Anda di halaman 1dari 11

BONE GRAFT PADA CELAH ALVEOLAR

1. PENDAHULUAN Defek celah alveolar biasanya tidak dikoreksi pada saat tindakan labioplasty atau palatoplasty ( perbaikan primer) sehingga akan menimbulkan adanya fistula orornasal pada daerah tersebut. Hal ini akan menimbulkan beberapa masalah antara lain : cairan dari rongga mulut akan lolos ke dalam rongga hidung, sekresi hidung akan mengalir ke rongga mulut, erupsi gigi kedalam celah, segmen alveolar collepse , dan jika celah lebar akan mempengaruhi suara (Peterson, 2003). Masalah lain yang timbul adalah jaringan parut yang terjadi setelah rekonstruksi primer jaringan lunak berperan mengurangi pertumbuhan maksila ke arah horisontal dan vertikal dan memperpendek segmen maksila, terutama segmen yang lebih kecil. Pada celah bilateral kedua segmen lateral memendek dan premaksila goyang. Celah juga menyebabkan dukungan alar hidung kurang memadai. Terdapat attachment priodontal yang hilang pada regio celah, terutama sebelah mesial kaninus dan distal insisif sentral. Insisif sentral akan erupsi memutar dan miring. Insisif lateral umumnya tidak erupsi dan jika ada bentuknya tidak sempurna (Hall, 1991). Pada tahun 1961 pertama kali dipublikasikan di Inggis perbaikan sekunder celah alveolar. Perbaikan sekunder dengan bone graft dikerjakan setelah labioplasty dan palatoplasty. Perbaikan konvensional dengan bone graft pada alveolar dilakukan antara usia 5 tahun sampai pubertas atau sebelum erupsi kaninus. Tindakan ini pertama kali dikerjakan menggunakan tulang iliaka autogenus (Hall,1991). Sejarah penutupan celah pada palatum dengan bone graft melalui beberapa fase yang meliputi modifikasi perawatan, beberapa type sistem graft, dan variasi waktu prosedur pembedahan (Boyne, 1991).

2. KEUNTUNGAN BONE GRAFT PADA CELAH ALVEOLAR (McCarthy, 1990;


Peterson,2003): Bone graft pada celah alveolar mempunyai beberapa keuntungan anatara lain :

1. Bone graft menyatu dengan segmen alveolar dan membantu mencegah collapse atau kontriksi lengkung gigi , yang terutama sangat penting jika maksila telah diekspansi secara ortodonti. 2. Bone graf pada celah alveolar menyediakan dukungan tulang untuk gigi disekitarnya pada celah dan untuk gigi yang akan erupsi pada celah. Seringkali dukungan tulang pada sisi distal insisif sentral adalah tipis, dan tinggi dukungan tulang bervariasi. Gigi-gigi ini tampak agak goyang karena kurang dukungan tulang. Peningkatan jumlah tulang alveolar untuk gigi ini akan membantu menjamin pemeliharaan periodontalnya. Kaninus cenderung erupsi ke arah celah dan dengan penempatan tulang yang sehat ke dalam celah, akan mempertahankan dukungan periodontal yang sehat selama erupsi dan setelahnya. 3. Penutupan fistula orornasal, yang akan memisahkan rongga mulut dan nasal, dan mencegah lewatnya cairan diantaranya. 4. Augmentasi tulang alveolar pada daerah celah yang akan memfasilitasi pemakaian dental protesa dengan membuat dasar dukungan yang lebih pantas. 5. Membuat pondasi yang lebih padat untuk bibir dan dasar alar hidung.

3. TUJUAN BONE GRAFT PADA CELAH ALVEOLAR (Hall, 1991) Tujuan perbaikan sekunder celah adalah : 1. Menutup oronasal dan palatal fistula 2. Stabilisasi pelebaran lengkung dan pada kasus celah bilateral premaksila 3. Dukungan tulang untuk erupsi kaninus 4. Memperbaiki tulang dan status periodontal insisif sentral dan lateral 5. Mendukung alar hidung

6. Beberapa keadaan prosesus alveolaris , gigi, dan gingiva maksila anterior normal.

4. WAKTU OPERASI Bone graft pada usia dini dilakukan tanpa memperhitungkan gangguan pertumbuhan. Meskipun derajat susunan akar kaninus (sepertiga sampai dua pertiga) umumnya merupakan kriteria waktu operasi, namun aspek yang paling penting adalah apakah gigi kaninus telah erupsi.atau belum.. Jika bone graft dilakukan sebelum erupsi, maka hasil yang lebih baik akan diperoleh. Gigi erupsi mendorong pertumbuhan alveolar dan bone graft serta menghasilkan gambaran kaninus yang lebih normal daripada graft ditempatkan setelah erupsi. Demikian juga dukungan periodontal lebih baik, dan attech gingiva lebih besar, ketika kaninus dapat erupsi melalui graft. Jika operasi bone graft ditunda sampai akar kaninus telah berkembang satu setengah atau dua pertiga, gigi insisif sentral dan lateral akan segera nampak erupsi. Bone graft yang dilakukan pada usia 5-6 tahun dimulai oleh Boyne dan Sand. Operasi pada usia ini memberikan dukungan lebih baik untuk erupsi insisif sentral. Karena pertumbuhan maksila di daerah celah adalah mendekati lengkap pada usia 5-6 tahun kecuali untuk pertumbuhan alveolar, dan tidak mempengaruhi pertumbuhan. Catatan terakhir menyatakan bahwa bone graft diawali usia 8 tahun tidak cukup mempengaruhi pertumbuhan maksila. Menurut penelitian bahwa operasi pada usia 6 tahun lebih baik daripada usia 8-10 tahun (Hall, 1991). Namun demikian Graf pada celah alveolar biasanya dikerjakan ketika pasien berusai 7-10 tahun. Pada saat ini bagian mayor pertumbuhan maksila telah terjadi, dan pembedahan celah alveolar tidak akan mempengaruhi pertumbuhan maksila. Idealnya prosedur graf dikerjakan ketika satu setengah sampai dua pertiga akar gigi kaninus yang akan erupsi telah terbentuk (McCarthy,1990).

5. EVALUASI PREOPERASI (Hall, 1990) Data-data pasien dikumpulkan sebelum tindakan operasi. Meskipun banyak tanda-tanda yang harus diperiksa, namun terdapat tiga hal yang sangat penting yaitu : 1. menyempitnya lengkung 2. fistula palatal dan labial 3. jumlah dan letak gigi pada celah Penyempitan lengkung menyebabkan suatu crossbite dari segmen yang kurang dan bagian anterior dari segmen yang paling besar. Meskipun segmen yang telah menyempit dapat diekspansi setelah graft, tetapi disarankan terlebih dahulu perawatan ortodonti untuk ekspansi sebelum operasi. Tindakan ekspansi akan meningkatkan ukuran fistula yang ada, tetapi tidak akan memisahkan jaringan lunak yang utuh. Segmen yang telah diekspansi memudahkan akses ke dasar hidung untuk penjahitan mukosa nasal. Fistula labial dan palatal hampir tidak pernah menimbulkan masalah untuk penutupan. Ketika terdapat fistula labial atau palatal, maka kaninus sulung dicabut terlebih dahulu 68 minggu sebelum operasi. Hal ini dilakukan agar cukup tersedia mukosa yang berdekatan pada celah dan memfasilitasi penutupan. Fistula yang lebar kadang-kadang memerlukan flap dari lidah. Dengan perencanaan yang hati-hati, fistula yang paling besar dapat ditutup tanpa memerlukan flap lidah atau jaringan yang lebih jauh lainnya. Evaluasi radiografi pada tempat celah dapat memperlihatkan apakah gigi insisif lateral ada dan apakah terdapat gigi supernumerer. Jika gigi supernumerer nampak pada mulut, maka tidak diekstraksi terlebih dahulu sampai celah dibuka pada saat operasi.

6. PERAWATAN ORTODONTI PREOPERASI (Hall,1990; McCarty, 1990)

Tujuan utama perawatan ortodonti pada bone graft untuk penutupan celah adalah mengekspansi segmen yang lebih menyempit dan memperbaiki crossbite pada segmen yang lebih besar. Ekspansi pada segmen yang telah menyempit dilakukan dengan ortopedik alamiah. Segmen yang kurang seharusnya dirotasi sekitar titik perlekatan dataran pterigoid. Gigi molar diekspansi berlebihan jika gigi kaninus terletak pada posisi yang tepat. Mungkin digunakan alat ortodonti konvensional atau alat ekspansi palatal.

7. ASAL BONE GRAFT Laporan yang paling banyak dari bone graft primer pada celah alveolar adalah penggunaan tulang rusuk autogenus ,yang mempunyai rasio tinggi antara tulang kortek dan cancellus. Beberapa peneliti kemudian memperlihatkan ketidakpuasan dengan graft tulang rusuk, barangkali karena alasan ini. Johanson (1974) menggunakan tulang tibia karena banyak tersedia tulang cancelus. Sedangkan pada pasien yang lebih tua, tulang iliaka paling sering digunakan jika banyak terdapat tulang cancelus Pada tahun 1970 Shehadi telah menjelaskan penggunaan tulang calvaria. Tulang ini merupakan sumber donor bone graft yang sangat baik untul celah alveolar (McCarthy, 1990). Bone graft standar adalah autogenuous cellous marrow ilium. Tulang ini selnya lebih besar, sehinga resisten terhadap infeksi dan cepat terjadi penyembuhan. Albrektsson telah memperlihatkan graft seperti ini pada kelinci dan telah terdapat pembuluh darah pada hari ke-5 dan telah tervaskularisasi secara penuh pada hari ke-20. Graft pada manusia secara klinik dan radiografi tidak berbeda dari tulang alveolar setelah 3 bulan operasi dan fungsinya seperti tulang alveolar. Pada tahun terakhir ini, kranium dan simpisis mandibula telah diyakini sebagai tempat donor yang paling baik dari pada ilium karena asalnya membranous. Tulang membranous memperlihatkan revaskularisasi lebih cepat dan kurang diresorbsi dari pada tulang endochondral. Juga mempunyai beberapa keuntungan lainnya. Pada orang dewasa komplikasinya lebih besar dari pada anak-anak, tulang membaranous memberi hasil yang lebih baik. Kerugian tulang mandibula dan kranial adalah masing-masing harus dipotong

secara berurutan dengan persiapan tempat celah. Pada kasus ilium, prosedur dapat dilakukan secara simultan, yang dapat mengurangi waktu operasi. Tulang rusuk lebih disukai untuk bone graft primer tetapi seperti fibula jarang digunakan untuk perbaikan sekunder (Hall, 1990, Bets, 1991).

8. TEKNIK OPERASI Kunci utama dari operasi adalah (Hall, 1990) : 1. Penutupan defek jaringan lunak dengan menggeser flap, yang menyediakan gusi lekat pada margin inferior 2. Visualisasi penempatan insisi yang tepat untuk memastikan jaringan cukup memadai pada penutupan mukosa nasal, palatal dan jaringan labial. 3. Memasukkan partikel kecil concellous marrow ilium secara padat yang dimulai pada dasar hidung. 4. Penutupan luka secara teliti dan bebas tegangan.

8.1 Celah Unilateral (Hall,1990, Turvey , 1996) Epineprin 1 : 100.000 diinjeksikan pada jaringan labial dan palatal untuk mengurangi perdarahan. Kawat atau alat ekspansi palatal dilepas terlebih dahulu. Kemudian dilakukan insisi sesuai pola. Flap labial ini diperluas sampai mukosa nasal dengan disseksi tumpul otot orbikularis oris (gambar 1). Diseksi diperluas ke arah superior pada dasar hidung. Mukosa nasal dibuka dari celah tulang dan diperluas ke palatal. Setiap gigi supernumerer pada celah diekstraksi. Flap subpereiostal bagian palatal sisi celah dibuka mulai dari tepi ginggiva. Flap mukosa dibuka secara lengkap melalui celah alveolar. Mukosa nasal yang melewati celah dan berikatan pada palatal dipisahkan dari mukosa palatal. Jika fistula palatal meluas ke posterior, maka pemisahan dan flap dibuat ke posterior yang merupakan akhir fistula. Mukosa nasal kemudian dijahit dengan jahitan kromik 4-0.

Gambar 1 : Prosedur Bone Graft pada celah alveolar unilateral (Turvey, 1996)

Tepian fistula dirapihkan kemudian dijahit dengan kromik 3-0.Pelepasan insisi melalui periosteum flap bukal posterior, mendukung kearah inferior dan anterior. Bone graft dimasukkan dan disusun dari lapisan dasar hidung ke puncak alveolar. Flap labial dan palatal kemudian dijahit. Alat-alat ekspansi palatal dan kawat ditempatkan kembali pada akhir prosedur. 8.2 Celah Bilateral (Hall,1990, Turvey, 1996) Perbaikan celah bilateral prinsipnya sama dengan celah unilateral tetapi ditambah beberapa variasi (Gambar 2). Insisi mukosa pada celah terlihat lebih baik, dengan penekanan manual dari pergerakan premaksila untuk membuka permukaan celah. Flap mukosa palatal premaksila dikerjakan lebih hati-hati, karena suplai darahnya tergantung pada perlekatannya pada tulang premaksila . Mukosa nasal ditutup sebagaimana kasus unilateral. Flap palatal lateral dilepaskan secara bebas sebagaimana celah unilateral. Fistula palatal pada midline pertama kali ditutup, selanjutnya flap palatal segmen lateral dan premaksila. Premaksila biasanya memerlukan suatu kawat ortodontik atau yang sejenis untuk imobilisasi.

Gambar 2 : Teknik Bone graft pada celah alveolar bilateral ( Turvey ,1996)

Pascaoperasi dilakukan perawatan pada pasien secara baik yang meliputi pemberian antibiotik dan analgetik, sedangkan diet untuk 24 jam pertama berupa cairan diikuti makanan lunak.

9. PERAWATAN ORTODONTI PASCAOPERASI Jika lengkung rahang diekspansi sebelum operasi maka alat ortodonti digunakan untuk mempertahankan selama 3-4 bulan sampai graf menyatu. Alat ortodonti kemudian dilepas dan mungkin terjadi collapse segmen yang minimal. Perawatan ortodonti

konvensional dilakukan untuk memperbaiki posisi insisif sentral yang dikerjakan setelah operasi ketika gigi sekunder telah erupsi. Jika ekspansi ortodonti dikerjakan setelah operasi, maka dimulai 1-2 bulan setelah operasi. Hal ini paling mudah dilakukan jika penyembuhan tulang telah lengkap pada sekitar tiga bulan (Hall,1991).

10. KOMPLIKASI Komplikasi yang paling sering adalah kehilangan bone graft , selalu dengan rekurensi fistula oronasal. Komplikasi ini terjadi sekitar 1% pada anak prepubertas dan 8% pada anak yang telah matang organ seksnya. Komplikasi minor meliputi dehisensi luka superfisial yang kecil pada puncak alveolar dan kegagalan kaninus untuk erupsi melalui graf tanpa pembukaan dengan pembedahan. Komplikasi ini terjadi sekitar 50%. (Hall,1991). Penutupan celah alveolar bilateral mempunyai rata-rata komplikasi yang lebih tinggi, hal ini mungkin terjadi karena kesulitan dalam memperoleh flap yang memadai pada permukaan posterior premaksila. Jika penutupan jaringan lunak berhasil, seringkali bone graft juga betrhasil. Terbukanya bone graft yang kecil dapat dikelola secara konservatif dengan diet lunak dan pemberian antibiotik. Penyembuhan daerah kecil tulang yang terbuka biasanya tetap berlangsung jika hanya sedikit kehilangan material graft (McCarty, 1991).

11. KESIMPULAN

Bone graft merupakan salah satu cara untuk melakukan penutupan celah alveolar. Tindakan ini dapat mencegah kontriksi lengkung gigi, memfasilitasi erupsi gigi kaninus, dan memberi dukungan alar hidung. Bone graft untuk menutup celah alveolar sebaiknya dilakukan pada usia sekitar 7-10 tahun dimana pertumbuhan maksila mendekati lengkap dan idealnya prosedur graf dikerjakan ketika satu setengah sampai dua pertiga akar gigi kaninus yang akan erupsi telah terbentuk.

Anda mungkin juga menyukai