Anda di halaman 1dari 3

TUGAS 2 PENGANTAR ILMU HUKUM

Nama: Yoseph Mbete Wangge

NIM: 048053484

Soal Tugas 2

1. Pada hakikatnya, sumber hukum dibagi menjadi sumber hukum materiil dan sumber
hukum formil. Sumber hukum materiil merupakan faktor-faktor yang dianggap dapat
membantu pembentukan hukum. Coba jelaskan menurut analisis saudara disertai contoh.

2. Hans Kelsen mendefinisikan hukum tidak lain merupakan suatu kaidah ketertiban yang
menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya. Berikan pendapat saudara
mengenai pernyataan di atas

3. Saat ini mulai berkembang paradigma hukum progresif yang mendobrak pemikiran
formalistik dan legalistik dari penegak hukum terutama hakim. Berikan opini saudara
tentang paradigma hukum progresif tersebut

Jawab:

1. Sumber hukum materiil merupakan faktor-faktor yang dianggap dapat membantu


pembentukan hukum karena sumber hukum materiil adalah tempat atau asal dari hukum
itu diambil, Sumber hukum materiil memiliki kaitan erat dengan keyakinan dari tiap
individu maupun pendapat umum yang dapat menentukan isi sebuah hukum. Sumber
hukum materil juga merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya
hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi atau
pandangan keagaamaan, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, keadaan
geografis.

Menurut Saut P. Panjaitan, sumber hukum materil yaitu faktor-faktor atau kenyataan-
kenyataan yang turut menentukan isi dari hukum. Isi hukum ditentukan oleh dua faktor,
yaitu faktor idiil dan faktor sosial masyarakat. Faktor idiil adalah faktor yang berdasarkan
kepada cita masyarakat akan keadilan. Faktor sosial masyarakat yaitu hal-hal yang
memang hidup dalam masyarakat dan tunduk pada peraturan yang berlaku sebagai
petunjuk hidup bagi masyarakat. Seperti struktural ekonomi dan kebutuhan masyarakat,
kebiasaan dalam masyarakat, hukum yang berlaku, tata hukum negara lain, keyakinan
agama dan kesusilaan, dan kesadaran hukum. Dari berbagai faktor diatas maka dapat
disimpulkan bahwa Sumber hukum materiil merupakan faktor-faktor yang dianggap
dapat membantu pembentukan hukum. Contoh Hukum Materil Pasal 199 KUH Perdata
tentang putusnya perkawinan

2. Hans Kelsen, sebagai tokoh positivisme hukum menjelaskan hukum merupakan sistem
norma, sebuah sistem yang didasarkan pada keharusan (apa yang seharusnya atau das
sollen). Bagi Hans Kelsen, norma merupak produk pemikiran manusia yang sifatnya
deliberatif. Sesuatu menjadi sebuah norma kalau memang dikehendaki menjadi norma,
yang penentuannya dilandaskan pada moralitas maupun nilai-nilai yang baik.
Menurutnya, pertimbangan-pertimbangan yang melandasi sebuah norma bersifat
metayuridis. Sesuatu yang bersifat metayuridis tersebut bersifat das sollen, dan belum
menjadi hukum yang berlaku mengikat masyarakat. Singkatnya, bagi Hans Kelsen,
norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak. Kehendak tersebut, menurut Hans
Kelsen, adalah kehendak yang netral, obyektif, dan kehendak yang memang menurut akal
sehat harus demikian. Jadi, kehendak untuk tidak memberikan sesuatu tersebut, dilandasi
pertimbangan yang oleh umum (common sense) dianggap benar. Mengapa dianggap
benar? Karena dilandaskan pada suatu ajaran yang secara obyektif memang benar
misalnya ajaran: orang tidak boleh menerima sesuatu kalau itu bukan haknya.Ajaran
obyektif ini, menurut Hans Kelsen harus dapat dikembalikan pada ajaran yang lebih
tinggi, hingga pada norma paling mendasar. Hukum sebagai sistem norma yang
dijelaskan Hans Kelsen akan menjadi mengikat masyarakat, apabila norma tersebut
dikehendaki menjadi hukum dan harus dituangkan dalam wujud tertulis, dikeluarkan oleh
lembaga yang berwenang dan memuat perintah. Pendapat Hans Kelsenini
mengindikasikan pikirannya bahwa positivisme hukum menganggap pembicaraan moral,
nilai-nilai telah selesai dan final manakala sampai pada pembentukan hukum positif. Oleh
karena itulah penggalang kata- kata yang sangat terkenal dari Hans Kelsen: hukum ditaati
bukan dinilai baik atau adil, tetapi karena hukum itu telah ditulis dan disahkan penguasa.
Oleh karena itu hukum tidak lain merupakan suatu kaidah ketertiban yang menghendaki
orang menaatinya sebagaimana seharusnya.

3. Paradigma hukum progresif digagas oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo adalah sebuah
gagasan yang ditujukan kepada aparatur penegak hukum terutama kepada Hakim agar
supaya jangan terbelenggu dengan positivisme hukum yang selama ini banyak
memberikan ketidakadilan kepada yustisiaben (pencari keadilan) dalam menegakkan
hukum karena penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai,
ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum
memulai nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus
mampu diwujudkan dalam realitas nyata. Eksistensi hukum diakui apabila nilai-nilai
moral yang terkandung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan atau tidak.
Dalam tulisannya yang lain lagi Satjipto bahkan menganggap kewenangan menafsir
aturan hukum yang dilakukan lembaga peradilan adalah sebuah sarana dalam menafsir
hukum secara progresif. Menurut Satjipto bahwa hakim adalah harapan terakhir para
justiabelen (pencari keadilan) oleh karena itu mereka harus membaca jiwa yang
terkandung di dalam teks-teks hukum sebagaimana dipopulerkan oleh Ronald Dworkin
(moral reading of law).
Harapan kaum intelektual hukum, sepertri Satjipto Rahardjo dan penganut hukum
progresif lainnya sepertinya telah didengar oleh struktur hukum melalui berbagai
putusannya, antara lain: Pertama, Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 46/PUU-
VIII/2010 yang membatalkan Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dengan pertimbangan bahwa pasal tersebut mengandung unsur
dikrisiminasi terhadap anak luar nikah (sekalipun hubungan darah antara anak luar nikah
dengan ayah biologisnya dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan dan alat bukti lain
menurut hukum), sekaligus bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum
sebagaimana termaktub dalam Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi seperti ini menunjukkan bahwa hakim-hakim Mahkamah
Konstitusi menderivasi konsep hukum progresif dalam bentuk membatalkan teks undang-
undang diskriminatif, kemudian beranjak lebih realistis mempertimbangkan nilai-nilai
keadilan yang hidup di dalam jiwa masyarakat (terutama anak-anak yang dilahirkan di
luar nikah) yang selama ini menjerit dengan ketidakadilan undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai