Pandangan Thabathaba'i Tentang Implikasi Potensi Manusia Terhadap Misi Fungsionalnya - Ahmad Zakiy & Rijal Ali
Pandangan Thabathaba'i Tentang Implikasi Potensi Manusia Terhadap Misi Fungsionalnya - Ahmad Zakiy & Rijal Ali
Ahmad Zakiy
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Majene
ahmadzakiy84@gmail.com
Rijal Ali
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
alithalib444@gmail.com
DOI: 10.37252/jqs.v3i2.564
21
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
yang filosofis, sehingga perlu dikaji dengan pendekatan filosofis agar
mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan mendalam,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Muhammad Husein
Thabathaba’i. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menjelaskan
dua hal, yaitu (1) bagaimana penafsiran Thabathabai terhadap QS. al-
Baqarah [2]: 30 dan QS. al-Ahzab [33]: 72 (2) bagaimana pandangan
Thabathaba’i tentang konsep penciptaan manusia.Ada dua sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini. Sumber data primer diambil
dari Tafsir al-Mizan karya Thabathaba’i, sedangkan literatur lainnya,
seperti buku dan artikel jurnal dijadikan sebagai sumber sekunder.
Dengan menggunakan metode deskriptif analitis, penulis terlebih
dahulu memaparkan penafsiran Thabathaba’i terhadap QS. al-Baqarah
[2]: 30 danQS. al-Ahzab [33]: 72. Hasil penafsiran tersebut kemudian
dianalisis untuk melihat bagaimana pandangan dan pemahaman
Thabathaba’i mengenai potensi manusia dan implikasinya terhadap
misi fungsional penciptaan manusia. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa pemilihan manusia sebagai khalifah dan pemegang mandat al-
amanah dari Allah Swt. dikarenakan keberadaan potensi dalam dirinya.
Potensi ini pula lah yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya seperti malaikat, gunung, bumi, dan langit. Adapun mandat
tersebut merupakan ibadah yang berupa kehadiran hamba di hadapan
Allah, rabb al-‘alamin, dengan penuh kerendahan diri dan
penghambaan kepada-Nya, serta kebutuhan sepenuhnya kepada
Tuhan Pemilik kemuliaan mutlak.
1. Pendahuluan
22
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
filsafat mengambil bagian untuk melengkapi kekosongan tersebut. Dari
keduanya, lahir beberapa pemikiran mengenai tujuan dan misi penciptaan
manusia, meskipun tak jarang kesimpulan yang dihasilkan berbeda
karena perbedaan prosedur dan metode masing-masing.
23
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
keterangan Al-Qur’an mengenai penciptaan manusia perlu dikaji dengan
pendekatan filosofis agar mendapatkan pemahaman yang komprehensif
dan mendalam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Muhammad
Husein Thabathaba’i. Dalam upaya untuk memadukan keduanya,
Thabathaba’i tidak hanya bersandar pada riwayat, akan tetapi juga
menggunakan rasionalitas dengan pendekatan filosofis untuk memahami
makna suatu ayat. Dengan demikian, eksistensi manusia tidak lagi
dipahami secara terpisah antara agama filsafat, melainkan dapat dipahami
juga dalam konteks sintesis antara keduanya.
24
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
dan tampilan data. Pengumpulan data merujuk kepada penafsiran
Thabathaba’i terhadap QS. al-Baqarah [2]: 30 dan QS. al-Ahzab [33]: 72.
Dalam proses tampilan data, penulis mereduksi data yang diperoleh
dengan cara content analysis sebagai proses menampilkan data yang
langsung berhubungan dengan tujuan penelitian ini.
2. Hasil Penelitian
2.1 Perjalanan intelektual: Thabathaba’i dan Tafsir al-Mizan
25
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada tahun 1314 H/ 1934 M, Allamah Thabathaba’i kembali ke Tibriz
dan tinggal di kota itu selama beberapa tahun dan mengajar di banyak
sekolah. Di kota ini, selain mengajar, Ia juga melakukan aktifitas dalam
bidang pertanian. Dalam masa ini, Thabathaba’i merasakan bahwa Ia
berada dalam keadaan kekeringan ruhani yang disebabkan waktunya
banyak tersita untuk melakukan kegiatan-kegiatan pertanian sehingga
tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan perenungan-
perenungan dan terlibat dalam kehidupan keilmuan. Kemudian pada
Perang Dunia II ketika banyak penduduk bermigrasi ke Iran, Thabathaba’i
pindah dari kota Tibriz ke kota Qum pada tahun 1945. Di Qum,
Thabathaba’i kembali menemukan dunia keilmuannya karena pada saat
itu kota Qum menjadi pusat keagamaan di Iran. Dengan gayanya yang
tidak banyak bicara dan sederhana, Thabathaba’i mulai mengajar di kota
ini dengan menitikberatkan pengajarannya pada tafsir Al-Qur’an dan
filsafat serta teosofi Islam tradisional (Otta, 2018).
