Anda di halaman 1dari 7

NAMA : ANNISA’ RAHMAFATCHAREZA

NIM : 2107101101132
MATA KULIAH : HUKUM LINGKUNGAN
KELAS : F

PUTUSAN NOMOR 1794 K/PDT/2004

A. KASUS POSISI1

1. Pemohon Kasasi dalam perkara ini ialah:

Pemohon : Direksi Perum. Perhutani Cq. Kepala Unit Perum.


Kasasi I Perhutani Unit III Jawa Barat, yang berkedudukan
di Jalan Soekarno Hatta No. 628, Bandung;

Pemohon : Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Jawa Barat Cq.


Kasasi II Gubernur Propinsi Jawa Barat, yang
berkedudukan di Jalan Diponegoro, Bandung;

Pemohon : Pemerintah Republik Indonesia Cq. Presiden


Kasasi IV Republik Indonesia Cq. Menteri Kehutanan
Republik Indonesia, yang berkedudukan di Jalan
Gatot Subroto, Jakarta;

Ketiganya dalam hal ini diwakili oleh Ir. Marsanto, MS., Direktur
Utama Perum. Perhutani, dan dalam hal ini memberi kuasa kepada
Benemay, SH.,MH., Advokat, Managing Partners pada Kantor Benemay
& Partners Law Office, berkantor di Gedung Manggala Wanabakti Blok
IV Lantai 5 No. 512 B, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat.

Para Pemohon Kasasi juga sebagai para Termohon Kasasi dahulu


para Tergugat I, III dan IV/para Pembanding;

2. Termohon Kasasi dalam perkara ini ialah:

Termohon : Dedi, bertempat tinggal di Kampung Bojong


Kasasi I Jambu, Desa Mandalasari, Kecamatan
Kadungora, Kabupaten Garut Jawa Barat;
1
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1794K/PDT/2004, 2007 halaman 1–7.
Termohon : Hayati, bertempat tinggal di Kampung Renggel,
Kasasi II Desa Mandalasari, Kecamatan Kadungora,
Kabupaten Garut, Jawa Barat;
Termohon : Entin, bertempat tinggal di Desa Mandalasari,
Kasasi III Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, Jawa
Barat;
Termohon : Oded Sutisna, bertempat tinggal di Kampung
Kasasi IV Bojong Jambu, Desa Mandalasari, Kecamatan
Kadungora, Kabupaten Garut, Jawa Barat;
Termohon : Ujang Ohim, bertempat tinggal di Kampung
Kasasi V Sindangsari, Desa Mandalasari, Kecamatan
Kadungora, Kabupaten Garut, Jawa Barat;
Termohon : Dindin Holidin, bertempat tinggal di Kampung
Kasasi VI Bunianten, Desa Mandalasari, Kecamatan
Kadungora, Kabupaten Garut, Jawa Barat;
Termohon : Aceng Elim, bertempat tinggal di Desa
Kasasi VII Mandalasari, Kecamatan Kadungora, Kabupaten
Garut, Jawa Barat;
Termohon : Mahmud, bertempat tinggal di Kampung
Kasasi VIII Maribaya, Desa Mandalasari, Kecamatan
Kadungora, Kabupaten Garut, Jawa Barat;
Para Termohon Kasasi juga sebagai para Pemohon Kasasi III
dahulu para Penggugat I sampai dengan VIII/para Terbanding;

3. Turut Termohon dalam perkara ini ialah:

Turut : Pemerintah Republik Indonesia Cq. Presiden


Termohon I Republik Indonesia, yang berkedudukan di Jalan
Merdeka Utara No. 18, Jakarta;
Turut : Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Garut
Termohon II Propinsi Jawa Barat Cq. Bupati Kabupaten Garut
Propinsi Jawa Barat, yang berkedudukan di Jalan
Pembangunan, Garut;
Para turut Termohon Kasasi dahulu para Tergugat II dan
V/Pembanding dan turut Terbanding;

4. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1978 jo. Keputusan Kepmen


Pertanian No. 43/KPTS/HUM/1978 yang dipertegas dalam Peraturan
Pemerintah No. 53 Tahun 1999 memberikan hak dalam kewenangan
pengelolaan kawasan hutan Produksi dan hutan lindung di Jawa Barat,
in casu kawasan Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kadungora,
Kabupaten Garut kepada Tergugat I (Perum Perhutani);
5. Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 1999 memberikan
kewenangan bagi Tergugat I sebagai pengelola hutan berkewajiban
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan perencanaan, penanaman,
pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran serta
perlindungan dan pengamanan hutan.;
6. Pasal 7 butir b PP. No. 53 Tahun 1999 menegaskan bahwa segala
perbuatan hukum Tergugat I dalam mengelola hutan harus mengacu
pada maksud dan tujuan perusahaan, yaitu melestarikan dan
meningkatkan mutu sumber daya hutan dan mutu lingkungan hidup;
7. Permasalahan bermula pada saat Tergugat I merubah fisik dan/atau
fungsi hutan yang dapat dikualifikasikan sebagai perusakan hutan
(vide pasal 50 ayat (2) UU No. 41/1999). Perbuatan tersebut meliputi
tidak melakukan reboisasi, merubah hutan primer menjadi sekunder,
dan menciptakan lahan kosong, serta lahan garapan pertanian yang
selanjutnya dimanfaatkan oleh penduduk di sekitar area hutan
Mandalawangi;
8. Tindakan Tergugat I menyebabkan hutan I sekunder di Gunung
Mandalawangi yang berstruktur kemiringan lereng 20 sampai 50
derajat tersebut tidak mampu lagi menahan curah hujan, sehingga pada
tanggal 28 Januari 2003, sekitar pukul 21.30 WIB, terjadi longsor di
area hutan Mandalawangi dan menghancurkan area pemukiman
penduduk yang berjarak sekitar 2-3 km dari titik longsor;
9. Hasil penyelidikan Direktorat Vulkanologi menemukan faktor-faktor
penyebab longsornya Gunung Mandalawangi, yaitu : a) ketebalan
pelapukan tanah (3 meter); b) sarang (mudah meloloskan air); c)
batuan vulkanik yang belum padu; d) kecuraman lereng 20-50 derajat
dan bagian bawah relatif landai; dan e) adanya perubahan tata guna
lahan bagian alas bukit dari tanaman keras/hutan ke tanaman musiman.
Hal ini menegaskan manejemen pengelolaan hutan yang dilakukan
oleh Tergugat I hanya mengejar keuntungan semata tanpa
menghiraukan kelestarian lingkungan dan ekosistem serta tata guna
lahan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7 PP No. 53 Tabun
1999;
10. Tergugat I mengetahui dan mengakui antara Juli – Agustus 2002,
petak V yang berarea 102 ha terdapat 3 titik rawan longsor dan VI
yang berarea 195 ha terdapat 4 titik rawan longsor, namun Tergugat I
tidak menanganinya secara khusus dan tidak mengumumkan
penemuan itu kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait termasuk
Pemda Kabupaten Garut. Atas kelalaian Tergugat I, akibatya pada saat
longsor ada korban jiwa dan harta benda (vide Pasal 6 UU No. 23
Tahun 1997);
11. Berdasarkan keteragan Seksi Gerakan Tanah Direktorat Vulkanologi,
daerah kawasan pemukiman penduduk yang tertimpa longsor tersebut
sudah tidak bisa lagi untuk dijadikan tempat pemukiman, dan oleh
karenanya para penduduk yang berjumlah 1.796 jiwa yang terdiri dari
376 KK harus meninggalkan daerah tersebut dan menempati daerah
baru, oleh karenanya sudah menjadi konsekuensi logis pihak Tergugat
harus melakukan relokasi pemukiman penduduk;
12. Akibat kejadian longsor dari Gunung Mandalawangi tersebut
penduduk yang terkena longsoran Gunung Mandalawangi terpaksa
mengungsi yang hanya mengharapkan bantuan/sumbangan, dan
sekarang ini ditampung dalam posko-posko;
13. Penggugat sebagai korban dari perbuatan Tergugat I dan Tergugat II,
telah mengalami kerugian baik materiil dan immateriil, yang apabila
ditaksir mencapai Rp. 50.417.200.000;

