pembantaian Westerling berakhir pada bulan Februari. Kurang lebih 40.000 jiwa gugur
sebagai korban pembantaian tersebut. Pada 25 Maret, Belanda dan Indonesia menandatangani
Perjanjian Linggarjati, di mana disepakati pembentukan RIS dan bahwa wilayah Indonesia hanya
meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Pada Juli-Agustus, Belanda melancarkan Agresi Militer I
terhadap Indonesia. Perang terbuka ini terhenti akibat desakan dari PBB.

1948 - NIT membentuk Hadat Tinggi sebagai badan eksekutif yang beranggotakan para raja dan
bangsawan Sulawesi Selatan. Badan ini dipimpin oleh Raja Bone Andi Pabbenteng, sementara
Raja Gowa Andi Idjo berkedudukan sebagai Ketua Muda. 194 Belanda melancarkan Agresi
Militer II terhadap Indonesia. Ibukota Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Para
pemimpin Indonesia, termasuk Presiden Soekarno ditangkap dan diasingkan di bawah
pengawasan Belanda. Pemerintahan darurat pun didirikan di Sumatera, berpusat di Bukittinggi.

1949 - Perang kemerdekaan Indonesia berakhir. Atas desakan PBB, Belanda dan Indonesia
bersedia berunding di Den Haag. Keduanya pun sepakat berdamai, di mana Belanda mengakui
kedaulatan Indonesia, sementara Indonesia bersedia mengubah bentuk negaranya menjadi
federasi, yakni RIS.

1950 - Pembubaran RIS. Desakan dari banyak kalangan, termasuk para raja dan bangsawan serta
rakyat Sulawesi Selatan 195 , membuat pemerintah Indonesia memutuskan untuk membubarkan
pemerintahan federal dan kembali menjadi negara kesatuan, NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia). Seluruh negara bagian RIS pun dilebur ke dalam Republik Indonesia, termasuk NIT.
Sulawesi diambil alih langsung oleh Indonesia dan dipecah menjadi sejumlah provinsi. Sultan
Gowa Andi Idjo bertemu dengan Presiden Soekarno, kemudian secara resmi mendeklarasikan
bergabungnya Kesultanan Gowa dengan NKRI. Gowa dan pemerintahan-pemerintahan swapraja
lain pun dilebur ke dalam Provinsi Sulawesi Selatan, namun tetap mempertahankan status
mereka sebagai swapraja.

1957 - Pemerintahan Swapraja Gowa diubah menjadi Kabupaten Gowa, dengan Andi Idjo tetap
berkedudukan sebagai pemimpinnya bergelar Bupati. Kesultanan Gowa sendiri tetap eksis
sebagai monarki simbolis yang bertugas sebagai lembaga pelestarian adat dan budaya Makassar
Gowa. Istana Balla Lompoa di Sungguminasa dijadikan museum, meskipun tetap digunakan
sebagai tempat tinggal raja.

Era Monarki Simbolis (di bawah Indonesia)

194
Muhammad Amir, “Andi Idjo Karaeng Lalolang: Pergumulan dalam Kemelut Perjuangan Bangsa di Sulawesi
Selatan 1946-1950”, hlm. 34.
195
Ibid., hlm. 35.
1960 - Andi Idjo mengakhiri masa jabatannya sebagai Bupati Gowa. Ia tetap berkedudukan
sebagai pemimpin monarki simbolis Kesultanan Gowa di istana Balla Lompoa Sungguminasa.
Jabatannya sebagai Bupati Gowa digantikan oleh Andi Tau. Kabupaten Gowa kemudian
mengalami reorganisasi di mana 12 distrik yang ada diubah menjadi delapan kecamatan, yakni
Tamalate, Panakkukang, Bajeng, Pallangga, Bontonompo, Tinggimoncong, Tompobulu, dan
Bontomarannu.

1971 - Kota Makassar berganti nama menjadi Ujung Pandang. Pada tahun yang sama, dilakukan
pula perluasan wilayah terhadap kota itu untuk mengatasi kepadatan penduduk akibat
kedudukannya sebagai pusat urbanisasi di Indonesia Timur. Sejumlah daerah dari Kabupaten
Gowa, Maros, dan Pangkajene dimasukkan ke dalam administrasi Kota Ujung Pandang.
Wilayah-wilayah Gowa yang diserahkan kepadanya ialah kecamatan-kecamatan Tamalate,
Paboccini, Manggala, dan Panakkukang. Dua kecamatan baru kemudian dibentuk oleh Bupati
Gowa, yakni Somba Opu dan Parangloe.

1975 - Kecamatan Bungaya dibentuk sebagai pemekeran dari Tompobulu.

1978 - Andi Idjo wafat. Ia tak menunjuk pewaris tahta, sehingga jabatan Sultan Gowa pun
kosong hingga empat dekade kemudian.

1991 - Bendungan Bili-Bili mulai dibangun.

1999 - Kota Ujung Pandang berganti nama kembali menjadi Makassar. Pembangunan
Bendungan Bili-Bili selesai dan diresmikan oleh pemerintah Indonesia.

2005 - Bendungan Bili-Bili mulai dioperasikan sebagai sumber air baku bagi PDAM Gowa dan
Makassar.

2011 - Andi Maddusila Patta Nyonri Karaeng Katangka, putra Andi Idjo dinobatkan oleh Forum
Keraton Nusantara (FKN) sebagai Sultan Gowa dengan gelar Sultan Alauddin II. Namun,
penobatannya tak diakui oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gowa dan Dewan Adat Bate
Salapang. Mereka menganggapnya tidak sah karena tak dilakukan di istana Balla Lompoa
ataupun di Batu Pallantikang (kompleks makam raja-raja Gowa).

2014 - Pemkab Gowa dan Dewan Adat Bate Salapang mengangkat Andi Kumala Idjo Daeng Sila
Karaeng Lembangparang (adik dari Andi Maddusila) sebagai Sultan Gowa bergelar Batara
Gowa III. Ia dinobatkan untuk menandingi kakaknya. Konflik pun terjadi akibat penobatan dua
raja Gowa ini, di mana muncul dua kubu yang masing-masing mendukung kedua raja itu.

2016 - Andi Maddusila kembali dinobatkan sebagai Sultan Gowa untuk menegaskan
pengukuhannya lima tahun sebelumnya. Namun, ia tetap ditentang oleh Pemkab Gowa yang
kemudian mengangkat Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo sebagai Ketua
Lembaga Adat Daerah dengan gelar Sombayya ri Gowa. Sejumlah konflik sipil pun kembali
pecah di mana kubu pendukung Andi Maddusila terlibat bentrokan dengan kubu pendukung
Bupati Gowa dan Andi Kumala Idjo.

2018 - Andi Maddusila wafat. Andi Kumala Idjo tetap berkedudukan sebagai Sultan Gowa.

Daftar Pustaka

Buku

- Abdurachman, Paramita Rahayu. (2008). Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak


Kebudayaan Portugis di Indonesia. Jakarta: Obor.
- Ahmad, A. Samad. (1979). Sulalatus Salatin: Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka.
- Amal, M. Adnan. (2010). Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara
1250-1950. Jakarta: KPG.
- Andaya, Leonard Y. (2004). Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17.
Makassar: Ininnawa.
- Andaya, Leonard Y. (2015). Dunia Maluku: Indonesia Timur pada Zaman Modern Awal.
Yogyakarta: Ombak.
- Cense, A.A. (1972). Beberapa Tjatatan Mengenai Penulisan Sedjarah Makassar-Bugis. Jakarta:
Bhratara.
- Cummings, William. (2007). A Chain of Kings: The Makassarese chronicles of Gowa and
Talloq. Leiden: KITLV Press.
- Cummings, William. (2010). The Makassar Annals. Leiden: KITLV Press.
- Fakhriati, dkk. (2017). Aksara, Naskah, dan Budaya Nusantara. Tangerang: Indigo Media.
- Hӓgerdal, Hans. (2006). Candrasangkala: The Balinese Art of Dating Events. Vaxjo:
University of Vaxjo.
- Hӓgerdal, Hans. (2012). Lords of the Land, Lords of the Sea: Conflict and Adaptation in Early
Colonial Timor, 1600-1800. Leiden: BRILL.
- Irawan, Mustari, dkk. (2016). Citra Kabupaten Gowa dalam Arsip. Jakarta: Arsip Nasional
Republik Indonesia.
- Kila, Syahrir. (2012). Keteguhan dalam Menegakkan Siri’: Kajian Perjuangan I Benni Arung
Data Melawan Belanda. Makassar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar dan Penerbit de La
Macca.
- Kila, Syahrir. (2016). Budaya Politik Kerajaan Balanipa Mandar. Makassar: Pustaka Refleksi.
- Kulle, Syarifuddin, Zainuddin Tika, dan Najamuddin. (2019). Gowa Bergolak. Makassar:
Pustaka Taman Ilmu.
- Lapian, A.B. dan JR. Chaniago. (1988). Timor Timur dalam Gerak Pembangunan. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah
dan Nilai-Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
- Madina, Sofyan, dkk. (2012). Sejarah Kesultanan Banggai. Jakarta: Puslitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
- Mattulada. (2011). Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1510-1700).
Yogyakarta: Ombak.
- Mukhlis P. dkk. (1995). Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Direktorat Jenderal
Kebudayaan.
- Nasruddin dkk., (tanpa tahun). Sejarah dan Budaya Lokal Dari Sulawesi Sampai Bima. Jakarta:
Gunadarma Ilmu.
- Orinbao, P. Sareng. (1969). Nusa Nipa. Ende: Penerbit Nusa Indah.
- Poelinggomang, Edward L. (2016). Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan
Perdagangan Maritim. Jakarta: KPG.
- Reid, Anthony. (2004). Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan. Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia.
- Reid, Anthony. (2015). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II: Jaringan
Perdagangan Global. Jakarta: Obor.
- Sjamsuddin, Helius. (2015). Memori Pulau Sumbawa: Tentang Sejarah, Interaksi Budaya dan
Perubahan Sosial-Politik di Pulau Sumbawa. Yogyakarta: Ombak.
- Sofiah, Siti dkk. (2019). Profil Budaya dan Bahasa Kab. Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan.
Jakarta: Pusat Data Statistik Pendidikan dan Kebudayaan.
- Sutherland, Heather dkk. (2004). Kontinuitas dan Perubahan dalam Sejarah Sulawesi Selatan.
Yogyakarta: Ombak.
- Tika, Zainuddin, Syarifuddin Kulle, dan Ridwan Syam. (2019). I Mappasempa Daeng Mamaro
Karaengta Bontolangkasa. Makassar: Pustaka Taman Ilmu.
- Utomo, Bambang Budi dkk. (2011). Atlas Sejarah Indonesia Masa Islam. Jakarta: Direktorat
Geografi Sejarah.
- Zuhdi, Susanto. (2018). Sejarah Buton Yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana. Jakarta:
Wedatama Widya Sastra.
Internet
- Muhammad Amir, “Assitalliang Tammajarra di Mandar Abad ke-16”, Balai Pelestarian Nilai
Budaya Sulawesi Selatan, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel/assitalliang-
tammajarra-di-mandar-abad-ke-16-oleh-muhammad-amir.htm
- Pemerintah Kabupaten Gowa, “Sejarah Kabupaten Gowa”, http://gowakab.go.id/sejarah-
kabupaten-gowa/
- Petrik Matanasi, “Pasukan Marsose Menyergap Raja Gowa di Sidenreng”, Tirto,
https://tirto.id/pasukan-marsose-menyergap-raja-gowa-di-sidenreng-gaXA
Jurnal
- Akhmad Akbar Abdullah, Muhammad Saleh Madjid, dan M. Rasyid Ridha. (2018).
Perpindahan Karena Perluasan: Masuknya Mangasa dalam Wilayah Kota Makassar 1971. Jurnal
Pattingalloang. 5(4): 9-16.
- Andini Perdana. (2020). Representasi Warisan Karaeng Pattingalloang di Museum.
Pangadereng. 6(1): 57-72.
- Bahri. (2016). Perebutan Panggadereng di Kerajaan Lokal di Jazirah Sulawesi Selatan Abad
