Anda di halaman 1dari 27

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/341279946

Mengatasi Kendala Menulis Akademis: Proposal yang Benar dan Menarik

Presentation · May 2020


DOI: 10.13140/RG.2.2.30794.59847

CITATIONS READS
0 1,378

1 author:

Haleluya Timbo Hutabarat


Universitas Kristen Duta Wacana
18 PUBLICATIONS 6 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Haleluya Timbo Hutabarat on 10 May 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Serial Tehnik Menulis Akademis

Mengatasi Kendala Menulis Akademis:

Proposal yang Benar dan Menarik

Haleluya Timbo Hutabarat

Universitas Kristen Duta Wacana - Yogyakarta, Indonesia

Mei, 2020
Abstrak

Menulis akademis bukan sesuatu yang bisa dimiliki tiba-tiba. Dibutuhkan pengetahuan, latihan,

mental pantang menyerah, sekaligus kerendahan hati, demi diterimanya proposal atau rencana

penelitian untuk dapat diteruskan ke jenjang penelitian. Artikel ini merupakan alat bantu yang

filosofis sekaligus praktis terkait menulis proposal. Artikel ini lahir dari refleksi dan pengalaman

tutorial di kelas tehnik menulis. Selayaknya modul tutorial, penggunaan ilustrasi diharapkan

akan lebih banyak berbicara untuk memetakan ide-ide pokok, dan agar lebih praktikal

penjabarannya. Artikel ini mendukung mahasiswa tingkat akhir atau peneliti pemula atau setiap

orang yang gemar dan ingin mengembangkan kemampuan menulis akademis.

Kata kunci: menulis proposal, rancangan penelitian, menulis akademis

2
A. Pengantar

Menurut Olivia Valdes sebuah tulisan akademis sekurangnya memiliki empat karakter:1

1. Clear and limited focus (Fokus yang jelas dan dibatasi)

Sebuah makalah akademis yang baik seharusnya memiliki pernyataan tesis (thesis

statement) yang jelas sejak awal, baik itu yang berbentuk argumen maupun dalam

bentuk pertanyaan penelitian. Dan thesis statement inilah yang harus menjadi

fokus. Setiap paragraf dan kalimat dari makalah tersebut harus terhubungkan pada

fokus utama tersebut. Isi makalah harus mencakup informasi latar belakang atau

konteks, dan semua konten yang melayani tujuan mendukung thesis statement.

2. Logical structure (Struktur logis)

Semua tulisan akademis mengikuti struktur yang logis dan langsung

(straightforward). Dalam bentuknya yang paling sederhana, sistematika sebuah

penulisan akademis mencakup pengantar, paragraf tubuh, dan kesimpulan.

Pendahuluan memberikan informasi latar belakang, menjabarkan ruang lingkup

dan arah dari esai, dan menyatakan tesis. Paragraf tubuh makalah mendukung

pernyataan tesis, dengan masing-masing paragraf menjabarkan satu poin

pendukung. Kesimpulan merujuk kembali ke tesis, merangkum poin-poin utama,

dan menyoroti implikasi dari temuan makalah ini. Setiap kalimat dan paragraf

1 Olivia Valdes, "An Introduction to Academic Writing: Characteristics and Common Mistakes to Avoid",
ThoughtCo. Diakses pada 23 Oktober 2019 di https://www.thoughtco.com/what-is-academic-writing-1689052

3
secara logis terhubung ke kalimat berikutnya untuk menyajikan argumen yang

jelas.

3. Evidence-based arguments (Argumen berbasis bukti)

Penulisan akademis membutuhkan argumen yang terinformasi dengan baik.

Pernyataan harus didukung oleh bukti, baik dari sumber ilmiah (seperti dalam

makalah penelitian), hasil penelitian atau percobaan, atau kutipan dari teks primer

(seperti dalam esai analisis sastra). Penggunaan bukti memberi kredibilitas pada

argumen.

4. Impersonal tone (Bukan gaya bahasa tulisan yang pribadi)

Tujuan penulisan akademik adalah untuk menyampaikan argumen logis dari sudut

pandang objektif. Tulisan akademik menghindari bahasa yang emosional, radang,

atau bias. Apakah Anda secara pribadi setuju atau tidak setuju dengan suatu ide,

itu harus disajikan secara akurat dan obyektif dalam makalah Anda.

Untuk menghadirkan ciri-ciri akademis yang benar dan menarik, seperti penjelasan

Valdes di atas, pada rencana penulisan atau biasa dikenal dengan istilah proposal, tidak jarang

muncul kendala-kendala.

Kendala umum. Tidak sedikit mahasiwa atau calon peneliti yang bingung saat akan

memulai sebuah rencana penelitian. Bagaimana membuat sebuah usulan atau proposal

penelitiannya, agar bisa diterima. Tidak jarang mahasiswa, setelah bersusah payah

menyelesaikan kelas perkuliahan, malah berfikir untuk mengakhiri studinya setelah berada di

awal fase menulis tesis atau disertasi. Tentu ada banyak faktor penyebab, tetapi signifikasi dari

tulisan ini memberi sumbangsih penjelasan pada bagian-bagian yang umumnya mengganggu

4
proses pembuatan proposal tesis atau disertasi atau rancangan penelitian. Jika disadari oleh calon

peneliti sejak awal, kiranya dapat lebih antisipatif.

Kendala kembar. Dalam tulisan ini, kendala dalam menulis proposal, sengaja dipaparkan

secara berpasangan. Berdasarkan pengalaman, kebingungan muncul karena ada kendala 'kembar'

yang sulit dibedakan. Karena mirip, pasangan kendala ini akan disebut twins of the problems.

Umumnya para penulis atau peneliti kesulitan membedakan narasi apa, yang diinginkan ada,

pada bagian yang mana. Inti kendalanya adalah, soal tata letak narasi, sistematisasi logika

berfikir dan konsistensi rencana penelitian dengan pelaksanaannya.

Demi menjaga tujuan dan kemanfaatannya, tulisan ini menjaga karakter penulisan yang:

Filosofis dan praktis. Isi makalah ini, di satu sisi, ingin memberi penjelasan yang bersifat

filosofis agar tidak sekedar menjadi hafalan tanpa pemahaman. Di sisi lain, ingin menjadi

petunjuk yang aplikatif praktis dan operasional dalam proses pembuatan proposal.

Terminologi etimologis dan teknis. Dalam menulis artikel ini, akan sering disejajarkan

istilah berbahasa Indonesia dengan terminologi etimologis dan tehnis asali, yang umumnya

dengan bahasa Inggris. Ada alasan untuk itu. Alasan pertama bersifat etimologis. Harus disadari

bahwa budaya menulis makalah ilmiah, lahir dan berkembang di dunia Barat. Unsur-unsur dalam

setiap makalah ilmiah memiliki nama yang memiliki maksud dan filosofi di baliknya. Ketika

berkecimpung dalam dunia literasi di Indonesia, ditemukan banyak istilah yang telah

diterjemahkan tetapi tidak berhasil mengusung filosofisnya, bahkan tidak sedikit yang

menambah bingung karena kemudian banyak istilah yang bermunculan. Setelah menyadari ini,

secara profesional diputuskan untuk mempertahankan istilah etimologisnya. Harapannya, jika

penjelasan dalam artikel ini terlupakan setelah ini, setidaknya jika pembaca dapat mengingat

5
istilah asalinya, akan lebih mudah menemukan kembali nilai filosofisnya dari sumber-sumber

lain yang lebih mendalam.

Alasan kedua lebih bersifat tehnis, praktis dan operasional, tetapi sama mendasarnya.

Harus disadari bahwa budaya menulis di Barat telah terintegrasi sedemikian rupa hingga pada

aplikasi-aplikasi yang mendukung budaya menulis. Sebutlah satu merek dari aplikasi menulis

yang sudah terkenal itu, Microsoft Office. Mempertahankan penggunaan istilah internasional ini,

dalam prakteknya akan membantu pembaca untuk terhubung dengan menu-menu dalam aplikasi-

aplikasi menulis dan meneliti seperti Microsoft office. Jadi, perhatikanlah istilah-istilah

etimologis itu, karena sekaligus merupakan istilah bantu yang memandu.

Ilustratif. Artikel ini adalah catatan pengalaman dan praktek selama memberi tutorial

pada kelas technical writing mahasiswa Teologi. Sebagaimana biasanya sebuah tutorial,

keberadaan gambar dan ilustrasi dengan harapan akan lebih berbicara ketika penjelasan tertulis

memperlihatkan keterbatasannya.

Secara khusus, makalah ini bertujuan memberikan solusi guna mengatasi kendala

menulis pada bagian proposal. Tulisan ini bersumber dari pengalaman menulis, membaca,

mendampingi proses penulisan dan melakukan pelatihan menulis bagi mahasiswa yang akan

mulai menulis proposal. Secara umum, makalah ini menawarkan informasi filosofis reflektif

tentang technical writing yang akademis sekaligus memberikan pedoman praktis. Artikel ini

diharapkan mendukung kebutuhan mahasiswa tingkat akhir atau peneliti pemula atau setiap

orang yang gemar dan ingin mengembangkan kemampuan menulis akademis. Versi yang mirip

sudah pernah diterbitkan. Alasan diterbitkan lagi adalah kebaharuan informasi bagi pembaca.

6
Semoga informasi yang dibagikan inspiratif sekaligus operatif bagi sebuah penulisan proposal

yang baik dan menarik.

B. Kedala Menulis dan Solusinya

1. Bedakan "Latar Belakang Masalah" dan "Rumusan Masalah"

Latar Belakang Masalah

Bagian "Latar belakang masalah" seyogyanya mengandung ide utama terkait:

a. “What is happening”

b. “What should be”2 atau/ dan "Worst Will Be".

Dalam menarasikan tentang “What is happening”, seorang penyusun proposal harus

menjabarkan sebuah fenomena3 dari apa yang terjadi sesuai hasil pengamatannya. Fenomena itu

dapat berupa sebuah situasi yang memprihatinkan menurut perspektif mahasiswa jurusan

tertentu, atau wacana kegelisahan sebagai seorang ahli di bidang tertentu, atau sebagai praktisi di

bidang tertentu. Wilayah kejadiannya bisa terjadi di media cetak, diskusi maya di media sosial,

di wilayah terdekat kita, di sebuah institusi keagamaan, atau pada komunitas politis dimana kita

berada. Kurun waktunya bisa "tempo doeloe", bisa "kekinian", bisa berupa "ramalan futuristik

imajiner" yang akan terjadi. Bentuknya bisa berupa sebuah mitologi budaya, bisa catatan empiris

historis dari suatu lembaga, bisa catatan berspektif ekonomis, bisa realitas sosial, bisa ajaran

teologis, prilaku kotra ekologis, atau bentuk lainnya. Cakupan fenomena yang dimaksud, bisa

2 Bandingkan dengan Arya Hadi Dharmawan, Menyusun Problem Statement dan State of the Art. Diakses
dari http://www.forda-mof.org/files/arya.pdf
3 Prashant Kumar Astalin, "Qualitative Research Designs: A Conceptual Framework" dalam International
Journal of Social Science & Interdisciplinary Research Vol.2 (1), January (2013).

7
jadi sangat personal, bersifat institusional, regional, nasional, atau bahkan berskala internasional.

John Latham menggunakan istilah "the real world problem" dan "undesireable symtoms".4

Situasi empiris yang terpilih, harusnya yang akan menjadi stimulus dari penelitian yang

sedang dirancang. Jika dihubungkan dengan rencana studi, biasanya inilah alasan mengapa

seseorang memutuskan untuk studi lanjut. Bagi seorang mahasiswa penerima beasiswa, sangat

mungkin bahwa hal empiris ini merupakan latar belakang mengapa institusi mengutusnya untuk

studi lanjut.

Narasi kedua, yang harus ada dalam latar belakang masalah adalah “What should be”.

Narasi tentang “What should be” adalah paragraf yang berisi ide pokok yang mengambarkan

situasi ideal yang menurut sudut pandang akademis peneliti harusnya terjadi, sebuah susunan

rangkaian idealisme (mind set) tentang dunia yang lebih baik, apa yang peneliti impikan

seharusnya terjadi, atau mungkin gambaran hal-hal yang disukai agar dilakukan semua orang.

Situasi ideal yang menjadi angan-angan ini, merupakan reaksi reflektif atas fenomena yang

sudah disoroti sebelumnya. Baik sekali jika ini adalah keprihatinan pribadi penulis. Contoh yang

baik atau menarik, jika itu adalah sebuah promosi atas local geniuses and genuineness dari

tradisi leluhur. Di sinilah letak otentisitas dan sekaligus subjektifitas akademis penulis atau

peneliti. Dengan demikian, bagian ini menjadi bagian yang penting, yang membedakan sebuah

penelitian dibanding dengan yang lain. Bagian ini adalah sesuatu yang bernilai dalam karya

ilmiah, karena itu adalah sudut pandang akademis yang unik (paper standpoint). Bagiana ini

menunjukkan keyakinan penulis akan nilai atau visi tertentu. Biasanya, perancang penelitian

akan tergoda membicarakan sebuah teori. Itu bisa saja. Memang, bisa saja "sweet dreams" itu

4 Lihat bagia "Problem" dalam John Latham, Research Methods Framework. Dapat diakses pada
https://www.drjohnlatham.com/frameworks/research-methods-framework/

8
merujuk atau mendasar pada teori ideal tokoh tertentu, tetapi sebaiknya jangan buru-buru ke

sana, sebab bagian itu memiliki wilayah membahasnya sendiri, yaitu di landasan terori.

Berfokuslah pada fenomena ideal yang diinginkan. Fenomena itu bisa berwujud empiris, bisa

konseptual filosofis.

"Worst will be", juga adalah narasi yand dihasilkan oleh reasi reflektif terhadap fenomena

buruk yang kita soroti. Bagian ini berisi prediksi-hipotetis logis akan hal-hal terburuk jika

fenomena "what is happening" yang sudah disebut sebelumnya, terus dibiarkan.

Tiga main idea di atas adalah hal pokok yang harus ada sebagai latar belakang penelitian

mahasiswa. Jika kita dapat menunjukkan hubungan secara logis antar unsur-unsur pokok ini,

maka paragraf-paragraf artikel kita akan bener-benar menjadi sebuah latar belakang penelitian

yang masuk akal. Itulah sebabnya bagian ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah

rationale background. Dalam Google Translate kata rasionale dimaknai sebagai "a set of

reasons or a logical basis for a course of action or a particular belief".

Hubungan antar narasi utama atau main idea di dalam bagian latar belakang masalah

dapat digambarkan dengan skema berikut:

Gambar 1. Komponen sebuah Latar Belakang Masalah

9
Intinya, baiklah selalu dibayangkan bahwa sebuah latar belakang masalah (rasionale

backgroud), minimal yang berisi pasangan narasi "What is happening" dan narasi "What should

be" atau satu pasangan narasi "What is happening" dengan narasi "Worst will be". Atau bisa

juga, jika dirasa perlu membuat latar belakang yang agak padat, pasangan narasi rangkap tiga

yang terdiri dari ketiga main idea di atas.

Sebuah tips penting tentang sebuah paragraf, buatlah sebuah paragraf yang hanya berisi

satu main idea, satu ide pokok saja. Bahwa itu dilengkapi oleh supporting details, itu sebuah

keharusan. Tetapi, yang harus dihindari, dan ini yang sering menyebabkan kacaunya

sistematisasi sebuah tulisan ilmiah, menumpuknya beberapa main idea dalam satu paragraf. Lalu

menjelaskan supporting detailnya pada paragraf lain. Sebaiknya lakukan cross-check apakah

paragraf-paragraf dari proposal yang ditulis itu terlalu panjang. Jika terlalu panjang, curigailah

bahwa ide pokok paragraf itu terlalu banyak. Jika demikian, pecahlah menjadi kelompok

paragraf yang masing-masing memiliki fakta-fakta pendukung. Tulisan yang menarik terdiri

paragraf-paragraf yang mudah dicerna logikanya. Sebuah proposal yang terdiri dari paragraf

sederhana dengan kalimat singkat, akan lebih menarik ketimbang yang terdiri dari paragraf yang

padat atau kalimat yang terlalu panjang.

Kata kunci penting dalam membuat sebuah artikel ilmiah, termasuk proposal, harus

berkarakter ABC, yaitu accurate, brief, and concise. Artinya sebuah proposal penelitian harus

singkat-padat-jelas. Hindari penjelasan yang cenderung emosional atau puitis. Menulis ilmiah

tidak sama dengan menulis sebuah buku populer. Agar proposal sistematis, pastikan satu

penjelasan tidak dijelaskan berulang pada tempat yang lain. Pastikan setiap narasi ide pokok

cukup memiliki satu tempat saja.

10
Jika hal-hal di atas diperhatikan, sebuah proposal penelitian atau studi, umumnya tidak

lebih dari 15 halaman. Jika sebuah pendahuluan, nama lain dari proposal penelitian, adalah 10

persen dari keseluruhan halaman, maka sebuah prososal 15 halaman mencerminkan sebuah hasil

penelitian dengan panjang kira-kira 150 halaman. Jika tidak bermaksud menulis sepanjang itu,

halaman pendahuluan harus diringkas lagi.

Usulan lain, agar mudah memeriksa sistematisasi dan konsistensi sebuah proposal adalah

dengan menaruh sub-heading atau sub judul. Disiplin mengenakan sub-judul di atas sebuah

paragraf akan sangat membantu penulis sendiri untuk mempertegas ide pokok paragrafnya.

Apakah ide pokok dan data pendukungnya sudah jelas dan nyambung.

Pada saat yang bersamaan pemberian sub-judul juga akan bermanfaat bagi pembaca,

terutama dosen pembimbing, yang umumnya super sibuk dan sering tergoda untuk tidak

membaca proposal yang masih "acak-acakan". Bayangkan bahwa seorang dosen membimbing

lebih dari tiga orang. Bayangkan bagaimana dia membagi waktu dan perasaan (frustasi!) dengan

rencana penelitian mahasiswanya yang kacau. Logisnya, dosen pembimbing itu akan mudah

memahami sebuah paragraf dan lebih tertarik pada artikel yang sudah diberi sub-heading. Tehnik

menulis dengan model APA Style bahkan mewajibkan penggunaan running head pada tiap

halaman sebuah artikel, termasuk proposal, dengan asumsi bahwa itu akan sangar memantu

pembaca mengingat, topik dari lembar yang sedang dibaca.

Apa yang dan bagaimana membedakan "latar belakang masalah" dengan "rumusan

masalah"?

Rumusan Masalah

11
Sebuah rumusan masalah, yang dalam terminologi Inggris biasa disebut problem/s of the

study atau problem statement, akan benar dan valid nyata, ketika kita berhasil memunculkan

pertanyaan setelah melihat ruang kosong di antara "What is happening" dengan "What should

be". Ketika terlihat nyata adanya "jurang" (gab) atau "kesenjangan" (discrepancy) antara "apa

yang terjadi" dengan "apa yang seharusnya", di situlah "masalah untuk diteliti" berpotensi hadir.

Sebuah rumusan masalah, ingat frase kuncinya problem/s of study, dinyatakan valid, bila sebuah

proposal dapat menggambarkan urgentnya atau mendesaknya sebuah penelitian dilakukan agar

jurang antara apa yang terjadi dengan apa yang ideal dapat dijembatani. 5 Telah ditemukan

pertanyaan terkait menemukan kemungkinan bagaimana situasi yang ideal itu dapat terwujud

sesuai konteksnya.

Pertanyaan Penelitian. Sebuah rumusan masalah harus diekspresikan secara jelas dalam

bentuk pertanyaan. Sebagai contoh, untuk latar belakang "Limbah plastik makanan di kantin

kampus U dan "Level polusif yang makin meningkat", rumusan masalah yang dipilih bisa sebuah

pertanyaan "Bagaimana mengurangi polusi limbah plastik di kantin kampus U" atau "Dengan

prilaku yang bagaimana mahasiswa dapat mengurangi polusi dari limbah plastik makanan di

lingkup kampus berinisial U". Dalam rangkaian itu, tujuan penelitian mungkin adalah

"Menemukan jenis prilaku tertentu oleh mahasiswa di kampus berinisial U, guna mengurangi

dampak buruk dari limbah plastik industri makanan di kantin kampus". Ini bisa menjadi sebuah

penelitian atas spiritualitas tokoh C, bisa menjadi kajian atas etika model G, bisa menjadi

penerapan selogan budaya lokal yang bernama J, dan kemungkinan studi-studi lainnya. Kita bisa

5 Bandingkan dengan bagian "Problem" John Latham, Research Methods Framework. Dapat diakses pada
https://www.drjohnlatham.com/frameworks/research-methods-framework/

12
melihat bahwa, dari sebuah pertanyaan penelitian akan muncul indikasi operasionalisasi dari

tujuan penelitian, metode, lokasi penelitian, dan seterusnya.

Mari melihat contoh yang lain. Misalkan saja fenomenanya adalah budaya populer

berbusana anak remaja gereja X saat beribadah. Rumusan masalah yang dipilih mungkin "Motif

narcisism remaja gereja X dalam pola berbusana saat beribadah" atau "apakah ada teologi yang

dapat mengatasi prilaku "narsir" remaja di jemaat X". Dan tujuan penelitian adalah, menemukan

dasar teori bagi teologi budaya populer tertentu yang mampu mengubah prilaku konsumtif

jemaat X. Ini bisa menjadi sebuah studi teologi operasional gereja X, bisa merupakan studi

teologi tubuh perspektif perempuan, atau bisa menjadi studi terhadap teologi solidaritas kaum

muda.

Jadi jelaslah bahwa sebuah pertanyaan penelitian yang baik secara akademis, adalah

rumusan pertanyaan yang jelas sehingga memberi petunjuk (clue) pada operasionalisasi

bagaimana unsur-unsur penelitian akan dikerjakan. Misalnya mengarah pada tujuan penelitian

tertentu (yaitu untuk menemukan jawaban tertentu), atau memberi clue terhadap metode dan

tahapan-tahapan penelitian tertentu, atau mengarahkan peneliti pada konteks penelitian tertentu,

atau akan mempersempit batasan-batasan penelitian dan tentunya membimbing penulis pada

sistematika logis penelitian tertentu. Tentunya, sebuah pertanyaan penelitian yang baik,

mengarahkan penelitian pada relevansi yang bermanfaat terhadap situasi real di lapangan. 6

Inilah mengapa rumusan masalah sangat menentukan sebuah proposal yang baik dan menarik.

6 Bandingkan dengan pendapat Barbara M Wildemuth, "Developing a Research Question" dalam


Applications of Social Research Methods to Questions in Information and Library Science (London: Libraries
Unlimited, 2009), 11, 15.

13
Jika pasangan narasi di latar belakang masalah adalah "What is happening" dan "Worst

Will Be" maka pertanyaan penelitian yang mencerminkan rumusan masalah untuk diteliti, adalah

"Apakah ada pendekatan tertentu yang dapat digunakan untuk menggagalkan situasi terburuk

yang diprediksi akan terjadi?".

Tentang pemetaan area sumber, dari mana sebuah rumusan masalah atau pertanyaan

penelitian dimunculkan, dapat dilihat dari Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Area rumusan masalah

Dengan pola, dimana kesenjangan, gap7 atau discrepancy menganga, di situ pertanyaan

penelitian akan tercipta, maka filosofinya, dimana krisis terjadi, yaitu ketika terlihat jurang

antara yang real (nyata) dan yang ideal (seharusnya), disitulah misi untuk melakukan sebuah

studi harus disuarakan. Inilah mentalitas yang harus dimiliki seorang akademisi atau peneliti,

selalu kritis pada situasi krisis, optimis pada suara pengharapan, bukan pesimis. Kata kunci yang

7 Barbara M Wildemuth, "Developing a Research Question" dalam Applications of Social Research


Methods to Questions in Information and Library Science (London: Libraries Unlimited, 2009), 11.

14
selalu menolong mengawali pertanyaan kritis antara lain: bagaimana, apa, dimana, kapan, dan

lainnya.

Sejauh ini, apakah sudah dapat melihat perbadaan antara "masalah fenomenologis yang

dipotret" sebagai latar belakang masalah dengan "masalah akademis yang ingin diteliti"? Untuk

membantu membedakannya, sebuah tips, kembalilah pada terminologi aslinya agar menemukan

filosofisnya. Fenomena yang dipermasalahkan harus menjadi wilayah rasionale background,

sedangkan masalah yang akan diteliti akan menjadi bagian dari problem of the study. Lihatlah

gambar 3 yang mengilustrasikan ide-ide pokok tersebut.

Latar Belakang

Masalah

(Rasionale

Backgroud)

Gambar 3. Area latar belakang masalah dan rumusan masalah

15
2. Bedakan Tujuan Studi dan Manfaat Studi

Kedua frase "tujuan studi" dan "manfaat studi" juga sering seperti masalah kembar yang

sering tidak dapat dibedakan. Dalam prakteknya, saat menarasikan salah satu atau keduanya,

isinya sama, mirip, atau saling terbalik. Karena hal ini, mahasiswa atau peneliti pemula mungkin

akan keluar dari ruang konsutasi dengan wajah frustasi dan salah sangka bahwa dosennya tidak

memahami pemikirannya. Dalam pengalaman kelas tutorial tehnik menulis, ini juga merupakan

hal yang sering membuat para peserta, peneliti pemula tertawa sendiri, karena ternyata mereka

telah salah membedakan kembar, tujuan dan kemanfaatan studi.

Tujuan Studi

Tujuan studi, atau lebih sering disebut tujuan penelitian berasal dari frase objective/s of

the study. Tujuan sebuah penelitian sebenarnya merupakan “hal yang kita mau dicapai atau

dijawab dalam penelitian". Pastinya, sebuah tujuan penelitian adalah target yang harus

dibuktikan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan dalam "rumusan masalah".

Secara operasional, jika pertanyaan penelitian ada tiga, maka tujuan penelitian juga akan ada

tiga. Dan acap kali jumlah tujuan penelitian akan mencerminkan jumlah bab di antara bab

pendahuluan dan bab kesimpulan. Hampir pasti bahwa jumlah main idea dari kesimpulan harus

berfokus pada jumlah ide pokok pertanyaan penelitian. Ketika terjadi konsisensi isi mulai dari

pendahuluan sampai pada kesimpulan, maka saat itulah terjadi demonstrasi dari sebuah penulisan

hasil penelitian yang baik.

Manfaat penelitian

Manfaat penelitian berasal dari frase significancy of the study. Manfaat dari studi adalah

sesuatu yang akan dihasilkan setelah penelitian selesai. Bedakan dengan 'tujuan penelitian' yang

16
harus dicapai dalam proses penulisan. Hasil studi biasanya bermanfaat sebagai rekomendasi

akademis bagi peneliti secara personal, keluarga peneliti, masyarakat yang diteliti, institusi

tertentu, atau suatu komunitas dengan cakupan tertentu. Manfaat penelitian adalah juga sebagai

sumbangsih teoretis bagi minat studi tertentu.

Contoh narasi kemanfaatan studi sebuah penelitian:

Secara nasional, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi terciptanya

kerjasama damai antar pemeluk agama di Indonesia. Secara lebih khusus bagi di kota Jogjakarta.

Secara keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan pendekatan teori

pendampingan perdamaian. Dalam dunia praktisi bidang perdamaian, diharapkan penelitian ini

dapat memberi alternatif praktis baru.

Agar jelas bedanya dengan tujuan penulisan, jika dilihat dari letaknya, tujuan studi atau

penulisan, wilayahnya ada di dalam dan selama proses penelitian, sedang manfaat penelitian

adalah sesuatu yang berada di luar dan terjadi setelah penelitian selesai dilakukan. Jika tujuan

penelitian harus dipenuhi agar penelitian dapat dinyatakan selesai, maka manfaat penelitian

adalah sesuatu yang dampaknya baru dapat terjadi setelah penelitian dinyatakan layak

dipublikasikan.

3. Bedakan Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual

Bagian ini berfungsi untuk mempertegas pentingnya memiliki paradigma (schematic)

penelitian sebelum dan selama penelitian. Menjaga kejelasan schematic framework dalam

pikiran peneliti, akan mempengaruhi kelancaran proses penelitian berlangsung, juga terkait

kejelasan hasilnya. Dalam berbicara tentang schematic framework, dua frase yang sering

membingungkan adalah membedakan kerangka teori dan kerangka konseptual. Sering kali

keduanya dianggap kembar beda nama atau dipahami saling terbalik. Maka penting untuk

dipahami dan dibedakan.

17
Kerangka kerja teori (theoretical framework)8 adalah sesuatu yang dihasilkan jika kita

sudah memilih sebuah teori. Sebuah teori dipilih karena diasumsikan dapat dipakai untuk

menganalisa fenomena, mengatasi persoalan, membantu mencapai situasi ideal, atau

menghindari keadaan makin buruk sebagai efek domino dari fenomena.

Jika laporan penelitian ini ingin dipublikasikan dalam jurnal sebuah jurnal bergensi,

pemilihan sebuah teori dasar, harus melalui literatures review dan gap analysis terhadap teori-

teori yang pernah ada, guna menemukan celah kebaharuan untuk dipelajari dan posisi unik dari

teori yang akan dipilih. Sebuah teori layak dipilih jika dianggap memberi sumbangsih baru

dalam menutupi celah studi yang pernah ada, area yang belum terpecahkan secara teoretis dan

dunia ilmiah. Ini yang disebut dengan kebaharuan (novelty). Itulah sebabnya dapat juga

dikatakan bahwa sebuah teori yang terpilih adalah hasil dari analisis celah terhadap teori-teori

serumpun yang pernah ada. Narasi dari sebuah literatures riview, yang merupakan demonstrasi

dari proses gap analis, yang akhirnya menemukan sebuah temuan baru ini sering juga sebut

dengan istilah state of the art 9.

Hipotesa. Bagi yang penelitiannya menggunakan metode pembuktian atau pembuktian

korelasi, maka teori yang bersifat dugaan (hipotesa) yang perlu dibuktikan. Hipotesa berada di

antara independen variabel dan dependent variabel (lihat gambar 4). Sebagai contoh, untuk

memberi gambaran, akan dimulai dengan pertanyaan, apakah self awareness berpengaruh pada

prilaku kecanduan gadget pada anak-anak? Dari pertanyaan penelitian di atas, terkandung

8 Shyam Guragain, "Theoretical and Conceptual Framework" dalam Social Research. Diakses pada
Oktober 2019 dari https://shyamguragain.com.np/2019/07/25/259/
9 Bandingkan dengan Arya Hadi Dharmawan, Menyusun Problem Statement dan State of the Art. Diakses
dari http://www.forda-mof.org/files/arya.pdf. Pedoman Akreditasi Jurnal Ilmiah (Jakarta: Direktorat Jenderal
Penguatan Riset dan Pengembangan-Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2018), 11. Diakses dari
http://arjuna.ristekdikti.go.id/index.php/akreditasi/pedoman

18
hipotesa bahwa teori self awareness berhubungan dengan fenomena prilaku kecanduan gadget

pada anak-anak. Dugaan inilah yang kemudian yang menjadi tujuan dari studi, membuktikan

apakah kebenaran teori yang dipilih, sebagai sebuah hipotesa, terbukti atau tidak.10

Kerangka kerja teori yang dipilih dapat berasal dari satu orang tokoh saja atau hasil

konstruksi tematis, dari banyak tokoh. Contoh teori berdasarkan tokoh: Hermeneutik Gadamer,

Injil menurut Paulus, Pendidikan yang membebaskan menurut Paulo Freire, dan lain-lain.

Contoh teori yang tematis misalnya: ekologi feminis, ecclesiologi gereja urban, teologi publik

jemaat multikultural, dan lain sebagainya.

Sebuah kerangka kerja teoretis dapat dikatakan sukses dibangun, jika kerangka kerja teori

sudah berhasil menampilkan indikator-indikator dari teori tersebut. Indikator adalah unsur-unsur

dari teori, yang harus diperhatikan karena teori itu ingin diterapkan, dalam suatu kasus atau

komunitas yang menjadi contoh penelitian.

Bernard. M. Bass11, sebagai contoh, dalam menjelaskan Transformational Leadership

menjelaskan bahwa ada empat kriteria atau ciri-ciri dari pemimpin yang transformasional yang ia

maksud. Melalui proses literature riview, dihasilkanlah gambaran teori utuh yang disebut

kerangka teori. Maka keempat ciri inilah yang kemudian akan menjadi indikator dalam

menganalisa persoalan kepemimpinan yang ingin diteliti. Dalam prakteknya, ringkasan teori

Bass, dalam contoh di atas, akan diurai lengkap dalam Bab II sebuah tesis, dan diperkenalkan

sekilas saja pada Bab Proposal (Bab I atau Pendahuluan).

10 Bandingkan dengan Barbara M. Wildemuth, "Testing Hypotheses" dalam Applications of Social


Research Methods to Questions in Information and Library Science (London: Libraries Unlimited, 2009), 33.
11 Bernard M. Bass and Ronald E. Riggio, Transformational Leadership, (London: Lawrence Erlbaum
Associates, 2006), 6-7.

19
Jadi, dari sebuah teoretical framework yang baik, akan lahir definsi-definsi yang

konseptual, dan definisi operasional yang terukur. Sebuah teoretical framework yang baik akan

memberi gambaran tentang opersionalisasi dari penelitian, sekaligus inspirasi bagi batasan-

batasan masalahya. Bentuk dari kerangka teori ini dapat berupa matriks tabel atau bagan-bagan.

Lebih lanjut, indikator-indikator dari kerangka teori inilah yang kemudian secara operasional

akan menjadi struktur dan alat ukur dari instrumen penelitian, spesifiknya pada struktur

observasi, struktur pertanyaan wawancara, ataupun struktur angket. Kerangka teori ini juga dapat

bermanfaat dalam menganalisa hasil penelitian. Kerangka teori ini harus ditetapkan sejak awal

agar proses penelitian dapat dilihat, sudah pantas atau belum untuk dilakukan.

Kerangka kerja konseptual

Kerangka kerja konseptual (conceptual framework) adalah sesuatu yang terkait erat

dengan kerangka kerja teori. Seperti yang dapat diwakili oleh pendapat Latham, yang terpenting

dimiliki dalam kerangka kerja konseptual adalah menemukan variabel dan hubungan antar

keduanya. 12 Gambar 4 di bawah merupakan contoh dimana letak sebuah conceptual framework

dan hubungannya dengan theoretikal framework.

Situasi
Theoretica
dimana teori
l akan

Framework didaratkan

Gambar 4. Conceptual Framework dan letak Theoretical Framework

12 John Latham, Research Methods Framework. Tersedia pada


https://www.drjohnlatham.com/frameworks/research-methods-framework/

20
Ada banyak hal yang dapat dirinci lebih lanjut untuk membedakan theoretical framework

dan conceptual framework. Yang disebut di sini adalah hal-hal pokok saja (lihat tabel 2).13

Theoretical Framework Conceptual Framework


Berisi ide umum dan lebih luas yang Ini merujuk pada gagasan spesifik atau
lebih mandiri14 lebih sempit yang akan mendarat pada
kontek penelitian studinya15
Dibangun oleh tokoh tertentu Dibangun oleh peneliti sendiri
Bersifat teoretis Bersifat terapan atau turunan dari
landasan teori

Tabel 2. Perbedaan theoretical framework dan conceptual framework

4. Bedakan tradisi menulis yang berlaku

Hal lain yang kerap membuat mahasiswa kebingungan adalah model tradisi atau tehnik

menulis mana yang harus digunakan atau disyaratkan institusi. Dalam dunia tulis-menulis

akademis, secara umum, ada dua tradisi atau model yang digunakan.

APA Style. Yang tertua, sekaligus lebih sederhana adalah model yang sekarang dikenal

dengan istilah APA Style, dengan sebutan model "(Author, date)".16 Dalam Wikipedia.org

diceritakan bahwa orang pertama sekali membuat catatan kutipan adalah Edward Laurens Mark

untuk keperluan akademis di Universitas Harvard. Dan sejak itu, model "Author-Date" ini terus

13 Bandingkan dengan tabel Dickson Adom, Emad Kamil Hussein dan Joe Adu Agyem, "Theoretical and
Conceptual Framework: Mandatory Ingredients of a Quality Research" dalam International Journal of Scientific
Research Volume-7, Issue-1, Januari 2018. Dapat diakses pada
https://www.researchgate.net/publication/322204158_THEORETICAL_AND_CONCEPTUAL_FRAMEWORK_M
ANDATORY_INGREDIENTS_OF_A_QUALITY_RESEARCH
14 Itulah sebabnya theoretical framework dikategorikan sebagai independent variable, karena dalam
conceptual framework, sebuah teori bebas untuk diterapkan dalam situasi penelitian lain. Berbeda dengan suatu
situasi yang ingin diubah atau dicapai, dimana sebuah teori akan didaratkan, selalu tergantung pada landasan
teorinya.
15 Fely P. David menyebutkan, the conceptual framework is anchored on the theoretical framework. Fely P.
David, Understanding and Doing Research: A Handbook for Beginners (Iloilo City: Panorama Printing Inc., 2005),
60.
16 APA, About APA Style. Diakses dari https://www.apastyle.org/about-apa-style.

21
dipakai di Harvard University. Tetapi kemudian secara formal dan global, model ini diterbitkan

pertama kali pada tahun 1929 dengan sebutan APA Style.17 Karena catatan kutipannya ditaruh di

dalam kalimat, maka secara tehnis menulis disebut sebagai model in-text-citation. Atau karena

menggunakan "dalam kurung" sering disebut model parenthetical citation. Format lengkap APA

Style yang terbaru tertuang dalam Publication Manual of the American Psychological

Association, (6th ed., 2nd printing). Ringkasan bahkan turunan dan adaptasi dari format menulis

dengan model ini bisa ditemukan di banyak tempat. Salah satu contoh format umum dari APA

Style dapat diakses di Purdue Writing Lab. 18

CMOS atau Turabian Style. Model yang kedua, sering disebut Chicago Style, yang

secara resmi muncul pertama tahun 1937, merupakan writing style yang berasal dan sampai

sekarang dipakai dari Universitas Chicago. Informasi tentang format menulis model ini ada

ditulis dalam buku The Chicago Manual of Style: The Essential Guide for Writers, Editors, and

Publishers (17th ed.) Model ini saling mengisi dengan model Turabian. Disebut Turabian karena

penulis sekaligus perancang awal model ini, bernama Kate L. Turabian, yang sepanjang karirnya

bekerja sebagai sekretaris disertasi pada Universitas Chicago. Buku yang memuat informasi

tentang model Turabian ini adalah A Manual for Writers of Research Papers, Theses, and

Dissertations. Yang terbaru terbit adalah edisi ke-9. 19

Model APA dan CMOS/ Turabian inilah yang umum digunakan dunia akademis untuk

menulis dan dan menerbitkan hasil penelitian, baik berupa buku maupun jurnal. Harus dipahami

17 Untuk informasi lebih dalam, lihat APA, APA History. Dapat diakses pada
https://www.apa.org/about/apa/archives/apa-history.
18 Link Purdue Writing Lab, General Format. Diakses dari
https://owl.purdue.edu/owl/research_and_citation/apa_style/apa_formatting_and_style_guide/general_format.html
19 "Preface" dalam Kate L. Turabian, A Manual for Writers of Research Papers, Theses, and Dissertations,
9th Edition (Chicago: The University of Chicago Press, 2018).

22
bahwa sekarang kedua model ini telah muncul dalam banyak versi dan format karena telah

diadopsi dan beradaptasi dengan tradisi institusi atau bahkan bagian dari selera dosen. Tetapi

sangatlah penting untuk mengenali standar asli dari dua writing culture ini seperti yang terdapat

dalam buku asli yang diterbitkan.

Selain model di atas ada model lain seperti Vancouver, yang dipakai dalam studi

kedokteran. Yang terpenting memahami filosofi dan aturan-aturan operasionalnya. Dengan

demikian akan lebih mudah mengikuti maunya dosen atau model-model penulisan lain yang

merupakan variasi atau turunannya.

Mentalitas Peneliti

Dalam proses penulisan proposal, melaporkan hasil penelitian, dan membangun

argumentasi temuan, semua mahasiswa memerlukan bimbingan, revisi dan kritik. Tekanan

mentalnya adalah membangun dan mempertahankan argumen akademis yang koheren. 20

Sesudah mendapat ijin untuk melanjutkan ke tahap ujian pun, akan ada kegalauan lainnya.

Demikian juga setelah ujian, dalam proses revisi, akan ada koreksi dan tantangan mental lainnya.

Karena itu sebaiknya tiap tahapan, sejak proses pembuatan proposal, tiap penelitian atau

mahasiswa pasca sarjana, tidak ingin buru-buru melalui tiap tahapan hanya karena takut dikritik

atau mendapat koreksi. Sebaliknya, tiap tahapan harus dinikmati dengan berfikir positif dan

berfokus pada bangaimana membangun argumentasi akademis yang koheren.

Dalam Google Translate dijelaskan bahwa kata 'koheren' bermakna jelas, terang, masuk

akal, bertalian secara logis, mudah dimengerti, terkoordinasi dan saling cocok. 21 Maka lebih baik

20 David Evans, Paul Gruba, Justin Zobel, How to Write a Better Thesis (Switzerland: Springer
International Publishing, 2014), ix.
21 Google Translate. Diakses pada 20 Oktober 2019 dari
https://translate.google.co.id/?hl=id#view=home&op=translate&sl=en&tl=id&text=coherent

23
menata segenap emosi, tenaga dan pikiran positif kita pada upaya memperkaya tulisan kita pada

aspek-aspek yang terkandung dalam watak peneliti yang koheren tersebut. Seseorang yang sudah

berpengalaman sebagai pembimbing penulisan menyimpul "From the start, good students tend to

be independent, confident, and are in the habit of thinking like a researcher." 22

Penutup

Merancang sebuah studi atau penelitian, dan melaporkan hasil penelitian adalah soal

cermat mengkalimatkan logika yang terukur dengan sistematika tertentu. Sistematisasi kata yang

terukur dan logis ini akan menjadi rangkaian kata bermakna dan dengan demikian bisa menjadi

inspirasi bagi situasi dunia yang lebih baik dan berpengharapan. Cita-cita mulia ini adalah bagian

dari spiritualitas akademisi yang ingin memberi sumbangsih akademis bagi masyarakat di

sekitarnya.

Melestarikan budaya menulis dan disiplin mengembangkan kemampuan dalam

menggunakan kata-kata, logos, adalah bagian dari spiritualitas akademis yang harus dimiliki

intelektual sejati. Dengan semangat dan ketekunan melatih karunia merangkai kata-kata seorang

akademisi berperan sebagai agen inspiratif bagi dunia dan makna hidup yang lebih baik. Dan

peran akademis adalah peran yang sangat mungkin dan masuk akal.

Bebarapa faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menulis akademis

antara lain budaya baca, budaya menulis, motivasi studi, kendala ekonomi, budaya akademis tiap

institusi, dan kemungkinan lainnya. Budaya menulis ilmiah sendiri bukanlah sesuatu yang

mudah menjadi sebuah habit, tanpa kerja keras dan air mata. Dibutuhkan keberanian untuk

22 David Evans, Paul Gruba, Justin Zobel, How to Write a Better Thesis (Switzerland: Springer
International Publishing, 2014), ix.

24
mencoba, sekaligus kerendahan hati untuk membongkar pasang, hingga sebuah proposal atau

laporan penelitian yang baik, menarik dan dapat dipertahankan ketika dipresentasikan di depan

penguji. Karena itu jangan mudah menyerah. Teruslah mencoba yang terbaik.

Sebagai yang memberi prioritas pada kendala-kendala umum, penjelasan dalam makalah

ini terasa sangat minim dan umum. Sebaiknya dimaknainya sebagai alat bantu dan perkenalan

pertama terhadap dunia menulis proposal dan memperlihatkan prioritas pada ide kunci tertentu

saja yang mungkin terlalu umum. Dari kata-kata kunci yang ada, diharapkan calon peneliti dapat

menemukan clue dan lebih terdorong pada upaya pencarian pejelasan yang lebih mendalam dan

lebih rinci, sesuai minat studi dan metode penelitian yang ingin digeluti.

25
Daftar Pustaka

Adom, Dickson, Emad Kamil Hussein dan Joe Adu Agyem, "Theoretical and Conceptual
Framework: Mandatory Ingredients of a Quality Research" dalam International Journal
of Scientific Research Volume-7, Issue-1, Januari 2018. Dapat diakses pada
https://www.researchgate.net/publication/322204158_THEORETICAL_AND_CONCEP
TUAL_FRAMEWORK_MANDATORY_INGREDIENTS_OF_A_QUALITY_RESEA
RCH

APA. About APA Style. Diakses dari https://www.apastyle.org/about-apa-style.

Astalin, Prashant Kumar. "Qualitative Research Designs: A Conceptual Framework" dalam


International Journal of Social Science & Interdisciplinary Research Vol.2 (1), January
(2013). Dapat diakses di
http://www.indianresearchjournals.com/pdf/IJSSIR/2013/January/13.pdf
Evans, David, Paul Gruba, dan Justin Zobel, How to Write a Better Thesis. Switzerland: Springer
International Publishing, 2014.

Fely P. David. Understanding and Doing Research: A Handbook for Beginners. Iloilo City:
Panorama Printing Inc., 2005.
Google Translate. Dapat diakses di https://translate.google.co.id/?hl=id
Latham, John. Research Methods Framework. Diakses dari
https://www.drjohnlatham.com/frameworks/research-methods-framework/
Pedoman Akreditasi Jurnal Ilmiah (Jakarta: Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan
Pengembangan-Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2018). Diakses
dari http://arjuna.ristekdikti.go.id/index.php/akreditasi/pedoman
Purdue Writing Lab. General Format diakses dari
https://owl.purdue.edu/owl/research_and_citation/apa_style/apa_formatting_and_style_g
uide/general_format.html
Shyam Guragain, "Theoretical and Conceptual Framework" dalam Social Research. Diakses
pada Oktober 2019 dari https://shyamguragain.com.np/2019/07/25/259/
Turabian, Kate L. A Manual for Writers of Research Papers, Theses, and Dissertations, 9th
Edition. Chicago: The University of Chicago Press, 2018.
Valdes, Olivia, "An Introduction to Academic Writing: Characteristics and Common Mistakes to
Avoid", ThoughtCo. Diakses pada 23 Oktober 2019 di https://www.thoughtco.com/what-
is-academic-writing-1689052

26

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai