Anda di halaman 1dari 31

Data novel PASAR by Kuntowijoyo

No Data Hal. Analisis


1. Rumah dan tinggal di kota kecamatankalau engkau 1
terpelajar, dan tinggal di kota kecamatan itu,
berhubunganlah dengan Pak Mantri pasar. Sebab tidak
seorang pun kecuali Kasan Ngali, tentu yang mengaku
orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak
Camat atau Pak Kepala Polisi, dan ibu jari mereka akan
diacungkan.”nah, Pak Mantri Pasar itu. Begini!”

2. Atau katakanlah bersarang, sebab Pak Mantri pasar boleh 3


dikata tak lagi dapat tempatkan burung-burung itu di
pagupon. Kantor pasar itu bergandengan dengan kantor
Bank pasar. Ada bedanya, kantor Bank pasar sedikit lebih
putih temboknya, hanya tidak lepas dari rumah-rumah
burung dara. Ada pula usaha mencat jendela dan pintunya.
Kalau saja tanpa burung dara, di bagian kantor Bank pasar
itu akan sangat bagus jadinya
3. Ternyata, lebih banyak pedagang yang berjualan di jalanan 4
muka pasar daripada masuk ke los los. Pak mantri pasar
sudah berusaha menggiring mereka ke dalam, tetapi sia-sia.
Makin hari los-los makin sepi. Dengan bermacam-macam
alasan, seperti: ”lebih enak di jalan”. “lebih dekat dengan
pembeli” sampai “peruntungan saya di jalan, bukan di
pasar”, itu membuat jengkel Pak mantri saja. Akhirnya
orang tua itu menyerah. Bahkan akhir-akhir ini orang telah
menjual kambing di jalanan juga dan bukannya di pasar
hewan. Semakin hari semakin parah dengan para pedagang
itu. Dan sialan, Pak menteri pasar pula yang disalahkan!
No Data Hal. Analisis
soalnya iyalah karena buru-buru darah itu tunggulah duduk
perkaranya.
4. Wah kalau bukan penyabar, laki-laki tua itu sudah pasti 5
menempeleng sopir dan nenek itu. Kurang ajar! Berandal!
seenaknya mempermainkan perempuan. Kau kira apa
penjual nasi itu, he. Menjual nasi, bukan menjual tubuh.
Ingin sekali Pak mantri membuat larangan tentang
kelakuan macam itu di pasarnya. Itu kalau ia bukan
penyabar. Dan duh, perempuan itu malah membalas
tertawa. Dunia apa ini! pasar bukan bordir. Pak mantri, ck,
Jmemalingkan muka. justru dialah yang malu melihatnya.
5. Biarlah itu terjadi pada orang-orang lain. Asal jangan 6
keluarganya, asal jangan anak cucunya. Hupis tersentak
sebentar. Ia hidup sendiri, tidak beristri-beranak. Hanya
keluarga yang jauh, dan tinggal jauh.
6. Di pojok kantor, tempat yang biasa untuk menaruh sapu, 7
disaksikannya tidak ada sebuah sapu pun. Paijo sedang
menyapu.
7. Seolah yang berkuasa adalah Paijo dan bukan Pak mantri. 7
8. Baiklah waktu pagi itu akan digunakan untuk meneliti 9-10
keadaan pasar. Untuk membuang sial. Pagar? Aduh, itu
bukan pagar namanya. Kawat berduri sudah berantakan.
Mengapa pak ijo tidak berbuat apa-apa. Bisa saja
sebenarnya disambung atau diapakan begitu, supaya orang
tak dapat masuk lewat terobosan itu. E, baru sekarang ia
tahu, pedagang-pedagang suka lewat jalan terobosan ini,
sekadar untuk menghemat jalan. Dan ini disaksikannya
dengan mata kepalanya sendiri: seorang perempuan dengan
tenggok dagangan melompati pagar kawat berduri itu, hati-
hati, dan ya dunia, betis itu, paha eh, terlalu tinggi
mengangkat kain untunglah Paijo tidak melihatnya, ia bisa
No Data Hal. Analisis
malu. Apakah ini tontonan Paijo setiap pagi? Pak mantri-
sudah terlambat-melengos. Tidak patut pemandangan
macan itu. Tetapi ada yang tak disukainya dengan dirinya
sendiri, yaitu debaran jantungnya, dan entahlah bagaimana
dan tubuhnya yang tidak beres. Celaka, ia menoleh lagi.
Bayangan tentang kulit kuning itu melintas lagi. Aduh
biyung. Perempuan itu sudah sedikit jauh. Lebih baik ya
duduk di kantor dan menenangkan diri.
9. Pak mantri melihat hal itu, tetapi disadarinya bahwa hari 10
itu bisa jadi hari sialnya. Mungkin pak ijo biasa saja, hanya
dia sendirilah yang mengira ada perubahan-perubahan pada
orang.
10. Pak mantri memperhatikan cara sapu yang jatuh dengan 11
kasar itu. Ya, pikirnya, ada bedanya orang berbudaya dan
tidak.
11. Gelagat itu diketahui Pak mantri.”Ke mana?” “menyapu, 13-
Pak” Pak mantRi berdiri, melihat-lihat, ia mengingat-ingat. 14
“ada yang terlupa lagi,” katanya. “apa Pak?” “Ini” l
menunjuk sangkar-sangkar burung itu, “dipanaskan, ya.
Dalam sinar matahari itu ada vitamin D nya. Tanpa vitamin
orang tak akan hidup. Vita artinya hidup titik kalau engkau
suka hidup engkau mesti mandi matahari titik suka hidup
apa mati?” “Ya, enak hidup toh, Pak.” Hih,
mendongkolnya, diajak melucu tak paham lagi. Paijo
mengambil sangkar-sangkar itu, satu persatu, pulang balik,
dan menggantungkan di sekitar kantor sangkar-sangkar
perkutut. Pak mantri mengawasinya saja. Tegurnya,
“jangan satu-satu membawanya. Berapa tanganmu?” “Dua
Pak.” “Ya, dua-dua begitu. Tak tahu efisiensi.” Ada tiga
sangkar puter dan lima perkutut. (Ini yang di pasar,
burung-burung yang tak punya kelas. Burung-burung yang
No Data Hal. Analisis
lebih baik ditaruh di rumah, dipelihara dengan tangan Pak
mantri sendiri. Semua burung itu dari jenis anggungan
saja, sebab pak menteri tidak suka pada sebangsa Oce-
ocehan, ia berpendapat oleh oceh-ocehan adalah mainan
anak-anak.)
