Anda di halaman 1dari 15

Keterlibatan Perempuan Berkarier Dalam Ranah Politik (Studi Kasus

Kegagalan Perempuan Dalam Pemilu Legislative 2014)


(Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah Sosiologi Seks & Gender)
Dosen Pengampu : Michael Jeffri Sinabutar

Disusun Oleh
Emelia Dwinta (5012111033)
Nadhiroh Ulumiyah (5012111054)
Sabna (5012111057)
Reysia Putri Maisahrani (5012111058)
Salsabila Tania (5012111060)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
2023
A. Pendahuluan
Semenjak adanya gerakan pejuang kesetaraan gender, saat ini kedudukan perempuan
dan laki-laki sudah sama, seperti di lingkup pendidikan sekarang perempuan sama dengan laki-
laki, perempuan sudah bebeas mengakses pendidikan hingga ke jenjang tertinggi sekalipun.
Tak hanya pendidikan sudah ada beberapa bidang yang di perjuangan selama ini mengalami
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini membuktikan bahwasanya Kesetaraan
gender merupakan hal yang berhasil diperjuangkan oleh setiap negara di dunia. Hal ini karena
kesetaraan gender tak hanya sebatas hak asasi manusia yang bersifat fundamental, namun juga
sebuah landasan yang dibutuhkan untuk menciptakan dunia yang sejahtera, damai, dan
berkelanjutan ( Hamdan, Oktavia, 2022).

Keberhasilan menyetarakan gender antar perempuan dan laki-laki di beberapa sektor di


atas tidak merambat ke rana politik dunia. Karena sampai saat ini, kedudukan perempuan dalam
politik bahkan tidak mencapai angka 50-50. Di Indonesia sendiri bahkan kesempatan
perempuan di rana politik hanya sebatas 30% dari 100%. Sebagaimana tertuang dalam
peraturan Undang-undang Pasal 65 ayat (1) UU No. 12/2003 untuk pertama kalinya
menerapkan kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam susunan daftar calon
anggota legislatif. Padahal keterwakilan perempuan dalam politik merupakan hal yang penting.
Keterlibatan perempuan dalam kekuasaannya berguna sebagai pemenuhan kepentingan
perempuan, perlindungan anak serta kepekaan politik terhadap lingkungan sosial . Selama ini
beberapa kebijakan dan juga pembangunan kurang memperhatikan perempuan. Padahal
perempuan merupakan mahluk yang rentan akan kekerasan baik fisik maupun seksual. Dengan
adanya partisipasi perempuan dalam rana pengambilan keputusan dan kekuasaan tentunya akan
mengurangi potensi kejahatan yang mengancam para perempuan. Selain itu kemampuan
perempuan melakukan pekerjaan multitasking, akan membuat kebijakan bekerja lebih efektif
dan efisien.

Namun sayangnya meskipun keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan


dinilai penting, faktanya Kesempatan perempuan untuk masuk ke dalam politik masih kecil
dan di sepele kan. Kecilnya kesempatan perempuan berpartisipasi dalam politik membuktikan
bahwa masih adanya ketidak setaraan anatara perempuan dan laki-laki. Dikarenakan bangku
yang di beri kepada perempuan bahkan tidak sampai pada angka 50%. Hal ini karena masih
adanya anggapan bahwa politik dan kekuasaan itu identik dengan maskulinitas sehingga sulit
bagi perempuan untuk melangkah ke ranah kekuasaan. Perempuan dinilai sosok yang feminim,
perasa, dan lemah sehingga tidak pantas masuk dalam dunia politik yang begitu keras.
Sehingga dinilai kurang cocok ketika mengambil suatu keputusan yang besar padahal
perempuan tidak perlu menjadi maskulin untuk bisa masuk ke rana politik dan kekuasaan,
karena yang harus berubah dan diubah adalah kekuasan itu sendiri bukan jati diri para
perempuan.

Adanya perspektif bahwa politik hanya untuk para maskulin membuat jumlah
keterlibatan perempuan dalam politik tidak terwakili dan tercerminkan secara proporsional dan
signifikan. Terutama dalam lembaga maupun sektor strategis pengambilan keputusan /
kebijakan serta pembuatan hukum formal. Selama ini fakta yang bisa kita lihat ketika
terlaksanakanya pemilihan umum (pemilu), masyarakat akan dominan memilih calon laki-laki
karena sudah tertanamnya kepercayaan bahwa seorang pemimpin identik dengan laki-laki,
masyarakat juga percaya bahwa laki-laki lah yang berhak mengambil keputusan, baik dalam
keluarga, maupun di tempat kerja. Sehingga pilihan calon perempuan politik masih sebagai
opsi kedua untuk menduduki posisi dalam politik (jabatan politik). Asumsi minimnya
masyarakat yang memilih calon perempuan dapat kita lihat dari data sejarah politik Indonesia.
Dimana sejak di lakukannya pemilu untuk pertama kalinya pada tahun 1995 (Siti dan sakaria,
2015). Asumsi-Asumsi ini merupakan bagian dari Budaya patriarki yang membuat kesempatan
perempuan terbatasi.

Bahkan keterlibatan perempuan dari tahun ketahuan mengalami penurunan padahal


jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam pemilihan umum mengalami peningkatan setiap
tahunya. Bisa kita lihat hasil pemilu legislatif pada tahun 2014 menunjukan bahwa perempuan
masih menduduki kursi kedua dalam kelembagaan formal yaitu kursi anggota DPRD. Hal ini
dapat dilihat dari angka keterwakilan perempuan yang menurun dari 18,2 persen pada tahun
2009 menjadi 17,3 persen di tahun 2014. Padahal, kandidat perempuan yang mencalonkan diri
dan masuk dalam pemilihan partai mengalami peningkatan dari 33,6 persen tahun 2009
menjadi 37 persen pada tahun 2014 (Siti dan Sakaria, 2015).

Karena inilah penelitian tertarik untuk menelaah lebih dalam mengenai asumsi-asumsi
patriarki yang membatasi kesempatan perempuan terutama dalam ranah politik. Karena
Meskipun perempuan sudah terlibat dalam perpolitikan di Indonesia saat ini, dengan cara turut
berpartisipasi dalam politik, namun hasilnya tidak begitu memuaskan.
B. Metode penelitian

A. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan penelitian kualitatif (Qualitatif Research).


Dengan mendefinisikan suatu masalah dan menekankan proses dan makna yang menyangkut
lebih dari sekedar masalah sebagai sarana untuk menggeneralisasikan penelitian dan
mengkomunikasikan data kualitatif, penelitian kualitatif menekankan pada pengetahuan yang
lebih mendalam mengenai suatu situasi. Membuat fakta dan fenomena mudah dipahami dan
memungkinkan model menghasilkan hipotesis baru adalah tujuan utama penelitian kualitatif
(Hennink, Hutter & Bailey, 2020; Sarmanu, 2017).

B. Jenis Penelitian

Melalui penggunaan pendekatan studi kasus, suatu teknik kualitatif yang melibatkan
pengumpulan data dari berbagai sumber untuk memeriksa suatu contoh kasus tertentu secara
lebih rinci. Menurut Creswell (2014) studi kasus adalah suatu strategi penelitian untuk
mengkaji sesuatu secara menyeluruh dengan mengumpulkan informasi yang komprehensif
dengan menggunakan berbagai teknik pengumpulan data. Studi kasus merupakan metode
utama yang digunakan dalam penelitian untuk menyampaikan pendapat subjek penelitian.
Studi kasus memberikan pembaca gambaran rinci tentang kasus apa yang ditemukan. Interaksi
antara peneliti dan subjek penelitian dapat ditunjukkan secara efektif melalui studi kasus.

C. Teknik Pengumpulan Data

Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Studi pustaka

Studi pustaka meliputi pencarian bahan atau informasi penelitian dengan


membaca jurnal ilmiah, buku referensi, dan publikasi di perpustakaan. Studi pustaka
dapat membantu peneliti untuk memberikan sumber bacaan dari jurnal dengan masalah
yang sedang diteliti.

2. Studi Literatur

Studi literatur merupakan kegiatan yang berkaitan dengan metode perpustakaan


dalam mengumpulkan informasi, membaca dan mencatat, serta mengelola bahan
penelitian. Studi literatur menelusuri tulisan tulisan yang berkaitan.
D. Teknik Analisis Data

Menurut Sugiyono (2019), analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan saat
pengumpulan data sedang berlangsung, kemudian setelah selesai pengumpulan data dalam
waktu yang telah ditentukan.

Hal ini dilakukan dengan mengkategorikan data, membaginya menjadi unit-unit yang
lebih kecil, mensintesisnya, dan menyusunnya menjadi pola-pola. Selain itu, teknik analisis
data melibatkan pemilihan informasi yang relevan untuk dipelajari dan menarik kesimpulan
yang mudah dipahami baik oleh diri sendiri maupun orang lain.

1. Pengumpulan Data

Tahapan ini meliputi pemindaian dokumen, pemasukan data dari sumber jurnal
yang berkaitan, atau pengklasifikasian dan pengorganisasian data menurut sumber
jurnal yang berkaitan.

2. Reduksi Data

Reduksi data merupakan suatu jenis analisis yang mengklasifikasikan,


mengarahkan, menghilangkan data yang tak perlu, dan menyusun data yang telah
direduksi.

3. Penyajian Data

Pada penelitian kualitatif, laporan dapat dibuat dengan mengorganisasikan dan


menyajikan data secara sistematis. Laporan disajikan secara analitis, logistik, deskriptif
yang mengarah pada kesimpulan. Pada tahap ini, data dari analisis harus ditafsirkan
oleh peneliti.

4. Penarikan Kesimpulan

Tahap verifikasi sekaligus kesimpulan, temuan awal bersifat sementara dan


dapat direvisi jika tidak ditemukan bukti substansial yang dapat mendukung
pengumpulan data selanjutnya. Dalam penelitian kualitatif, kesmipulan dapat
menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal.

C. Landasan Teori

Dalam penulisan paper ini dengan mengkaji permasalahan mengenai minimnya


keterlibatan perempuan di ranah politik, kami menggunakan teori feminism liberal. Feminisme
liberal ini muncul sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, namun baru pada abad ke-60
gerakan ini kelihatan menonjol. Tokoh aliran feminisme ini antara lain Margaret Fuller (1810-
1873), dan Susan Anthony (1820-1906) (Ashabul Fadhil, 2014). Secara garis besar, teori
feminisme liberal ini merupakan salah satu aliran dari feminisme itu sendiri yang mengandung
nilai-nilai kebebasan atau liberalism. Feminisme liberal ini merupakan teori yang menyatakan
bahwa perempuan adalah makhluk rasional yang sama atau setara dengan laki-laki
(Wollstonecaft 1792). Atau dengan kata lain bahwa feminisme liberal merupakan sebuah teori
yang dimana berusaha untuk memperjuangkan hak perempuan dalam proses pencapaian
kesamaan hak-hak yang legal secara sosial dan politik tanpa mengubah struktur dasar
masyarakat. Perkembangan ini kemudian disertai oleh banyaknya tokoh-tokoh feminisme
lainnya seperti Mary Wollstonecraft, Jhon Struart Mill dan Harriet Taylor, dan juga Betty
Friedan yang banyak sekali mengutarakan pendapatnya pada tulisan mereka masing-masing.
Aliran feminisme liberal ini menolak segala macam bentuk diskriminasi terhadap kaum
perempuan. Menurut Mary Wollstonecraft perempuan memiliki hak untuk memutuskan
keinginan nya sendiri, dimana perempuan juga memiliki hak yang sama dalam partisipasi di
ranah politik, sehingga tidak hanya didominasi oleh kaum patriarki saja, karena perempuan
merupakan agen rasional yang memiliki martabat dan mampu menentukan nasibnya sendiri.
Marry Wollstonecraft juga menulis mengenai kepemimpinan feminisme, yang dimana
liberalism ini diawali melalui kepemimpinan perempuan dengan memperhatikan cara pandang
perempuan, Yang dimana penekanannya terletak pada justifikasi terhadap subordinasi
perempuan serta posisi perempuan di ranah public. Dalam hal ini feminism liberal menekankan
perlunya reformasi kebijakan dan undang-undang yang dimana mampu mendukung kesetaraan
gender seperti hak pilih perempuan, akses yang setara terhadap partisipasi di ruang publik,
kesetaraan dalam pekerjaan dan pendidikan, serta perlindungan terhadap hak-hak reproduksi.
Dalam banyak masyarakat, keterlibatan perempuan dalam politik sering kali terbatas oleh
norma-norma sosial dan stereotip gender yang memang masih melekat, yang dimana memang
diakui oleh feminisme liberal sebagai sebuah hambatan yang perlu diatasi.

D. Tinjauan Pustaka
1. Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender adalah suatu kondisi adil untuk perempuan dan laki-laki melalui
proses budaya dan kebijakan yang menghilangkan hambatan-hambatan berperan bagi
perempuan dan laki-laki (Herien Puspitawati, 2013). Kesetaraan gender juga dapat diartikan
sebagai sebuah prinsip yang menuntut pemberian mengenai hak, tanggungjawab, serta peluang
yang sama kepada semua individu, tanpa memandang jenis kelamin mereka. Dalam hal ini
menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki seharusnya memiliki akses yang setara dalam
berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan, serta
keaktifan dalam berpartisipasi di ruang publik terutama dalam ranah politik. Pada dasarnya
implementasi kesetaraan gender bukan hanya tentang memberikan hak yang sama antar kedua
belah pihak saja, namun juga mengatasi ketidaksetaraan structural dan normative yang dimana
dapat menghambat perempuan dalam mencapai potensi yang ada pada diri mereka. Hal ini
nyata nya tak lepas dari perubahan norma sosial, budaya dan kebijakan yang mendukung peran
aktif perempuan dalam semua aspek kehidupan.

2. Stereotip Gender

Stereotip gender merujuk pada sebuah pandangan umum yang dimana menggambarkan
sebuah ketidakadilan yang diterapkan pada individu berdasarkan jenis kelamin mereka.
Stereotip gender nyata nya dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap peran, sifat,
serta kemampuan yang dianggap cocok atau sesuai untuk laki-laki maupun perempuan.
Misalnya dapat kita artikan bahwa adanya stereotip gender yang mungkin mengganggap bahwa
laki-laki lebih kuat dan rasional, sementara itu perempuan lebih cenderung lembut dan
emosional. Stereotip gender dapat muncul dalam berbagai konteks, termasuk di rumah tangga,
tempat kerja, media massa dan dalam ruang public. Dimana mereka cenderung membentuk
sebuah norma-norma sosial yang dimana dapat membatasi pilihan dan peluang individu
berdasarkan jenis kelamin mereka.

3. Struktur Politik

Struktur politik merujuk pada sebuah kumpulan organisasi dan hubungan kekuasaan di
dalam sebuah entitas politik, seperti negara atau pemerintahan. Konsep ini mencakup berbagai
elemen, termasuk lembaga-lembaga pemerintahan, system politik, proses pengambilan
keputusan, dan distribusi kekuasaan. Dalam konteks ini, struktur politik membentuk sebuah
kerangka kerja untuk bagaimana keputusan politik dibuat, diimplementasikan, dan diawasi.
Sistem politik juga merujuk pada cara kekuasaan politik didistribusikan dan dijalankan dalam
suatu negara. Sistem demokrasi yang dimana mendasarkan kekuasaan pada partisipasi raykat,
sementara system otoriter cenderung menempatkan kekuasaan pada individua tau kelompok
kecil. Struktur politik nyata nya harus mengedepankan berbagai partisipasi disemua kalangan
masyarakat, terutama keterwakilan partisipasi politik yang didasarkan pada jenis kelamin.
Sehingga nantinya struktur politik yang ada dapat mencerminkan kesetaraan gender, karena
tidak menutup kemungkinan bahwa semua kalangan dapat ikut serta aktif dalam ranah politik

Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan upaya para peneliti untuk mencari perbandingan dan
menghasilkan ide-ide baru untuk penelitian lebih lanjut. Penelitian terdahulu ini membantu
peneliti dalam menunjukkan orisinalitas temuan mereka. Pada penelitian terdahulu ini peneliti
melampirkan sejumlah penelitian terdahulu yang dirasa relevan terkait dengan penelitian yang
hendak dilakukan, kemudian membuat ringkasan mengenai penelitian terdahulu tersebut.
Berikut beberapa penelitian terdahulu tersebut yaitu:

Penelitian terdahulu tentang jurnal pertama yang dilakukan oleh Kiftiyah, A. (2019)
dalam penelitiannya yang berjudul "Perempuan dalam Partisipasi Politik di Indonesia". Hasil
penelitiannya adalah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017, Indonesia telah memfasilitasi partisipasi perempuan dalam
politik. Namun kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya partisipasi perempuan dalam
politik sebagai legislator belum dilaksanakan secara maksimal. Hal ini terjadi karena laki-laki
yang tertarik pada politik nasional melakukan diskriminasi terhadap perempuan berdasarkan
latar belakang agama dan budaya.

Penelitian terdahulu tentang jurnal kedua yang dilakukan oleh Hasanah, U., &
Musyafak, N. (2017) dalam penelitiannya yang berjudul "Gender and politics: Keterlibatan
Perempuan dalam Pembangunan Politik". Hasil penelitiannya adalah gender sebagai proses
"konstruksi sosial" di masyarakat. Penciptaan kerangka konseptual dan budaya linguistik
dikenal sebagai konstruksi sosial. Lalu, terdapat peran yang dapat dimainkan oleh laki-laki dan
perempuan dalam upaya mengungkapkan gender dalam pertumbuhan; peran tidak harus sama.

Penelitian terdahulu tentang jurnal ketiga yang dilakukan oleh Nimrah, S., & Sakaria,
S. (2015) dalam penelitiannya yang berjudul "Perempuan dan Budaya Patriarki dalam Politik:
Studi Kasus Kegagalan Caleg Perempuan dalam Pemilu Legislatif 2014". Hasil penelitiannya
adalah pola pemilihan laki-laki dan perempuan untuk menduduki jabatan legislatif dipengaruhi
oleh sejumlah faktor. Budaya ‘patriarkal’ adalah faktor utama. Partai politik adalah faktor
kedua. Ketiga, media khususnya. Persoalan keempat adalah kurangnya jaringan antar partai
politik, LSM, dan organisasi massa untuk mendorong keterwakilan perempuan. Hal inilah yang
menjadi alasan mengapa masyarakat secara konsisten meyakini bahwa perempuan adalah
bagian dari rumah tangga dan bahwa politik adalah wilayah laki-laki, sehingga melanggengkan
anggapan bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki.

E. Pembahasan
1. Kendala yang dihadapi perempuan sehingga minimnya keterlibatan dalam
politik.

Keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia merupakan cerminan


pembangunan bangsa menuju negara demokrasi, dimana keterwakilan dan partisipasi yang
setara merupakan prasyarat yang sangat penting. Dapat dikatakan juga bahwa ide-ide dasar
demokrasi, yang dimana hal ini berkaitan dengan gagasan partisipasi politik, yang juga
mencakup keterlibatan perempuan. Oleh karena itu, pertimbangan keterwakilan perempuan
harus diberikan pada kegiatan politik yang melibatkan keterlibatan masyarakat (pemilu,
bergabung dengan partai politik, duduk di legislatif, dan lain sebagainya). Pentingnya
keterlibatan perempuan dalam politik saat ini ditentukan oleh sejumlah faktor, antara lain
perlunya pembuatan kebijakan publik yang lebih feminis dan adanya persamaan hak dan
kewajiban antara laki-laki dan perempuan di bidang politik. Namun sederhananya, kemajuan
perempuan di sektor publik dan produksi terhambat oleh penempatan mereka yang terus-
menerus pada peran domestik dan reproduktif. Hal ini merupakan hasil rekayasa budaya dan
adat istiadat yang sudah lama ada yang memberikan label atau stereotip tertentu kepada
perempuan. Oleh karena itu, sulit bagi perempuan untuk memasuki dunia politik.
Maka dari itu, ketika pemerintah menerapkan kebijakan kuota gender 30%
keterwakilan perempuan dalam susunan daftar calon anggota legislatif. Secara tidak langsung,
pemerintah menciptakan lebih banyak ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam
politik, terutama dalam hal menentang kebiasaan pemilu di Indonesia. Meskipun partisipasi
perempuan dalam pemilu legislatif meningkat akibat kebijakan kuota tersebut, namun amanat
terhadap keterwakilan perempuan belum sepenuhnya terealisasi. Meskipun saat ini banyak
hak-hak politik perempuan yang diakui, namun hal ini tidak menjamin bahwa hak-hak
perempuan untuk terlibat dalam politik telah dilaksanakan dengan cara yang tepat (Kiftiyah,
Anifatul. 2019:7). Khofifah (2002) menyatakan bahwa, ada sejumlah faktor yang
mempengaruhi pemilihan laki-laki dan perempuan menjadi anggota legislatif. Sehingga pada
akhirnya, minimnya keterlibatan perempuan yang berkarir pada partai politik. Faktor pertama
berkaitan dengan konteks budaya Indonesia yang masih bersifat patriarki. Prosedur seleksi
yang dilakukan partai politik menjadi subyek dari faktor kedua. Ketiga, terhubung dengan
media, yang berperan penting dalam membentuk persepsi masyarakat mengenai pentingnya
keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Keempat, tidak ada jaringan organisasi massa,
organisasi non-pemerintah, atau partai politik tingkat menengah yang mendorong keterwakilan
perempuan.
Faktor di atas menyatakan kebenaran mengenai keterlibatan perempuan dalam politik.
Keyakinan yang berlaku dalam budaya patriarki adalah bahwa perempuan harus menjalankan
tugas rumah tangganya dan tidak boleh bekerja di luar rumah, sehingga hal ini secara signifikan
menghambat kemajuan politisi perempuan. Bukan hanya itu, faktor internal perempuan juga
sangat mempengaruhi, yang dimana perempuan masih memiliki motivasi diri yang rendah,
sedikit keinginan untuk maju, pola pikir yang bisa menerima dan tunduk pada keadaan, serta
perasaan rendah diri, tidak berdaya, dan mandiri. Pergerakan perempuan juga dibatasi oleh
pengukuran objektif terhadap sumber daya manusia, seperti kurangnya pengetahuan dan
pendidikan. Rendahnya status kesehatan perempuan, terbatasnya wawasan, dan rendahnya
tingkat keterampilan sebagian perempuan di berbagai bidang. Selain itu, arena politik dianggap
sebagai wilayah laki-laki. Terkait partai politik, banyak pula partai politik yang hanya
membolehkan perempuan bergabung untuk memenuhi syarat 30% keterwakilan perempuan.
Apa yang kita sukai dari media? Apa yang kita saksikan sejauh ini hanya menyoroti betapa
sulitnya politik. Namun yang terakhir adalah tidak ada lembaga atau organisasi yang ada untuk
membantu perempuan.
Kendala tersulit yang dihadapi perempuan untuk berani memasuki dunia politik adalah
rekan-rekan sesama perempuan, mengingat latar belakang politik lokal mereka yang beragam,
tingkat eksklusi sosial dari budaya patriarki yang sudah mendarah daging, tingkat pendidikan,
kesadaran akan pentingnya suara mereka terwakili secara adil, dan filosofi politik. Secara
khusus, menghilangkan kesalahpahaman atau keraguan pada mereka sendiri yang menganggap
bahwa politik itu kotor dan mengerikan bagi perempuan. Untuk memperjuangkan perbaikan
dan perubahan nasib perempuan Indonesia, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan politik dalam perspektif perempuan. Oleh karena itu, bisa mengkritik pandangan
umum/maskulin yang memandang politik sebagai sarana konsolidasi kekuasaan, bukan sarana
perbaikan keadaan di Indonesia. Perempuan seharusnya mempunyai hak yang sama dengan
laki-laki karena mereka sama-sama makhluk rasional dan mempunyai kemampuan yang sama.
Kebijakan negara yang bias gender menjadi sumber permasalahannya. Akibatnya, pada abad
ke-18 dan ke-19, terdapat banyak seruan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama
dengan laki-laki, dan organisasi perempuan mulai bermunculan pada abad ke-20 untuk
memerangi diskriminasi seksual di bidang sosial, politik, dan ekonomi (seperti di tempat kerja).
Laki-laki dan perempuan mempunyai budaya patriarki yang berbeda, sehingga
menimbulkan pembagian kerja sosial dalam masyarakat. Durkheim berpendapat bahwa
pembagian kerja dimulai dari perubahan individu yang dibawa oleh sosialisasi dan diserap oleh
orang-orang di lingkungan tempat manusia dibesarkan. Hal ini menimbulkan label atau
stereotip yang menggambarkan laki-laki sebagai sosok yang mandiri, kompetitif, agresif,
terdepan, kuat, percaya diri, inovatif, disiplin, dan tenang. Sebaliknya, perempuan
mengandalkan naluri dan bersifat bergantung, pasif, lembut, dan tidak kompetitif. Dukungan
kuat terhadap budaya patriarki diberikan oleh tatanan sosial politik yang tertata rapi. Akibatnya
perempuan tidak mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan diri setara dengan laki-
laki (Abbas, 2006). Karena politik diartikan sebagai sarana untuk mengekspresikan tuntutan
dan kepentingan perempuan mengenai kesetaraan dan keadilan untuk mendapatkan perlakuan
yang sama di hadapan hukum, politik, negara, dan masyarakat, maka politik mempunyai arti
yang sangat penting bagi perempuan. Kesetaraan gender dalam politik mengakui bahwa
perempuan harus memainkan peran dan posisi yang sama dengan laki-laki. Oleh karena itu,
terlepas dari segala hambatan dan kesulitan yang masih mereka hadapi, perempuan seharusnya
masih tetap bersemangat untuk terlibat dalam politik saat ini. Karena setiap orang mempunyai
hak untuk berpartisipasi dalam politik (Muslimat, 2020).
Saat ini, di Indonesia, istilah “partisipasi politik” lebih sering digunakan untuk
menggambarkan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan keputusan yang diambil oleh
pemerintah dan elit politik. Itulah yang menghasilkan suara-suara masyarakat yang percaya
bahwa perempuan selalu berada di urutan kedua setelah laki-laki, perempuan tidak diberikan
rasa hormat yang layak mereka dapatkan (Nimrah dan sakaria, 2015). Padahal, sejak UUD
1945 diundangkan pada 17 Agustus 1945, telah menjamin persamaan kedudukan antara laki-
laki dan perempuan, khususnya di bidang pemerintahan dan hukum. Hal ini selengkapnya
tertuang dalam pasal 27 ayat 1 : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”. Maka dari itu, sebagai perempuan perlunya keterwakilan aktif dalam bidang
politik. Karena merupakan salah satu cara agar kekuatan politik perempuan diakui adalah
melalui keterwakilan aktif mereka di lembaga legislatif. Realitas keterlibatan perempuan
didasarkan pada kontribusinya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan serta
keterlibatannya dalam pengambilan keputusan.
2. Persepsi Masyarakat tentang Keterlibatan Perempuan dalam Berkarier di Ranah
Politik

Di Indonesia dan di Negara-negara berkembang secara umum dapat dikatakan bahwa


keterlibatan perempuan dalam memasuki dunia politik itu terlambat. Hal ini disebabkan masih
luasnya stigma yang mengasosiasikan perempuan dengan ranah rumah tangga, sehingga masih
sangat sedikit perempuan yang terjun ke dunia politik. Sementara itu, arena politik dianggap
berkaitan erat dengan dunia yang keras, kompetitif, dan rasional yang lebih mengutamakan
akal sehat dibandingkan emosi yang dianggap sebuah ciri yang umumnya diasosiasikan dengan
laki-laki. Perempuan secara alamiah dianggap dan dipandang mempunyai peran kedua setelah
laki-laki. Dimana perempuan dianggap memiliki sifat yang menghakimi secara terang-
terangan, bertindak seperti warga negara kelas dua dan menyebarkan konsumerisme dan
hedonisme di bawah kendali kapitalisme. Kesan bahwa perempuan adalah makhluk Lemah
memunculkan persepsi bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang tidak pantas terlibat
konflik dengan dialektika politik yang penuh dengan kekerasan dan kekuasaan. Perempuan
dipandang tidak mampu memimpin dan menerapkan hukum yang tegas karena orang tua yang
membesarkan mereka sebagai makhluk emosional dan perasa, yang berarti mereka tidak
mampu mengambil keputusan atau memanfaatkan emosi untuk mempertimbangkan
pengambilan keputusan (Putra, 2012:99 dalam Nimrah dan Sakaria, 2015).

Anggapan-anggapan seperti inilah yang menghambat perempuan untuk berpartisipasi


banyak dalam ranah politik. Namun sebenarnya kontribusi nyata perempuan terhadap
pembangunan negara merupakan hal yang penting dan isu menarik. Meski begitu, mayoritas
perencanaan pembangunan tetap mengabaikan perempuan, meski jumlah mereka adalah
separuh dari populasi. Faktanya, perempuan merupakan kelompok sumber daya manusia
(SDM) terbesar dan memberikan kontribusi terhadap perekonomian setara dengan laki-laki.
Persepsi bahwa perempuan paling cocok menjadi ibu rumah tangga dan tidak berpartisipasi
dalam kehidupan publik, apalagi berperan sebagai pemain politik, merupakan elemen penting
lainnya yang memengaruhi sistem politik. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
Khofifah Indar Parawansa, bahwa di negara yang patriarki seperti Indonesia, peluang
perempuan untuk terjun ke dunia politik umumnya terbatas karena pandangan masyarakat
terhadap pembagian peran antara laki-laki dan perempuan cenderung bias terhadap pembatasan
perempuan dalam urusan rumah tangga.
Selama kemerdekaan Indonesia, status, peran, dan aktivitas perempuan Indonesia di
ruang publik terkadang mengalami peningkatan. Namun demikian, baik dalam pembuatan
undang-undang formal maupun dalam sektor-sektor penting dalam pengambilan keputusan
atau pengambilan kebijakan, jumlah ini tidak terwakili atau tercermin dengan baik. Setidaknya,
keterwakilan perempuan yang memadai dapat mendukung, menyeimbangkan, dan
meningkatkan visi, tujuan, dan operasionalisasi Indonesia yang semuanya objektif, simpatik,
dan berkeadilan gender atau dengan kata lain tidak memihak salah satu gender dibandingkan
gender lainnya. Hal ini dibuktikan dimana sejak awal kemerdekaan, proporsi anggota
perempuan dari DPR pusat tidak pernah melebihi 13 persen (1987-1992); saat ini baru sekitar
sembilan persen, sedangkan persentase di daerah hanya sekitar tiga persen (Nimrah dan
Sakaria, 2015).

Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi dalam


politik dan harus mampu bersaing dengan laki-laki dan menawarkan solusi inovatif yang
memajukan emansipasi perempuan (Adi, et al., 2022). Kesempatan bagi perempuan untuk
berpolitik telah diberikan, namun diantara mereka yang telah melakukannya, masih saja banyak
yang menghadapi hambatan dan kesulitan. Hal ini dikarenakan masih adanya ironi dari
kebijakan afirmatif yang ada di Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pertama
perempuan sebagai anggota parlemen saat ini memiliki jaringan modal sosial yang memadai
namun minim modal politik. Ironi yang kedua adalah perbedaan pemahaman masyarakat yang
berjuang di akar rumput dan mereka yang berjuang di ranah politik (parpol dan parlemen)
terhadap politik yang “tidak berhubungan “ satu sama lain.

Kehadiran perempuan dalam dunia politik tentunya menjadi topik yang banyak
diperbincangkan oleh para analis politik. Dibandingkan negara lain, perempuan di Indonesia
dikatakan memiliki peran yang lebih maju di bidang ekonomi dan bidang lainnya. Namun
perempuan Indonesia masih belum bisa berpartisipasi penuh dalam kehidupan politik karena
hambatan budaya. Keterlibatan perempuan dalam politik terbatas pada gerakan-gerakan
tertentu. Tapi banyak perempuan yang memasuki dunia politik tidak menyadari akan hal ini.

2. Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa keterlibatan perempuan dalam


politik di Indonesia masih terkendala oleh sejumlah faktor. Kendala tersebut antara lain berasal
dari budaya patriarki yang menghasilkan label dan stereotip terhadap perempuan, penempatan
perempuan pada peran domestik dan reproduktif, serta faktor internal perempuan seperti
motivasi diri yang rendah. Meskipun pemerintah telah menerapkan kebijakan kuota gender
untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik, namun masih ada hambatan dan
amanat terhadap keterwakilan perempuan yang belum sepenuhnya terwujud. Persepsi
masyarakat yang mengasosiasikan perempuan dengan ranah rumah tangga dan pandangan
bahwa politik adalah wilayah laki-laki juga menjadi hambatan dalam keterlibatan perempuan
dalam politik. Meskipun telah ada perubahan seiring berjalannya waktu, stigma dan persepsi
tersebut masih menghambat perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan politik di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas. 2006. Idealisme perempuan indonesia dan amerika. Makassar: Eramedia

Adi, J., Razak, F. S. H., & Kurniawan, H. (2022). Persepsi Masyarakat Terhadap Perempuan
di Ranah Politik Lokal Kabupaten Bulukumba. Kolaborasi: Jurnal Administrasi
Publik, 8(1), 122-137.

Afif, N., Ubaidillah, A., & Sulhan, M. (2020). Konsep Kesetaraan Gender Perspektif Fatima
Mernissi dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam. IQ (Ilmu Al-qur'an): Jurnal
Pendidikan Islam, 3(02), 229-242.

Fadli, A. (2014). Tinjauan Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik Perspektif Feminisme.


Jurnal Islam dan Demokrasi, 1(4).

Fadli, M. R. (2021). Memahami desain metode penelitian kualitatif. Humanika, Kajian Ilmiah
Mata Kuliah Umum, 21(1), 33-54.

Hasanah, U., & Musyafak, N. (2017). Gender and politics: Keterlibatan perempuan dalam
pembangunan politik. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 12(3), 409-432.

Kiftiyah, A. (2019). Perempuan dalam partisipasi politik di Indonesia. Yinyang: Jurnal Studi
Islam Gender dan Anak, 14(1), 1-13.

Muslimat, Ade. 2020. Rendahnya Partisipasi Wanita Di Bidang Politik. Jurnal Studi Gender
dan Anak. Vol. 7 No. 2.

Nimrah, S., & Sakaria, S. (2015). Perempuan dan budaya patriarki dalam politik: Studi kasus
kegagalan caleg perempuan dalam pemilu legislatif 2014. The Politics: Jurnal Magister
Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 1(2), 173-181.

Oktavia W. K ,& Hamdan N. R, (2022) Upaya Korea Women’s Assosiation United Dalam
Memperjuangkan Kesetaraan Gender di Ranah Politik Korea Selatan: Jurnal Ilmu
Sosial, Politik dan Humaniora.

Parawansa, Khofifah Indah. 2002. Hambatan Terhadap Partisipasi Politik Perempuan di


Indonesia. IDEA International Publications.

Anda mungkin juga menyukai