26
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
menciptakan interkoneksi antara wacana-wacana modern, ilmu-ilmu
sekuler dan ilmu-ilmu agama. Hal demikian yang menjadikan pandangan-
pandangan keagamaan Thabathaba’i menjadi relevan bagi konteks
kehidupan modern pada saat itu.Thabathaba'i wafat pada tanggal 15
November 1981 M di kota Qum. Sejak wafatnya, Ia sangat dihormati di Iran
(Husti, 2017).
27
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
tersebut membutuhkan sebuah tafsir Al-Qur’an sehingga akan
menghasilkan pemahaman yang baik dan efektif yang tersirat di dalam Al-
Qur’an. Di sisi lain Hawzah yang didominasi oleh gagasan materialistik
memungkinkan adanya wacana besar rasionalisme-filosofis. Momentum
tersebut, bagi Thabathaba’i memungkinkan elaborasi antara prinsip
intelektual dan juga doktrin Islam dengan menggunakan argumen rasional
dalam mempertahankan posisi Islam (Otta, 2018).
28
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Thabathaba’i akan menjelaskan terlebih dahulu tentang corak dan mazhab
dari para mufasir lainnya, berikut dengan perbedaan pandangan
dikalangan para mufasir yang berkaitan dengan riwayat, kalam, filsafat,
tasawuf dan teori-teori ilmiah. Setelah beberapa corak dan mazhab tafsir
telah selesai ditelititi, kemudian Thabathaba’i akan mengungkapkan
pendapat dari ulama mufasir yang menurutnya lebih tepat dan kemudian
dijadikan sebagai pembanding dengan pendapat pribadinya. Aspek ini yang
kemudian menjadikan tafsir al-Mizan karya Thabathaba’i ini menjadi
sebuah karya ensiklopedis yang fenomenal, bukan hanya dikalangan
Syi’ah saja akan tetapi juga mewakili dunia keilmuan Islam secara umum
(Sachedina, 2022). Dalam menafsirkan Al-Qur’an, Thabathaba’i
mengawalinya dengan membahas suatu topik tertentu dan selanjutnya
melakukan pengelompokan terhadap beberapa ayat-ayat Al-Qur’an.
Terkait dengan corak dari penafsiran, Thabathaba’i sangat kental dengan
corak penafsiran teologis dan filsafat yang banyak memuat konsep-konsep
spekulatif dengan menggunakan sistematika penafsiran tartib mushafi
dalam pembahasannya (Mehr, 2012).
29
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
unsur yang dikandung manusia sampai kepada tujuan kehadirannya di
pentas bumi (Shihab, 2020). Dalam kondisi yang rumit tersebut, Al-Qur’an
sebagai pedoman umat Islam hadir untuk mendorong manusia untuk
mengetahui hakikat dirinya sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Dzariyat
[51]:21 dan QS. Fushshilat [41]:53 (Djamil, 1985), serta menjelaskan esensi
manusia, aneka potensinya serta tujuannya penciptaannya demi mencapai
realitas Ilahi yang menjadikan segala aktivitas dan totalitasnya menjadi
luhur (Shihab, 1994).
1Ayat ini dinilai oleh banyak mufasir sebagai sebuah kisah tentang penciptaan Adam as.
beserta pengajaran Allah swt. terhadapnya sebagai suatu bentuk kemuliaan manusia
yang hendak mengemban amanah sebagai khalifah di bumi.
2 Al-Qurtubi menjadikan ayat ini sebagai pijakan hukum wajibnya memiliki pemimpin
politik dalam Islam. Ia mendiskusikan dengan panjang lebar tentang hal ini dalam
tafsirnya. Begitu juga dengan Wahbah Zuhaili.
30
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Para pakar bahasa Arab mulai dari Ibn Faris (Zakariyya, 2017), Ibn
Mazhur (Manzur, n.d.), dan Raghib al-Isfahani (Al-Ashfahani, n.d.)
menjelaskan bahwa asal dari patron kata khalifah adalah khalaf yang
berarti ‘lawan yang ada di depan’ atau sesuatu yang ada di belakang.
Mereka lebih jauh menjelaskan bahwa oleh sebab itu, kata khalifah
bermakna ‘pengganti’ karena yang di belakang biasanya menggantikan
posisi yang ada di depannya. Dari pembahasan makna asal dari kata ini,
maka hampir semua mufasir sepakat bahwa patron kata khalifah
bermakna ‘pengganti’. Namun di sisi lain, terdapat pula keterangan-
keterangan yang menguatkan pemaknaan tersebut. Ibn Jarir al-Thabari
misalnya, di samping makna kebahasaan, Ia memaknai kata tersebut
sebagai ‘pengganti’ dengan mengaitkannya pada QS. Yunus [10]:14 (Al-
Tabari, 2010). Ibn Katsir memaknainya ‘pengganti’ dengan
mengasumsikan bahwa terdapat makhluk yang pernah mendiami bumi
dan kemudian digantikan dengan makhluk khalifah ini (Katsir, 1999).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa meskipun pada mulanya kata khalifah
dimaknai ‘pengganti’ karena melihat arti kebahasaan, namun di pada era
berikutnya patron kata ini mengalami perkembangan terminologi karena
dikaitkan dengan aspek-aspek yang lain dalam Al-Qur’an.
Dalam tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya Ibn Jarir al-
Thabari,terdapat diskusi yang panjang tentang terminologi dari kata
khalifah pada QS. al-Baqarah [2]:30 dengan mengangkat sekian banyak
riwayat. Pendapat-pendapat ini, yang pada periode selanjutnya banyak
juga dikutip oleh para mufasir. Setidaknya terdapat lima makna
terminologi dari kata tersebut, pertama, penghuni dan pemakmur, kedua,
bermakna pengganti, ketiga, bermakna saling menggantikan, keempat,
mengatur makhluknya dengan ketetapan hukum, kelima, mengatur semua
makhluk di muka bumi dalam ketaatan kepada Allah swt. dan
menegakkan keadilan di antara para makhluk-Nya (Al-Tabari, 2010).
31
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pendapat yang terakhir ini memiliki banyak kemiripan dengan
terminologi mufasir setelahnya. Ibn Katsir memiliki pendapat yang sama
dengan definisi ini (Katsir, 1999), al-Qurthubi (Al-Qurthubi, 2006) dan al-
Suyuti (Al-Mahalli & Al-Suyuti, 2015) berpendapat bahwa khalifah adalah
pengganti Allah yang menjalankan semua hukum dan perintah-Nya.
Sedangkan beberapa mufasir modern sedikit mengembangkan terminologi
tersebut. Wahbah Zuhaili misalnya berpendapat bahwa khalifah adalah
makhluk yang mendiami bumi dengan melaksanakan hukum-hukum
terhadap manusia. Menurutnya, khalifah selalu ada dari generasi ke
generasi (Al-Zuhaili, 2009). Sedangkan Sayyid Quthb berpandangan bahwa
khalifah adalah makhluk yang diserahkan padanya amanah Allah untuk
menciptakan, mengadakan, menguraikan, menyusun, memutar, menukar,
dan menggali segala yang ada di bumi baik berupa kekuatan, potensi,
kandungan, maupun bahan-bahan mentahnya, serta menundukkan
keseluruhannya dengan izin Allah untuk tugas besar yang diserahkan
Allah padanya (Quthb, 1972).
