Anda di halaman 1dari 287

Dr. Roberth Kurniawan Ruslak Hammar, S.H.

,
M.Hum., MM., CLA
dan
Dr (C) Carina Budi Siswani, S.H, M.H., CLA

PENGANTAR ILMU HUKUM

Lembaga Studi Hukum Indonesia (LSHI)


2023

i
PENGANTAR ILMU HUKUM

Dr. Roberth Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.Hum., MM., CLA


Dr (C) Carina Budi Siswani, S.H ,M.H.,CLA

ix + 273 hal, 21 cm
ISBN : 978-623-94988-7-0
Cetakan Pertama : Juli 2023

Diterbitkan oleh
Lembaga Studi Hukum Indonesia (LSHI)
Jl. Haji Nawi Raya 10 B, Jakarta
Telp. 021 7201478

ii
PENGANTAR ILMU HUKUM
Dr. Roberth Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.Hum., MM., CLA
Dr (C) Carina Budi Siswani, S.H ,M.H.,CLA

Jakarta, 2023

@ Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


All rights reserved. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Ketentuan pidana
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 UU Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta:
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melaukan perbuatan
sebagaiman dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana penjara paling sedikit 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00. (lima milliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan,
memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum sesuatu
ciptaan barang atau hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00,- (lima ratus juta rupiah).

iii
PRAKATA

Puji syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan
penyertaan-Nya sehingga buku Pengantar Ilmu Hukum ini dapat
dirampungkan. Buku ini disusun untuk membantu para
mahasiswa Fakultas Hukum di seluruh Perguruan Tinggi di
Indonesia. Buku ini juga kami tulis sebagai salah satu upaya dalam
mendukung materi-materi pembelajaran di bidang hukum serta
guna memenuhi dan mengantisipasi kelangkaan teks book mata
kuliah Pengantar Ilmu Hukum.
Saya menyadari bahwa buku ini perlu dan terus
disempurnakan agar dapat dijadikan salah satu referensi bagi
mahasiswa dan dosen dalam proses belajar mengajar di kampus.
Untuk itu diperlukan kritik serta saran konstruktif dari berbagai
pihak.
Terima kasih dan apresiasi yang tak terhingga kepada para
sahabat, kolega dan pihak-pihak yang tak dapat saya sebutkan
satu persatu, atas perhatian dan support yang luarbiasa sehingga
buku dapat terealisasi dan kini ada di tangan anda. semua pihak
yang berkonribusi sejak awal hingga buku ini dapat diterbitkan.
Semoga berguna.

iv
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini.

Penulis
Dr. Roberth K.R. Hammar, S.H., M.Hum., MM., CLA
Dr (C) Carina Budi Siswani, S.H ,M.H.,CLA

v
DAFTAR ISI

PRAKATA ..................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................... 1
BAB II. MANUSIA MASYARAKAT DAN HUKUM ........... 9
A. Manusia sebagai Mahkluk Sosial ............................ 9
B. Kaidah Sebagai Perlindungan Kepentingan
Manusia ....................................................................... 7
C. Sollen –Sein ................................................................. 12
D. Alasan Keteradaan Hukum ...................................... 15
BAB III PENDEFINISIAN DAN RUANG LINGKUP PIH ... 17
A. Pendefinisian Hukum ............................................... 17
B. Obyek dan Ruang Lingkup PIH .............................. 25
C. Metode Pendekatan ................................................... 26
BAB IV SUMBER-SUMBER HUKUM .................................... 27
A. Pengertian Sumber Hukum ...................................... 27
B. Sumber Hukum Materiil .......................................... 32
C. Sumber Hukum Formal ............................................ 34
BAB V KONSEPSI-KONSEPSI HUKUM DAN ASAS
HUKUM........................................................................ 49
A. Konsep-konsep Hukum ............................................ 49
1. Subyek dan Obyek Hukum ................................ 49

vi
2. Hak dan Kewajiban ............................................. 58
3. Peristiwa Hukum................................................. 68
4. Hubungan Hukum .............................................. 69
B. Asas Hukum (Ratiolegis) .......................................... 70
BAB VI SISTEM DAN KLASIFIKASI HUKUM ..................... 85
A. Pengertian Sistem ....................................................... 85
1. Pengertian Sistem ............................................... 85
2. Sistem Hukum Dunia ......................................... 87
3. Sistem Civil Law ................................................. 88
4. Sistem Common Law (Anglo Saxon) ............... 91
B. Klasifikasi Hukum ..................................................... 93
BAB VII TUJUAN HUKUM....................................................... 99
A. Pendahuluan .............................................................. 99
B. Ajaran Konvensional ................................................. 100
1. Ajaran Etis Dengan Tujuan Keadilannya ........ 100
2. Ajaran Utilities Dengan Tujuan
Kemanfaatannya ................................................. 102
3. Ajaran Yuridis Dogmatik Dengan Kepastian
Hukumnya............................................................ 109
C. Ajaran Modern ........................................................... 110
1. Ajaran Prioritas Baku .......................................... 111
2. Ajaran Prioritas yang Kasuistis ......................... 113
BAB VIII FUNGSI HUKUM ........................................................ 115
A. Urgensi Fungsi Hukum ............................................. 115
vii
B. Fungsi Hukum Menurut Jozef Ras .......................... 117
C. Fungsi Hukum Menurut Achmad Ali ..................... 132
D. Fungsi Hukum Menurut Pakar lain......................... 155
BAB IX ALIRAN PEMIKIRAN TENTANG HUBUNGAN
TUGAS HAKIM DAN UNDANG-UNDANG ......... 157
A. Pendahuluan .............................................................. 157
B. Aliran Legis................................................................. 161
C. Aliran Penemuan Hukum oleh Hakim ................... 163
D. Menemukan Hukum suatu kreatifitas seni dalam
keputusan Hakim ....................................................... 176
BAB X METODE PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM .. 189
A. Latar Belakang ............................................................ 189
B. Jenis-jenis Penemuan Hukum .................................. 195
C. Metode Kontruksi Hukum........................................ 205
BAB XI MAZHAB-MAZHAB ILMU HUKUM ...................... 213
A. Mazhab Hukum Alam ............................................... 213
B. Mazhab Sejarah ......................................................... 224
C. Mazhab Positivisme Hukum .................................... 228
D. Aliran Legisme ........................................................... 230
E. Aliran Freies Rechtsbewegung ..................................... 231
F. Aliran Begriffsjurisprudenz ......................................... 231
G. Aliran Rechtsvinding ................................................... 235
H. Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule) ........ 237
I. Aliran Soziologische Rechtsschule ............................... 239
viii
J. Aliran Utilitarianisme ................................................ 239
K. Teori Teokrasi ............................................................. 243
L. Teori Kedaulatan Rakyat........................................... 243
M. Teori Kedaulatan Negara .......................................... 245
N. Teori Kedaulatan Hukum ......................................... 246
BAB XII HUKUM SEBAGAI KENYATAAN DALAM
MASYARAKAT ........................................................... 249
A. Hukum dan Kultur .................................................... 250
B. Hukum dan Ketertiban ............................................. 259
C. Hukum dan Politik ................................................... 261
D. Hukum dan Ekonomi ................................................ 270
DAFTAR PUSTAKA

ix
BAB I
PENDAHULUAN

Pengantar Ilmu Hukum (PIH) merupakan mata kuliah dasar


yang wajib diikuti oleh mahasiswa semester satu di seluruh
perguruan tinggi hukum (fakultas hukum maupun fakultas-

fakultas lainnya dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di Indonesia)


yang memasukan PIH dalam kurikulumnya. Dikatakan sebagai
mata kuliah dasar karena PIH berfungsi memberikan pengertian-

pengertian yang mendalam mengenai segala sesuatu yang


berkaitan dengan hukum, seperti: pengertian hukum, wujud

hukum, asas-asas hukum, sistem hukum, pembagian hukum,


sumber-sumber hukum, fungsi dan kedudukan hukum dalam
masyarakat, yang nantinya dasar-dasar dalam PIH digunakan

untuk mempelajari hukum di semester-semester berikutnya.


Ada mata kuliah PIH dan PHI (Pengantar Hukum
Indonesia). Perbedaannya adalah PIH belajar tentang hukum

secara umum tidak terbatas pada tempat dan waktu berlakunya


(objeknya). Sedangkan PHI adalah mata kuliah dasar yang
mempelajari keseluruhan hukum positif yang berlaku di

Indonesia. Jadi PHI mengantarkan mahasiswa mempelajari


3
hukum positif di Indonesia. Pengantar Ilmu Hukum merupakan

terjemahan dari bahasa Belanda Inleiding tot de Rechtswetenschap,


dipergunakan sejak tahun 1942 pada saat di Jakarta didirikan

Rechts Hoge School., singkatmya disebut dengan istilah:


Rechtswetenschap. Bahasa Jerman: Jurispruden, dan Bahasa Inggris
disebut Jurisprudence.1

Dari segi etimollogi2, istilah “pengantar” adalah pandangan


umum secara ringkas. Sedangkan Ilmu Hukum adalah

1 Legal Science adalah istilah bagi ilmu hukum di Negara Inggris.

Penggunaan istilah tersebut akan berbeda jika diterjemahkan secara etimologi.


Istilah legal (lex: latin) ketika diterjemahkan bisa berarti undang-undang dan
science berarti ilmu. Sehingga legal science justru bisa berarti ilmu tentang
undang-undang. Untuk menghindari kekeliruan tersebut, maka ilmu hukum
dalam bahasa Inggris akan lebih tepat bila menggunakan istilah Jurisprudensi.
Oleh karena Jurisprudensi berasal dari kata iusris dan prudentia dalam bahasa
latin, yang berarti hukum dan pengetahuan. Dengan demikian, Jurisprudensi
juga dapat berarti pengetahuan tentang hukum
(http://statushukum.com/definisi-ilmu-hukum).
2 Etimologi adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal usul

suatu kata.Misalkan kata etimologi sebenarnya diambil dari bahasa


Belandaetymologie yang berakar dari bahasa Yunani; étymos (arti sebenarnya
adalah sebuah kata) dan lògos (ilmu).Pendeknya, kata etimologi itu sendiri
datang dari bahasa Yunani ήτυμος (étymos, arti kata) dan λόγος (lógos, ilmu).
Beberapa kata yang telah diambil dari bahasa lain, kemungkinan dalam bentuk
yang telah diubah (kata asal disebut sebagai etimon). Melalui naskah tua dan
perbandingan dengan bahasa lain, etimologis mencoba untuk merekonstruksi
asal usul dari suatu kata ketika mereka memasuki suatu bahasa, dari sumber apa,
dan bagaimana bentuk dan arti dari kata tersebut berubah. Etimologi juga
mencoba untuk merekonstruksi informasi mengenai bahasa-bahasa yang sudah
lama untuk memungkinkan mendapatkan informasi langsung mengenai bahasa
tersebut (seperti tulisan) untuk diketahui.Dengan membandingkan kata-kata
dalam bahasa yang saling bertautan, seseorang dapat mempelajari mengenai
bahasa kuno yang merupakan “generasi yang lebih lama”. Dengan cara ini, akar
4
pengetahuan yang khusus mengajarkan perihal hukum dan segala
seluk-beluk yang berkaitan di dalamnya. Jadi Pengantar Ilmu
Hukum merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum
secara umum dan memberikan pandangan umum secara ringkas
mengenai seluruh ilmu pengetahuan hukum, dan mengenai
kedudukan ilmu hukum di samping ilmu-ilmu yang lain.
Pengantar Ilmu Hukum (PIH) kerapkali oleh dunia studi
hukum dinamakan “Encyclopaedia3 Hukum”, yaitu mata kuliah
dasar yang merupakan pengantar (introduction dengan peraturan-
peraturan. Bersifat abstrak artinya kata-kata yang digunakan di
dalam setiap kalimat tidak mudah dipahami dan untuk dapat
mengetahuinya perlu peraturan-peraturan hukum itu
diwujudkan. Perwujudan ini dapat berupa perbuatan-perbuatan
atau tulisan. Apabila ditulis, maka sangat penting adalah pilihan
dan susunan kata-kata.

bahasa yang telah diketahui yang dapat ditelusuri jauh ke belakang kepada asal
usul keluarga bahasa Austronesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Etimologi).
3Ensiklopedia atau “Encyclopaedia” yang asal katanya dari bahasa Yunani

(Greek), yaitu egkuklios, adalah cyclon, all round (siklus) dan paedia adalah
education, knowledge (pengetahuan, widya).Dengan demikian bahwa
pengertian sederhana Encyclopaedia, ialah siklus ilmu pengetahuan atau
ringkasan uraian ilmu pengetahuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI):Ensiklopedia, ialah karya universal yang menghimpun uraian tentang
berbagai cabang ilmu atau bidang ilmu tertentu dalam artikel-artikel terpisah
dan tersusun menurut abjad (pengetahuan luas).Ensiklopedia adalah kumpulan
daftar kata-kata yg menghimpun keterangan atau uraian tentang berbagai hal
dalam bidang ilmu pengetahuan, yg disusun menurut abjad A-Z atau menurut
disiplin ilmu. Didalam buku ensiklopedia biasanya dijelaskan tentang arti dari
suatu kata, pengertian disertai sedikit penjelasannya
5
1. Metode Sosiologis: metode yang bertitik tolak dari pandangan
bahwa hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat.

2. Metode Historis: metode yang mempelajari hukum dengan


melihat sejarah hukumnya.

3. Metode sistematis: metode yang melihat hukum sebagai suatu


sistem.

4. Metode Komparatif: metode yang mempelajari hukum dengan


membandingkan tata hukum dalam berbagai sistem hukum
dan perbandingan hukum di berbagai Negara.

Menurut Prof. Satjipto Rahardjo 4 , Ilmu hukum adalah ilmu


pengetahuan yang berusaha menelaah hukum. Ilmu hukum
mencakup & membahas segala hal yang berhubungan dengan

hukum.
Segala hal yang berhubungan dengan hukum, menurut Prof.
Satjipto Rahardjo, yaitu:

1. Mempelajari asas-asas hukum5 yang pokok.

4 Satjipto Rahardjo (lahir di Banyumas, 15 Februari1930 – meninggal di

Semarang, 9 Januari 2010 pada umur 79 tahun) adalah seorang guru besar
emeritus dalam bidang hukum, dosen, penulis dan aktivis penegakan hukum
Indonesia. Ia dikenal sebagai dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang.
5Asas hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip

hukum yang masih bersifat abstrak.Dapat pula dikatakan bahwa asashukum


merupakan dasar yang melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat kongkrit
dan bagaimana hukum itu dapat dilaksanakan. Asas dalam bahasa inggris
disebut dengan istilah principle sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa
6
2. Mempelajari sistem formal hukum.

3. Mempelajari konsepsi-konsepsi hukum dan arti


fungsionalnya dalam masyarakat.

4. Mempelajari kepentingan sosial apa saja yang dilindungi


oleh hukum.
5. Ingin mengetahui apa sesungguhnya hukum itu, dari mana

hukum datang/muncul, apa yang dilakukan hukum dan


dengan cara/sarana apa hukum melakukannya.
6. Mempelajari apakah keadilan itu dan bagaimana keadilan

diwujudkan dalam hukum.


7. Mempelajari tentang perkembangan hukum, apakah hukum
itu sejak dulu sama dengan hukum yang dikenal sekarang,

bagaimanakah sesungguhnya hukum itu berubah dari masa


ke masa?
8. Mempelajari pemikiran hukum sepanjang masa.

9. Mempelajari bagaimana kedudukan hukum itu


sesungguhnya dalam masyarakat, bagaimana hubungan

Indonesia asas dapat berarti hukum dasar atau dasar yakni sesuatu yang menjadi
tumpuan berpikir atau berpendapat.Selain itu, asas juga diartikan sebagai dasar
cita-cita. Asashukum merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam hukum
yang harus dipedomani.Peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan asashukum.Demikian pula dengan implementasi atau
pelaksanaan hukum dalam kehidupan sehari-hari serta segala putusan hakim
harus senantiasa mengacu pada asashukum tidak boleh bertentangan
dengannya.
7
antara hukum dengan subsistem lain dalam masyarakat,

seperti politik, ekonomi, dan lain sebagainya.


10. Apabila memang ilmu hukum itu disebut sebagai ilmu,
bagaimana sifat-sifat atau karakter keilmuan.

8
BAB II
MANUSIA, MASYARAKAT DAN HUKUM

A. Manusia Sebagai Mahkluk Sosial


Filsuf, ahli hukum dan politik yang terkemuka kelahiran
Roma yang bernama Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)
mengemukakan adagium yang terkenal yakni: “Ubi Societas Ibi
Ius” (where there is society, there is law) ungkapan itu bermakna ”di
mana ada masyarakat, di situ ada hukum”. Adagium ini
mengungkapkan bahwa secara filosofis Cicero menyatakan
bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
Kedamaian dan keadilan dari masyarakat hanya bias dicapai
apabila tatanan hukum terbukti mendatangkan keadilan dan
dapat berfungsi efektif.
Hukum senantiasa berada, dan bersama-sama dalam
keseluruhan aspek kehidupan masyarakat; atau dengan kata lain
di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Pemikir Yunani,
Aristoteles pernah mengemukakan pendapatnya bahwa manusia
itu adalah Zoon Politikon, artinya sebagai makhluk pada
dasarnya manusia selalu ingin bergaul, berkumpul dan
berinteraksi dengan sesama manusia lainnya, sebagai mahkluk

4
yang suka bermasyarakat, sehingga manusia disebut sebagai
mahkluk sosial.
Namun sebaliknya manusia itu sebagaimana dinyatakan
oleh Thomas Hobbes (1651) bahwa Homo homini lupus. “man is a
wolf to man”, manusia itu serigala bagi manusia lain, manusia tak
ubahnya seperti serigala memangsa sesamanya.
Dalam narasi karya sastra drama Plautus tertulis: ” lupus est
homo homini, non homo, quom qualis sit non novit, ("One man to
another is a wolf, not a man, when he doesn't know what sort he is”)
yakni manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, apabila
tidak mengenali siapa manusia tersebut”. Teori Thomas Hobbes
mendeskripsikan bahwa dalam rangka pencapaian tujuan yang
dikehendaki dalam kompetisi kehidupan untuk memperebutkan
sesuatu, manusia memiliki kapasitas dan kemampuan untuk
melakukan kejahatan pada sesamanya, sebagaimana adagium
“Bellum omnium contra omnes” atau "the war of all against all”;
perang semua melawan semua.
Manusia dalam kehidupan bermasyarakat selalu
berhubungan satu dengan yang lain. Kehidupan bersama itu
menyebabkan adanya interaksi, kontak atau hubungan satu sama
lain. Kontak dapat berarti hubungan yang menyenangkan atau
yang menimbulkan pertentangan (konflik). Konflik kepentingan
itu terjadi apabila dalam melaksanakan atau mengejar

5
kepentingannya seseorang merugikan orang lain. Pada tataran
kehidupan sosisal konflik itu tidak dapat dihindari.
Manusia berkepentingan untuk merasa aman. Aman berarti
bahwa kepentingannya tidak diganggu, Karena itu ia
mengharapkan kepentinganya dilindungi terhadap konflik,
gangguan-gangguan dan bahaya yang mengancam serta
menyerang kepentingan dirinya dan kehidupan bersama.
Gangguan kepentingan atau konflik harus dicegah atau
tidak dibiarkan berlangsung terus, karena akan menggangu
keseimbangan tatanan masyarakat. Manusia akan selalu berusaha
agar tatanan masyarakat dalam keadan seimbang, karena
keadaan yang demikian itu menciptakan suasana tertib, damai
dan aman, yang merupakan jaminan kelangsungan hidupnya.
Oleh karena itu keseimbangan tatanan masyarakat yang
terganggu haruslah dipulihkan ke dalam keadan semula (restutio
in integrrum).
Manakala terjadai konflik seperti yang digambarkan di atas
barulah dirasakan kebutuhan akan kepentingan. Manusia dalam
masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan.
Perlindungan kepentingan itu tercapai dengan terciptanya
pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana
manusia harus bertingkah laku dalam masyarakat. Pedoman,

6
patokan atau ukuran untuk berprilaku atau bersikap dalam
kehidupan bersama disebut norma atau kaidah sosial.

B. Kaidah Sebagai Perlindungan Kepentingan Manusia


Untuk melindungi kepentingan manusia di dalam
masyarakat terdapat kaidah-kaidah sosial. Kaedah sosial pada
hakekatnya merupakan perumusan suatu pandangan mengenai
prilaku atau sikap seyogyanya dilakukan atau yang seyogyanya
tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau yang dianjurkan.
Tata kaidah terdiri dari kaidah (norma) kepercayaan
(keagamaan), kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan dan kaidah
hukum, yang dapat dikelompokan:
1. Tata kaidah (norma) dengan aspek kehidupan pribadi yang
dibagi atas:
a. kaidah kepercayaan atau kaidah keagaman.
b. kaidah kesusilaan.
2. Tata kaidah dengan aspek kehidupan antara pribadi yang
dibagi atas:
a. Kaidah kesopanan.
b. Kaidah hukum.
Kaidah kepercayaan, adalah aturan-aturan yang oleh
pemeluk atau penganutnya diyakini sebagai berasal dari Tuhan.

7
Di Indonesia dikenal agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu,
Budha dan yang lainnya.
Kaidah kesusilaan adalah kaidah yang dianggap paling asli
dan berasal dari sanubari manusia sendiri. Manusia yang tidak
mengindahkan kaidah kesusilaan akan dianggap sebagai orang
yang asusila. Contoh: dilarang mencuri barang orang lain;
dilarang menyetubuhi wanita yang bukan istri sah. Jadi
adakalanya kaidah kesusilan ini memiliki persamaan dengan
kaidah agama ataupun kaidah hukum dalam hal ini kaidah
hukum bertindak manguatkan kaidah kesusilan itu, Contoh:
mencuri merupakan perbuatan yang terlarang, baik menurut
kaidah agama, kaidah kesusilaan maupun kaidah hukum.
Kehidupan kesopanan, dianggap kaidah yang berasal dari
masyarakat untuk mengatur pergaulan warganya agar masing-
masing warga masyarakat saling hormat-menghormati. Contoh:
jika berbicara dengan orang tua, jangan dengan suara meninggi,
kalau meludah jangan disembarangan tempat dan sebagainya.
Kaidah hukum, ini melindungi lebih lanjut kepentingan-
kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dan
ketiga kaidah lainya (agama, kesusilaan, kesopanan) dan
melindungi kepentingan manusia yang belum mendapat
perlindungan dari ketiga kaidah tadi.

8
Kaidah hukum ditujukan terutama kapada pelakunya yang
konkret, yaitu si pelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat
bukan untuk penyempurnaan manusia. Melainkan untuk
ketertiban masyarakat agar jangan sampai jatuh korban
kejahatan.
Isi kaidah hukum itu di tujukan kepada sikap lahir manusia.
Kaidah hukum mengutamakan perbuatan lahir. Pada hakekatnya
apa yang di batin, apa yang dipikirkan manusia tidak mejadi soal,
asal lahirnya tidak melanggar kaidah hukum. Apakah seorang
dalam mematuhi peraturan lalu lintas (misalnya berhenti pada
waktu lampu lalu lintas menyala merah) sambil mengerutu
karena ia tergesa-gesa mau pergi kuliah, tidak penting bagi
hukum. Yang penting ialah bahwa lahirnya, apa yang tampak
dari luar, ia patuh kepada peraturan lalu lintas. Menghayalkan
atau mengangan-angankan untuk memiliki sebuah pesawat
televisi yang ditempatkan di etalase dengan jalan mencuri, atau
dalam batinnya ingin memukul temannya, perbuatan-perbuatan
yang timbul dalam pemikirannya "tidak dapat dihukum". Orang
tidak akan dihukum atau diberi sanksi hukum hanya karena apa
yang dipikirkan atau dibatinnya. Tidak seorang pun dapat
dihukum karena apa yang dipikirkan atau dibatinnya
(Cogitationis poenam potitur).

9
Memang benar bahwa hukum pada hakekatnya tidak
memperhatikan sikap batin manusia dalam arti bahwa hukum
tidak memberi pedoman tentang bagaimana seyogyanya batin
manusia itu. Tetapi adakalanya setelah terjadi perbuatan lahir
yang relevan bagi hukum, kemudian hukum mencampuri batin
manusia juga dengan misalnya memasalahkan ada tidaknya
kesengajaan, perencanaan, itikad baik atau buruk dan sebagainya.
Pengertian-pengertian itu berhubungan dengan batin manusia.
Dapat dikemukakan sebagai contoh dalam hal pembunuhan
kalau seseorang secara lahiriah telah terbukti membunuh maka
dipersoalkan apakah ada kesengajaan atau tidak, direncanakan
atau tidak.
Kaidah hukum berasal dari luar diri manusia yang
memaksakan kepada masyarakat secara resmi diberi kuasa untuk
memberi sanksi atau menjatukan hukum, dalam hal ini
masyarakat diwakili oleh lembaga peradilan.
Kalau kaidah kepercayaan, kesusilaan dan kesopanan
hanya membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban saja,
maka kaidah hukum membebani manusia dan juga berkewajiban
memberi hak.

10
Mertokusumo6 (1988:12-14) mengemukakan perbedaan dari
keempat jenis kaidah tersebut yakni:
1. Dari segi tujuan kaidah kepercayan dan kesusilaan bertujuan
untuk penyempurnan umat manusia, jangan sampai manusia
jahat sedangkan kaidah kesopanan tujuannya ketertiban
masyarakat jangan sampai ada korban dan melihat kapada
perbuatannya yang konkret.
2. Dari segi isi kaidah kepercayaan dan kesusilaan ditujukan
kepada setiap batin sedang kaidah kesopanan dan kaidah
hukum ditujukan kepada sikap lahir.
3. Dari segi sumbernya:
a. Kaidah agama/kepercayaan bersumber dari Tuhan.
b. Kaidah kesusilaan bersumber dari hati nurani manusia.
c. Kaidah kesopanan berasal dari masyarakat untuk
mengatur warganya (secara tidak resmi).
d. Kaidah hukum bersumber dari kekuasaan luar (eksternal)
yang memaksa dari pengusa yang sah.
4. Dari segi sanksi:
a. Kaidah kepercayan sanksinya berasal dari Tuhan.
b. Kaidah kesusilaan sanksinya bersumber dari diri sendiri.

6 Mertokusumo 6 . 1988. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. Bandung


Citra Aditya Bakti.Hlm.12-14
11
c. Kaidah kesopanan sanksinya dari masyarakat secara tidak
resmi.
d. Kaidah hukum sanksinya berasal dari penguasa yang sah.
5. Dari segi daya kerja: kaidah agama, kesusilaan dan kesopanan
hanya membebani kewajiban, sedangkan kaidah hukum
membebani kewajiban sekaligus juga memberi hak.

C. Sollen-Sein
Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman
tentang apa yang seyogyanya atau seharusnya dilakukan. Pada
hakekatnya kaidah hukum merupakan perumusan pendapat atau
pandangan tentang bagaimana seharusnya atau seyogyanya
seseorang bertingkahlaku. Sebagai pedoman kaidah hukum
bersifat umum dan pasif.
Kaidah hukum berisi kenyataan normatif (apa yang
seyogyanya di lakukan) das sollen dan bukan berisi kenyataan
alamiah atau peristiwa konkret, das sein. ''Barang siapa mencuri
harus di hukum'', "barang siapa membeli sesuatu harus
membayar", merupakan das sollen, suatu kenyatan normatif dan
bukan menyatakan sesuatu yang terjadi secara nyata, melainkan
apa yang seharusnya atau seyogyanya terjadi. Kalau nyata-nyata
telah terjadi seorang mencuri, kalau nyata-nyata telah terjadi

12
seorang membeli tidak membayar barulah terjadi kenyatan
alamiah, barulah terjadi peristiwa konkret, das sein.
Dalam hukum yang penting bukanlah apa yang terjadi,
tetapi apa yang seharusnya terjadi. Di dalam undang-undang
tidak dapat dibaca bahwa "siapa yang mencuri sungguh-sungguh
dihukum "tetapi" siapa yang mencuri harus di hukum. Ketentuan
yang berbunyi "barang siapa yang mencuri harus di hukum" tidak
berarti bahwa telah terjadi pencurian dan pencurinya di hukum.
Persyaratannya "mencuri" menyangkut peristiwa (sein)
sedangkan kesimpulannya "dihukum" menyangkut keharusan
(sollen). Sebagai syarat harus terjadi peristiwa konkret terlebih
dahulu. Oleh karena telah terjadi peristiwa maka sesuai bunyi
kaidahnya harus ada akibatnya. Dihukumnya "pencuri" bukan
akibat "pencurian". Orang tidak dihukum karena (sebagai akibat)
mencuri, tetapi pencuri harus dihukum berdasarkan undang-
undang yang melarangnya. Di sini tidak berlaku hukum sebab
akibat. Kaidah hukum itu bersifat memerintah, mengharuskan
atau preskriptif.
Suatu peristiwa konkret tidak mungkin dengan sendirinya
menjadi peristiwa hukum. Suatu peristiwa hukum tidak mungkin
terjadi tanpa adanya kaidah hukum. Peristiwa hukum tidak dapat
dikonstatir tanpa menggunakan kaidah hukum. Peristiwa hukum
itu diciptakan oleh kaidah hukum, sebaliknya kaidah hukum itu

13
dalam proses terjadinya dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa
konkret.
Apakah suatu peristiwa itu peristiwa hukum, tergantung
pada adanya kaidah hukum. Kaidah hukum itu mengkualifikasi
suatu aspek dari suatu peristiwa konkret menjadi peristiwa
hukum. Apakah suatu aspek dari kenyataan itu dapat berlaku
sebagai peristiwa hukum tergantung pada kaidah hukum yang
bersangkutan, yaitu dapat diterapkan dalam situasi yang konkret.
Contoh: peristiwa tidur sebagai peristiwa fisik bukanlah
merupakan peristiwa hukum. Tetapi tidur merupakan peristiwa
hukum apabila terjadi pada seseorang penjaga malam pada saat
ia seharusnya keliling mengadakan ronda dan terjadi pencurian.
Peristiwa tidur semacam ini dapat mengakibatkan dipecatnya
penjaga malam tersebut. Merokok merupakan peristiwa konkret,
tetapi kalau ada orang merokok di dekat pompa bensin yang ada
papan larangan merokok dan kemudian terjadi kebakaran yang
disebabkan rokok orang tersebut maka merokok menjadi
peristiwa hukum yang dapat menyebabkan si perokok dihukum.
Peristiwa konkret (das sein) untuk menjadi peristiwa hukum
memerlukan das sollen. Kalau di atas dikatakan sollen memerlukan
sein maka di sini sein memerlukan sollen jadi saling ada
hubungannya antara sollen-sein dan sein-sollen.

14
D. Alasan Keteradaan Hukum
Timbulnya hukum sekurang-kurangnya harus ada kontak
antara dua orang. Kontak ini dapat bersifat menyenangkan
seperti kontak antara dua manusia yang berlainan jenis kelamin
akan menimbulkan hukum perkawinan dan kontak yang bersifat
tidak menyenangkan yaitu yang bersifat sengketa atau
perselisihan. Tetapi pada hakekatnya hukum baru ada, atau baru
dipersoalkan apabila terjadi konflik kepentingan. Konflik
kepentingan ini terjadi apabila dalam melaksanakan kepentingan
atau kebutuhan manusia dan merugikan orang lain. Pada
umumnya manusia mencari benarnya sendiri. Kalau
kepentingannya terganggu ia cenderung menyalahkan manusia
lain: ia akan mempertengkarkan siapa yang salah, siapa yang
melanggar, siapa yang berhak, apa hukumnya. Di sinilah baru
dipersoalkan hukum. Hukum pada hakekatnya baru timbul
(untuk dipermasalahkan) kalau terjadi pelanggaran kaidah
hukum, konflik, kebatilan atau tidak hak (onrecht, unlaw). Kalau
segala sesuatu berlangsung dengan tertib lancar tanpa terjadinya
konflik atau pelanggaran hukum, maka tidak akan ada orang
mempersoalkan hukum. Baru kalau terjadi pelanggaran kaidah
hukum sengketa atau bentrokan, maka akan ditanyakan apa
hukumnya, siapa yang berhak, siapa yang bersalah dan
sebagainya. Tentang kesadaran hukum misalnya baru

15
dimasalahkan dan banyak diekspos dalam media masa apabila
justru terjadi ketidaksamaan hukum, pelanggaran hukum atau
kebatilan. Kalau kesadaran itu tinggi, kalau tidak banyak terjadi
pelanggaran hukum, tidak akan banyak dipermasalahkan tentang
kesadaran hukum. Oleh karena itu sebagai jawaban pertanyaan di
atas maka alasan keteradaan hukum adalah konflik kepentingan
manusia (conflik of human interest).
Kenapa hukum harus ditaati? Ada berbagai teori yang
menjelaskan tentang hal ini.
1. Teori Theokrasi: Hukum harus ditaati karena menganggap
bahwa hukum adalah perintah Tuhan
2. Teori Kedaulatan Negara: hukum harus ditaati karena negara
mempunyai kekuasaan yang mutlak sehingga negara bisa
memaksakan kehendak kepada rakyatnya.
3. Teori lainnya.

16
BAB III
PENDEFINISIAN HUKUM, RUANG
LINGKUP PIH DAN METODE PENDEKATAN

A. Pendefinisian Hukum
Sebelum mengkaji pendefinisian hukum, patut dipahami
bahwa ada beberapa pendekatan atau pembagian atau
pengelompokan hukum sebagai berikut:
1. Beggriffenwissenschaft: Ilmu tentang asas-asas yang
fundamental di bidang hukum. Termasuk di dalamnya mata
kuliah Pengantar Ilmu Hukum, Filsafat Hukum, Logika
Hukum, dan Teori Hukum.
2. Normwissenschaft: Ilmu tentang norma. Termasuk di dalamnya
Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara,
Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Internasional dan lain-
lain.
3. Tatsachenwissenschaft: Ilmu tentang kenyataan. Termasuk di
dalamnya Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikhologi
Hukum, dan lain-lain.
Selain tiga pendekatan tersebut di atas, ada juga pendekatan
lain oleh Gerald Turkel7 sebagai berikut:
a. Ius Constituendum adalah the law as what ought to be.

7 Achmad Ali. 2017.Menguak Tabir Hukum, Kencana Jakarta, Hlm.8.


17
b. Ius Constitutum adalah the law as what it is in the books atau
hukum positif.
c. Ius Operatum adalah the law as what is in society atau Sosiologi
Hukum dan kajian empiris lain.
Berbagai Pendekatan terhadap ilmu hukum itu pula
menimbulkan pelbagai pendefinisian hukum yang berbeda pula.
Perbedaan pendekatan hukum itu menyebabkan terjadinya
ketidaksamaan pendefinisian hukum, sekaligus menimbulkan
kesulitan pendefinisian hukum. Kesulitan tersebut disebabkan
oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Kesulitan dari Sifat Intern Hukum
I Kisch mengemukakan bahwa disebabkan hukum tidak
dapat ditangkap oleh pancaindera, maka adalah sulit untuk
membuat suatu definisi tentang hukum, yang dapat
memuaskan orang pada umumnya8.
Sementara itu menarik disimak pernyataan Immanuel Kant
bahwa: "Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem
begriffe von recht, bahwa tidak ada seorang yurispun yang
dapat memberi definisi hukum yang paling tepat.
Achmad Ali 9 mengemukakan bahwa hukum memang pada
hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, meskipun dalam
manifestasinya bias berwujud konkret. Olehnya itu

8 ibid.Hlm.17
9 Ibid Hlm. 18
18
pertanyaan tentang apakah hukum, senantiasa merupakan
pertanyaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan
lain perkataan persepsi orang tentang hukum itu beraneka
ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya.
2. Kesulitan dari segi kata-kata.
Menurut Curso10 ada beberapa sifat khas yang menyukarkan
pendefinisian hukum adalah:
a. penggunaan kata-kata yang sangat dibatasi.
b. Penggunaan kata-kata dalam konteks yang sangat spesifik
c. Kecenderungan setiap orang untuk memberi arti yang
berbeda terhadap suatu hal.
d. Sejarah perubahan di dalam konteks hukum sendiri.
Hukum dapat diartikan sebagai: ketentuan penguasa, para
petugas, sikap tindak, sistem kaidah, jalinan nilai, tata hukum,
ilmu hukum, disiplin hukum.
Sebagai ketentuan penguasa hukum adalah perangkat-
perangkat peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah,
melalui badan-badan yang berwenang membentuk berbagai
peraturan tertulis antara lain: Undang-undang Dasar, Undang-
undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Daerah dan peraturan hukum lainnya.
Dalam kontyeks tertentu hukum dimaknai sebagai para
petugas yang berusaha mengamankan dan menegakkan hukum
atau melihat hukum dalam arti para petugasnya. Hukum

10 ibid Hlm 21
19
dibayangkan dalam wujud petugas yang berseragam dan bisa
bertindak terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan-
perbuatan yang membahayakan warga masyarakat. Pada lapisan
sosial tertentu orang melihat hukum dalam wujud sebagai para
petugas (penegak hukum) seperti seorang polisi yang patroli atau
yang ada di kantor-kantor kepolisian, seorang jaksa dengan
seragamnya dan hakim dengan toganya yang hitam berdasi
putih. Di sini hukum dilihatnya dalam arti sebagai wujud fisik
yang ditampilkan dalam gambaran orang-orang yang bertugas
menegakkan hukum.
Hukum dapat berarti sebagai Sistem kaidah. Sistem di sini
adalah "A system is a set of interrelated parts, working
independently and jointly, in pursuit of common obyektives of the
whole; with in a complex environment 11. Sistem menunjuk kepada
makna yang holistik untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan
kaidah atau norma adalah ketentuan-ketentuan tentang baik atau
buruk perilaku manusia di tengah pergaulan hidupnya, dengan
menentukan perangkat- perangkat aturan yang bersifat perintah
dan anjuran serta larangan-larangan. Apabila perilaku
masyarakat menuruti norma atau wajar dan sebaliknya dapat
dianggap tidak normal atau menyimpang sehingga akan
menerima reaksi masyarakat. Dapat dikatakan bahwa kaidah
adalah patokan atau ukuran atau pedoman untuk berperilaku

11 Shrode William A & Dan Voldi .1974. Organization and Management


Basic System Concept. Malaysia, Irwin Book Co. Hlm.122
20
atau bersikap tindak dalam hidup. Apabila ditinjau dari bentuk
hakekatnya maka kaidah merupakan perumusan suatu
pandangan mengenai perikelakuan. Tatanan hukum sebagai
sistem kaidah adalah:
1. Suatu tata kaidah hukum yang merupakan sistem kaidah-
kaidah hukum secara hirarkhis.
2. Susunan kaidah-kaidah hukum yang sangat disederhanakan
dari tingkat bawah ke atas meliputi:
a. Kaidah-kaidah individual dari badan-badan pelaksana
hukum terutama pengadilan;
b. Kaidah-kaidah umum di dalam Undang-undang atau
hukum kebiasaan;
c. Kaidah-kaidah konstitusi;
Ketiganya dinamakan kaidah-kaidah positif. Di atas konstitusi
adalah tempat kaidah dasar hipotesis yang lebih tinggi dan
bukan merupakan kaidah yang dihasilkan oleh pemikiran
yuridis.
3. Sahnya kaidah hukum dari tingkat yang lebih rendah
tergantung atau ditentukan oleh kaidah yang termasuk
golongan tingkat yang lebih tinggi (Kelsen).
Inti dari pembahasan ini adalah kaidah hukum merupakan
suatu sistem yang jelas tentang tahap-tahap dalam derajat kaidah
dari yang bawah sampai yang tertinggi.
Sebagai Jalinan Nilai hukum, kaidah bertujuan
menyerasikan nilai-nilai obyektif yang universal tentang baik dan

21
buruk, tentang patut dan tidak patut, sedemikian rupa untuk
mencerminkan rumusan perlindungan kepentingan antar
individu, pemenuhan kebutuhan dan perlindungan hak, dengan
ketentuan yang merupakan kepastian hukum. Dalam hal-hal
tertentu hukum secara khusus menentukan nilai-nilai subyektif
secara tertentu memberi keputusan bagi keadilan sesuai keadaan
pada suatu tempat, waktu dan budaya masyarakat.
Tujuan hukum dalam kaitannya dengan jalinan nilai adalah
mewujudkan keserasian dan keseimbangan antara faktor obyektif
dan subyektif dari hukum demi terwujudnya nilai-nilai keadilan
dalam hubungan antara individu di tengah pergaulan hidupnya.
Dalam arti Tata Hukum atau sering disebut dengan hukum
positif maka yang dimaksud adalah hukum yang sedang berlaku
di suatu tempat pada saat tertentu. Misalnya Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang berlaku di
Indonesia.
Hukum dalam arti Ilmu Hukum, berarti ilmu tentang
kaidah, atau norm wissenschhaft atau Sollen wissenschaft, yaitu
ilmu yang menelaah hukum sebagai kaidah atau sistem kaidah-
kaidah, dengan dogmatik hukum dan sistimatik hukum. Dalam
arti ini hukum dilihat sebagai ilmu pengetahuan (science),
merupakan karya manusia yang berusaha mencari kebenaran
tentang sesuatu yang memiliki ciri-ciri: sistematis, logis, empiris,
metodis, umum dan akumulatif.

22
Sebagai sains, ilmu hukum dengan ciri-cirinya berusaha
menpelajari sistematik hukum dan kaidah-kaidah seperti
rumusan kaidah, sebab terbentuknya dan sebagainya, sedemikian
rupa sehingga hukum dapat dipelajari dengan sebaik-baiknya.
Hukum dalam arti disiplin hukum, melihat hukum sebagai
gejala dan kenyataan yang ada ditengah masyarakat. Suatu
disiplin adalah ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala yang
dihadapi. Disiplin hukum meliputi Ilmu Hukum, Politik Hukum
dan Filsafat Hukum.
Politik hukum, mencakup kegiatan-kegiatan mencari dan
memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut bagi
hukum dalam mencapai tujuannya. Sedangkan Filsafat hukum,
adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai. Juga mencakup
penyerasian nilai-nilai misalnya penyerasian antar ketertiban dan
ketentraman antara kebendaan dan keakhlakan serta antara
kelanggengan dan pembaharuan.
Sebagai sains, maka ada pelbagai definisi Hukum, yang
dikemukakan sebagai pegangan sebagai berikut:
1. Aliran Sosiologis
a. Leon Duguit: Hukum adalah tingkah laku warga
masyarakat, yang merupakan aturan di mana daya
penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh warga
masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama
terhadap orang yang melakukan pelanggaran.

23
b. Jhering: Hukum adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial
dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan Negara
melalui cara paksaan yang bersifat eksternal.
2. Aliran Hukum Alam
Hukum adalah keseluruhan kondisi-kondisi di mana terjadi
kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang
dengan keinginan-keinginan orang lain sesuai dengan hukum
umum tentang kemerdekaan (Emmanuel Kant).
3. Aliran Realis
Hukum adalah Apa yang diputuskan oleh seorang hakim
tentang suatu persengketaan adalah hukum itu sendiri
(Llewellyn).
4. Aliran Historis
Hukum adalah Keseluruhan hukum sungguh-sungguh
terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu
melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum
berakar pada sejarah manusia, di mana akarnya dihidupkan
oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat
(Karl von Savigny).
5. Aliran Marxist
Hukum adalah: suatu percerminan dari hubungan umum
ekonomis dalam masyarakat pada suatu tahap perkembangan
tertentu.
6. Aliran Antropologis
Hukum adalah: setiap aturan tingkah laku yang mungkin
diselenggarakan oleh pengadilan (Schapera). Atau Hukum

24
merupakan himpunan kewajiban-kewajiban yang telah
dilembagakan kembali dalam pranata hukum (Paul
bohannan).
7. Aliran Positivis dan Dogmatik
Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun
tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada
masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang
independen, di mana otoritasnya merupakan otoritas tertinggi
(John Austin).

B. Obyek dan Ruang Lingkup PIH


Ilmu hukum memiliki obyeknya sendiri, yaitu hukum. Dari
keseluruhan cakupan obyek ilmu hukum dapat dikemukakan
beberapa pokok bahasan, sebagai berikut:
1. Mempelajari asas-asas hukum;
2. Mempelajari sistem hukum;
3. Mempelajari hukum sebagai kaidah;
4. Mempelajari tujuan hukum;
5. Mempelajari bidang-bidang hukum;
6. Mempelajari sumber-sumber hukum;
7. Mempelajari pembagian-pembagian hukum;
8. Mempelajari penemuan hukum;
9. Mempelajari sejarah hukum;
10. Mempelajari hukum sebagai fenomena dan institusi sosial;
11. Mempelajari pengertian-pengertian dasar hukum.

25
Cakupan di atas menjelaskan bahwa ilmu hukum tidak
mempersoalkan suatu tatanan hukum tertentu yang kebetulan
berlaku disuatu negara. Perhatian hukum menjangkau jauh
melebihi batas-batas hukum yang berlaku di suatu negara atau
suatu waktu tertentu. Obyek di sini adalah hukum sebagai suatu
fenomena dalam kehidupan manusia di mana pun di dunia ini
dan dari masa kapanpun, singkatnya hukum di sini disimak dari
fenomena universal.

C. Metode Pendekatan
Mengenai metode pendekatan ternyata kita berhadapan
dengan lebih dari satu kemungkinan metode dan masing-masing
bisa diterima sebagai metode yang sah. Dengan demikian ada
kebebasan untuk memilih. Setiap orang bisa menggunakan
metode mana saja sesuai dengan pilihannya asal pilihan itu
diterapkan secara konsekuen.12
Metode Pendekatan Normatif apabila seseorang memilih
untuk melihat hukum sebagai suatu sistem peraturan-peraturan
yang abstrak, perhatian akan senantiasa terpusat pada hukum
sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom.
Metodependekatan sosiologis apabila seseorang yang
memahami hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat.

12 Rahardjo, Opcit 1982 Hlm.5-7


26
BAB IV
SUMBER SUMBER HUKUM

A. Pengertian Sumber Hukum


Secara etimologi "sumber" memiliki beberapa defenisi,
diantaranya tempat ke luar, asal, ia berusaha mendekati dan
menemukan, segala sesuatu baik yang berwujud maupun tidak
berwujud yang digunakan untuk mencapai hasil.13
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita mengenal dan
melihat "sumber mata air." Sumber mata air sudah jelas asalnya
atau tempat keluarnya dari dalam tanah. Dalam analogi yang
sederhana, sekadar sebagai ilustrasi, "hukum" itu ibarat air,
sementara sumbernya dari dalam tanah, demikianlah yang bias
menggambarkan "sifat materil-nya" bahwa dari sanalah, dari
dalam tanahlah ia dapat ditemukan. Jadi, sumber hukum adalah
tempat dari mana hukum atau yang kita namakan aturan itu dapat
ditemukan. Terkait dengan pengertian sumber hukum, agar lebih
mudah mengenalinya dikemukakan oleh Dedi Soemardi: 14

"Sangat tergantung dari suatu mana seseorang memandangnya.”

13 KBBI, 1991, Edisi Kedua, Cetakan Pertama (Jakarta: Departemen

Pendididkan dan Kebudayaan RI) hlm. 973


14 Dedi Soemardi. 1982, Sumber-sumber Hukum Positif, (Bandung:

Alumni), hlm. 2.
27
Lebih lanjut, yang dimaksud dengan sudut mana seseorang
memandangnya, oleh Dormeier memperjelasnya dengan
menjelaskan secara lebih dalam lagi, istilah sumber hukum itu
dapat dipandang dari sudut: ilmu filsafat hukum, ilmu sosiologi
hukum, ilmu sejarah hukum, dan ilmu hukum positif.15
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 16 online)
Sumber adalah:
1. tempat keluar (air atau zat cair);sumur. Contoh: ia mengambil
air di sumber di laut sekitar pulau itu ditemukan sumber
minyak.
2. Asal (dalam berbbagai arti) Contoh: ia berusaha mendekati
dan menemukan sumber bunyi yang memesonanya kabar itu
didapatnya dari sumber boleh dipercaya. Dalam konteks
nomina (kata benda) terdapat 3 arti kata yaitu: asal, tempat
keluar, mata air.
Pengertian Sumber Hukum menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia bahwa sumber hukum adalah segala sesuatu yang
berupa tulisan, dokumen, naskah, dan sebagainya yang
digunakan suatu bangsa sebagai pedoman hidup pada masa
tertentu. Sehingga sumber hukum diartikan sebagai bahan atau
materi yang berisi hukum itu dibuat dan dibentuk, proses

15 J.J. Dormeier. 1955, Pengantar Ilmu Hukum, Jilid II, Djakarta: J.B.
Wolters), hlm. 1.
16 KBBI online

28
terbentuknya hukum, dan bentuk hukum itu sehingga dapat
dilihat, dirasakan, atau diketahui.
Sumber hukum menurut Sudikno Mertokusumo 17 adalah
tempat ditemukannya aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan
hukum positif. Wujudnya ialah berupa peraturan-peraturan atau
ketetapan-ketetapan entah tertulis atau tidak tertulis. Sedangkan
menurut C.S.T Kansil 18 mengemukakan bahwa sumber hukum
adalah segala hal yang aturan-aturan yang mempunyai kekuatan
yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalua dilanggar
mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata (Kansil, C.S.T.1982.
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN. Balai
Pustaka, Jakarta)
Sumber hukum dapat ditinjau dari segi materiil dan segi
formal. Menurut E. Utrecht 19 sumber hukum material yaitu
perasaan hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat
umum (public opinion) yang menjadi determinan atau penentu bagi
sipembuat undang-undang dalam membentuk, menyiapkan dan
menentukan isi dari rancangan aturan hukum yang akan dibuat.
Sedangkan sumber hukum formal merupakan pembentuk hukum

17 Sudikno Mertokusumo.1996. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar,

Liberty Yogyakarta, hal. 69.


18 Kansil, C.S.T.1982. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,

PN. Balai Pustaka, Jakarta


19 E. Utrecht, Moh. Saleh Djindang. 1983. Pengantar Dalam Hukum

Indonesia. Sinar Harapan, Jakarta hal. 83-85


29
(Formile detenninaqten van rechtsvorming) yang menentukan kapan,
di mana dan kepada siapa berlakunya hukum
Menurut Zevenbergen 20 , terdapat beberapa pemaknaan
terhadap istilah sumber hukum yaitu:
1. Sebagai asas hukum: sebagai sesuatu yang merupakan
permulaan hukum; misalnya kehendak Tuhan, akal manusia,
dan jiwa bangsa.
2. Menunjukan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan
pada hukum yang sekarang berlaku; seperi hukum perancis
dan hukum romawi.
3. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku
secara formal kepada peraturan hukum (penguasa,
masyarakat).
4. Sebagai sumber dari mana dapat mengenal hukum; misalnya:
dokumen, undang-undang, lontar, dan batu tulis.
5. Sebagai sumber terjadinya hukum, sumber yang
menimbulkan hukum.
Di samping pembedaan sumber-sumber hukum yang ada ke
dalam sumber hukum materiil dan sumber hukum formal, namun
terdapat pula pakar yang membedakan sumber-sumber hukum
sebagai berikut:

20 Sudikno Mertokusumo.1996. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar.


Liberty, Yogyakarta, hal. 69.
30
1. Menurut Edward Jenks21, bahwa terdapat 3 sumber hukum
yang biasa ia sebut dengan istilah “forms of law” yaitu:
a. Statutory (Undang-undang)
b. Judiciary (Badan peradilan)
c. Literaty. (Hukum tertulis)
2. Menurut G.W. Keeton22, sumber hukum terbagi atas:
a. Binding Sources (sumber hukum formal/sumber hukum
yang mengikat), yang terdiri dari:
1) Custom (kebiasaan/hukum adat);
2) Legislation (perundang-undangan);
3) Judicial precedents (keputusan tertinggi pengadilan/
putusan hakim).
b. Persuasive Sources (sumber hukum materiil/sumber
hukum yang boleh diikuti atau ditolak), yang terdiri:
1) Principles of morality or equity (Prinsip-prinsip moralitas
atau keadilan);
2) Professional opinion (pendapat para ahli).
Pada umumnya para pakar membedakan sumber hukum ke
dalam kriteria:
a. Sumber hukum materiil; dan
b. Sumber hukum formal.

21 Edward Jenks. 1993. The New Jurisprudence. London. Hlm.88


22 Keeton, G.Y. 1949. The Elementary Principles of Jurisprudence. Hlm.73-
75.
31
B. Sumber Hukum Materiil
Sudikno Mertokusumo 23 mengemukakan bahwa sumber
hukum materiil adalah tempat dari mana materi hukum itu
diambil; sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang
membantu pembentukan hukum); misalnya hubungan sosial,
hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomis, tradisi
(pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah
(kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional, keadaan
geografis, dll.
N.E. Algra, et all24 memberikan pengertian Sumber Hukum
Materiil adalah faktor-faktor masyarakat yang memengaruhi
pembentukan hukum (pengaruh terhadap pembuatan undang-
undang, keputusan hakim dan sebagainya).
Sumber hukum materiil adalah sumber dari mana materi
hukum itu diperoleh atau memengaruhi materi/isi aturan-aturan
hukum; sumber hukum materiil merupakan bahan yang harus ada
dalam proses pembentukan hukum. Faktor pembentukan hukum
adalah pertama faktor ideal yakni faktor yang berkenaan dengan
persoalan keadilan yang patut diperhatikan oleh pembentuk
hukum; kedua faktor kemasyarakatan yakni faktor kesadaran
akan kebenaran, kepatutan, kepantasan, kebijaksanaan, serta

23 Sudikno Mertokusumo.1996. Mengenal Hukum. Liberty, Yogyakarta ,


hlm. 70
24 N.E. Algra, et all.1983. Mula Hukum. Bina cipta, Jakarta. hlm 16
32
petunjuk hidup yang diyakini oleh masyarakat sebagai sesuatu
yang harus ditaai dan dilaksanakan dalam berbagai aspek
kehidupan ekonomi, sosial, adat istiadat, kebiasaan25.
L.J.Van Apeldoorn 26 membagi sumber hukum dalam arti
materiil meliputi tiga hal yaitu:
1. Sumber hukum dalam arti sejarah
2. Sumber hukum dalam arti sosiologis
3. Sumber hukum dalam arti filsafat.
Ad1. Sumber Hukum dalam arti sejarah (historis) Sumber
Hukum yang merupakan tempat dapat ditemukan atau
dikenalnya hukum secara historis (Materi Hukum/isi).
Sumber Hukum yang merupakan tempat pembentuk
Undang-Undang mengambil bahan.
Ad 2. Sumber Hukum dalam arti Sosiologis Teleologis
merupakan faktor-faktor yang menentukan isi hukum
positif.
Ad 3. Sumber Hukum dalam arti Filosofis
a. Sumber isi hukum
Pandangan Teokratis (isi hukum itu dari Tuhan)
Pandangan Kodrat (isi hukum dari akal manusia)
Isi hukum dari pandangan hukum

25Endrik Safudin.2020. Pengantar Ilmu Hukum. Intrans Publishing,


Malang. Hlm.41
26 L.J Van Apeldorn. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta.. hlm. 75

33
b. Sumber kekuatan mengikat hukum
karena sifat hukum memaksa
karena alasan kesusilaan
karena alasan kepercayaan
Sedangkan E. Utrecht dan Moh Saleh Djinda 27

mengklasifikasikan sumber hukum materiil menjadi lima jenis


yaitu:
1. Sumber hukum menurut ahli sejarah
2. Sumber hukum menurut filosuf
3. Sumber hukum menurut ahli sosiologi dan antropologi
budaya
4. Sumber hukum menurut ahli ekonomi
5. Sumber hukum menurut ahli agama

C. Sumber Hukum Formal


Sumber hukum formal adalah sumber hukum dari mana
secara langsung dapat dibentuk hukum yang akan mengikat
masyarakatnya. Dinamai dengan sumber hukum formal karena
semata-mata mengingat cara untuk mana timbul hukum positif,
dan bentuk dalam mana timbul hukum positif, dengan tidak lagi
mempersoalkan asal-usul dari isi aturan-aturan hukum tersebut.

Hasim Purba dan Muhammad Hadyan Yunhas Purba. 2019. Dasar-


27

Dasar Pengetahuan Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Hlm. 42


34
Sumber-sumber hukum formal membentuk pandangan-
pandangan hukum menjadi aturan-aturan hukum, membentuk
hukum sebagai kekuasaan yang mengikat. Jadi sumber hukum
formal ini merupakan sebab dari berlakunya aturan-aturan
hukum.
Yang termasuk Sumber-sumber Hukum Formal adalah:
1. Undang-undang;
2. Kebiasaan;
3. Traktat atau Perjanjian Internasional;
4. Yurisprudensi;
5. Doktrin.
Adapun penjelasan dari sumber hukum formal tersebut adalah :
1. Undang-undang:
Undang-undang di sini identik dengan hukum tertutlis
(ius scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis (ius
non scripta). Pengertian hukum tertulis sama sekali tidak
dilihat dari wujudnya yang ditulis dengan alat tulis.. dengan
perkataan lain istilah tertulis tidak dapat kita artikan secara
harfiah, namun istilah tertulis di sini dimaksudkan sebagai
dirumuskan secara tertulis oleh pembentukan hukum khusus
(speciali rechtsvormende organen). Undang-undang, yaitu suatu
peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga negara
yang sah yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat; atau
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan
35
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden.28
Dilihat dari bentuknya, hukum dibedakan menjadi 2,
yaitu:
a. Hukum tertulis.
b. Hukum tidak tertulis.
Undang-undang merupakan salah satu contoh dari
hukum tertulis. Jadi, Undang-undang adalah peraturan negara
yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang berwenang
untuk itu (DPR dengan persetujuan bersama Presiden) dan
mengikat masyarakat umum.
a. Undang-undang dalam arti materiil, yaitu: setiap
peraturan yang dikeluarkan oleh Negara yang isinya
langsung mengikat masyarakat umum;
Undang-undang dalam arti materiil, yaitu
keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari
isinya dinamai undang-undang dan mengikat setiap orang
secara umum.
Misalnya:
Yang tercantum dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

28Pasal1, angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun


2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
36
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(UU 12/2011):
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri
atas (Pasal 7 ayat 1 UU 12/2011):
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Peraturan Presiden;
6) Peraturan Daerah Provinsi; dan
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011:
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat

37
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat.
Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011:
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.
b. Undang-undang dalam arti formal, yaitu: setiap peraturan
negara yang karena bentuknya disebut Undang-undang
atau dengan kata lain setiap keputusan/peraturan yang
dilihat dari cara pembentukannya; atau keputusan
penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya
sehingga disebut undang-undang. Jadi undang-undang
dalam arti formal tidak lain merupakan ketetapan
penguasa yang memperoleh sebutan undang-undang
karena cara pembentukannya.
Di Indonesia, Undang-undang dalam arti formal
dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR (lihat pasal
5 ayat 1 UUD 45).
Pasal 5 ayat 1 UUD 45:

38
Sebelum Amandemen: Presiden memiliki hak penuh
untuk membentuk UU dengan persetujuan DPR sehingga
dengan demikian UU yang dibentuk itu pasti dapat
disahkan.
Sesudah Amandemen: Presiden hanya berhak untuk
membuat dan mengajukan RUU kepada DPR untuk
kemudian dibahas dan disahkan.
Kelebihan dari pengubahan ini adalah RUU yang
sebelum dijadikan UU bisa dilakukan wacana terlebih dahulu,
apakah sesuai dengan kondisi yang ada di masyarakat.
Perbedaan dari kedua macam Undang-Undang tersebut
terletak pada sudut peninjauannya. Undang-undang dalam
arti materiil ditinjau dari sudut isinya yang mengikat umum,
sedangkan undang-undang dalam arti formal ditinjau segi
pembuatan dan bentuknya.
Oleh karena itu untuk memudahkan dalam
membedakan kedua macam pengertian undang-undang
tersebut, maka undang-undang dalam arti materiil biasanya
digunakan istilah peraturan, sedangkan undang-undang
dalam arti formal disebut dengan undang-undang.
2. Kebiasaan/adat-istiadat (custom)
Kebiasaan/adat-istiadat (Hukum Tidak Tertulis), yaitu
perbuatan manusia yang dilakukan secara berulang-ulang

39
sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang menimbulkan
keyakinan dan kewajiban hukum bagi masyarakatnya.
Kebiasaan adalah: semua aturan yang walaupun tidak
ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh rakyat, karena
mereka (rakyat) yakin bahwa aturan itu berlaku sebagai
hukum.
Dasarnya: Pasal 27 Undang-undang No. 14 tahun 1970
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
mengatur bahwa: hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat.
Dalam penjelasan otentik pasal di atas dikemukakan
bahwa dalam masyarakat yang masih mengenal hukum yang
tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan
peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai
hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia
harusterjun ke tengah-tengah masyarakatnya untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Agar kebiasaan memiliki kekuatan yang berlaku dan
sekaligus menjadi sumber hukum, maka harus dipenuhi
syarat sebagai berikut:

40
a. Harus ada perbuatan atau tindakan tertentu yang
dilakukan berulangkali dalam hal yang sama dan diikuti
oleh orang banyak/umum.
b. Harus ada keyakinan hukum dari orang-orang/golongan-
golongan yang berkepentingan. dalam arti harus terdapat
keyakinan bahwa aturan-aturan yang ditimbulkan oleh
kebiasaan itu mengandung/memuat hal-hal yang baik dan
layak untuk diikuti/ditaati serta mempunyai kekuatan
mengikat.
3. Traktat (Treaty/Perjanjian Internasional)
Traktat (Treaty), yaitu perjanjian-perjanjian yang dibuat
antar negara. Baik itu perjanjian bilateral maupun multilateral
sehingga dengan adanya perjanjian itu,maka menimbulkan
kewajiban bagi pihak-pihak yang ada di dalamnya sehingga
traktat menjadi sumber hukum.
Jadi Traktat adalah: perjanjian yang dilakukan oleh
kedua negara atau lebih. Perjanjian yang dilakukan oleh 2
(dua) negara disebut Traktat Bilateral.
Contoh:
Traktat antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah
Malaysia tentang Perjanjian ekstradisi menyangkut kejahatan
kriminal biasa dan kejahatan politik.
Sedangkan Perjanjian yang dilakukan oleh lebih dari 2
(dua) negara disebut Traktat Multilateral.
41
Contoh:
Perjanjian kerjasama beberapa negara di bidang pertahanan
dan ideologi seperti NATO (North Atlantic Treaty Organization).
Selain itu juga ada yang disebut sebagai Traktat Kolektif
yaitu perjanjian antara beberapa negara dan kemudian terbuka
bagi negara-negara lainnya untuk mengikatkan diri dalam
perjanjian tersebut.
Contoh:
a. Perjanjian dalam PBB di mana negara lain, terbuka untuk
ikut menjadi anggota PBB yang terikat pada perjanjian
yang ditetapkan oleh PBB tersebut.
b. Treaty Banning Nuclear Weapon Tests in the Atmosphere, in
Outer Space and Underwater of August 5, 1963 (Traktat
tentang larangan Melakukan Percobaan Senjata Nuklir di
Atmosphir, Angkasa Luar, dan di Bawah Air, tanggal 5
Agustus 1963).
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri,
menyebutkan:
Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan
apa pun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara
tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih
negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional

42
lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah
Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.
Dalam pengertian umum, treaty mencakup semua jenis
persetujuan Internasional. Dalam pengertian khusus, treaty
merupakan perjanjian yang paling penting dan sangat formal
dalam urutan perjanjian(traktat).
Treaties (traktat) adalah perjanjian yang diadakan oleh
dua negara atau lebih yang mencakup seluruh instrumen yang
dibuat oleh subyek hukum internasional dan memiliki
kekuatan hukum yang mengikat, menurut hukum
internasional.
Suatu traktat untuk dapat menjadi sumber hukum formil
harus disetujui oleh DPR terlebih dahulu, kemudian baru
diratifikasi oleh Presiden, dan setelah itu baru berlaku
mengikat terhadap negara peserta dan warga negaranya.
Perjanjian Internasional atau traktat juga merupakan salah
satu sumber hukum dalam arti formal. Dikatakan demikian
oleh karena treaty itu harus memenuhi persyaratan formal
tertentu agar dapat diterima sebagai treaty atau perjanjian
internasional.
Dasar hukum treaty: Pasal 11 ayat (1 & 2) UUD 1945 yang
berisi:
1) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain;

43
2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya
yang menimbulkan akibat yang luasdan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan
DPR.
Sumber hukum formil traktat harus melalui prosedur
sebagai berikut:
a. Tahap pertama penetapan isi perjanjian oleh para wakil
negara peserta yang bersangkutan.
b. Tahap ke dua persetujuan isi perjanjian oleh DPR negara
peserta masing-masing.
c. Tahap ke tiga ratifikasi/pengesahan isi perjanjian oleh
Pemerintah (Kepala Negara) masing-masing peserta.
d. Tahap keempat Pelantikan/pengumuman yang biasanya
ditandai dengan tukar-menukar piagam perjanjian yang
sudah disahkan.
4. Yurisprudensi
Yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim yang
dijadikan dasar untuk melakukan pengambilan keputusan
oleh hakim-hakim berikutnya. Jadi Yurisprudensi adalah:
keputusan hakim terdahulu yang kemudian diikuti dan
dijadikan pedoman oleh hakim-hakim lain dalam
memutuskan suatu perkara yang sama.
44
Pengertian yurisprudensi di Negara-negara yang hukumnya
Common Law (Inggris atau Amerika) sedikit lebih luas, di
mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan
pengertian yurisprudensi di Negara-negara Eropa Kontinental
(termasuk Indonesia) hanya berarti putusan pengadilan.
Adapun yurisprudensi yang kita maksudkan dengan putusan
pengadilan, di Negara Anglo Saxon dinamakan preseden.
Sudikno mengartikan yurisprudensi sebagai peradilan
pada umumnya, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret
terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang
berdiri sendiri dan diadakan oleh suatu Negara serta bebas
dari pengaruh apa atau siapa pundengan cara memberikan
putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.
Walaupun demikian, Sudikno menerima bahwa di
samping itu yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum
atau doktrin yang dimuat dalam putusan. Juga yurisprudensi
dapat berarti putusan pengadilan.
Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan
dibedakan lagi dalam dua macam :
a. Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan pasti, yang terdiri dari :
1) Putusan perdamaian;
2) Putusan Pengadilan Negeri yang tidak di banding;
3) Putusan Pengadilan Tinggi yang tidak di kasasi;
45
4) Seluruh putusan Mahkamah Agung.
b. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), yaitu putusan
hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara
sejenis.
5. Doktrin (Pendapat sarjana hukum yang terkenal)
Doktrin, adalah pendapat-pendapat dari para sarjana
hukum dan orang-orang yang dianggap ahli di bidang hukum.
Jadi Doktrin adalah: pendapat para ahli atau sarjana
hukum ternama/terkemuka. Dalam Yurispudensi dapat dilihat
bahwa hakim sering berpegangan pada pendapat seorang atau
beberapa sarjana hukum yang terkenal namanya.
Pendapat para sarjana hukum itu menjadi dasar
keputusan-keputusan yang akan diambil oleh seorang hakim
dalam menyelesaikan suatu perkara.
Contoh:
a. Doktrin mazhab sejarah dan kebudayaan yang dipelopori
oleh Friedrich Karl von Savigny (1779-1861), seorang
Jerman yang berpendapat bahwa hukum merupakan
perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat
(volksgeit). Semua hukum berasal dari adat-istiadat dan
kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan
undang-undang.
b. Doktrin aliran utilitarianisme yang dipelopori oleh Jeremy
Bentham (1748-1832), berpendapat bahwa manusia
46
bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan
mengurangi penderitaan. Setiap kejahatan harus disertai
dengan hukuman yang sesuai dengan kejahatan tersebut
dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih
dari apa yang diperlukan untuk mencegah terjadinya
kejahatan. Pembentuk hukum harus membentuk hukum
yang adil bagi segenap warga masyarakat secara
individual.
Begitu pula bagi penerapan hukum Islam di Indonesia,
khususnya dalam perkara perceraian dan kewarisan, doktrin
malah merupakan sumber hukum utama, yaitu pendapat
pakar-pakar fiqh seperti Syafii, Hambali, Malik dan
sebagainya.
6. Hukum Agama
Hukum agama ini di negara barat sama sekali tidak
diakui sebagai sumber hukum, apalagi sebagai hukum materil.
Tetapi berbeda dengan sistem hukum di Indonesia di mana
eksistensi Peradilan Agama diakui secara formal sebagai
badan peradilan yang berdiri sendiri dan berkompeten untuk
mengadili perkara-perkara perceraian dan waris bagi orang-
orang Islam. (Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama).

47
Pada peradilan agama, sumber hukum yang menjadi
rujukan jelas adalah hukum agama, dalam hal ini hukum Islam
yang berdasarkan pada Al-Quran, Hadist, dan hasil ijtihad.

48
BAB V
KONSEP-KONSEP HUKUM DAN ASAS
HUKUM

A. Konsep-Konsep Hukum
1. Subyek dan Obyek Hukum
Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi
pendukung hak dan kewajiban. Subyek hukum adalah "orang".
Dalam perspektif sejarah hukum, persoalan orang dideskripsikan
sebagai berikut. Pada tahun 600 sebelum masehi di polis Athena
dan tahun 900 sebelum masehi di polis Spartha, ada pemahaman
bahwa tidak semua manusia merupakan "orang". Hal ini sebagai
konsekuensi adanya segolongan manusia yang disebut "budak".
Adapun golongan "budak" ini hanya memiliki sejumlah
kewajiban tetapi tidak mempunyai hak.
Pada masa milineal ini, semua manusia memiliki hak asasi
yang merupakan hak kodrati pemberian dari Tuhan Yang Maha
Esa, sehingga keberadaan perbedaan manusia dan orang sudah
tidak relevan lagi. Saat ini manusia telah merupakan "orang". Di
samping manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban, dikenal
pula "badan hukum" sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Dengan demikian kalau mempertanyakan siapakah yang

49
termasuk "orang" menurut hukum? Jawabannya adalah manusia
dan badan hukum.
a. Subyek hukum
Subyek Hukum adalah pemangku hak dan kewajiban.
Dalam hukum dikenal ada dua subyek hukum, yaitu :
1) Manusia (Naturlijk persoon)
2) Badan Hukum (Recht persoon)
Adapun penjelasan dari kedua subyek hukum tersebut
adalah :
1) Manusia sebagai subyek Hukum
Pengakuan manusia sebagai salah satu subyek
hukum dapat ditemukan dalam pasal 6 (enam) Universal
Declaration of Human Rights yang berbunyi: Everyone
has right to recognition everywhere as a person before the
law. Jadi kedudukan manusia sebagai subyek hukum
sekaligus mendudukkan manusia memiliki kesamaan di
muka hukum; Equality before the law and Man in person
before the law, Äqual Justice Under Law.
Setiap manusia telah menjadi subyek hukum sejak ia
masih dalam kandungan ibunya, jika kepentingannya
menghendakinya, kecuali jika ia meninggal waktu
dilahirkan, dan berhentinya setiap manusia menjadi
subyek hukum ketika ia meninggal. Ini berarti tidak

50
dikenal lagi adanya "Kematian perdata" yang berakibat
dicabutnya hak keperdataan seseorang manusia ketika ia
masih hidup.
Kematian perdata ialah suatu hukuman yang
menyatakan bahwa seseorang tidak dapat memiliki
sesuatu hak lagi (pasal 3 Burgerlijk wetboek disingkat
BW). Sebagai subyek hukum setiap manusia mempunyai
hak dan kewajiban tanpa terkecuali. Inilah yang dinamai
istilah kewenangan hukum. Setiap manusia mempunyai
kewenangan hukum.
Tidak setiap manusia memiliki kecakapan untuk
melakukan tindakan hukum. Golongan yang tidak cakap
disebut pula dengan istilah Personae Miserabile. Mereka
itu terdiri atas:
a) Manusia belum berusia 21 tahun dan belum kawin
(Minderjariheid)
b) Manusia yang telah berusia 21 tahun atau lebih yang
berada di bawah pengampunan (Curatele)
c) Istri yang tunduk pada KUH Perdata (BW)
ad.(a). Manusia belum mencapai usia 21 tahun dan
belum kawin
Seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan
belum kawin oleh hukum belum diijinkan melakukan

51
tindakan hukum sendiri, meskipun oleh hukum sejak ia
masih berada dalam kandungan kalau kepentingannya
menghendaki ia sudah merupakan subyek hukum,
pendukung hak dan kewajiban.
Contoh kasus-kasus imajiner berikut ini dapat lebih
memberikan pengertian tentang minderjaigheid29:
1) Seorang kakek sebelum meninggal menghibahkan
sebuah rumahnya kepada cucunya yang masih dalam
kandungan ibunya. Si cucu tersebut sudah memiliki
kewenangan hukum untuk menerima penghibahan
rumah itu. Dengan demikian sejak akte hibah itu sah
maka si cucu yang berada dalam kandungan ibunya
telah menjadi pemilik sah rumah itu. Tetapi andaikata
si cucu tadi meninggal ketika dilahirkan, ia dianggap
tidak pernah dihibahkan oleh si kakek.
2) Jika si cucu tadi hidup terus, katakanlah usianya sudah
mencapai sepuluh tahun, maka walaupun ia pemilik
sah dari rumah tersebut, si cucu tidak dapat menjual
atau mengalihkan rumahnya itu pada orang lain tanpa
persetujuan dan diwakili oleh walinya.
3) Apabila dalam usia delapan belas tahun si cucu tadi
menikah walaupun usianya belum dua puluh satu

29 Achmad Ali, Opcit.1990 Hlm. 76-77.


52
tahun tetapi atas dasar pernikahannya, si cucu tadi
sudah tidak lagi minderjarigheid, dan sejak
pernikahannya itu si cucu sudah cakap untuk
melakukan tindakan hukum.
4) Jika misalnya dalam usia sembilan belas tahun si cucu
tadi bercerai dengan istrinya, maka meskipun usianya
belum mencapai dua puluh satu tahun tetap dianggap
cakap untuk melakukan tindakan hukum.
ad.(b). Manusia dewasa yang berada dibawah
pengampuan
Pada umumnya semua manusia yang telah
"meerderjarig" yang telah berusia dua puluh satu tahun ke
atas, telah cakap untuk bertindak, kecuali bagi yang
berada dibawah pengampuan (kuratele) baik karena gila
ataupun karena pemboros.
Di dalam pasal 433-434 KUH Perdata dikemukakan
alasan tentang ditaruhnya seseorang di bawah kuratele,
yaitu:
1. Lemah pikiran (zwakheid van vermogens)
2. Kekurangan kemampuan berpikir, sakit ingatan
(krank zinnigheid), dungu (onnozelheid).
3. Pemboros (verkwisting).

53
Untuk pemboros atau pemabuk ketidak cakapannya
untuk bertindak hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan
dalam bidang hukum serta kekayaan saja.
Orang yang sakit ingatanpun masih dapat dibedakan
atas yang mengidap neurosis dan psikopat. Neurosis hanya
orang yang rusak sebagian sistem kejiwaannya, sedang
psikopat menderita penyakit kejiwaan yang lebih berat.
Seorang yang berada di bawah kuratele, dalam bertindak
harus diwakili oleh kurator atau pengampunya. Kurator
itu ditunjuk dengan penetapan Pengadilan. Seseorang
dianggap mulai di bawah kuratele sejak putusan atau
penetapan pengadilan diucapkan tentang itu. Seorang
yang berada di bawah kuratele disebut kurandus.
ad.(c). Istri yang tunduk dalam KU H Perdata (BW)
Istri-istri yang tunduk pada KUH Perdata itu
menurut pasal 110 BW dianggap tidak cakap untuk
bertindak. Ia harus diwakili oleh suaminya.
Persoalan praktis yang timbul adalah
dikeluarkannya surat Edaran Mahkamah Agung RI. No. 3
Tahun 1963 yang menganggap tidak berlakunya lagi
beberapa pasal BW antara lain pasal 108 dan pasal 110
menyangkut kemampuan istri.

54
Persoalan yuridis yang timbul adalah persoalan
hierarki peraturan, sebab dari yuridis formalnya tidak
mungkin suatu SEMA dapat menghapuskan berlakunya
suatu Kitab Undang- undang. Namun dalam prakteknya
dengan alasan praktis tentu saja Hakim-hakim ditingkat
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi juga Hakim MA
akan mengikuti SEMA tersebut.
2) Badan Hukum sebagai Subyek Hukum
Badan hukum merupakan perkumpulan yang
dibentuk oleh manusia untuk tujuan tertentu. Badan
hukum ini dianggap juga "orang" atau "person" oleh
hukum karena badan hukum mempunyai hak dan
kewajiban tersendiri, yang terpisah dari manusia-manusia
yang menjadi pengurusnya. Kekayaan badan hukum
harus terpisah dari kekayaan pengurus.
Syarat untuk menentukan adanya kedudukan
sebagai suatu badan hukum adalah:
a) Adanya harta kekayaan yang terpisah
b) Mempunyai kepentingan sendiri
c) Mempunyai tujuan tertentu
d) Mempunyai Organisasi yang teratur
Perbedaan manusia dengan badan hukum:

55
1) walaupun badan hukum dapat memiliki hak sendiri, hak
cipta, hak merek, hak oktroi serta dapat melakukan
perbuatan melawan hukum tetapi badan hukum tidak
dapat mempunyai hak pakai dan hak mendiami. Kedua
jenis hak itu hanya dapat dipunyai oleh manusia saja.
2) bidang hukum keluarga jelas badan hukum tidak dapat
melakukan gerakan apa-apa. Badan hukum tidak
mungkin melakukan perkawinan, meninggal dunia,
karena itu harta kekayaan badan hukum tidak berpindah
pada akhli warisnya serta tidak dapat membuat wasiat30.
b. Obyek Hukum
Obyek hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat
bagi subyek hukum serta yang dapat menjadi obyek dalam
suatu perhubungan hukum. Obyek hukum juga sering disebut
benda yaitu segala barang-barang dan hak-hak yang dapat
dimiliki orang.
Benda dapat digolongkan menjadi:
1) Pembedaan benda berwujud dan tak berwujud
a) Benda berwujud, yaitu segala sesuatu yang dapat
diraba oleh panca indera contoh: buku, rumah dan
lain-lain

30 Achmad Ali, ibid.1990. Hlm. 80.


56
b) Benda tak berwujud, yaitu segala macam hak contoh:
hak cipta, hak merk dan lain-lain.
2) Pembedaan benda bergerak dan tak bergerak
a) Benda bergerak yaitu benda-benda yang dapat
dipindahkan, tetapi benda bergerak ini masih
dibedakan atas:
− Menurut sifatnya dapat bergerak sendiri seperti
hewan dan lain-lain.
− Yang dapat dipindahkan (buku, meja dan lain-lain)
− Karena ditetapkan sebagai benda bergerak oleh
undang-undang (hak-hak atas benda bergerak).
b) b. Benda tak bergerak, yaitu benda yang pada dasarnya
tidak mudah atau tidak dapat dipindahkan. Benda tak
bergerak ini masih dapat dibedakan:
− Menurut sifatnya (tanah dan semua yang didirikan
di atasnya seperti rumah dan lain-lain) serta yang
terletak dalam tanah (kekayaan alam terpendam).
− Menurut tujuannya (benda-benda yang oleh
pemilik dihubungkan dengan benda yang karena
sifatnya termasuk benda yang bergerak) seperti
alat-alat percetakan yang ditempatkan diruang
percetakan.
− Karena penetapan undang-undang:

57
(a) Hak-hak atas benda tak bergerak
(b) Kapal yang besarnya 200 m 3 oleh UU juga
digolongkan benda tak bergerak, meskipun
dalam kenyataannya dapat bergerak/berlayar.
2. Hak dan Kewajiban
Hubungan hukum tercermin pada hak dan kewajiban
yang diberikan oleh hukum. Unsur untuk adanya subyek
hukum, adalah unsur hak dan kewajiban.
Menurut Satjipto Rahardjo 31 , hak adalah kekuasaan
yang diberikan oleh hukum kepada seseorang dengan
maksud untuk melindungi kepentigan seseorang tersebut.
Hak merupakan pengalokasian kekuasaan tertentu kepada
seseorang untuk bertindak dalam rangka kepentingannya.
Hanya kekuasaan yang sah yang dapat dimasukkan dalam
pengertian hak. Dalam istilah hukum asing hak ini sering
disebut sebagai hukum subyektif sedangkan di Indonesia
dikenal sebagai hukum obyektif.
Sehubungan dengan pembedaan hukum subyektif dan
hukum obyektif Van Apeldoorn32 menuliskan:
1) Untuk menyatakan peraturan (kaidah/norma) yang
mengatur hubungan antar dua orang atau lebih, maka

31 Satjipto Rahardjo31 Opcit.1982. Hlm. 94


32 Van Apeldoorn32 Opcit.1957.Hlm. 45
58
dalam arti itu hukum obyektif, berlaku umum dan dalam
pada itu kita tidak mengingat pada seseorang subyek
tertentu.
2) Untuk menyatakan hubungan yang diatur oleh hukum
obyektif berdasarkan mana yang satu mempunyai hak,
yang lain mempunyai kewajiban, hukum dalam arti ini
kita sebut hukum subyektif, karena dalam hal ini hukum
dihubungkan dengan seseorang tertentu, sesuatu subyek
tertentu. Menurut Apeldoorn hak tidak lain dari aturan
hukum yang dihubungkan dengan seseorang tertentu33.
Fitzgerald mengemukakan ciri-ciri yang melekat pada
hak menurut hukum yakni:
1) Hak itu dilekatkan pada seseorang yang disebut sebagai
pemilik atau subyek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai
orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi
sasaran dari hak.
2) hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi
pemegang kewajiban, antara hak dan kewajiban terdapat
hubungan korelatif.
3) Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain
untuk melakukan (comission) atau tidak melakukan

33 Apeldoorn ibid Hlm.46


59
(omission) sesuatu perbuatan. Hal ini dapat disebut isi
dari hak.
4) Pebuatan atau omission itu menyangkut sesuatu yang
dapat disebut sebagai obyek dari hak.
5) Setiap hak itu menurut hukum mempunyai titel, yaitu
suatu peristiwa tertentu yang merupakan alasan
melekatnya hak itu pada pemiliknya.
Hak dapat digolongkan dalam beberapa penggolongan,
antara lain:
1) Penggolongan atas hak kebendaan dan hak perseorangan:
a) Hak kebendaan adalah hak yang diberikan kepada
seseorang yang memberikan kekuasaan langsung atas
suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap
setiap orang.
b) Hak perseorangan adalah suatu hak yang hanya dapat
dipertahankan terhadap orang tertentu saja.
c) Hak kebendaan dapat dibedakan lagi atas hak
kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan. Antara
lain hak milik, hak pakai dan sebagainya. Kemudian
hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan, antara
lain hak gadai, hak hipotek.
2) Penggolongan hak-hak mutlak dan hak relatif

60
a) Hak mutlak adalah hak yang memberikan kekuasaan
kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
perbuatan, hak itu dapat dipertahankan terhadap
siapapun juga, dan sebaliknya setiap orang juga
harus menghormati hak tersebut. Hak mutlak dapat
dibagi atas:
− Hak asasi, yaitu hak yang dianggap telah ada
bersamaan dengan lahirnya setiap manusia.
− Hak publik mutlak, seperti hak negara untuk
memungut pajak atas warganya.
− Hak dibidang keperdataan (hak privat) antara
lain hak marital, hak pengampuan dan
sebagainya.
b) Hak relatif adalah hak yang memberikan kekuasaan
kepada orang tertentu atau beberapa orang tertentu
untuk menuntut agar seseorang atau beberapa orang
lain tertentu memberikan sesuatu, melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu, ketiganya disebut
prestasi. Hak relatif ini pada umumnya terdapat di
bidang hukum perikatan.
3) Penggolongan atas hak publik dan hak privat
a) Hak publik adalah hak yang terdapat dalam
masyarakat pada umumnya, yaitu pada negara.

61
b) Hak privat adalah hak yang terdapat pada
perorangan, antara lain hak milik seseorang pada
rumahnya.
4) Penggolongan atas hak utama dan hak tambahan
a) Hak utama adalah hak yang diperluas oleh hak lain.
b) Hak tambahan adalah hak yang melengkapi hak-
hak utama, contohnya, perjanjian sewa menyewa
rumah merupakan hak tambahan yang bersifat
melengkapi hak utama si pemilik rumah, yaitu hak
miliknya atas rumah itu.
Ada 3 (tiga) unsur yang terdapat pada suatu hak, yaitu:
1) Unsur perlindungan, unsur ini terlihat dalam contoh,
seorang wanita tidak boleh disetubuhi secara paksa. Ini
yang sering disebut perkosaan. Dengan demikian wanita
itu mempunyai hak untuk dilindungi dari pihak
perkosaan laki-laki manapun.
2) Unsur Pengakuan, terlihat dalam contoh di atas, bahwa
dengan kewajiban untuk melindungi wanita itu dari
perkosaan, berarti mengakui adanya hak si wanita tadi
untuk tidak diperkosa, untuk dilindungi.
3) Unsur kehendak, dari contoh di atas, wanita itu memiliki
kehormatan (kesusilaan). Berarti hukum memberikan hak
kepada wanita itu untuk mendapat perlindungan atas

62
kehormatannya. Namun perlindungan itu tidak hanya
tertuju kepada kepentingan wanita itu saja melainkan juga
terhadap kehendak wanita itu. Artinya si wanita tadi
dapat memberikan secara sukarela untuk disetubuhi oleh
pria yang dikehendakinya dan itu termasuk hak dari
wanita tersebut. Tentu saja kita di Indonesia, hak wanita
tadi menentukan sendiri kehendaknya setelah ia dewasa
menurut hukum.
Jadi di dalam hak dan kewajiban antara warga
masyarakat senantiasa terlibat pada apa yang disebut
vinculum juris, yaitu suatu ikatan kewajiban timbal balik
antara dua orang yang memuat pengakuan hak kepada pihak-
pihak yang terlibat dalam hubungan kewajiban.
Vinculum juris atau hubungan hukum ini tidak terdapat
antara manusia dan binatang atau tumbuhan misalnya, jadi
kalau manusia dilarang merusak lingkungannya hal itu bukan
karena adanya vinculum juris antara manusia dan
lingkungannya melainkan karena pengakuan akan manfaat
lingkungan terhadap manusia sendiri, jadi sama sekali bukan
untuk kepentingan si hewan atau si tumbuhan. Manakala
seorang manusia mempunyai milik atas sesuatu benda, sama
sekali tidak membuktikan adanya hubungan hukum antara
manusia itu dengan benda miliknya, melainkan bahwa

63
dengan adanya hak milik atas bendanya, orang lain harus
menghormati hak milik itu. Jadi hubungan si pemilik adalah
terhadap subyek hukum lain.
Fitzgerald 34 membedakan hak di satu pihak dan
kekuasaan, kemerdekaan dan imunitas di masing-masing
pihak.
1) Hak (dalam arti sempit) adalah seperti yang dikemukakan
di atas
2) Kemerdekaan terdiri dari berbagai kepentingan yang ada
pada seseorang untuk melakukan hal-hal yang ia senangi
atau yang ingin ia lakukan. Hal-hal itu dapat
dilakukannya tanpa dihalangi-halangi oleh hukum.
Perbedaannya dengan hak (ad.a) yaitu bahwa hak
berhubungan dengan hal-hal yang harus dilakukan oleh
orang lain untuk seseorang, sedangkan kemerdekaan
hanya berurusan dengan hal-hal yang boleh dilakukan
untuk seseorang itu sendiri.
Contoh :
Si A berhak untuk tidak dianiaya oleh siapapun. Si A
mempunyai kemerdekaan untuk melakukan apa saja yang
tidak dilarang oleh hukum.

34 Fitzgerald34 Opcit. 1966 Hlm.224-233


64
3) Kekuasaan adalah hak yang diberikan kepada seseorang
untuk, melalui jalan hukum mewujudkan kemauannya
guna mengubah hak-hak, kewajiban-kewajiban,
pertanggung jawaban atau lain-lain hubungan hukum,
baik dari dirinya sendiri maupun orang lain.
Kekuasaan ada 2 macam yaitu:
a) Kekuasaan dibidang perdata disebut kecakapan
b) Kekuasaan dibidang publik disebut kewenangan
4) Imunitas digunakan dalam arti kekebalan terhadap
kekuasaan hukum orang lain. Seperti halnya kekuasaan
adalah kemampuan mengubah hubungan-hubungan
hukum, maka imunitas ini merupakan pembebasan dari
adanya suatu hubungan hukum untuk dapat diubah oleh
orang lain. Perbedaan antara imunitas disatu pihak
dengan kemerdekaan dipihak lain adalah imunitas
merupakan pembebasan dari kekuasaan orang lain
sedangkan kemerdekaan merupakan pembebasan dari
hak orang lain.
Antara hak dan kewajiban sebenarnya terdapat
hubungan yang teramat erat. Hak senantiasa mencerminkan
adanya kewajiban, sedang kewajiban sebaliknya
mencerminkan adanya hak. Seseorang yang memiliki hak
untuk menagih piutangnya terhadap orang lain,

65
menunjukkan adanya pihak yang berkewajiban untuk
membayar utangnya. Di dalam hubungan hukum pihak yang
berhak disebut kreditur (schuldeiser) dan pihak yang
berkewajiban disebut debitur (schuldenoor). Hubungan hukum
yang menimbulkan hak dan kewajiban itulah yang dikenal
sebagai vinculum juris.
Pada keadaan-keadaan tertentu pihak yang diberikan
hak sering juga sekaligus dibebani kewajiban contoh: orang
tua diberi hak untuk melakukan kekuasaan terhadap anak-
anaknya, tetapi sekaligus dalam hak itu mengandung
kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya.
L.B. Curzon35 membeda-bedakan kewajiban atas:
1) Kewajiban mutlak (absolute duties) dan kewajiban relatif
(relative duties). Kewajiban mutlak adalah yang tidak
tertuju pada pasangan hak, sedangkan kewajiban relatif
adalah melibatkan hak pada orang lain.
2) Kewajiban publik (public duties) dan kewajiban privat
(private duties). Kewajiban publik adalah kewajiban yang
mempunyai korelasi dengan hak-hak dibidang publik
seperti kewajiban untuk membayar pajak. Kewajiban
privat adalah mempunyai korelasi dengan hak-hak privat,
seperti kewajiban yang timbul dari perjanjian.

35 L.B. Curzon35 Opcit.1979. Hlm. 215-216


66
3) Kewajiban positif (positive duties) dan kewajiban negatif
(negative duties). Kewajiban positif adalah kewajiban yang
menghendaki dilakukannya perbuatan positif seperti
kewajiban pembeli untuk membayar sejumlah uang yang
merupakan harga dari barang yang dibelinya. Sedangkan
kewajiban negatif adalah kewajiban yang menghendaki
agar dilakukannya perbuatan yang negatif. Yang
dimaksud dengan perbuatan negatif adalah justru tidak
melakukan sesuatu. Misalnya kewajiban untuk tidak
melakukan sesuatu yang mengganggu ketentraman
tetangga.
4) Kewajiban-kewajiban universal, umum dan khusus
(universal, general and particular duties).
a) Kewajiban universal adalah kewajiban yang
ditujukan kepada semua warga negara, contohnya
kewajiban yang timbul dari undang-undang.
b) Kewajiban umum adalah kewajiban yang ditujukan
kepada segolongan orang tertentu, contohnya orang
asing, orang tua.
c) Kewajiban khusus adalah kewajiban yang timbul
dari bidang hukum tertentu, contoh kewajiban
dalam hukum perjanjian

67
5) Kewajiban Primer (primary duties) dan kewajiban-
kewajiban yang memberi sanksi (sanctioning duties).
a) Kewajiban primer adalah kewajiban yang timbulnya
bukan karena perbuatan melawan hukum atau
perbuatan pidana contoh: kewajiban seseorang
untuk tidak mencemarkan nama baik orang lain, dan
lain-lain.
b) Kewajiban-kewajiban bersanksi adalah kewajiban-
kewajiban yang timbul akibat perbuatan melawan
hukum (dalam bidang hukum privat) atau
perbuatan pidana contoh: kewajiban untuk
membayar ganti kerugian bagi orang yang
menimbulkan kerugian pada orang lain akibat
perbuatan melawan hukum yang dilakukannya
(pasal 1365 BW)
3. Peristiwa Hukum
Peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam
masyarakat yang menggerakkan suatu peraturan hukum
tertentu, sehingga ketentuan-ketentuan yang tercantum di
dalamnya lalu diwujudkan. Suatu peraturan hukum yang
mengatur tentang kewarisan karena kematian akan tetap
merupakan rumusan kata-kata yang diam sampai ada
seseorang yang meninggal dan menimbulkan masalah

68
kewarisan. Kematian orang itu merupakan peristiwa hukum.
Secara lebih sederhana kita bisa mengatakan bahwa apabila
dalam masyarakat timbul suatu peristiwa sedang peristiwa itu
sesuai dengan yang dilukiskan dalam peraturan hukum,
maka peraturan hukum itupun lalu dikenakan kepada
peristiwa tersebut. Deskripsi tersebut menjelaskan kepada
kita bahwa tidak setiap peristiwa bisa menggerakkan hukum.
Oleh karena itu hanya peristiwa-peristiwa yang dicantumkan
dalam hukum saja yang bisa menggerakkan hukum dan
untuk itu ia disebut sebagai Peristiwa hukum.
4. Hubungan Hukum (rechtsbetrekking, legal relations)
Kehidupan sosial sesungguhnya merupakan kumpulan
berbagai macam hubungan antara anggotanya. Hubungan-
hubungan inilah yang pada akhirnya membentuk kehidupan
sosial itu. Kehidupan sosial itu merupakan jalinan dari
berbagai hubungan antara para anggota masyarakat satu
sama lain. Hubungan-hubungan ini berkisar pada
kepentingan- kepentingan. Hukum memberikan kualifikasi
terhadap hubungan-hubungan tertentu yang dipilihnya.
Dengan adanya pengklasifikasian oleh hukum ini, maka
menjadilah hubungan- hubungan itu yang dinamakan
hubungan hukum.

69
Pemberian kualifikasi oleh hukum terhadap hubungan-
hubungan antara anggota-anggota masyarakat, sehingga
hubungan-hubungan yang nyata itu berubah sifatnya menjadi
hubungan hukum serta merta menimbulkan suatu pertalian
tertentu antara subyek-subyek yang melakukan hubungan
tersebut. Pertalian ini serupa kewenangan yang ada pada
subyek-subyek hukum. Sebagai kelanjutan dari subyek
hukum itu kewenangan tersebut biasa disebut hak.

B. Asas Hukum (Ratiolegis)


Dalam bahasa Inggris asas adalah "principle". Menurut
"The New American Webster Dictionary" principle adalah36 :
a. 'A fundamental truth or doctrine on which others are based"
b. "Rules of conduct or ethical behavior".
Sudikno Mertokusumo37 menyatakan bahwa asas hukum
atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret
melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan
latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam
dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam
peraturan perundang-undangan dan peraturan hukum yang
merupakan hukum positif dan dapat juga diketemukan dengan
mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.

36 "The New American Webster Dictionary" 1954. Hlm.269


37 L.B. Curzon37 Opcit. 1979. Hlm.215-216
70
Asas hukum merupakan sesuatu yang melahirkan
peraturan-peraturan hukum, merupakan ratio legis dari aturan
ataupun peraturan hukum. 38 Satjipto Rahardjo 39 menyatakan
bahwa asas hukum merupakan "jantungnya" peraturan hukum.
Paton40 menyatakan bahwa asas hukum tidak akan pernah
habis kekuatannya hanya karena telah melahirkan suatu aturan
ataupun peraturan hukum melainkan tetap saja ada dan akan
mampu terus melahirkan aturan dan peraturan seterusnya.
Sementara menurut Satjipto Rahardjo 41 bahwa asas hukum
mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Apabila kita
membaca suatu peraturan hukum mungkin kita tidak
menemukan pertimbangan etis di situ. Tetapi asas hukum
menunjukkan adanya tuntutan etis yang demikian itu atau
setidak-tidaknya kita bisa merasakan adanya petunjuk ke arah itu.
Jadi walaupun asas hukum bukan merupakan peraturan
hukum, namun sebagai sesuatu yang merupakan ratio legis- nya
hukum, tidak ada hukum yang dapat dipahami tanpa mengetahui
asas-asas hukum yang ada di dalamnya.
Rusli Effendy 42 mengemukakan beberapa contoh sebagai
berikut:

38 Satjipto Rahardjo38 Opcit.1982. Hlm.85


39 Loccit
40 Paton40 Opcit.1971.Hlm.204
41 Rahardjo41 Opcit. 1982. Hlm.86
42 Rusli Effendy42, et. Al, Opcit.1991. Hlm.28

71
a. Dikenal adanya asas hukum yang berbunyi audi at alteram
partem atau dengarlah juga pihak lain. Asas hukum ini berada
dalam bidang hukum acara dan kemudian dari asas hukum
ini melahirkan sejumlah peraturan hukum acara, antara lain:
1) Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 14 tahun 1970:
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membedakan orang.
2) Pasal 126 HIR, 150 RV: jika telah dipanggil secara patut dan
tergugat tidak datang menghadap ke pengadilan masih
diberi kelonggaran agar tergugat dipanggil sekali lagi.
b. Asas hukum ius curia novit, atau hakim dianggap tahu
hukum. Asas hukum inipun melahirkan sejumlah peraturan
hukum antara lain:
1) Pasal 14 ayat 1 Undang-undang No. 14 tahun 1970:
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.
2) Pasal 27 ayat 1 Undang-undang. No. 14 tahun 1970: Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat.

72
Sebagai suatu sistem, hukum tidak menghendaki adanya
benturan, perselisihan, pertikaian dan apabila timbul
benturan/perselisihan/pertikaian dalam sistem itu, maka asas-
asas hukumlah yang berfungsi untuk menyelesaikan benturan itu.
Contoh:
a. Jika ada pertikaian atau konflik antara suatu peraturan yang
umum dengan peraturan sederajat yang khusus maka
diselesaikan dengan asas: lex spesialis derogat legi
generali, hukum khusus lebih didahulukan dari hukum
umum.
b. Jika ada pertikaian atau konflik antara peraturan yang lebih
rendah dengan peraturan yang lebih tinggi diselesaikan
dengan asas lex superiori derogat inferiori, hukum yang
lebih tinggi tingkatannya lebih didahulukan dari hukum
yang lebih rendah.
c. Jika ada pertikaian atau konflik antara peraturan lama dan
peraturan baru maka diselesaiakan dengan asas lex
posteriori derogat legi priori, peraturan yang baru
didahulukan dari peraturan yang lama.
Pada umumnya asas hukum ini tidak diterangkan dalam
berbagai peraturan, seperti ternyata dalam beberapa contoh yang
baru disebutkan di atas. Namun tidak jarang asas hukum ini
dituangkan dalam peraturan konkret seperti asas the

73
presumption of innosence yang terdapat dalam pasal 8 Undang-
undang. No. 14 tahun 1970 atau asas Nullum delictum Nulla
Poena Sine Praevia lege Poenali (tidak ada tindak pidana atau
delik, tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang
mendahuluinya) seperti yang tercantum dalam pasal 1 ayat 1
KUH Pidana.
Ada pula asas-asas yang bersifat umum di berbagai
lapangan hukum antara lain:
1) Asas Legalitas atau the principle of legality merupakan asas
yang menentukan bahwa tindak pidana haruslah diatur
terlebih dulu dalam undang-undang atausuatu aturan hukum
sebelum seseorang melakukan pelanggaran atau
perbuatannya.
2) Asas Non Retroaktif adalah asas yang melarang keberlakuan
surut dari suatu undang-undang.
3) Asas Geen straf zonder schuld (tiada mungkin orang dipidana
jika tidak ada kesalahan).
4) Asas Actori incumbit probatio, actori onus probandi adalah
asas yang menyatakan bahwa siapa yang mendailkan dia
harus membuktikan.
5) Asas Actor Sequitur Forum Rei adalah asas dalam hukum
Acara Perdata yang menerangkan tentang di manakah
seharusnya gugatan itu diajukan.

74
6) Asas Presumption of innocence adalah seseorang dianggap
tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah; (pasal
8 Undang-undang. No. 14 tahun 1970).
7) Asas Pacta Sunt Servanda adalah setiap perjanjian yang telah
dibuat mesti ditaati.
8) Asas Fiat Justitia Ruat Caelum adalah asas yang bermakna
Hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh.
(diucapkan: oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus 43 SM).
9) Asas Lex Dura Sed Tamen Scripta adalah hukum itu kejam tapi
memang demikianlah adanya. (Putusan MA No. 1777
K/PID.SUS/2003: UU termasuk putusan pengadilan
terkadang bisa salah namun harus dianggap benar.
10) Asas Ubi Societas Ibi Ius adalah di mana ada masyarakat di
situ ada hukum.
11) Asas In Criminalibus, Probationes bedent esse luce clariores
adalah dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang dari
cahaya/seterang cahaya.
12) Asas Kebebasan Berkontrak; Ketentuan pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” Serta asas kebebasan berkontrak adalah suatu
asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian

75
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya
d. Menentukan bentuk perjanjian, baik secara tertulis atau
secara lisan
13) Asas Kepastian hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau yang lebih dikenal dengan asas
pacta sunt sevanda yang memiliki arti janji harus ditepati.
Pada dasarnya asas ini berkaitan dengan perjanjian atau
kontrak yang dilakukan diantara individu. Dapat dikatakan
juga bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang.
14) Asas Konsensualisme
Perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan
dari pihak-pihak yang membuat perjanjian. Berdasarkan asas
konsesualisme itu, dianut suatu paham bahwa sumber
kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak dengan
konsensus para pihak yang membuat kontrak (convergence of
wills). Asas konsensualisme terdapat di dalam Pasal 1320 KUH
Perdata. Hukum perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata
berasas konsensualisme.
15) Asas Itikad Baik (goede trouw)
Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, perjanjian haruslah
dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik disyaratkan

76
dalam hal “pelaksanaan” dari suatu perjanjian, bukan pada
“pembuatan”, sebab unsur itikad baik dalam hal proses
pembuatan suatu perjanjian sudah terdapat di dalam unsur
kausa yang halal pada Pasal 1320 KUH Perdata.
16) Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian menjelaskan bahwa ruang lingkup
berlakunya perjanjian hanyalah pada pihak-pihak yang
membuat perjanjian saja. Pihak di luar perjanjian tidak dapat
menuntut suatu hak apapun berdasarkan perjanjian itu.
17) Asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan
tanaman yang ada di atasnya.
18) Asas Hakim Bersifat Menunggu
Asas dari hukum acara perdata (sebagaimana halnya asas
hukum acara pada umumnya) bahwa pelaksanaannya, yaitu
inisiatif untuk mengajukan gugatan, sepenuhnya diserahkan
kepada mereka yang berkepentingan.
19) Asas Hakim Pasif
Hakim dalam memeriksa suatu perkara bersikap pasif.
Maksudnya, ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang
diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya
ditentukan oleh pihak-pihak yang beperkara dan bukan oleh
hakim.
20) Asas Hakim Aktif
Dalam beracara dengan HIR/RBg, hakim Indonesia harus
aktif sejak perkara dimasukkan ke pengadilan, memimpin

77
sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu para
pihak dalam mencari kebenaran, penjatuhan putusan, sampai
dengan pelaksanaan putusannya (eksekusi). Karena dalam
sistem HIR/RBg tidak ada keharusan menunjuk kuasa
hukum, seorang yang buta hukum pun dapat menghadap
sendiri ke muka pengadilan.
21) Asas Sidang Pengadilan Terbuka untuk Umum
Sidang pemeriksaan perkara di pengadilan pada asasnya
adalah terbuka untuk umum. Ini berarti bahwa setiap orang
dibolehkan menghadiri dan mendengarkan pemeriksaan
perkara di persidangan. Adapun tujuan asas ini tidak lain
adalah memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia
dalam bidang peradilan serta menjamin objektivitas peradilan
dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair,
tidak memihak, serta putusan yang adil kepada masyarakat.
Asas ini dapat kita jumpai dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009. Mengumumkan putusan
hakim dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum
(openbaar) adalah syarat mutlak Pasal 13 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009.
22) Asas Mendengar Kedua Belah Pihak (audi et alteram partem)
Dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak haruslah
diperlakukan sama, tidak memihak, dan didengar bersama-

78
sama. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membedakan orang sebagaimana termuat dalam Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Hal tersebut
mengandung arti bahwa dalam hukum acara perdata, pihak-
pihak beperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas
perlakuan yang sama dan adil, serta masing-masing harus
diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Asas
bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal
dengan asas audi et alteram partem atau eines mannes rede ist
keines mannes rede, man soll sie horen alle beide. Hal ini berarti
bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu
pihak sebagai benar apabila pihak lawan tidak didengar atau
tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.
Hal ini berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus
dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah
pihak (Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2)).
23) Asas Putusan Harus Disertai Alasan-alasan
Semua putusan hakim (pengadilan) harus memuat alasan-
alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal
23 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 184 ayat (1)
HIR, Pasal 195 RBg, 61 Rv). Alasan-alasan atau argumentasi itu
dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hakim dari pada
putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan

79
yang lebih tinggi, dan ilmu hukum sehingga mempunyai nilai
objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah, putusan hakim
(pengadilan) mempunyai wibawa dan bukan karena hakim
tertentu yang telah menjatuhkannya. Putusan yang tidak
lengkap atau kurang pertimbangannya (onvoldoende
gemotiveerd) merupakan alasan untuk kasasi dan putusan
demikian harus dibatalkan (MA. Tgl. 22-7-1970 Nomor 638
K/Sip/1969 dan tanggal 16-12-1970 Nomor 492 K/Sip/1970).
24) Asas Hakim Harus Menunjuk Dasar Hukum Putusannya
Meskipun hakim tidak harus mencari-cari perkara di dalam
masyarakat, sekali suatu perkara diajukan kepada hakim,
hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadilinya dengan alasan apa pun Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabkan
adanya anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya (ius
curia novit). Seandainya dalam memeriksa suatu perkara
hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis, hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970). Hal ini didasarkan pada Pasl 5 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menentukan bahwa
hakim harus mengadili menurut hukum. Ketentuan demikian

80
itu didasarkan pada ketentuan yang berada dalam Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam HIR ataupun
RBg. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kewajibannya
yang demikian itu, dituntut keterampilan dan intelektualitas
seorang hakim.
25) Asas Hakim Harus Memutus Semua Tuntutan
Selain hakim dalam putusan harus menunjuk dasar hukum
yang dipakai sebagai dasar putusannya, hakim harus pula
memutus semua tuntutan dari pihak (Pasal 178 ayat (2) HIR,
189 ayat (2) RBg). Misalnya, penggugat mengajukan tuntutan-
tuntutan 1) tergugat dihukum mengembalikan utangnya; 2)
tergugat dihukum membayar ganti rugi; 3) tergugat dihukum
membayar bunga maka tidak satu pun dari tuntutan tersebut
boleh diabaikan oleh hakim. Mengenai hakim akan menolak
atau mengabulkan tuntutan tersebut, hal itu tidak menjadi
masalah, tergantung dari terbukti atau tidaknya hal-hal yang
dituntut tersebut.
26) Asas Beracara Dikenakan Biaya
Seseorang yang akan beperkara di pengadilan pada asasnya
dikenakan biaya (Pasal 182, 183 HIR, 145 ayat (4), 192—194
RBg).
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk
panggilan, pemberitahuan para pihak, serta biaya materai. Di

81
samping itu, apabila diminta bantuan seorang pengacara,
harus dikeluarkan biaya. Sebagai contoh, Pengadilan Negeri
Baturaja dalam putusannya pada 6 Juni 1971 Nomor
6/1971/Pdt menggugurkan gugatan penggugat karena
penggugat tidak menambah uang muka biaya perkaranya
sehingga penggugat tidak lagi meneruskan gugatannya.
27) Asas Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak mewajibkan orang untuk mewakilkan kepada orang
lain apabila hendak beperkara di muka pengadilan, baik
sebagai penggugat maupun sebagai tergugat, sehingga
pemeriksaan di persidangan dapat terjadi secara langsung
terhadap para pihak yang berkepentingan. Namun demikian,
para pihak dapat juga dibantu atau diwakili oleh kuasanya
apabila dikehendaki (Pasal 123 HIR/ Pasal 147 RBg). Dengan
demikian, hakim tetap wajib memeriksa perkara yang
diajukan kepadanya meskipun para pihak tidak
mewakilkannya kepada seorang kuasa.
Sudikno Mertokusumo 43 mengemukakan beberapa
pengertian asas menurut para ahli hukum sebagai berikut:
a. Bellefroid menyatakan bahwa asas hukum umum adalah
norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang
oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan

43 Sudikno Mertokusumo. Opcit.1988. Hlm. 32-33


82
yang lebih umum. Asas hukum umum itu merupakan
pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.
b. Hommes menyatakan bahwa asas hukum itu tidak boleh
dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkret akan
tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau
petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan
hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum
tersebut. Dengan lain kata, asas hukum ialah dasar-dasar atau
petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.
c. Scholten menyatakan bahwa asas hukum adalah
kecenderungan-kecenderungan yang diisyaratkan oleh
pandangan kesusilaan pada hukum, merupakan sifat-sifat
umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan
yang umum itu, tetapi yang tidak boleh harus ada.
Dibandingkan dengan pandangan Bellefroid maka apa
yang dikemukakan oleh Hommes dan scholten menjelaskan
bahwa asas hukum bukanlah peraturan hukum yang konkret,
tetapi yang terdapat di dalam dan dibelakang setiap sistem
hukum, yang terjelma dalam wujud peraturan perundang-
undangan maupun putusan hakim.
Paul Scholten 44 mengajarkan adanya lima asas hukum
yang universal yaitu asas kepribadian, asas persekutuan, asas

44 Ibid Hlm. 34.


83
kesamaan, asas kewibawaan dan asas pemisahan antara baik dan buruk.
Keempat asas hukum yang disebut lebih awal didukung oleh asas
hukum yang terakhir, yakni asas pemisahan yang baik dan yang
buruk. Asas kepribadian dicerminkan dengan pengakuan hak dan
kewajiban, pengakuan adanya subyek hukum.
Asas persekutuan dicerminkan kehendak untuk
mewujudkan keutuhan masyarakat; asas kesamaan mencerminkan
keinginan untuk memperoleh keadilan dan berdasarkan pada
asas kesamaan itu, dibidang peradilan dikenal asas perkara yang
sama, similia similibus atau yang sama oleh yang sama. Terakhir
asas mencerminkan keinginan akan ketidaksamaan.

84
BAB VI
SISTEM DAN KLASIFIKASI HUKUM

A. Sistem Hukum
1. Pengertian Sistem
sistem merupakan entitas yang memiliki tata aturan atau
susunan struktural dasar bagian-bagiannya; dan menunjuk pada
suatu rencana, metode, alat atau tata cara untuk mencapai
sesuatu. Sebagai suatu sistem hukum merupakan suatu tata
aturan atau susunan kesatuan yang utuh dari bagian-bagian atau
unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu dengan yang lain.
Keterkaitan itu sekaligus merupakan interaksi kebersamaan
untuk mencapai tujuan kesatuan. Kesatuan tersebut diterapkan
terhadap kompleks unsur pengertian dasar hukum seperti
peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum. Jadi
hakekat substansi sistem hukum adalah kesatuan hakiki yang
terbagi-bagi dalam komponen-komponen hukum di mana setiap
persoalan menemukan jawaban di dalam sistem itu sendiri.
Dalam ilmu hukum dikenal sistem hukum terbuka dan sistem
hukum tertutup. Persoalan ini erat kaitannya dengan aliran-aliran
teori hukum. Hukum sebagai sistem terbuka mendapat pengaruh
yang keras dari aliran historis Friendrich Cari von Savigny, tokoh

85
utama aliran itu. Sedangkan sebagai sistem tertutup hukum tidak
dapat dimasuki unsur-unsur lain yang bukan hukum dan
pandangan ini mendapat pengaruh keras dari aliran positivisme
(analistis) hukum John Austin dan teori hukum murni dari Hans
Kelsen. Di sisi lain hukum sebagai sistem terbuka dan tertutup
dikemukakan oleh Sudikno Mertokusmumo 45 yang menyetir
pendapat MR.KJ. Kraan dan Paul scholten berikut ini.
Sistem terbuka mempunyai hubungan timbal balik dengan
lingkungannya. Unsur-unsur yang tidak merupakan bagian
sistem mempunyai pengaruh terhadap unsur-unsur di dalam
sistem. Sistem hukum merupakan sistem terbuka. Sistem hukum
merupakan kesatuan-unsur-unsur (yaitu peraturan, penetapan)
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor kebudayaan, sosial, ekonomi
sejarah dan sebagainya. Peraturan-peraturan hukum itu terbuka
untuk penafsiran yang berbeda, oleh karena itu selalu terjadi
perkembangan.
Scholten berpendapat bahwa hukum itu merupakan sistem
terbuka karena berisi peraturan-peraturan hukum yang sifatnya
tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap. Istilah-istilah seperti
"itikad baik", "sebagai kepala keluarga yang baik", mengandung
pengertian yang harus memungkinkan penafsiran yang
bermacam-macam. Karena sifatnya yang umum maka merupakan

45 Ibid. Hlm.104-105
86
istilah "terbuka",dengan penafsiran yang luas. Dengan
menggunakan istilah-istilah yang bersifat terbuka tersebut hukum
berhubungan dengan sistem lain seperti kesusilaan dan
kesopanan.
Meskipun dikatakan bahwa sistem hukum itu terbuka,
namun dalam sistem hukum itu ada bagian-bagian yang sifatnya
tertutup. Ini berarti bahwa pembentuk undang-undang yang
tidak memberi kebebasan untuk pembentukan hukum. Hukum
keluarga dan hukum benda merupakan sistem tertutup yang
berarti bahwa lembaga-lembaga hukum dalam hukum keluarga
dan benda jumlah dan jenisnya tetap. Tidak diinginkan orang
menciptakan hak-hak kebendaan baru keculai oleh pembentuk
undang-undang. Sebaliknya hukum perikatan sistemnya terbuka:
setiap orang bebas untuk membuat jenis perjanjian apapun diluar
yang ditentukan dalam undang-undang.

2. Sistem Hukum Dunia


Dalam kepustakaan hukum dikenal 6 (enam) Sistem Hukum
di dunia yaitu: civil law, Common law, Islamic law, Socialist law,
Subsahara africa, far east, sebagaimana uraian berikut:
a. Civil law (hukum eropa kontinental. Sistem hukum tertulis ini
berasal hukum Romawi (Roman Law), dan berlaku di daratan

87
eropa (eropa kontinental) antara lain Italia, Perancis, Jerman,
Belanda.
b. Common Law (Anglo Saxon). Sistem ini adalah sistem yang
mendasari pada hukum kebiasaan costum, preseden, judge
made law. Sistem ini berlaku di Inggris, Amerika Serikat dan
negara-negara bekas jajahan Inggris.
c. Islamic Law, hukumberdasarkan syariah islam bersumber
dari Al-quran dan hadits;
d. Socialist law, sistem hukum sosialis yang berlaku di negara-
negara penganut sosialis seperti Soviet dll.
e. Sub sahara Afrika, sistem hukum yang berlaku di negara-
negara afrika, wilayah selatan gurun sahara.
f. Far east, sistem hukum yang berlaku di negara-negara timur
jauh yang merupakan perpaduan berbagai sistem hukum
(civil law, common law, hukum islam).
Dalam perkembangan sistem hukum dunia, yang paling
fenomenal dan merasuk kesebagian besar negera-negara di
dunia adalah sistem hukum civil law atau eropa kontinental
dan sistem hukum common law atau anglo saxon.

3. Sistem Civil Law


Sistem Civil law, disebut pula dengan penamaan Sistem
Hukum Eropa Kontinental atau Sistem hukum Romawi-Jerman.

88
Disebut Sistem Hukum Eropa Kontinental karena pada umumnya
berlaku di daratan eropa; sedangkan disebut Sistem hukum
Romawi-Jerman karena sistem Civil law ini berasal dari hukum
Romawi dan kemudian berkembang di Jerman. Sistem Civil law
ini dilatarbelakangi oleh paham positivistik yang memandang
hukum dalam bentuk tertulis, contoh: undang-undang, peraturan
daerah).
Sistem civil law berasal dari hukum Romawi yang
dikodifikasi artinya disusun secara sistematik dan lengkap dalam
suatu kitab, yang disebut dengan penamaan Corpus Iuris Civilis.
Terkodifikasinya hukum Romawi ini terjadi pada jaman Kaisar
Yustinianus I sewaktu memeritah kerajaan Romawi/Bizantiun,
yakni pada tahun 529-534 Masehi.
Pada jaman kerajaan Bizantium telah dilakukan himpunan
undang-undang dan kitab-kitab hukum (kodifikasi hukum) yang
disebut Corpus Juris, dan yang terkenal adalah Corpus Iuris Civilis
yang terdiri atas 4 (empat) bagian yaitu:
a. Institutiones yakni kitab hukum yang memuat ringkasan
hukum perdata dan dipakai sebagai pelajaran di
Konstantinopel dan Berytus. Kitab ini juga merupakan
pengantar digest berupa penjelasan berdasarkan karya-karya
sebelumnya.

89
b. Pandaectae atau Digesta merupakan himpunan kutipan-
kutipan yang diambil dari kitab-kitab karangan para ahli
hukum terkenal (antara lain: Ulpianus dan Paul), berisi hukum
Romawi Klasik yang disusun sejak abad pertama sampai abad
keempat terdiri dari 50 (lima puluh) buku dan terkonsentrasi
pada beberapa judul.
c. Codex atau Codex Justinianus merupakan himpunan
peraturan-peraturan yang diundang-undangkan oleh Kaisar
Justinianus, ditambah dengan isi codex-codex lainnya yang
merupakan keputusan kaisar Romawi sebelum Kaisar
Yustinianus yang masih berlaku46.
d. Novellae merupakan kompilasi keputusan yang dibuat oleh
Kaisar Justinianus
Istilah di Amerika Serikat yang digunakan untuk koleksi
hukum komprehensif disebut Corpus Juris Secundum. Karakteristik
Civil law adalah:
a. Sistem kodifikasi: sumber utama adalah hukum tertulis yakni
perundang-undangan.
b. Hakim tidak terikat pada preseden, atau doktyrin stare decicis,
sehingga undang-undang menjadi rujukan hukunya yang
utama.

46Damang dan Apriyanto Nusa. 2017.Asas danDasar-Dasar ilmu Hukum.


Genta, Hlm. 64-65.
90
c. Sistem peradilan bersifat inkuisitorial.
d. Sistem pembagian hukumperdata dan hukum publik, di
sistem common law tidak ada
e. Penalaran yang digunakan adalah penalaran deduktif.
f. Kesalahan dan putusan ditentukan oleh hakim berdasarkan
fakta yang terungkap dipersidangan yang bersesuaian dengan
perundang-undangan
g. Hakim merupakan mulut undang-undang.

4. Sistem Common Law (Anglo Saxon)


Hukum Anglo Saxon mula–mula berkembang di negara
Inggris, dan dikenal dgn istilah Common Law atau Unwriten Law
(hukum tidak tertulis). Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem
hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-
keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar
putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan
di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan,
Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat
(walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem
hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental
Napoleon).
Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga
menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya

91
Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar
sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum
adat dan hukum agama. Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya
penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat di negara-
negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.
Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol
digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.
Sistem hukum Anglo Saxon selain tentunya ada sifat yang
represif, namun sifat penekanannya lebih mengutamakan pada
sifat-sifat yang preventif. Pasal-pasalnya merupakan rambu-
rambu untuk mencegah munculnya korupsi, kolusi, nepotisme
dalam segala bentuk maupun manifestasinya sebagaimana jenis
jenis cyber crime.
Karakteristik Sistem Common law adalah:
a. Kaidah-kaidah yang dihasilkantertuju secara kongkrit kepada
penyelesaian suatu kasus tertentu.
b. Pengadilan memiliki peranan yang sangat penting: konsep
kaidah hukum berkembang melalui keputusan hakim.
c. Tidak adanya pembedaan prinsipil antara hukum publik dan
hukum privat.
d. Dikembangkan oleh praktisi dan proseduralis.
e. Menekankan pada ciri tradisional hukumnya.

92
Sistem ini memberikan keleluasaan kepada hakim untuk
menciptakan hukum (judge made law) dan hakim terikat pada
putusan-putusan hakim sebelumnya, the binding force of
president atau Stare decisis et quieta non movere (hakim
senantiasa harus berpedoman pada putusan-putusan pengadilan
terdahulu apabila ia dihadapkan pada suatu peristiwa47.

B. Klasifikasi Hukum
Pembedaan hukum menjadi bagian-bagian merupakan ciri
sistem hukum. Untuk mengadakan klasifikasi hukum, harus ada
ukuran atau kriterianya. Kriteria ini merupakan prinsip dasar
klasifikasi.
Berdasarkan kriteria tertentu terdapat macam-macam
klasifikasi hukum antara lain:
1. Menurut bentuknya diklasifikasikan menjadi hukum tertulis
dan hukum tidak tertulis.
2. Menurut sifatnya diklasifikasikan menjadi hukum imperatif
dan hukum fakultatif
3. Menurut fungsinya diklasifikasikan menjadi hukum
substantif dan hukum ajektif
4. Menurut waktu berlakunya diklasifikasikan menjadi ius
constitutum dan ius constituendum.

Damang dan Apriyanto Nusa.2017. Asas dan dasar-dasar Ilmu


47

Hukum.Genta. Hlm. 66-68.


93
5. Menurut wilayah berlakunya diklasifikasikan menjadi hukum
nasional dan hukum internasional.
6. Menurut alternatif penggunaannya diklasifikasikan menjadi
hukum volunter dan hukum kompulsor.
7. Menurut kepentingan yang diatur diklasifikasikan menjadi
hukum publik dan hukum prifat.
Masing-masing klasifikasi di atas akan diuraikan di bawah ini.
1. Hukum Tertulis dari Hukum Tidak Tertulis.
Hukum tertulis adalah hukum yang dituangkan dalam
bentuk tulisan berdasarkan ketentuan undang-undang.
Wujud konkret hukum tertulis terdapat dalam kodifikasi,
yaitu pembukuan seluruh bidang hukum atau bidang hukum
tertentu secara sistematis, bulat, lengkap lagi tuntas. Contoh:
KUHAP, KUHP, Hukum tertulis juga dapat berwujud
undang-undang pokok seperti UU No. 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
Hukum tidak tertulis biasa dinamakan hukum kebiasaan,
contoh: hukum adat.
2. Hukum Imperatif dari Hukum Fakultatif.
Hukum imperatif adalah hukum yang sifatnya
memaksa dan hukum fakultatif adalah pelengkap. Hukum
imperatif adalah kaidah-kaidah hukum yang secara a priori
harus ditaati sedangkan hukum fakultatif tidaklah secara a
94
priori harus ditaati atau tidak apriori wajib untuk dipatuhi.
Perbedaan memaksa dan mengatur ini tidaklah mutlak karena
semua hukum bersifat memaksa dan mengatur sekaligus.
3. Hukum Substantif dan Hukum Ajektif
Hukum Substantif (substantive law) sering pula disebut
hukum materiil sedangkan hukum ajektif (adjektive law)
sering disebut dengan hukum formal. Hukum substantif
(materiil) terdiri dari peraturan-peraturan yang memberi hak
dan membebani kewajiban-kewajiban. Setiap orang setiap
harinya dapat dikatakan berhubungan dengan hukum
materiil. Hukum ajektif (formal) menentukan bagaimana
caranya mempertahankan hukum materiil, bagaimna caranya
mewujudkan hak dan kewajiban dalam hal ada pelanggaran
hukum atau sengketa; bagaimana menuntut pelunasan
hutang, bagaimana menuntut penyerahan barang dan
sebagainya.
Contoh mengenai hukum substantif dan ajektif seperti
berikut ini. Pasal. 285 KUH Pidana (hukum substansif)
mengancam Hukuman kepada barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan karena
melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun. Bagaimana kalau ada seseorang yang
memperkosa seorang wanita, bagaimana, cara
menghukumnya? Tentu saja melalui prosedur (hukum ajektif)

95
Hukum Acara Pidana yang merupakan hukum formal pidana,
yakni melalui kepolisian, kejaksaan kemudian ke pengadilan
dan kalau terbukti bersalah, barulah hukuman yang
diancamkan oleh hukum substansif pidana tadi dilaksanakan
di lembaga pemasyarakatan.
4. lus Constitutum dan lus Constituendum
Ius constitutum adalah hukum positif suatu negara, yaitu
hukum yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat
tertentu. Contoh : Hukum Indonesia yang berlaku dewasa ini
dinamakan ius konstitutum atau hukum positif atau tata
hukum Indonesia. Demikian pula hukum Amerika, Jepang,
Inggris, Rusia dan lain-lain yang berlaku sekarang.
Ius Constituendum adalah hukum yang dicita-citakan
oleh pergaulan hidup dan negara, tetapi belum merupakan
kaidah dalam bentuk undang-undang atau berbagai
ketentuan lain. Hukum ini sering juga disebut dengan hukum
cita. Contoh: suatu rancangan undang-undang (yang kelak
akan menjadi undang- undang).
5. Hukum Nasional dan Hukum Internasional
Luas lingkup lakunya hukum dibedakan atas hukum
nasional dan hukum internasional.
6. Hukum Volunter dan Hukum kompulsor
Hukum volunter (voluntary law) adalah hukum yang
baru berlaku. Jika pihak yang bersangkutan tidak
96
mempergunakan alternatif lain yang tersedia: sedangkan
hukum kompulsor (compulsory law) adalah hukum yang tidak
boleh ada pilihan.
Contoh hukum volunter, jika seseorang tidak membuat
wasiat sebelum meninggal atau tidak menghibahkan
barangnya sebelum meninggal, berlakulah hukum waris
abintestato. Karena mewariskan secara abintertato merupakan
hukum volunter, maka tidaklah termasuk penyimpangan atau
pelanggaran jika si pemilik barang (pewaris) itu terlebih
dahulu menghibahkan barangnya atau membuat testamen.
Tentu saja ada syarat-syarat khusus misalnya para ahli waris
abintestato tetap disimpankan bagian tertentu dari harta
kekayaan itu yang dikenal dengan istilah "legitime portie".
Berbeda halnya dengan hukum kompulsor yang mau tidak
mau harus dilakukan. Misalnya, jika terbukti seseorang
melakukan tindakan pembunuhan di mana terbukti unsur-
unsur pasal 340 KUHPidana. Si terdakwa wajib dihukum
berdasarkan sanksi yang diancamkan dalam pasal
pembunuhan berencana tersebut. Tidak boleh diberikan
pilihan kepada si terdakwa yang kemudian menjadi terhukum
tadi untuk memilih hukum lain, misalnya di denda sekian
puluh juta rupiah saja, dan tidak usah masuk penjara.

97
7. Hukum Publik dan Hukum Privat
Klasifikasi hukum yang paling klasik adalah pembedaan
hukum atas hukum publik dan hukum privat. Pembagian
yang demikian ini juga masih banyak dipertentangkan oleh
para ahli hukum. Terlepas dari perdebatan tadi, penulis akan
tetap memahamkan kepada para penstudi hukum baru
sebagai pegangan tentang pengertian hukum tersebut.
Hukum publik adalah keseluruhan peraturan yang
merupakan dasar negara dan mengatur pula bagaimana
negara melaksanakan tugasnya. Jadi merupakan
perlindungan kepentingan negara. Oleh karena
memperhatikan kepentingan umum maka pelaksanaan
peraturan hukum publik dilakukan oleh penguasa, Contoh
hukum publik: Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi
Negara, dan Hukum Pidana.
Hukum privat (perdata) adalah hukum antar
perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan
yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan
di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan
masing-masing pihak Contoh hukum privat (perdata) antara
hukum dagang, hukum pribadi, hukum keluarga, hukum
harta kekayaan, hukum waris.