12. Paijo mengusap mulutnya. Ada bagian yang belum masuk 16
ke mulutnya. Ada bekas angus hitam di pipinya. “Ambil air
untuk burung-burung di sangkar. Itu dulu. Nanti selesai,
bilang”. Pak ijo mengambil sebuah batok dari bawah meja
kantor sampai dekat pintu keluar, Pak Mantri
memanggilnya. Pak ijo kembali. “Jo ingat, ya. Jangan
ambil air dari sumur Kasan Ngali. Nanti burung-burung itu
bisa mati.” Pak ijo tidak membantah, ia sudah terlalu sering
dikatakan oleh Pak mantri. Tetapi siapa yang mau payah-
payah ambil air dan sumur yang jauh, kalau ada sumur
yang dekat. Di kecamatan itu tidak setiap rumah punya
sumur, di musim kemarau begitu hanya beberapa sumur
yang berair. Sumur Kasan Ngali cukup dalam. Ke mana
lagi, tentu ke sumur itu. Air toh sama saja tanpa merk
apapun. Ya, dan ada untungnya. Paijo dapat bertemu
dengan Kasan Ngali, sedikit omong, rokok atau apa yang
ada. Itu bisa memperlama waktu, dengan begitu Pak Mantri
tidak akan mengira, bahwa air itu dari Kasan Ngali.
(Tentang apa yang dibicarakan Kasan Ngali kepada Paijo,
harap tunggu sebentar)
13. “He, pikir apa lagi”, bentak Pak mantri. “bagaimana 17
dengan karcis pasar, Pak?” ”Itu bisa nanti”. Paijo melihat
ke atas lagi. Burung-burung dara itu berseliweran.
“Bagaimana menghitungnya, Pak?” “ Hus, banyak mulut.
Ya satu-dua-tiga-empat, begitu!”
14. Pak Mantri sedang menunggu hasil perhitungan pak ijo, 18
No Data Hal. Analisis
ketika ia mempunyai firasat untuk keluar pintu. Nah, apa
kata batinnya benar belaka! Ada yang terjadi. Seekor
burung dara terkapar di tanah menggelepar-gelepar. Ini
mesti perbuatan tangan jahat. Pak mantri menubruk burung
itu, membawanya masuk kantor. Masya-Allah! Ada darah
di bagian perut! Tentu dipukul, dengan batu, atau apa.
kurang ajar! Kithing-lah tangannya! Sekali lagi diamatinya
burung itu. Burung itu melemas, matanya terpejam.
Perbuatan manusia apa ini! Keterlaluan. Jangan burungnya,
kalau berani orangnya, he! Mondar-mandir ia membawa
burung itu di kantor. Diperiksanya, lagi-lagi.
15. Lihatlah, mejanya tak pernah luput dari tahi burung. Sabar, 23
sabar. Belum waktunya ia harus memutuskan hubungan
dengan Pak mantri pasar. Ataukah ia akan mempergunakan
waktu itu untuk mengusulkan sesuatu pada laki-laki tua itu
berkenaan dengan burung-burung dara itu?
16. Dan burung itu dapat bertengger! Bergembiralah! 26
Syukurlah! Hiduplah, burung! Sekarang membaca lagi
saja. Hanya dialah yang membaca koran sampai betul-betul
habis. Masih ada kopi. Dikembalikannya cowek ke sangkar
puter sambil bersiul. Hatinya menjadi damai bukan main.
Inilah kemenangannya hari itu.
Pelajaran dari burung dara itu ialah: bila hatimu tenang,
kerjamu berhasil. Pak mantri tahu hal itu. Dan ia menyesali
diri, kenapa ia sudah setua ini masih juga dapat terganggu
oleh tetek bengek di luar. Dan, nyatalah, setelah hatinya
damai kembali karena Siti Zaitun burung itu pun pulih
kembali. Sekarang, apapun yang terjadi, tenang sajalah,
Pak mantri. Untunglah Siti zaitun baik padanya. Cantik,
baik budi dan penyayang. Ah, tak ada kata yang tepat
untuk menggambarkan gadis itu, tidak ada kamusnya lah.
No Data Hal. Analisis
17. “Benar, pak. Bang saya juga akan bangkrut.” 30
“Keterlaluan. ini zaman edan. Manusia kembali ke tingkat
hewan”
“Ya, Pak”
“Coba. Mereka membunuh burung daraku. Seberani itu.”
18. Siti Zaitun menoleh. “Oh, Pak Mantri masuklah, Pak.” Ia 31
akan membuka pintu, tetapi Pak mantri mengucapkan
kalimat lagi: “Ternyata burung itu mati karena sampar.
Sekarang musimnya penyakit burung, Ning, eh, barangkali
Bapak keterlaluan, ya. Maafkanlah orang tua ya Ning.”
19. Kalau dihitung-hitung, satu-satunya orang yang pulang 33
kerja dengan sedih adalah Zaitun. Pak mantri punya
pendapat sendiri tentang kejadian hari itu. Dia punya jalan
hidup, inilah soalnya. Memasak sayur mesti pakai garam,
supaya tidak hambar. Sekali-kali orang mesti diajar untuk
susah, supaya bisa merasakan kegembiraan hidup. Tidak
mengherankan kalau ia pulang masih seperti waktu pergi,
pembersih dan pegawai yang setia. Ia masih sempat
menyiuli burung perkutut pula. Dan Paijo mana bisa ia
sedih. Sore hari main bola! tukang karcis itu menurunkan
burung-burung, memasukkan ke kantor, dan menutup
pintu.
20. “Ini melanggar peraturan titik tidak mau bayar, tidak boleh 35
jualan!”
“salahnya!”
“Ini bukan pasar liar”.
“Tak sudi”
“Pasar Negara”
“Pasar rakyat”
“Kulapor polisi”
“Laporlah. Sukamulah.”
No Data Hal. Analisis
21. Terkutuklah! Paijo terganggu lagi dekat tempat ia makan 39-
ada ribut-ribut. Beberapa orang mengejar-ngejar beberapa 40
ekor burung dara. Lebih dari itu, tongkat-tongkat di tangan,
tendangan-tendangan, lompatan-lompatan. Lebih dari
perkara burung. Umpatan, teriakan, kegemasan. Sebuah
tenggok dagangan, entah apa isinya, tertumbuk. “Hati-hati,
e!” “awas!” “Bajingan!” “Anjing” “Dagangan! Dagangan!”
“Wo!” Kurang ajar, dagangan disusun baik-baik, tumpah.”
Sebuah los dari bambu dengan atap plastik roboh. Burung-
burung telah terbang, tinggallah keributan. Paijo
menggenggam nasi di tangannya, nasi yang sudah di
tenggorokan sulit ditelan. Ini tentu tak baik jadinya.
Burung-burung ia meninggalkan tempat itu.
“Jo, berhenti titik lihat akibatnya,” tidak disangkanya
seseorang menghentikannya. Segera ia dikerumuni orang.
Orang ramai mengurungnya.
“Aku menuntut!” kata seorang
“Tidak terima!” kata orang lain
“Burung setan!” mengepalkan tinju
22. “Burung itu berkubang dalam gulai. Coba! Siapa mau 41
makan gulaiku!” Paijo melihat pisau mengkilat itu. Tentu
dengan pisau itu pula disembelih burung itu. Ketika
perempuan itu melihat Paijo segera pisau diacungkan
padanya. Habislah, sudah. Perempuan yang setiap pagi
menghiburnya kini menudingkan pisau padanya. Seperti
pisau itu betul menusuk hatinya. Kalau sudah begitu
perempuan bisa sungguh mengerikan. Masih ada nasi dan
perempuan itu di perutnya, jadi di rasanya perutnya mual,
seperti mau muntah saja. Apalagi mau dibantahnya?
Penjual nasi itu dikiranya orang terbaik di pasar. Sekarang
itu pun memusihinya. Ia pucat. Malu, kecewa takut,
No Data Hal. Analisis
bersalah, jengkel, dan gugup. Dicarinya kesempatan untuk
menghindar. Tetapi sebuah tangan menangkap pundaknya.
Tangan laki-laki. Ia suka olahraga juga, badannya cukup
baik, tapi dirasanya tangan laki-laki itu kukuh bukan main,
barangkali karena hatinya kecil.
23. Paijo berkeras keluar dan kerumunan itu. ia berhasil lolos, 42
di antara oleh omelan orang banyak. Ah, siapa sudi
memberimu ganti rugi! Lapor pada Pak Mantri?
Didiamkan saja! Apa gunanya dia punya kepala pasar,
kalau begitu! Hari itu baru hari sial baginya. Di mana lagi
dia dapat melupakan segala keributan itu? masuk kantor,
Pak mantri akan menegurnya dengan: mana uang karcis.
Padahal serupiah pun tak dapat. Mana orang-orang yang
berbaik hati padanya. Yang jelas kasihan padanya. Hm, iya
harus minta belas kasihan pada orang-orang pasar supaya
memberi uang karcis pasar? Seperti pengemis saja. Ia
pegawai pemerintah, bukan pengemis. Pergi pada Pak
mantri, bisa dibayangkan apa akan terjadi. Kata-kata yang
tak suka didengarnya akan meluncur begitu saja dari Pak
mantri. Ia tahu, biasanya manterinya sangat sopan pada
orang lain, hanya kepadanya mantri itu suka berlaku kasar
tetapi dimarahi Pak patri tidak sangat menyakitkan hati
selain atasannya, juga ia menghormatinya sebagai orang
tua. Mengadu salah, tidak mengadu salah. Ia merasa
terjepit. Orang-orang pasar menyalahkannya, Pak mantri
menyalahkannya. Orang pasar takkan berani berhadapan
muka dengan Pak mantri. O, ya, Zaitun diajak bicara
barangkali. Ia harus bersikap baik, supaya perempuan itu
tahu bahwa ia laki-laki betulan bukan penakut. Bahkan dia
masih tetap gembira dalam keadaan kacau itu.
24. Penjual tongkat berambut putih, berjanggut putih, 45
No Data Hal. Analisis
mengangkat bahu.
“Tahu apa?”
“Membayar karcis!” mengacung acungkan karcis
“Mengapa harus bayar!”
“Setiap yang jualan harus bayar, tolol! me-nyunyuk-kan
karcis kehidung.
“Siapa jualan?”
“Mau mangkir, ya? tangannya di pinggang.
“Tak ada orang jualan.”
Laki-laki tua itu meletakkan ujung tongkat-tongkat ke
tanah dan terus berjalan dengan sekali-kali tongkat itu
memecah tanah titik Paijo membuntuti
25. “Aku bukan pengemis!” Paijo membantah keras. “Apa ini, 48-
he! Menghina!” tarik-menarik lagi. 49
“Sudahlah,” sela Kasan Ngali. “Aku ada usul.”
Ada yang tak menyenangkan Paijo. Soal karcis tak perlu
lagi jadinya. Perkara penghinaan dan harga dirinya lebih
penting lagi. Dan itu tak bisa dibayar dengan uang.
Andaikata Kasan Ngali menyuruh laki-laki tua itu
membayar, habislah. Kasan Ngali melihat-lihat tongkat itu.
“Aku mau beli tongkat ini.” katanya
“Bayar karcis dulu sebelum jualan!” seru Paijo ada yang
beres dengan keadaan.
“Sabar, sabar. Tongkat ini kubeli. Dan uangnya dapat
untuk membayar uang karcis. Setuju?”
Jelas ini menjatuhkan Paijo. Tidak hanya itu saja soalnya.

Penjual tongkat merogoh kantong, sementara Kasan ngali


terus meneliti tongkat-tongkat. Memberikan uang pada
Paijo. Mata Paijo melotot, mau marah, tetapi bagaimana
ya. Tangan secara tak sadar telah menerima uang itu
No Data Hal. Analisis
memasukkannya ke tas. Begitu saja, ia merasa tak perlu
lagi memberikan tanda bukti. Katanya pada laki-laki tua
itu.: “Nah, ini baru betul. Baru ini namanya tahu aturan
titik lain lagi jangan lupa, ya. Sudah pergi sana.” Lalu
ditepuknya pundak tua itu. Kemudian Paijo tertawa. Kasan
Ngali tertawa pula. Laki-laki tua tertawa. Hanya, Paijo
sungguh-sungguh terhina. Mengutuki diri sendiri, tertawa
ialah pernyataan kemarahannya yang terpendam titik tidak
bisa lain dari itu. Kasan ngali telah membuyarkan
pikirannya. Atau nafsunya? Entahlah, sekarang enaknya
mengobrol dengan Kasan Ngali.
26. “Ya. Tidak seorang pun. Sedangkan kemarin masih!” 50
“Mengapa mereka tidak mau?”
“Mereka menyalahkan kita, pak.”
“Menyalahkan kita? Apa salah kita?”
“Ya, burung dara itu. Sekarang semua orang bersumpah
untuk memukuli burung-burung itu. Setiap orang bawa
tongkat. Dan kalau saya minta karcis, mereka mengajukan
tongkat itu kepada saya, Pak”
27. Siti Zaitun mendengarkan dengan khidmat. Tidak ada cara 52
yang lebih baik daripada membiarkan mulut tua itu bicara.
Ah, Siti Zaitun merasa keterlaluan dengan menyebut
“mulut tua” untuk Pak mantri. Maaf, ya Pak. Setelah pak
menteri selesai bicara ia pun menyala:

28. Pak mantri suka memberi julukan Kasan Ngali dengan: 55


kucing itu mesti kuberi panggang ayam di rumah masih
juga makan tikus. Artinya, laki-laki yang suka perempuan
jalanan. Ah, untuk orang Jawa seperti Pak mantri segalanya
adalah perlambang hidup! Yah, ia bertekad membuntuti
titik ketika hampir sampai di ekor kucing itu, ia berhenti
No Data Hal. Analisis
titik kucing itu pun berhenti. Membenarkan bahwa di
mulut itu. Jantung Pak mantri berdebar, akan dipukulnya
kah kucing itu? ia terlanjur tidak membawa tongkat atau
apa begitu. Berpikir sebentar tentang cara.
29. “Maaf, Nak. Apa pak camat ada? 60
Tukang ketik itu mengangkat muka dan menjawab: “coba
ditulis di buku tamu,” penunjuk kemeja buku tamu.
Pak mantri mau memukul muka orang itu ya yang sudah
jadi mantri pasar di kota kecil itu sejak sebelum bocah
ingusan ini lahir! Harus menulis di buku tamu pula!
Apakah ia menolak atau tidak? Bisa saja ia langsung ke
kamar camat dan camat itu akan menyambutnya dengan
tergesa-gesa. Eh siapa namanya, berani memerintah
menteri pasar.
