Anda di halaman 1dari 3

PENJUAL TUYUL

Oleh: Darmanun

“Pak Jo, Pak Paijo”, pedagang jamu teriak dari jauh. Sengaja akan melapor ke Pak
Paijo petugas pasar Bendo seorang PNS yang ditugaskan sebagai penarik karcis distribusi
pedagang pasar. Ditengah tengah hiruk pikuknya penjual dan pembeli, diantara suara ribut
tawar menawar, diantara lalu lalangnya pengunjung pasar.
“Ada apa Mbok De”, sahut Pak Paijo sambil mendekat.
“Sial-sial lagi, aku kehilangan uang 100 ribu rupiah”, kata mbok De Penjual jamu.
“Di cari dulu mungkin terselip di dompet, saku, atau di anu e e di mana gitu” jawab
pak Paijo dengan sabar dan perhatian.
Dalam kesibukannya pak Paijo terbayang dan penuh beban dalam benak pikiranya.
Mengapa setiap hari ada yang melaporkan kehilangan uang. Kemarin ada yang kehilangan
sekarang kehilangan lagi, timbul curiga dan mencurigai, timbul fitnah. Si itu yang mengambil
Si ini yang mengambil. Yang lebih kejam lagi Pak Mahfud pedagang sembako yang dicurigai,
pada hal pak Mahfud itu tangan dibuat kaki, kaki dibuat tangan karena dikerumuni
pelanggannya. Jadi dak sempat lagi kemana-mana. Adakah pencuri di pasar ini?
“Pak Jo, Mohon maaf ya, aku ini sekedar melapor saja. Hari ini aku kok kehilangan
uang 200 ribu rupiah”, disampaikan oleh pedagang sayur dengan suara yang lirih sambil
mendekat.
“Apa Bu Sunu Sudah mencari?” jawab pak Paijo
“Sudah-sudah, gini lo pak paijo bu Marmi, bu Jilah hari ini juga kehilangan uang
katanya, Cuma mereka enggan melaporkannya” ucapan yang diberikan bu Sunu sebaagai
laoran tentang dirinya sendiri dan atas nama pedagang yang lain. Disampaikannya oleh bu
Sunu kepada pak Paijo dengan penuh hati-hati dan santun.
Seketika merasa tersambar geledek. Pak Paijo terkejut, tersentuh hatinya merasa
kasihan pada para pedagang yang kegilangan uang. Padahal untungnya tidak sebesar uang
yang hilang. Bersusah payah membawa dagangannya kepasar, bersusah payah menata,
menjajakan dagangan, menawarkan dagangan demi mencari keuntungan untuk menghidupi
keluarganya.
“Pak-pak Paijo Cobak kesini, cepat, ada sesuatu yang perlu aku laporkan” dari
kejauhan dengan kencangnya suaranya Pak Amir pedagang kain. Suara bertenaga
memecahkan suasana seisi pasar.
“Maaaf, ada Apa pak Amir”, dengan penuh perhatian dan rasa hormatnya pak Paijo
mendekati pak Amir. Kelihatan ada sesuatu penting yang dilaporkan.
“Coba-coba dengarkan hari ini aku kehilangan uang. Uangku hilang 300 ribu rupiah.
Padahal baru aku hitung, dan terus aku hitung tetap kurang. Berarti hilang. Berati ada
maling atau tuyul di sini” Seru pak Amir, menarik perhatian penghuni pasar.
“Iya, tuyul, tuyul, tuyul, tuyul”, sahut menyahut kata-kata yang terlempar dari mulut-
mulut pedagang yang lain.
Bertaburan debu dan sampah yang tersapu oleh petugas kebersihan pasar Bendo.
Pak paijo bergegas menuju ruang kerja di samping regol pasar yang berukuran tidak begitu
luwas. Didalamnya ada satu meja dan dua kursi, tumpukan buku, tumpukan karcis, di
dinding tertempel gambar garuda pancasila lambang negara, foto presiden dan wakinya, di
sudut tertempet juga jam dinding. Menjelang duhur pasar sepi, semakin tak berpenghuni.
Kening Pak Paijo mengerut, pandangan liyar mulut komat-kamit. Beben berat menimpa di
benak pikirannya.
Terbayang keluh kesah Mbok De penjual jamu, Bu Sunu, pak Amir ada lagi yang lain
kehilangan uangnya di pasar. Ada yang mengatakan di pasar ini ada maling, ada tuyul. Ada
lagi yang mengatakan pak Mmahfud punya penglaris, punya tuyul.
Tidak terbayangkan oleh pak Paijo, kalao pak Mahfud penjual peralatan dan
kebutuhan rumah tangga itu punya tuyul. Pada hal pak Mahfud itu kalao sore hari sebagai
guru ngaji anak-anak di mushola Alashar, termasuk anaknya pak Paijo. Dak mungkin, pak
Pak mahfud itu orangnya alim, khusuk, ramah, suka bersedekah. Beban semakin berat yang
seakan tak mampu lagi untuk di pikul, dijinjing, digendong di panggulnya.
Pak Paijo tidak merasakan nikmatnya makan malam, meskipun waktu itu sang istri
menemani makan malam dan menyiapkan hidangan menu urap dan ikan nila bakar
kesukaannya. Bukan karena masakannya. Tapi beban pikiran yang membuat sesuatu yang
enak menjadi tidak enak baginya. Lalu pak Paijo mengungkap sesuatu terpendam perasaan
kepada istrinya. Penuh berharap istrinya adalah curahan hati yang bisa menjadikan solusi.
“iya. Iya pak Ne, itu tuyul. Tuyul itu adalah arwah korban abarsi yang gentayangan
ditangkap dukun tuyul, lalu dijual ke majikan. Tuyul menjalin kontrak dengan majikan. Tuyul
mengemban tugas mencuri uang. Hasil curian diberikannya ke majikannya. Ya enaknya lapor
saja ke polisi ... eh masak tuyul kok dilaporkan ke polisi. Yang bisa ditangkap polisi itu
pencuri”. Jelas istrinya mendekat sambil meminjat-mijat kaki suwaminya. Sang istri
menyadari dikeramaian, di kerumunan hiruk pikuk kehidupan di pasar suwaminya
menjalankan tugas pengabdiannya. Bekerja penuh tanggung jawab sekaligus untuk
menghidupi keluwarganya. Semuanya patutlah disyukuri kehidupan keluwarganya
tercukupi.
Pak Paijo terdiam bersandar di kursi panjang dengan menikmati pijitan tangan
lembut di kakinya, Kening mengerut, bayangan beban pikiran yang terlintas antara
pedagang, tuyul, maling. Kelembutan udara malam menyelimutinya. Terbelalak terkejut
penuh rasa takut. Pintu rumah terbuka dengan sendirinya, brek. Sosok kecil, telanjang,
gundul tampak persis di depan mata. Tampah jelas matanya melotot, lidahnya menjulur,
mulutnya melebar, tangannya menunjuk ke depan pak Paijo sambil mengumpat.
“Benar akulah tuyul, Aku adalah utusan dari majikanku. Aku bekerja sesuai petunjuk.
Aku bekerja dengan cepat dan tepat. Tidak ada tugas yang tak tuntas. Sedangkan Hai.......
kamu manusia. Kamu adalah mahluk yang paling sempurna dicipta oleh Tuhan, tapi kamu
adalah pemalas tidak mau bekerja keras. Kamu adalah pembohong membohongi teman dan
saudara. Kamu adalah pemfitnah, memfitnah manusia yang tidak bersalah. Kamu adalah
kejam berani melukai sesama manusia sambil tertawa ha ha ha ha...... Kamu adalah
pemalas tidak bekerja keras tapi memeras. Kamu memang mau enaknya sendiri”, Pak paijo
menggigil, berkeringat dingin terbelalak lalu bangki dari tidurnya.

Anda mungkin juga menyukai