Anda di halaman 1dari 7

Kekuasaan Allah Dalam Tafsir Al-Ibriz; Telaah Qs.

Az-Zumar Ayat 62-64

Kekuasaan Allah swt. adalah kekuasaan yang tidak terbatas, tidak terjangkau dan tidak
tertandingi. Kekuasaan Allah swt. sangatlah berbeda dengan kekuasaan yang ada pada
makhluk-Nya. Kekuasaan tersebut tentulah tidak terlepas dari sifat Maha Mengetahui yang
dimiliki Allah swt. Maha secara etimologi berarti amat, sangat dan teramat. Allah swt. Maha
Mengetahui, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu dan karena Dia Maha Mengetahui
maka pengetahuan Allah swt. tidak terbatas dan tidak terjangkau. Kekuasaan Allah swt. dalam
pembahasan ini adalah kekuasaan Allah swt. yang bersifat prerogatif dimana Allah Maha
Kuasa dalam menciptakan alam semesta khususnya langit, serta benda-benda yang terdapat di
dalamnya. Allah swt. menciptakan alam semesta tanpa memerlukan bantuan dari siapapun.

Kekuasaan Allah bukanlah hanya retorika belaka yang tidak bisa dibuktikan
kebenarannya. Namun, telah banyak bukti kekuasaan Allah yang dapat kita temukan dalam
kehidupan sehari-hari dengan berbagai bentuk yang beragam. Selain itu, bukti-bukti tersebut
juga telah disebutkan atau dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Salah satunya dapat
ditemukan dalam Qs. Al-Baqarah ayat 164 yang menunjukkan kuasa Allah dalam menciptakan
langit dan bumi serta pergantian siang dan malam. Dalam Qs. Ali-Imran ayat 190 juga
diterangkan kekuasaan Allah berupa penciptaan benda-benda langit serta pergantian siang dan
malam. Selain kedua ayat tersebut, masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang membuktian
kekuasaan Allah SWT dalam bentuk aspek yang beragam. Dalam artikel ini penulis akan
mencoba mengulas kekuasaan Allah yang diterangkan dalam Qs. Az-Zumar ayat 62-64 sebagai
berikut;

َ ْٰ ُ َ ٰۤ ُ ّٰ ٰ َ َ َْ ‫ﱠ‬ َْ َ
ٰ ‫ � ٗ� َﻣ َﻘﺎﻟ ْﻴ ُﺪ ﱠ‬٦٢ ‫ۙو ُﻫ َﻮ َ� ٰ�� ُ� ّ� َ� ْيء ﱠوﻛ ْﻴ ٌﻞ‬
‫ﷲ َ�ﺎﻟ ُﻖ ُ� ّ� َ� ْيء ﱠ‬
ُ ّٰ ‫ا‬
َ
ِ ‫اﻟﺴ ٰﻤﻮ ِت َوا�� ْر ِضۗ َوا� ِ��� ﻛﻔ ُﺮ ْوا ِﺑﺎ ٰﻳ ِﺖ‬
٦٣ ࣖ ‫اﷲ او� ِٕ�ﻚ ﻫ ُﻢ ا�� ِ� ُ� ْون‬ ِ ِ ٍ ِ ٍ ِ ِ
َ ُ ْٰ َ َ ُ ْ َ ّ ْ َ ّٰ
٦٤ ‫اﷲ ﺗﺄ ُﻣ ُﺮ ْ ۤ ِو� ْيٓ اﻋ ُﺒﺪ اﻳﱡﻬﺎ ا�� ِﻬﻠ ْﻮن‬ َ ْ َ ََ ْ ُ
ِ �‫ﻗﻞ اﻓﻐي‬

Terjemah

62. Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.
63. Milik-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Orang-orang yang kufur
terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang rugi.
64. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Apakah kamu menyuruhku (untuk) menyembah selain
Allah, wahai orang-orang yang bodoh?” 1

1
Al-Quran Dan Terjemahan (Kudus: Menara Kudus, n.d.), Hal. 465.
Dalam Qs. Az-Zumar ayat 62-63 ini ditegaskan bahwa Allah lah sang maha pencipta
yang menciptakan langit dan bumi beserta isisnya. Secara logika, alam seluas ini tidak dapat
muncul dengan sendirinya dan pastinya ada yang meciptakan. Oleh sebab itu, sudah menjadi
kepastian bahwa alam ini hanya bisa diciptakana oleh Zat yang maha kuasa yaitu Allah SWT.
dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah SWT tidak semata hanya menciptakan langit dan bumi
saja. Namun, Allah juga yang akan mengurus segala yang ada dengan ilmu-Nya sangat luas,
mencakup semua makhluk-Nya. Dialah yang mengendalikan alam sejak dari yang sekecil-
kecilnya sampai kepada yang sebesar-besarnya. Dia mengendalikan semua itu sesuai dengan
ilmu, hikmah dan kebijaksanaan-Nya.

Dalam memahami sebuah ayat Al-Qur’an diperlukan bantuan kitab tafsir agar
memperoleh pemahaman yang jelas dan tidak menyimpang. Sebagai seorang pengkaji Al-
Qir’an, kita memiliki banyak opsi kitab tafsir yang ingin kita kaji sesuai dengan keinginan kita
masing-masing. Salah satu tafsir Al-Qur’an yang dapat kita pelajari khususnya pelajar yang
tinggal di tanah Jawa ialah Tafsir Al-Ibriz karya dari KH. Bisri Musthofa dari Rembang Jawa
Tengah. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, Mbah Bisri menggunakan bahasa Jawa.
Berikut ini merupakan tafsiran Mbah Bisri dalam Tafsir Al-Ibriz yang menafsirkan Qs. Az-
Zumar ayat 62-64 kaitannya dengan kekuasaan Allah SWT; 2
62. Allah Ta’ala iku nitahake sekabehane perkoro. Lan Allah Ta’ala iku atas sekabehane
perkoro, tansah nguwasani (ateges ninda’ake sekabehane perkoro miturut opo kang dadi
kersane).
63. Namung kagungane Allah Ta’ala dewe kunci-kuncine gudang-gudang kang ana ing
langit-langit lan bumi (kaya gudang udan, gudang cecukulan lan liyan-liyane). Wong-
wong kang podo kafir ngufuri ayat-ayate Allah yaiku Al-Qur’an, yoiku wong-wong kang
podo kapitunan.
64. Sira Dawuho (Muhammad)! Opo marang liyane Allah Ta’ala siro kabeh podo merintahi
ingsun supoyo nyembah? He wong-wong bodho.
Menurut pengamatan penulis, Mbah Bisri Musthofa menafsirkan Qs. Az-Zumar ayat 62-64
secara sederhana dan menggunakan gaya bahasanya sendiri. Penafsiran Mbah Bisri terhadap
ayat tersebut kurang lebih mirip-mirip dengan terjemahan dari ayat tersebut. Beliau
menafsirkan ayat 62 dengan mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan semua perkara dan
berkuasa atas semua perkara tersebut. Berlanjut pada ayat ke 63 beliau menafsirkan bahwa

2
Kyai Bisri Musthofa, Al Ibriz Li Ma’rifah Tafsir Al-Qur’an Al-Aziz Bil Lughoh Al-Jawiyah Juz 24 (Kudus:
Menara Kudus, 2024), hal. 1662-1663.
hanya milik Allah lah kunci-kunci gudang yang ada di langit dan bumi. Orang-orang yang
mengingkari ayat Allah (Al-Qur’an) itu termasuk orang yang merugi. Pada ayat yang ke 64
tafsiran beliau juga mirip dengan terjemahan dari ayat tersebut, yang berbunyi “Katakanlah
(Muhammad)! Apakah kamu menyuruhku untuk menyembah selain Allah, wahai orang-orang
yang bodoh?”.
Menurut pengamatan penulis, tafsiran Mbah Bisri tersebut yang seakan hanya memindah
bahasa dari bahasa Arab ke bahasa Jawa ini terkadang bisa menyebabkan dua kemungkinan.
Pertama, pembaca akan memahami ayat berkat keterangan tafsir yang singkat dan simpel.
Kemungkinan yang kedua ini justru akan membuat beberapa pembaca mengalami kebingungan
dalam memahami ayat tersebut karena tidak ada keterangan yang lebih dalam. Oleh sebab itu,
penulis mencoba menganalisis penafsiran Mbah Bisri di Tafsir Al-Ibriz dalam menafsirkan Qs.
Az-Zumar ayat 62-64 dengan menggunakan teori Hermeneutika modern Hans-Georg
Gadamer. Penggunaan teori tersebut diharapkan dapat membantu memahami dan menggali
lebih dalam maksud atau poin yang diungkap Mbah Bisri Musthofa dalam Tafsir Al-Ibriz
sehingga penulis memperolah pemahaman yang tepat dan mendalam atas tafsiran tersebut.
Teori Hermeneutika yang dicetuskan oleh Hans-Georg Gadamer merupakan sebuah
hermeneutika filosofis yang tidak hanya berkaitan dengan teks, melainkan seluruh obyek ilmu
sosial dan humaniora. Meskipun demikian, bahasa dalam sebuah teks tertentu masih mendapat
porsi perhatian Gadamer yang cukup tinggi dan merupakan obyek utama hermeneutikanya.
Secara ringkas, Gadamer memiliki 4 aspek teori yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama,
ialah teori “Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah”. Menurut teori ini, setiap penafsir berada
pada situasi tertentu yang bisa mempengaruhi pemahamannya terhadap teks yang ditafsirkan.
Situasi tersebut bisa disebut “effective history” yang terdiri dari tradisi, kultur, dan pengalam
hidup. 3 Berdasarkan pandangan penulis, penjelasan Mbah Bisri Musthofa mengenai kekuasaan
Allah dalam Tafsir Al-Ibriz ini juga dipengaruhi oleh sejarah dan latar belakang beliau dalam
menulis kitab ini. Mbah Bisri merupakan seorang tokoh ulama’ yang hidup di pulau Jawa,
tepatnya di Rembang Jawa tengah yang pada masa tersebut masyarakat sekitar kurang begitu
paham ajaran agama Islam dalam Al-Qur’an yang berbahasa Arab. Mereka juga kurang begitu
menguasai bahasa Indonesia. Kondisi sosial tersebut mendorong Mbah Bisri untuk
menunaikan kewajibannya dalam menyampaikan ajaran agama Islam kepada masayarakat
sekitar. Keterbatasan perihal bahasa menjadi salah satu alasan Mbah Bisri melahirkan karya

3
Sahiron Syamsudin, Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press,
2017), hal. 77-79.
Tafsir Al-Ibriz yang menggunakan bahasa Jawa dalam tafsirannya sehingga akan mudah
dipahami dan diterima oleh masyarakat sekitar pada waktu tersebut.
Teori yang kedua yang dipakai oleh Gadamer adalah teori “Prapemahaman”. Teori
prapemahaman merupakan keterpengaruhan oleh situasi hermeneutik tertentu yang
membentuk pada diri seorang penafsir. Prapemahaman harus ada karena merupakan posisi
awal penafsir ketika membaca teks yang akan ditafsirkan. Selain itu, prapemahaman juga
dimaksudkan agar seorang penafsir mampu mendialogkannya dengan isi teks yang akan
ditafsirkan. Tanpa prapemahaman seorang penafsir tidak akan berhasil memahami teks dengan
baik. 4 Berdasarkan beberapa literatur yang penulis telah baca, Mbah Bisri sejak belia telah
menggeluti dunia pendidikan. Beliau merupakan santri Syaichona Khalil Bangkalan dan KH.
Hasyim Asy’ari. Beliau juga pernah menimba ilmu di Mekkah selama beberapa tahun. Buah
dari perjalanan pendidikan tersebut akhirnya beliau menguasai berbagai disiplin ilmu
pengetahuan seperti nahwu, sharaf, fikih, tafsir, hadits, aqidah dan ilmu lainnya. 5 Kelimuan
beliau menjadi pondasi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Seperti ketika beliau
menafsirkan Qs. Az-Zumar ayat 64 yang dilengkapi dengan “Qissoh” yang berbunyi “wong-
wong musyrik ora podo nduwe malu, podo mentholo ngajak-ngajak marang Nabi Muhammad
diajak nyembah berhala, opo ajakan ngunu iku patut?”. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Mbah Bisri juga menguasai keilmuan perihal asbabun nuzul suatu ayat sehingga beliau
menyertakan asbabun nuzul Qs. Az-Zumar ayat 64 dalam tafsirannya yang dilabeli dengan kata
“Qissoh” agar mudah dipahami masyarakat.
Teori Gadamer yang ketiga ialah teori “Penggabungan/asimilasi horizon”. Dalam teori
ini seorang penafsir harus sadar bahwa ada dua horizon dalam proses penafsiran yaitu
cakrawala pengetahuan (horizon teks) dan cakrawala pemahaman (horizon pembaca). Menurut
Gadamer, kedua horizon ini harus dikomunikasikan sehingga ketegangan antara keduanya
dapat teratasi. Seorang penafsir harus sadar dan menerima bahwa sebuah teks memiliki
horizonnya sendiri yang mungkin berbeda dengan horizon yang dimiliki oleh penafsir. 6 Dari
analisa penulis, Mbah Bisri dalam menafsirkan Qs. Az-Zumar ayat 62 dan 63 memiliki
horizonnya sendiri yang dipadukan dengan teks ayat tersebut. Pada ayat 62, Mbah Bisri
menafsirkan lafadz ‫ وﻛﯿﻞ‬pada akhir ayat dengan tafsiran yang berbeda dari makna aslinya yang
memiliki makna memelihara. Mbah Bisri lebih memilih menafsiri dengan ‫( ﻗﺪﯾﺮ‬menguasai)

4
Ibid, hal. 80.
5
Retno Sulis Setyawati, “Konsep Toleransi Dalam Tafsir Al-Ibriz Perspektif Hermeneutika Hans Georg
Gadamer,” Skripsi UIN Purwokerto (2022), hal. 25-31.
6
Syamsudin, Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Qur’an. hal 83
yang ditunjukkan dengan argumen beliau “tansah nguasani (tegese ninda’ake sekabehane
perkoro miturut opo kang dadi kersane)”. Menurut penulis, pemilihan makna “menguasai” ini
dipilih karena dinilai lebih luas dan mencangkup berbagai aspek termasuk lafadz ‫وﻛﯿﻞ‬
(memelihara) sesuatu pun juga masuk dalam kekuasaan Allah. Ini menunjukkan bahwa
kekuasaan Allah itu sangat luas dan tidak terbatas terhadap segala sesuatu. Penggabungan
horizon juga dapat ditemukan dalam tafsiran Mbah Bisri terhadap ayat 63. Dalam menafsirkan
lafadz ‫( ﻣﻘﺎﻟﺪ اﻟﺴﻤﻮات و اﻻرض‬kunci langit dan bumi), beliau menggunakan bahasa “kunci gudang
langit dan bumi”. Beliau juga memberi contoh dari gudang langit ialah gudang hujan,
sedangkan gudang bumi ialah gudang tumbuhan dan sebagainya. Maksudnya adalah bahwa
hanya Allah yang memiliki kunci atau kekuasaan terhadap apa-apa yang ada di langit dan di
bumi seperti berkuasa terhadap terjadinya hujan dan tumbuhnya tumbuh-tumbuhan yang ada
di bumi.
Teori keempat nya Gadamer ialah teori “penerapan/aplikasi”. Menurut Gadamer, ketika
seseorang membaca kitab suci, maka selain proses memahami dan menafsirkan ada satu hal
lagi yang dituntut untuk dilakukan yaitu menerapkan atau menjalankan pesan-pesan dan ajaran-
ajaran pada masa kitab suci tersebut ditafsirkan. Gadamer berpendapat bahwa pesan yang harus
diaplikasikan bukan makna literal teks tetapi meaningfulsense (makna yang berarti) atau pesan
yang lebih dalam daripada sekedar makna literal. 7 Setelah penulis mengamati tafsiran Mbah
Bisri terhadap Qs. Az-Zumar ayat 62-64, memang tidak ditemukan pesan-pesan Mbah Bisri
terhadap pembaca tafsir secara tertulis. Namun, tafsiran Mbah Bisri terhadap ayat-ayat tersebut
menyimpan pesan implisit terhadap para pembacanya. Seperti dalam Qs. Az-Zumar ayat 62
menunjukkan pesan bahwa kita sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah berada dalam
kekuasaan-Nya sehingga kita tidak boleh merasa sombong karena kita adalah hamba yang
lemah dihadapan-Nya. Sedangkan dalam ayat 63 terdapat pesan agar kita tidak mengingkari
ayat-ayat Al-Qur’an jika tidak ingin menjadi manusia yang merugi. Pada ayat 64 terdapat
pertanyaan yang mengandung penegasan bahwa Allah maha kuasa sehingga hanya kepada-
Nya lah kita menyembah dan meminta pertolongan.
Setelah penulis mengkaji tafsir Al-Ibriz Qs. Az-Zumar ayat 62-64, penulis mengambil
dua sudut pandang yang dapat direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, dari sudut
pandang penafsir, dalam hal ini adalah beliau Mbah Bisri Musthofa. Penulis atau kita semua
pada umumnya yang menyandang status santri sudah sepatutnya berusaha meneladani Al-
Qur’an sebagai shalih li kulii zaman wa makan. Kita harus bisa menjadi sosok yang diterima