XV-XVII. ISTORIA. 12(1): 97-104.
- Hӓgerdal, Hans. (2006). Servião and Belu: Colonial Conceptions and the Geographical
Partition of Timor. Studies on Asia. III(1): 49-64.
- Hans Daeng. (1995). Manggarai Daerah Sengketa antara Bima dan Goa. Humaniora. II: 16-22.
- Hasan dan Hasruddin Nur. (2019). Patuntung Sebagai Kepercayaan Masyarakat Kajang Dalam
(Ilalang Embayya) Di Kabupaten Bulukumba. Phinisi Integration Review. 2(2): 185-200.
- Muh. Rusli. (2012). Kearifan Lokal Masyarakat Towani Tolotang di Kabupaten Sidenren
Rappang. Jurnal Al-Ulum. 12(2): 477-496.
- Muhaeminah dan Makmur. (2015). Jejak Orang Melayu Sebagai Penyebar Agama Islam di
Kerajaan Gowa-Tallo. Jurnal Al-Qalam. 21(2): 375-386.
- Muhammad Amir. (2016). Andi Idjo Karaeng Lalolang: Pergumulan dalam Kemelut
Perjuangan Bangsa di Sulawesi Selatan 1945-1950. Walasuji. 7(1): 33-50.
- Nila Sastrawati. (2018). Sombayya ri Gowa: Studi atas Peraturan Daerah tentang Lembaga
Adat Daerah Kabupaten Gowa. Al-Daulah. 7 (2): 362-380.
- Russell, Denise. (2004). Aboriginal-Makassan interactions in the eighteenth and nineteenth
centuries in northern Australia and contemporary sea right claims. Australian Aboriginal Studies.
2004 (1): 3-17.
- Sahrul Habrianto S., M. Saleh Madjid, dan M. Rasyid Ridha. (2019). Ekspansi Kerajaan Gowa-
Tallo Ke Limae Ajatappareng Abad XVI. Jurnal Pattingalloang. 6(3): 16-28.
- Suriadi Mappangara. (2014). Perjanjian Tellumpoccoe Tahun 1582: Tindak-Balas Kerajaan
Gowa terhadap Persekutuan Tiga Kerajaan di Sulawesi Selatan. SOSIOHUMANIKA. 7(1): 43-54.
- Suryadi. (2008). Sepucuk surat dari seorang bangsawan Gowa di tanah pembuangan (Ceylon).
WACANA. 10(2): 213-244.
- Syamsul Bahri. (2016). Perjuangan Orang-orang Limbung dalam Mempertahankan
Kemerdekaan RI (1945-1949). Jurnal Pattingalloang. 3(2): 138-147.
- Tawalinuddin Haris. (2006). Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa. WACANA. 8(1): 17-31.
- Washilah Sahabudin dan Fadhil Surur. (2018). Akulturasi Budaya Pada Pola Permukiman
Tradisional di Kampung Gantarang Lalang Bata Kabupaten Kepulauan Selayar. Tata Loka. 20
(4): 373-383.
Artikel, Disertasi, Makalah, Skripsi, dan Tesis
- Adil Akbar. (2019). Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Beras di Sulawesi Selatan pada
Tahun 1946-1950 [tesis]. Makassar: Universitas Negeri Makassar.
- Arif Husain Usman. (2015). Hubungan I Manyambungi Di Kerajaan Balanipa Dengan
Tumappa'risi Kallona Dari Kerajaan Gowa Pada Abad XVI [skripsi]. Makassar: Universitas
Negeri Makassar.
- Bahri. (tanpa tahun). Pelestarian Makam Kuno Pulau Barrang Lompo: Upaya Merawat Ke-
Indonesiaan [artikel]. Makassar: Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan.
- Dewa Made Alit. (2017). Prahara di Kerajaan Gelgel: Studi Kasus Pemberontakan I Gusti
Agung Maruti terhadap Dalem Dimade Tahun 1651 [makalah]. Denpasar: IKIP PGRI Bali.
- Eka Damayanti. (2019). Masjid Tua Al Hilal Katangka sebagai Pusat Pengembangan Islam di
Gowa Abad XVIII [skripsi]. Makassar: Universitas Islam Negeri Alauddin.
- Muh. Anis. (2013). Islamisasi di Sinjai (Suatu Tinjauan Sejarah) [tesis]. Makassar: Universitas
Islam Negeri Alauddin.
- Muhammad Vibrant Anwar. (1996). Terbentuknya Kota Pelabuhan Makassar: Studi Kasus
Tonggak Awal Pembentukan Kota Makassar Pada Masa Kerajaan Gowa Tahun 1510-1653
[skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia.
- Mukhlis PaEni. (1975). Struktur Birokrasi Kerajaan Gowa Jaman Pemerintahan Sultan
Hasanuddin (1653-1669) [skripsi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
- Nolde, Lance. (2014). Changing Tides: A History of Power, Trade, and Transformation among
the Sama Bajo Sea Peoples of Eastern Indonesia in the Early Modern Period [disertasi].
Honolulu: University of Hawai’i at Manoa.
- Nurul Faizah Najamuddin. (2017). Kerajaan Tallo dalam Pusaran Kerajaan Gowa Abad XVI-
XVII [skripsi]. Makassar: Universitas Negeri Makassar.
- Rosdiana. (2019). Analisis Struktural Mitos Tujua ri Galesonga Kabupaten Takalar
(Strukturalisme Levi-Strauss) [skripsi]. Makassar: Universitas Negeri Makassar.
- Syarifuddin R. Gomang. (1993). The People of Alor and Their Alliances In Eastern Indonesia:
A Study In Political Sociology [tesis]. Wollongong: University of Wollongong.
- Vivi Rofiah. (2017). Hubungan Kerajaan Gowa Dengan Kerajaan Bima Abad Ke-XVII
[skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Anda mungkin juga menyukai