Anda di halaman 1dari 33

JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies

Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta


Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PANDANGAN THABATHABA’I TENTANG IMPLIKASI POTENSI


MANUSIA TERHADAP MISI FUNGSIONALNYA

Ahmad Zakiy
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Majene
ahmadzakiy84@gmail.com

Rijal Ali
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
alithalib444@gmail.com
DOI: 10.37252/jqs.v3i2.564

Abstract: The sophistication of science and technology nowadays has


not really been able to answer the question of the origins of human
events. One way to fill this gap is to explore the verses of the Koran
related to creation. These verses have philosophical content, so they
need to be studied with a philosophical approach in order to gain a
comprehensive and in-depth understanding, as was done by
Muhammad Husein Thabathaba'i. Therefore, this research aims to
explain two things, namely (1) how Thabathabai interprets the QS. al-
Baqarah [2]: 30 and QS. al-Ahzab [33]: 72 (2) what is Tabathaba'i's view
of the concept of human creation. There are two data sources used in
this research. The primary data source was taken from Tafsir al-Mizan
by Thabathaba'i, while other literature, such as books and journal
articles were used as secondary sources. Using descriptive analytical
methods, the author first explains Thabathaba'i's interpretation of the
QS. al-Baqarah [2]: 30 and QS. al-Ahzab [33]: 72. The results of this
interpretation were then analyzed to see Thabataba'i's views and
understanding of human potential and its implications for the
functional mission of human creation. This research concludes that the
election of humans as caliphs and holders of the mandate of al-amanah
from Allah SWT. because of the potential within him. This potential is
also what differentiates humans from other creatures such as angels,
mountains, earth and sky. This mandate is worship in the form of a
servant's presence before Allah, rabb al-'alamin, with complete humility
and devotion to Him, as well as complete need for God, the Owner of
absolute glory.

Keyword: human potential; functional missions; khalifah; amanah;


Thabathaba’i.

Abstrak: Kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi di zaman


sekarang ternyata belum benar-benar mampu menjawab mengenai
persoalan asal usul kejadian manusia. Salah satu cara untuk mengisi
kekosongan tersebut adalah dengan menggali ayat-ayat Al-Qur’an yang
berkaitan dengan penciptaan. Ayat-ayat tersebut memiliki muatan

21
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
yang filosofis, sehingga perlu dikaji dengan pendekatan filosofis agar
mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan mendalam,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Muhammad Husein
Thabathaba’i. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menjelaskan
dua hal, yaitu (1) bagaimana penafsiran Thabathabai terhadap QS. al-
Baqarah [2]: 30 dan QS. al-Ahzab [33]: 72 (2) bagaimana pandangan
Thabathaba’i tentang konsep penciptaan manusia.Ada dua sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini. Sumber data primer diambil
dari Tafsir al-Mizan karya Thabathaba’i, sedangkan literatur lainnya,
seperti buku dan artikel jurnal dijadikan sebagai sumber sekunder.
Dengan menggunakan metode deskriptif analitis, penulis terlebih
dahulu memaparkan penafsiran Thabathaba’i terhadap QS. al-Baqarah
[2]: 30 danQS. al-Ahzab [33]: 72. Hasil penafsiran tersebut kemudian
dianalisis untuk melihat bagaimana pandangan dan pemahaman
Thabathaba’i mengenai potensi manusia dan implikasinya terhadap
misi fungsional penciptaan manusia. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa pemilihan manusia sebagai khalifah dan pemegang mandat al-
amanah dari Allah Swt. dikarenakan keberadaan potensi dalam dirinya.
Potensi ini pula lah yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya seperti malaikat, gunung, bumi, dan langit. Adapun mandat
tersebut merupakan ibadah yang berupa kehadiran hamba di hadapan
Allah, rabb al-‘alamin, dengan penuh kerendahan diri dan
penghambaan kepada-Nya, serta kebutuhan sepenuhnya kepada
Tuhan Pemilik kemuliaan mutlak.

Kata Kunci: potensi manusia, misi fungsional, khalifah, amanah,


Thabathaba’i.

1. Pendahuluan

Perkembangan sains dan teknologi di Barat belum benar-benar bisa


menjawab mengenai persoalan eksistensi manusia.Para pemikir Barat
modern kiranya masih berkutat pada tahap pembahasan teori evolusi
Darwin dan teori-teori lain tentang asal usul kejadian manusia secara
biologis(Othman et al., 2018). Hal ini dapat dipahami karena konsep
penciptaan manusia dalam perspektif sains Barat menitikberatkan pada
empirisme sehingga meniadakan unsur Sang Pencipta dalam proses
pembahasan manusia (Kurniawati & Bakhtiar, 2018). Sementara itu, di sisi
lain, pembahasan mengenai eksistensi manusia dalam aspek metafisika,
seperti tujuan dan misi diciptakannya manusia di muka bumi ini, masih
belum banyak tersentuh oleh para saintis. Dalam hal ini, agama dan

22
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
filsafat mengambil bagian untuk melengkapi kekosongan tersebut. Dari
keduanya, lahir beberapa pemikiran mengenai tujuan dan misi penciptaan
manusia, meskipun tak jarang kesimpulan yang dihasilkan berbeda
karena perbedaan prosedur dan metode masing-masing.

Perbedaan jalan yang ditempuh oleh agama dan filsafat menghasilkan


perbedaan produk pemikiran. Selama ini kajian mengenai tujuan
penciptaan manusia terpisah satu sama lain, seakan-akan ada tembok
dikotomi di antara keduanya, sehingga kajian yang dihasilkan belum
benar-benar maksimal. Berdasarkan penelusuran penulis, setidaknya
tedapat tiga pola kajian mengenai eksistensi manusia yang dapat
dipetakan. Pertama, kajian yang menggunakan filsafat sebagai objek
formalnya (Hambali & Asiah, 2011; Hamdi et al., 2022; Hayati, 2021;
Helmi, 2018). Kedua, pandangan Al-Qur’an terhadap manusia (Gaffar,
2016; Islamiyah, 2020; Kristi et al., 2022). Ketiga, kajian komparasi antara
perspektif agama dan filsafat mengenai eksistensi manusia (Haromaini,
2019). Dari ketiga kecenderungan di atas, kajian mengenai manusia
berjalan sendiri-sendiri. Meskipun ada penelitian tertentu yang mencoba
membawa filsafat dan agama beriringan dalam kajian mengenai eksistensi
manusia, namun belum ada yang mencoba memadukan antara keduanya
sebagai sintesis, sebagaimana yang dilakukan oleh Thabathaba’i.

Penelitian ini berangkat dari sebuah hipotesis bahwa agama dan


filsafat merupakan dua perspektif utama dalam diskursus penciptaan
manusia yang jika keduanya dipadukan menjadi sebuah sintesis akan
menghasilkan sesuatu yang menarik sekaligus meruntuhkan tembok
dikotomi yang selama ini berdiri kokoh memisahkan keduanya. Perpaduan
keduanya dapat dijumpai dalam Tafsir al-Mizan yang ditulis oleh
Thabathaba’i, seorang pemikir muslim yang memiliki kapasitas keilmuan
filsafat. Pembahasan potensi dan misi fungsional manusia yang
merupakan wilayah kajian agama dan filsafat akan menarik jika ditilik dari
perspektif Thabathaba’i dalam karyanya, Tafsir al-Mizan. Oleh karena itu,

23
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
keterangan Al-Qur’an mengenai penciptaan manusia perlu dikaji dengan
pendekatan filosofis agar mendapatkan pemahaman yang komprehensif
dan mendalam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Muhammad
Husein Thabathaba’i. Dalam upaya untuk memadukan keduanya,
Thabathaba’i tidak hanya bersandar pada riwayat, akan tetapi juga
menggunakan rasionalitas dengan pendekatan filosofis untuk memahami
makna suatu ayat. Dengan demikian, eksistensi manusia tidak lagi
dipahami secara terpisah antara agama filsafat, melainkan dapat dipahami
juga dalam konteks sintesis antara keduanya.

Tulisan ini bertujuan untuk melengkapi kekurangan studi


sebelumnya dengan mengangkat satu perspektif baru yang tidak hanya
mampu menjelaskan antara filsafat dan agama secara bersamaan, akan
tetapi dapat memadukan antara keduanya menjadi satu sintesis baru
mengenai eksistensi manusia. Dikarenakan luasnya kajian hal tersebut,
penulis hanya berfokus pada pembahasan tentang potensi dan tujuan
diciptakannya manusia dengan menggunakan penafsiran Thabathaba’i
sebagai objek formal penelitian. Sejalan dengan itu, rumusan masalah
dalam penelitian ini diuraikan dalam dua problem. Pertama, bagaimana
penafsiran Thabathabai terhadap QS. al-Baqarah [2]: 30 dan QS. al-Ahzab
[33]: 72. Bentuk penafsiran ini menjadi rujukan dalam memberikan
jawaban terhadap problem kedua, yaitu pandangan Thabathaba’i
mengenai potensi manusia dan implikasinya terhadap misi fungsional
penciptaan manusia.

Untuk proses pembuktian hipotesis tersebut, penulis menggunakan


metode kualitatif dengan jenis penelitian studi pustaka. Sumber data yang
digunakan terbagi menjadi dua, primer dan sekunder. Sumber primer
diperoleh dari Tafsiral-Mizan karya Thabathaba’i, sedangkan sumber
sekunder diperoleh dari hasil penelitian, artikel, buku, dan jenis literature
lainnya yangberkaitan dengan objek yang dikaji. Pengumpulan data
dilakukan dengam tiga tahapan, yakni pengumpulan data, reduksi data,

24
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
dan tampilan data. Pengumpulan data merujuk kepada penafsiran
Thabathaba’i terhadap QS. al-Baqarah [2]: 30 dan QS. al-Ahzab [33]: 72.
Dalam proses tampilan data, penulis mereduksi data yang diperoleh
dengan cara content analysis sebagai proses menampilkan data yang
langsung berhubungan dengan tujuan penelitian ini.

2. Hasil Penelitian
2.1 Perjalanan intelektual: Thabathaba’i dan Tafsir al-Mizan

Allamah Muhammad Husain Thabathaba’i lahir pada tanggal 29


Dzulhijjah 1321 H/ 1892 M, dengan nama Sayyid Muhammad Husain Ibn
Sayyid Muhammad Ibn Mirza Ali Asygar Thabathaba’i al-Tabrizi al-Qadhi
di desa Shadegan, provinsi Tabriz dalam satu keluarga Sayyid, keturunan
Nabi Muhammad saw. dari jalur Ja’far Shadiq (Kurniawan & Khairunnisa,
2021). Gelar al-‘Allamah yang disandang pada namanya berarti seseorang
yang sangat dalam pengetahuannya. Gelar tersebut disematkan padanya
oleh para cendekiawan dan masyarakat umum pada zamannya.
Thabathaba’i lahir dan berkembang dalam lingkungan yang religius.
Sebelum ayahnya wafat, Thabathaba’i memperoleh pendidikan langsung
dari ayah dan keluarganya. Namun setelah ayahnya wafat, Ia dididik oleh
guru privat yang datang ke rumah untuk mengajar bahasa Parsi dan ilmu-
ilmu dasar keislaman (Husti, 2017). Thabathaba’i melanjutkan Studi
tentang Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman di kota Tabriz. Selama 7 tahun
Thabathaba’i belajar bahasa Arab dan mengkaji ilmu-ilmu pokok ajaran
Islam serta teks-teks klasik Islam. Setelah selesai tingkat pelajaran awal
pada tahun 1344 H Ia hijrah ke Hauzah, Najf untuk melanjutkan
pendidikannya. Di sana terdapat banyak ulama-ulama paling menonjol
bukan saja di bidang yurispendensi Syi’ah dan prinsip-prinsip dasar
yurispendensi atau usul al-fiqh, namun juga dalam studi-studi Islam yang
lain.

25
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada tahun 1314 H/ 1934 M, Allamah Thabathaba’i kembali ke Tibriz
dan tinggal di kota itu selama beberapa tahun dan mengajar di banyak
sekolah. Di kota ini, selain mengajar, Ia juga melakukan aktifitas dalam
bidang pertanian. Dalam masa ini, Thabathaba’i merasakan bahwa Ia
berada dalam keadaan kekeringan ruhani yang disebabkan waktunya
banyak tersita untuk melakukan kegiatan-kegiatan pertanian sehingga
tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan perenungan-
perenungan dan terlibat dalam kehidupan keilmuan. Kemudian pada
Perang Dunia II ketika banyak penduduk bermigrasi ke Iran, Thabathaba’i
pindah dari kota Tibriz ke kota Qum pada tahun 1945. Di Qum,
Thabathaba’i kembali menemukan dunia keilmuannya karena pada saat
itu kota Qum menjadi pusat keagamaan di Iran. Dengan gayanya yang
tidak banyak bicara dan sederhana, Thabathaba’i mulai mengajar di kota
ini dengan menitikberatkan pengajarannya pada tafsir Al-Qur’an dan
filsafat serta teosofi Islam tradisional (Otta, 2018).

Ketika Marxisme menjadi idola sebagian kalangan muda di Teheran


pada sekitar awal abad ke-20, Thabathaba’i adalah satu-satunya ulama
yang berusaha dengan sangat seksama mempelajari Marxisme dan
memberikan jawaban terhadap materialisme-dialektik dengan pandangan
tradisional. Dari usaha memadukan pandangan Marxisme dengan
pandangan tradisional, maka kemudian lahirlah karya besar Thabathaba’i
yaitu Ushul al-Falsafah wa Rawisyi Rialism. Buku tersebut membahas
prinsip-prinsip filsafat dan metode realisme. Dalam hal ini, Thabathaba’i
membela filsafat realisme dalam pengertian tradisional. Thabathaba’i juga
melatih sejumlah muridnya dengan pendidikan modern untuk lebih dapat
mempelajari ilmu pengetahuan secara lebih baik dan sistematis (Nawawi,
2019). Dari sini dapat dilihat bahwa sebagai ulama, Thabathaba’i juga
banyak mempelajari dan memperhatikan wacana-wacana yang
berkembang saat itu. Hal tersebut menandakan keterbukaannya dalam
berfikir, bukan untuk menerimanya melainkan menjadi bahan kritik serta

26
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
menciptakan interkoneksi antara wacana-wacana modern, ilmu-ilmu
sekuler dan ilmu-ilmu agama. Hal demikian yang menjadikan pandangan-
pandangan keagamaan Thabathaba’i menjadi relevan bagi konteks
kehidupan modern pada saat itu.Thabathaba'i wafat pada tanggal 15
November 1981 M di kota Qum. Sejak wafatnya, Ia sangat dihormati di Iran
(Husti, 2017).

Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad Husain Thabathaba’i,


ditulis dalam bahasa Arab oleh seorang ulama sekaligus filsuf Iran ini,
hadir dalam kancah keilmuan Islam dalam bentuk sumber ensiklopedi
yang mencakup tafsir klasik maupun modern yang dihasilkan oleh para
penafsir Syi’ahmaupun sunni. Tafsir karya Thabathaba’i dianggap sebagai
kontribusi yang unik karena metodologinya yang khas yaitu mencakup
semua jenis tafsir yang berkembang di antara ulama tradisionalis yang erat
dengan tradisi hadis maupun rasionalis yang tergabung dalam mazhab
terkemuka teologi, filsafat dan penafsiran yurisprudensi (fiqh) (Sachedina,
2022). Secara lebih spesifik, penafsiran yang dilakukan Thabathaba’i lebih
terlihat menunjukkan keinginan untuk menjangkau dan menjalin
hubungan dengan identitas komunal dan nasional yang lebih luas serta
melibatkan konsep-konsep sentral modern seperti rasionalisme, sains, dan
kebutuhan baru akan agama agar sesuai dan relevan dengan dunia
kontemporer (Rizvi, 2020).

Berkenaan dengan tujuan atau latar belakang penulisan tafsir al-


Mizan, pada pengantar tafsirnya dijelaskan bahwa yang menjadi motif
lahirnya tafsir al-Mizan adalah desakan yang dilakukan oleh murid-murid
Thabathaba’i ketia Ia mengajar di Qum (Thabathaba’i, 1997). Selain itu,
Thabathaba’i telah memiliki hasrat yang besar dalam menulis tafsir al-
Qur’an. Thabathaba’i melihat adanya kebutuhan terhadap umat Islam,
berikut dengan situasi yang melingkupi berbagai lembaga di kota Qum
Iran. Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut Thabathaba’i
mengambil sebuah kesimpulan bahwa umat Islam dan berbagai lembaga

27
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
tersebut membutuhkan sebuah tafsir Al-Qur’an sehingga akan
menghasilkan pemahaman yang baik dan efektif yang tersirat di dalam Al-
Qur’an. Di sisi lain Hawzah yang didominasi oleh gagasan materialistik
memungkinkan adanya wacana besar rasionalisme-filosofis. Momentum
tersebut, bagi Thabathaba’i memungkinkan elaborasi antara prinsip
intelektual dan juga doktrin Islam dengan menggunakan argumen rasional
dalam mempertahankan posisi Islam (Otta, 2018).

Adapun alasan Thabathaba’i menamakan tafsir ini dengan tafsir al-


Mizan yang berarti timbangan atau keseimbangan, keadilan dan moderasi,
karena di dalam tafsirnya banyak memuat aneka pendapat para mufasir,
baik klasik maupun modern, Syi’ah atau Sunni, bahkan al-Zamakhsyari
yang notabene seorang Mu’tazilah. Semua pendapat dihadirkan kemudian
dijadikan sebagai bahan "pertimbangan" untuk memperkuat satu
pendapat dengan pendapat lainnya, atau dengan pendapatnya sendiri,
namun setelah terlebih dahulu merujuk kepada Al-Qur’an. Dengan
hadirnya tafsir ini, Thabathaba’i hendak mempertimbangkan aneka
pendapat untuk mendapatkan pendapat yang kuat dalam menyelesaikan
pesoalan yang dialami oleh umat Islam dengan mengutamakan penafsiran
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dibandingkan penafsiran yang terikat pada
teori tertentu (Thabathaba’i, 1997).

Metode penafsiran dalam tafsir al-Mizan karya Thabathaba’i


menggunakan metode penafsiran tahlili dengan sumber penafsiran yang
beragam dari sumber bi al-ra’yi maupun bi al-ma’tsur. Tafsir tahlili adalah
suatu metode penafsiran yang menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan
berbagai pendekatan dan juga berdasarkan urutan ayat, surah dalam Al-
Qur’an dengan mengedepankan pengertian dan makna kebahasaan dari
berbagai term yang terdapat dalam Al-Qur’an, munasabah ayat, asbab al-
nuzul, dan diperkuat dengan hadis dan perkataan para sahabat sampai
pendapat dari para ulama yang sesuai dengan keilmuan dan
kecenderungan penafsir.Ketika hendak menafsirkan ayat Al-Qur’an,

28
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Thabathaba’i akan menjelaskan terlebih dahulu tentang corak dan mazhab
dari para mufasir lainnya, berikut dengan perbedaan pandangan
dikalangan para mufasir yang berkaitan dengan riwayat, kalam, filsafat,
tasawuf dan teori-teori ilmiah. Setelah beberapa corak dan mazhab tafsir
telah selesai ditelititi, kemudian Thabathaba’i akan mengungkapkan
pendapat dari ulama mufasir yang menurutnya lebih tepat dan kemudian
dijadikan sebagai pembanding dengan pendapat pribadinya. Aspek ini yang
kemudian menjadikan tafsir al-Mizan karya Thabathaba’i ini menjadi
sebuah karya ensiklopedis yang fenomenal, bukan hanya dikalangan
Syi’ah saja akan tetapi juga mewakili dunia keilmuan Islam secara umum
(Sachedina, 2022). Dalam menafsirkan Al-Qur’an, Thabathaba’i
mengawalinya dengan membahas suatu topik tertentu dan selanjutnya
melakukan pengelompokan terhadap beberapa ayat-ayat Al-Qur’an.
Terkait dengan corak dari penafsiran, Thabathaba’i sangat kental dengan
corak penafsiran teologis dan filsafat yang banyak memuat konsep-konsep
spekulatif dengan menggunakan sistematika penafsiran tartib mushafi
dalam pembahasannya (Mehr, 2012).

2.2 Khalifah: argumentasi Al-Qur’an tentang misi fungsional


manusia

Sejak zaman Yunani kuno, perbincangan tentang esensi dan


eksistensi manusia telah memicu beragam pendapat. Tak jarang pula
menimbulkan perdebatan panjang. Hal tersebut dikarenakan banyak
dimensi dari manusia yang menyentuh aspek metafisika yang sulit
terjangkau oleh rasio dan penyelidikan empirik. Di sisi lain, pengetahuan
positivistik yang mengandalkan objek-objek material semakin
memperkeruh minat untuk menggali lebih jauh pengethuan tentang
ensensi dan eksistensi manusia (Bagir & Abdalla, 2020). Lahirnya salah
satu buku yang berjudul Man The Unknown karangan Alexis Carel,
ilmuwan dan dokter berkebangsaan Prancis, membuktikan betapa
rumitnya pengetahuan tentang hakikan manusia, mulai dari apa saja

29
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
unsur yang dikandung manusia sampai kepada tujuan kehadirannya di
pentas bumi (Shihab, 2020). Dalam kondisi yang rumit tersebut, Al-Qur’an
sebagai pedoman umat Islam hadir untuk mendorong manusia untuk
mengetahui hakikat dirinya sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Dzariyat
[51]:21 dan QS. Fushshilat [41]:53 (Djamil, 1985), serta menjelaskan esensi
manusia, aneka potensinya serta tujuannya penciptaannya demi mencapai
realitas Ilahi yang menjadikan segala aktivitas dan totalitasnya menjadi
luhur (Shihab, 1994).

Salah satu argumentasi Al-Qur’an yang menunjukkan tujuan dari


penciptaan manusia adalah bahwa ia diciptakan Allah di muka bumi
sebagai khalifah. Argumentasi tersebut terdapat dalam QS. al-Baqarah
[2]:30.1 Beberapa tokoh tafsir seperti Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab
membincangkan tujuan penciptan ini secara lebih luas hingga menyentuh
aspek-aspek terdalam dari diri manusia. Namun sayangnya, tidak jarang
ayat tersebut dijadikan argumentasi sebagai asas wajibnya memiliki kepala
pemerintahan dalam Islam.2 Padahal ayat tersebut mengandung aneka
aspek terdalam dari diri manusia yang amat perlu diketahui guna
menjalankan tujuan kehidupannya di muka bumi (Quthb, 1972). Akan
tetapi, karena ayat tersebut bermuatan filosofis dan mengandung banyak
isyarat, maka terjadi aneka ragam penafsiran terhadap ayat tersebut.
Aneka isyarat yang beragam dapat dilihat mulai dari makna kata khalifah,
sanggahan malaikat terhadap pernyataan Allah swt., pengetahuan Allah
swt. tentang yang gaib, sampai kepada potensi khusus manusia yang
diberikan Allah swt. dalam rangka kesiapannya sebagai khalifah di bumi.

1Ayat ini dinilai oleh banyak mufasir sebagai sebuah kisah tentang penciptaan Adam as.
beserta pengajaran Allah swt. terhadapnya sebagai suatu bentuk kemuliaan manusia
yang hendak mengemban amanah sebagai khalifah di bumi.

2 Al-Qurtubi menjadikan ayat ini sebagai pijakan hukum wajibnya memiliki pemimpin
politik dalam Islam. Ia mendiskusikan dengan panjang lebar tentang hal ini dalam
tafsirnya. Begitu juga dengan Wahbah Zuhaili.

30
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Para pakar bahasa Arab mulai dari Ibn Faris (Zakariyya, 2017), Ibn
Mazhur (Manzur, n.d.), dan Raghib al-Isfahani (Al-Ashfahani, n.d.)
menjelaskan bahwa asal dari patron kata khalifah adalah khalaf yang
berarti ‘lawan yang ada di depan’ atau sesuatu yang ada di belakang.
Mereka lebih jauh menjelaskan bahwa oleh sebab itu, kata khalifah
bermakna ‘pengganti’ karena yang di belakang biasanya menggantikan
posisi yang ada di depannya. Dari pembahasan makna asal dari kata ini,
maka hampir semua mufasir sepakat bahwa patron kata khalifah
bermakna ‘pengganti’. Namun di sisi lain, terdapat pula keterangan-
keterangan yang menguatkan pemaknaan tersebut. Ibn Jarir al-Thabari
misalnya, di samping makna kebahasaan, Ia memaknai kata tersebut
sebagai ‘pengganti’ dengan mengaitkannya pada QS. Yunus [10]:14 (Al-
Tabari, 2010). Ibn Katsir memaknainya ‘pengganti’ dengan
mengasumsikan bahwa terdapat makhluk yang pernah mendiami bumi
dan kemudian digantikan dengan makhluk khalifah ini (Katsir, 1999).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa meskipun pada mulanya kata khalifah
dimaknai ‘pengganti’ karena melihat arti kebahasaan, namun di pada era
berikutnya patron kata ini mengalami perkembangan terminologi karena
dikaitkan dengan aspek-aspek yang lain dalam Al-Qur’an.

Dalam tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya Ibn Jarir al-
Thabari,terdapat diskusi yang panjang tentang terminologi dari kata
khalifah pada QS. al-Baqarah [2]:30 dengan mengangkat sekian banyak
riwayat. Pendapat-pendapat ini, yang pada periode selanjutnya banyak
juga dikutip oleh para mufasir. Setidaknya terdapat lima makna
terminologi dari kata tersebut, pertama, penghuni dan pemakmur, kedua,
bermakna pengganti, ketiga, bermakna saling menggantikan, keempat,
mengatur makhluknya dengan ketetapan hukum, kelima, mengatur semua
makhluk di muka bumi dalam ketaatan kepada Allah swt. dan
menegakkan keadilan di antara para makhluk-Nya (Al-Tabari, 2010).

31
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pendapat yang terakhir ini memiliki banyak kemiripan dengan
terminologi mufasir setelahnya. Ibn Katsir memiliki pendapat yang sama
dengan definisi ini (Katsir, 1999), al-Qurthubi (Al-Qurthubi, 2006) dan al-
Suyuti (Al-Mahalli & Al-Suyuti, 2015) berpendapat bahwa khalifah adalah
pengganti Allah yang menjalankan semua hukum dan perintah-Nya.
Sedangkan beberapa mufasir modern sedikit mengembangkan terminologi
tersebut. Wahbah Zuhaili misalnya berpendapat bahwa khalifah adalah
makhluk yang mendiami bumi dengan melaksanakan hukum-hukum
terhadap manusia. Menurutnya, khalifah selalu ada dari generasi ke
generasi (Al-Zuhaili, 2009). Sedangkan Sayyid Quthb berpandangan bahwa
khalifah adalah makhluk yang diserahkan padanya amanah Allah untuk
menciptakan, mengadakan, menguraikan, menyusun, memutar, menukar,
dan menggali segala yang ada di bumi baik berupa kekuatan, potensi,
kandungan, maupun bahan-bahan mentahnya, serta menundukkan
keseluruhannya dengan izin Allah untuk tugas besar yang diserahkan
Allah padanya (Quthb, 1972).

Implikasi pemaknaan khalifah sebagai ‘pengganti’ melahirkan diskusi


baru. Dengan memaknai khalifah sebagai ‘pengganti’, maka muncul
asumsi bahwa ada sesuatu yang digantikan oleh manusia dalam perannya
melaksanakan perintah Allah di muka bumi dan menegakkan keadilan di
antara semua makhluk-Nya. Dalam hal ini, lahir dua pendangan umum,
pertama, bahwa yang digantikan perannya sebagai khalifah adalah Allah
swt, kedua, terdapat makhluk yang pernah mendiami bumi yang kemudian
akan digantikan. Sekian banyak mufasir mulai dari Muqatil Ibn Sulaiman
(Sulaiman, 2002), al-Thabari (Al-Tabari, 2010), Ibn Katsir (Katsir, 1999),
al-Suyuti (Al-Suyuti, 2003) dan mufasir lainnya menyebutkan bahwa
makhluk yang digantikan adalah bangsa jin yang pernah mendiami bumi.
Argumentasi ini berasal dari sekian banyak riwayat yang ada. Tetapi di
antara mereka juga ada yang mengunggulkan pendapat pertama dengan
beberapa alasan.

32
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Urgensi kedua dari QS. al-Baqarah [2]:30, setelah penjabaran makna
khalifah untuk melihat tujuan diciptakannya manusia di muka bumi
adalah kesiapan potensi atau kapasitasnya dalam mengemban amanah
sebagai khalifah. Isyarat pemaknaan dari pembahasan ini terlihat dari
hubungan antara dialog malaikat dengan Allah (QS. al-Baqarah [2]:30), dan
juga pengajaran asma’ dari Allah swt. kepada Adam as. (QS. al-Baqarah
[2]:31). Al-Thabari menjelaskan bahwa protes malaikat terhadap Allah atas
penciptaan makhluk baru di bumi dengan menyebutkannya sebagai
makhluk yang akan menumpahkan darah dan merusak di bumi 3
melahirkan banyak kesimpulan, pertama, bahwa Allah sendiri yang
memberitahukan pada malaikat tentang pertumpahan darah dan
kerusakan yang akan dilakukan oleh makhluk baru ini, kedua,
sebagaimana riwayat yang menyebut bahwa pernah ada makhluk yang
hidup di bumi dengan melakukan aneka pengrusakan, maka dengan
pengetahuan tersebut malaikat melakukan protes kepada Allah, 4ketiga,
malaikat hanya sekedar memastikan apakah mereka termasuk makhluk
yang melakukan pengrusakan dan pertumpahan darah, bukan melakukan
sebuah bentuk protes (Al-Tabari, 2010).

Pernyataan protes malaikat terhadap Allah ini akan menjadikan


argumentasi pengajaran Allah terhadap Adam as. mendapatkan
urgensinya. Hal tersebut disebabkan bahwa perkataan malaikat akan
dipatahkan oleh informasi tentang potensi yang diajarkan Allah secara
khusus kepada Adam as. yang menjadikannya sebagai makhluk yang layak
untuk mengemban amanah sebagai khalifah. Para mufasir klasik seperti
Muqatil Ibn Sulaiman (Sulaiman, 2002), al-Thabari (Al-Tabari, 2010), dan
al-Suyuti (Suyuthi, 2009), berpendapat yang dimaksud pengajaran asma’

3Keberatan malaikat ini dapat dilihat dari kalimat,


‫أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك‬

4Wahbah Zuhaili cenderung mengambil pendapat ini dengan mengaitkannya kepada QS.
Yunus [10]:14.

33
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
oleh Allah kepada Adam as. adalah pengajaran nama-nama benda seperti
gunung, sungai, lautan, aneka binatang, dan lainnya. al-Qurthubi
berpendapat bahwa pengajaran asma’ yang dimaksud adalah pemberian
ilham dari Allah kepada Adam as. yang menjadikannya dapat mengetahui
sesuatu di luar dirinya (Al-Qurthubi, 2006). Ibn Katsir memberikan
keterangan dengan mengutip pendapat Ibn Abbas bahwa makna dari ayat
wa ‘allama adam al-‘asma’ adalah pengajaran Allah kepada Adam as.
tentang dzat, sifat, dan af’al segala makhluknya. Bagi Ibn Katsir,
pengajaran nama-nama kepada Adam as. yang kemudian tidak diketahui
oleh malaikat merupakan kritik balik Allah kepada malaikat bahwa mereka
juga tidak memiliki informasi atau pengetahuan tentang khalifah. Sehingga
seakan-akan Allah menunjukkan rasa heran terhadap malaikat akan
komentar mereka padahal pengetahuan mereka amat terbatas. Oleh sebab
itu ayat tersebut ditutup dengan kalimat inni a’lamu maa laa ta’lamun,
yaitu “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui” (Katsir,
1999).

Wahbah Zuhaili dan Sayyid Quthb datang dengan penjelasan yang


lebih mendalam tentang ayat ini. Wahbah Zuhaili menerangkan bahwa
makna dari pengajaran asma’ kepada Adam as. adalah pemberian ilmu
dharuri yaitu sebuah pengetahuan dasar mengenai kata-kata dan makna-
makna yang dari pengetahuan dasar tersebut akan tercipta ilmu
pengetahuan. Sebuah kemampuan berkata-kata tentunya berhubungan
dengan pengungkapan makna akan sesuatu (Al-Zuhaili, 2009). Sedangkan
Sayyid Quthb berpendapat bahwa pengajaran asma’ adalah sebuah
penyerahan kunci kekhilafahan kepada manusia. Rahasia kekuasaan itu
diisyaratkan pada penamaan benda-benda yang mana potensi tersebut
memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan manusia di bumi. Karena
dengan demikian, manusia dapat memanfaatkannya demi menciptakan
kemakmuran sebagaimana yang dikehendaki Allah sebagai tujuan
penciptaannya (Quthb, 1972). Kesemua pendapat di atas seakan-akan

34
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
mengindikasian bahwa syarat mutlak sebagai khalifah adalah memiliki
pengetahuan dan senantiasa mengembangkannya. Potensi tersebutlah
yang nantinya akan berguna untuk mengatur semua makhluk,
menciptakan keadilan, dan kemaslahatan di muka bumi. Ibn Katsir
menambahkan, bahwa ayat ini sekaligus menunjukkan kemuliaan
manusia atas pengetahuannya dan sebagai bantahan kepada protes
malaikat yang seakan-akan mampu untuk menjalankan amanah tersebut
(Katsir, 1999).

Adapun Muhammad Husain Thabathaba’i sebagai mufasir


berkebangsaan Iran, melahirkan kesan dan penafsiran yang berbeda
dibandingkan dengan para pendahulunya. Pada mukadimah penafsiran
ayat ini, Thabathaba’i menunjukkan tentang tujuan diturunkannya
manusia ke dunia dan realitas tentang diciptakannya khalifah di muka
bumi, serta dampak dan sifat-sifat yang dihasilkannya. Uraian-uraian
tersebut yang menjadikan kisah Adam as. pada ayat ini memembentuk ciri
khas tersendiri dibandingkan dari semua kisah-kisah yang ada dalam Al-
Qur’an. Tujuan penciptaan manusia sekaligus uraian berkenaan dengan
tugas sebagai khalifah, bagi Thabathaba’i hanya terdapat dalam ayat ini
(Thabathaba’i, 1997).

Terdapat beberapa keterangan yang dijelaskan Thabathaba’i


mengenai terminologi kata khalifah. Sebagaimana pendapat banyak
mufasir, Thabathaba’i juga memahaminya sebagai ‘pengganti’. Namun
Thabathaba’i dengan tegas mengungkapkan bahwa peran yang digantikan
oleh khalifah adalah Allah swt., bukan suatu makhluk yang pernah
mendiami bumi sebagaimana pendapat banyak mufasir (Thabathaba’i,
1997). Hal tersebut dikarenakan bahwa makhluk yang hendak disiapkan
Allah ini adalah makhluk yang diberi potensi khusus dibandingkan semua
makhluk-Nya yang ada. Sehingga terdapat distingsi yang jelas antara
Adam as. beserta keturunannya dengan semua makhluk, dan dengan
demikian tidak tepat jika diartikan sebagai makhluk yang menggantikan

35
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
makhluk sebelumnya di bumi. Argumentasi Thabathaba’i bahwa yang
dimaksud sebagai khalifah adalah pengganti Allah swt. dikuatkan dengan
keterangannya bahwa khalifah ini adalah makhluk Ilahi5 yang terpatri
sebagian sifat-sifat Allah yang agung padanya. Sehingga makhluk inilah
yang berhak menjalankan tugas-tugas kekhilafahan, yaitu mengatur dan
mengurusi semua ciptaan, serta memberikan putusan di antara mereka
(Thabathaba’i, 1997).

Ayat tentang tujuan penciptaan manusia ini berisikan dialog antara


Allah dan para malaikat-Nya. Ketika Allah menyatakan kehendaknya akan
menciptakan khalifah di muka bumi, malaikat menyampaikan alasan-
alasan keberatannya akan kehendak Allah tersebut. 6 Keberatan tersebut
menurut Thabathabai, boleh jadi dari kesan muncul terhadap penamaan
Allah kepada makhluk yang akan diciptakan tersebut dengan
menggunakan lafaz fi al-ardh khalifah. Kata yang digunakan ini sebagai
makhluk yang hendak diciptakan Allah untuk menjadi “pengganti-Nya” di
muka bumi secara tidak langsung melahirkan kesan bahwa makhluk yang
akan diciptakannya adalah makhluk material.7 Sehingga dari kesan
tersebut malaikat memahami bahwa makhluk yang akan diciptakannya itu
memiliki potensi destruktif yaitu melakukan pengrusakan di bumi dan
menumpahkan darah (Thabathaba’i, 1997).

Pembahasan selanjutnya, Thabathaba’i menafsirkan ayat tersebut


dengan melihat siyaq atau kumpulan ayat yang memiliki kaitan dengan
ayat 30 ini. Isyarat pertama yang dapat ditemukan adalah bahwa Allah swt.
tidak hanya menjadikan Adam as. saja sebagai khalifah di bumi,

5 Di dalam tafsirnya Thabathaba’i mengistilahkannya dengan, ‫الوجود الإلهي‬

6Keberatan malaikat ini dapat dilihat dari kalimat:


‫أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك‬

7Thabathaba’i mengistilahkannya dengan, ‫الموجود الأرضي‬

36
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
melainkan yang dimaksud adalah Adam as. beserta anak-cucunya. Itu
dikarenakan, menurut Thabathaba’i, bahwa ayat 30 surah ini memiliki
priode yang berbeda dengan kisah yang diceritakan pada ayat 31 yang
khusus membicarakan kisah Adam as. (Thabathaba’i, 1997). Isyarat kedua
adalah bahwa Allah terlihat tidak membenarkan maupun menyalahkan
jika makhluk yang ditugasi sebagai khalifah nantinya akan melakukan
kerusakan dan menumpahkan darah sebagaimana pernyataan para
malaikat, dan juga Allah tidak mencampakkan atas tasbih dan penyucian
malaikat kepada Allah, yang mana hal tersebut menimbulkan kesan bahwa
malaikat lebih mampu dalam mengemban tugas sebagai khalifah
dibanding manusia. Akan tetapi Allah hendak menunjukkan sesuatu yang
berbeda yaitu suatu hal yang pada dasarnya malaikat tidak mampu untuk
menanggungnya atau melakukannya dalam konteks penugasan sebagai
khalifah yang dapat dilihat dari isyarat lafaz ghayb pada ayat setelahnya.

Dengan ketidakmampuan malaikat dalam melakukan potensi


tersebut, maka wajar Allah membebankan tugas tersebut kepada
manusia. Dari sikap Allah yang tidak membenarkan dan menyalahkan
pernyataan malaikat, maka sudah tentu manusia memiliki kemungkinan
untuk melakukan kerusakan dan pertumpahan darah. Oleh sebab itu,
Allah merespon keberatan malaikat dengan firmannya (inni a’lamu ma la
ta’lamun)8 “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”,
dan juga dikuatkan lagi dengan firman-Nya (alam aqul lakum inni a’lamu
ghaiba al-samawati wa al-ard)9 “Bukankah telah Aku katakan kepadamu,
bahwa sesungguhnya Aku mengetahui (ghayb) rahasia langit dan bumi
(Thabathaba’i, 1997).

Berkaitan dengan kata ghayb pada ayat 33 QS. al-Baqarah yang


masih berbicara dalam konteks percakapan Allah dengan para malaikat,

8Kalimat ini terdapat pada akhir ayat 30 QS. al-Baqarah.

9 QS. al-Baqarah [2]:33.

37
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Thabathaba’i memahami bahwa ada sesuatu yang tidak diberitahukan
Allah kepada malaikat, tetapi Allah memberitahunya kepada Adam as.
melalui pengajaran asma’ atau nama-nama kepadanya. Maka yang ghayb
tersebut, dengan kuasa-Nya dapat nampak dan dikethui jelas oleh Adam.
Hal tersebut menurut Thabathaba’i dapat dilihat dari isyarat pernyataan
Allah dalam firmannya (ya adamu anbi’hum bi asma’ihim) “Wahai Adam,
beritahukanlah kepada mereka (asma’) nama-nama ini. Hal tersebut
sengaja diungkapkan sampai benar-benar jelas bagi para malaikat bahwa
Allah memberi potensi khusus kepada Adam as. sebagai makhluk yang
pantas mengemban tugas khalifah di bumi. Begitulah Allah menjawab
respon para malaikat dengan memberikan tantangan bahwa jika mereka
mampu memberikan penjelasan-penjelasan atas nama-nama itu, barulah
dapat dibenarkan pernyataan-pernyataan atau keberatan-keberatan
mereka terhadap rencana Allah menjadikan manusia sebagai khalifah
(Thabathaba’i, 1997).

Ada beberapa rincian dari maksud ayat wa ‘allama adam al-asma’


kullaha. Thabathaba’i menjelaskan bahwa maknanya antara lain ialah,
Allah mengajarkan Adam kemampuan berkreasi terhadap pengetahuan
dasar secara berangsur-angsur, dan juga memberi kemampuan untuk
mengejawantahkan potensi-potensi tersebut dalam bentuk perbuatan
(Thabathaba’i, 1997). Kedua, bahwa Allah memberikan kemampuan
kepada Adam untuk menjelaskan sesuatu dengan bahasa lisan. Potensi
bahasa adalah sebuah kemampuan yang khas karena bahasa adalah
peroyeksi dari kerja akal. Hal tersebutlah yang menurut Thabathaba’i tidak
dimiliki oleh malaikat karena potensi komunikasi yang amat terbatas.
Malaikat tidak mampu mengembangkan bahasa sehingga tidak terjadi
kreatifitas sebagai ciri khas potensi akal, dan juga malaikat dicirikan hanya
mengerjakan apa yang diperintahkan saja.10 Kemampuan semacam itu

10 Keterangan ini banyak dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai sifat dasar malaikat.
Misalnya QS. al-Tahrim [66]:6:

38
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
mematahkan protes malaikat, dan semakin menegaskan bahwa sulit bagi
makhluk yang memiliki potensi terbatas semacam itu mampu untuk
mengemban tugas sebagai khalifah di bumi (Thabathaba’i, 1997).

Sebagai tambahan, Thabathaba’i juga lebih merinci beberapa potensi


manusia ketika menafsirkan QS al-Syams [91]:7. Thabathaba’i
menjelaskan bahwa ayat tersebut mengandung sumpah Allah dengan
totalitas manusia yang memiliki aneka kemampuan, pengetahuan, dan
hikmah serta penyempurnaannya. Lebih jauh, Allah juga menyusun
anggota badannya sedemikian rupa sehingga nampak indah dan mampu
bekerja dengan tugas-tugas yang sesuai dengan kebutuhan kemanfaatan
di bumi (Thabathaba’i, 1997). Aneka argumen yang dijelaskan
Thabathaba’i dapat dikatakan sebagai penegasan bahwa manusia adalah
makhluk yang khusus diciptakan Allah untuk tugas-tugas pengelolaan
bumi dan mengantarkan segala makhluk menuju tujuan penciptaannya.
Sehingga wajar bahwa manusia yang dipilih, berikut dengan aneka
potensinya, sebagai khalifah “pengganti” Allah di muka bumi.

Setelah menjelaskan tafsir dari segi kebahasaan dan pemahaman


filosofis, Thabathaba’i kemudian menunjukkan aneka riwayat atau
penafsiran lain yang menjelaskan ayat tersebut. Ada banyak riwayat yang
dijelaskannya berkenaan dengan ayat ini yang memperkuat argumentasi
tentang potensi manusia. Rinciannya antara lain membahas tentang
pengetahuan malaikat terhadap makhluk yang melakukan kerusakan dan
menumpahkan darah, tentang maksud dari asma’ atau nama-nama yang
diajarkan Allah pada Adam, tentang apa-apa yang Allah ciptakan pertama
kali, tentang kebolehan sujud kepada makhluk dalam rangka
penghormatan, dan juga tentang jenis malaikat yang pada saat itu

‫لا يعصون اهلل ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون‬


“Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap ada yang diperintahkan-Nya kepada mereka
dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

39
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
diperintahkan Allah sujud kepada Adam serta makhluk yang enggan sujud
kepadanya yaitu iblis (Thabathaba’i, 1997).

Dalam mengutip riwayat-riwayat tentang penjelasan potensi Adam


yang diberikan Allah melalui pengajaran asma’, pertama Thabathaba’i
mengutip tafsir ‘Ayyasyi. Dalam tafsir tersebut terdapat riwayat dari Abu
Abbas yang bertanya pada Abu Abdilah. Abu Abbas berkata: “Saya
bertanya tentang firman Allah, wa ‘allama adam al-asma’ kullaha, bahwa
apa yang diajarkan-Nya?” Abu Abdilah menjawab: “Pengetahuan tentang
bumi, aneka gunung, bukit, lembah. Kemudian Adam melihat hamparan
dibawahnya, maka Adam berkata: Dan ini adalah hamparan yang telah
diajarkan-Nya.” Riwayat yang lain, dalam tafsir ‘Ayyasyi juga terdapat
penjelasan dari Fadhil ibn Abbas yang bertanya pada Abu Abdillah. Fadhil
berkata: “Saya bertanya padanya tentang firman Allah: wa ‘allama adam
al-asma’ kullaha. Apakah itu?” Dia menjewab: “Yaitu nama-nama lembah,
tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon, dan gunung-gunung” (Thabathaba’i,
1997).

Selanjutnya dalam kitab al-Ma’aniy, terdapat riwayat yang


dinisbahkan pada seseorang yang bernama Shadiq. Dia berkata:
“Sesungguhnya Allah mengajarkan Adam nama-nama sesuatu sambil
menunjukkan sesuatu itu. Kemudian Allah meminta kepada malaikat
untuk mejelaskan nama-nama itu, jika memang malaikat lebih berhak
menerima tugas sebagai khalifah, maka malaikat menjawab: subhanaka la
‘ilma lana illa ma ‘allamtana.11 Kemudian Allah menyuruh Adam untuk
memberitahukan nama-nama itu kepada malaikat. Ketika Adam mulai
menjelaskan, maka malaikat tertegun mengakui kelebihan Adam sembari
menyucikan dan mengagungkan Allah.” Maka dari peristiwa itu malaikat
menyadari bahwa Adam dinilai lebih berhak mengemban tugas sebagai

11Artinya:
“Maha suci Engkau, tidak ada satu pengetahuanpun bagi kami melainkan apa
yang Engkau ajarkan kepada kami.”

40
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
khalifah di bumi (Thabathaba’i, 1997). Aneka riwayat ini menjadi argumen
penguat dari penafsiran Thabathaba’i sebelumnya tentang aneka potensi
yang diberikan Allah kepada manusia yang tidak diberinya kepada
malaikat sebagai bekal untuk menjalankan tugas khalifah di bumi.

Penafsiran Muhammad Husain Thabathaba’i dengan karyanya Al-


Mizan fi Tafsir al-Qur’an hadir dengan corak pemikirannya yang khas dan
memberikan kesan yang berbeda dengan penafsiran ulama-ulama
sebelumnya mengenai QS. al-Baqarah [2]:30. Walaupun dalam beberapa
hal terdapat pula beberapa kesamaan pandangan. Berkenaan dengan
terminologi kata khalifah, Thabathaba’i tetap mengartikannya sebagai
‘pengganti’ sebagaimana para pakar bahasa Arab dan banyak mufasir
mengartikannya. Akan tetapi terhadap siapa yang digantikan,
Thabathaba’i memahami bahwa khalifah adalah makhluk khusus
pengganti Allah. Hal ini yang membedakan Thabathaba’i dengan mufasir
seperti Muqatil Ibn Sulaiman, al-Thabari, Ibn Katsir, dan al-Suyuti yang
memuat sekian riwayat dan menegaskan bahwa terdapat makhluk tertentu
yang digantikannya. Aneka riwayat yang dikutip oleh para mufasir yang
memilih pendapat ini menjelaskan bahwa makhluk tersebut adalah
penduduk jin. Sedangkan Thabathaba’i berpendapat bahwa makna
khalifah pada ayat tersebut adalah pengganti Allah di bumi berdasar
analisanya terhadap ayat yang menjelaskan potensi khusus yang diberi
Allah kepada khalifah tersebut yang membedakannya dengan semua
makhluk yang ada. Faktor potensi tersebut yang menjadikan makhluk ini
mulia dan dijuluki makhluk Ilahi, yang mana terpatri dalam diri mereka
sifat-sifat ketuhanan. Dengan demikian, dalam hal ini Thabathaba’i tidak
terlalu setuju dengan aneka riwayat yang menjelaskan keberadaan
makhluk yang pernah hidup di bumi sebagai makhluk yang digantikan
oleh manusia.

Berkenaan dengan protes malaikat kepada kehendak Allah untuk


menciptakan khalifah, terdapat banyak argumentasi yang mencoba untuk

41
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
mengompromikan permasalahan ini. Berdasarkan pembahasan
sebelumnya, al-Thabari dan para mufasir setelahnya memuat banyak
argumentasi untuk menjelaskan pemaknaan protes malaikat tersebut.
Pada akhirnya, kebanyakan mufasir kemudian menjadikan ayat wa
‘allama adam al-asma’ sebagai bentuk bantahan Allah terhadap protes
yang dilakukan oleh malaikat. Namun hal ini amat berbeda dengan
Thabathaba’i. Ia memberikan kesimpulan bahwa Allah tidak berusaha
menyalahkan pernyataan malaikat tentang lebih berhaknya malaikat
dipilih sebagai khalifah karena mereka tidak menumpahkan darah dan
membuat kerusakan di bumi serta senantiasa bertasbih dan menyucikan-
Nya. Itu sebabnya Allah hanya membalas dengan kalimat inni a’lamu maa
laa ta’lamun, yaitu “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.” Dalam hal ini, Thabathabai melihat adanya ketidaksesuaian
antara pernyataan Allah dan malaikat akibat ketidaktahuan malaikat.
Sehingga kesan protes itu dapat terlihat. Dengan demikian, untuk
menjelaskan lebih jauh apa sebenarnya yang dikehendaki Allah, maka
Allah mengajarkan pengetahuan kepada Adam dan menyuruhnya untuk
memberi tahu kepada malaikat. Hal tersebut dilakukan agar maksud Allah
yang hendak menciptakan khalifah di bumi, makin terjelaskan kepada
malaikat.

Ciri khas lain dari penafsiran Thabathaba’i dalam mengurai tentang


potensi manusia sebagai bentuk kesiapannya mengemban amanah
khalifah, diisyaratkan juga dari makna kata ghayb pada ayat 33.
Berdasarkan isyarat dari kata ghayb, Thabathaba’i memahami bahwa ada
sesuatu yang tidak diberi Allah kepada malaikat, namun Allah memberinya
kepada Adam as. melalui pengajaran asma’ atau nama-nama kepadanya.
Maka yang ghayb tersebut, dengan kuasa-Nya dapat nampak dan dikethui
jelas oleh Adam. Thabathabai lebih jauh menjelaskan bahwa pengajaran
asma’ kepada Adam adalah pemberian kemampuan untuk berkreasi
terhadap pengetahuan dasar secara berangsur-angsur, dan juga memberi

42
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
kemampuan untuk mengejawantahkan potensi-potensi tersebut dalam
bentuk perbuatan. Dengan pengajaran asma’ pula Allah memberikan
kemampuan kepada Adam untuk menjelaskan sesuatu dengan bahasa
lisan. Bagi Thabathabai, potensi bahasa adalah sebuah kemampuan yang
khas karena bahasa adalah peroyeksi dari kerja akal.

Beberapa Potensi khalifah yang dijelaskan Thabathaba’i ini, agaknya


lebih dekat dengan pendapat Wahbah Zuhaili yang menyatakan bahwa
pengajaran asma’ tersebut adalah pemberian ilmu dharuri, yaitu sebuah
pengetahuan dasar mengenai kata-kata dan makna-makna yang dari
pengetahuan dasar tersebut akan tercipta ilmu pengetahuan. Sebuah
kemampuan berkata-kata tentunya berhubungan dengan pengungkapan
makna akan sesuatu (Al-Zuhaili, 2009). Penafsiran semacam ini terlihat
sangat khas karena dari penjabaran para mufasir pada umumnya,
mayoritas dari mereka hanya mengartikan pengajaran asma’ dengan
pengajaran nama-nama sesuatu seperti gunung, sungai, pohon, dan aneka
macam binatang. Hanya al-Qurthubi yang menafsirkannya agak berbeda
dengan mengartikannya sebagai pemberian ilham.

Maka dapat disimpulkan, menurut pandangan Thabathaba’i, khalifah


adalah makhluk yang dirancang Allah dengan aneka potensi khusus dan
dibentuk dengan manifestasi keilahian sehingga dapat memiliki
kemampuan untuk memberi putusan, mengatur, dan menegakkan
keadilan kepada smua makhluk yang ada. Titik berat Thabathaba’i dalam
memahami ayat tentang pengajaran asma’ adalah untuk meluruskan
kesalahpahaman malaikat serta menunjukkan potensi khalifah yang
menjadikan ia pantas untuk menduduki jabatan ‘pengganti Allah di bumi’
tanpa menafikan pernyataan malaikat yang senantiasa bertasbih dan
menyucikan-Nya. Salah Satu potensi khusus yang dimiliki oleh makhluk
yang menduduki posisi ini ialah kemampuan untuk berkreasi terhadap
pengetahuan dasar secara berangsur-angsur, dan juga memberi

43
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
kemampuan untuk mengejawantahkan potensi-potensi tersebut dalam
bentuk perbuatan.

2.3 Amanah: di antara dualisme karakteristik manusia

Thabathaba’i memasukkan QS. al-Ahzab [33]: 72 dalam kelompok


ayat terakhir pada surah al-Ahzab, yaitu QS. al-Ahzab [33]: 61-73.

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit,


bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan
melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.
Sehingga Allah akan mengazab orang-orang munafik laki-laki dan
perempuan, orang-orang musyrik, laki-laki dan perempuan; dan
Allah akan menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan
perempuan. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Penjelasan Thabathaba’i mengenai amanah merupakan kesimpulan


dari penjelasan kebahasaan kata tersebut dan munasabah dengan ayat
selanjutnya. Ia mendefinisikan amanah sebagai sesuatu yang diserahkan
kepada seseorang untuk dijaga sedemikian rupahingga sampai waktu yang
ditentukan titipan tersebut akan dikembalikan kepada pemiliknya.
Berangkat dari pemaknaan tersebut, amanah dalam konteks QS. al-Ahzab
[33]: 72,adalah sesuatu yang dipercayakan oleh Allah Swt. kepada umat
manusia agar dijaga keselamatan dan keseimbangannya sampai waktu
yang ditentukan untuk dikembalikan kepada-Nya, selaku pihak yang
menitipkan. Orang yang mengemban amanah terbagi menjadi tiga
golongan, yakni orang munafik, musyrik, atau mukmin sebagaimana
keterangan dalam QS. al-Ahzab [33]: 73. Hal tersebut dikarenakan amanah
merupakan sesuatu yang menjadikan siapa yang ditugaskan untuk
mengembannya berpotensi menyandang sifat kemunafikan, kemusyrikan,
atau keimanan. Dengan demikian, amanah tentunya berkaitan dengan
ajaran agama yang benar, yang mana dengan memelihara atau
mengabaikannya seseorang menyandang salah satu dari ketiga sifat
tersebut (Thabathaba’i, 1997, vol. 16,354).

44
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Thabathaba’i memiliki pandangan tersendiri mengenai maksud
spesifik amanah apa yang Allah Swt. titipkan kepada manusia.Sebelum
mengemukakan pandangannya, terlebih dahulu ia menguraikan beberapa
kemungkinan lain pemaknaan amanah, lalu memberikan komentarnya
terhadap kemungkinan pemaknaan tersebut. Setidaknya ada empat
kemungkinan pemaknaan yang disajikan oleh Thabathaba’i. Pertama,
akidah yang benar serta pengakuan akan keesaan Allah. Kedua, kumpulan
kepercayaan dan amal-amal ibadah atau dengan kata lain menerima
perincian ajaran agama tanpa mengamalkannya. Ketiga, menerimanya
disertai dengan pengamalan ajaran agama secara sempurna. Keempat,
kesempurnaan yang dicapai manusia karena keberhasilannya
melaksanakan salah satu dari hal-hal di atas (Thabathaba’i, 1997, vol. 16,
355). Keempat pemaknaan tersebut dihadirkan dalam rangka
membuktikan kecacatan pemaknaan tersebut dan mengukuhkan
pendapatnya.

Thabathaba’i menolak semua kemungkinan-kemungkinan


pemaknaan yang telah disebutkan di atas karena menurutnya belum bisa
menjawab mengenai penolakan langit, bumi, dan gunung, serta
penerimaan manusia ketika ditawarkan untuk mengemban amanah.
Pemaknaan pertama bukan pemaknaan yang tepat karena langit, bumi
dan gunung-gunung pun mengesakan Allah Swt. dengan tasbih yang tidak
dapat dipahami manusia, sebagaimana yang disebutkan dalam QS. al-Isra'
[17]: 33. Amanah juga tidak dapat diartikan dengan “agama yang benar
bersama perinciannya”, karena hal tersebut menyiratkan amanah hanya
ditujukan untuk orang-orang yang beriman. Tentunya pemaknaan ini
bertentangan realitas dan bunyi teks. Dalam kenyataannya, kebanyakan
manusia yang tidak beriman tidak memikulnya, bahkan tidak memiliki
pengetahuan tentang hal itu. Sejalan dengan itu, QS. al-Ahzab [33]: 73
secara tegas menyatakan bahwa manusia, baik mukmin maupun kafir,
mengemban amanah. Argumen penolakan pemaknaan yang kedua juga

45
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
sekaligus meruntuhkan jenis pemaknaan ketiga. Pemaknaan yang
keempat pun juga terpatahkan dengan sendirinya mengingat bahwa
kemunafikan, kesyirikan dan keimanan tidak disebabkan oleh
kepercayaan yang benar dan pengetahuan tentang kewajiban-kewajiban
keagamaan. Faktor yang dapat memberi pengaruh adalah konsistensi
dalam akidah yang benar serta pengamalannya (Thabathaba’i, 1997, vol.
16, 355). Dengan demikian, keempat pemaknaan yang disajikan
sebelumnya telah dipatahkan oleh Thabathaba’i dengan argumen filosofis
yang didukung dengan keterangan nash dan realitas.

Amanah dikategorikan oleh Thabathaba’i sebagai perkara yang berada


dalam WilayahIlahiyah. Dipilihnya manusia oleh Allah Swt. sebagai
pengemban amanah tidak disebabkan karena ketelibatan entitas lain,
melainkan karena perkara tersebut merupakan Wilayah
Ilahiah.Thabâthabâ’i menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
amanah itu adalah kesempurnaan yang dihasilkan oleh kepercayaan
terhadap akidah yang benar, amal saleh, serta upaya menempuh jalan
kesempurnaan dengan meningkatkan diri dari kerendahan materi menuju
puncak keikhlasan. Penolakan langit, bumi, dan gunung-gunung
menunjukkan ketiadaan potensi mereka untuk menanggung amanah
tersebut, sedangkan penerimaan manusia berarti menunjukkan adanya
potensi untuk mengembannya. Namun potensi tersebut bukan berarti
memutlakkan semua manusia mampu menunaikannya, sebab sikap
aniaya dan bodoh yang terdapat dalam diri manusia menjadikan mereka
tidak menolak dan tidak pula khawatir memikulnya sehingga di antara
mereka ada yang munafik, musyrik, atau mukmin (Thabathaba’i, 1997,
vol. 16, 355-356).

Thabathaba’i menyadari bahwa pembahasan ini menimbulkan


kebingungan dan pertanyan mengenai alasan atau hikmah Allah Swt. tetap
memberikan amanah kepada manusia, sedangkan Dia sendiri juga
mengetahui bahwa manusia adalah makhluk yang penuh kezaliman dan

46
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
kebodohan (zhaluman jahula). Padahal beban amanah yang berat dan
penting tersebut justru telah ditolak oleh makhluk-makhluk besar dan
kuat seperti langit dan bumi. Hal ini seperti membebani seorang yang tidak
waras suatu tugas yang bersifat umum dan yang telah ditolak sebelumnya
oleh orang-orang yang berakal sehat (Thabathaba’i, 1997, vol. 16, 356).
Menjawab kebingungan ini, Thabathabai’ menyatakan bahwa kezaliman
dan kebodohan merupakan sesuatu yang buruk dan mengundang
kecaman terhadap pelakunya, tetapi keduanya itu juga merupakan sebab
yang menjadikan seseorang dapat memikul amanat (beban Ilahiah) itu. Hal
ini dikarenakan sifat kezaliman dan kebodohan hanya dapat disandang
oleh siapa yang dapat menyandang sifat adil dan ilmu. Pelabelan zalim dan
bodoh atau adil dan ilmu tentunya tidak berlaku kepada makhluk lain
seperti gunung, bumi, dan langit karena mereka tidak memiliki potensi
sifat tersebut dalam dirinya. Amanah yang dimaksud ayat ini, yakni
wilayah Ilahiah atau kesempurnaan sifat ‘ubudiyyah, hanya dapat
diperoleh dengan pengetahuan tentang Allah serta amal saleh yang
merupakan keadilan, sedangkan yang dapat menyandang kedua hal itu
hanyalah makhluk yang berpotensi menyandang keduanya. Dalam hal ini
manusia yang berpotensi menyandang keduanya itu, berpotensi pula
menyandang lawan keduanya yakni kezaliman dan kebodohan.12 Dengan
demikian, disebutnya manusia sebagai makhluk yang zalim dan bodoh,
tidak hanya menginformasikan bagian dari karateristik manusia,
melainkan juga menyiratkan kesiapan mansusia mengemban amanah
karena adanya potensi lain dalam diri manusia seperti adil dan ilmu.

12Ayat tersebut berbunyi:

َُْ َ ْ َ َ َ ٰ ّٰ ُ َ ُ ٰ َ ْ َّ َّ َ ْ َ َ َ َُْٰ ُ ْ َْ َ ْ َ َ ْ ْ َ َْ َ ْ ََ
‫ٍۖثَّم َرددنه ا ْسفل ٰس ِف ِلين َِۙالا ال ِذين ا َمن ْوا َوع ِملوا الص ِلح ِت فل ُه ْم اج ٌر غ ْي ُر َمن ْون‬
‫لقد خلقنا ال ِان َسان ِف ْ ْٓي احس ِن تق ِويم‬
Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya .Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Maka, mereka akan mendapat
pahala yang tidak putus-putusnya.

47
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Potensi manusia sebagai alasan dipilihnya manusia untuk
mengemban amanah merupakan hasil penafsiran Thabathaba’i yang
kental dengan nuansa filosofis. Penafsiran dengan pendekatan filosofis-lah
yang menjadikan produk tafsirnya berbeda dan menarik dibandingkan
mufassir lainnya. Dalam kasus Q.S. al-Ahzab [33]: 72, penafsiran
Thabathaba’i berbeda dengan al-Thabari yang secara umum menafsirkan
ayat tersebut dengan tawaran Allah berupa ketaatan dan kewajibannya
kepada langit dan bumi. Jika mereka berbuat baik akan diberi ganjaran
pahala, sedangkan melalaikannya akan diberi hukuman. Namun mereka
menolaknya karena mereka takut tidak dapat menunaikannya (Thabari,
1994, vol. 7). Pemaknaan yang dikemukakan oleh a-Thabari ini banyak
dikutip oleh para mufassir di era selanjutnya, seperti Ibn Katsir(w. 1374)
dan Wahbah al-Zuhaili (w. 2015). Sementara itu, dari beberapa keterangan
riwayat yang disajikan dalam al-Durr al-Manstsur, al-Suyuthi (w. 1505)
beberapa penjelasan tentang kata al-amanah (Suyuthi, 2009, vol. 6). Di
antaranya adalah (1) agama (al-din);13 (2) tiga hal yang mencakup shalat,
puasa, dan mandi janabah;14 (3) ilmu waris (faraidh);15 dan (4) anggota
tubuh yang meliputi kemaluan, pendengaran, dan penglihatan. 16 Wahbah
al-Zuhaili (w. 2015) menafsirkan amanah dengan makna beban-beban
syari’at (al-takalif al-syari’ah) yang di dalamnya terdapat ganjaran berupa
pahala bagi yang mengerjakannya dan dosa bagi yang meninggalkannya
(Zuhaili, 2009, vol. 11). Ibn Katsir (w. 1374) melihat pada perbedaan
interpretasi dari masing-masing riwayat mengenai amanah terdapat
kesepakatan bahwa amanah merupakan beban (taklif) yang mengandung
ganjaran pahala dan dosa (Dimsyaqi, 2000, 1529).

13Diriwayatkan oleh al-Faryabi dari Dhahhak r.a.

14Diriwayatkan oleh ‘Abd al-Razzaq dan ‘Abd bin Humaid dari Zaid bin Aslam r.a.

15Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid dan Ibn Jarir dari Sa’id bin Jabir r.a.

16Diriwayatkan oleh Ibn Abi al-Dunya dari ‘Abdullah bin ‘Amr r.a.

48
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Berdasarkan uraian beberapa contoh penafsiran mufassir di atas,
dapat disimpulkan ada semacam perbedaan yang cukup mencolok antara
Thabathaba’i dengan mufassir yang lainnya, baik yang sering dijadikannya
sebagai rujukan seperti al-Thabari dan al-Suyuthi, mufassir lain seperti
Ibn Katsir, dan muafssir di era sesudahnya seperti Wahbah al-Zuhaili.
Meskipun demikian, keunikan penafsiran al-Thabathaba’i ini tidak bisa
serta merta disebabkan perbedaan ideologi yang dianutnya dengan
mufassir yang telah disebutkan di atas. Kiranya keunikan penafsiran
Thabathaba’i mengenai potensi dalam pembebanan khalifah dan amanah
tidak sarat akan muatan ideologis Syiah-nya, meskipun ayat-ayat tersebut
berpotensi untuk ditafsirkan secara ideologis sebagaimana yang dilakukan
oleh al-Qummi (w. 307 H), yang menafsirkan kata al-amanah pada al-
Ahzab [33]: 72 sebagai al-imamah (Qummi, 1787). Penafsiran Thabathaba’i
juga tidak mengindikasikan fanatisme dengan mufassir Syiah lainnya,
khususnya al-Thabarsi yang sering menjadi rujukannya. Dalam upaya
menghilangkan syubhat terhadap pelimpahan amanah kepada manusia
yang memiliki sifat zalim dan bodoh, Thabathaba’i konsisten dengan
pendekatan filosofisnya. Hal ini berbeda dengan al-Thabarsi menggunakan
pendekatan linguistik berbasis ayat Al-Qur’an yang lain sebagai penguat
argumentasinya.17

3. Kesimpulan

Mengenai Q.S. al-Baqarah [2]: 30, Thabathaba’i menjelaskan bahwa


Allah mengajarkan Adam kemampuan berkreasi terhadap pengetahuan
dasar secara berangsur-angsur, dan juga memberi kemampuan untuk

17Kata al-Insan oleh Al-Thabarsi dimaknai secara spesifik kepada orang-orang musyrik
dan munafik. Adapun para nabi, aulia, dan orang-orang beriman bukan bagian tidak
termuat dalam kata al-insan pada ayat tersebut. Spesifikasi pemaknaan seperti ini dapat
ditemukan QS. al-Ashr [103]:2, QS. al-‘Adiyat [100]: 6, dan QS. al-Fajr [89]: 15.
Pemaknaan demikian menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan zhaluman jahula
adalah orang-orang munafik dan musyrik, sedangkan para nabi, aulia, dan orang-orang
beriman, tidak termasuk di dalamnya.

49
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
mengejawantahkan potensi-potensi tersebut kepada bentuk perbuatan.
Selain itu Allah memberikan kemampuan kepada Adam untuk
menjelaskan sesuatu dengan bahasa lisan. Kemampuan berbahasa ini
adalah potensi yang spesial karena bahasa adalah peroyeksi dari kerja
akal. Masih berkaitan dengan ayat tersebut, Thabathaba’i dalam Q.S. al-
Ahzab [33]: 72 juga menjelaskan potensi manusia untuk bersikap adil dan
berilmu sebagai alasan mengapa manusia menerima tawaran amanah dari
Allah Swt. Menurut Thabathaba’i, pemilihan manusia sebagai khalifah dan
pemegang mandat al-amanah dari Allah dikarenakan keberadaan potensi
dalam dirinya. Potensi ini pula lah yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya seperti malaikat, gunung, bumi, dan langit. Adapun
mandat tersebut merupakan ibadah yang berupa kehadiran hamba di
hadapan Allah, rabb al-‘alamin, dengan penuh kerendahan diri dan
penghambaan kepada-Nya, serta kebutuhan sepenuhnya kepada Tuhan
Pemilik kemuliaan mutlak.

Referensi

Al-Ashfahani, A.-R. (n.d.). Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an. Maktabah Nazar


Al-Mustafa Al-Baz.

Al-Mahalli, J. al-D., & Al-Suyuti, J. al-D. (2015). Tafsir al-Jalalayn. Dar al-
Wathan li al-Nasyr.

Al-Qurthubi, A. B. (2006). al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Mu’assasah al-


Risalah.

Al-Suyuti, J. al-D. (2003). al-Dur al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur. Markaz


Hajr li al-Buhuts wa al-Dirasat al-Arabiyah wa al-Islamiyah.

Al-Tabari, I. J. (2010). Jami’ al-Bayan ’an Ta’wil ay al-Qur’an. Dar al-


Hadits.

Al-Zuhaili, W. (2009). al-Tafsir al-Munir. Dar al-Fikr.

Bagir, H., & Abdalla, U. A. (2020). Sains “Religius” Agama “Saintifik.” Mizan.

Dimsyaqi, I. bim ‘Umar. (2000). Tafsir al-Qur’an al-Azhim. Dar Ibn Hazm.

50
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Djamil, D. (1985). Kesatupaduan Manusia dan Alam. Penerbit Pustaka.

Gaffar, A. (2016). Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an. Tafsere, 4(2), 228–


260. https://doi.org/https://doi.org/10.24252/jt.v4i2.2775

Hambali, Y., & Asiah, S. (2011). Eksistensi Manusia dalam Filsafat


Pendidikan: Studi Kompratif Filsafat Barat dan Filsafat Islam. Turats,
7(1), 41–56.

Hamdi, M. M., Syafingi, M. H., & Mubarok, M. (2022). Hakikat Manusia


dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam. Cermin Jurnal, 2(1), 64–70.

Haromaini, A. (2019). Manusia dan Keharusan Mencari Tahu (Studi Relasi


Manusia, Al-Qur’an dan Filsafat). Pelita: Jurnal Penelitian Dan Karya
Ilmiah, 18(2), 202–215.

Hayati, N. (2021). Konsep Manusia Berdasarkan Tinjauan Filsafat (Telaah


Aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Manusia). Forum
Pedagogik, 12(1), 109–131.

Helmi, Z. (2018). Konsep Khalifah fi Ardhi dalam Perspektif Filsafat: Kajian


Eksistensi Manusia sebagai Khalifah. Intizar, 24(1), 37–54.
https://doi.org/https://doi.org/10.19109/intizar.v24i1.1879

Husti, I. (2017). Studi Kritis Pemikiran Qurais Shihab Terhadap Tafsir


Muhammad Husain Thabathaba’i. Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman,
14(1). https://doi.org/10.24014/af.v14i1.3902

Islamiyah. (2020). Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an (Studi Terminologi


al-Basyar, al-Insan, dan an-Nas). Rusydia: Jurnal Pendidikan Islam,
1(1), 41–58. https://doi.org/https://doi.org/10.35961/rsd.v1i1.126

Katsir, I. (1999). Tafsir al-Qur’an al-’Adzim. Dar al-Tayyibah.

Kristi, E., Alwizar, & Yusuf, K. (2022). Hakikat Manusia dalam Perspektif
Al-Qur’an. Risala: Jurnal Studi Dan Pendidikan Islam, 8(1), 116–130.
https://doi.org/10.31943/jurnal_risalah.v8i1.217

Kurniawan, R. O., & Khairunnisa, A. R. (2021). Karakteristik dan


Metodologi Tafsir al-Mizan al-Thabathaba’i. Jurnal Iman Dan Spiritual,
1(2).

Kurniawati, E., & Bakhtiar, N. (2018). Manusia Menurut Konsep Al-Qur’an


dan Sains. Journal of Natural Science and Integration, 1(1), 78–94.

Manzur, I. (n.d.). Lisan al-’Arab. Dar al-Ma’arif.

Mehr, H. A. (2012). An Introduction to the History of Tafsir and Comentators

51
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
of The Qur’an. Al-Mustafa International Publication and Translation
Center.

Nawawi, F. (2019). Ayat Mukjizat dalam Penafsiran Thabathaba’i dan


Muhammad Asad. Masile: Jurnal Studi Ilmu Keislaman, 1(1).

Othman, M. Y., Rahim, F., Abdullah, W. Na. W., & Zulkarnain, A. R. (2018).
Evolusi Konsep Manusia dalam Tasawur Barat. Sains Insani, 3(3), 21–
27.
https://doi.org/10.33102/sainsinsani.usim.edu.my/index.php/sains
insani/article/view/68

Otta, Y. A. (2018). DIMENSI-DIMENSI MISTIK TAFSIR AL-MIZAN (Studi


atas Pemikiran Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan). Potret Pemikiran,
19(2). https://doi.org/10.30984/pp.v19i2.733

Qummi, A. bin I. (1787). Tafsir al-Qummi. Dar al-Kitab.

Quthb, S. (1972a). Fi Zhilal al-Qur’an. Dar al-Syuruq.

Quthb, S. (1972b). Fi Zilal al-Qur’an. Dar al-Syuruq.

Rizvi, S. (2020). Twelver Shi’i Exegesis. In M. Shah & M. A. Haleem (Eds.),


The Oxford Handbook of Qur’anic Studies. Oxford University Press.

Sachedina, A. (2022). Methodological Observations in Al-’Allama Al-


Thabathaba’i’s Qur’an Commentary. In G. Archer, M. M. Dakake, & D.
A. Madigan (Eds.), The Routledge Companion to the Qur’an. British
Library CIP Data.

Shihab, M. Q. (1994). Membumikan Al-Qur’an. Mizan.

Shihab, M. Q. (2020). Khalifah: Peran Manusia di Bumi. Lentera Hati.

Sulaiman, M. I. (2002). Tafsir Muqatil Ibn Sulaiman. Mu’assasah al-Tarikh


al-Arabi.

Suyuthi, ‘Abd al-Rahman bin al-Kamal. (2009). Tafsir al-Durr al-Mantsur Fi


al-Tafsir al-Ma’tsur. Dar al-Fikr.

Thabari, M. bin J. (1994). Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil al-Ayi al-Qur’an.


Mu’assasah al-Risalah.

Thabathaba’i, M. H. (1997). Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Muassasah al-


A’lamy li al-Mathbu’at.

Zakariyya, I. F. I. (2017). Mu’jam Maqayis al-Lughah. Dar Ibn al-Jauzy.

52
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Zuhaili, W. (2009). al-Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-
Manhaj. Dar al-Fikr.

53

Anda mungkin juga menyukai