7
Ibid, hal. 83-84.
oleh semua golongan dimana pun kita berada. Kita harus mampu menjadi teladan dan
memberikan pemahaman yang mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat kita sendiri
sebagaimana Mbah Bisri yang menulis tafsir Al-Ibriz berbahasa Jawa yang mudah dipahami
oleh masyarakat pada masa tersebut. Kedua, dari sudut pandang tafsir Qs. Az-Zumar ayat 62-
64, kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari seyogyanya lebih iman kepada ayat-ayat Allah
yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan beriman kepada ayat-ayat Al-Qur’an, secara otomatis
kita akan beriman kepada kekuasaan Allah dan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah kepada
kita. Efek positifnya apabila kita mampu melakukannya adalah kita akan mendapatkan
ketenangan dan ketentraman dalam menghadapai kehidupan yang kadang kita anggap berat
dan menyakitkan.
Pada akhirnya, penulis mengambil kesimpulan bahwa Mbah Bisri merupakan sosok
ulama’kharismatik yang dengan keilmuannya beliau mampu menuliskan tafsir Al-Ibriz yang
notabene akan sangat mudah dipahami oleh masyarakat pada saat itu. Dengan penjabaraanya
mengenai tafsir dari Qs. Az-Zumar ayat 62-64 menggunakan bahasa Jawa tersebut akan
memberikan pemahaman mengenai kekuasaan Allah kepada masyarakat pada masa itu
sekaligus kepada kita pada masa sekarang dan generasi yang akan datang. Tafsir dari ayat
tersebut menjelaskan mengenai kekuasaan Allah yang meliputi segala hal baik yang ada di
langit dan di bumi. Semua perkara yang terjadi itu adalah menurut kehendak Allah seperti
terjadinya hujan, adanya tumbuh-tumbuhan dan sejenisnya, serta perkara-perkara yang lain.
Semoga setelah kita mempelajari mengenai kekuasaan Allah dalam tafsir Al-Ibriz dapat
menambah wawasan dan meningkatkan keimanan kita kepada Allah yang maha kuasa.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Dan Terjemahan. Kudus: Menara Kudus, n.d.

Musthofa, Kyai Bisri. Al Ibriz Li Ma’rifah Tafsir Al-Qur’an Al-Aziz Bil Lughoh Al-Jawiyah
Juz 24. Kudus: Menara Kudus, 2024.

Setyawati, Retno Sulis. “Konsep Toleransi Dalam Tafsir Al-Ibriz Perspektif Hermeneutika
Hans Georg Gadamer.” Skripsi UIN Purwokerto (2022).

Syamsudin, Sahiron. Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta:


Pesantren Nawasea Press, 2017.
Profil Penulis

Saya sebagai penulis memiliki nama lengkap Zaki Bintang Alam.


Merupakan seorang pria berkelahiran Blitar, 20 Juni 2001. Pada tahun
2024 ini sedang menempuh pendidikan dengan fokus Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir. Penulis juga sedang berjuang menempuh pendidikan non
formal di Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Ngunut Tulungagung dengan
status non-mukim. Penulis selalu merasa bodoh sehingga terus menerus
untuk belajar dalam setiap detik denyut nadinya.

Anda mungkin juga menyukai