B. POKOK PERTIMBANGAN2

14. Judex Juris memiliki pertimbangan hukum dalam menanggapi eksepsi,


yakni alasan tersebut tidak dapat dibenarkan karena Judex Facti tidak
melakukan kesalahan saat menerapkan hukum terkait gugatan Class
Action
15. Pertimbangan hukum Judex Juris mengenai alasan dalam pokok
perkara ialah:
1) Judex Facti tidak melakukan kesalahan dalam proses banding
sebab pengambilalihan perkara dari Pengadilan Negeri (PN) ke
Pengadilan Tinggi (PT) dilakukan pasca putusan PN;
2) Judex Facti memutus berdasarkan hasil pengamatan secara
langsung yang berkaitan dengan rasa keadilan serta kepatutan
yang berdasar pada tuntutan ex aquo et bono;
3) Judex Facti menekankan pada strict liability
(pertanggungjawaban) Tergugat sebagai pengelola kawasan
hutan di Jawa Barat termasuk gunung Mandalawangi tempat
terjadinya bencana tanah longsor yang mengakibatkan korban
jiwa dan harta benda penduduk. Disamping itu juga ditemukan
hubungan kausal antara perusakan fungsi lingkungan hidup dan
bencana tanah longsor;
2
Ibid halaman 83–85.
4) Judex Facti dapat menggunakan dasar hukum internasional
selama ketentuan tersebut dipandang sebagai Ius Cogens.
Penerapan precautionary principle didalam hukum lingkungan
hidup dapat dipakai untuk mengisi kekosongan hukum (Rechts
vinding). Serta Pasal 1365 B.W tidak dapat dipakai dalam
penegakkan hukum lingkungan hidup karena dilakukan dengan
standar hukum Internasional;
5) Judex Facti benar dalam menerapkan hukum pembuktian
karena negara wajib melindungi dan memelihara lingkungan
hidup. Hal tersebut mengakibatkan Pemohon Kasasi wajib
mengganti rugi pada masyarakat yang mengalami kerugian atas
tindakannya. Kebijaksanaan tidak dapat digunakan dalam
perkara ini karena akibat dari kebijakan hukumnya telah
merugikan masyarakat dan tidak dapat ditolerir;
16. Judex Juris memutuskan bahwa keberatan Pemohon Kasasi III tidak
bisa dibenarkan karena Judex Facti benar menerapkan hukum;
17. Judex Juris memutuskan bahwa keberatan Pemohon Kasasi IV tidak
dapat diterima Judex Facti karena Pasal 180 HIR hanya memberikan
kemungkinan menjatuhkan uitvoerbaar bijvoorraad bukan merupakan
kewajiban;
18. Judex Juris mempertimbangkan bahwa Putusan dari Judex Facti
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan
dengan hukum maka Permohonan Kasasi harus ditolak;
19. Karena Permohonan Kasasi ditolak maka Pemohon Kasasi harus,
membayar biaya perkara atas tingkat kasasi.

C. PENDAPAT

Pendapat Judex Juris bahwa Judex Facti tidak salah memutus


perkara dalam Putusan Nomor 1794 K/Pdt/2004 merupakan hal yang tepat
berdasar pada asas ex aequo et bono. Asas tersebut memberikan ruang
bagi hakim dalam memutuskan tuntutan sesuai dengan prinsip
perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan nilai-nilai keadilan. 3
Penerapan asas ex aequo et bono secara aktif oleh hakim pada umumnya
menggunakan pendekatan judicial activism.4 Perum Perhutani Unit III

3
Erysa Indira Ihzafitri, “Implementasi Kewenangan Ex-Officio Hakim Dalam Perkara Cerai Talak
di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri (Studi Putusan Nomor 1873/Pdt.G/2021/PA.Kab.Kdr)”
(2022), online: <http://etheses.iainponorogo.ac.id/20679/1/101180142_Erysa%20Indira
%20Ihzafitri_HKI.pdf> at 24–25.
4
Ibid at 69.
Jawa Barat melakukan pelanggaran Pasal 9 ayat (3) Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).5

Masyarakat di lereng Gunung Mandalawangi memiliki hak untuk


mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Apabila masyarakat
tersebut tidak mendapatkan hak yang seharusnya maka negara telah
melakukan pelanggaran HAM publik.6 Oleh karena itu negara harus
bertanggung jawab atas tindakannya. Putusan Judex Facti menggunakan
dasar strict liability yang dikenal dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH). Tindakan Perum Perhutani Unit III Jawa
Barat telah menimbulkan ancaman serius terhadap fungsi lingkungan
hidup sehingga tangggung jawab mutlak berada padanya. 7 Hal tersebut
didukung oleh fakta yang terungkap dalam persidangan bahwa terdapat
hubungan hubungan kausal antara perusakan fungsi lingkungan hidup dan
bencana tanah longsor.

Penerapan Pasal 1365 KUH Perdata tidak dapat diterapkan karena


hubungan hukum para pihak bukanlah hubungan privat melainkan publik. 8
Pasal 1365 KUH Perdata mewajibkan Penggugat untuk membuktikan
gugatannya yang mana tidak semua Penggugat memiliki kapasitas untuk
melakukan pembuktian. Oleh karena itu penegakan hukum yang memakai
ius cogens dalam perkara ini diperbolehkan melalui Penerapan
precautionary principle yang dipakai untuk mengisi kekosongan hukum
(Rechts vinding).

Putusan Nomor 1794 K/Pdt/2004 menjadi landmark untuk


kemenangan kasus lingkungan yang menggunakan gugatan perwakilan
kelompok (class action).9 Walaupun realisasi yang dilakukan tidak sesuai
dengan putusan yang diberikan, namun pengakuan bahwa dalam
pelanggaran lingkungan hidup melalui pengajuan gugatan class action
dapat dilakukan. Disamping itu pasca Putusan Nomor 1794 K/Pdt/2004,
gugatan class action menjadi lebih umum dibandingkan dari tahun-tahun
sebelumnya. Hingga pada akhirnya gugatan class action diatur dalam
Pasal 91 UU PPLH tahun 2009.
5
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, 1999 art
Pasal 9 ayat (3).
6
Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Hak Asasi Manusia ibid at 13.
7
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2009 art 88.
8
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006) art 1365.
9
Laode M Syarif & Andri G Wibisana, eds, Hukum Lingkungan (Teori, Legislasi dan Studi
Kasus), Kemitraan Partnerhip (Jakarta, 2015) at 644.
D. RUJUKAN

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2009.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak


Asasi Manusia, 1999.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1794K/PDT/2004, 2007.

Laode M Syarif & Andri G Wibisana, eds, Hukum Lingkungan (Teori,


Legislasi dan Studi Kasus), Kemitraan Partnerhip (Jakarta, 2015).

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) (Jakarta: Pradnya


Paramita, 2006).

Erysa Indira Ihzafitri, “Implementasi Kewenangan Ex-Officio Hakim


Dalam Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Kabupaten
Kediri (Studi Putusan Nomor 1873/Pdt.G/2021/PA.Kab.Kdr)”
(2022), online:
<http://etheses.iainponorogo.ac.id/20679/1/101180142_Erysa
%20Indira%20Ihzafitri_HKI.pdf>.

Anda mungkin juga menyukai