98
BAB VII
TUJUAN HUKUM

A. Pendahuluan
Persoalan tujuan hukum dapat dikaji melalui tiga sudut
pandang, masing-masing:
1. Dari sudut pandang ilmu hukum positif-normatif atau yuridis-
dogmatik, dimana tujuan hukum dititik-beratkan pada segi
kepastian hukumnya.
2. dari sudut pandang filsafat hukum, dimana tujuan hukum
dititik-beratkan pada segi keadilan.
3. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum
dititikberatkan pada segi kemanfaatannya.
Namun dari seluruh pendapat tentang apa yang
merupakan tujuan hukum, dapat diklasifikasikannya ke dalam
dua kelompok teori, masing-masing:
1. Ajaran Konvensional
a. Ajaran Etis
b. Ajaran Utilistis
c. Ajaran Normatif-Dogmatif
2. Ajaran Modern
99
a. Ajaran Prioritas Baku
b. Ajaran Prioritas Kasuistis

B. Ajaran Konvensional
Ajaran Konvensional terbagi atas :
1. Ajaran Etis yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan
hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan.
2. Ajaran Utilistis yang menganggap bahwa pada asasnya
tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan
kemanfaatan atau kebahagiaan warga.
3. Ajaran Normatif-Dogmatif yang menganggap bahwa pada
asasnya tujuan hukum adalah semata-mata adalah untuk
menciptakan kepastian hukum.
Adapun penjelasan dari ketiga ajaran konvensional
tersebut adalah :
1. Ajaran Etis dengan Tujuan Keadilannya.
Dengan menyatakan bahwa tujuan hukum itu adalah
untuk mewujudkan keadilan. Menurut N.E. Algra 48 bahwa:
"Apakah sesuatu itu adil (rechtvaardig), lebih banyak
tergantung pada "rechmatigheid" (kesesuian dengan hukum)
pandangan pribadi seorang penilai. Kiranya lebih baik tidak
mengatakan "itu adil" tetapi mengatakan "hal itu saya anggap

48 N.E. Algra 48 .1977.Rechsaanvang, Tjeenk Willink: Alphenaan de Rijn.


Hlm.7
100
adil". Memandang sesuatu itu adil, terutama merupakan
suatu pendapat mengenai nilai secara pribadi".

Salah satu pendukung aliran etis ini adalah Geny.


Sedangkan penentang aliran inipun cukup banyak, antara lain
pakar hukum Sudikno Mertokusumo 49 yang menyatakan
bahwa: kalau dikatakan bahwa hukum itu bertujuan
mewujudkan keadilan, itu berati bahwa hukum itu identik
atau tumbuh dengan keadilan. Hukum tidaklah identik
dengan keadilan Dengan demikian teori etis itu berat sebelah".
Satjipto Rahardjo50 menuliskan bahwa :
" ...sekalipun hukum itu langsung dihadapkan kepada
pertanyaan-pertanyaan yang praktis, yaitu tentang
bagaimana sumber-sumber daya itu hendak dibagi-bagikan
dalam masyarakat, tetapi ia tidak bisa terlepas dari pemikiran
yang lebih abstrak yang menjadi landasannya, yaitu
petanyaan tentang "mana yang adil" dan "apa keadilan" itu?
Tatanan sosial, sistem sosial, hukum, tidak bisa langsung
menggarap hal tersebut tanpa diputuskan lebih dahulu
konsep keadilan oleh masyarakat yang bersangkutan.

Achmad Ali51 setuju kalau keadilan bersama-sama dengan


kemanfaatan dan kepastian hukum dijadikan tujuan hukum
secara prioritas, sesuai dengan kasus in konkreto.

49 Sudikno Mertokusumo49 Opcit.1986. Hlm:60


50 Satjipto Rahardjo50 Opcit.1985. Hlm.54.
51 Achmad Ali51. Opcit. 2003. Hlm.71

101
2. Ajaran Utilitis dengan Tujuan Kemanfaatannya.
Aliran etis dapat dianggap sebagai ajaran moral ideal atau
ajaran moral teoretis, sebaliknya ada aliran yang dapat
dimasukkan dalam ajaran moral praktis yaitu aliran utilistis.
Penganut aliran utilistis menganggap bahwa tujuan hukum
semata-mata adalah memberikan kemanfaatan atau
kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-
banyaknya warga masyarakat. Pandangannya didasarkan
pada falsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari
kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya.
Pakar-pakar aliran utilistis ini antara lain: Jeremy Bentham,
James Mill, dan John Stuart Mill. Yang paling radikal di antara
pakar utilistis ini adalah Jeremy Bentham. Ia tidak puas
dengan Undang-undang Dasar Inggris serta mendesak agar
diadakan perubahan dan perbaikan berdasarkan suatu ide
yang revolusioner. Ide utilistis ini diperoleh Bentham dari
Helvetius dan Beccaria, dan mengemukakan ajarannya dalam
karangannya yang berjudul:Introduction to morals and
legislation. Bentham berpendapat, adanya negara dan
hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu
kebahagiaan mayoritas rakyat.

102
Konsep Jeremy Bentham mendapat kritikan yang cukup
keras. Oleh karena adanya kritik-kritik ini, maka seorang guru
besar di Universitas Harvard bernama John Rawls
mengembangkan sebuah teori baru, yang menghindari
banyak masalah yang tidak terjawab oleh utilitarianism. Teori
kritikan terhadap utilistis ini disebut Teori Rawsl atau Justice
as Fairness.
Pada dasarnya doktrin Utilistis menganjurkan the greatest
happiness principle (prinsip kebahagiaan yang semaksimal,
mungkin). Tegasnya, menurut teori ini, masyarakat yang ideal
adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan
dan memperkecil ketidakbahagiaan atau mayarakat yang
mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin
kepada rakyat pada umumnya dan agar ketidakbahagiaan
diusahakan sesedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada
umumnya tadi. Kebahagiaan berarti kesenangan atau ketiada
sengsara; dan ketidakbahagiaan berarti kesengsaraan dan
ketiadaan kesenangan. Setiap orang dianggap sama sederajat
oleh utilitaris.
Menurut Rawls, bagaimanapun juga, cara yang adil untuk
mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah
melalui keseimbangan kepentingan-kepentingan tersebut

103
tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan
itu sendiri, Tegasnya, prinsip-prinsip keadilan adalah prinsip-
prinsip di mana orang yang rasional akan memilih jika ia
belum tahu kedudukannya dalam masyarakat (apakah ia kaya
atau miskin, berstatus tinggi atau berstatus rendah, pintar
atau bodoh).
Prinsip keadilan inilah yang akan kita pilih jika kita belum
mengetahui status sosial kita. Karena orang-orang akan selalu
bertindak menurut kepentingannya sendiri, kita tidak dapat
membiarkan seseorang dengan kepentingan-kepentingannya
memutuskan persoalannya atau kasusnya sendiri. Satu-
satunya cara yang dapat kita putuskan apakah keadilan itu,
adalah membayangkan keadaan di mana kita tidak atau
belum mempunyai kepentingan-kepentingan. Dalam keadaan
ini tidak ada pilihan lain kecuali memutuskan dengan jujur.
Ada teka-teki di Amerika yang bunyinya seperti : kalau
ada sebuah kue dan ada dua orang yang lapar, bagaimana cara
yang teradil untuk membagi kue itu? Jawabannya ialah bahwa
seseorang harus memotong kue itu, dan seorang lain bisa
memilih dulu, potongan mana yang ia inginkan. Pokok dari
teka-teki ini ialah bahwa pemotong kue yang rasional akan
memotong kue ini dengan adil (yaitu dia akan memotong

104
setengah-setengah) karena ia belum tahu (yaitu karena ia
memilih kemudian) potongan yang mana dari keduanya yang
dia akan ambil dan pasti ia tidak ingin mengambil risiko
bahwa ia akan menerima potongan yang lebih kecil.
Rawls berpikir dengan cara yang sama tentang keadilan.
Orang yang rasional akan memperseimbangan kepentingan-
kepentingan secara netral seperti ia akan memotong sebuah
kue secara netral atau jujur, bila ia belum tahu bagian mana
yang akan diterimanya sendiri. Orang yang rasional yang
belum mengetahui bagian mana yang akan diterimanya, tentu
akan memotong kue secara sama setengah-setengah. Rawls
mengatakan bahwa seseorang yang rasional tanpa
mengetahui bagian mana yang akan diterimanya dari
masyarakat, akan memilih prinsip-prinsip keadilan yang
"fair" (netral, jujur, adil)
Teori Rawls ini sering disebut: Justice as fairness
(Keadilan sebagai Kejujuran). Jadi yang pokok adalah prinsip
keadilan mana yang paling " fair", itulah yang harus
dipedomani.
Menurut Rawls, ada dua prinsip dasar dari keadilan.
Prinsip yang pertama, disebut prinsip kebebasan,
menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai

105
kebebasan yang terbesar asal ia tidak menyakiti orang lain.
Tegasnya, menurut prinsip kebebasan ini, setiap orang harus
diberi kebebasan memilih, menjadi pejabat, kebebasan
berbicara dan berpikir kebebasan memiliki kekayaan,
kebebasan dari penangkapan tanpa alasan, dan sebagainya.
Prinsip ini adalah prinsip yang disetujui oleh orang-orang
yang "fair" karena tidak ada seorangpun yang rasional ingin
membatasi kebebasan bagi beberapa golongan rakyat kalau ia
telah mengetahui adanya kesempatan yang mungkin
digunakannya untuk menjadi golongan tersebut. Misalnya,
tidak ada seorangpun akan memilih untuk tinggal di dalam
suatu masyarakat di mana di situ ada perbudakan jika ia
berpikir bahwa di situ ada kemungkinan ia menjadi budak.
Seseorang mungkin memilih suatu masyarakat yang
demikian jika ia sudah yakin ia akan menjadi orang yang akan
memiliki budak. Contoh ini yang menunjukkan mengapa teori
Rawls menghendaki kita untuk membayangkan diri kita
sendiri dalam keadaan tidak mengetahui dalam kedudukan
mana kita akan berada dalam masyarakat
Prinsip keadilan yang kedua yang akan di setujui oleh
semua orang yang "fair" adalah ketidaksamaan sosial dan
ekonomi harus menolong seluruh masyarakat dan para

106
pejabat tinggi harus terbuka bagi semuanya. Tegasnya,
ketidaksamaan sosial dan ekonomi dianggap tidak adil
kecuali jika ketidaksamaan ini menolong seluruh masyarakat.
Mungkin Anda bisa lebih mengerti prinsip keadilan yang
kedua ini jika kita menyelidiki beberapa penerapannya.
Dibawah prinsip ini apakah ketidaksamaan dalam kekayaan
dan pendapatan itu adil?
Sekali lagi jawabnya ialah ya. Asalkan semua orang
mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi presiden.
Hal itu adil bahwa hanya beberapa orang sebenarnya yang
dapat menjadi presiden, karena lembaga kepresidenan
berguna bagi kita semua. Mungkin dapat kita lukiskan prinsip
ini secara paling baik dengan semboyan ini. Bagi teori Rawls,
setiap orang mempunyai hak yang sama untuk kaya, dan
bukan hak untuk memiliki kekayaan yang sama.
Bagaimana dengan perbudakan? Apakah lembaga
perbudakan itu adil menurut prinsip keadilan yang kedua ini?
Jawabannya tidak. Ketidaksamaan yang tidak berguna bagi
kita semua adalah tidak adil. Perbudakan yang berguna bagi
para pemilik budak, tidak berguna bagi para budak itu
sendiri, tidak berguna bagi kita semua dan oleh karena itu
tidak adil.

107
Untuk menuliskan lebih lanjut kedua prinsip keadilan
Rawls, kita dapat melihat bagaimana prinsip-prinsip ini
dicerminkan dalam sistem hukum di Amerika Serikat.
Misalnya, kita dapat melihat bahwa kedua prinsip Rawls itu
tercantum dalam Konstitusi Amerika Serikat, The Bill of
Rights (Daftar Hak-hak) (Amandemen 1-10 Konstitusi
Amerika Serikat), yang mencoba untuk menjamin kebebasan
yang terbesar bagi seluruh rakyat, yaitu prinsip keadilan yang
pertama dari Rawls. Dan seluruh sistem demokrasi
perwakilan yang didasarkan atas konstitusi ini mencoba
menjamin bahwa setiap ketidaksamaan sosial atau ekonomi
akan berguna untuk semuanya dan bahwa setiap orang
mempunyai kesempatan yang sama untuk menjabat dalam
pemerintahan.
The rule of law di Amerika Serikat dapat juga terlihat
dalam penerapan atau kegunaan prinsip kebebasan Rawls,
karena kebebasan yang tertinggi bagi semuanya hanya dapat
dijaga jika ada kerja sama sosial dan stabilitas dijalankan oleh
"the rule of law". Ini berarti, kebebasan yang terbesar hanya
akan ada untuk semuanya jika persoalan-persoalan yang
sama atau kasus-kasus yang sama diperlukan sama. Menurut
penulis, atas dasar pemikiran inilah mungkin, sehingga dalam
108
sistem peradilan Amerika Serikat menganut asas stare
decisis.
Bagi Rawls, masyarakat yang adil adalah masyarakat yang
mau bekerja sama di antara sesamanya. Dan penerimaan teori
Rawls tentang " justice as fairness " membawa orang untuk
memilih demokrasi yang berkonstitusi.

3. Ajaran Yuridis-Dogmatik dengan Kepastian Hukumnya


Aliran ini bersumber dari pemikiran positivistis di dunia
hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang
otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini,
hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran
ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin
terwujudnya kepastian hukum.
Bagi penganut aliran ini, kepastian hukum itu diwujudkan
oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu
aturan hukum, contohnya "Barangsiapa....yang mengambil
barang orang lain, dengan maksud memiliki, dengan
melawan hak, dapat dihukum.../' (pasal 369 KUH Pidana).
Perkataan "barangsiapa" pada pasal itu menunjukkan
pengaturannya yang umum. Dan sifat umum dari aturan-
aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan

109
untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan
semata-mata untuk kepastian.
Menurut penganut aliran ini, meskipun aturan hukum
atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak
memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga
masyarakat, hal itu tidak menjadi soal, asalkan kepastian
hukum dapat terwujud. Hukum identik dengan kepastian.
Bagi penganut aliran ini, "janji hukum" yang tertuang
dalam rumusan aturan tadi, merupakan "kepastian" yang
harus diwujudkan. Penganut aliran ini melupakan bahwa
sebenarnya "janji hukum" itu bukan suatu yang "harus", tetapi
hanya suatu yang "seharusnya". Kita mengerti benar bahwa
apa yang seharusnya (sollen) belum tentu terwujud dalam
kenyataannya (sein).

C. Ajaran Modern.
Berbeda dengari ketiga ajaran yang konvensional di atas
yang sangat ekstrem dan menganggap tujuan hukum hanya salah
satu di antara keadilan. Kemanfaatan dan kepastian; maka dua
ajaran yang modern lebih moderat, dengan menerima ketiga-
tiganya menjadi tujuan hukum, tetapi dengan prioritas tertentu.

110
Persoalan prioritas inilah yang kemudian membedakan antara
ajaran prioritas baku dan ajaran prioritas kasuistis.
1. Ajaran Prioritas Baku
Gustav Radbruch, seorang filosof hukum jerman
mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum, yang oleh
sebagian pakar diidentikkan juga sebagai tiga tujuan hukum.
Dengan lain perkataan, tujuan hukum adalah :
a. Keadilan;
b. Kemanfaatan;
c. kepastian hukum.
Meskipun demikian, harus disadari juga secara
khusus, masing-masing bidang hukum mempunyai tujuan
yang spesifik. Sebagai contoh Hukum Pidana tentunya
mempunyai tujuan spesifik dibandingkan dengan Hukum
Privat; demikian pula Hukum Formal mempunyai tujuan
spesifik jika dibandingkan dengan Hukum Materiil. Demikian
pula bidang-bidang hukum lain.
Bagi Radbruch, ketiga unsur itu merupakan tujuan
hukum secara bersama-sama, yaitu: keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum. Namun demikian, timbul pertanyaan,
apakah ini tidak menimbulkan masalah dalam kenyataan?
Seperti kita ketahui, di dalam kenyataannya sering sekali
111
antara kepastian hukum terjadi benturan atau ketegangan
dengan keadilan; atau benturan antara kepastian dengan
kemanfaatan, atau antara keadilan dan kemanfaatan.
Radbruch menyadari hal tersebut. Sebagai contoh, dalam hal
kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan
keputusannya ""adil" (menurut persepsi keadilan yang dianut
oleh hakim tersebut tentunya) bagi si penggugat atau si
tergugat atau si terdakwa, maka sering merugikan
kemanfaatn bagi masyarakat luas, sebaliknya kalau
kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, maka perasaan
keadilan bagi orang tertentu terpaksa di"korban"kan. Oleh
karena itu, bagaimanpun adalah hal yang menarik dibahas,
bagaimana sebenarnya hubungan antara keadilan,
kemanfaatan dan kepastian.
Radbruch mengajarkan kita harus menggunakan asas
prioritas dimana prioritas pertama selalu "keadilan", barulah
"kemanfaatan", dan terakhir barulah "kepastian". Jadi asas
prioritas yang ditawarkan Radbruch merupakan asas
prioritas baku, dimana yang prioritas nomor satu selalu
keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir barulah
kepastian.

112
Berdasarkan ajaran "prioritas baku" dari Radbruch ini,
"keadilan" harus selalu diprioritaskan. Ketika hakim harus
memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan
harus pada keadilan, demikian juga ketika hakim harus
memilih antara kemanfaatan dan kepastian, maka kepastian
harus pada kemanfaatan.

2. Ajaran Prioritas yang Kasuistis


Pada mulanya, ajaran "prioritas baku" dari Gustav
Radbruch dirasakan jauh lebih maju dan arif, ketimbang
"ajaran ekstrem" yaitu ajaran etis, utilistis dan normatif-
dogmatik, tetapi lama kelamaan, karena semakin
kompleksnya kehidupan manusia di era multi modern,
pilihan prioritas yang sudah dibakukan seperti ajaran
Radbruch, kadang-kadang justru bertentangan dengan
kebutuhan hukum dalam kasus-kasus tertentu. Sebab ada
kalanya untuk suatu kasus memang yang tepat adalah "
keadilan" yang diprioritaskan ketimbang "kemanfaatan" dan
"kepastian", tetapi adakalanya tidak mesti demikan. Mungkin
untuk kasus-kasus lain justru kebutuhan menuntut
"kemanfaatan"lah yang diprioritaskan ketimbang "keadilan"
dan "kepastian". Dan mungkin dalam kasus lain lagi justru

113
"kepastian" yang harus diprioritaskan ketimbang "keadilan"
dan "kemanfaatan". Akhirnya muncullah ajaran yang paling
maju yang dapat kita namakan "prioritas yang kasuistis"

114
BAB VIII
FUNGSI HUKUM

A. Urgensi Fungsi Hukum Dalam Masyarakat


Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia,
sarana ketertiban, dan keteraturan masyarakat serta keadilan
sosial. Fungsi hukum berperan mengontrol, mengintegrasi
bahkan mengubah masyarakat dari suatu keadaan yang belum
baik, bahkan menyelesaikan konflik, dan memulihkan suatu
keadaan kearah keteraturan dalam masyarakat sesuai keyakinan
masyarakat bangsa yang belum tentu memiliki kesamaan
pandang dan keyakinan antara satu komunitas masyarakat
dengan komunitas lainnya akibat perbedaan nilai-nilai yang
teraktualisasi dalam norma atau kaedah kehidupan
bermasyarakat. Menurut Amiruddin Pabbu dan Rahman
Samsuddin52 bahwa keberadaan hukum dalam masyarakat bukan
hanya berfungsi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam
masyarakat melainkan juga diharapkan menjadi sarana yang
mampu mengubah pola pikir dan pola perilaku warga masyarakat

52 Amiruddin Pabbu dan Rahman Samsuddin, Pengantar Ilmu Hukum,

Mitra Wacana Media Jakarta, 2014 Hal 75.


115
kearah yang positif. Soeroso, R 53 mengemukakan bahwa dalam
kehidupan masyarakat, masing-masing individu tentu
mempunyai hubungan kepentingan yang berbeda-beda bahkan
sering terjadi saling berlawanan, dan untuk mengurangi kericuan
yang timbul maka hukumlah yang mengatur dan melindungi
kepentingan masing-masing guna tercipta keamanan,
ketentraman, kedamaian, keadilan dan kemakmuran. Bernas
Prana Jaya54 mengemukakan bahwa hokum dibentuk antara lain
untuk mempertahankan stabilitas kedamaian masyarakat yang
terikat oleh hukum tersebut, sehingga tidak perlu khawatir
tentang-hal-hal yang bias saja mencelakai mereka yang berasal
dari orang ataupun kelompok tertentu yang bertindak anarkis.
Ahmad Ali 55 mengemukakan bahwa fungsi hukum pada
hakekatnya memberikan perlindungan kepada manusia dalam
wujud kaidah atau norma., dapat bersifat langsung atau tidak
langsung. Fungsi Hukum secara langsung yang bersifat primer,
mencakup:
1. Pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong dilakukanya
perbuatan tertentu;

53 Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika Jakarta, 2011 Hal. 49.
54 Bergas Prana Jaya,Pengantar Ilmu Hukum, Legality Yogyakarta 2017
Hal.31.
55 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, 2017 Hlm. 102
116
2. Penyediaan fasilitas bagi rencana-rencana privat;
Penyediaan servis dan pembagian kembali barang-barang;
3. Penyelesaian perselisian di luar reguler.
Fungsi langsung yang bersifat sekunder, mencakup:
1. Prosedur bagi perubahan hukum, meliputi antara lain:
constitution making bodies, parliaments, administrative legislation,
costom, judicial law-making, regulations made by independent
public bodies, dan lain-lain.
2. Prosedur bagi pelaksanan hukum.
Fungsi hukum tidak langsung adalah memperkuat atau
memperlemah kecendrungan untuk menghargai nilai-nilai moral
tertentu, sepeerti:
1. kesucian hidup.
2. memperkuat atau memperlemah penghargaan terhadap
otoritas umum.
3. Mempengaruhi perasaan kesatian nasional,
4. Dan lain-lain.

B. Fungsi Hukum Menurut Joseph Raz


Latar belakang munculnya Fungsi Hukum menurut Joseph
Raz, sebagai berikut:

117
Joseph Raz merupakan tokoh filsuf (ahli filsafat/orang
yang ahli dalam berpikir) hukum dari negara Israel. Dia
mengunakan Norma, wewenang, dan teori positive hukum
sebagai dasar dari ide-idenya. dalam bukunya The Morality of
Freedom (1986), Raz membahas pokok pemikirannya pada
keanekaragaman kultural. Disamping itu, Raz juga
memperlihatkan pemikirannya dalam masalah otonomi dan
hukum.56
Joseph Raz lahir 21 Maret 1939 di negara Israel. Pada tahun
1963 Raz menamatkan perguruan tingginya di Universitas Ibrani,
Yerussalem. Dengan menyandang sebagai Magister Juris (Master
Fikih). Kemudian, dengan dana yang disediakan oleh Universitas
Ibrani, Raz mengejar Doctor of Philosophy (DPhil) di Universitas
Oxford di bawah pengawasan HLA Hart. Tahun 1967, Raz belajar
di Balliol College, Oxford dan dianugerahi Dphil. Kemudian
kembali ke Israel untuk mengajar di Universitas Ibrani sebagai
Dosen di Fakultas Hukum dan Fakultas Filsafat. Tahun 1971, Raz
dipromosikan menjadi Dosen Senior. Pada tahun 1972, Raz
kembali ke Balliol sebagai Tutor dalam Undang-undang dan

56 http://nurvikatrisnawati.blogspot.co.id/2014/10/vbehaviorurl
defaultvmlo.html., diakses 13-10-2016.
118
menjadi Profesor Filsafat Hukum di Universitas Oxford, 1985-
2006, kemudian Profesor Riset 2006-2009.
Sejak tahun 2002 Raz juga telah menjadi Profesor di Sekolah
Hukum di Universitas Columbia, New York. Raz diakui oleh
orang-orang sezamannya sebagai salah satu filsuf hukum yang
paling penting. Raz telah menulis dan diedit sebelas buku sampai
saat ini, diantara karya-karya Joseph Raz adalah:
1. The Consept of a legal system (1970),
2. The Authority of Law (1979),
3. The morality of Freedom (1986), Authority (1990),
4. Ethics in the Public Domain (1994), dan lain-lain.
Ide-ide kunci dalam buku Raz adalah norma, wewenang,
dan teori positivisme hukum. Teorinya norma mengacu tentang
aturan yang berfungsi sebagai panduan untuk perilaku manusia.
Ini juga mencakup sistem bahwa norma-norma yang ada dalam,
seperti sistem hukum. Aspek kedua mengacu pada pertanyaan
pada otoritas bahwa hukum memiliki lebih dari orang-orang di
bawah sistem hukum tertentu, dan otoritas yang masyarakat pada
umumnya harus mengakui sebagai akibat hukum.Beberapa
pemikiran Joseph Raz:
1. Teori Otonomi.
Bagi Raz, otonomi berarti proses penciptaan diri terus
menerus melalui keputusan-keputusan kecil dan besar

119
mengenai wilayah-wilayah penting dari kehidupan seseorang.
meskipun otonomi meliputi pilihan, tidak semua pilihan
adalah otonom. Bagi Raz sebuah pilihan adalah otonom jika ia
memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Pertama, pilihan harus bebas dalam arti dipaksa dan tidak
dimanipulasi.
b. Kedua, pilihan harus terencana dan berdasarkan pada
penilaian yang hati-hati tentang pemikiran-pemikiran
yang relevan.
c. Ketiga, ia harus berhubungan dengan hal-hal penting
seperti perkawinan, pekerjaan, hubungan-hubungan
social, bentuk-bentuk kehidupan dan proyek-proyek
jangka panjang.
d. Keempat, pilihannya harus asli dalam pengertian dibuat di
antara opsi-opsi penting yang berbeda dan yang sama-
sama bernilai.
Raz mempertimbangkan bahwa otonomi juga
merupakan satu komponen universal dari kesejahteraan
manusia dan masih menawarkan cara lain menilai dan
membandingkan masyarakat. Karena ia tidak sepenuhnya
mengembangkan teorinya mengenai kesejahteraan manusia

120
dan dengan sadar diri membatasi dirinya pada masyarakat
Baarat modern, maka akan mengabaikan teori tersebut.
Pemikiran Raz pada masalah otonomi terbagi menjadi
dua bagian:
a. Pertama, otonomi adalah pokok pada pemahaman diri
dunia Barat dan suatu nilai intrinsik bagi masyarakat
Barat. Bukan suatu nilai intrinsik atau secara universal,
namun hanya bagi masyarakat Barat disebabkan cara
mereka hingga terbentuk secara historis.
Mengenai argument yang pertama, beberapa atau
mungkin banyak orang di Barat benar-benar menghargai
otonomi, tetapi beberapa lainnya tidak, sebagaimana
terbukti dalam dukungan rakyat gerakan-gerakan fasis
dan gerakan sayap kanan, kolektivisme, fundamentalisme
keagamaan, dan cara-cara pemujaan keagamaan yang
aneh.
b. Kedua, otonomi diperlukan agar berhasil dalam
masyarakat modern, dan juga mempunyai nilai
instrumental.
Argumen raz yang kedua juga tidak lebih baik dari yang
pertama. Ia melihat otonomi sebagai sebuah syarat
fungsional masyarat modern, tidak berbeda dari macam-

121
macam keterampilan yang secara sosial diperlukan dan
tidak menyangkut masalah moral seperti keterampilan
literasi dan numerasi, dan tidak dapat memberikan status
satu nilai moral pada otonomi sebagaimana Raz sangat
ingin memberikannya.
Sejak Raz menganggap bahwa otonomi adalah hal yang
pokok bagi masyarakat modern, Raz mempertanyakan apa
yang harus dilakukan dengan kelompok-kelompok seperti
kelompok imigran, masyarakat pribumi dan komunitas
keagamaan yang tidak terlalu menghargai hal itu. Karena Raz
hanya menunjukkan bahwa otonomi merupakan satu nilai
yang sangat dipuja dalam oleh Barat dan tidak universal,
penilaiannya berdasar pada satu preferensi (pilihan) kultural
dan tidak dapat mengklaim kebenaran yang lebih luas.
2. Teori Multikulturalisme.
Dalam beberapa artikel yang diterbitkan setelah The
Morality of Freedom dan dikumpulkan dalam karyanya Ethics in
the Public Domain (1994), Raz mengemukakan pokok
pemikirannya tentang keanekaragaman kultural dengan jauh
lebih ekplisit dan dari sudut pandang yang berbeda.
Dalam The Morality of freedom, Raz menganggap bahwa
masyarakat Barat telah bersifat liberal dan mempertanyakan

122
bagaimana masyarakat tersebut memperlakukan kelompok-
kelompok non-liberal yang dipercaya sebagai kelompok
pinggiran. Kelompok-kelompok ini dilihat sebagai bagian
integral dari masyarakat yang meskipun liberal namun juga
multikulturalisme. Oleh Karena itu, pertanyaannya bukan
bagaimana sebuah masyarakat liberal harus memperlakukan
kelompok minoritas non-liberal pinggiran, namun bagaimana
masyarakat tersebut dapat sungguh-sungguh multikultur dan
menyediakan ruang-ruang yang cukup bagi mereka tanpa
menggerogoti integritas sendiri.
Dalam The Morality of Freedom, Raz berpendapat bahwa
manusia melekat secara sosial dan menganggap bahwa
masyarakat memiliki kebudayaan tunggal. Kini Raz
beragumen bahwa mereka melekat secara kultural dan bahwa
masyarakat mungkin terdiri atas sejumlah kebudayaan.
Teori liberalnya tentang multikulturalisme
menghendaki semua kebudayaan menghormati nilai-nilai
yang melekat dalam liberalism yang menipis. Karena Raz
mendasarkan nilai-nilai itu dalam karakter historis individu
Barat modern, Raz mampu menunjukkan mengapa
kebudayaan-kebudayaan terikat secara moral pada kelompok
non-liberal yang belum memilih mereka secara otonom dan

123
menganggap tuntutan Raz sebagai sebuah bentuk kekerasan
moral yang tidak dapat diterima.
Sementara mendukung hak-hak non-diskriminasi,
Multikulturalisme menekankan pentingnya aksi politik dari
dua penilaian evaluative. Pertama, keyakinan bahwa
kebebasan individu dan kemakmuran tergantung pada
keanggotaan penuh. Multikukturalisme sebagai sebuah
pendekatan evaluatif pada keyakinan saling ketergantungan
antara kesejahteraan dan kemakmuran individu yang berada
pada kelompok budaya. Kedua, Multikulturalisme muncul dari
keyakinan nilai pluralism, dan validitas nilai-nilai yang
diwujudkan dalam praktek budaya yang beragam dan banyak
nilai-nilai yang tidak sesuai dengan masyarakat yang berbeda.
3. Teori Hukum.
Raz dalam buku The Consept of a legal system: An
introduction to the theory of a legal system membahas tentang
konsep hukum dan sistem hukum berdasarkan dua kriteri
yaitu:
a. Kriteria Eksistensi.
Kriteria eksistansi terkait dengan substansi norma.
b. Kriteria Identitas.

124
kriteria identitas terkait dengan sistem hukum tertentu
yang menjadi identitas suatu norma sebagai bagian dari
hukum tersebut.
Pembahasan Raz dilakukan dengan mengkolaborasikan,
mengaitkan, dan membandingkan konsep hukum dan sistem
hukum yang telah dikembangkan oleh Bentham, Austin, dan
Kelsen.
Raz banyak memberikan kritik kepada teori-teori
tersebut baik berdasarkan teori lain maupun dengan
mengemukakan pendapatnya sendiri. Kritik terhadap teori
hukum dilakukan dari beberapa aspek, mulai dari
penggunaan bahasa pernyataan normative, struktur norma,
eksistensi norma, masalah individuasi, sampai pada masalah
sistem hukum. Disini akan dikritik Raz terhadap teori hukum
Kelsen terkait dengan prinsip individuasi dan identitas
sebagai pemikiran utama Raz.
a. Eksistensi suatu Sistem Hukum.
Kriteria Hans Kelsen tentang eksistensi suatu norma
hukum dapat diformulasikan dengan cara berikut:
“Suatu sistem hukum eksis, jika, dan hanya jika, sistem
tersebut mencapai tingkat keberlakuan minimum
tertentu”.

125
Keberlakuan suatu sistem adalah fungsi keberlakuan dari
hukumnya, namun Kelsen tidak berbicara apapun tentang
bagaimana hubungan dan bagaimana tingkat keberlakuan
tersebut ditentukan. Keberlakuan suatu norma dapat
terwujud melalui dua cara, yaitu:
1) Dengan kepatuhan kepada siapa kewajiban
dibebankan oleh norma itu.
2) Dengan pelaksanaan sansi yang dibolehkan oleh
norma tersebut.
Tidak dijelaskan hubungan kedua perwujudan
keberlakuan tersebut dan bagaimana menentukan suatu
norma adalah berlaku.
b. Kriterian Identitas dan Norma Dasar.
Kriteria identitas Kelsen adalah bahwa suatu
hukum milik suatu sistem, jika, dan hanya jika, hukum
tersebut ditetapkan dengan penggunaan kekuasaan yang
diatur dalam norma dasar. Identitas suatu sistem hukum,
sebagaimana keanggotaan suatu hukum dalam suatu
sistem, ditentukan benar-benar hanya oleh fakta
pembuatannya. Sumber kesatuan suatu sistem tidak lagi
pada lembaga legislative seperti dalam teori John Ausin,
tetapi pada suatu norma yang memberikan kekuasaan.

126
Jadi, tidak ada yang berubah dari teori Ausin kecuali
merubah kedaulatan dengan norma dasar.
Kelsen cenderung mengalah pada godaan untuk
membuat norma dasar sebagai kesimpulan dari semua
teorinya. Godaan ini wajar karena bagi Kelsen norma dasar
adalah norma dan kondisi yang dibutuhkan untuk
memahami hukum. Norma dasar dari setiap hukum
menjamin kohesi57 internal sistem tersebut. Konsep norma
dasar adalah satu dari dua konsep di mana kriteria
identitas Kelsen ditemukan.
c. Norma: Statis dan Dinamis
Terkait dengan dua pandangan dalam teori Hans
Kelsen yaitu:
1) Pertama, bahwa setiap norma memberikan kewajiban
dengan mengizinkan pelaksanaan sanksi (sudut
pandang statis).
2) Kedua, bahwa beberapa norma tidak membebankan
kewajiban tetapi memberikan kekuasaan legislative
(sudut pandang dinamis).

57 Kohesi adalah hubungan antarbagian dalam teks yang ditandai

penggunaan unsur bahasa. Konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada


hubungan bentuk, artinya unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang
digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan
utuh.
127
Pandangan hukum secara statis dari Kelsen
menyatakan bahwa setiap norma membebankan
kewajiban dengan memberikan sanksi. Namun Kelsen
merasa perlu untuk menambahkan adanya norma yang
memberikan kekuasaan legislatif. Adanya dua sudut
pandang merupakan dua prinsip individual yang berbeda,
yaitu, prinsip statis individuasi berdasarkan konsep sanksi
yang memaksa dan prinsip indivisuasi dinamis
berdasarkan konsep kekuasaan legislatif.
Prinsip individuasi pertama jelas seperti
digambarkan sebagai sudut pandang statis bahwa setiap
hukum adalah suatu norma yang membebankan
kewajiban dengan menentukan suatu sanksi.
Sedangkan prinsip dinamis kurang jelas, yang
hanya berarti bahwa norma dapat berisi pemberian
kekuasaan legislative sebagaimana norma yang
membebankan kewajiban dengan menentukan sanksi.
Jika prinsip individuasi dinamis dan statis
merupakan dua jalan penyusun dan pembagian sistem
hukum yang sama, maka harus dapat memproyeksikan
atau memetakan satu bagian ke dalam bagian lain. Hal ini
karena hubungan satu dan lainnya harus eksis antara

128
elemen-elemen dan bagian lain. Maka setiap hukum statis
diproyeksikan menjadi beberapa hukum dinamis.
Sebaliknya satu hukum dinamis juga dapat diproyeksikan
menjadi beberapa hukum statis.
Berdasarkan kemungkinan proyeksi tersebut, Raz
secara tidak langsung menyatakan prinsip dinamis bukan
merupakan prinsip individuasi karena ketika kekuasaan
legislative diproyeksikan dalam suatu pernyataan hukum
secara statis akan menjadi kompetensi atau kapasitas
hukum, yatu kondisi bagi suatu sanksi. Selanjutnya Raz
menyatakan bahwa proyeksi antara norma statis dan
norma dinamis tidak selalu dapat dilakukan. pada
kenyataannya norma statis tidak selalu berhubungan
dengan norma dinamis.
Beberapa teori pemikiran Joseph Raz, antara lain:
otonomi, Multikulturalisme dan hukum. Otonomi berarti
proses penciptaan diri terus menerus melalui keputusan-
keputusan kecil dan besar mengenai wilayah-wilayah
penting dari kehidupan seseorang.Kemudian
multikulturalisme yang mengarah pada pemikiran yang
liberal bahwa multiculturalism mengehendaki semua

129
kebudayaan menghormati nilai-nilai dalam suatu karakter
historis individu dari masyarakat Barat modern.
Dan yang terakhir adalah teori konsep hukum dan
sistem hukum. Raz membagi Konsep dan sumber hukum
tersebut menjadi dua kriteria yaitu kriteria eksistensi dan
kriteria identitas. Kriteria eksistansi terkait dengan
substansi norma, sedangkan kriteria identitas terkait
dengan sistem hukum tertentu yang menjadi identitas
suatu norma sebagai bagian dari hukum.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
munculnya Fungsi Hukum menurut Joseph Raz. Joseph
Raz melihat fungsi hukum sebagai fungsi sosial, yang
dibedakan ke dalam fungsi langsung dan fungsi tidak
langsung.
1) Fungsi Langsung
a) Fungsi langsung yang bersifat primer mencakup:
− Pencegahan perbuatan tertentu dan
mendorong dilakukannya perbuatan tertentu.
− Penyediaan fasilitas bagi rencana-rencana
privat.
− Penyediaan servis dan pengembalian kembali
barang-barang.

130
− Penyelesaian perselisihan di luar jalur reguler.
b) Fungsi langsung yang bersifat sekunder,
mencakup:
− Prosedur bagi perubahan hukum, meliputi
antara lain: constitution making bodies,
perliaments, local authorities, administrative
legislation, custom (hukum adat), judicial law-
making, regulation made by independent
public bodies, dan lain-lain.
− Prosedur bagi pelaksanaan hukum.
2) Fungsi Tidak Langsung
Termasuk di dalam fungsi yang tidak langsung ini
adalah memperkuat atau memperlemah kecendrungan
untuk menghargai nilai-nilai moral tertentu, sebagai
contoh:
− Kesucian hidup.
− Memperkuat atau memperlemah penghargaan
terhadap otoritas umum.
− Mempengaruhi perasaan kesatuan nasional.
− Dan lain-lain.

131
C. Fungsi Hukum Menurut Achmad Ali
Menurut Prof.Dr Achmad Ali,S.H.,M.H. mengemukakan
bahwa hukum adalah seperangkat norma mengenai apa yang
benar dan salah, yang dibuat dan diakui eksistensinya oleh
pemerintah, baik yang tertuang dalam aturan tertulis maupun
yang tidak, terikat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
secara menyeluruh, dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar
aturan norma itu.
Fungsi hukum menurut Achmad Ali, ada 5, yaitu:
1. Fungsi Hukum sebagai “a tool of social control”.
2. Fungsi hukum sebagai "a tool of social engineering".
3. Fungsi hukum sebagai simbol.
4. Fungsi hukum sebagai “a political instrument” (alat politik).
5. Fungsi hukum sebagai integrator (mekanisme untuk
Integrasi).
Berikut penjelasan dari 5 (lima) fungsi hukum tersebut:
1. Fungsi Hukum sebagai “a tool of social control”.
Menurut Prof. Rony Hantijo Soemitro:
“Kontrol sosial merupakan aspek normatif dari kehidupan
sosial atau dapat disebut sebagai pemberi definisi dari tingkah
laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti

132
larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemidanaan dan
pemberian ganti rugi”.
Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial dapat
diterangkan sebagai fungsi hukum untuk menetapkan tingkah
laku mana yang dianggap merupakan penyimpangan
terhadap aturan hukum, dan apa sanksi atau tindakan yang
dilakukan oleh hukum jika terjadi penyimpangan tersebut.
Fungsi hukum sebagai “a tool of social control” bertujuan
untuk memberikan batasan suatu tingkah laku masyarakat
yang menyimpang dan akibat yang harus diterima dari
penyimpangan itu. Misalnya, membuat larangan-larangan,
tuntutan, pemberian ganti rugi, dan sebagainya . Penggunaan
hukum sebagai sarana kontrol sosial berarti hukum
mengontrol tingkah laku masyarakat.
Dapat disimpulkan tentang hukum sebagai
pengendalian sosial:
a. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, tidaklah
sendirian di dalam masyarakat, melainkan menjalankan
fungsi itu bersama-sama dengan pranata-pranata sosial
lainnya yang juga melakukan fungsi pengendalian sosial.

133
b. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial
merupakan fungsi “pasif” di sini artinya hukum yang
menyesuaikan diri dengan kenyataan masyarakat.
Sehubungan dengan fungsi hukum sebagai alat
pengendalian sosial ini, masih ada hal lain yang sangat perlu
diketahui, yaitu:
a. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, dapat
dijalankan oleh suatu kekuasaan terpusat yang dewasa ini
berwujud kekuasaan negara, yang dilaksanakan oleh “the
ruling class” tertentu atau suatu “elit”. Hukum biasanya
berwujud hukum tertulis atau perundang-undangan.
b. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, dapat juga
dijalankan sendiri “dari bawah” oleh masyarakat itu
sendiri. Hukumnya biasa terwujud tidak tertulis atau
hukum kebiasaan.
Terlaksana atau tidak terlaksananya fungsi hukum
sebagai alat pengendalian sosial, ditentukan oleh dua hal:
a. Faktor aturan hukumnya sendiri.
b. Faktor pelaksana (orang) hukumnya.
2. Fungsi hukum sebagai "a tool of social engineering".
Perlu diketahui bahwa “social engineering” disini
diterjemahkan sebagai rekayasa sosial. Hukum dalam

134
fungsinya melakukan rekayasa sosial adalah untuk
menimbulkan kondisi tertentu yang mengarah pada
pencapaian tujuan hukum yang diprioritaskan.
Konsep hukum sebagai “a tool of social engineering”
selama ini dianggap sebagai suatu konsep yang netral, yang
dicetuskan oleh Roscoe Pound. Konsep “a tool of social
engineering” ini bisa dihadapkan dengan konsep hukum yang
lain, antara lain konsep yang diajarkan oleh aliran Historis dari
Friederich Karl von Savigny.
Aliran historisnya Savigny berpendapat bahwa hukum
merupakan ekspresi dari kesadaran hukum, dari “volksgeist”,
dari jiwa rakyat. Hukum pada awalnya lahir dari kebiasaan
dan kesadaran hukum di masyarakat, kemudian dari
keputusan hakim, tetapi bagaimanapun juga diciptakan oleh
kekuatan-kekuatan dari dalam yang bekerja secara diam-
diam, dan tidak oleh kemauan sendiri legislatif.
Konsep aliran historis ini jika dikaitkan dengan
masyarakat-masyarakat yang masih sederhana, memamng
masih tepat, karena dalam masyarakat yang masih sederhana
tidak terdapat peranan legislatif, seperti masyarakat modern
dewasa ini. Peranan hukum kebiasaanlah yang menonjol pada
masyarakat sederhana.

135
Fungsi hukum sebagai sarana perekayasa sosial adalah
untuk menciptakan perubahan-perubahan dalam masyarakat
menuju kemajuan yang terencana. Artinya untuk menata
kembali kehidupan masyarakat secara terencana sesuai
pembangunan bangsa. Konsep fungsi hukum sebagai “ a tool
of social engineering” pertama kali dicetuskan oleh Roscoe
Pound pada tahun 1912.
Fungsi hukum sebagai “a tool of social engineering”
menurut Prof. Soerjono Soekanto:
“hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti
bahwa hukum mungkin digunakan sebagai alat oleh agent of
change (pelopor perubahan). Dan, agent of change atau pelopor
perubahan adalah seseorang atau sekelompok orang yang
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai
pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.”
3. Fungsi hukum sebagai simbol.
L.B. Curzon mengemukakan bahwa yang dimaksud
dengan simbolis adalah: “Simbolis itu mencakupi proses-
proses dalam mana seseorang menterjemahkan atau
menggambarkan atau mengartikan dalam suatu istilah yang
sederhana tentang perubahan sosial serta fenomena-fenomena
lainnya yang timbul dari interaksinya dengan orang lain.”

136
Contohya dalam hukum: Seseorang yang mengambil barang
orang lain dengan maksud memiliki, dengan jalan melawan
hukum, oleh hukum pidana disimbolkan sebagai tindakan
pencurian yang seyogianya dihukum.
Fungsi ini dimaksudkan untuk menyederhanakan
rangkaian tindakan atau peristiwa tertentu, sehingga mudah
diperoleh pengertian yang bersifat umum. Simbol yang
dilakukan oleh hukum, jelas akan memudahkan baik oleh para
pelaksananya maupun masyarakat untuk saling memahami
tentang suatu peristiwa yang terjadi dalam interaksi warga
masyarakat.
Untuk lebih memahami makna fungsi hukum sebagai
simbol, harus mengetahui tujuan penyimbolan-penyimbolan
hukum yaitu sebagai berikut:
a. Menyederhanakan suatu rangkaian tindakan atau
peristiwa tertentu, agar mudah memperoleh pengertian
yang bersifat umum dari tindakan atau peristiwa yang
kemungkinan besar memiliki esensi sejenis.
b. Memudahkan para pelaksana hukum dalam menerapkan
simbol hukum tertentu terhadap suatu tindakan atau
peristiwa yang tidak bersesuaian dengan hukum.

137
4. Fungsi hukum sebagai “a political instrument” (alat politik).
Pandangan Kaum Dogmatik 58 adalah bahwa fungsi
hukum sebagai alat poltik tidak merupakan gejala universal,
melainkan hanya ditemukan pada negara-negara tertentu
dengan sistem tertentu. Mereka menganggap kosep negara
hukum melarang hukum dijadikan sebagai alat politik. Tetapi
ada yang berpendapat bahwa hukum sebagai alat politik
merupakan hal yang universal. Apalagi jika dikaitkan denga
fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka peranan
penguasa politik terhadap hukum adalah salah besar. Dalam

58 Ilmu yang memaparkan tentang hukum positif adalah Ajaran Hukum

(rechtsleer) atau Dogmatik Hukum (rechtsdogmatiek), juga sering disebut Ilmu


Hukum (rechtwetenschap) dalam arti sempit, yang bertujuan untuk memaparkan
dan mensistematis serta dalam arti tertentu juga menjelaskan (verklaren) hukum
positif yang berlaku. Walaupun demikian Dogmatik Hukum bukanlah ilmu
netral yang bebas nilai karena hukum itu memiliki saling keterkaitan dengan
nilai-nilai dan kaidah-kaidah. Jadi Ajaran Hukum atau Dogmatik Hukum tidak
semata-mata mambatasi diri pada satu pemaparan dan sistematisasi tetapi juga
dalam hal-hal yang penting tidak hanya deskriptif melainkan juga preskriptif
(bersifat normatif). Salah satu aliran filsafat hukum yang dapat menganalisis
asas-asas hukum suatu peraturan adalah aliran hukum positif atau aliran
positivisme hukum. Positivisme hukum mengidentikkan hukum dengan
undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Bagi
positivisme hukum, validitas hukum dan keadilan keduanya selalu
dikembalikan pada penetapan hukum positif yang diberlakukan oleh sebuah
otoritas politik. Jadi jelaslah bahwa pengertian dari hukum positif adalah
seperangkat aturan atau kebiasaan yang oleh legislator ditetapkan atau disahkan
sebagai hukum yang berlaku. Aliran potivisme hukum berpendapat bahwa hal
yang paling utama adalah hukum positif
(http://www.wazinbaihaqi.com/2011/11/relevansi-antara-positivisme-
hukum.html., diakses 13-10-2016).
138
sistem hukum di Indonesia, undang-undang adalah produk
bersama DPR dan pemerintah. Kenyataan ini tidak mungkin
disangkal betapa para politisi-lah yang memprodukkan
undang-undang (hukum tertulis).
Pandangan bahwa hukum tak mungkin dipisahkan
sama sekali dari politik, bukun hanya pandangan juris yang
beraliran sosiologis, tetapi bahkan pencipta “the pure theory of
law”, Hans Kelsen, yang antara lain mengemukakan bahwa:
“Pemisahan politik secara tegas sebagaimana dituntut oleh
ajaran murni tentang hukum, hanya berkaitan tentang ilmu
hukum, dan bukan dengan objeknya, yaitu hukum. Dengan
tegas dikatakan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dengan
politik.”
Pandangan Shebanov yang mengatakan bahwa di dalam
negara-negara sosialis, hukum dijadikan landasan dan
merupakan alat penting bagi perkembangan bagi ekonomi
dan kebudayaan, menjamin keamanan internal maupun
eksternal negara, untuk melindungi kekayaan masyarakat
sosialis dan untuk mengekspansi serta mengkonsolidasikan
demokrasi sosialis; keseluruhannya itu tidak lain adalah
wujud dari totaliter yang diselubungi dengan istilah
demokrasi.

139
Menurut Mac Iver, dalam bernegara ada dua jenis
hukum. Ada hukum yang mengemudikan negara (hukum
konstitusi), dan ada hukum yang digunakan negara sebagai
alat untuk memerintah (hukum biasa/ordinary law).
Bagi Curzon, ketika para juris melihat atau menunjuk
hukum sebagai sesuatu yang berdiri dan melewati politik,
maka yang dmaksud disini adalah adanya masyarakat di
mana para hakimnya tidak dikekang oleh pengaruh dogma
politik.
5. Fungsi hukum sebagai integrator (mekanisme untuk
Integrasi).
Seperti diketahui bahwa di dalam setiap masyarakat
senantiasa terdapat berbagai kepentingan dari warganya. Di
antara kepentingan itu ada yang selaras dengan kepentingan
yang lain, tetapi ada juga kepentingan yang dapat menyulut
konflik dengan kepentingan yang lain.
Hukum sering disalah artikan, hukum hanya berfungsi
jika ada terjadi konflik. Padahal hukum berfungsi sebelum
konflik itu terjadi. dengan kata lain, hukum berfungsi:
a. Sebelum terjadi konflik.
Contohnya jika seseorang pembeli barang membayar
harga barang, dan penjual menerima uang pembayaran.

140
b. Setelah terjadinya konflik.
Contohnya si pembeli sudah membayar lunas harga
barang, tetapi si penjual tidak mau menyerahkan yang
telah dijualnya.
Sehubungan dengan hal di atas, hukum berfungsi
sebagai "mekanisme untuk melakukan integrasi" terhadap
berbagai kepentingan warga masyarakat. Juga berlaku baik
ketika tidak ada konflik maupun setelah ada konflik. Namun
demikian harus diketahui bahwa dalam penyelesaian konflik-
konflik dalam masyarakat, bukan hanya hukum sebgai satu-
satunya sarana pengintegrasi, melainkan masih terdapat
sarana-sarana pengintegrasian yang lain seperti kaidah
agama, kaidah moral, dan sebagainya.
Salah satu pakar yang memiliki teori tentang fungsi
hukum ini adalah Harrry C. Bredemeier yang memandang “a
law as an integrative mechanism” (fungsi hukum sebagai
mekanisme pengintegrasi).
Bredemeier membangun analisisnya tentang fungsi
hukum sebagai mekanisme pengintegrasi atau integrator,
yaitu adanya 4 fungsional utama yang diobservasi di dalam
suatu sistem sosial, masing-masing (Bredemeier
menggunakan teori yang didasarkan pada teori Sibernetica

141
Talcott Parsons yang menggunakan empat proses fungsional
dari suatu sistem sosial):
a. Adaptasi, Dengan adapatation dimaksudkan sebagai
proses ekonomi.
Sistem adaptif, berupa pengetahuan dan permasalahan-
permasalahan sebagai patokan penelitian sebagai imbalan
terhadap organisasi serta kebutuhan akan pengetahuan.
b. Pencapaian tujuan (goal pursuance), Goal Persuance adalah
proses politik.
Sistem politik, berupa penetapan tujuan dan dasar
kekuasaan penegakkan hukum sebagai imbalan dari
penafsiran dan legitimasi yang diberikan oleh sistem
hukum.
c. Mempertahankan pola (pattern maintenance), Pattern
maintenance secara sederhana dapat diartikan sebagai
proses sosialisasi.
Sistem pattern maintenance berupa konflik dan
penghargaan sebagai imbalan dari pemecahan konflik dan
keadilan yang diberikan oleh sistem hukum.
d. Integrasi, integration adalah proses hukum.
Maksud dari konsep Bredemeier ini: Melihat sistem
hukum sebagai suatu mekanisme integrative yang

142
menyumbangkan kordinasi pada masyarakat berupa
keluaran-keluaran pada sektor-sektor lain dalam masyarakat
dengan memperoleh masukan-masukan.
Jadi pada dasarnya inti ajaran Bredemeier adalah
sebagai berikut:
a. Pertama adalah Sistem Hukum (badan peradilan
maksudnya) merupakan suatu mekanisme yang berfungsi
untuk menciptakan integrasi yang menghasilkan
koordinasi dalam masyarakat dan mendapat masukkan
(inputs) dari:
1) Sistem politik, berupa penetapan tujuan dan dasar
kekuasaan penegakkan hukum sebagai imbalan dari
penafsiran dan legitimasi yang diberikan oleh sistem
hukum.
2) Sistem adaptif, berupa pengetahuan dan
permasalahan-permasalahan sebagai patokan
penelitian sebagai imbalan terhadap organisasi serta
kebutuhan akan pengetahuan.
3) Sistem pattern maintenance berupa konflik dan
penghargaan sebagai imbalan dari pemecahan konflik
dan keadilan yang diberikan oleh sistem hukum.

143
b. Kedua adalah di dalam fungsinya untuk menciptakan
integrasi maka efektifitasnya tergantung dari berhasilnya
sistem hukum untuk menciptakan derajat stabilitas
tertentu dalam proses hubungan antara sistem hukum
dengan sektor-sektor lainnya. Beberapa faktor yang dapat
mengganggu stabilitas tersebut antara lain:
1) Kemungkinan timbulnya konsepsi-konsepsi tujuan
dalam hukum yang tidak konsisten dengan
kebijaksanaan dengan sistem politik.
2) Tanggapan dari kekuasaan legislatif terhadap fluktuasi
jangka pendek kepentingan-kepentingan pribadi.
3) Tidak adanya komunikasi perihal pengetahuan yang
akurat dengan pengadilan.
4) Tidak adanya fasilitas untuk melembagakan fungsi
peradilan dalam diri warga masyarakat.
5) Adanya perkembangan nilai-nilai dalam sistem
pattern-maintenance yang berlawanan dengan
konsepsi keadilan.
6) Tidak adanya atau kurangnya saluran-saluran melalui
mana kebutuhan peradilan dapat dipenuhi.
c. Ketiga adalah, hal-hal tersebut di atas dapat membuka
beberapa kemungkinan untuk mengadakan penelitian

144
sosiologi hukum, terutama terhadap masalah-masalah
sebagai berikut:
1) Latar belakang orang-orang yang berfungsi sebagai
pembentuk hukum pada kekuasaan legislatif.
2) Mekanisme yang diperlukan untuk menjabarkan ideal-
ideal hukum dalam profesi hukum.
3) Saluran komunikasi tentang ilmu pengetahuan kepada
kalangan hukum.
4) Persepsi-persepsi dari masyarakat terhadap hukum,
dan dasar-dasar dari persepsi tersebut.
5) Reaksi-reaksi warga masyarakat terhadap hukum yang
diperlakukan kepadanya.
6) Sarana-sarana lainnya untuk menyelesaikan konflik.di
samping hukum.
Jadi, Hukum disini ditekankan pada fungsinya untuk
menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat
secara teratur, atau seperti yang sudah disebutkan diatas
sebagai mekanisme intgerasi. pada waktu timbul sengketa
dalam masyarakat, maka hukum memberikan tanda bahwa
diperlukan suatu tindakan agar sengketa itu diselesaikan.
Pembiaran terhadap sengketa-sengketa itu tanpa penyelesaian

145
akan menghambat terciptanya suatu kerjasama yang
produktif dalam masyarakat.
Hukum dibutuhkan sebagai mekanisme yang mampu
mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat,
sehingga dapat diciptakan atau dipulihkan suatu proses
kerjasama yang produktif. Pada saat hukum itu mulai bekerja,
maka pada saat itu pula mulai dilihat betapa bekerjanya
hukum itu sebagai mekanisme pengintegrasi melibatkan pula
ketiga proses yang lain, berupa pemberian masukan-masukan
yang nantinya diubah menjadi keluaran-keluaran, seperti:
a. Masukan Dari Bidang Ekonomi.
Fungsi adaptif atau proses ekonomi memberikan
bahan informasi kepada hukum mengenai bagaimana
penyelesaaian sengketa itu dilihat sebagai proses untuk
mempertahankan kerjasama yang produktif.
Untuk dapat menyelesaikan sengketa tersebut,
hukum membutuhkan keterangan mengenai latar
belakang sengketa dan bagaimana kemungkinannya di
waktu yang akan datang apabila sesuatu keputusan
dijatuhkan.
Pertukaran antara proses integrasi dan adaptasi atau
antara proses hukum dan ekonomi ini akan menghasilkan

146
keluaran yang berupa pengorganisasian atau
penstrukturan masyarakat. Melalui keputusan-keputusan
hukum itu ditegaskan apa yang merupakan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban, pertanggungjawaban dan lain-lain.
Keluaran yang berupa pengaruh yang datang dari
pengorganisasian kembali oleh keputusan hukum ini
tampak dalam keputusan-keputusan yang benar-benar
menimbulkan perubahan dalam struktur atau organisasi
bidang ekonomi tersebut.
b. Masukan Dari Bidang Politik.
Proses politik ini menggarap masalah penentuan
tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh masyarakat dan
negara serta bagaimana mengorganisasi dan memobilisasi
sumber-sumber daya yang ada untuk mencapainya.
Hukum (dalam hal ini pengadilan), menerima
masukkan dari sektor politik dalam bentuk petunjuk
tentang apa dan bagaimana menjalankan fungsinya.
Petunjuk-petunjuk tersebut secara konkrit dan
eksplisit tercantum dalam hukum positif dan menjadi
pegangan pengadilan untuk menyelesaikan perkara-
perkara yang dihadapkan kepadanya. Akan ganti
masukan tersebut, pengadilan memutuskan untuk

147
memberikan legitimasinya (atau tidak) kepada peraturan-
peraturan hukum, yang di Indonesia dikenal sebagai
masalah hak menguji undang-undang (di Mahkamah
Konstitusi).
c. Masukan Bidang Budaya.
Pertukaran yang terjadi disini dapat dikatakan
sebagai yang terjadi antara proses sosialisasi dengan
hukum.
Hukum sebagai mekanisme pengintegrasi hanya
dapat menjalankan pekerjaannya tersebut dengan seksama
jika memang dari pihak rakyat memang ada kesediaan
untuk menggunakan jasa pengadilan. Keadaan tersebut
bisa diciptakan melalui masukan yang datang dari proses
sosialisasi tersebut diatas. proses ini akan bekerjan dengan
cara mendorong rakyat untuk menerima pengadilan
sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai
pertukaran bagi masukan yang datang dari bidang budaya
tersebut, maka keluaran yang datang dari pengadilan
berupa keadilan.
6. Fungsi Hukum sebagai Mekanisme untuk Integrasi
Seperti kita ketahui bahwa di dalam setiap masyarakat
senantiasa terdapat berbagai kepentingan dari warganya. Di

148
antara kepentingan itu ada yang bisa selaras dengan
kepentingan lain, tetapi ada juga kepentingan yang menyulut
konflik dengan kepentingan lain. Hukung sering
disalahartikan, hanya berfungsi jika terjadi konflik. Padahal
hukum telah berfungsi sebelum konflik itu terjadi. Dengan lain
kata, hukum berfungsi:
a. Sebelum terjadi konflik
b. Setelah terjadinya konflik
Atau dapat dikatakan ada 2 jenis penerapan hukum
yaitu:
a. Penerapan hukum dalam hal tidak ada konflik, contohnya
jika seorang pembeli barang membayar harga barang, dan
penjual menerima uang pembayaran,
b. Penerapan hukum dalam hal terjadi konflik, contohnya si
pembeli sudah membayar lunas harga barang, tetapi
penjual tidak mau menyerahkan barang yang telah
dijualnya.
Sehubungan dengan hal di atas, hukum berfungsi
sebagai "mekanisme untuk melakukan integrasi" terhadap
berbagai kepetingan warga masyarakat, dan juga berlaku baik
jika tidak ada konflik maupun setelah ada konflik. Namun
demikian harus diketahui bahwa dalam penyelesaian konflik-
149
konflik kemasyarakatan, bukan hanya hukum satu-satunya
sarana pengintegrasi, melainkan masih terdapat sarana
pengintegrasi lain seperti kaidah agama, kaidah moral, dan
sebagainya.
Salah satu pakar yang memiliki teori tentang fungsi
hukum ini, adalah Harry C. Bredemeier yang memandang "a
law as an integrative mechanism". Adapun kerangka yang
digunakan oleh Bredemeier dalam membangun analisisnya.
Tentang fungsi hukum sebagai mekanisme pengintegrasi
atau integrator, ditumbuhkan dari analisisnya tentang fungsi-
fungsi hukum serta hubungannya dengan fungsi sub-sistem
lain yang terdapat di dalam masyarakat, yang awalnya adalah
bersumber dari kerangka yang dibangun oleh Talcott Parsons
dan rekan-rekannya, terutama sekali seperti yang
dituliskannya di dalam Economy and Society (Parsons and
Smelser, 1956).
Postulat dalam kerangka tersebut adalah adanya 4
proses fungsional utama yang diobservasi di dalam suatu
sistem sosial, masing-masing:
a. adaptasi;
b. pencapaian tujuan (goal pursuance),

150
c. mempertahankan pola (pattern maintenance)
d. integrasi.
Parsons dan Smelser mengindentikan adaptasi itu
dengan proses-proses ekonomi, mengindentikan pencapaian
tujuan dengan proses politik, mengindentikan
mempertahankan pola dengan apa yang kita kenal sebagai
sosialisasi. Proses-proses integrasi yang oleh parson
diidentikan dengan pola-pola kekeluargaan, sedangkan oleh
Bredemeir tidak demikian. Bredemeir mengindentikannya
dengan hukum. Proses-proses pengintegrasian identik
dengan hukum. Ini dikemukakan oleh Bredemeier (dalam
Vilhelm Aubert, 1969: 53).
Jadi Bedremeier cenderung melihat fungsi hukum
hanya sebagai penjaga yang bertugas untuk menyelesaikan
konflik-konflik. Hukum barulah beroperasi setelah adanya
suatu konflik, misalnya ada seseorang yang menggugat
bahwa kepentingannya terganggu oleh orang lain. Dalam hal
seperti itu, menjadi tugas pengadilanlah untuk menjatuhkan
suatu putusan yang menyelesaikan konflik itu.
Bertolak dari dasar pemikiran itu, kemudian dikaitkan
lagi dengan adanya 3 kebutuhan pengadilan menurut bahasa

151
Parsons dan rekan-rekannya, akhirnya Bredemeir menyusun
konsepnya sendiri tentang fungsi hukum sebagai integrator.
Parsons dan rekan-rekannya melihat bahwa pengadilan
bergantung pada tiga macam masukan yaitu:
a. pengadilan membutuhkan sutu analisis mengenai sebab
dan akibat dari peristiwa yang dipersengketakan itu,
b. pengadilan membutuhkan suatu konsepsi tentang
pembagian tugas; apa yang menjadi tujuan dari Sistem
itu, keadaan apa yang ditimbulkan oleh penggunaan
kekuasaan.
c. Pengadilan menghendaki agar para penggugat memilih
pengadilan sebagai satu- satunya mekanisme
penyelesaian konflilk.
Bredemeir menempatkan hukum sebagai titik-sentral
dari keempat proses fungsional itu. Tetapi pemikiran
Bredemeier yang dipengaruhi oleh Sistem Anglo Saxon
menyebabkan hukum disini diidentikan oleh Bredemeier
sebagai proses peradilan, karena fungsi hukum katanya
adalah untuk mengatasi konflik secara tertib.
Selanjutnya bnredemeier menghubungkan proses
peradilan ini dengan ketiga proses fungsional utama di dalam

152
suatu sistem sosial yang merupakan hubungan kausalitas
yang dianalisis berdasarkan masukan dan keluaran terhadap
dan dari proses peradilan.
Masukan yang berasal dari proses adaptasi, sedangkan
keluaranya berupa solidaritas-organik, yaitu yang berasal dari
pembedaan Emile Durkiem tentang adanya 2 jenis solidaritas,
yaitu organik dan mekanik. Yang dimaksud Durkhiem sebagai
solidaritas mekanik adalah dimana warga masyarakatnya
secara langsung terikat pada masyarakatnya dan solidaritas
organik adalah dalam hal warga masyarakat tergantung pada
masyarakat karena is tergantung pada bagian-bagian
masyarakat yang bersangkutan.
Bredemeier berpendapat bahwa lembaga-lembaga
peradilan membutuhkan dasar tentang kegunaan pembagian
kerja, tujuan dari sistem tersebut dan keadaan apa yang harus
tercipta atau harus dipertahankan oleh penerapan kekuasaan.
Hal ini mengandung makna bahwa lembaga peradilan
membutuhkan patokan-patokan untuk dapat melaksanakan
evaluasi terhadap konfllik yang terjadi, serta bagi antisipasi
terhadap efek keputusan yang diambil terhadap struktur
peranan.

153
Masukan yang datang dari proses politik (goal pursuance)
menghasilkan keluaran berupa tentang penafsiran tentang
cita-cita masyarakat yang berbentuk produk-produk legislatif.
Lembaga peradilan memerlukan juga pengakuan dari para
pencari keadilan (yustisiabelen) tentang fungsinya sebagai
sarana untuk menyelesaikan konflik. Motivasi pengakuan itu
datang sebagai dari proses sosialisasi (pattern maintenance) dan
keluarannya berupa keadilan.
Bredemeier dalam analilsisnya tentang hubungan antara
peradilan dengan adaptasi, is menafsirkan adaptasi sebagai
proses ilmu dan teknologi yang ditujukan dalam bentuk
produksi alat-alat untuk mengatasi rintangan-rintangan
dalam pencapaian tujuan sistem sosial tersebut. Inilah yang
oleh Bredemeier,dikaitkannya dengan kondisi masyarakat
barat yang modern.
Jadi intisari konsep Bredeimeier ini melihat sistem
hukum sebagai suatu mekanisme integratif, yang
menyumbangkan kordinasi pada masyarakat itu berupa
keluaran-keluaran pada sektor-sektor lain dalam masyarakat
dengan memperoleh masukan-masukan.

154
D. Fungsi Hukum menurut pakar lain
Selain fungsi hukum yang dikemukakan oleh berbagai ahli
yang diramu oleh Prof. Achmad Ali, maka ada pula pembagian
fungsi hukum sebagai berikut59:
1. Sebagai sarana control sosial
2. Sebagai pengintegrasian berbagai kaidah
3. Sebagai Simbol
4. Sebagai pemisah antara peristiwa biasa dengan peristiwa
hukum
Fungsi hukum sebagai sarana control sosial sebagai kontrol
apabila terjadi penyimpangan terhadap kepentingan dan hak
individu yang dilanggar sehinnga kepentingan atau hak yang
dilanggar tadi dipulihkan melalui daya paksa yakni sanksi. Fungsi
hukum sebagai pengintegrasian berbagai kaidah -kaidah
merupakan pengintegrasian dari kaidah agama, kesopanan,
kesusilaan, adat dalam suatu kaidah hukum. Contoh: pencurian
dalam norma agama, kesusilaan, kesopanan merupakan
perbuatan tercela yang merupakan perbuatan pidana (delik) yang
diatur dalam Pasal 362 KUH Pidana. Fungsi hukum sebagai
simbol lebih tertuju pada hubungan sosial yang diformulasikan

59 Damang dan Apriyanto Nusa,Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum,

genta 2017. Hal. 21-24


155
dalam kalimat sederhana. Misalnya: Pembunuhan yaitu
menghilangkan nyawa, pencurian yaitu mengambil barang tanpa
izin, dan sebaginya. Sedangkan fungsi hokum sebagai pemisah
antara peristiwa biasa dan peristiwa hokum yang sifatnya
normatif, artinya mampu memisahkan antara fenomena sosial
dengan hukum itu sendiri yang sifatnya mengikat, mengatur,
dan/atau memaksa.

156
BAB IX
ALIRAN-PEMIKIRAN TENTANG
HUBUNGAN TUGAS HAKIM DAN
UNDANG-UNDANG

A. Pendahuluan
Timbulnya berbagai aliran pemikiran tentang hubungan
antara tugas hakim dengan eksistensi undang-undang, tidak lain
karena penghubungan antara: Peraturan perundang-undangan di
satu pihak, dengan fakta konkrit yang diperiksa oleh
hakim.Menurut Achmad Ali60 yang menjadi pertanyaan adalah :
”apakah di antara peraturan tesebut dengan fakta konkret yang
diperiksa oleh hakim, masih ada ”sesuatu” atau tidak?” Atau
dengan lain kata, yang berlaku di dalam penyelesaian fakta
konkrit yang diadili oleh pengadilan itu, aturan hukum atau
undang-undangnya ataukah hasil dari penilaian hakimnya.
Menurut Achmad Ali 61 Pada dasarnya ada 2 jawaban
tentang pertanyaan itu, yaitu:

60 Achmad Ali60 (2002:129


61 Loc cit
157
1. Bagi kaum dogmatik, hukum adalah peraturan (tertulis),
yaitu undang-undang. Dalam hal ini, tugas hakim adalah
menghubungkan antara fakta konkrit yang diperiksanya
dengan ketentuan undang-undang. Kaum dogmatik
melihat adanya 2 kemungkinan, adanya ”sesuatu proses”
di antara dua elemen tadi (peraturan dan fakta) fakta:
a. proses penerapan hukum oleh hakim,
Disini hakim hanya menggunakan hukum-hukum logis,
yaitu sillogisme.
b. Proses pembentukan hukum oleh hakim,
Disini hakim tidak lagi sekedar menggunakan hukum-
hukum logika melaikan sudah memberikan penilaian. Ini
yang disebut interprestasi dan kontruksi yang oleh kaum
legis tidak dibolehkan.
2. Bagi kaum non-dogmatik yang melihat hukum tidak sebagai
sekedar kaidah, tetapi juga kenyataan dalam masyarakat,
maka undang-undang bukan satu-satunya hukum. Bagi kaum
non-dogmatik, undang-undang bukan satu-satunya sumber
hukum, tetapi masih sumber hukum yang lain yaitu:
kebiasaan, traktat, yurisprudensi, doktrin, kaidah agama,
bahkan nilai-nilai kepatutan yang hidup di dalam
masyarakat. Dalam pandangan kaum non-dogmatik ini,

158
tugas hakim adalah konkrit yang diperiksanya. Dalam
penghubungan antara sumber hukum dan fakta konkrit itu,
kahim melakukan penilaian.
Prof. Paul Scolten mengemukakan bahwa:
”Hukum itu ada, akan tetapi harus ditemukan, dalam apa yang
ditemukan itulah terletak yang baru. Hanya orang yang
mengidentikkan hukum dengan peraturan-peraturan m harus
memilih atau penciptaan atau penerapan. Apabila ada faktor-
faktor yang lain, maka dilema itu hapus...62”.

Sudikno Mertokusumo63 (dalam bukunya: Bab-bab tentang


Penemuan Hukum, 1993:12) menyatakan bahwa:
”Ketentuan undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja
secara langsung pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan
ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan abstrak
sifatnya itu pada peristiwanya yang konkrit dan khusus sifatnya,
ketentuan undang-undang itu harus diberi arti, dijelaskan atau
ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya
untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya. Peristiwa
hukumnya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa konkritnya
kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat
diterapkan.”

Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo 64 mengemukakan


bahwa:

62Achmad Ali, 2002:134).


63Sudikno Mertokusumo63 (dalam bukunya: Bab-bab tentang Penemuan
Hukum, 1993:12
64 Loc cit

159
”Setiap peraturan hukum ini bersifat abstrak dan pasif. Abstrak
karena umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan
akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. Peraturan
hukum yang abstrak itu memerlukan rangsangan agar dapat aktif,
agar dapat diterapkan pada peristiwa yang cocok.”

Selama berabad-abad, hubungan antara perudang-


undangan dengan putusan hakim menimbulkan polimik yang tak
putus-putusnya dan melahirkan berbagai aliran pemikiran dalam
ilmu hukum. Mula-mula dikenal aliran legis, yang cendrung
memandang hakim tidak lain hanya sekadar terompet undang-
undang (bouche de laloi) hukum oleh hakim, yang memandang
hakim dapat mengisi kekosongan perundang-undangan dengan
cara konstruksi hukum atau interprestasi. Terakhir muncul lagi
aliran realis di Amerika Serikat dan Skandinavia, yang pada
pokoknya memandang hakim tidak sekadar ”menemukan
hukum” melainkan ”membentuk hukum” melalui putusannya.
Bagi aliran realis, kaidah-kaidah hukum yang berlaku memang
ada pengaruhnya terhdap putusan hakim, akan tetapi hanya
berlaku salah satu unsur pertimbangan. Selain unsur kaidah
hukum itu, putusan hakim juga dipengaruhi oleh prasangka
politik ekonomi ataupun moral. Bahkan perasaan simpati dan
antipati pribadi turut mempengaruhi putusan hakim. Dalam

160
hubungan tugas hakim dan perudang-undangan terdapat
beberapa aliran sebagai berikut:

B. Aliran Legis
Pada saat Hukum Kebiasaan mendominasi, di saat itu terasa
betapa ketidakpastian berlangsung di dunia hukum. Akhirnya
muncul masa dimana kepercayaan sepenuhnya dialihkan pada
undang-undang untuk mengatasi ketidakpastian dari hukum tak
tertulis. Tetapi terjadilah kepercayaan yang berlebihan akan
kemampuan undang-undang. Kepastian hukum memang
mungkin terwujud dengan undang-undang, tetapi dipihak lain
muncul kelemahan undang-undang, khususnya sifatnya,
khususnya sifatnya yang statis dan kaku.
Beberapa abad lampau, kalangan hukum pernah sangat
mendewakan eksistensi dan kemampuan undang-undang.
Montesquieu pernah mengemukakan bahwa : ”Hakim-hakim
rakyat tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks undang-
undang. Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi, para
hakim tidak boleh mengubahnya, baik tentang kekuatannya
maupun tentang keketatannya”.
Juga Rousseau (Achmad Ali, 2002: 133) dalam teori
kedaulatan rakyat yang dianutnya berpendapat bahwa yang

161
merupakan kekuasaan tertinggi dalam satu negara adalah
kehendak bersama rakyat, dan kehendak bersama itu diwujudkan
dalam undang-undang. Oleh karena itu undang-undanganlah
satu-satunya hukum dan sumber hukum, dan hakim tidak boleh
melakukan pekerjaan pembuat undang-undang
Legisme ini, menurut Sudikno Mertokusumo (1993 : 42):
”Pada abad pertengahan timbullah aliran berpendapat bahwa
satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan
peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang pada
peristiwa yang konkrit (pasal 20,21 Peraturan Umum mengenai
Perudang-undangan untuk Indonesia /S. 1847-23). Hakim
hanyalah subsumptie automaat, sedangkan metode yang
dipakai adalah geometri yuridis. Kebiasaannya hanya
mempunyai kekuatan hukum apabila ditunjuk oleh undang-
undang (pasal 3 Peraturan Umum tersebut di atas). Hukum dan
undang-undang adalah identik, yang dipentingkan disini adalah
kepastian hukum”.

Padangan legis semakin lama semakin ditinggalkan orang,


karena semakin lama semakin disadari bahwa undang-undang
tidak perna lengkap dan tidak selamanya jelas, bagaimanapun
undang-undang menentukan kaidah secara umum, tidak
tertentu pada suatu kasus tertentu. Sifat undang-undang yang
abstrak dan umum itu, menimbulkan kesulitan dalam
penerapannya secara ”in-kokreto” oleh para hakim di
pengadilan. Tidak mungkin hakim mampu menyelesaikan

162
persengketa, jika hakim hanya berfungsi sebagai ”terompet
undang-undang” belaka. Hakim masih harus melakukan kreasi
tertentu. Inilah yang kemudian melahirkan pandangan tentang
bolehnya hakim melakukan penemuan hukum melalui
putusannya.
Achmad Sanusi mengeritisi Legisme sebagai berikut:
”tidaklah benar pula, bahwa pekerjaan hakim mempelajari
menganalisis dan dengan menggunakan tutur simpul (silogisme),
yaitu deduksi yang logis, akan mendapatkan penyelesaian untuk
tiap-tiap peristiwa nyata. Pertama-tama disebabkan karena
banyak peraturan undang-undang itu secara nisbi terbatas, tidak
dapat pada waktunya telah memberi aturan-aturan bagi setiap
hubungan dan peristiwa hukum. Kedua kalau memang sudah
ada peraturannya, maka kadang-kadang kata undang-undang itu
kurang jelas atau mengandung kemungkinan untuk ditafsirkan
menurut lebih dari satu arti. Malahan undang-undang sendiri
sering-sering menunjuk pada kebiasaan setemapt (perhatikan
pasal 1339, 1346 dan 1347 KUH. Perdata), kesusilaan, itiqat baik,
kepentingan umum dan lain-lain. Jadi hakim mempunyai tugas
turut menemukan hukum juga dengan memberikan penilaian
dan pendapatnya sendiri...” (Achmad Ali, 2002:134).

C. Aliran Penemuan Hukum oleh Hakim


Ketika dirasakan betapa aliran legis tidak mampu lagi
memecahkan problem-problem hukum yang muncul, maka
pemikiran legis ini mulai ditinggalkan. Di saat itu kalangan

163
hukum berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh
hakim adalah sesuatu yang wajar.
Apakah yang dimaksud dengan penemuan hukum oleh
hakim? Menurut Paul Scholten ( Achmad Ali, 2002:135)
”Penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya
penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-
kadang dan bahkan sangant sering terjadi bahwa peraturannya
harus ditemukan, baik dengan jalan interprestasi maupun dengan
jalan analogi ataupun rechtsvervijning...”

Sudikno Mertokusumo (1991:4) memberikan pengertian


penemuan hukum sebagai berikut:
hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini
merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan
hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit.
Sementara orang lebih suka menggunakan ”pembentukan
hukum” daripada ”penemuan hukum” oleh karena istilah
penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya
sudah ada”.

Lebih jauh, Sudikno Mertokusumo (1991:5)


mengemukakan bahwa:
”Pada dasarnya setiap orang melakukan penemuan hukum, setiap
orang selalu berhubungan dengan orang lain, hubungan mana
diatur oleh hukum dan setiap orang akan berusaha menemukan
hukumnya untuk dirinya sendiri, yaitu : kewajiban dan
wewenang apakah yang dibebaskan oleh hukum padanya”.
”Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam
memeriksa dan memutuskan suatu perkara. Penemuan hukum
164
oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuwan
hukumpun mengadakan penemuan hukum. Hanya kalau ahasil
penemuan hukum oleh hakim itu adalah hukum, maka hasil
penemuan hukum oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum
malaikan ilmu atau doktrin. Sekalipun dihasilkan itu bukanlah
hukum , namun disini digunakan istilah penemuan hukum juga
oleh karena doktrin ini kalau diikuti dan diambil alih oleh hakim
dalam putusanya menjadi hukum. Doktrin bukanlah hukum
melaikan sumber hukum”.

Penemuan hukum bagaimanapun selalu dilakukan oleh


hakim dalam setiap putusannya. Tidak ada teks yang jelas, tidak
ada teks yang tanpa sifat ambiguitas. Hal ini sudah sifat setiap
bahasa.
Aliran penemuan hukum oleh hakim terbagi sebagai
berikut:
1. Aliran Begriffsjurispudenz
Aliran yang membolehkan hakim melakukan penemuan
hukum, diawali dengan apa yang dikenal sebagai
Begriffsjurispudenz. Aliran ini memulai memperbaiki
kelemahan yang ada pada ajaran legis.
Aliran Begriffsjurispudenz mengajarkan bahwa sekalipun
benar undang-undang itu itu tidak lengkap, namun undang-
undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya
sendiri, karena undang-undang memeliki daya meluas. Cara
memperluas undang-undang ini hendaknya bersifat
165
”normlogisch” dan hendaknya tetap dipandang dari sudut
dogmatik sebab bagaimanapun hukum merupakan suatu
”logische Gasschlossenheit”. Jadi aliran ini memandang
hukum sebagai stu sistem tertutup, dimana pengertian
hukum tidaklah teori tentang pengertian (Begriffsjusprudenz).
sebagai sarana melainkan sebagai tujuan, sehingga teori
hukum menjadi Oleh aliran ini, pekerjaan hakim dianggap
semata-mata pekerjaan intelek di atas hukum-hukum
rasional dan logis. Yang menjadi tujuan dari aliran
Begriffsjusprudenz adalah bagaimana kepastian hukum
tewujud.
Penggunaan hukum-logika yang yang dinamai
sillogisme menjadi dasar utama Begriffsjusprudenz ini.
Bagaimana yang dimaksud cara berfikir sillogisme, dijelaskan
oleh Sudikno Mertokusumo, S.H (1984: 30):
”Di sini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premisse
mayor, yaitu (peraturan) hukum dan premisse minor yaitu
peristiwanya: siapa mencuri dihukum: A terbukti mencuri; A
harus dihukum....”

Aliran ini menempatkan rasio dan logika pada tempat


yang sangat istimewa. Kekurangan undang-undang menurut
begriffsjurisprudenz ini hendaknya diisi dengan penggunaan
hukum-hukum logika dan memperluas undang-undang
166
berdasarkan rasio. Jadi kritikan terhadap aliran ini, terutama
berpendapat bahwa hukum bukan pertimbangan budi yang
kadang-kadang sifatnya memang irrasional. agi penganut
aliran ini, keadilan dan kemanfaatan hukum bagi warga
masyarakat diabaikan.
Salah satu contoh cara berpikir begriffsjurisprudenz adalah
yang dicontohkan oleh Achmad Sanusi sebagai berikut:
“Perhatikan apa yang disimpulkan oleh Mr. Heinsius dari
suatu ketentuan ”Toelating en vestigingsbesluit”, Zij op wie
de bepalingen Indie gevestigd te zijn dan na daartoe
schriftelijke vergunning te hebben bekomen”, bahwa–
katanya oleh karena peraturan ini tidak juga memuat
pengecualian bagi orang-orang Indonesia, yang sudah turun-
temurun berada di sini, maka siapa saja yang tidak
mempunyai izin tertulis untuk menetap di sini, ia harus
dipandang sebagai bukan penduduk Indonesia. Atau
putusan Hogeraad 18 Juni 1910 berkenan dengan kekuasaan
orang tua dan perwalian yang sifatnya utuh dan tidak dapat
dipecah-pecah, sehingga–katanya–seorang bapa atau ibu
yang sesudah berlangsung perceraian tidak diserahi hak
perwalian, tidak berhak untuk melihat anak-anaknya atau
untuk bergaul dengan mereka. Atau Putusan Hogeraad 17
Desember 1909 juga, tatkala menolak adanya hak waris bagi
‘Vereniging tot uitbreiding der Museum te Haarlem’, dari
seorang Druyvestein, berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan, bahwa tatkala orang yang membuat wasiat itu
meninggal (2 April 1905), vereniging tersebut – karena
pengurusnya lupa meminta pengakuan yang baru – harus
dianggap belum ada sebagai badan hukum sebab pengakuan

167
lama sudah berakhir pada tanggal 31 Mei 1904”(Achmad Ali,
2002:138).

2. Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule)


Sebagai kritik terhadap aliran begriffsjurisprudenz,
muncul aliran Interessenjurisprudenz atau Freirechtsschule.
Menurut aliran ini, undang-undang jelas tidak lengkap.
Undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum,
sedangkan hakim dan pejabat lainnya mempunyai
kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan
“penemuan hukum”, dalam arti kata bukan sekedar
penerapan undang-undang oleh hakim, tetapi juga
mencakupi, memperluas dan membentuk peraturan dalam
putusan hakim. Untuk mencapai keadilan yang setinggi-
tingginya, hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-
undang, demi kemanfaatan masyarakat. Dikaitkan dengan
teori tujuan hukum, maka jelas aliran ini penganut
utilitarisme. Hakim mempunyai “freies Ermessen”.
Ukuran-ukuran tentang mana ketentuan undang-undang
yang sesuai dengan kesadaran hukum dari keyakinan hukum
warga masyarakat, tergantung pada ukuran dari keyakinan
hakim (overtuiging), di mana kedudukan hakim bebas mutlak.
Bagaimanapun aliran ini membuka peluang kesewenang-

168
wenangan karena hakim adalah manusia biasa yang takkan
mungkin terlepas dari berbagai kepentingan dan pengaruh
sekelilingnya, termasuk pengaruh kepentingan pribadi,
keluarga dan sebagainya. Faktor subjektif yang ada pada diri
hakim sebagai manusia biasa, akan sangat mudah
menciptakan kesewenang-wenangan putusan hakim.
Sehubungan dengan itu, Sudikno Mertokusumo
(1993:45) mengemuakan bahwa:”Aliran ini sangatlah
berlebih-lebihan karena berpendapat bahwa hakim tidak
hanya boleh mengisi kekosongan undang-undang saja, tetapi
bukan boleh menyimpang”.
Namun demikian, Sudikno Mertokusumo (1993:45) juga
melihat hikmah dari pandangan aliran ini, sebagai berikut:
”Walau bagaimanapun juga aliran bebas tersebut di atas telah
menanamkan dasar bagi pandangan yang sekarang berlaku
tentang undang-undang dan fungsi hakim”.
Achmad Sanusi (1977: 56-57) menyatakan bahwa:
”Apabila pada aliran Legis/ begriffsjurisprudenz, hakim mudah
menjadi abdi dari dogma dan/atau undang-undang, di sini
(aliran Freirechtsschule) hakim akan menjadi raja terhadap
undang-undang, di mana ia berkuasa sendiri menciptakan
hukum, bagi semua anggota-anggota masyarakatnya.
Bukankah ini jalan yang sudah mendekat sekali pada ekses-
kesewenang-wenangan?”.

169
3. Aliran Soziologische Rechtsschule
Reaksi terhadap aliran Freirechtsschule ini
memunculkan aliran Soziologische Rechtsschule, yang pada
pokoknya hendak menahan kemungkinan munculnya
kesewenang-wenangan hakim, berkaitan dengan
diberikannya hakim ”freies Ermesson”. Aliran ini tidak setuju
jika hakim diberi ”freies Ermessen”. Namunpun demikian,
aliran ini tetap mengakui bahwa hakim tidak hanya sekedar
”terompet undang-undang”, melainkan di samping
berdasarkan pada undang-undang, hakim juga harus
memperhatikan kenyataan-kenyataan masyarakat, perasaan
dan kebutuhan hukum warga masyarakat serta kesadaran
hukum warga masyarakat. Aliran ini menolak adanya
kebebasan (vrijbrief) dari hakim seperti yang diinginkan
Freirechtsschule.
Hamaker dalam karangannya: Het rechten en de
maatschappij danjuga Recht, wet en Rechter antara lain
berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan
putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan
hukum yang sedang hidup di dalam masyarakatnya ketika
putusan itu dijatuhkan. Dan bagi I. H. Hymans (dalam
karangannya: Het recht der werkelijkheid), hanya putusan hakim

170
yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum
warga masyarakatnya yang merupakan ”hukum dalam
makna sebenarnya” (het recht der werkelijkheid). Olehnya itu,
penganut aliran ini sangat menekankan betapa perlunya para
hakim memiliki wawasan pengetahuan yang luas, bukan
sekedar ilmu hukum dogmatik belaka, tetapi seyogianya juga
mendalammi ilmu-ilmu sosial lain seperti: sosiologi,
antropologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. (Achmad Ali,
2002:140).
Seorang hakim seyogianya adalah orang yang memiliki
wawasan ilmu dan pengetahuan yang cukup luas, bukan
sekadar menguasai peraturan-peraturan hukum yang
tertuang dalam berbagai perundang-undangan, melainkan
juga menguasai ilmu ekonomi, sosiologi, politik,
antropologi, dan lain-lain. Untuk memperoleh hakim yang
berkualitas semacam itu, banyak ditentukan pula oleh
“proses rekrutmen” calon hakim. Seyogianya yang diterima
sebagai calon hakim adalah lulusan-lulusan terbaik dari
fakultas-fakultas hukum serta yang memiliki mentalitas
yang cukup baik. (Achmad Ali, 2002:146). Peningkatan
kualitas bagi para hakim sendiri juga harus senantiasa
dilakukan, baik dengan penataran atau kursus-kursus,

171
maupun dengan sering-sering mengikutkan para hakim
dalam pertemuan-pertemuan ilmiah, seperti seminar,
simposium, dan sebagainya. (Achmad Ali, 2002:141).
Pengikut lain dari aliran ini diantaranya adalah: J.
Valkhof (dalam karangannya: Een eeuw rechtsotwikkeling
dan juga Grondwet en Maatschappij in Nederland), A.
Auburtin (dalam karangannya: Amerik, Rechtsauffassung und
die neueren Amerik. Theorien der Rechtssoziologie und des
Rechtsrealismus), dan G. Gurvitch (dalam karnagannya:
L’idee du Droit social) (Achmad Ali, 2002:141). Sudikno
Mertokusumo (1993:45) menyatakan bahwa aliran sosiologis
ini merupakan salah satu pecahan dari Freirechtslehre, dan
pecahan lainnya adalah aliran Hukum Kodrat. Lebih lanjut
dinyatakan: aliran sosiologis berpendapat bahwa
menemukan hukum hakim harus mencarinya dalam
kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, sedangkan aliran
Hukum Kodrat berpendapat bahwa untuk menemukan
hukumnya harus dicari dalam hukum kodrat.
4. Ajaran Paul Scholten
Akhirnya semua aliran yang terdahulu dianggap berat
sebelah oleh Prof. Paul Scholten, guru besar Universitas
Amsterdam, ”dewa pemikiran hukum” dari Belanda, di mana

172
Scholten mengemukakan pandangannya secara sangat terinci
dalam bukunya yang berjudul: Mr. C. Asser’s Handleiding Tot
De Beoefening van Het Nederlandsch Burgerlijk Recht:
Algemeen Deel, tentang apa yang ia maksudkan sebagai
penemuan hukum oleh hakim dan bagaimana
permasalahannya (Achmad Ali, 2002:141).
Bagi Scholten, hukum merupakan satu sistem, yang
berarti semua aturan saling berkaitan, aturan-aturan itu dapat
disusun secara mantik, dan untuk yang bersifat khusus dapat
dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga tiba pada asas-
asasnya. Namun tidaklah berarti bahwa hakim hanya bekerja
secara mantik semata-mata. Hakim juga harus bekerja atas
dasar penilaian, dan hasil dari penilaian itu menciptakan
sesuatu yang baru. Paul Scholten melihat bahwa sistem
hukum itu logis, tetapi tidak tertutup. Inilah ajarannya yang
disebut open systeem van het recht. Sistem hukum itu tidak
statis, karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-
putusan atau penetapan-penetapan yang senantiasa
menambah luasnya sistem hukum tersebut. Karena itu lebih
tepat jika kita menyatakan bahwa sistem hukum itu sifatnya
terbuka (Achmad Ali, 2002:141).

173
Paul Scholten melihat bahwa penilaian hakim itu
dilakukan dalam wujud interprestasi dan kontruksi. Undang-
undang mempunyai kebebasan yang lebih primer, sedangkan
hakim mempunyai ”keadaan terikat” pada yang lebih primer
itu. Pandangan Scholten pada beberapa segi memiliki
kemiripan dengan ajaran Stufenbau des Rechts baik dari A.
Merki maupun Hans Kelsen. Mirip tetapi tidak sama pada segi
lainnya. Menurut Pitlo, Scholten menekankan setiap
pengucapan putusan sekaligus merupakan sumbangan dalam
pembentukan hukum, dan bahwa setiap putusan adalah
menciptakan hukum”. (Achmad Ali, 2002:141).
5. Penemuan Hukum Heteronom dan Otonom
Dengan mengacu juga pada pandangan Knottenbelt
(dalam karangannya: Inleiding in het Nederlandse Recht, hal.
98), Sudikno menuliskan bahwa yang dimaksud dengan
penemuan hukum yang heteronom, adalah jika dalam
penemuan hukum hakim sepenuhnya tunduk pada undang-
undang. Penemuan hukum ini terjadi berdasarkan peraturan-
peraturan di luar diri hakim. Pembentuk undang-undang
membuat peraturan umumnya, sedangkan hakim hanya
mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan
pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkan menurut

174
bunyi undang-undang. Dengan demikian, maka penemuan
hukum yang heteronom ini tidak lain merupakan penerapan
undang-undang yang terjadi secara logis terpaksa sebagai
silogisme (Achmad Ali, 2002:142). Sedangkan yang dimaksud
dengan penemuan hukum yang otonom, menurut Sudikno
adalah jika hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing
oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri. Dalam
penemuan hukum yang otonom ini hakim memutus menurut
apresiasi pribadi. Di sini hakim menjalankan fungsi yang
mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap
peristiwa hukum konkrit. Pandangan baru ini oleh van
Eikema Hommes disebut pandangan yang materiil yuridis, di
Jerman dipertahankan oleh Oskar Bullow dan Eugen Ehrlich.
Di Prancis pandangan baru ini dikembangkan oleh Francois
Geny. Dalam hal ini, Geny menentang penyalahgunaan cara
berpikir yang abstrak-logis dalam pelaksanaan hukum dan
terhadap fiksi bahwa undang-undang berisi hukum yang
berlaku. Di Amerika Serikat Oliver Wendel Holmes dan
Jerome Frank menentang pendapat bahwa hukum yang ada
itu lengkap yang dapat dijadikan sumber bagi hakim untuk
memutuskan dalam peristiwa yang konkrit. Menurut
pendapat ini maka pelaksanaan undang-undang oleh hakim

175
bukanlah semata-mata merupakan persoalan logika dan
penggunaan pikiran yang tepat saja, tetapi lebih merupakan
pemberian bentuk yuridis kepada asas-asas hukum materiil
yang menurut sifatnya tidak logis dan lebih mendasar pada
pengalaman dan penilaian yuridis dari pada mendasarkan
pada akal yang abstrak. Undang-undang tidak mungkin
lengkap. Undang-undang hanya merupakan satu tahap
dalam proses pembentukan hukum dan terpaksa mencari
kelengkapanny dalam praktik hukum dari hakim Tetapi
Sudikno sendiri berpendapat bahwa: ”Tidak ada batasnya
yang tajam antara penemuan hukum yang heteronom dan
otonom. Kenyataannya di dalam praktik penemuan hukum
mengandung kedua unsur tersebut” (Achmad Ali, 2002:141).

D. Menemukan Hukum, suatu Kreativitas Seni dalam


Keputusan Hakim
1. Menemukan Hukum
Keputusan Hakim, merupakan suatu proses dari upaya
penemuan hukum, termasuk interpretasi dan konstruksi. Proses
pemeriksaan perkara sampai dengan keputusan membutuhkan
kreativitas hakim, yang tentunya berdasarkan pula intelektualitas
dan pengalaman sang hakim dalam putusannya.

176
Seni dalam putusan hakim bermula dari kegiatan
penemuan hukum. Namun pertanyaan teoretis adalah apakah
hakim selalu melakukan penemuan hukum? Ada dua pandangan
yang berbeda untuk menjawab, apakah hakim selalu melakukan
penemuan hukum atau tidak? Kedua pendapat itu masing-
masing 65 adalah: 1). Penganut Doktrin ”Sens-clair (la doctrine du
sensclair)
Penganut aliran ini berpendapat bahwa ”penemuan hukum
oleh hakim” hanya dibutuhkan jika:
a. Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto, atau
b. Peraturannya sudah ada tetapi belum jelas.
Menurut penganut pandangan ini, di luar dari keadaan pada
dua hal di atas, penemuan hukum oleh hakim tidak ada.
Michel van Kerckhove66 menyimpulkan ”sensclair” dalam 5
butir berikut:
a. Ada teks undang-undang yang dimengerti maknanya sendiri
dan berdasarkan setiap penjelasan sebelumnya serta tidak
mungkin menimbulkan keraguan;
b. Karena bahasa hukum berdasarkan pada bahasa percakapan
sehari-hari maka dapat dianggap, semua istilah yang tidak
ditentukan oleh pembuat undang-undang tetap saja sama

65 Achmad Ali, opcit. Hlm. 145


66 Loc Cit
177
artinya dengan yang dimilikinya dalam bahasa percakapan
biasa atau sehari-hari.
c. Kekaburan suatu teks undang-undang hanya mungkin terjadi
karena mengandung kemenduaan arti (ambiguitas) atau
karena kekurangan tetapan arti lazim dari istilah-istilah itu.
Secara ideal, biasanya yang dijadikan pegangan bagi
pembuat undang-undang adalah ia harus merumuskan teks
undang-undangnya dengan sejelas-jelasnya. Kekaburan teks
harus dihindari, demikian pula jangan sampai terjadi perumusan
yang kurang baik. Untuk mengetahui adanya kekaburan ataupun
tidak adanya kekaburan teks undang-undang, tidak diperlukan
penafsiran. Sebaliknya pengakuan tentang jelas atau kaburnya
teks menghasilkan kriteria yang memungkinkan untuk menilai
apakah suatu penafsiran atau penemuan hukum memang atau
tidak diperlukan; dan kalau diperlukan atau tidak diperlukan,
hasilnya dalam penerapan hukum adalah sah.

2. Penganut Penemuan Hukum selalu harus dilakukan


Prof. Mr. Pitlo67 antara lain mengemukakan bahwa kata-kata
merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk
menyampaikan isi pikiran dari seseorang yang terpelajar. Berpikir
merupakan pembicaraan yang dilakukan dengan dirinya sendiri,

67 Achmad Ali. Opcit Hlm. 147


178
di mana berbicara dengan diri sendiri merupakan sesuatu yang
tidak dapat diabaikan. Berpikir tajam adalah merumuskan
secara tajam. Dengan demikian siapa saja yang mengatakan:
”saya tahu, tetapi saya tidak dapat mengatakannya dengan
baik”’ adalah merupakan omong kosong. Mengapa? Karena
kalau seseorang mengatakan ia tahu, berarti ia telah
menjelaskan pada dirinya sendiri dengan kata-kata. Jadi
tepatlah kalau kita tiba pada kesimpulan bahwa bahasa
senantiasa terlalu miskin bagi pikiran manusia yang sangat
bernuansa. Satu kata sering mempunyai seratus makna. Apa
yang dimaksud kalau kita mengatakan seseorang itu ”miskin”?
1001 arti bisa muncul. Apakah ”miskin secara ekonomis”?
Ataukah ”miskin secara akhlak ”? Ataukah ”miskin secara
ilmu”? dan seterusnya. Lantas miskin akan berkelanjutan, apa
kriteria ”miskin secara ekonomis”? Apa kriteria ”miskin secara
akhlak ”? Apa kriteria ”miskin secara ilmu”? dan seterusnya.
Tampaklah bahwa bahasa merupakan alat yang sering telah
menimbulkan kekacauan dalam pembicaraan yang dilakukan
terhadap diri sendiri, karena sering kita mengakui bahwa kita,
diluar kesadaran, telah menggunakan satu kata untuk
menyatakan lebih dari satu pengertian, sehingga pikiran kita
tetap saja keruh. Belum lagi kalau kita dengan perantaraan
bahasa lisan maupun tulisan berusaha memindahkan pikiran
kita kepada orang lain yang mungkin memberi nilai pada kata
179
yang bersangkutan, yang ternyata bertentangan dengan apa
yang dimaksudkan oleh pembicara atau penulis. Hal ini penulis
sering saksikan bahkan alami ketika menyajikan makalah
dalam forum yang pesertanya terdiri dari berbagai kalangan.
Dengan satu kalimat yang sama yang penulis kemukakan,
diartikan berbeda-beda oleh berbagai peserta 68.

3. Keputusan Hakim adalah Seni


Keputusan hakim adalah seni, berkaitan erat dengan tugas
hakim yang yang mengkonstatir, mengkualifikasi dan
mengkonstituir suatu peristiwa dengan fakta hukum.
Berkenaan dengan tugas hakim, Sudikno Mertokusumo 69
mengemukakan sebagai berikut:
a. tahap konstatir: di sini hakim mengkonstatir benar atau
tidaknya peristiwa yang diajukan. Misalnya benarkah si A
telah memecahkan jendela rumah si B, sehingga si B
menderita kerugian? Di sini para pihak (dalam perkara
perdata) dan penuntut umum (dalam perkara pidana) yang
wajib untuk membuktikan melalui penggunaan alat-alat
bukti. Dalam tahap konstatir ini kegiatan hakim bersifat logis.
Penguasaan hukum pembuktian bagi hakim, sangat
dibutuhkan dalam tahap ini.

68 Achmad Ali opcit. Hlm. 145


69 Sudikno Mertokusomo. Opcit. Hlm 91-92
180
b. tahap kualifikasi: di sini hakim kemudian mengkualifikasir
termasuk hubungan hukum apakah tindakan si A tadi?
Dalam hal ini dikualifikasir sebagai perbuatan melawan
hukum (Pasal 1365 BW).
c. tahap konstituir: di sini hakim menetapkan hukumnya
terhadap yang bersangkutan (para pihak atau terdakwa).
Di sini hakim menggunakan sillogisme, yaitu menarik
suatu simpulan dari premis mayor berupa aturan
hukumnya (dalam contoh ini pasal 1365 BW) dan premis
minor berupa tindakan si A memecahkan kacajendela si B.
Proses penemuan hukum oleh hakim dimulai pada tahap
kualifikasi dan berakhir pada tahap konstituir. Hakim
menemukan hukum melalui sumber-sumber hukum yang
tersedia. Dalam hal ini tidak menganut pandangan legisme yang
hanya menerima undang-undang saja sebagai satunya-satunya
hukum dan sumber hukum. Sebaliknya di sini, hakim dapat
menemukan hukum melalui sumber-sumber hukum: undang-
undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, putusan desa, doktrin,
hukum agama, dan bahkan keyakinan hukum yang dianut oleh
masyarakat. Dalam kaitan ini, Cardozo menyatakan bahwa:
”My duty as judge say be to objectify in law, not my own aspirations and
convictions and philosophies, but the aspirations and convictions and
philosophies of the men and women of my time. Hardly shall I do this well

181
if my own symphathies and beliefs and passionate devotions are with a
time that is past”.
Jadi bagi Cardozo, kewajibannya sebagai hakim untuk
menegakkan objektivitas melalui putusan-putusannya. Bagi
Cardozo, putusan-putusannya tidaklah merupakan perwujudan
aspirasi pribadinya, tidak merupakan manifestasi dari pendirian
pribadinya dan tidak merupakan penerapan falsafah pribadinya;
malahan perwujudan dari aspirasi, pendirian dan falsafah warga
masyarakat pada waktu dan di mana putusan itu dijatuhkan
(Achmad Ali, 2002:146)
Kreativitas dalam melaksanakan tugas hakim, yang
merupakan seni dalam mengkonstatir, mengkualifikasi dan
mengkonstituir tidak hanya berdasarkan fakta dan keyakinan
hakim semata, melainkan harus dapat diterima umum, yakni
sesuai dengan living law. Di Republik ini banyak Putusan Hakim
yang kontroversial. Misalnya bandingkan vonis Tomy Soeharto
dengan Maulawarman dan Noval Hadad. Mereka yang hanya jadi
eksekutor di ”lapangan”, diganjar pidana penjara seumur hidup
oleh hakim yang sama. Mengapa Tommy Soeharto yang
kejahatannya berakumulasi, hanya diganjar 15 tahun penjara,
serta berbagai putusan hakim yang kontroversial mengenai
pembalakan liar.
Dalam memilih putusan mana yang akan dijatuhkan yang
penting bukan sekedar dipenuhi tidaknya prosedur tertentu
182
menurut undang-undang, tetapi yang penting menurut
Apeldoorn ialah justru setelah putusan itu dijatuhkan yaitu dapat
tidaknya putusan yang akan dijatuhkan itu diterima, baik
menurut persyaratan keadilan maupun persyaratan konsistensi
sistem. Pilihan itu ditentukan oleh pandangan pribadi hakim
tentang pertanyaan putusan mana yang paling dapat diterima
terutama oleh para pihak yang bersangkutan dan oleh
masyarakat70.
Simak putusan hakim Amiruddin Zakaria didasarkan pada
kemampuan dalam penafsiran hukum dan kapasitas intelektual,
yang terdeskripsi dalam pernyataan hakim Amirudin Zakaria
yang termuat dalam harian nasional sebagai berikut:
”Tommy Soeharto, Maulawarman, dan Noval Hadad sama-sama
dituntut 15 tahun penjara. Tapi hukumannya bisa berbeda. Mengapa ?
karena selain berpegang pada fakta di persidangan, kami juga berpegang
teguh pada Undang-Undang Pokok Kekeuasaan Kehakiman. Pada Pasal
27 undang-undang ini, disebutkan perlunya pertimbangan asas
kepribadian ketika hakim menjatuhkan hukuman. Jadi, jika dua orang
melakukan kehajatan yang sama, tak otomatis hukumannya juga sama.
Ada contoh yang gampang dipahami Seorang maling kelas kakap adan
seorang tokoh masyarakat sama-sama melakukan pencurian.
Hukumannya bisa saja berbeda. Hukuman untuk pencuri, hukuman
adalah hal yang biasa saja, sedangkan bagi tokoh masyarakat dikurung

70 Sudikno Mertokusumo Opcit Hlm 91


183
seminggu saja sudah sangat berat. Dengan pertimbangan seperti ini saya
yakin masyarakat akan menilai, vonis terhadap Tommy sudah setimpal”.
Menurut Achmad Ali 71 contoh yang menurut Hakim
Amiruddin Zakaria ”gampang dipahami”, justru menjadi ”sulit
dipahami” jika kita bercermin pada ”rasa keadilan masyarakat”
dan ”logika hukum”. Dan justru sebaliknya, dengan ”rasa
keadilan masyarakat” malah menyakini hukuman terhadap
Tommy teramat sangat tidak setimpal. Andaikata pemikiran
Hakim Amiruddin Zakaria itu juga merupakan pemikiran para
hakim lain yang mengadili kasus-kasus korupsi ”kelas kakap”,
nicaya para koruptor ”kelas kakap” yang tentunya adalah ”tokoh-
tokoh masyarakat” akan tertawa terbahak-bahak, karena hanya
akan divonis lebih ringan dari pada satu minggu kurungan,
karena kalau sudah satu minggu kurungan, sudah sangat berat.
Dan bersiap-siaplah para pencuri ayam dan para ”pencuri teri”
lainnya untuk diganjar hukuman seberat-beratnya, karena
menurut ”falsafah” diatas adalah memang teramat pantas untuk
mereka. Dan jika pemikiran seperti itu juga menulari para hakim
lain yang menangani kasus-kasus ”korupsi kelas kakap”, niscaya
hanya kesia-sialah setiap hari segala pidato mengenai
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.

71 Achmad Ali Opcit Hlm 68-69


184
Lebih lanjut dinyatakan bahwa: Kalau ”wabah pandangan
keliru” seperti yang telah menjangkiti semua penegak hukum
itu, niscaya meskipun penguasa silih berganti, tetapi penegakan
hukum di Indonesia pasti akan semakin terpuruk. Dan jangan
lupa, suka atau tidak suka, keterpurukan hukum membawa
dampak negatif terhadap sektor kehidupan lain, termasuk sektor
perekonomian. Semaksimal apapun yang diupayakan dalam
sektor ekonomi oleh para pakar ekonomi kita, toh akan sia-sia
saja. Kalau filosofi Hakim Amiruddin Zakaria yang dianut, maka
menjadi kenyataanlah sinisme ayang berasal dari abab 1 SM :
”Laws are spider webs; they hold the weak and delicate who are
caugh in their meshes, but are torn in pieces by the rich and
powerful” (Hukum adalah jaringan laba-laba, yang hanya
mampu menjerat yang lemah, tetapi akan robek jika menjerat
yang kaya dan kuat).
Dalam rangka aktualisasi putusan hakim sebagai upaya
kratifitas yang dikategorikan sebagai seni dalam membuat
keputusan patut memperhatikan tugas pengadilan sebagaimana
dikemukakan oleh Harry C. Bredemeier72 sebagai berikut:
a. Analisis tentang hubungan sebab akibat. Di mana pengadilan
membutuhkan suatu cara untuk memastikan:

72 Achmad Ali. 1999. Pengadilan dan Masyarakat. Hasanudin University

Press. Ujung Pandang. Hlm 10


185
1) ”hubungan masa lalu” antara tindakan yang diduga telah
dilakukan oleh tergugat (terdakwa) dan kerugian yang
diduga diderita oleh penggugat (penuntut).
2) “kemungkinan di masa depan” hubungan antara putusan
dan aktivitas-aktivitas tergugat dan penggugat(dan
seluruh person dalam situasi yang serupa).
b. Pengadilan membutuhkan suatu konsep dari apa yang
oleh”pembagian kerja” adalah apa tujuan dari sistem-sistem
yang ada, apa usaha negara untuk menciptakan atau
mempertahankan pelaksanaan kekuasaan. Dengan perkataan
lain ada kebutuhan-kebutuhan standar untuk mengevaluasi
tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan dan
mengantisipasi efek-efek dari suatu putusan terhadap struktur
peran.
c. Adanya kemauan dari para pihak untuk menggunakan
pengadilan sebagai mekanisme penyelesaian konflik mereka.
Motivasi untuk menerima pengadilan dan menaati
putusannya adalah suatu “masukan” dari sistem “pattern–
maintenance” (mempertahankan pola) atau sistem sosial dan
“keluaran balik” yang dilakukan dengan segera oleh
pengadilan adalah apa yang dinamakan “keadilan”.
Sebenarnya putusan hakim itulah hukum dalam arti
sebenarnya dalam perkara konkrit yang diperiksa hakim.
Undang-undang, kebiasaan, dan seterusnya hanya ”pedoman”
186
dan ”bahan inspirasi”bagi hakim untuk membentuk hukumnya
sendiri. Hal ini selaras dengan apa yang pernah dikemukakan oleh
hakim terkenal dari Amerika Serikat, Cardozo (dalam
karangannya yang termasyhur: The Nature of judicial process)
bahwa: ”The law which is resulting product is not found but made. The
process in its highest reaches is not discovery, but creation.”
Hakim bekerja akan menghadapi antimoni antara
“keadilan” dan “kepastian hukum”. Idealnya putusan hakim
harus mengandung ketiga unsur “idee des recht” yaitu keadilan
(gerechtigheld), kemanfaatan (zweckmassigheld) dan kepastian
hukum (rechtssicharheld) secara proporsional. Namun dalam
praktek, umumnya hakim akan memberi titik berat terhadap
salah satu unsur. Dalam hal ini teori hukum mendukung
dimungkinkannya hakim mengambil keputusan secara otonom,
karena ia bukan ”le bouche de la lois” (hakim adalah corong UU),
melainkan juga ”la bouche de la societe” (hakim adalah corong
masyarakat). Idee des recht tersebut merupakan teori yang di
kemukakan oleh Gustav Radbruch yaitu suatu putusan
pengadilan dikatakan ideal jika putusan tersebut mengandung
unsur keadilan, kemanfaatan (bagi masyarakat dan yang
bersangkutan) dan kepastian hukum secara proporsional.
Untuk menciptakan keseimbangan antara ketiga unsur itu,
merupakan seni tersendiri bagi hakim, apakah lebih
memperhatikan unsur keadilan atau yang lain. Oleh karena itu
187
hakim dalam memutuskan perkara dengan menggunakan
rasional juga dengan kecerdasan emosionalnya. Seni yang
digunakan tersebut didasarkan pada ilmu hukum, namun hasil
putusannya bukan sebagai ilmu tetapi sebagaai hukum dan
sumber hukum.
Kemampuan hakim menggunakan rasional dan
kecerdasan emosional dalam penerapan undang-
undang/hukum pada kasus konkret merupakan seni. Namun
kemampuan hakim tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor
non hukum, seperti latar belakang, pendidikan, dan lain-lain
yang menurut Satjipto Rahardjo bahwa putusan hakim
ditentukan oleh sarapan paginya.
"Les chases out toujours du se passer ainsi, depuis, des millenaires gully a des
juges, et gui pensent. (Demikianlah senantiasa telah terjadi bahwa selama
ribuan tahun, dituntut adanya para hakim yang berfikir)".(Cartonnier)

188
BAB X
METODE PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM

Penemuan hukum adalah pembentukan hukum oleh hakim atau


aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan
peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit, juga
merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan
hukum yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa
konkrit tertentu, jadi dalam penemuan hukum yang penting
adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya
untuk peristiwa konkrit.

A. Latar belakang
1. Menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 4/2004)
mengharuskan hakim untuk memeriksa dan memberi
keputusan atas perkara yang diserahkan kepadanya dan tidak
diperbolehkan menolak dengan alasan tidak lengkap atau
tidak jelas pengaturannya.
2. Dalam hal demikian dalam Pasal 28 UU 4/2004 menyebutkan
bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
189
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Hal ini berarti seorang hakim harus
memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan
hukum (rechtsvinding). Rechtsvinding merupakan proses
pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum
lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa
hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi
dasar baginya untuk mengambil keputusan.
3. Hal ini sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009)
yang berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.”
4. Juga dengan Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang berbunyi:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.”
Contoh penemuan hukum oleh hakim: Oleh Bismar Siregar
Penegakan hukum yang selama ini terjadi seolah
menyindir kita bahwa mungkin ada yang keliru dalam cara kita
berhukum. Hal ini nampak dari bekerjanya para penegak hukum,

190
seperti polisi, jaksa, pengacara bahkan hakim di Pengadilan, di
mana hukum dimaknai hanya sekedar sebagai seperangkat
peraturan hukum positif yang tercerabut dari pemahaman aspek
filosofis dan sosiologisnya, sehingga gambar hukum yang tampil
tidak utuh, dan hanya sebuah fragmen.
Para penegak hukum beranggapan, jika telah
menyelenggarakan hukum sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab
hukum, seolah-olah pekerjaan pencarian keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum, sebagai tujuan hukum sudah selesai.
Hukum yang dimaknai law in book, mengakibatkan banyak
muncul kasus yang mencerminkan kondisi bahwa keadilan
substansial telah teralienasi dari hukum. Hukum tidak membumi,
bahkan menciderai rasa keadilan dan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.
Contoh kasus yang sangat fenomenal adalah kasus Radja
Sidabutar (RS), lelaki ini divonis tiga bulan penjara dengan masa
percobaan oleh Pengadilan Negeri Medan. Ia dinilai terbukti
berbuat cabul dengan seorang gadis di bawah umur, seperti diatur
Pasal 293 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau
barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari
hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja

191
menggerakkan seorang belum dewasa dan baik
tingkahlakunya untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang
belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus
diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang
terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini
adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
Pasal 74 KUHP sebagaiberikut:
(1) Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan
sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya
kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam
waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.
(2) Jika yang terkena kejahatan berhak mengadu pada saat
tenggang waktu tersebut dalam ayat 1 belum habis, maka
setelah saat itu, pengaduan masih boleh diajukan hanya
selama sisa yang masih kurang pada tenggang waktu tersebut.
Faktanya, ditingkat banding, terbukti perbuatan itu
dilakukan suka sama suka. Dan keduanya telah dewasa, (karena
terbukti gadis yang dicabuli itu tak memenuhi unsur di bawah

192
umur melainkan berumur 21 tahun), secara formal, RS memang
bias lepas. Alasan korban (gadis) bahwa dia melakukan zina
karena rayuan dan janji akan dinikah, ternyata tidak menjadikan
hakim di tingkat pertama dapat menjerat RS dengan hukuman
yang berat.
Dalam tingkat banding, seorang hakim progresif, yaitu
Bismar Siregar, memutuskan RS tak bisa bebas begitu saja. RS
dinilai oleh hakim Bismar terbukti melakukan penipuan, klop
dengan Pasal 378 KUHP.RS diganjar tiga tahun penjara.
Pasal 378 KUHP sebagai berikut:
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi
hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena
penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Bismar menilai perbuatan RS memenuhi semua unsur
melawan hukum dalam pasal penipuan.Sebutlah unsur
berbohong: Buktinya, RS sudah beristri. RS juga beragama Kristen,
sehingga tak bisa poligami. Tapi, RS justru menjanjikan akan
menikahi gadis tersebut.

193
Bismar juga menyatakan terbuktinya unsur "barang".
Logikanya, menurut Bismar, dalam sebuah perkara penipuan, ada
niat si pelaku memindahkan barang yang bukan hak seperti itu.
Adapun objek "barang" yang diberikan dalam perkara ini, kata
Bismar, adalah kenikmatan yang dirasakan Radja ketika
bersetubuh. (Bukan alat kelamin si perempuannya). Walaupun,
yang bisa disentuh dan dirasakan secara wujud memang hal itu.
Dari peristiwa tersebut, hakim Bismar melihat ada niat pelaku
untuk menipu.
Putusan Bismar yang menjerat kasus RS dengan pasal
penipuan, diakui sebagai terobosan hukum. Hakim Bismar yang
terus berkontemplasi bahwa perbuatan zina dari RS dan juga
kerugian yang diterima oleh si gadis, tidak bisa dibiarkan tanpa
hukuman, Bismar mengatakan bahwa dia berpegang pada prinsip
nilai-nilai Islam. Jangankan melakukan zina, mendekati pun
sudah dihukum. Jadi, bagi hakim Bismar Siregar, apa pun
alasannya, perzinahan dan perbuatan merugikan orang lain itu
harus ada hukumannya bagi pelaku.
Penafsiran Bismar ini bertahan hingga 1990. Putusannya
dibatalkan di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung. Walau
demikian Hakim Bismar Siregar telah melakukan suatu lompatan
out of the box dalam bangunan hukum Indonesia, dan pada saat

194
hakim Bismar sebagai ketua Komisi Harmonisasi Hukum Islam
dalam Rancangan KUHP, Bismar Siregar memperjuangkan
terobosan itu agar masuk dalam rancangan KUHP baru.
Kapan Penemuan Hukum diperlukan? Ada dua aliran pemikiran:
1. Penganut Doktrin “Sen-clair”
Aliran ini berpendapat penemuan hukum dibutuhkan apabila:
a. Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto,
atau
b. Peraturan sudah ada tetapi belum jelas.
Jadi dua syarat di atas harus ada jika hakim akan melakukan
penemuan hukum. Apabila 2 syarat di atas tidak ada, maka
penemuan hukum oleh hakim tidak ada.
2. Penemuan Hukum harus selalu dilakukan.
Hakim selalu dan tidak pernah tidak melakukan penemuan
hukum.

B. Jenis-Jenis Metode Penemuan Hukum Oleh Hakim


Secara tehnikal ada dua jenis metode penemuan hukum yaitu:
Metode Interpretasi dan Metode Konstruktif Hukum.
1. Metode Interpretasi
Mengapa perlu interpretasi? karena di dalam UU mempunyai
2 makna secara tersurat/jelas tercantum maksudnya (literal

195
legis) dan ada yang tersirat/ tersembunyi maksudnya (sintentia
legis).
Jadi metode interpretasi hukum adalah metode untuk
menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak
jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan
terhadap peristiwa konkret tertentu.
Adapun jenis-jenis Metode Interpretasi adalah :
a. Interpretasi Subsumptif
Interpretasi Subsumptif adalah hakim menerapkan
teks atau kata-kata suatu ketentuan undang-undang
terhadap fakta kasus tanpa menggunakan penalaran sama
sekali dan hanya sekedar menerapkan silogisme dari
ketentuan tersebut. Disini hakim hanya menerapkan
ketentuan pasal undang-undang yaitu mencocokkan fakta
kasus dengan ketentuan undang-undang yang dilanggar.
Contoh:
Barang siapa mencuri dihukum (peraturan/premis
mayor).
Dewi mencuri burung (peristiwanya/premis minor).
Kesimpulannya: karena Dewi mencuri burung, maka Dewi
harus dihukum.

196
Penerapan suatu teks perundang-undangan
terhadap kasus dengan cara mengambil kesimpulan dari
hal-hal yang bersifat umum (premis mayor) dengan hal-
hal yang bersifat khusus (premis minor).
Contoh:
Barang siapa yang mengambil seluruh atau sebagian milik
orang lain dengan cara melawan hukum adalah tindak
pidana pencurian (premis mayor), Reiva mengambil radio
milik orang lain tanpa bilang-bilang (premis minor),
kesimpulannya Reiva melakukan tindak pidana
pencurian.
b. Interpretasi Gramatikal
Interpretasi Gramatikal adalah menafsirkan kata-
kata yang ada dalam undang-undang sesuai dengan
kaidah tata bahasa. Teks atau kata-kata dari suatu
peraturan dicari maknanya yang oleh pembentuk undang-
undang digunakan sebagai simbol terhadap peristiwa.
Misalnya, ketentuan pasal 101 KUHPidana tentang hewan,
yaitu binatang ternak yang dipelihara.
Contoh:
Istilah menggelapkan, dalam pasal 41 KUHP ditafsirkan
dengan menghilangkan. Atau contoh lain, istilah

197
meninggalkan anak, dalam pasal 305 KUHP ditafsirkan
dengan menelantarkan.
c. Interpretasi Historis
Interprestasi secara historis yaitu menafsirkan
Undang-undang dengan cara meninjau latar belakang

sejarah dari pembentukan atau terjadinya peraturan


undang-undang yang bersangkutan.
Dalam ilmu hukum interpretasi historis dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu:


1) Penafsiran menurut sejarah penetapan suatu undang-
undang (Wethistoirsche interpretatie) yaitu penafsiran

Undang-undang dengan menyelidiki perkembangan


suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-
perdebatan yang terjadi dilegislatif, maksud

ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk


Undang-undang pada waktu pembentukannya.
Interpretasi menurut sejarah undang-undang ini

disebut juga interpretasi subjektif karena penafsiran


rnenempatkan pada pandangan subjektif pembuat
undang-undang.

198
Dengan demikian interpretasi menurut sejarah
undang-undang merupakan lawan dari interpretasi
gramatikal yang disebut sebagai metode penafsiran

objektif.
2) Penafsiran menurut sejarah hukum (Rechts
historische interpretatie) adalah suatu penafsiran yang

dilakukan dengan cara memahami undang-undang


dalam konteks sejarah hukum.
Pemikiran yang mendasari diterapkannya metode

interpretasi ini adalah anggapan bahwa setiap undang-


undang selalu merupakan reaksi dari kebutuhan sosial
yang memerlukan pengaturan.

Setiap pengaturan dapat dipandang sebagai langkah


dalam perkembangan sosial masyarakat sehingga
langkah itu maknanya diketahui. Hal ini meliputi

semua lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan


undang-undang.
d. Interpretasi Sistematis
Interpretasi Sistematis (logis) adalah metode yang
menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan
menghubungkannya dengan peraturan hukum (undang-

199
undang lain) atau dengan keseluruhan sistem hukum.
Dalam menafsirkan peraturan perundangannya tidak
boleh keluar atau menyimpang dari sistem perundangan

suatu negara.
Contoh:

Arti kata dewasa di dalam KUHP tidak ada tetapi di dalam


KUHPerdata ada, jadi kita bisa menafsirkannya dengan
KUHPerdata.

Contoh lain:
Apabila hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak
yang dilahirkan dari pernikahan orang tuanya, hakim

tidak cukup mencari ketentuan dalam KUH Perdata saja,


tetapi juga harus dihubungkan dengan pasal dalam KUH
Pidana.
e. Interpretasi Sosiologis atau Teleologis
Interpretasi sosiologis atau teolologis adalah
menafsirkan makna atau undang-undang untuk

diselaraskan dengan kebutuhan atau kepentingan warga


masyarakat.
Dengan lebih sederhana pengertian metode

sosiologis atau teleologis dapat dikemukakan yaitu

200
merupakan upaya menyesuaikan peraturan perundang-
undangan dengan hubungan dan situasi sosial yang
baru.Keadaan undang-undang yang sebenamya sudah

tidak sesuai lagi dengan zaman dijadikan alat untuk


menyelesaikan sengketa yang terjadi pada saat sekarang.

Contoh:
Pada bulan Maret 1995, Hakim di Pengadilan Negeri di
Jakarta pusat menghukum 4 tahun penjara terhadap

seorang warga Negara Belanda, karena terbukti


mengedarkan pil ecstasy yang membahayakan kesehatan
dan merusak moral masyarakat. Hakim menerapkan

ketentuan pasal 81 ayat (2) butir c Undang-undang nomor


23 Tahun 1992 tentang kesehatan. Padahal; pil ecstasy
belum digolongkan jenis obat daftar G, atau obat keras

yang dilarang beredar atau diperjual belikan tanpa resep


dokter.Disini hakim bermaksud melindungi kepentingan
masyarakat, sebab pil ecstasy ternyata berakibat merugikan

kesehatan dan moral warga masyarakat (khususnya kaum


muda).

201
f. Interpretasi Komparatif
Interpretasi komparatif adalah membandingkan
antara berbagai sistem hukum yang ada di dunia, sehingga

hakim bisa mengambil putusan yang sesuai dengan


perkara yang ditanganinya. Jadi, Interpretasi Komparatif
atau penafsiran dengan jalan memperbandingkan, yaitu

menjelaskan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan


memperbandingkan, hendak dicari kejelasan mengenai
suatu ketentuan undang-undang. Terutama bagi hukum

yang timbul dari perjanjian international, ini menjadi


penting, karena dengan pelaksanaan yang seragam
direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian

internasional sebagai hukum objektif atau kaedah hukum


untuk beberapa Negara. Di luar hukum perjanjian
internasional kegunaan metode ini terbatas.
g. Interpretasi Futuristik
Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum
yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-
undang dengan berpedoman pada undang-undang yang

belum mempunyai kekuatan hukum.sebagai contoh


adalah ketika hakim hendak memutus suatu perkara

202
hakim sudah membayangkan bahwa undang-undang
yang digunakan akan segara diganti dengan undang-
undang baru yang masih menjadi rancangan undang-

undang.
Untuk mengantisipasi perubahan itu, hakim

berfikir futuristis jika ternyata rancangan undang-undang


itu disahkan maka putusan ini akan berdampak berbeda,
oleh karena itu hakim memutus berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan lain di luar undang-undang


yang berlaku saat itu.
Interpretasi ini mempunyai banyak kekurangan

karena tidak adanya jaminan bahwa RUU yang akan


menggantikan undang-undang terkait benar-benar
disahkan atau tidak, semua hanya bergantung pada

keyakinan hakim saja.


h. Interpretasi Restriktif vs Ekstensif
Jika ditinjau dari hasil penemuannya, suatu

penafsiran undang-undang dapat dibedakan ke dalam


interpretasi restriktif dan ekstensif.
Interpretasi restriktif adalah sebuah perkataan

diberi makna sesuai atau lebih sempit dari arti yang

203
diberikan pada perkataan itu dalam kamus atau makna
yang dilazimkan dalam pada perkataan itu dalam kamus
atau makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari-

hari, sedangkan interpretasi ekstensif adalah sebuah


perkataan diberi makna lebih luas ketimbang arti yang

diberikan pada perkataan itu menurut kamus atau makna


yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.
Jadi Interpretasi restriktif adalah penafsiran yang

sifatnya membatasi suatu ketentuan undang-undang


terhadap peristiwa konkret.Disini hakim membatasi
perluasan berlakunya suatu undang-undang terhadap

peristiwa tertentu untuk melindungi kepentingan umum.


Contoh Interpretasi restriktif: kata “tetangga“ dibatasi
sebagai orang yang memiliki itu rumah, dan anak kost

tidak disebut tetangga karena anak kost hanya sebagai


penyewa.
Contoh interpretasi ekstensif kata “tetangga“ diperluas

sebagai orang yang memiliki itu rumah dan anak kost juga
termasuk sebagai tetangga.

204
C. Metode Konstrusi Hukum
Konstruksi Hukum adalah penalaran logis untuk
mengembangkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang

tidak lagi berpegang pada kata-katanya, tetapi tetap harus


memperhatikan hukum sebagai suatu sistem.
Jadi, Metode Konstruksi Hukum, yaitu metode untuk

menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian hukum bukan


untuk menjelaskan barang. Pengertian hukum yang dimaksud
adalah yang merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyusun

bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk


bahasa dan istilah yang baik. Menyusun yang dimaksud ialah
menyatukan apa yang termasuk dalam satu bidang yang sama,

satu pengertian yang sama dan dipengaruhi oleh waktu tertentu


serta keadaan tertentu.
Tujuan Kostruksi Hukum adalah agar putusan hakim

dalam peristiwa konkret dapat memenuhi tuntutan keadilan, dan


kemanfaatan bagi pencari keadilan. Contoh: istilah pencurian

adalah suatu kontruksi hukum, suatu pengertian tentang


mengambil barang dengan maksud untuk memiliki secara
melawan hukum.

205
Metode argumentasi hukum disebut juga dengan metode
penalaran hukum. Digunakan apabila undang-undangnya tidak
lengkap, maka untuk melengkapinya digunakan metode

argumentasi.Karena hakim sebagai penegak hukum wajib


menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang

hidup dalam masyarakat, oleh karena itu seorang hakim harus


memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum
(rechtsvinding).Rechtsvinding merupakan proses pembentukan

hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam


penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang
konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar baginya untuk

mengambil keputusan. Oleh karena itu, maka hakim dapat


melakukan konstruksi dan penghalusan hukum.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam Konstruksi

Hukum antara lain:


a. Hakim meninjau kembali sistem material yang mendasari
lembaga hukum yang dihadapinya sebagai pokok perkara;

b. Berdasarkan sistem itu, hakim kemudian berusaha


membentuk suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) baru
dengan cara membandingkan beberapa ketentuan di dalam

206
lembaga hukum yang bersangkutan, yang dianggap memiliki
kesamaan-kesamaan tertentu;
c. Setelah pengertian hukum itu dibentuk, maka pengertian

hukum itulah yang digunakan sebagai dasar untuk


mengkonstruksi suatu kesimpulan dalam penyelesaian

perkara.
Pada dasarnya, konstruksi hukum dinamakan analogi,
tetapi di dalam ilmu hukum dikembangkan beberapa bentuk

konstruksi hukum yang sebenarnya merupakan variasi dari


analogi itu, yaitu konstruksi Penghalusan Hukum dan konstruksi
Argumentum a Contrario.
1. Metode Konstruksi Analogi (argumentum per analogiam)
Metode ini berarti memperluas peraturan perundang-
undangan, yang terlalu sempit ruang lingkupnya, dan
diterapkan pada peristiwa yang diatur undang-

undang.Metode analogi sering digunakan dalam perkara


perdata.Analogi merupakan metode penemuan hukum dalam
hal hukumnya tidak lengkap, jadi merupakan pengisian atau

penciptaan hukum baru dan bukan sebagai bentuk penafsiran.


Analogi adalah proses konstruksi yang dilakukan
dengan cara mencari rasio legis (genus) dari suatu undang-

207
undang dan kemudian menerapkannya kepada hal-hal lain
yang sebenarnya tidak diatur oleh undang-undang itu.
Dalam analogi, hakim memasukkan suatu perkara ke

dalam lingkup pengaturan suatu peraturan perundang-


undangan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk

menyelesaikan perkara yang bersangkutan.


Hal ini dikarenakan adanya kesamaan unsur dengan
perkara atau fakta-fakta yang dapat diselesaikan langsung

oleh peraturan perundang-undangan yang sudah


ada.Berdasarkan anggapan itulah hakim kemudian
memberlakukan peraturan perundang-undangan yang sudah

ada pada perkara yang sedang dihadapinya. Dengan kata lain,


penerapan suatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada
dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur

dengan ketentuan hukum tadi, tapi penampilan atau bentuk


perwujudannya (bentuk hukum) lain.
Jadi, dengan konstruksi analogi, seorang ahli hukum

memasukkan suatu perkara ke dalam lingkup pengaturan


suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak
dibuat untuk menyelesaian perkara yang bersangkutan.

208
Tetapi harus diingat: Penerapan hukum dengan analogi
hanya dapat dilakukan dalam kasus-kasus hukum perdata.
Hukum pidana tidak mengenal analogi karena hal demikian

bertentangan dengan asas pokok hukum pidana yaitu “tiada


pidana tanpa ketentuan perundang-undangan yang

menetapkannya terlebih dahulu” (nullum crimen sine lege).


Karena di dalam pidana jika digunakan konstruksi analogi
akan menciptakan delik baru.
2. Metode Konstruksi Penghalusan Hukum/Penyempitan
Hukum/ Pengkonkritan Hukum (rechtsverfijning)
Metode ini bertujuan untuk mengkonkretkan atau
menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, luas,
dan umum, supaya dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa

tertentu.contoh: perbuatan melanggar hukum, yang luas


ruang lingkupnya dipersempit seperti masalah ganti kerugian,
yurisprudensi menetapkan bahwa kalau ada kesalahan pada

yang dirugikan, hanya dapat menuntut sebagian kerugian


yang diakibatkan olehnya.
Seorang ahli hukum beranggapan bahwa dalam

menyelesaikan suatu perkara, peraturan perundang-

209
undangan yang ada dan yang seharusnya digunakan untuk
menyelesaikan perkara, ternyata tidak dapat digunakan.
Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan

hukum tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan


ketidakadilan yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis

itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain


apabila hendak dicapai keadilan. Jenis konstruksi ini
sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari konstruksi

analogi, sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup


berlaku suatu peraturan perundang-undangan, maka di lain
pihak Penghalusan Hukum justru mempersempit lingkup

berlaku suatu peraturan perundang-undangan (bersifat


restriktif).
3. Metode Argumentum a Contrario
Metode Konstruksi argumentum a contrario yaitu

merupakan metode konstruksi yang memberikan perlawanan


pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan

peristiwa yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan


perlawanan ini ditarik suatu kesimpulan bahwa perkara yang
dihadapi tidak termasuk kedalam wilayah pasal tersebut.

210
Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan
peraturan perundang-undangan yang ada seperti pada
kegiatan analogi, yaitu menerapkan suatu peraturan pada

perkara yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk


diselesaikan oleh peraturan itu. Perbedaannya adalah dalam

analogi hakim akan menghasilkan suatu kesimpulan yang


positif, dalam arti bahwa ia menerapkan suatu aturan pada
masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan pada

konstruksi Argumentum a Contrario hakim sampai pada


kesimpulan yang negatif, artinya ia justru tidak mungkin
menerapkan aturan tertentu dalam perkara yang sedang

dihadapinya.
4. Metode Fiksi Hukum
Metode fiksi hukum adalah sesuatu yang khayal yang
digunakan didalam ilmu hukum dalam bentuk kata-

kata,istilah-istilah yang berdiri sendiri atau dalam bentuk


kalimat yang bermaksud untuk memberikan suatu pengertian

hukum.
Fungsi dari fiksi hukum disamping untuk memenuhi
hasrat menciptakan stabilitas hukum,juga utamanya untuk

mengisi kekosongan undang-undang. Atau fiksi hukum itu

211
bermaksud untuk mengatasi konflik antara tuntutan-tuntutan
baru dengan sistem hukum yang ada.
Contoh: anak yang berada dalam kandungan seorang

wanita, dianggap telah dilahirkan, jika kepentingan anak


menghendakinya. Apabila bapak si anak wafat, anak tersebut

tidak akan kehilangan hak kewargaannya, anak itu


mempunyai hak atas warisan ayahnya. Tujuannya adalah
untuk menghemat kata-kata yang digunakan dalam merumus

kaidah hukum, sehingga dari satu pengertian akan


mengandung pengertian yang lebih luas. Hendaknya ahli
hukum menjauhkan dari pembentukan hukum yang khayal

berusaha menyingkirkan istilah dan kalimat hukum yang sulit


dipahami masyarakat, karena hukum itu bukan kesenian. Jadi,
anak yang berada di dalam kandungan dianggap ada (hak-

haknya atau ahli waris) ketika kepentingan si anak


menghendaki (telah lahir), tetapi jika anak itu kemudian mati
sewaktu di dalam kandungan/saat melahirkan, maka anak itu

dianggap tidak pernah ada.

212
BAB XI
MAZHAB, ALIRAN DAN TEORI HUKUM

A. Mazhab Hukum Alam


Hukum alam atau hukum kodrat (natural law) adalah
hukum berlaku bagi semua orang, tanpa dibatasi waktu dan
tempat. Hukum alam adalah hukum abadi, yang normanya
berasal dari Tuhan, alam semesta, dan akal budi manusia 73 .
Tokoh utama aliran ini adalah: Plato, Aristotels, Thomas
Aquinas, Hugo the Groot (Grotius).
Hukm Kodrat mengandung arti hukum yang merujuk
kepada keniscayaan kodrat yang telah digariskan Tuhan yang
menekankan dimensi rohaniyah, alam rohani atau metafisika.
Hal ini merujuk pada kitab suci yang menyatakan bahwa
seluruh alam semesta diciptakan dan diatur oleh Tuhan Yang
Maha Kuasa yang telah meletakan prinsip-prinsip abadi untuk
mengatur berjalannya alam semesta 74.

73 Zainal Asikin.2020. Mengenal Filsafat Hukum.Andi Yogyakarta. Hlm.


36
74 Juhaya S.Praja. 2020. Filsafat Hukum: Perbandingan antara Mazhab-

mazhab Barat dan Islam. Kencana, Jakarta. Hlm. 205-206


213
Aristoteles menyatakan bahwa hukum alam adalah
hukum yang abadi: tidak pernah berubah, tidak pernah
lenyap, berlaku dengan sendirinya. Hukum harus ditaati demi
tercapainya tujuan keadilan sebagai keutamaan moral, yang
menentukan hubungan antar sesama manusia yang meliputi
keadilan dalam pembagian jabatan, dan harta benda publik,
keadilan dalam transaksi jual beli, keadilan dalam hukum
pidana, dan keadilan dalam hukum privat 75 . Keadilan
merupakan nilai yang esensial dari hukum, bahkan keduanya
diidentikan sebagai sebuah nilai tunggal dan menyatu.
Hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menegakkan
keadilan tetapi juga berfungsi sebagai cerminan rasa keadilan
dan kedaulatan rakyat di suatu negara 76 . Ada dua macam
hukum menurut Aristoteles yaitu hukum berlaku karena
penetapan penguasa negara dan hukum yang tidak tergantung
dari pandangan manusia. Hukum kedua adalah hukum alam
hukum yang tidak tergantung dari pandangan manusia, kapan
saja dan di manapun dia berada.
Cicero ahli hukum dan negarawan Romawi ternama dalam
bukunya "de Republika" menyatakan bahwa manusia merupakan
masyarakat alam raya. Hukum merupakan ekspresi dari hakekat

Zainal Asikin. Opcit Hlm 36-37


75

Zulkarnaen. 2018. Dinamika Sejarah Hukum dari Filosofi hingga Profesi


76

Hukum. Pustaka Setia, Bandung. Hlm. 43


214
umum manusia yaitu dengan universalitas sebagai cirinya.
Manusia adalah sederajat dan kesederajatan manusia merupakan
akibat langsung dari hukum alam. Hukum alam mengatur seluruh
hukum dan manusia. "Alam" adalah alam yang meresapi alam
semesta yang dikenali dalam bentuk "akal" yang meresapi seluruh
semesta ini yang dianggap sebagai hukum dan keadilan. Lebih
lanjut Cicero menyatakan bahwa hukum yang sesungguhnya
adalah akal yang benar yang sesuai dengan alam; yang diterapkan
dimanapun, tidak berubah dan abadi, serta menuntut kewajiban
melalui perintah-perintahnya dan mencegah perbuatan yang
salah melalui larangan-larangannya. Hanya ada satu hukum yang
abadi dan tak akan berubah, yang berlaku bagi semua bangsa dan
setiap saat dan hanya akan ada satu penguasa, yaitu Tuhan, yang
membuat hukum itu, mengumumkanya dan yang akan
mengakhirinya".
Dari sisi sumber, Mazhab Hukum Alam dibedakan
dalam dua bentuk yakni: Aliran Hukum Alam Irasional dan
Rasional.
1. Hukum Alam Irasional
Tokoh aliran hukum alam irasional 77 , Thomas
Aquinas (1225-1274),John Salisbury (1115-1180), Dante
Alighieri (1265-1321), Piere Dubois (1255-),Marsilius Padua

77 Zainal Asikin. Opcit hlm 44-47


215
(1270-1340) dan William Occam (1280-1317), John Wycliffe
(1320-1384).
a. Thomas Aquinas (1225-1274)
Filsuf yang memelopori aliran Irasional antara lain
Thomas Aquinas (1225-1274). Ia terkenal dengan ajaran:
ius divinum positivum:hukum bersumber pada wahyu;
akal budi manusia terdiri dari hukum kodrat: ius
natural; hukum bangsa-bangsa: ius gentium; hukum
positif manusia: positivum humanum. Menurut Aliran
Hukum Alam: Hukum berlaku universal dan abadi
bersumber dari Tuhan secara langsung; hukum alam
berasal dari rasio Tuhan semata. Selain kebenaran akal
manusia, terdapat pengetahuan yang tidak dapat
ditembus oleh akal sehingga diperlukan iman.
Thomas Aquinas mengelompokan hukum sebagai
berikut:
1) Lex Eterna, adalah hukum abadi yang berasal dari
Tuhan karena yang abadi hanyalah Tuhan yakni
kebijaksanaan Allah yang menyatakan diri sebagai
aturan segala struktur ciptaan. Allah dipahami
sebagai hukum abadi bagi segala ciptaannya.

216
2) Lex Devina, adalah hukum yang berasal dari Tuhan
melalui Kitab-kitab suci yang diberikan kepada
Nabi, yang pada intinya merupakan hukum yang
dapat dipahami oleh rasio manusia, sehingga dapat
diketahui perbuatan yang baik maupun sebaliknya.
3) Lex Naturalis, adalah hukum alam yang pada
hakekatnya berisikan asas-asas yang bersumber
pada rasio manusia, yaitu asas primer dan asas
sekunder.
4) Lex positivis, adalah hukum yang berlaku sebagai
hukum positif, yakni hukum alam dilaksanakan
oleh manusia.
Thomas Aquinas membagi asas-asas hukum dalam dua
hal yakni:
1) Principia prima communia (hukum alam primer)
adalah norma hukum yang bersifat umum berlaku
pada semua manusia yang dimiliki sejak dilahirkan,
dan mutlak diterima.
2) Principia scundaria (hukum alam sekunder) adalah
norma yang dirumuskan dalam wujud norma-norma
yang sifatnya in abstracto. Prinsip ini merupakan
tafsiran dariprincipia prima yang dilakukan

217
manusia sehingga menjelma menjadi principia
scundaria.
b. John Salisbury (1115-1180),
Inti ajaran Joh Salisbury bahwa hukum tertulis maupun
tidak tertulis seharusnya diperhatikan dan
dilaksanakan oleh penguasa. Hukum tidak tertulis atau
hukum alam mencerminkan perintah Tuhan dan
merupakan hukum-hukum Tuhan. Menurut John
Salisbury penguasa seharusnya menjadi abdi Gereja,
dan tugas pejabat gereja membimbing atau mengawasi
penguasa agar tidak merugikan rakyat, dan seyogyanya
setiap penduduk berkerja untuk kepentingannya, maka
kepentingan masyarakat akan terpelihara.
c. Dante Alighieri (1265-1321),
Dante Alighieri menyatakan bahwa pemerintahan
dilaksanakan oleh satu tangan saja maka keadilan dapat
terwujud, karena legitimasi dari Tuhan adalah
pemerintahan yang mutlak, dan itu adalah monarki
dunia yakni Kekasairan Romawi. Dante tidak
sependapat kalau kekuasaan dunia diserahkan ke
gereja.

218
d. Piere Dubois (1255-),
Piere menentang kekuasaan dunia dilaksanakan oleh
gereja (Paus), kekuasaan ditangan raja, dan
legitimasinya langsung dari Tuhan tanpa melalui pihak
gereja, untuk itu kekuasaan gereja dicabut dan
diserahkan ke raja, yakni kerajaan Perancis yang
memegang keuasaan dengan pemberlakuan hukum
secara universal.
e. Marsilius Padua (1270-1340)
Menurut Marsilius: Negara ada untuk memakmurkan
rakyat serta memberikan ruang bagi rakyat untuk
mengembangkan dirinya secara bebas menuju
kemakmuran.Untuk itu rakyat berwenang menentukan
dan memilih pemerintahannya, kedaulatan tertinggi di
tangan rakyat. Kekuasaan raja bukanlah kekuasaan
yang absolut, melainkan menurut undang-undang.
Oleh karena itu raja harus dihukum kalau melanggar
undang-undang. Bahkan Kekuasaan negara di atas
kekuasaan Gereja (Kepausan).
f. William Occam (1280-1317),
Kebenaran menurut occam tidak dipastikan oleh ra sio
manusia, karena pengetahuan atau ide ditangkap oleh

219
rasio hanyalah nama, (nominal momen),yang
digunakan dalam hidup manusia.
g. John Wycliffe (1320-1384).
Urusan negara seharusnya tidak boleh dicampuri oleh
rohaniawan karena corak pemerintahan para
rohaniawan itu adalah corak kepemimpinan yang
paling buruk. Pemerintahan yang baik adalah
pemerintahan yang dipimpin para bangsawan.
Kekuasaan Ketuhan tidak pelu perantara
(rohaniawangereja) sehingga baik para rohaniawan
maupun orang awam sama derajatnya di mata Tuhan.
h. Johannes Huss (1369-1415).
Menurut Huss, Penguasa boleh mengambil paksa atau
merampas hak milik dari Gereja, apabila gereja salah
menggunakannya. Gereja yang sesungguhnya dibentuk
oleh orang beriman. Oleh karena itu gereja tidak perlu
mempunyai hak milik, Paus dan hirarki Gereja tidak
diadakan menurut perintah Tuhan.
2. Hukum Alam Rasional
Tokoh aliran ini adalah: Hugo de Groot/Grotius (1583 -
1645), Samuel von Pufendorf (1632-1694), Christian
Thomasius (1655-1728), Immanuel Kant (1724-1804)

220
a. Hugo de Groot/Grotius (1583-1645),
Hugo Grotius (Hugo de Groot) 78 penulis buku
Belluma Paccis (belluma=perang, paccis=damai) dan
seorang penganut humanis dan dikenal sebagai bapak
hukum internasional, menyatakan bahwa manusia
dengan akalnya memiliki kemampuan untuk mengerti
segalanya secara rasional melalui pemikirannya
men.urut hukum matematika. Manusia dapat
menyusun daftar hukum alam dengan menggunakan
prinsip-prinsip apriori yang dapat diterima secara
umum. Hukum alam tersebut dipandang sebagai
hukum yang berlaku secara riil sama seperti hukum
positif. Hak-hak alam yang ada pada manusia 79 adalah:
1. Hak untuk berkuasa atas diri sendiri, yakni ha katas
kebebasan
2. Hak untuk berkuasa atas orang lain
3. Hak untuk berkuasa sebagai majikan
4. Hak untuk berkuasa atas milik dan barang-barang.
Prinsip-prinsip hukum alam menurut Grotius 80
adalah:

78 Zainal Asikin. Opcit Hlm 38-39


79 Zainal Asikin. loccit
80 Zainal Asikin. loccit

221
1. Prinsip hak milik pribadi dan orang lain, milik
orang lain harus dijaga
2. Prinsip kesetiaan pada janji
3. Prinsip ganti rugi
4. Prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran
atas hukum alam.
Menurut Grotius sumber hukum adalah rasio
manusia, yang membedakan manusia dengan
makluk lain adalah kemampuan akalnya sehingga
seluruh kehidupan manusia harus berdasarkan
kemampuan akal/rasio itu
b. Samuel von Pufendorf (1632-1694),
Hukum Alam pertama kali diperkenalkan di Jerman
oleh Samuel von Pufendorf. Menurutnya hukum alam
adalah aturan yang bersumber dari akal pikiran yang
murni. akibatnya ketika manusia hidup dalam masyarakat
timbul pertentangan kepentingan satu dengan yang
lainnya. Agar tidak terjadi pertentangan terus-menerus
dibuatlah perjanjian secara sukarela di antara rakyat.
Melalui perjanjian itu berarti tidak ada kekuasaan yang

222
absolut. Semua kekuasaan itu dibatasi oleh Tuhan, hukum
alam, kebiasaan, dan tujuan dari negara81.
c. Christian Thomasius (1655-1728),
Thomasius, melanjutkan pekerjaan Pufendorf.
Thomasius berpendapat manusia hidup dengan
bermacam-macam naluri yang bertentangan satu dengan
yang lain. Oleh karena itu, diperlukan baginya aturan-
aturan yang mengikat agar ia mendapat kepastian dalam
Tindakan-tindakanya, baik ke dalam maupun ke luar82.
d. Immanuel Kant (1724-1804)
Immauel Kant dikenal sebagai filsuf kritis karena
merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme.
Kritisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya
dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan
batas-batas rasio. Kant menyelidiki unsur-unsur mana
dalam pemikiran manusia yang berasal dari rasio (sudah
ada terlebih dahulu tanpa dibantu oleh pengalaman) dan
mana yang murni berasal dari empiris83.

81 Ibid hlm. 47
82 Loc cit
83 Loc cit

223
B. Mazhab Sejarah
Friedrich Karl von Savigny sebagai Bapak Mazhab Sejarah
Hukum, karena karyanya yang fenomenal berjudul Vom Beruf
unsrer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft (Tantangan
Seruan Masa Kini Akan Undang-Undang dan Ilmu Hukum) pada
abad ke 19, tahun 1814. Pemikiran Savigny didasari atas pemikiran
Montesquieu yang diterbitkan pada Tahun 1748 berjudul Esprit des
Loi (Semangat Hukum) yang menyatakan bahwa ada hubungan
yang kuat antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya., juga
dipengaruhi oleh paham nasionslisme German yang timbul pada
abad ke 19 yang dikenal dengan semboyan “Deutsch uber ailes”.
Hukum yang dilandasi dan dianut suatu bangsa sangat
dipengaruhi oleh jiwa bangsa yang dipresentasikan oleh nilai-nilai
dan tatanan sosial yang ada. Nilai dan tatanan sosial itu bersifat
dinamis, sehingga berimplikasi pada dinamisnya hukum84.
Inti ajaran Savigny adalah:
1. Hukum tidak diadakan tapi ditemukan
Hukum tumbuh dan berkembang bersama dengan
masyarakat,itu hukum yang tidak tertulis (unrechtem)
bentuknya nilai atau norma-norma yang ada dan berkembang

84 Juhaya S. Praja. …….Filsafat Hukum: Perbandingan Antar Mazhab-

Mazhab Barat dan Islam. ….. Hlm. 17


224
di masyarakat. Hukum itu tidak hanya dalam bentuk undang-
undang (rechtem). Hukum unrechtem bersifat organis karena
hukum bertumbuh dan berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat. Prosesnya alami dan menjadi
bagian internal dalam interaksi masyarakat.
2. Undang-Undang Tidak berlaku secara universal
Undang-undang merupakan bentuk dari hukum secara
tertulis, ia bersifat temporal dan spesial, hanya berlaku di suatu
bangsa atau kelompok bangsa tertentu (semisal persekutuan)
dan pada kurun waktu tertentu. Oleh Savigny, setiap bangsa
dipandang mengembangkan kebiasaannya sendiri karena
mempunyai Bahasa, adat-istiadat, dan konstitusi yang khas.
Curzon mengemukakan: “Law is a special product of people’s
genius. Like language, it evolves gradually and embodies a people; it
dies away when a people loses its individuality…Law have no
universal validity; the apply solely to the nations in wich they are
created”. “Hukum merupakan produk khusus dari sekelompok
masyarakat. Seperti bahasa, hukum berkembang secara
bertahap dan merupakan representasi dari masyarakat; hukum
itu lenyap seiring dengan hilangnya identitas masyarakat
(punahnya masyarakat). Hukum tidak berlaku secara

225
universal; penerapannya terbatas pada bangsa di mana hukum
itu dibuat.”
3. Hukum manifestasi dari jiwa rakyat (volksgeist)
G. Puchta, Salah seorang murid Savigny mengemukakan
bahwa: Hukum itu bertumbuh bersama-sama dengan
pertumbuhan dan menjadi kuat bersama-sama dengan
kekuatan dari rakyat dan pada akhirnya ia mati ketika bangsa
itu kehilangan kebangsaannya. Hukum merupakan manifestasi
dari kesadaran umum masyarakat (volksgeist). Mazhab Sejarah
menolak doktrin bahwa hukum ditemukan di masyarakat, dan
juga tidak kesetujuannya atas supremasi akal dalam
pembentukan undang-undang. Bahkan dikatakan bahwa
pembentukan undang-undang tidak urgen karena adanya
kesadaran umum masyarakat (volkgeist).
Doktrin ini banyak ditentang oleh para ahli karena
mengenyampingkan fungsi hukum sebagai alat perubah dan
control sosial, menuju pencapaian keadilan.
4. Hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat/sejarah suatu
bangsa
Cicero pengacara terkenal Jaman Romawi menyatakan
bahwa Ubi Societas Ibi Ius yang artinya dimana ada masyarakat
di situ ada hukum. Hal ini bermakna bahwa hukum tidak dapat

226
dipisahkan dari hukum, karena hukum itu timbul dari adanya
interaksi yang terus-menerus dari anggota masyrakat dan
dirasakan sebagai suatu kebenaran umum, dan ketika tidak
dipatuhi merupakan suatu pelanggaran.
Mazhab Sejarah berpendirian bahwa dunia ini terdiri dari
berbagai suku dan bangsa, dan masing-masing suku dan
bangsa masing-masing memiliki kesadaran umum, jiwa bangsa
(volkgeist) yang juga berbeda-beda tempus dan lokus.Untuk itu
tidak pada tempatnya hukum itu berlaku universal dan terus
menerus tanpa batas waktu. Dalam perspektif Mazhab Sejarah
hukum bersumber dari jiwa rakyat, dan terjadinya karena
interaksi dalam pergaulan hidup dari waktu ke waktu yang
bermertamorfosis dari masyarakat yang sederhana sampai
masyarakat modern.
5. Undang-undang yang bertentangan dengan kesadaran
hukum (Volksgeit) harus dibatalkan
Volkgeist merupakan supremasi tertinggi, maka berbagai
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan
kesadaran hukum masyarakat dinyatakan tidak berlaku.
Menurut Roberth KR Hammar ajaran Mazhab Sejarahnya
von Savigny ini, dalam konteks komunitas suku atau bangsa
yang bukan negara tidak bermasalah, namun dalam konteks

227
negara akan bermasalah karena kesadaran masyarakat di setiap
komunitas suku bangsa tidak sama (norma dalam masyarakat
belum tentu sama antara satu dengan yang lainnya). Negara
memiliki supremasi untuk mengatur masyarakat, termasuk
merekayasa/mengubah kehidupan masyarakat yang tidak
sesuai dengan grundnorm yakni Pancasila, dengan
mengunakan hukum sebagai alat rekayasa masyarakat (law as
atool of social engineering).

C. Mazhab Positivisme Hukum


Hukum positif (ius constitutum) ialah hukum yang secara
faktual berlaku pada waktu dan tempat tertentu. Hukum adalah
fenomena faktual pada masyarakat; hukum adalah usaha untuk
mengidentifikasi dan menganalisis karakter dasar, prosedur,
konsep serta prinsip-prinsip yang melandasinya 85 . Istilah
positivisme berasal dari ponere yang berarti meletakkan, kemudian
menjadi bentuk pasif positus-aum yang berarti diletakkan. Dengan
demikian, positivisme menunjukkan pada sebuah sikap atau
pemikiran yang meletakkan pandangan empiris dan
pendekatannya pada sesuatu. Positivisme dalam ilmu hukum
bermakna bahwa secara faktual hukum itu dibentuk dan

85 Juhaya S. Praja ..
228
diberlakukan oleh penguasa (ruling class) dalam berbagai
tingkatan.
Tokoh positivisme antara lain: Jeremy Bentham (1748-1832).
Filsuf Anglo-American yang lahir di London ini dikenal juga
sebagai “pendiri” aliran utilitarianisme. Karyanya antara lain:
Introduction to The Principle of Moral and Legislation (1789); The
Theory of Legislation (1802). Jhon Austin (1790-1859) menyatakan
bahwa hukum adalah perintah (Command) dari pihak yang
berkuasa (Sovereign) dan memiliki sanksi bagi yang melawan
hukumnya.
Donald Black salah satu tokoh positivisme mengemukakan
bahwa dalam mengkaji hukum dipandang dari sudut realitas, dan
tidak bertumpuh pada hal-hal yang bersifat supranutural seperti
nilai dan tujuan. Paham ini hanya dengan fakta, desfaktum,
peristiwa kongret, realitas yang diamati (observable fact) dengan
panca indera. Hukum adalah apa yang terlihat dan terjadi
dilakukan dalam masyarakat. Faktanya mazhab sosiologi hukum
berangkat dari kenyataan yang jelas dari masa denominasi gereja
(teologis) dan para pendukungnya (metafisik), digantikan oleh
kaum industrialis dan intelektual, yakni kaum positivis.
Latarbelakang tumbuhnya sosiologi dalam filsafat
positivisme itu adalah:

229
1. Semua pengetahuan harus didasarkan atas pengamatan
empiris, baik itu alam, manusia dan masyarakat. Pengamatan
harus diberi nilai tinggi dari suatu gagasan (representation)86.
2. Pengetahuan yang benar atau ilmiah, yang empiris dan yang
bukan diturunkan dari agama dan filsafat. Itulah yang
dikatakan positivisme sebagai pemikiran sosiologi awal.

D. Aliran Legisme
Aliran legisme berpendapat bahwa keseluruhan hukum ada
di dalam undang-undang, Hakim terikat pada undang-undang
dalam menjalankan tugasnya. Sehingga yang dikerjakan hakim
adalah melaksanakan undang-undang, dengan cara Hakim
melakukan silogisme hukum (juridischesylogisme) yaitu suatu
deduksi dari perumusan yang luas, kepada keadaan khusus,
sehingga sampai kepada suatu kesimpulan 87 . Menurut aliran
legisme semua persoalan sosial dapat dituntaskan manakala ada
undang-undang yang mengaturnya, karena merupakan solusi
terbaik untuk solusi permasalahan kenegaraan, undang-undang
adalah segala-galanya. Kelemahan aliran ini adalah dalam realitas

86 Lihat Yesmil Anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: PT.

Grasindo, 2008, hlm 130-131


87 Hasim Purba dan Muhammad H.Y. Purba. Opcit hlm.77-78

230
proses persidangan hukum adat atau hukum kebiasaan sering
dijadikan dasar keputusan hakim.

E. Aliran Freies Rechtsbewegung


Berdasarkan ajaran aliran Freis Rechsbewegung bahwa
seorang hakim memiliki kebebasan untuk memutuskan suatu
perkara dengan mendasarkannya pada undang-undang (hukum
tertulis) atau pun hukum kebiasaan (tidak tertulis), hal ini terjadi
karena tugas hakim menemukan/menciptakan hukum. Aliran ini
terkenal di negara yang menganut sistem hukum common
law/anglo saxon. Hakim yang menciptakan hukum (judge made law)
berdasarkan keyakinan yang bersifat dinamis. Yurisprudensi
berkedudukan sama denga statute law. Hakim terikat pada hakim
sebelumnya baik yang sederajat atau yang lebih tinggi derajatnya
(The Force Binding of President).

F. Aliran Begriffsjurisprudenz
Aliran yang membolehkan hakim melakukan penemuan
hukum, diawali dengan apa yang dikenal sebagai
Begriffsjurispudenz. Aliran ini memulai memperbaiki kelemahan
yang ada pada ajaran legis.

231
Aliran Begriffsjurispudenz mengajarkan bahwa sekalipun
benar undang-undang itu itu tidak lengkap, namun undang-
undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya
sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas. Cara
memperluas undang-undang ini hendaknya bersifat
”normlogisch” dan hendaknya tetap dipandang dari sudut
dogmatik sebab bagaimanapun hukum merupakan suatu
”logische Gasschlossenheit”. Jadi aliran ini memandang hukum
sebagai stu sistem tertutup, dimana pengertian hukum tidaklah
teori tentang pengertian (Begriffsjusprudenz). sebagai sarana
melainkan sebagai tujuan, sehingga teori hukum menjadi Oleh
aliran ini, pekerjaan hakim dianggap semata-mata pekerjaan
intelek di atas hukum-hukum rasional dan logis. Yang menjadi
tujuan dari aliran Begriffsjusprudenz adalah bagaimana kepastian
hukum tewujud.
Sudikno Mertokusom88 mengemukakan bahwa penggunaan
hukum-logika yang yang dinamai sillogisme menjadi dasar utama
Begriffsjusprudenz ini; cara berfikir sillogisme sebagai berikut:
”hakim mengambil kesimpulan dari adanya premisse mayor,
yaitu (peraturan) hukum dan premisse minor yaitu peristiwanya:
siapa mencuri dihukum: A terbukti mencuri; A harus dihukum....”

88 Sudikno Mertokusumo, S.H (1984: 30)


232
Aliran ini menempatkan rasio dan logika pada tempat yang sangat
istimewa. Kekurangan undang-undang menurut
begriffsjurisprudenz ini hendaknya diisi dengan penggunaan
hukum-hukum logika dan memperluas undang-undang
berdasarkan rasio. Jadi kritikan terhadap aliran ini, terutama
berpendapat bahwa hukum bukan pertimbangan budi yang
kadang-kadang sifatnya memang irrasional. agi penganut aliran
ini, keadilan dan kemanfaatan hukum bagi warga masyarakat
diabaikan.
Salah satu contoh cara berpikir begriffsjurisprudenz adalah
yang dicontohkan oleh Achmad Sanusi sebagai berikut:
“Perhatikan apa yang disimpulkan oleh Mr. Heinsius dari suatu
ketentuan ”Toelating en vestigingsbesluit”, Zij op wie de bepalingen
Indie gevestigd te zijn dan na daartoe schriftelijke vergunning te hebben
bekomen”, bahwa–katanya oleh karena peraturan ini tidak juga
memuat pengecualian bagi orang-orang Indonesia, yang sudah
turun-temurun berada di sini, maka siapa saja yang tidak
mempunyai izin tertulis untuk menetap di sini, ia harus
dipandang sebagai bukan penduduk Indonesia. Atau putusan
Hogeraad 18 Juni 1910 berkenan dengan kekuasaan orang tua
dan perwalian yang sifatnya utuh dan tidak dapat dipecah-
pecah, sehingga–katanya–seorang bapa atau ibu yang sesudah

233
berlangsung perceraian tidak diserahi hak perwalian, tidak
berhak untuk melihat anak-anaknya atau untuk bergaul dengan
mereka. Atau Putusan Hogeraad 17 Desember 1909 juga, tatkala
menolak adanya hak waris bagi ‘Vereniging tot uitbreiding der
Museum te Haarlem’, dari seorang Druyvestein, berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan, bahwa tatkala orang yang
membuat wasiat itu meninggal (2 April 1905), vereniging
tersebut– karena pengurusnya lupa meminta pengakuan yang
baru–harus dianggap belum ada sebagai badan hukum sebab
pengakuan lama sudah berakhir pada tanggal 31 Mei 1904. 89.
Aliran ini melihat hukum sebagai satu kesatuan atau sistem
yang mengatur semua tingkah laku sosial. Hukum didasarkan
pada suatu sistem asas hukum serta pengertian dasar yang
menyediakan kaidah yang sudah pasti untuk setiap peristiwa
konkret, di mana hakim dalam menjalankan tugasnya terbebas
dari ikatan undang-undang namun harus bekerja dalam sistem
hukum yang telah ditentukan. 90 Aliran ini menganggap bahwa
hukum bukanlah sebagai sarana melainkan tujuan, sehingga
hukum menjadi ajaran tentang pengertian (begriffsjurisprudenz),

89Achmad Ali. 2002 Op Cit Hlm. 138


90Hasim Purba dan Muhamma Hadya Yushas Purba. 2019. Dasar-Dasar
Pengetahuan Ilmu Hukum. Sinar Grafika Jakarta. Hlm. 80
234
begriffsjurisprudenz ini mengkultuskan rasio dan logika bahwa
pekerjaan hakim semata-mata bersifat logis ilmiah.91

G. Aliran Rechtsvinding
Aliran Rechtsvinding dapat dianggap sebagai aliran tengah

yang berada di antara aliran-aliran legisme dan freie


rechtsvinding. Aliran ini memandang bahwa hakim terikat pada
undang-undang, namun tidaklah seketat seperti menurut
pandangan aliran legisme. dikarenakan hakim memiliki
kebebasan. Namun kebebasan hakim tidak seperti anggapan
aliran freie rechtsvinding, sehingga di dalam menjalankan
tugasnya hakim memiliki "kebebasaan terikat" (gebonded-
vrijheid) yaitu keterikatan yang bebas (vrije-gebondenheid). Oleh
karena itu, tugas hakim disebutkan sebagai upaya melakukan
rechtsvinding, yaitu penemuan hükum yang dilakukan oleh
hakim untuk menselaraskan Undang-Undang pada tuntutan

zaman. Misal, dalam kasus Pra peradilan yang diajukan Budi


Gunawan atas penetapan tersangka dirinya oleh KPK, hakim
tunggal Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan pra peradilan
tersebut Padahal, apabila kita mengacu kepada ketentuan Pasal 77

91 Loc Cit
235
jo. Pasal 82 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hükum Acara Pidana (KUHAP) telah
menentukan bahwa objek pra peradilan Hanya berkaitan dengan
penanganan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, di mana
penetapan tersangka tidak termasuk dalam objek pra peradilan.
Namun, dalam perkara tersebut, Hakim Sarpin mengabulkan
gugatan pra peradilan tersebut dengan dasar bahwa dirinya
melakukan penemuan hukum, terlepas dari adanya pro dan
kontra mengenai hal tersebüt.
Kebebasan yang terikat dan sebaliknya terbukti tercermin
dari beberapa kewenangan hakim dalam beberapa hal seperti
tindakan penafsiran undangundang, menentukan komposisi yang
meliputi analogi dan membuat penghususan dari suatu asas
undang-undang 'yang mempunyai arti luas. Berdasarkan
penjelasan mengenai aliran rechtsvinding yang telah diuraikan di
atas dapat diketahui bahwa mempelajari yurisprudensi
merupakan hal yang penting di samping mempelajari peraturan
perundang-undangan. Hal ini dikarenakan di dalam
yurisprudensi tersebut terdapat makna hükum konkret yang
diperlukan dalam hidup bermasyarakat yang tidak dijumpai
dalam kaidah yang terdapat pada undang-undang.

236
H. Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule)
Sebagai kritik terhadap aliran begriffsjurisprudenz, muncul
aliran Interessenjurisprudenz atau Freirechtsschule. Menurut
aliran ini, undang-undang jelas tidak lengkap. Undang-undang
bukan satu-satunya sumber hukum, sedangkan hakim dan
pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya
untuk melakukan “penemuan hukum”, dalam arti kata bukan
sekadar penerapan undang-undang oleh hakim, tetapi juga
mencakupi, memperluas dan membentuk peraturan dalam
putusan hakim. Untuk mencapai keadilan yang setinggi-
tingginya, hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-
undang, demi kemanfaatan masyarakat. Dikaitkan dengan teori
tujuan hukum, maka jelas aliran ini penganut utilitarisme. Hakim
mempunyai “freies Ermessen”.
Ukuran-ukuran tentang mana ketentuan undang-undang
yang sesuai dengan kesadaran hukum dari keyakinan hukum
warga masyarakat, tergantung pada ukuran dari keyakinan hakim
(overtuiging), di mana kedudukan hakim bebas mutlak.
Bagaimanapun aliran ini membuka peluang kesewenang-
wenangan karena hakim adalah manusia biasa yang takkan
mungkin terlepas dari berbagai kepentingan dan pengaruh
sekelilingnya, termasuk pengaruh kepentingan pribadi, keluarga

237
dan sebagainya. Faktor subjektif yang ada pada diri hakim sebagai
manusia biasa, akan sangat mudah menciptakan kesewenang-
wenangan putusan hakim.
Sehubungan dengan itu, Sudikno Mertokusumo 92

mengemuakan bahwa:”Aliran ini sangatlah berlebih-lebihan


karena berpendapat bahwa hakim tidak hanya boleh mengisi
kekosongan undang-undang saja, tetapi bukan boleh
menyimpang”.
Namun demikian, Sudikno Mertokusumo 93 juga melihat
hikmah dari pandangan aliran ini, sebagai berikut: ”Walau
bagaimanapun juga aliran bebas tersebut di atas telah
menanamkan dasar bagi pandangan yang sekarang berlaku
tentang undang-undang dan fungsi hakim”.
Achmad Sanusi94 menyatakan bahwa:
”Apabila pada aliran Legis/begriffsjurisprudenz, hakim mudah
menjadi abdi dari dogma dan/atau undang-undang, di sini (aliran
Freirechtsschule) hakim akan menjadi raja terhadap undang-
undang, di mana ia berkuasa sendiri menciptakan hukum, bagi
semua anggota-anggota masyarakatnya. Bukankah ini jalan yang
sudah mendekat sekali pada ekses-kesewenang-wenangan?”.

92 Sudikno Mertokusumo. 1993. Hlm. 45


93 Loc Cit
94 Achmad Sanusi. 1977. Hlm. 56-57

238
I. Aliran Soziologische Rechtsschule
Hadirnya aliran Soziologische Rechtsschule disebabkan
adanya freis Ermenssen hakim dalam menjatuhkan putusan.
Aliran ini menolak pandangan yang memberikan kebebasan bagi
hakim untuk mengenyampingkan undang-undang dan
memutuskan suatu perkara berdasarkan perasaannya. Aliran ini
menghormati kebebasan hakim, tapi sebaiknya kebebasan hakim
tersebut dalam kerangka peraturan perundang-undangan agar
dapat dipertanggungjawabkan. Kebebasan hakim juga bertumpu
pada hukum yang hidup ditengah masyarakat yakni sosial,
agama, ekonomi, budaya, adat-istiadat dan sebagainya. Pengikut
aliran ini antara lain Jamaker dan Hymans, A. Auburtin, G.
Gurvitch dan J. Valkhof.

J. Aliran Utilitarianisme
Aliran Utilitarianisme, lahir pada abad 19 dan dipelopori
oleh Jeremi Bentham, David Hume, Helvetius, dan Beccaria, John
Stuart Mill sebagai reaksi atas doktrin hukum alam. Dari sekian
pelobor aliran ini, hanyalah Jerimy Bentham (1748-1832) yang
berhasil memformulasikan teorinya yang terkenal dengan sebutan
The Greatest Happiness Theory sebagai berikut: The Greatest

239
Happiness of The Greatest Number (kebahagiaan terbesar dari jumlah
orang terbanyak).
Menurut Jhon Stuart Mill 95 , bahwa tindakan benar
sebanding dengan apakah tindakan itu meningkatkan
kebahagiaan dan salah selama tindakan itu menghasilkan lawan
kebahagiaan. Sedangkan kebahagiaan adalah kesenangan dan
hilannya derita; yang dimaksud dengan ketidakbahagiaan adalah
derita dan hilangnya kesenangan. Utilitarianisme merupakan
pandangan hidup, bukan teori tentang wacana moral. Dengan
demikian, moralitas adalah seni bagi kebahagiaan individu, sosial,
dan kebahagiaan atau kesejahteraan pemuasan secara harmonis
atas Hasrat-hasrat individu.
Ada tiga konsep dasar utilitarianisme,menurut Weiss 96
sebagai berikut:
1. Suatu Tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan
yang secara moral adalah benar jika Tindakan atau perbuatan
atau pengambilan keputusan itu membuat hal terbaik untuk
banyak orang yang dipengaruhi oleh tindakan atau perbuatan
atau pengambilan keputusan.
2. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan
yang secara moral adalah jika terdapat manfaat terbaik atas

95 H. Zainal Asikin, Opcit Hlm. 134


96 Loc Cit
240
biaya-biaya yang dikeluarkan dibandingkan manfaat dari
semua kemungkinan pilihan yang dipertimbangkan.
3. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan
yang secara moral adalah benar jika tindakan atau perbuatan
atau pengambilan keputusan itu secara tepat mampu
memberi manfaat, baik langsung ataupun tidak langsung,
untuk masa depan pada setiap orang dan jika manfaat
tersebut lebih besar daripada biaya dan manfaat alternatif
yang ada.
Prinsip-prinsip utilitarianisme 97 juga dapat digunakan
dalam pengambilan keputusan sebagai analisis pemegang saham
(stakeholder analysis) dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Menetukan bagaimana suatu biaya dan manfaat akan dapat
diukur dalam memilih satu langkah tindakan atas tindakan
yang lain.
2. Menetukan informasi apa yang dibutuhkan untuk menetukan
biaya dan manfaat sebagai alat perbandingan.
3. Mengidentifikasi prosedur-prosedur dan kebijakan-kebijakan
yang akan digunakan untuk menjelaskan dan membenarkan
analisis atas biaya dan manfaat.

97 Ibid Hlm. 137


241
4. Menetapkan asumsi Ketika mendefinisikan dan
membenarkan analisis dan keseimpulan yang diambil.
5. Menetukan kewajiban moral terhadap setiap pemegang
saham setelah biaya dan manfaat destimasi untuk
pengambilan strategi yang spesifik.
Kelemahan utilitarianisme98, sebagai berikut:
1. Manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam
kenyataan praktis akan menimbulkan kesulitan yang tidak
sedikit.
2. Etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius nilai
suatu tindakan pada dirinya sendri dan hanya
memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan
akibatnya.
3. Etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius
kemauan baik seseorang.
4. Variabel yang dinilai tidak semuanya dapat dikualifikasi.
5. Seandainya ketiga kriteria dari etika utilitarisme saling
bertentangan maka akan ada kesulitan dalam menetukan
prioritas diantara ketiganya.
6. Etika utilitarisme membenarkan hak kelompok minoritas
tertentu dikobankan demi kepentingan mayoritas.

98 Ibid Hlm. 139


242
K. Teori Teokrasi
Adapun teori-teori yang menjadi dasar berlakunya hukum
atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa adalah teori Ketuhanan
(teori teokrasi). Dikarenakan peraturan perundang-undangan
ditetapkan oleh penguasa negara, maka penguasa negara
dianggap sebagai wakil dari Tuhan yang mendapat mandat
langsung dari Tuhan. Hal ini menimbulkan perspektif bahwa
setiap Tindakan yang dilakukan oleh penguasa negara baik itu
benar atau tidak, akan selalu dianggap benar dikarenakan
penguasa negara merupakan representasi dari Tuhan yang
notabenenya tidak pernah melakukan salah. Hal inilah yang
dikemudian hari menimbulkan banyak penyimpangan-
penyimpangan yang dilakukan Oleh penguasa negara
dikarenakan anggapan bahwa tindakan tersebut dianggap selalu
benan Teori teokrasi ini berkembang di Eropa Barat diterima
umum hingga zaman Renaissance.

L. Teori Kedaulatan Rakyat


Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara
yang berlaku bagi seluruh wilayah dan rakyat negara tertentu.
Sedangkan "rakyat" adalah semua orang yang berada di dalam
wilayah negara dan tunduk kepada kekuasan negara.84 Dengan

243
demikian apabila kita menggabungkan kedua istilah tersebut,
maka kedaulatan rakyat dapat disimpulkan bahwa rakyat suatu
negara memegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Teori ini
dikemukakan oleh Jeans Jaque Rousseau, Monstesquieu dan John
Locke, di mana berdasarkan teori tersebut, rakyat adalah
pemegang kekuasaan tertinggi mendelegasikan kekuasaan
tersebut kepada pemerintah suatu negara, sehingga dapat
dikatakan bahwa kekuasaan tersebut bukan dari Tuhan apalagi
Raja. Teori ini tentunya tidak sejalan dengan teori teokrasi. Sebab
teori ini mengemukakan gagasan-gagasan yang bertentangan
denga teori teokrasi.
Teori kedaulatan rakyat muncul pada zaman Renaissance
yang mengajarkan, bahwa dasar hukum itu ialah "akal" atau
"rasio" manusia (aliran rasionalisme). Pada abad ke-18 Jeans Jaque
Rousseau memperkenalkan teorinya bahwa dasar terjadinya
suatu negara ialah "perjanjian masyarakat" (contract social) yang
diadakan Oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan
suatu negara. Adapun teori Rousseau tersebut dikemukakannya
dalam bukunya yang berjudul "La Contract Social'" (1962). Teori
Rousseau tersebut kernudian menjadi dasar pemikiran mengenai
"kedaulatan rakyat" Yang mengajarkan, bahwa negara bersandar

244
atas kemauan rakyat dan semua peraturan-peraturan adalah
penjelmaan kemauan rakyat tersebut,
Menurut ajaran teori kedaulatan rakyat, bahwa hukum itu
adalah kemauan orang seluruhnya yang telah mereka serahkan
kepada suatu organisasi (yaitu negara) yang telah terlebih dahulu
Inereka bentuk dan diberi tugas membentuk hukurn yang berlaku
dalam masyarakat Orang menaati hukum karena orang sudah
berjanji menaatinya, teori ini dapat juga disebut teori perjanjian
masyarakat.

M. Teori Kedaulatan Negara


Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya,
Kedaulatan adalah kekua_ saan tertinggi dalam suatu negara yang
berlaku bagi seluruh wilayah dan rakyat tertentu. Selanjutnya,
apabila kita melihat kepada definisi mengenai negara, maka
negara adalah suatu organisasi yang mempunyai berbagai
kepentingan, di mana manusia yang berada di dalam lingkungan
negara tersebut tentunya akan berusaha mencapai tujuan, baik
tujuan bersama maupun tujuan bagi diri masing-masing.
Menurut teori kedaulatan negara, adanya negara
merupakan suatu kodrat alam. Demikian pula kekuasaan tertinggi
yang dimiliki oleh pernimpin negara merupakan suatu kodrat

245
alam pula di bidang hukum. Teori ini menentang teori perjanjian
masyarakat, di mana hal ini ditegaskan oleh C.S.T. Kansil bahwa
pada abad ke-19 teori perjanjian masyarakat ini ditentang oleh
teori yang menyatakan bahwa kekuasaan hukum tidak dapat
didasarkan atas kemauan bersama seluruh anggota masyarakat.
Sebab, ditaatinya suatu hukum dikarenakan kehendak dari negara
dan negara memiliki kekuatan yang tidak terbatas. 87 Teori ini
dinamakan teori kedaulatan negara, yang Iahir ketika ilmu-ilmu
pengetahuan alam mengalami perkembangan yang pesat.
Penggagas teori ini adalah Hans Kelsen yang dalam bukunya yang
berjudul "Reine Rechtslehre" mengatakan bahwa hukum adalah
"kemauan negara" (Wille des staates), di mana ia mengatakan
bahwa orang menjadi taat kepada hukum bukan karena negara
menghendakinya, tetapi karena ia merasa wajib menaati hukum
tersebut sebagai perintah dari negara.

N. Teori Kedaulatan Hukum


Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, "kedaulatan"
adalah kekuasaa n tertinggi dalam suatu negara yang berlaku
bagi seluruh wilayah dan rakyat negara tertentu. Sedangkan
hukum, menurut J.C.T. Simorangkir dan Wardjono
Sastropranoto adalah peraturan yang bersifat memaksa

246
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib, pelanggaran, mana terhadap peraturan-peraturan
tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan
hukuman tertentu.
Menurut teori kekuasaan hukum bahwa pemerintah
memperoleh kekuasaan bukan dari negara atau raja mau pun
dari Tuhan, melainkan kekuasaan itu berdasarkan hukum. Jadi
dalam -hal ini yang berdaulat adalah hukum. Maksudnya
pemerintah maupun rakyat mendapat kekuasaan dari hukum.
Mengenai teori kedaulatan hukum C.S.T. Kansi1 juga
mengutip pendapat Prof. Mr. H. Krabbe dari Universitas
Leiden yang menentang teori kedaulatan negara. Dalam
bukunya yang berjudul "Die Lehre der Rechtssouveriinitet"
(1906), beliau mengajarkan bahwa sumber hukum ialah rasa
keadilan, Krabbe berpendapat bahwa hukum adalah apa yang
memenuhi rasa keadilan dari mayoritas masyarakat yang
ditundukkan padanya. Suatu peraturan perundangan yang
tidak sesuai dengan rasa keadilan dari mayoritas masyarakat
tentunya tidak akan mengikat dan masyarakat akan cenderung
menolak peraturan tersebut, di mana masyarakat tidak akan
menganggap peraturan perundang-undangan tersebut sebagai

247
hukum, walaupun ada kewajiban untuk menaati dan daya
paksa dari aturan tersebut.
Hukum ada karena anggota masyarakat mempunyai
perasaan bagaimana seharusnya hukum itu, di mana kaidah
yang timbul dari perasaan hukum anggota sesuatu
masyarakat, mempunyai kewibawaan/kekuasaan
dikarenakan masyarakat mau menerima hukum tersebut.

248
BAB XII
HUKUM SEBAGAI KENYATAAN DALAM
MASYARAKAT

Salah satu persepsi yang utama dalam masyarakat, adalah


bahwa hukum itu tidak otonom seperti yang dianut oleh kaum
dogmatik. Hukum tidak otonom alias tidak mandiri, berarti
hukum itu tidak terlepas dari pengaruh timbal-balik dengan
keseluruhan aspek yang ada di dalam masyarakatnya, tercakup di
dalamnya aspek ketertiban, ekonomi, politik, sosial, budaya,
agama dan sebagainya. Pembahasan hukum sebagai kenyataan
dalam masyarakat jelas bersifat realistis dan empiris, ketimbang
pembahasan hukum sebagai kaidah yang lebih bersifat normatif
belaka.
Hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat akan kita
bahas dalam 4 butir bahasan, masing-masing:
1. hukum dan kultur
2. hukum dan ketertiban
3. hukum dan ekonomi
4. hukum dan politik

249
A. Hukum dan Kultur
Ketika tejadi kasus wanprestasi hutang-piutang antara
debitur (pihak yang berhutang) si A dan kreditur (pihak pemberi
hutang) si B, di mana si A melakukan tindakan wanpretasi
terhadap krediturnya, si B. Tentang wanprestasi ini, aturan
hukumnya sudah jelas yaitu siapa yang berhutang, harus
melunasi hutangnya sesuai apa yang diperjanjikan oleh kedua
pihak. Kapan seorang melakukan wanprestasi mengemukakan:
1. tidak memenuhi kewajiban
2. terlambat memenuhi kewajiban
3. memenuhi tetapi tidak seperti yang diperjanjikan.
Perihal wanprestasi dari pihak debitur itu harus dinyatakan
terlebih dahulu secara resmi, yaitu degan memperingatkan kepada
debitur itu bahw pihak krditur menginginkan pembayasran
seketika atau dalam jangka waktu singkat. Jadi pokoknya hutang
tersebut mestinya ditagih dulu. Biasnya peringatan atau sommatie
itu dilakukan oleh seorang juru sita dari pengadilan, dalam hal ini
membuat proses verbal tentang penagihannya it, tetapi juga boleh
dengan surat tercatat (kilat khusus) ysng sulit di mungkiri si pihak
debitur. Pokonya peringatan tersebut harus dilakukan secara
tertulis, sesuai ketentuan pasal 1238 BW".

250
Setelah proses itu dilalui dan debitur belum juga
melaksanakan kewajibannya, disini ada beberapa pilihan yang
dapat pilihan yang dapat dilakukan oleh pihak kreditur. Dalam
hubungan wanprestasi tadi, pihak kreditur dapat memilih salah
satu diantara"cara" berikut :
1. mendatangi debitur secara baik-baik dan berusaha dengan
jalan kekeluargaan untuk membujuk debitur membayar
hutangnya.
2. Mengajukan perkara itu ke pengadilan
3. Menyelesaikan dengan perantaraan mediator (di dalamnya
bisa termasuk arbitrator)
4. Menyewa tukang pukul untuk menagih paksa si debitur
Cara apa yang menjadi pilihan pihak kreeditur ditentukan
oleh kultur hukum yang dianutnya, dan bukan lagi oleh kaidah
hukum tentang wanprestasi atau hutang pintang. Kalau pihak
kreditur memilih menggunakan tukang pukul untuk memaksa
debitur membayar hutangnya itu berarti kultur hukum yang
dianut oleh kreditur adalah kultur hukum main hakim sendiri.
Pengadilan baru akan berperan dalam menyelesaikan
sengketa di atas, jika warga menyerah persengketaan tersebut
kepengadilan, seperti yang dikemukakan oleh Satdjipto Rahardjo
bahwa:

251
"Pembicaraan mengenai hukum sebagai institusi
sosial ternyata melibatkan pula peranan dari orang -
orang yang tersangkut didalamnya, Khususnya
sebagai masyarakat biasa yang menjadi sasaran
pengadministrasian hukum.
Disitu dikatakan, bahwa agar hukum itu bisa
bekerja sesuaidengan fungsinya yaitu sebagai sarana
pengintegrasi, maka rakyatnyapun harus tergerak untuk
menyerahkan sengketanya kepada pengadilan. Dengan sikap
yang demikian itu maka hukumpun akan benar-benar menjadi
sarana pengintegrasi. Tentu saja kita juga bisa melihat hal yang
sebaliknya yaitu manakala rakyat tidak atau kurang tergerak
untuk memakai untuk jasa pengadilan. Keadaan yang demikian
itu memberi isyarat, bahwa rakyat lebih mempercayakan
penyelesaian sengketanya kepada institusi-institusi atau badan-
badan di luar pengadilan yang resmi itu....".
Kultur hukum ini didefinisikan oleh Fiedmann sebagai
unsur tuntutan. Tuntutan atau permintaan ini berasal dari
rakyat atau memakai jasa hukum lainnya termasuk
pengadilan. Hal itu telah penulis jelaskan dengan contoh
tentang kemungkinan pilihan jika terjadi kredit macet di atas.
Menurut Satjipto Rahardjo:

252
"Dibelakang tuntutan tersebut, kecuali didorong oleh
kepentingan, terlihat juga adanya fsktor-faktor seperti ide,
sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai hukum.
Orang secara sadar datang kepada hukum (pengadilan)
tentunya disebabkan oleh penilaian yang positif mengenai
institusi itu. Dengan demikian,keputusan untuk membawa
sengketa tersebut ke depan pengadilan pada hakikatnya
merupakan hasil positif dari bekerjanya berbagai faktor
tersebut diatas. Hal yang sebaliknya tentu saja bisa terjadi".
Dalam kaitannya dengan kultur hukum, Daniel S. Lev
(dalam : Judicial Institution and Legal Culture, pada bagian akhir
karangannya) menuliskan bahwa:
"....di mana mitos-mitos kultural dan nilai-nilai menekankan
cara-cara pengaturan serta hubungan-hubungan sosial politik
yang tidak bertolak dari wilayah hukum yang otonom, maka
sebagai konsekuensinya disitu pranata-pranata hukum akan
kurang mampu mengembangkan kekuasaannya yang independen
(mandiri) seperti yang dimiliki negara-negara Eropa dan Amerika
Serikat. Tampilnya birokrasi-birokrasi yang berkuasa sekalipun
yang merupakan unsur esensiasl bagi adanya sistem hukum yang
kuat, tidak akan menciptakan suatu tanggapan umum yang positif

253
terhadap bekerjanya hukum, terutama apabila misalnya nilai-nilai
patrimonial juga tetap bercokol kuat".
Dari pandangan Daniel S .Lev, seorang yang banyak
meneliti dunia praktik hukum (khususnya dunia peradilan) di
Indonesia, dapat kita ketahui bahwa di Indonesia terjadi suatu
"ketegangan" antara kultur hukum bangsa Indonesia dengan
sistem hukum yang modern yang kini diterapkan.
Persoalan lain yang erat kaitannya dengan hukum sebagai
kultur, adalah pertanyaan tentang; benarkah hukumitu tidak
berpihak terhadap suatu nilai dalam masyarakat? Benarkan
hukum itu memperlakukan semua warga masyarakat secara
sama? Semua pertanyaan diatas dapat dirangkum menjadi satu
pertanyaan gabungan: benarkah hukum itu otonom? Dan
jawabannya : Tidak!!!.
Hukum senantiasa memihak pada suatu nilai tertentu.
Secara sloganistis memang senantiasa dikumandangkan prinsip-
prinsip ketidakberpihakan hukum, namun didalam
kenyataaannya sebagai salah satu fenomena sosial, hal tersebut
akan sulit dilaksanakan oleh hukum. Bagaimanapun hukum itu
tidak jatuh begitu saja dari langit. Hukum merupakan produk
hasil olahan berbagai kepentingan didalam masyarakat. Seperti
dituliskan oleh Satjipto Rahardjo

254
"Seperti disebutkan dimuka, kelebihan dari perundang-
undangan diantaranya adalah karena is bisa memberikan
kepastian mengenai nilai tertentu yang dilindungi oleh
hukum. Tetapi justru dengan menentukan nilai secara
demikian itu, perundang-undangan terlibat kedalam
proses pembuatan pilihan-pilihan. Dengan demikian, maka
secara sosiologis dapat dikatakan, bahwa penentuan nilai
tersebut mengharuskan terjadinya pengutamaan terhadap
suatu golongan tertentu di atas golongan lain".
Lebih lanjut, Satjiptot Rahardjo menuliskan bahwa:
Keadaan dan susunan masyarakat modern yang mengenal
pelapisan yang makin tajam menambah sulitnya usaha
untuk mengatasi kecendrungan hukum atau perundang-
undangan untuk memihak tersebut.
Penulis mendukung pandangan di atas, karena pada
beberapa tipe masyarakat tertentu, perundang-undangan tampil
untuk mendorong kepentingan golongan yang satu di atas yang
lain. Dan dalam saling konkurensi demikian itu, tidak mungkin
tercegah terjadinya kemajuan dalam pengutamaan kepentingan
orang-orang tertentu di dalam masyarakat, sebaliknya golongan
lain menjadi semakin menderita.

255
Keseluruhannya ini menunjukkan betapa besar pengaruh
hukum terhadap warga masyarakat. Aturan hukum dapat
memberi kesempatan kepada suatu golongan tertentu untuk lebih
maju.Sebaliknya pula, mungkin secara bersamaan suatu aturan
hukum menutup sama sekali kesempatan bagi golongan lain
untuk mencapai tujuan.
Dalam kaitan ini, kita perlu mengetahui bagaimana sikap
atau perilaku warga masyarakat terhadap suatu aturan hukum.
Untuk itu kita harus membedakan dulu 2 jenis rumusan aturan
hukum,
1. Rumusan aturan hukum yang bersifat perintah atau larangan,
terhadap aturan ini ada 3 kemungkinan sikap dari warga
masyarakat yaitu:
a. mentaati aturan hukum itu (compliance);
b. menyimpang dari aturan hukum itu (deviance);
c. mengelak terhadap aturan hukum itu (evasion).
Aturan hukum yang bersifat perintah atau larangan ini
banyak ditemukan dalam aturan hukum pidana.
Contoh dari 3 kemungkinan sikap di atas, adalah jika ada
peraturan lalulintas yang mengharuskan menggunakan helm
pengaman kepala jika melalui jalan X. Di sini ada 3
kemungkinan sikap si A misalnya.

256
a. Si A lewat di jalan X dengan menggunakan helm. Ini
artinya si A mentaati aturan hukum itu (compliance).
b. Si A lewat di jalan X, tetapi tidak mengenakan helm, Ini
artinya si A menyimpang dari aturan hukum itu
(deviance).
c. Si A tidak mengenakan helm, dan is memang sengaja
tidak melewati Jalan X tetapi melewati Jalan Z yang tidak
mengharuskan pengenaan helm jika melewatinya.
2. Rumusan aturan hukum yang bersifat membolehkan atau
mengatur terhadap aturan ini ada 3 kemungkinan sikap dari
warga masyarakat, yaitu:
a. menggunakan aturan hukum itu (use);
b. tidak menggunakan aturan hukum itu (nonuse);
c. menyalahgunakan aturan hukum itu (misuse).
Aturan hukum yang bersifat membolehkan atau mengatur
banyak terdapat pada hukum privat (perdata), dengan
demikian contoh-contohnya dapat dicari dalam perbuatan-
perbuatan hukum privat, seperti perjanjian, dan sebagainya.
Pengaruh aturan hukum terhadap sikap warga masyarakat
tergantung pula untuk tujuan apa aturan hukum bersangkutan
dibuat? Joseph Gusfield (dalam Moral Passage: The Symbolic

257
Process in Public Designations of Deviance, 15 Social Problems,
175, 1967) membedakan:
a. tujuan aturan hukum yang bersifat simbolis yaitu tidak
tergantung pada penerapannya agar aturan hukum tadi
mempunyai efek tertentu. Misalnya larangan untuk meminum
minuman keras. Efek simbolis aturan hukum itu ada kalau
warga masyarakat sudah yakin bahwa meminum minuman
keras adalah perbuatan yang salah. Jadi sekalipun masih ada
warga masyarakat yang masih minum minuman keras, tidak
jadi soal, yang penting ia sudah mengetahui bahwa
perbuatannya salah.
b. tujuan aturan hukum yang bersifat instrumental. Suatu
aturan hukum yang bersifat instrumental, apabila tujuannya
terarah pada suatu sikap tindak dan perilaku konkret,
sehingga efek hukum tadi akan kecil sekali apabila tidak
diterapkan dalam kenyataannya. Jadi suatu aturan hukum
mengenai larangan meminum minuman keras barulah
mempunyai efek instrumental, jika warga masyarakat berhenti
meminum minuman keras. Dengan tidak memperdulikan,
apakah berhentinya itu karena yakin bahwa perbuatan
meminum minuman keras adalah salah atau berhentinya
lantaran terpaksa saja karena takut dikenakan sanksi hukum.

258
B. Hukum dan Ketertiban
Di suatu perkampungan nude (kaum telanjang), puluhan
orang bertelanjang bulat tanpa busana berkeliaran mondar-
mandir. Semnanya tertib. Dan tidak ada kekacauan di sana. Kaum
nude alias nudis itu menikmati ketelanjangan mereka dengan rasa
puas. Pokoknya ketertiban terjamin di situ.
Jika itu terjadi di Indonesia, maka jelas perbuatan itu
merupakan pelanggaran hukum. Berarti jika demikian, ketertiban
yang terjadi di situ justru ketertiban yang bertentangan dengan
hukum. Lantas bagaimanakah kaitan antara hukum (law) di satu
pihak, dengan ketertiban (order) di pihak lain?
Antara hukum di satu pihak dengan ketertiban di pihak lain,
tidak selamanya cocok atau selaras. Kadang-kadang antara
hukum dengan ketertiban terjadi pertentangan, seperti apa yang
pernah dituliskan oleh Jerome H. Skolnick ( dalam bukunya
Justice Without Trial ) bahwa hukum tidak hanya merupakan
sarana untuk mencari ketertiban, melainkan ia bisa merupakan
lawan dari ketertiban itu sendiri.
Benturan antara hukum dan ketertiban terutama terlihat
pada tugas polisi yang mendua. Di satu pihak polisi bertugas
untuk memelihara ketertiban, di pihak lain polisipun bertugas
untuk menegakkan hukum. Dengan kata lain, tugas kepolisian

259
bukan sekedar menjaga legal order, melainkan juga ketertiban dan
ketentraman warga masyarakat. Tugas ganda ini kadang-kadang
menyulitkan polisi memilih alternatif jika harus menghadapi
seorang residivis yang kejam dan tak sudi menyerah. Pada
hakekatnya polisi adalah petugas yang diberi wewenang untuk
menjalankan kekerasan demi tugasnya. Jadi kita tidak usah terlalu
heran kalau sekali-kali polisi terpaksa melakukan kekerasan
dalam melaksanakan tugasnya. Di sini kadang-kadang hukum
berburu dengan ketertiban.
Sehubungan dengan cara kekerasan demi memelihara
ketertiban, Satjipto Rahardjo pernah mengemukakan bahwa,
memang benar bahwa dalam suatu negara hukum, supermasi
hukum harus dipertahankan. Akan tetapi hal ini bukan berarti
tidak boleh ada kekerasan sedikitpun. Selama hal itu dilakukan
oleh negara, maka kekerasan boleh dilakukan asalkan tujuannya
tetap untuk mencapai kedamaian. Cara yang luwes seringkali
dianggap sebagai "lawan" kekerasan; keduanya dapat dilakukan
bersamaan, sesuai keadaan yang dihadapi.
Chanibliss dan Seidman malahan memandang sebagai suatu
kemustahilan jika semata-mata hukum yang ingin diandalkan
untuk mengatur masyarakat. Dalam kenyataannya, selain hukum,
masyarakat juga membutuhkan pengaturan dari segi ketertiban.

260
Dalam kaitan ini, ada pertanyaan menarik yang dikemukakan
oleh Chambliss dan Seidman, yaitu: Manakah yang lebih
diinginkan, sutau dunia yang serba pasti, di mana setiap
warganya dapat melakukan antisipasi terhadap akibat-akibat
perbuatannya, ataukah suatu dunia yang relatif kurang mengenal
kepastian tetapi juga kurang tertib?

C. Hukum dan Politik


Salah satu pertanyaan penting dan paling disukai orang
tentang hubungan antara hukum dan politik adalah yang
manakah yang seyogianya lebih dominan, kekuasaan hukum atau
kekerasan politik? Jawaban atas pertanyaan ini, menurut penulis
tergantung pada persepsi kita sendiri tentang apa yang kita
maksudkan sebagai hukum, dan apa yang kita maksudkan
dengan politik.
Jika kita berpandangan non-dogmatik, dan memandang
hukum bukan sekadar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan
politik, maka tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan
kekuasaan hukum dan kekuasaan politik masih bisa
berkepanjangan. Namun jika menganut pandangan "positif"
yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan
politik, maka rasanya tak relevan lagi pertanyaan tentang

261
hubungan antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik,
karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum
dan politik tersebut.
Bagi kaum non-dogmatik, hukum bukan sekadar undang-
undang. Antara lain dapat kita lihat pada apa yang dikemukakan
oleh Eugen Ehrlich bahwa:
"Hukum tergantung pada penerimaan umum dan bahwa setiap
kelompok menciptakan hukum yang hidup, di mana di dalamnya
masing-masing terkandung kekuatan kreatif".
Perlu kita tegaskan di sini, bahwa yang kita maksudkan
dengan politik adalah segala sesuatu yang bertalian dengan
kekuasaan resmi suatu pemerintahan negara.
Mungkin seluruh negara yang ada di dunia kini, apapun
wujudnya ( kerajaan atau republik; berfaham liberal atau sosialis;
menggunakan sistem demokrasi ataupun otiriter/diktator )
menyatakan negara mereka sebagai "negara hukum". Olehnya itu
senantiasa timbul pernyataan, yang mana yang lebih dominan,
kekuasaan hukum atau kekuasaan negara?
Achmad Ali menyetujui pandangan Mac Iver yang
membedakan 2 jenis hukum. Yang pertama, hukum yang berada
di bawah pengaruh politik, dan yang kedua hukum yang berada
di atas politik. Yang berada di atas politik, hanya konstitusi,

262
sedang sisanya semua berada di bawah politik. Penulis
beranggapan inilah pandangan yang realistis tentang hubungan
hukumdan politik. Salah satu contoh yang membuktikan
kebenaran pandangan Mac Iver ini adalah bahwa lahirnya
undang-undang jelas dari karya para politisi.
Tidak dapat di sangkal bahwa terdapat hubungan yang
sangat erat antara hukum dan politik, antara asas-asas hukum dan
pranata-pranata hukum, serta antara ideologi-ideologi politik dan
lembaga-lembaga pemerintah.
Sering mendengar pernyataan para yuris dengan slogan
mereka bahwa: Hukum berditi di atas dan melewati politik. Yang
mereka maksudkan adalah keinginan mereka untuk mewujudkan
suatau masyarakat di mana para hakim tidak di kekang oleh
pengaruh dogma politik.
Ide seperti itu terasa sangat di pengaruhi oleh cara berpikir
trias politicia Montesquieu, yang jelas-jelas menisahakan antara
kekuasaan legislatif,eksekutif dan yudikatif. Namun ide seperti itu
agak berbeda dengan ide kekuasaan politik, berdasarkan UUD
1945 misalnya, di mana kekuasaan presiden tidak hanya berada di
bidang eksekutif semata, tetapi juga ada yang berada dalam
bidang legislatif dan yudikatif. Sebagai contoh besarnya peran
presiden dalam memproduksi undang-undang; adanya

263
kekuasaan presiden untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan
rehabilitasi. Dan kekuasaan tersebut jelas konstitusional sifatnya
karena berdasarkan konstitusi UUD 1945.
Pertanyaan yang bisa muncul di sini, siapakah yang
nnengatakan bahwa ajaran trias politicanya Montesquieu yang
benar? Bukankah masih ada kemungkinan lain dari ajaran itu?
Bukankah dalam sejarah kita menemukan banyak pemerintahan
kuno yang sukses memakmurkan rakyatnya, tanpa melaksanakan
ajaran trias politica-nya Monterquieu?
Jika persoalan kekuasaan politik ini dikaitkan dengan
peradilan, maka dengan eksistensi Mahkamah Agung; oleh yuris
yang dogmatik mengaharapkan bahwa, meskipun suatu
pemerintah ingin menggunakan undang-undang bagi
pencapaian tujuan politik, pengadilan-pengadilan tetap
diharapkan untuk tetap menjauhkan diri dari kontroversi-
kontroversi forum polotik. Harapan semacam itu jelas agak
mustahil jika kita menerima kehadiran hukum sebagai sesuatu
yang tidak otonom atau mandiri. Bagaimanapun, pengaruh
timbal-balik antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik
senantiasa mesti terjadi. Hal ini dijelaskan antara lain oleh Harry
C. Bredemeier dengan konsep inputs-outputsnya

264
Harry C. Bredemeier (Vilhelm Aubert, 1969 : 54 dst)
memandang kaitan antara pengadilan dan politik, dengan melihat
keadaan di Amerika Serikat. Dikatakan bahwa pencapaian tujuan
yang menjadi tugas sub sistem politik dilakukan dengan
merumuskan tujuan yang hendak di capai dengan
menetapkannya menjadi perundang-undangan. Jika undang-
undang itu kemudian di gugat keabsahannya, pengadilan yang
akan menjatuhkan putusannya. Pengadilan menguji perundang-
undangan itu.
Prof Achmad Ali beranggapan bahwa kebebasan hakim
mutlak dibutuhkan, namun hakim tetap tak dapat dipisahkan dari
kepentingan politik. Bagaimanapun, putusan hakim hendaknya
dapat menunjang keseluruhan tujuan masyarakat seperti yang
dilaksanakan oleh penguasa politik. Jangan kita lupa ajaran
Sibernetik Talcott Parsons yang memandang fungsi subsistem
politik sebagai fungsi pencapaian tujuan C' goalpursuance").
Curzon (1979:44) memberi contoh tentang sistem hukum
Marxis. Konsep hukumnya didasarkan pada asas-asas dari peran
pengadilan sebagai konsolidator dan pembela tata politik.
Namun demikian, masih perlu mempertanyakan: peran
politik jenis apa yang dimaksudkan oleh Curzon? Tidak dapat kita
sangkal, bahwa sistem politik negara komunis adalah sistem

265
otoriter yang tidak mengembangkan nilai-nilai demokrasi. Apa
yang mereka anggap sebagai adil, belum tentu dapat kita pandang
sebagai adil pula.
Menurut Curzon (1979:44), di dalam negara-negara
sosialisme, hukum adalah dasar hakim/pengadilan yang menjadi
alat bagi pemecahan problem-problem politik dan merupakan
suatu alat penting bagi perkembangan ekonomi dan budaya,
menjamin keamanan internal maupun eksternal negaranya, untuk
melindungi kekayaan masyarakat sosialis dan untuk
mengekspansi serta mengkonsolidasikan demokrasi sosialis.
Istilah demokrasi yang disebutkan Curzon di atas, yang masih
menjadi pertanyaan bagi kita.
Prof Achmad Ali tidak dapat menerima peran hakim atau
pengadilan seperti yang menjadi ide negara sosialis di atas.
Meskipun hakim tidak mungkin terlepas dari pengaruh
kepentingan politis, tetapi hakim harus tetap memilih " kebebasan
" berinterprestasi dan konstruksi dengan stereotip-stereotip
yuridis, dan bukan dengan kacamata politik praktis belaka.
Meskipun kita sadari juga, bahwa hakim adalah manusia biasa
yang tak mungkin melepaskan diri dari persepsi pribadinya yang
turut ditentukan oleh nilai-nilai ideologis yang dianutnya.

266
Griffith (Curzon, 1979:44) juga melukiskan perhatiannya
tentang apa yang di lihatnya sebagai peran politik para hakim
Inggris. Griffith yakin bahwa para hakim membatasi kepentingan
publik, yang tak terelakkan dan titik-pandang kelompok mereka.
Rupert Cross & P. Asterley Jones juga menginginkan peran
pengadilan untuk menunjang kebijakan politik, (dikutip dari
Achmad Ali, Suatu Protes terhadap Pasal 284 KUH. Pidana,
Pedoman Rakyat, 30 Mei 1983)
Yang juga menarik, pandangan Daniel S. Lev (dalam:
Judicial Institution and Legal Culture) pada bagian akhir
karangannya menuliskan hubungan hukum dan kekuasaan
politik sebagai berikut:
"....di mana mitos-mitos kultural dan nilai-nilai menekankan cara-
cara pengaturan serta hubungan-hubuhgan sosial politik yang
tidak bertolak dari wilayah hukum yang otonom, maka sebagai
konsekuensinya di situ lembaga-lembaga hukum akan kurang
mampu mengembangkan kekuasaannya yang indenpenden
seperti yang dimiliki di negara-negara Eropa dan Amerika
Serikat. Tampilnya kekuasaan-kekuasaan birokrasi yang perkasa
sekalipun, yang merupakan unsur esensial bagi adanya sistem
hukum yang kuat, tidak akan menciptakan suatu tanggapan

267
umum yang positif terhadap bekerjanya hukum, terutama bila
misalnya nilai-nilai patrimonial tetap bercokol kuat".
Di Indonesia, maupun di beberapa negara lain yang non-
komunis, hukum tidak selalu lahir dari otoritas tertinggi atau
negara, meskipun memang benar bahwa hukum yang berlaku
harus telah memperoleh legalitas negara. Hukum yang lahir dari
otoritas tertinggi dapat kita sebutkan sebagai hukum positif. Di
samping itu, masih ada jenis hukum lain seperti Hukum Adat,
Hukum Islam dan Hukum Peradilan (Judge Made Law) Prof.
Achmad Ali cenderung untuk menempatkan posisi pengadilan
atau para hakim tidak sekadar menunjang kepentingan politik,
tetapi sekaligus juga menjadi " pengawal moralitas publik ".
Hukum juga seyogianya memiliki kemampuan untuk
menjadi pencerminan perubahan moralitas-sosial. Dengan
demikian, pengadilan di sini dapat mewujudkan ketiga tujuan
hukum secara seimbang yaitu: keadilan, Kemanfaatan dan
kepastian hukum.
Fungsi-fungsi hukum hanya mungkin dilaksanakan secara
optimal, jika hukum memiliki kekuasaan dan ditunjang oleh
kekuasaan politik. Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik,
salah satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar
hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-

268
alat politik lain seperti polisi, penuntut umum dan pengadilan.
Dalam hal ini, kita harus berani mengaku bahwa pengadilan
bukan sekadar alat-hukum, tetapi juga alat politik.
Kekuasaan politik memiliki karakteristik tidak ingin
dibatasi. Sebaliknya hukum memiliki karakteristik untuk
membatasi segala sesuatu melalui aturan-aturannya. Dalam
hubungan antara hukum dan kekuasaan politik, seyogianya
hukum membatasi kekuasaan politik, agar tidak timbul
penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan.
Sebaliknya kekuasaan politik menunjang terwujudnya fungsi
hukum dengan " menyuntikkan " kekuasaan pada hukum, yaitu
dalam wujud sanksi hukum. Dalam hal ini, tentu saja sanksi
hukum tadi dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik
yang melanggar hukum. Harus diingat, bahwa setelah hukum
memperoleh kekuasaan dari kekuasaan tadi, hukum juga
menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya sebagai contoh,
pada bidang yang sifatnya privat, hukum memberikan warganya
kekuasaan untuk memiliki dan menikmati harta-kekayaannya
sampai pada batas-batas tertentu.

269
D. Hukum dan Ekonomi
Hubungan antara sektor ekonomi dengan sektor hukum,
tidak hanya berupa pengaturan hukum terhadap aktivitas
perekonomian, melainkan juga bagaimana pengaruh sektor
ekonomi terhadap hukum. Dalam hal ini, sekali lagi kita perlu
memandang hukum sebagai sesuatu yang tidak otonom sifatnya,
yang nnempunyai hubungan pengaruh-mempengaruhi secara
timbal-balik dengan sektor-sektor non hukum, termasuk sektor
ekonomi.
Jika kita hanya memandang bagaimana hukum mengatur
sektor ekonomi, maka kita berada dalam bidang hukum
ekonomi. Hukum ekonomi adalah seperangkat norma-norma
yang mengatur hubungan kegiatan ekonomi, dan secara
substansiil sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang
digunakan oleh negara yang bersangkutan (liberalistis, sosialistis
atau campuran). Untuk Indonesia ruang ringkup Hukum
Ekonomi mendapatkan dasar dari pasal 33 UUD 1945 dan
GBHN.
Hukum Ekonomi ini tentu saja sangat luas cakupannya,
sehingga para pakar membuatkan klasifikasi yang cukup luas.
Ada yang membagi hukum ekonomi atas Hukum Ekonomi
Produksi, Hukum Ekonomi konsumsi, Hukum Ekonomi

270
Distribusi dan Hukum Ekonomi Keuangan. Ada juga yang
membedakan atas Hukum Ekonomi Pertanian, Hukum Ekonomi
Pertambangan, Hukum Ekonomi Industri, Hukum Ekonomi
Pembangunan, Hukum Ekonomi Perdagangan. Hukum Ekonomi
Utility (Prasarana). Hukum Ekonomi Angkutan, Hukum Ekonomi
Jasa-jasa masyarakat dan Hukum Ekonomi Pemerintah.
Namun seperti dituliskan di atas, persoalan hubungan
hukum dan ekonomi bukan sekadar hubungan satu arah hukum
yang mengatur sektor perekonomian, malainkan juga, sejauhmana
hukum mempengaruhi dan memperoleh pengaruh dari sektor
ekonomi, terlepas dari persoalan hukum ekonomi di atas?
Hal itu paling tepat jika kita menggunakan lagi konsep
inputs-outputs dari Harry Clipboard Bredemeier (dalam Vilhelm
Aubert 1979: 52-70).
Bredemeier mengikuti pandangan Talcott Parsons, yang
melihat fungsi sub-sistem ekonomi sebagai fungsi adaptasi. Namun
demikian, is tidak melihat fungsi adaptasi hanya berada pada
ekonomi, melainkan juga pada ilmu dan teknologi. Dengan
demikian, sub sistem ekonomi (termasuk juga ilmu dan teknologi)
merupakan semua kegiatan penggarapan sumber daya alam untuk
kemanfaatan umat manusia. Dad sub-sistem ini muncul konflik-
konflik kepentingan, menimbulkan persengketaan yang

271
membutuhkan penyelesaian di muka pengadilan. Itulah yang oleh
Bredemeier dilihat sebagai " masukan-masukan " dari sub sistem
ekonomi (plus ilmu dan teknologi) ke dalam pengadilan.
Pengadilan kemudian mengolah masukan tadi, dan kemudian
dihasilkan "luaran-luaran" melalui putusannya, berupa
penertiban terhadap hubungan kepentingan yang tadinya tidak
serasi, sehingga kepentingan-kepentingan itu bisa ditertibkan
kembali, diorganisasikan kembali sehingga terintegrasi dalam
wujud ketertiban. Pengorganisasian oleh pengadilan tadi, dapat
berwujud penegasan tentang hak-hak, kewajiban-kewajiban.
Pertanggungjawaban, ganti kerugian dan sebagainya.
Gambarannya tentang hubungan antara hukum dan ekonomi,
oleh Bredemeier dinamakannya : The Law and Adaptive Process.

272
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, 1999. Pengadilan dan Masyarakat. Hasanuddin


University Press. Ujung Pandang.
---------------, 2002, 50 Tahun usia, karya pilihannya dan
komentar berbagai kalangan tentang Achmad Ali. Lephas
Makasar.
----------------, 2017 Menguak Tabir Hukum (Suatu kajian Filosofis
dan sosiologi) Kencana, Jakarta.
Achmad Sanusi. 1977. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata
Hukum Indonesia. Tarsito, Bandung.
Apeldoorn, L.J. van, 2005 Pengantar Ilmu Hukum.Pradnya
Paramita Jakarta.
Damang dan Apriyanto Nusa. 2017. Asas dan Dasar-dasar Ilmu
Hukum. Genta Jakarta.
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, 1993 Bab-bab tentang
Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti.
Sudikno Mertokusumo, 1984, Bunga Rampai I/mu Hukum.
Liberty Yogyakarta.
----------------, 1996. Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar. Liberty
Yogyakarta.
Shrode William A & Dan Voldi .1974. Organization and
Management Basic System Concept. Malaysia, Irwin Book
Co. Hlm.122

273

Anda mungkin juga menyukai