30. “Kantor ini sepi saja titik di mana pak camat?” 61
Kecurigaannya diusahakannya untuk dilupakan.
“Tunggu saja, di sana.” Juru tulis menunjuk deretan kursi.
Sekali lagi penghinaan! Harus menunggu seperti orang
lain? Mantri pasar bertemu dengan camat harus duduk di
deret kursi itu? juru tulis berangasan! Marah lagi? Tidak.
Sesama titah, sesama makhluk haruslah sama tinggi.
Biarlah tak apa. Tidak ada gunanya marah, untuk
menjatuhkan namanya sendiri.
31. “Tidak apa-apa titik tidak apa-apa.” 62-
Lalu bergantian para perempuan itu bertanya. Tiga pegawai 63
wanita.
“kabarnya mereka bawa tongkat pemukul, ya pak?”
“mereka mengancam membunuh burung itu?”
“setiap hari ada yang mati.”
“kalau dibubarkan saja burung itu bagaimana, Pak?”
“untuk pesta saja, Pak?”
No Data Hal. Analisis
“iya. Daripada bikin ribut.”
“Kami diundang, ya pak?”
“kami yang masak, sudah.”
“dan berapa pendapatan dari karcis pasar itu?”
Sudah, sudah!ya terpaksa mendengarkan juga titik dengan
para perempuan hanya muka manislah yang patut. Ia
menahan marah sebenarnya. Apa saja yang kau katakan,
saya tidak marah, Nimas.
32. “ya, dunia itu berpasang-pasangan titik ada suka ada duka 63
titik ada orang yang suka padamu, ada yang tak suka
padamu titik itu namanya lumrah. Ada siang, ada malam.
Ada barat, ada timur,” kata Pak mantri sabar.
33. “apa ini?” lalu mengembalikan buku itu. Dalam tangkapan 64
Pak Mantri, camat memarahi juru tulis itu, karena
menyuruh Pak Mantri menulis segala. Ayo, mau bilang apa
kau juru tulis! Kau kira apa saya ini, he. Hanya, satu hal
yang mengecewakan juga: pak camat tentu tak
memperhatikan benar tulisan tangannya yang berukir itu.
Huh, baru ku tahu! Dan lagi: Pak Mantri diajak duduk di
kursi dekat meja camat, kursi sedang yang bagus. Nah
bukan di kursi deret tempat antri itu, juru tulis! Baru ku
tahu! Lagi: pak camat mengisyaratkan untuk
mengambilkan air teh titik itulah, jangan suka menghina,
juru tulis!
34. “Pasar ialah satu sumber pendapatan negara yang 68
terpenting titik pajak yang ditarik melalui pasar
seyogyanya mendapat perhatian pula.”
35. Pak mantri hampir tidak percaya. Ia tak punya urusan 72-
dengan laki-laki kayak itu titik bahkan mendengar 73
namanya saja, kalau bisa, ia suka mengupah orang daripada
merusak kendangan telinganya.
No Data Hal. Analisis
“Tadi pagar Kasan Ngali di muka itu dibuka.”
“sesukanya.” Jawab Pak mantri mengenakkan. “mau apa
kita?”
“pedagang disilangkan masuk pekarangan itu.”
“semuanya. Tidak peduli!”
“Kasan Ngali mendirikan pasar baru di pekarangan itu.”
36. Selamatan pasar Baru! Dan dia datang untuk itu! ikut 78-
bersenang bersama keruntuhan pekerjaannya! Macam- 79
macam pikirannya waktu makan.
“Jo,” Kasan Ngali mendekatinya. “Sambil makan, omong-
omong. Kabarnya bang itu tak laku juga, ya?”
“Iya.”
“pantas kemarin belum jam sudah tutup.”
“tidak Cuma kemarin.”
”mengapa begitu?”
“tidak ada yang menabung. Paceklik.”
“kalau bang tutup bagaimana?”
“ya, tutup. Bagaimana lagi?”
“Eh, itu. Siti zaitun itu?”
“kabarnya dia bisa saja pergi.”
“wah, sayang. Masih muda kehilangan kerja.”
Kasan Ngali tertawa. “sayang, sungguh sayang gadis itu
titik ayo makannya. Disampaikan!”
37. Pasar Baru Kasa Ngali! Penuh orang! Biarlah, ia mencoba 83
tenang. Berjalan dengan pandangan lurus, seperti pohon
yang kuat akarnya tak mudah goyah oleh angin. Dalam
benaknya saja ia menggambarkan pasar itu. los-losnya,
para pedagangnya, dan di sana kasang kali dengan Gigi
emas dan badan gemuknya berdiri mengawasi pasar
barunya.
38. Bisa saja ia mengamuk orang-orang itu titik itu tak 85
No Data Hal. Analisis
dikerjakan, karena ia menghormati undang-undang. Kata
orang, negara adalah negara hukum. Segalanya mesti
disesuaikan dengan hukum titik sudah tepatlah apa yang
dikerjakannya sekarang. Melapor ke polisi. Wah, kepala
polisi itu ke mana!
39. Soal menulis huruf jawa, di seluruh kecamatan tidak ada 100
duanya. Guru, pegawai pamong praja, bukan tandingan Pak
mantri. Tetapi membikin pengumuman lebih memerlukan
kejelasan daripada keindahan. Itu Pak mantri tahu. Tulisan
latinnya tidak boleh dibanggakan, namun buruk juga tidak.
Setelah yakin dengan bunyinya, Pak mantri mencelupkan
gulungan kertas yang tadi dibuatkan ke tinta hitam. Lalu
ditindasnya huruf pensil itu. jelas benar. “dilarang
menabung, kecuali pedagang pasar.” Benar, jelas, mudah
dibaca titik tetapi masih ada yang diragukannya lagi. Ia
bertanya pada Paijo.
40. “Tulisan itu?” 106-
“Iya, baru saja!” 107
“siapa orangnya?”
Paijo menggeleng saja.
“tentu, orang itu yang menyuruh.” Maksudnya Kasan
Ngali.
“bukan, Pak”
“siapa lagi!”
Sulitnya ialah, kalau engkau jujur dan harus menipu. Paijo
merasa terdesak. Lalu dengan sekonyong-konyong
dikatakannya.
“Siti zaitun yang menyuruh.”
Tobat! Itu tamparan untuk Pak mantri. Perempuan yang
dikasihinya itu sudah mulai memusuhinya.
Kesalahpahaman yang besar. Tidak ada yang bisa
No Data Hal. Analisis
diucapkan lagi. Pengumuman kertas yang dimaksud untuk
melindungi diri zaitun justru disuruhnya bongkar. Dan
tentu menyalahkan Pak mantri pula! Kesalahpahaman yang
menyakitkan hati!
41. “Itulah. Engkau mesti yakin. Swasta itu lebih bonafid. Dari 113-
usaha pemerintah. Sebab kita menyadari bahwa langganan 114
itu raja. Lihatlah bagaimana aku bekerja. Menjadi
pedagang bukan menjadi raja. Tetapi pelayan. Di sini aku
suka pakai celana kolor. Itu menguntungkan pekerjaan.
Pedagang gaplek bukan pegawai kantor. Lihat saja, pasar
yang ku buka itu!”
Paijo melihat pasar itu. benar-benar Kasan Ngali ingin
menyaingi pasar yang sah.
“lebih bersih. Lebih strategis. Tidak bayar karcis. Kita
berlomba dalam memberi servis masyarakat. Itulah ilmu
dagang. Pegawai tak punya ilmu itu. kau anggap pedagang-
pedagang di pasar mesti melayanimu, dan bukan
sebaliknya. Kalau ingin jadi feodal jangan kerja macam
begini. Masyarakat tak butuh lagi semangat itu!
42. Ku minta kau dan Siti zaitun menjadi saksi-saksi. Akan 121
terjadi hari naas bagi pencoleng. Hari ini cukup siap
pengaduan itu. Tentang pasar dan juga tentang orang itu.
aku sudah tahu tentang pasal-pasal yang mesti dikenakan.
Hanya aku, tahu soal ini. Soal bank itu. aku masih
berpendapat bahwa hanya orang pasar boleh menabung. Ini
soal ekonomi negara. Rakyat kecil mesti dilindungi dari
kapitalis-kapitalis pemurka. Tidak bisa dibiarkan terus.
Aku sudah membaca segalanya hari-hari ini. Yang harus
diperhatikan ialah nasib orang-orang kecil yang melarat.
Bukan mereka yang kaya. Itu berdasarkan pasal tiga puluh
tiga undang-undang empat lima. Ah, pedagang kaya tak
No Data Hal. Analisis
tahu undang-undang, pasti!”
43. “percayalah, bank pasar ini akan hidup lagi, Ning.” 122
“Itu urusanku sendiri, Pak.”
Kata-kata kasar lagi, ah barangkali gadis itu menyangka
Pak mantrinya telah mencemooh. Tentu, gadis itu tak akan
suka dihina. Jadi terangnya, Siti zaitun begitulah pikiran
Pak mantri mesti salah paham belaka.
“Jangan salah paham.”
“lalu apa?”
“Saya melihat gejala-gejala itu, Ning.”
“Gejala apa?”
“Akan datang orang menabung lagi”. maksudnya Kasan
Ngali
43. Sangat pedas rasanya bagi Pak mantri. Sabar, perempuan, 125
apalagi yang muda, selalu banyak tingkah. Dulu ia
membenci perempuan, sekarang ia dapat memahami
mereka.
“jangan salah paham, Ning. Aku mau menabung.”
“menabung? Siti zaitun terkejut. Mengapa tiba-tiba Pak
mantri punya pikiran menabung? Ane baginya.
44. “Bank ini tak perlu hidup, Pak. Kalau Pak mantri masih 126
kasihan pada Zaitun, jangan menabung, Pak.”
“Terimalah, Ning. Nak?”
“Tidak”
“Tidak mau?”
“Tidak”
“Tidak kasihan?”
“Pak mantri tidak kasihan?”
45. Ya! Siti zaitun tahu kuncinya! Tiba-tiba gadis itu tertawa 126
keras. Tetapi segera ditahannya. Ada yang membuatnya
sedih juga: orang laki-laki tua!
No Data Hal. Analisis
“Tidak ada yang perlu ditolong, Pak.”
“Berjanjilah, ya?”
Zaitun mengamuk. Itu cukup bagi Pak mantri. Dengan
sedikit lega sedikit kecewa, sedikit berharap sedikit cemas,
Pak mantri pun kembali ke kantor.
46. “Paijo mana, Pak?” 143
“Soal apa ini, seperti marah?”
“Kalau begitu lain kali saja.”
Tunggu, Ning. Segala soal bisa dibicarakan. Kalau saya
salah, ya minta maaf. Apalagi?
Siti zaitun sudah berangkat pergi titik Paijo datang.
“Pak Jo. Coba sebutkan nama. Siapa pedagang-pedagang
yang pindah ke pasar baru itu?
47. Anak-anak lain mengatakan bahwa yang sakit itu anak 152
marsiyah. Ada yang membuat Pak mantri terdiam sebentar.
Anak-anak itu tidak tahu bahwa pernah Marsiyah hampir
jadi istrinya janda itu pernah melamarnya, terangnya saja
begitulah titik tahukah engkau, mungkin kalau dunia dulu
menghendaki, engkau menjadi anakku. Anak itu
mengharukannya. Ah, anak-anak.
48. Anak-anak itu pergi. Dan Pak mantri senang titik 153-
sebaliknya dari marah, ia telah berbuat baik pada anak- 154
anak itulah yang disebut kebijaksanaan. Anak-anak itu tak
boleh dimarahi. Bukan hukuman yang pantas untuk anak-
anak, tetapi cinta kasih.

Duduk di kantor, ia tak dapat melupakan kejadian baru saja


itu. Marsiyah! Sekaligus iya ingat Kasan ngali titik begini,
tapi ini rahasia. Dikabarkan, setelah marsiah itu menjanda
karena kematian suaminya perempuan itu akan
melamarnya. Ada juga laki-laki dilamar perempuan, Eh.
No Data Hal. Analisis
Mungkin kesalahan atau kesengajaan Pak mantri
menunjukkan perhatiannya yang berlebihan pada janda itu.
Pertemuan-pertemuan singkat di pasarlah permulaannya.
Singkatnya, Kasan Ngali mendahului, uh, orang itu. kucing
itu, begitu mendengar ada tikus gemuk, terus saja ia
terbirit-birit. Begitulah, buyar hubungan itu. Kawin dengan
kasar ngali sebentar saja dicerai. Orang bilang kasan Ngali
suka mencerai. Seperti kata pepatah, habis manis sepah
dibuang itu. Marsiyah masih tetap manis juga. Pak mantri
tahu saja mana perempuan cantik dan mana yang tidak.
Menurut Paijo, Kasan Ngali mengomentari perceraian
dengan: hidup itu cuma mampir minum, minumlah di
mana-mana, sebanyak-banyaknya. Wo! Dasar busuk! Ini
merendahkan derajat wanita. Pak mantri sebenarnya masih
tertarik pula pada Marsiyah. Kepada Paijo selalu dikatakan
bahwa ia kasihan pada anak-anaknya. Tetapi yang tidak
mungkin bahwa Marsiyah adalah bekas kasan Ngali. Aduh,
menyakitkan betul. Pak menteri sedih juga. Kalau ia kawin
tentu punya jalan cerita yang lain. Ah, Marsiyah. Kalau
anakmu yang meminta burung-burung dara, mau aku
memberikannya semuanya. Ya dunia! Ya airmata!.
49. Sesudah malam, siang akan datang. Mengapa engkau 160
khawatir? Kesusahan adalah karena pikiran kita sendiri.
Kalau kita berpikir bahwa yang menyusahkan itu juga
membahagiakan, kita akan menyerah. Mungkin sekarang
engkau diusahakannya, tetapi kemudian, setelah dalam
jangka yang panjang engkau tahu bahwa engkau
sebenarnya berbahagia pada waktu dulu itu. Nah, ada
rahasia yang kita tak tahu. Hidup itu penuh rahasia. Maka
tenanglah hatimu.”
50. “Disuruh zaitun, Pak” 165-
No Data Hal. Analisis
“Zaitun itu siapa?” 166
“Pegawai bank, Pak”
Nah, itu tahu! Ini suatu kemenangan bagi Pak mantri. Dia
bisa menguasai. Kesabaran mengalahkan kemurkaan.
“Bank apa?”
“Bank pasar.”
“Pasar mana?”
“sini, Pak.”
“Kepala pasar sini itu siapa?”
“Ya Pak mantri. Siapa lagi.”
“Misalnya kamu mau masuk rumah orang, apa tidak minta
izin?”
“Ya minta, Pak.”
“kalau tidak, namanya apa?”
“Ya maaf Pak.” Pak mantri menang!
Tiba-tiba ada suara perempuan menyala. Itu Siti Zaitun
51. Lalu Paijo beranjak pergi dengan bersungut. Ia sudah 173
berbuat banyak. Bahkan memalsukan laporan.
“kalau tidak percaya, ya sudah.”
Pak mantri melihat itu titik agak lunak juga jadinya. Paijo
ditegurnya
“Jo, jangan begitu titik saya hanya main-main saja tadi.”
“sudah tua masih suka main-main segala,” jawab Paijo
pelan seperti pada dirinya sendiri.
tidak diduga Pak mantri tertawa. Keras-keras, memegang
perutnya.
“lucu! Jo, kalau marah kau sangat lu-cu! Ha-ha!”
kemudian tukang karcis itu tertawa lebih keras. Kamar itu
penuh dengan gelap yang tiba-tiba. Maka carilah
segalanya.
52. “tidak begitu,” kata Pak mantri. “ kita jangan mendendam 177
No Data Hal. Analisis
titik sebab, semua orang akan memungut hasil
perbuatannya sendiri. Kita tidak usah mendoakan apa-apa.
Semuanya akan kejadian. Yang kaya akan miskin, yang
pangkat akan hilang. Itu sudah digariskan. Kita hanya bisa
menantinya saja. Kejahatan akan bertuah kejahatan pula.”
“kalau sudah sampai puncak, orang itu akan turun,”
sambung Paijo sabar.
“tepat! Kita mesti kasihan.”
“kasihan.”
“mereka yang tidak mengerti makna hidup. Ialah yang
mati sebelum mati.”
“hidup sih hidup. Tetapi jiwanya mati.” Ternyata Paijo
pandai juga.
”betul!”
53. “Pak Jo. Kalau sudah selesai, sebentar.” Zaitun 182
memanggilnya.
Paijo tergesa membereskan kantor itu. pintu ditutupnya
keras. Lalu pergi ke kantor sebelah.
Siti zaitun duduk menunggunya. Orang masih mengapur
juga.
“Pak Jo, saya mau tanya.”
“Apa?”
“Pak mantri tidak marah lagi?”
“kau malah dipujinya”
“bagus. Dan tentang makanan itu, bagaimana.”
“hebat! Paijo mengacungkan jempolnya.
“Ya. Itulah sebabnya titik tolong, mintakan maaf.”
“Allah! Ada-ada saja titik tidak ada yang perlu dimaafkan,
Ning.”
“betul, saya sungguh-sungguh.”
Semua orang punya salah. Yang tua karena ketuaannya
No Data Hal. Analisis
yang mudah karena kemudahannya. Apalagi.”
“saya menyesal.”
“tidak perlu lagi. Dengan goreng ayam itu sudah beres!”
54. Paijo melihat bidang meja yang biru oleh tinta. Dan Siti 183
zaitun menunjuk lagi. Sebuah buku yang semata-mata biru
oleh tinta. Dan zaitun masih menambahkan tentang
bajunya yang kena tinta pula.
“Dan, saya menangkap sembarang burung dara itu.
Hasilnya ialah yang sudah kalian nikmati.”
“Jadi itu daging burung dara?”
“Seperti ayam bukan?
“wah. Saya sudah berpikir begitu pula!”
“tolong. Sampaikan maaf untuk Pak mantri itu saya
menyesal.”
55. “Oo. Kalau caranya begitu, tak akan dapat juga, pak” 188
Tukang karcis itu berlaga tahu. “sabar itu subur. Tidak
sabar tidak majur. Tidak sabar masuk kubur.” Rasakanlah
sekarang!
56. “nanti saya lapor, Pak.” 211-
Kasan Ngali mengamuk. 212
Bukan impian bukan khayal! dua bungkus hadiah dalam
sehari! Hari ulang tahun Siti zaitun yang membawa berkah
bagi tukang karcis! Itulah enaknya: baru berdekatan
dengan perempuan cantik saja sudah mendapatkan hadiah-
hadiah titik belum lagi, eh. tidak usah jadi apa-apa jadi
tetangga pun senang.
57. “Hus!” 214
“Kalau lamaran titik kalau tidak ditolak ya diterima”
“jangkrik!”
“itulah soalnya, Pak. Sebagai orang berpengalaman...”
“Kutempeleng loh!”
No Data Hal. Analisis
“tidak mau, Pak”
“tidak mau bagaimana?”
“tidak mau kawin sama Pak Kasan.”
“alasannya?”
“tidak beri alasan Pak.”
“mengapa tak kutanyakan alasannya?”
“bukan urusan saya, Pak”
“bodong! Mestinya kau bilang yang baik-baik, ah.”
“dia sudah tahu semuanya, katanya.”
“masak! Wah, karena kau juga.”
58. Jadi Pak ijo lah yang saya suruh antar. Itu mestinya kurang 218
sopan, bukan”
“ah, pakai maaf segala.”
“saya takut, kalau kemudian pak camat mengira...’
“ tidak, Pak. tidak. saya percaya”
“Jadi maaf, Pak.”
“dan sekarang pesanan saya itu, Pak?”
“Ah, itu mudah. Yang menjadikan saya pusing itu, ah.”
59. Tukang karcis mendengar percakapan itu pula. Badannya 219
gemetar. Ada yang tidak beres urusannya kali ini. Camat
memanggil Paijo.
“benarkah keterangan tadi?” tanya camat.
“Iya, Pak.”
“dan Pak mantri berpendapat lain. Laporan itu berubah-
ubah bunyinya!”
“Engkau mengubah laporan itu? selama Pak materi, untuk
Paijo.
“begini, Pak”
“wah bagaimana ini! Camat nampak gusar. “ada tiga
versi!”
“Dulu memang iya. Sekarang tidak lagi!” Paijo
No Data Hal. Analisis
membantah.
60. “ada yang salah, tentu.” Pak camat mengakhiri kebekuan. “ 220
sebentar saya akan berunding dengan Paijo dulu.”
Mencoba tenang.
61 “sudah, Pak mantri dan Paijo. Soal itu bisa ditunda.” 220
“tidak, Pak. Sekarang saja,” Paijo mengusul.
“tidak. Kan tidak tergesa, toh Pak mantri?”
“sama sekali tidak,” jawab Pak mantri. Bebas, tidak jadi
mendapat malu.
62. “Pak,” katanya 224
“tolong! Apa!” bentak Pak mantri
apalagi iya ingat sesuatu cara. Semacam pembalasan juga.
“menurut Siti zaitun.”
“He, ya. Menurut zaitun bagaimana?” Pak mantri pun jadi
lembut.
“yang diberikan dulu itu.”
“apa itu?”
“makanan dalam besek itu.”
“Ya.”
“yang kita makan itu.”
“Ya.”
“yang enak itu.”
tukang karcis itu ragu-ragu. Tetapi telah terlanjur
diucapkannya. Ah, ini tentu akan merusak hubungan itu
lagi. Dan dia jadi orang yang salah lagi. Apa boleh buat!
Sebenarnya zaitun sendiri meminta supaya hal itu
disampaikan juga. Inilah kesempatan yang tepat saat dia
bisa mengucapkan dengan jujur, dan puas!
“ya.”
“yang kita kira ayam goreng itu.”
“Ya “
No Data Hal. Analisis
“sebenarnya burung dara!”
“burung dara?”
“ya. Dari pasar.”
“burung daraku.”
“ya, Pak.”
63. “persiapan untuk besok pagi!” 229
“itulah. Siapa yang menyuruh kau menyiarkan begitu?”
“tetapi kemarin...”
“ya kalau ya!”
“di kecamatan itu?”
“itu kan baru rencana, Jo.”
“kan sungguh, tok Pak?”
“ya kalau sungguh, kalau tidak bagaimana!”
“bagaimana to Pak. Pak camat sudah diundang.”
“Ck. Semua itu mestinya tanya-tanya dulu, ya!”
64. Dan terus memberondong: “toloool. Kau bilang pada orang 230
kalau rapat itu dibatalkan?”
”sudah, Pak”
“pokoknya bodoh itu bodoh!”
“bagaimana benarnya, Pak.”
“sebenarnya bahwa kau tolol.”
“jadi, tidak jadi, to pak?”
“ya, kalau tidak. Kalau jadi bagaimana?”
“jadi, jadi, to Pak?”
Pak mantri menunjuk dadanya: “ mantri pasar tidak akan
mundur. Ayo bilang mereka. suruh mereka kumpul pada
hari pasar jam sepuluh. Untung ada yang bertanya kemarin,
kalau tidak bagaimana.”
65. “lalu apa yang kau kerjakan sekarang, Jo” 240
Suara itu seperti menuduh Paijo
“bagaimana, Pak?”
No Data Hal. Analisis
“tidak ada yang beres!”
“soalnya, Pak”
“ingat. Saya tidak suka alasan!”
“kalau begitu kita cari hari lain, Pak?”
“sama saja! Tidak usah!”
itu suatu keputusan yang menyakitkan Paijo. Tukang
karcis itu disalahkan untuk kegagalan ini.
66. Selamanya ia menganggap tak sopan siapa saja yang 245
membuka baju di depan orang tetapi Paijo hanya mencoba
tersenyum.
“Paijo. Kita mesti rasional. Kita mesti dapat mengambil
pelajaran dari kegagalan kita.” Tukang karcis itu
mengangguk-angguk.
“dan kita tidak usah kecil hati. Kita jangan mendendam
pada siapapun. Kita jangan membenci orang.”
“saya malu, Pak.”
“malu? Apakah malu itu?”
“kita tidak dipercaya lagi.”
“jangan bilang itu, Jo. Dan malu itu kalau kita berbuat
jahat. Alangkah anehnya kalau malu hanya karena mereka
tidak mau datang. Hanya karena camat tidak datang. Hanya
karena pertemuan dibatalkan. Tidak usah dicari siapa yang
bersalah di sini. Aku tidak menuduh engkau, camat, polisi,
orang pasar. Tidak. Malu ialah kalau kita mencuri, menipu.
Sudah istirahatlah.”
67. “begini, Nak,” Pak mantri terus memulai. “pertama saya 245
mengucapkan selamat datang. Tentu tidak ada aral
melintang, bukan. Ah, sudah lama saya menunggu titik
saya pikir bank itu tidak usah ditutup. Kecamatan ini
sangat memerlukannya. Mungkin kalau secara dagang,
tidak menguntungkan. Tetapi apakah bank itu suatu usaha
No Data Hal. Analisis
dagang? Pokoknya, saya masih menyediakan tempat untuk
bank itu. soal sewa-menyewa, jangan dipikirkan lagi. Kita
sama-sama melayani masyarakat.” Kedua pejabat bank itu
berpandangan, dan Pak mantri melanjutkannya. “tidak
semua usaha itu mesti dinilai dari untung rugi. Misalnya
mengadakan sekolah-sekolah itu beban saja, tetapi perlu
diselenggarakan. Mengapa? Semacam penanaman modal
yang tak tampak. Sekarang memang sedang musim tanam
jangan mengharapkan panen. Jer basuki mawa beya. Tidak
ada kemakmuran masa depan tanpa ada pengorbanan. Nah,
anggaplah dengan bank ini kita menanam. Hasilnya
mungkin tidak segera nampak. Menanam padi panen tiga-
empat bulan lagi. Menanam jagung, tiga setengah bulan
lagi. Menanam kelapa ena-tujuh tahun lagi. Menanam jati,
lima puluh tahun lagi! Mengapa tergesa-gesa
memutuskannya?”
68. “Oh, teruskan dulu, pak camat.” 254
“O, Ya. Maaf tadi tidak bisa datang. Terpaksa begitu. Pak
widono baru saja pulang.”
“tidak apa, Pak.” Tidak apa! Ya, itulah yang harus
diucapkan, apalagi kalau bukan begitu. Pak widono atau
main catur, he.
“dan hasilnya bagaimana?”
“ditunda lain kali saja.”
“loh.”
“tidak apalah, Pak.”
“Wah, jadi saya yang mengacau acara, ya?”
“sama sekali tidak, Pak.”
69. “bagaimana mungkin mendirikan bank kredit. Padahal kita 255
sedang mengusahakan supaya orang lebih suka menabung
daripada meminjam.”
No Data Hal. Analisis
“kan sudah jodohnya, Pak.”
“tidak bisa! Tidak bisa. Mesti ditindak!”
70. “akhirnya pertimbangan Ning zaitun saya luluskan juga!” 261
“soal apa, Pak?”
“burung-burung Dara itu akan ku suruh tangkap semua!”
“semuanya?”
“semua!”
“Lho!” padahal dulu ia hanya sembronoan.
71 Tukang karcis itu kembali pada Pak mantri. 264
“tentang pengaduan yang dulu itu, Pak?”
“pengaduan apa?”
“mereka yang membunuh burung dara. Polisi.”
“dulu dulu, sekarang sekarang!”
“paham, pak!”
Paijo pergi lagi. Tetapi ada juga yang belum diketahuinya
benar. Lalu ia pun kembali.
72 Kerumunan itu tidak sabar lagi 271
“minta keadilan, Pak.”
“kita panggil polisi!” seru orang lain.
“O, saya tidak ingin polisi. Saya ingin Pak mantri
memberikan keputusan yang adil,” seru perempuan.
73 Sesuaikanlah kepentinganmu dengan kepentingan yang 279
lebih besar. Inilah yang diperbuat Arjuna ketika
menghadapi Resi Bima. Tidak salah lagi, pahlawan itu
mencintai musuhnya, yang juga moyangnya. Tetapi
lenyapkanlah dirimu bersama tujuan yang mulia.
Muliakanlah dirimu bersama dengan kepentingan manusia.
Mungkin itu menyiksamu. Menyedihkanmu.
Menyengsarakanmu. Tetapi apa artinya setitik air dalam
samudra yang luas? Dan siapakah sang kamu sang Adipati
karena itu? ia tahu, Pandawa itu saudaranya sendiri. Tetapi
No Data Hal. Analisis
ia memihak Kurawa, padahal sudah jelas bahwa ia akan
hancur? Mengapa tanda tanya iya seorang pemberani.
74. “wah, ini tidak ada undang-undangnya Ning.” 293
“memang tidak ada. Itu namanya kebijaksanaan!”
“bagaimana Pak. Bagaimana Bu?” camat memandang
orang-orangnya.
yang hadir masih juga belum tahu apakah rapat ini
sungguh-sungguh atau main-main saja. Mereka diam.
“kita tak bisa memutuskan,” kata camat.
“pertimbangkan, Pak. Burung-burung itu akan membikin
ribut saja!”
iya, orang paham, sudah. Siti zaitun sedang disukai Kasan
Ngali! Siapa tidak tahu! Gadis itu akan membalas kelakuan
Kasan Ngali. Maka, di belakang entah siapa yang meletuk:
“setuju, setuju!”
“setuju!”kata orang banyak.
pak camat tersenyum-senyum. Lihat mereka memutuskan.
Bukan kecamatan, loh!
75 “tidak rugi berkenalan dengan Pak mantri,” kata zaitun. 308
“beruntung berkenalan dengan Ning zaitun.”
“saya banyak belajar dari bapak.”
“wah, sekarang yang benar ialah kerbau menyusu gudel.
Sayalah yang banyak belajar dari Ning!”
“tetapi kerbau yang tua dan bijaksana tak lagi perlu
menyusu, Pak “
ya, dan mereka tertawa.
76 “ketahuilah,” kata Pak mantri. “musuh kita terbesar bukan 309
orang itu. bukan yang datang dari luar. Tetapi dari dalam.
Kita sendiri. Ada di dalam sini. Mengapa engkau takut
dengan musuh itu, padahal kau tidak takut dengan musuh
dalam dirimu? Itu omong kosong!”
No Data Hal. Analisis
“Pak.”
“kita punya tiga macam nafsu. Nafsu amarah, ialah yang
membuatmu Angkara, mendorong ke perbuatan jahat.
Nafsu lawamah ialah memberi pertimbangan, berada di
tengah-tengah, bergoyang seperti timbangan. Dan nafsu
Muthmainnah ialah yang menuntunmu ke kebaikan. Orang
yang sempurna ialah orang yang menguasai nafsu
amarahnya dan menuruti pertimbangan baik dan nafsu
lawamah. Kita mesti mempunyai nafsu Muthmainnah. Dan
manusia sempurna ialah manusia sejati, ialah nafsu
Mutmainnah ialah insan Kamil, ialah cahaya sebesar lidi
yang memancar di tengah angkasa!”
77. Suara-suara itu segera lenyap. Semua orang mendengarkan 345
suara yang lebih menarik. Sebuah dokar dengan gamelan,
berlalu dan sebuah pengeras suara. Di kanan kiri dokar itu
gambar-gambar dari kain. Gambar orang dengan warna
kelabu merah, putih, hitam. Tulisan-tulisan juga. Ketoprak
Sri Budoyo akan main di kota ini! Dimulai tanggal sekian.
Saksikanlah! Banjiri lah! Dan siapakah pemainnya!
“pemain yang terkenal cantik menggiurkan. Lencir kuning,
litreg-litreg! Tidak akan bosan duduk semalaman. Pemain
yang tidak asing lagi. Lebih lucu! Lebih menarik. Lebih
nges!”
Orang-orang membuntuti dokar itu. dokar sengaja berjalan
pelan.
“Sri Hesti main, nggak?”
“putri yang cantik dan mempesona, saudara akan
menontonnya dan menyaksikan kehebatannya. Montok
luwes!”
“Sri Hesti, to!”
“ya, Sri Hesti. Itulah namanya! Kami pilihkan cerita yang
No Data Hal. Analisis
menarik!”
78. “saya sudah melihat perubahan itu, Paijo.” 352
“maka Pak mantri jangan berhenti, pak.”
“itu soal lain, Jo.”
“saya akan sendirian, Pak.”
“tidak ada yang sendirian, Jo. Kalaupun itu terjadi,
ingatlah selalu bahwa setidaknya Tuhan bersamamu.”
“Iya, Pak.”
dan Pak mantri berdiri menatap mata Paijo lama-lama.
Lalu diletakkannya tangan di pundak Paijo. Dan
tersenyum. Begitulah selalu, suatu kepuasan.
79. “dengan siapa, jo.” 354
“ah, saya tahu saja! Darmo kendang calonnya! Hi-hi!”
“Huus! Siapa orangnya!”
“tahu saja!”
80. “bagus. Orang Jawa harus suka sastra! Hilangkan susah! 355
Mari kita sekarang bersenang bukan karena orang lain
susah tetapi karena kita telah berhasil. Coba, Nak. Saya ada
beberapa tembang. Yang saya buat baru saja. Tembangkan,
ya?”
mati! Jabatan kepala pasar itu rupanya harus dilalui
dengan ujian mengembang.
81. “tentu, pak. Tetapi suara saya jelek.” 356
“suara jelek tak apa, nak. Asal lagunya betul!”
“lagunya juga compang-camping, pak.”
“lagunya, jelek tidak apa. Yang penting artinya benar.”
“dan artinya apa, Pak?”
“lihatlah!”
Pak mantri menyodorkan kertas-kertas lepas. Setumpuk!
82. “ternyata orang Jawa tulen! Hurufnya jelas. Menunjukkan 360
tingkah laku laki-laki yang jujur dan tegas. Bagus.
No Data Hal. Analisis
Teruskan. Tembang ini ialah lambang cinta kita kepada
manusia. Kepada hidup. Kepada jagat raya. Kepada sang
pencipta.”
83. Guru sekolah itu mau juga saban malam main ketoprak, 363
asal mendapat peran yang serba jatuh cinta pada Sri Hesti.
Coba, ia sekali pernah, di muka orang banyak kalau di
belakang ia pasti lebih berani menarik tangan Hesti dan ya
begitulah. Yang menimbulkan sorak dan suit-suit.
84. “aku ingin bertemu sendiri orangnya.” 368
“O, dia sudah menguasakan pada saya, Pak.”
“Hm bukan begitu. Pembicaraan soal jodoh ini.”
“semua hal itu harganya!”
“ini hanya permintaan. Kalau tidak, boleh juga
berhubungan sendiri.”

MENGETAHUI,
Surabaya, 13 Maret, 2023

TAUFIQ
NIM. 16070936005

Anda mungkin juga menyukai