32
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Urgensi kedua dari QS. al-Baqarah [2]:30, setelah penjabaran makna
khalifah untuk melihat tujuan diciptakannya manusia di muka bumi
adalah kesiapan potensi atau kapasitasnya dalam mengemban amanah
sebagai khalifah. Isyarat pemaknaan dari pembahasan ini terlihat dari
hubungan antara dialog malaikat dengan Allah (QS. al-Baqarah [2]:30), dan
juga pengajaran asma’ dari Allah swt. kepada Adam as. (QS. al-Baqarah
[2]:31). Al-Thabari menjelaskan bahwa protes malaikat terhadap Allah atas
penciptaan makhluk baru di bumi dengan menyebutkannya sebagai
makhluk yang akan menumpahkan darah dan merusak di bumi 3
melahirkan banyak kesimpulan, pertama, bahwa Allah sendiri yang
memberitahukan pada malaikat tentang pertumpahan darah dan
kerusakan yang akan dilakukan oleh makhluk baru ini, kedua,
sebagaimana riwayat yang menyebut bahwa pernah ada makhluk yang
hidup di bumi dengan melakukan aneka pengrusakan, maka dengan
pengetahuan tersebut malaikat melakukan protes kepada Allah, 4ketiga,
malaikat hanya sekedar memastikan apakah mereka termasuk makhluk
yang melakukan pengrusakan dan pertumpahan darah, bukan melakukan
sebuah bentuk protes (Al-Tabari, 2010).
4Wahbah Zuhaili cenderung mengambil pendapat ini dengan mengaitkannya kepada QS.
Yunus [10]:14.
33
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
oleh Allah kepada Adam as. adalah pengajaran nama-nama benda seperti
gunung, sungai, lautan, aneka binatang, dan lainnya. al-Qurthubi
berpendapat bahwa pengajaran asma’ yang dimaksud adalah pemberian
ilham dari Allah kepada Adam as. yang menjadikannya dapat mengetahui
sesuatu di luar dirinya (Al-Qurthubi, 2006). Ibn Katsir memberikan
keterangan dengan mengutip pendapat Ibn Abbas bahwa makna dari ayat
wa ‘allama adam al-‘asma’ adalah pengajaran Allah kepada Adam as.
tentang dzat, sifat, dan af’al segala makhluknya. Bagi Ibn Katsir,
pengajaran nama-nama kepada Adam as. yang kemudian tidak diketahui
oleh malaikat merupakan kritik balik Allah kepada malaikat bahwa mereka
juga tidak memiliki informasi atau pengetahuan tentang khalifah. Sehingga
seakan-akan Allah menunjukkan rasa heran terhadap malaikat akan
komentar mereka padahal pengetahuan mereka amat terbatas. Oleh sebab
itu ayat tersebut ditutup dengan kalimat inni a’lamu maa laa ta’lamun,
yaitu “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui” (Katsir,
1999).
34
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
mengindikasian bahwa syarat mutlak sebagai khalifah adalah memiliki
pengetahuan dan senantiasa mengembangkannya. Potensi tersebutlah
yang nantinya akan berguna untuk mengatur semua makhluk,
menciptakan keadilan, dan kemaslahatan di muka bumi. Ibn Katsir
menambahkan, bahwa ayat ini sekaligus menunjukkan kemuliaan
manusia atas pengetahuannya dan sebagai bantahan kepada protes
malaikat yang seakan-akan mampu untuk menjalankan amanah tersebut
(Katsir, 1999).
35
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
makhluk sebelumnya di bumi. Argumentasi Thabathaba’i bahwa yang
dimaksud sebagai khalifah adalah pengganti Allah swt. dikuatkan dengan
keterangannya bahwa khalifah ini adalah makhluk Ilahi5 yang terpatri
sebagian sifat-sifat Allah yang agung padanya. Sehingga makhluk inilah
yang berhak menjalankan tugas-tugas kekhilafahan, yaitu mengatur dan
mengurusi semua ciptaan, serta memberikan putusan di antara mereka
(Thabathaba’i, 1997).
36
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
melainkan yang dimaksud adalah Adam as. beserta anak-cucunya. Itu
dikarenakan, menurut Thabathaba’i, bahwa ayat 30 surah ini memiliki
priode yang berbeda dengan kisah yang diceritakan pada ayat 31 yang
khusus membicarakan kisah Adam as. (Thabathaba’i, 1997). Isyarat kedua
adalah bahwa Allah terlihat tidak membenarkan maupun menyalahkan
jika makhluk yang ditugasi sebagai khalifah nantinya akan melakukan
kerusakan dan menumpahkan darah sebagaimana pernyataan para
malaikat, dan juga Allah tidak mencampakkan atas tasbih dan penyucian
malaikat kepada Allah, yang mana hal tersebut menimbulkan kesan bahwa
malaikat lebih mampu dalam mengemban tugas sebagai khalifah
dibanding manusia. Akan tetapi Allah hendak menunjukkan sesuatu yang
berbeda yaitu suatu hal yang pada dasarnya malaikat tidak mampu untuk
menanggungnya atau melakukannya dalam konteks penugasan sebagai
khalifah yang dapat dilihat dari isyarat lafaz ghayb pada ayat setelahnya.
37
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Thabathaba’i memahami bahwa ada sesuatu yang tidak diberitahukan
Allah kepada malaikat, tetapi Allah memberitahunya kepada Adam as.
melalui pengajaran asma’ atau nama-nama kepadanya. Maka yang ghayb
tersebut, dengan kuasa-Nya dapat nampak dan dikethui jelas oleh Adam.
Hal tersebut menurut Thabathaba’i dapat dilihat dari isyarat pernyataan
Allah dalam firmannya (ya adamu anbi’hum bi asma’ihim) “Wahai Adam,
beritahukanlah kepada mereka (asma’) nama-nama ini. Hal tersebut
sengaja diungkapkan sampai benar-benar jelas bagi para malaikat bahwa
Allah memberi potensi khusus kepada Adam as. sebagai makhluk yang
pantas mengemban tugas khalifah di bumi. Begitulah Allah menjawab
respon para malaikat dengan memberikan tantangan bahwa jika mereka
mampu memberikan penjelasan-penjelasan atas nama-nama itu, barulah
dapat dibenarkan pernyataan-pernyataan atau keberatan-keberatan
mereka terhadap rencana Allah menjadikan manusia sebagai khalifah
(Thabathaba’i, 1997).
10 Keterangan ini banyak dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai sifat dasar malaikat.
Misalnya QS. al-Tahrim [66]:6:
38
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
mematahkan protes malaikat, dan semakin menegaskan bahwa sulit bagi
makhluk yang memiliki potensi terbatas semacam itu mampu untuk
mengemban tugas sebagai khalifah di bumi (Thabathaba’i, 1997).
39
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
diperintahkan Allah sujud kepada Adam serta makhluk yang enggan sujud
kepadanya yaitu iblis (Thabathaba’i, 1997).
11Artinya:
“Maha suci Engkau, tidak ada satu pengetahuanpun bagi kami melainkan apa
yang Engkau ajarkan kepada kami.”
40
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
khalifah di bumi (Thabathaba’i, 1997). Aneka riwayat ini menjadi argumen
penguat dari penafsiran Thabathaba’i sebelumnya tentang aneka potensi
yang diberikan Allah kepada manusia yang tidak diberinya kepada
malaikat sebagai bekal untuk menjalankan tugas khalifah di bumi.
41
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
mengompromikan permasalahan ini. Berdasarkan pembahasan
sebelumnya, al-Thabari dan para mufasir setelahnya memuat banyak
argumentasi untuk menjelaskan pemaknaan protes malaikat tersebut.
Pada akhirnya, kebanyakan mufasir kemudian menjadikan ayat wa
‘allama adam al-asma’ sebagai bentuk bantahan Allah terhadap protes
yang dilakukan oleh malaikat. Namun hal ini amat berbeda dengan
Thabathaba’i. Ia memberikan kesimpulan bahwa Allah tidak berusaha
menyalahkan pernyataan malaikat tentang lebih berhaknya malaikat
dipilih sebagai khalifah karena mereka tidak menumpahkan darah dan
membuat kerusakan di bumi serta senantiasa bertasbih dan menyucikan-
Nya. Itu sebabnya Allah hanya membalas dengan kalimat inni a’lamu maa
laa ta’lamun, yaitu “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.” Dalam hal ini, Thabathabai melihat adanya ketidaksesuaian
antara pernyataan Allah dan malaikat akibat ketidaktahuan malaikat.
Sehingga kesan protes itu dapat terlihat. Dengan demikian, untuk
menjelaskan lebih jauh apa sebenarnya yang dikehendaki Allah, maka
Allah mengajarkan pengetahuan kepada Adam dan menyuruhnya untuk
memberi tahu kepada malaikat. Hal tersebut dilakukan agar maksud Allah
yang hendak menciptakan khalifah di bumi, makin terjelaskan kepada
malaikat.
42
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
kemampuan untuk mengejawantahkan potensi-potensi tersebut dalam
bentuk perbuatan. Dengan pengajaran asma’ pula Allah memberikan
kemampuan kepada Adam untuk menjelaskan sesuatu dengan bahasa
lisan. Bagi Thabathabai, potensi bahasa adalah sebuah kemampuan yang
khas karena bahasa adalah peroyeksi dari kerja akal.
43
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
kemampuan untuk mengejawantahkan potensi-potensi tersebut dalam
bentuk perbuatan.
44
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Thabathaba’i memiliki pandangan tersendiri mengenai maksud
spesifik amanah apa yang Allah Swt. titipkan kepada manusia.Sebelum
mengemukakan pandangannya, terlebih dahulu ia menguraikan beberapa
kemungkinan lain pemaknaan amanah, lalu memberikan komentarnya
terhadap kemungkinan pemaknaan tersebut. Setidaknya ada empat
kemungkinan pemaknaan yang disajikan oleh Thabathaba’i. Pertama,
akidah yang benar serta pengakuan akan keesaan Allah. Kedua, kumpulan
kepercayaan dan amal-amal ibadah atau dengan kata lain menerima
perincian ajaran agama tanpa mengamalkannya. Ketiga, menerimanya
disertai dengan pengamalan ajaran agama secara sempurna. Keempat,
kesempurnaan yang dicapai manusia karena keberhasilannya
melaksanakan salah satu dari hal-hal di atas (Thabathaba’i, 1997, vol. 16,
355). Keempat pemaknaan tersebut dihadirkan dalam rangka
membuktikan kecacatan pemaknaan tersebut dan mengukuhkan
pendapatnya.
45
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
sekaligus meruntuhkan jenis pemaknaan ketiga. Pemaknaan yang
keempat pun juga terpatahkan dengan sendirinya mengingat bahwa
kemunafikan, kesyirikan dan keimanan tidak disebabkan oleh
kepercayaan yang benar dan pengetahuan tentang kewajiban-kewajiban
keagamaan. Faktor yang dapat memberi pengaruh adalah konsistensi
dalam akidah yang benar serta pengamalannya (Thabathaba’i, 1997, vol.
16, 355). Dengan demikian, keempat pemaknaan yang disajikan
sebelumnya telah dipatahkan oleh Thabathaba’i dengan argumen filosofis
yang didukung dengan keterangan nash dan realitas.
46
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
kebodohan (zhaluman jahula). Padahal beban amanah yang berat dan
penting tersebut justru telah ditolak oleh makhluk-makhluk besar dan
kuat seperti langit dan bumi. Hal ini seperti membebani seorang yang tidak
waras suatu tugas yang bersifat umum dan yang telah ditolak sebelumnya
oleh orang-orang yang berakal sehat (Thabathaba’i, 1997, vol. 16, 356).
Menjawab kebingungan ini, Thabathabai’ menyatakan bahwa kezaliman
dan kebodohan merupakan sesuatu yang buruk dan mengundang
kecaman terhadap pelakunya, tetapi keduanya itu juga merupakan sebab
yang menjadikan seseorang dapat memikul amanat (beban Ilahiah) itu. Hal
ini dikarenakan sifat kezaliman dan kebodohan hanya dapat disandang
oleh siapa yang dapat menyandang sifat adil dan ilmu. Pelabelan zalim dan
bodoh atau adil dan ilmu tentunya tidak berlaku kepada makhluk lain
seperti gunung, bumi, dan langit karena mereka tidak memiliki potensi
sifat tersebut dalam dirinya. Amanah yang dimaksud ayat ini, yakni
wilayah Ilahiah atau kesempurnaan sifat ‘ubudiyyah, hanya dapat
diperoleh dengan pengetahuan tentang Allah serta amal saleh yang
merupakan keadilan, sedangkan yang dapat menyandang kedua hal itu
hanyalah makhluk yang berpotensi menyandang keduanya. Dalam hal ini
manusia yang berpotensi menyandang keduanya itu, berpotensi pula
menyandang lawan keduanya yakni kezaliman dan kebodohan.12 Dengan
demikian, disebutnya manusia sebagai makhluk yang zalim dan bodoh,
tidak hanya menginformasikan bagian dari karateristik manusia,
melainkan juga menyiratkan kesiapan mansusia mengemban amanah
karena adanya potensi lain dalam diri manusia seperti adil dan ilmu.
َُْ َ ْ َ َ َ ٰ ّٰ ُ َ ُ ٰ َ ْ َّ َّ َ ْ َ َ َ َُْٰ ُ ْ َْ َ ْ َ َ ْ ْ َ َْ َ ْ ََ
ٍۖثَّم َرددنه ا ْسفل ٰس ِف ِلين َِۙالا ال ِذين ا َمن ْوا َوع ِملوا الص ِلح ِت فل ُه ْم اج ٌر غ ْي ُر َمن ْون
لقد خلقنا ال ِان َسان ِف ْ ْٓي احس ِن تق ِويم
Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya .Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Maka, mereka akan mendapat
pahala yang tidak putus-putusnya.
47
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Potensi manusia sebagai alasan dipilihnya manusia untuk
mengemban amanah merupakan hasil penafsiran Thabathaba’i yang
kental dengan nuansa filosofis. Penafsiran dengan pendekatan filosofis-lah
yang menjadikan produk tafsirnya berbeda dan menarik dibandingkan
mufassir lainnya. Dalam kasus Q.S. al-Ahzab [33]: 72, penafsiran
Thabathaba’i berbeda dengan al-Thabari yang secara umum menafsirkan
ayat tersebut dengan tawaran Allah berupa ketaatan dan kewajibannya
kepada langit dan bumi. Jika mereka berbuat baik akan diberi ganjaran
pahala, sedangkan melalaikannya akan diberi hukuman. Namun mereka
menolaknya karena mereka takut tidak dapat menunaikannya (Thabari,
1994, vol. 7). Pemaknaan yang dikemukakan oleh a-Thabari ini banyak
dikutip oleh para mufassir di era selanjutnya, seperti Ibn Katsir(w. 1374)
dan Wahbah al-Zuhaili (w. 2015). Sementara itu, dari beberapa keterangan
riwayat yang disajikan dalam al-Durr al-Manstsur, al-Suyuthi (w. 1505)
beberapa penjelasan tentang kata al-amanah (Suyuthi, 2009, vol. 6). Di
antaranya adalah (1) agama (al-din);13 (2) tiga hal yang mencakup shalat,
puasa, dan mandi janabah;14 (3) ilmu waris (faraidh);15 dan (4) anggota
tubuh yang meliputi kemaluan, pendengaran, dan penglihatan. 16 Wahbah
al-Zuhaili (w. 2015) menafsirkan amanah dengan makna beban-beban
syari’at (al-takalif al-syari’ah) yang di dalamnya terdapat ganjaran berupa
pahala bagi yang mengerjakannya dan dosa bagi yang meninggalkannya
(Zuhaili, 2009, vol. 11). Ibn Katsir (w. 1374) melihat pada perbedaan
interpretasi dari masing-masing riwayat mengenai amanah terdapat
kesepakatan bahwa amanah merupakan beban (taklif) yang mengandung
ganjaran pahala dan dosa (Dimsyaqi, 2000, 1529).
14Diriwayatkan oleh ‘Abd al-Razzaq dan ‘Abd bin Humaid dari Zaid bin Aslam r.a.
15Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid dan Ibn Jarir dari Sa’id bin Jabir r.a.
16Diriwayatkan oleh Ibn Abi al-Dunya dari ‘Abdullah bin ‘Amr r.a.
48
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Berdasarkan uraian beberapa contoh penafsiran mufassir di atas,
dapat disimpulkan ada semacam perbedaan yang cukup mencolok antara
Thabathaba’i dengan mufassir yang lainnya, baik yang sering dijadikannya
sebagai rujukan seperti al-Thabari dan al-Suyuthi, mufassir lain seperti
Ibn Katsir, dan muafssir di era sesudahnya seperti Wahbah al-Zuhaili.
Meskipun demikian, keunikan penafsiran al-Thabathaba’i ini tidak bisa
serta merta disebabkan perbedaan ideologi yang dianutnya dengan
mufassir yang telah disebutkan di atas. Kiranya keunikan penafsiran
Thabathaba’i mengenai potensi dalam pembebanan khalifah dan amanah
tidak sarat akan muatan ideologis Syiah-nya, meskipun ayat-ayat tersebut
berpotensi untuk ditafsirkan secara ideologis sebagaimana yang dilakukan
oleh al-Qummi (w. 307 H), yang menafsirkan kata al-amanah pada al-
Ahzab [33]: 72 sebagai al-imamah (Qummi, 1787). Penafsiran Thabathaba’i
juga tidak mengindikasikan fanatisme dengan mufassir Syiah lainnya,
khususnya al-Thabarsi yang sering menjadi rujukannya. Dalam upaya
menghilangkan syubhat terhadap pelimpahan amanah kepada manusia
yang memiliki sifat zalim dan bodoh, Thabathaba’i konsisten dengan
pendekatan filosofisnya. Hal ini berbeda dengan al-Thabarsi menggunakan
pendekatan linguistik berbasis ayat Al-Qur’an yang lain sebagai penguat
argumentasinya.17
3. Kesimpulan
17Kata al-Insan oleh Al-Thabarsi dimaknai secara spesifik kepada orang-orang musyrik
dan munafik. Adapun para nabi, aulia, dan orang-orang beriman bukan bagian tidak
termuat dalam kata al-insan pada ayat tersebut. Spesifikasi pemaknaan seperti ini dapat
ditemukan QS. al-Ashr [103]:2, QS. al-‘Adiyat [100]: 6, dan QS. al-Fajr [89]: 15.
Pemaknaan demikian menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan zhaluman jahula
adalah orang-orang munafik dan musyrik, sedangkan para nabi, aulia, dan orang-orang
beriman, tidak termasuk di dalamnya.
49
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
mengejawantahkan potensi-potensi tersebut kepada bentuk perbuatan.
Selain itu Allah memberikan kemampuan kepada Adam untuk
menjelaskan sesuatu dengan bahasa lisan. Kemampuan berbahasa ini
adalah potensi yang spesial karena bahasa adalah peroyeksi dari kerja
akal. Masih berkaitan dengan ayat tersebut, Thabathaba’i dalam Q.S. al-
Ahzab [33]: 72 juga menjelaskan potensi manusia untuk bersikap adil dan
berilmu sebagai alasan mengapa manusia menerima tawaran amanah dari
Allah Swt. Menurut Thabathaba’i, pemilihan manusia sebagai khalifah dan
pemegang mandat al-amanah dari Allah dikarenakan keberadaan potensi
dalam dirinya. Potensi ini pula lah yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya seperti malaikat, gunung, bumi, dan langit. Adapun
mandat tersebut merupakan ibadah yang berupa kehadiran hamba di
hadapan Allah, rabb al-‘alamin, dengan penuh kerendahan diri dan
penghambaan kepada-Nya, serta kebutuhan sepenuhnya kepada Tuhan
Pemilik kemuliaan mutlak.
Referensi
Al-Mahalli, J. al-D., & Al-Suyuti, J. al-D. (2015). Tafsir al-Jalalayn. Dar al-
Wathan li al-Nasyr.
Bagir, H., & Abdalla, U. A. (2020). Sains “Religius” Agama “Saintifik.” Mizan.
Dimsyaqi, I. bim ‘Umar. (2000). Tafsir al-Qur’an al-Azhim. Dar Ibn Hazm.
50
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Djamil, D. (1985). Kesatupaduan Manusia dan Alam. Penerbit Pustaka.
Kristi, E., Alwizar, & Yusuf, K. (2022). Hakikat Manusia dalam Perspektif
Al-Qur’an. Risala: Jurnal Studi Dan Pendidikan Islam, 8(1), 116–130.
https://doi.org/10.31943/jurnal_risalah.v8i1.217
51
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
of The Qur’an. Al-Mustafa International Publication and Translation
Center.
Othman, M. Y., Rahim, F., Abdullah, W. Na. W., & Zulkarnain, A. R. (2018).
Evolusi Konsep Manusia dalam Tasawur Barat. Sains Insani, 3(3), 21–
27.
https://doi.org/10.33102/sainsinsani.usim.edu.my/index.php/sains
insani/article/view/68
52
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah Studies
Faculty of Ushuludin IIQ An-Nur Yogyakarta
Vol. 3, No. 2, 2023
https://jurnalannur.ac.id/index.php/jalsah
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Zuhaili, W. (2009). al-Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-
Manhaj. Dar al-Fikr.
53