Anda di halaman 1dari 90

Gangguan Erupsi Gigi

Definisi
 Erupsi gigi adalah suatu proses berpindah atau
bergeraknya gigi yang sedang berkembang di
dalam dan melalui tulang alveolar serta mukosa
yang menutupi rahang menuju ke dalam rongga
mulut dan mencapai dataran oklusal gigi.

Avery, J. K., et.al., 2001, Oral Development and Histology, Thieme, pp. 123, 125, 127, 138
Klasifikasi gangguan Erupsi Gigi
 Anomali Jumlah Gigi
 Anomali Waktu Erupsi
 Anomali Bentuk
 Anomali Warna
 Anomali Struktur
 Anomali Ukuran
Anomali Jumlah Gigi
 Anodontia
 Supernumerary teeth/Hiperdonsia
 Impaction
Anodontia
 Complete Anodontia /total
• Semua gigi tidak muncul
• Sering karena penyakit herediter, dan
jarang sekali terjadi
 Hypodontia
• Kekurangan satu atau lebih dari
pertumbuhan gigi
 Oligodontio
• Kekurangan 6 atau lebih pertumbuhan gigi
 Pseudoodontia
• Ketika gigi hilang karena impaksi atau
delayed erupsi.
 False anodontia
• Ketika gigi telah ektraksi atau eksfoliasi
Supernumerary Teeth/Hiperdonsia
 Adanya satu atau lebih elemen gigi melebihi jumlah gigi
normal (normal gigi susu= 20, normal gigi permanen =32)
 Akibatnya  malposisi, gigi disebelahnya tidak bisa
erupsi, impaksi, resorbsi akar dan hilangnya vitalitas
 Banyak terdapat pada maxila
 Lebih sering terjadi pada gigi permanen
 Kelainan tersebut yaitu :
 Mesiodens
 Distomolar/Distodens
 Paramolar
Mesiodens
 bila gigi supernumerary ini tumbuh di
bagian anterior diantara kedua gigi
insisif
 Lokasi di dekat garis median diantara
kedua gigi insisivus, terutama pada
rahang atas
 Jenis terbanyak
Distomolar/Distodens

 Terbanyak kedua
 Gigi di distal dari molar 3
 Gigi kecil yang belum sempurna, tapi
ukurannya normal
 Molar 4 mandibula terkadang ada tapi
lebih sering di maxilla
Paramolar

 Small+rudimentary
 Terdapat pada daerah bukal atau lingua di maxilla atau
mandibula
 Interproksimal antara molar maxilla 1+2 atau 2+3
Impaction

 Sering terjadi pada molar 3 mandibula + kanina


Maxilaris
 Jarang pada:
 Premolar

 Kanina mandibularis
 Molar 2
 Terjadi obstruksi saat crowding
 Kadang disebabkan jalur erupsi yg abnormal,
atau orientasi bakal gigi yang tidak biasa
Kelainan Waktu Erupsi
 Natal teeth
 Teething
 Kista erupsi
 Gigi molar susu terpendam
 Erupsi ektopik gigi molar pertama tetap
 Erupsi gigi tetap yang tertunda
Natal teeth
 gangguan waktu erupsi gigi susu yang erupsi sebelum waktunya, seperti
istilah gigi kongenital, gigi fetal, gigi predesidui atau gigi precoks.
 Massler dan Savara (1950) menggunakan istilah gigi natal dan neonatal.
 Gigi Natal adalah gigi yang telah erupsi/telah ada dalam mulut pada waktu
bayi dilahirkan.
 Gigi Neonatal adalah gigi yang erupsi selama masa
neonatal yaitu dari lahir sampai bayi berusia 30 hari
 Erupsi normal gigi insisivus susu bawah dimulai pada usia 6
bulan
 Gigi susu erupsi semasa 3-6 bulan kehidupan disebut gigi
predesidui.
 Gigi ini merupakan gigi susu yang erupsinya prematur, jadi
tidak termasuk gigi supernumerary atau gangguan
pertumbuhan lainnya.
Etiologi
 Posisi bakal gigi yang superfisial (dekat ke permukaan)
 Bertambahnya proses erupsi gigi selama atau setelah anak
mengalami demam.
 Keturunan
 Akibat sifilis kongenital
 Gangguan kelenjar endokrin
 Defisiensi makanan
Gambaran klinis
 Gambaran klinis menunjukkan perkembangan yang kurang,
ukuran kecil, bentuk konikal, warna kuning (bahkan ada
yang coklat) disertai hipoplasia email dan dentin serta
kurangnya atau tidak ada perkembangan akar. Akibat tidak
mempunyai akar atau kurangnya perkembangan akar,
maka gigi tersebut hanya melekat pada leher gingiva,
tidak kuat sehingga memungkinkan gigi tersebut dapat
bergerak ke segala arah.
 paling sering adalah pada gigi insisivus bawah (85 %), pada
rahang atas jarang dijumpai.
Teething
 Menurut Burket, definisi teething yaitu suatu proses
fisiologis dari waktu erupsi gigi yang terjadi pada masa
bayi, anak dan remaja (sewaktu gigi molar tiga akan
erupsi) yang diikuti dengan gejala lokal maupun sistemik
Gejala lokal
Pada rongga mulut :
 Terlihat warna kemerahan atau pembengkakan gingiva
pada regio yang akan erupsi, konsistensinya keras,
berkilat.
 Terjadi hipersalivasi dan konsistensinya kental.
 Di sekeliling gigi yang akan erupsi terlihat daerah keputih-
putihan. Pada wajah :
 Terdapat eritema yaitu bercak-bercak merah pada pipi
(ruam), tepi mulut dari regio yang akan erupsi, hal ini
disebabkan aliran saliva yang terus menerus.
 Terlihat asimetris wajah atau pembengkakan
Gejala Sistemik

 Bayi akan gelisah, menangis, tidak dapat tidur


 Kehilangan nafsu makan, Rasa haus yang meningkat,
 Bahkan disertai diare yang berat
Kista erupsi
 Kista erupsi atau eruption cyst adalah suatu kista yang
terjadi akibat rongga folikuler di sekitar mahkota gigi
susu/tetap yang akan erupsi mengembang karena
penumpukan cairan dari jaringan atau darah
Gambaran Klinis

 diawali dengan terlihatnya daerah kebiru-biruan pada gigi


yang akan erupsi,
 kemudian terjadi pembengkakan mukosa yang disertai
warna kemerahan.
 akibat pembengkakan ini dapat menyebabkan tergigit oleh
gigi antagonisnya sehingga menimbulkan rasa tidak enak
atau rasa sakit .
Gigi molar susu yang terpendam
 Disebut juga dengan Submerged teeth yaitu suatu
gangguan erupsi yang menunjukkan gagalnya gigi molar
susu mempertahankan posisinya akibat perkembangan gigi
disebelahnya sehingga gigi molar susu tersebut berubah
posisi menjadi di bawah permukaan oklusal
Erupsi ektopik gigi molar pertama tetap
 Yaitu erupsinya gigi molar pertama tetap yang keluar dari
posisinya di lengkung rahang, mendorong molar dua susu
sehingga terjadi resorpsi sebagian atau seluruhnya dari
molar dua susu. Resorpsi terjadi di sebelah distal molar
susu
 Pada awalnya pasien tidak mempunyai keluhan, namun
bila proses ini terus berlanjut sehingga resobsi akar gigi
tetangganya semakin parah, dapat menyebabkan infeksi
pulpa. Akibatnya pasien akan merasa sakit dan tidak enak.
Erupsi gigi permanen yang tertunda
 Meskipun keterlambatan erupsi gigi dapat dihubungkan
dengan keadaan tertentu misalnya sindrome down,
keterlambatan erupsi gigi yang terlokalisir lebih sering
pada gigi tetap dibandingkan gigi susu.
 Gigi Insisivus
Disebabkan resorpsi yang terlambat dari gigi insisivus susu
akibat trauma atau kematian pulpa, dilaserasi mahkota
gigi yang akan erupsi, dens supernumerari yang berada
dijalan gigi yang akan erupsi atau disebabkan kehilangan
gigi susu yang dini sehingga terjadi penebalan jaringan
dan gigi sukar erupsi.
 Gigi Kaninus
Disebabkan jalur erupsi gigi kaninus tidak sebagaimana mestinya,
mengalami penyimpangan. Sering terjadi pada rahang atas.
 Gigi premolar
Adanya impaksi (tekanan) kearah gigi-gigi lain disebabkan angulasi
abnormal (sehingga gigi yang akan erupsi mengalami penyimpangan). Dapat
juga disebabkan gigi berjejal, resobsi yang terlambat dari gigi molar susu
atau terpendamnya molar susu sehingga premolar tidak dapat erupsi.
 Gigi Molar
Adanya impaksi kearah lain.
KELAINAN BENTUK GIGI
 Gigi ganda
 Malformasi Insisivus Dua Atas  Peg shaped
 Dilaserasi
Gigi ganda
 Yaitu penyatuan (fusi) dua bakal gigi yang sedang
berkembang atau terbelahnya (partial dichotomy atau
geminasi) bakal gigi, sehingga terdapat dua gigi yang
bersatu.
 Terjadi pada gigi susu maupun gigi tetap.
 Bentuk gigi besar, tidak normal dengan adanya groove
berbentuk longitudinal pada mahkota atau adanya lekukan
pada tepi insisal. Akar dapat terpisah secara keseluruhan
atau sebagian.
Malformasi Insisivus Dua Atas
 Adanya lekukan yang dalam pada bagian palatal, mahkota
bentuknya kecil, konus dan mirip gigi berlebih.
 Lekukan bisa dalam dan membentuk rongga (akibat
invaginasi bakal gigi yang sedang berkembang  dens in
dens  mudah karies
 Perlu ronsen foto untuk memastikannya.
Dilaserasi
 Yaitu bentuk akar gigi atau mahkota yang mengalami
pembengkokan yang tajam (membentuk sudut/kurve)
yang terjadi semasa pembentukan dan perkembangan gigi
tahap/fase kalsifikasi.
 Kurve/pembengkokan dapat terjadi sepanjang gigi
tergantung seberapa jauh pembentukan gigi sewaktu
terjadi gangguan.
 Etiologi : Diduga terjadi akibat trauma selama
pembentukan gigi.
KELAINAN STRUKTUR GIGI
 Enamel
 Amelogenesis Imperfekta
 Hipoplasia enamel
 Dentin
 Dentinogenesis imperfekta
 Dentin displasia
 Sementum
Amelogenesis Imperfekta
 adalah kelainan formasi dari enamel atau permukaan luar
gigi permanen yang diturunkan.
 Ada 3 bentuk dasar amelogenesis imperfekta yaitu :
1. Hipoplastik : Terjadi akibat kerusakan pada
pembentukan matriks enamel.
2. Hipokalsifikasi : Terjadi akibat kerusakan pada
mineralisasi deposit matriks enamel.
3. Hipomaturasi : Terjadi akibat adanya gangguan pada
perkembangan atau pematangan enamel.
Amelogenesis Imperfekta
 Gejala klinis
 mempunyai gigi yang berwarna abnormal antara
putih opaque, kuning, coklat sampai abu-abu.
 dentin
dan pulpa normal, banyak kehilangan
enamel.
 Mempunyai resiko tinggi terhadap karies.
 sangat sensitive terhadap perubahan suhu
Hipoplasia enamel
 Tidak lengkap atau tidak sempurnanya pembentukan
enamel pada gigi susu maupun tetap.
 Terdapatnya groove, pit dan fisur yang kecil pada
permukaan enamel
 Pada keadaan yang lebih parah  guratan guratan pit
yang dalam, tersusun secara horizontal pada permukaan
gigi. .
Hipoplasia enamel
 Etiologi
Faktor Lokal Faktor Umum
trauma (misal Turner  Lingkungan,
Teeth)  Prenatal: Sifilis kongenital
infeksi (Hutchinson’s Teeth/Mulberry
radiasi Molar)
 Neonatal : Hipokalsemia
idiopatik
 Postnatal : Defisiensi vitamin
atau fluor yang berlebihan
(Mottlet enamel).
 Herediter
Dentinogenesis imperfekta
 adalah suatu keadaan atau penyakit herediter, ditandai dengan
adanya gangguan pada pembentukan dan kalsifikasi dentin
berupa penurunan kandungan mineral serta peningkatan
kandungan air dalam matriks ekstraseluler yang mempengaruhi
perkembangan gigi sulung dan gigi permanen
 Gigi berwarna biru keabu-abuan atau translusen.
 Enamel cenderung terpisah dari dentin yang relatif lunak
 Dentin tipis, enamel normal dan tanduk pulpa besar.
Dentin displasia
 Yaitu kelainan pada dentin yang melibatkan sirkum pulpa
dentin dan morfologi akar  sehingga akar terlihat
pendek.
Sementum
 Yaitu penumpukan sementum akibat pembentukan
sementoblast yang berlebihan  sementum bersatu
dengan ligamen periodontal
 Etiologi
 Faktor Lokal  peradangan, rangsangan mekanis
 Faktor Umum  penyakit akromegali, penyakit paget
atau kleidokranial disostosis.
Kelainan Warna/Diskolorasi
 Diskolorasi adalah perubahan warna pada gigi.
 Diskolorasi pada enamel gigi dapat disebabkan oleh proses
penodaan (staining), penuaan (aging), dan bahan-bahan
kimia.
 Etiologi :
 Diskolorasi gigi berdasarkan sumber
 Diskolorasi gigi berdasarkan lokasi
Diskolorasi gigi berdasarkan sumber
 Diskolorasi eksogen
 disebabkan oleh substansi dari luar gigi
 Mis : kebiasaan minum minuman berwarna yang berkepanjangan
 Diskolorasi endogen
 sumbernya berasal dari dalam gigi,
 didapat dari sumber lokal maupun sistemik
 Faktor lokal dapat : dekomposisi jaringan pulpa, pengaruh obat-obatan dan
pasta pengisi saluran akar, dan pengaruh bahan-bahan restorasi.
 Perubahan warna mengenai bagian dalam struktur gigi selama masa
pertumbuhan gigi dan terjadi di dalam dentin sehingga relatif sulit dirawat
secara eksternal
Diskolorasi gigi berdasarkan lokasi
 Perubahan warna intrinsik
 perubahan yang masuk ke dalam dentin selama masa
pertumbuhan gigi.
 Mis : Dekomposisi jaringan pulpa atau sisa makanan,
pemakaian antibiotik, misalnya tetrasiklin dan penyakit
metabolik berat selama fase pertumbuhan gigi.
 Perubahan warna ekstrinsik
 terdapat pada enamel dan biasanya bersifat lokal.
 Mis : Diskolorasi non metalik (merokok, mengunyah
tembakau, teh, dan kopi) dan Diskolorasi metalik
[tembaga (hijau), besi (coklat), magnesium (hitam),
perak (hitam), iodine (hitam), dan nikel (hijau)]
KELAINAN UKURAN
 Microdontia
 Generalized Microdontia
 Localized Microdontia
 Macrodontia
 Generalized Macrodontia
 Localized Macrodontia
Microdontia

 Generalized Microdontia
 Semua gigi lebih kecil dibandingkan
normal
 Sering pada : pituitary dwarfism
 Localized Microdontia
 Sering terjadi pada incisivus lateral
maxilla dan molar 3
Macrodontia
Generalized Macrodontia
 Semu gigi lebih besar dibandingkan normal
 sering terkait dengan pituitary gigantism
Localized Macrodontia
 Hemangioma, Hemifacial hypertrophy
Other disorders of teeth
 Atrisi
 hilangnya email, dentin, atau restorasi karena ada
kontak dengan gigi antagonisnya
 Erosi
 hilangnya jaringan keras gigi karena ada pengaruh asam
 Secara ekstrinsik; makanan seperti buah-buahan dan
minuman bersoda,
 Secara intrinsik berasal dari asam lambung pada
penderita anoreksia dan bulimia.
 Abrasi
 Abrasi adalah kerusakan pada jaringan gigi akibat benda
asing, seperti sikat gigi dan pasta gigi yang mengandung
bahan abrasive
Asimetri Wajah
KISTA RONGGA MULUT
DEFINISI

 Kista merupakan rongga patologis yang berisi cairan atau


semicairan, tidak disebabkan oleh akumulasi pus. Bisa
dibatasi oleh epitel, namun bisa juga tidak. Dapat
menyebabkan pembesaran intraoral atau ekstraoral yang
secara klinis dapat menyerupai tumor jinak
 Kista dapat terletak seluruhnya di dalam jaringan lunak
atau di antara tulang atau juga di atas permukaan tulang.
Kista yang terletak pada tulang rahang kemungkinan
epitelnya berasal dari epitel odontogenik, misalnya dari
sisa dental lamina atau organ email.
Meskipun patogenesis dari kista-kista ini masih belum banyak
dimengerti, namun kista-kista tersebut dibagi ke dalam dua
kelompok besar berdasarkan dugaan asal dinding epitelnya.
 Kista Odontogenik
Dinding epitelnya berasal dari sisa-sisa epitel organ
pembentuk gigi. Adanya proliferasi dan degenerasi kistik
dari epitel odontogenik dapat menimbulkan kista
odontogenik. Berdasarkan etiologinya, kista ini dapat dibagi
lagi menjadi tipe developmental dan inflammatory.
 Kista Nonodontogenik
Dinding kista berasal dari sumber-sumber selain organ
pembentuk gigi. Kelompok ini meliputi lesi-lesi yang
sebelumnya diklasifikasikan sebagai kista fisural yang
dianggap berasal dari epitel yang membatasi proses
embrionik pembentukan wajah.
KLASIFIKASI
Kista Odontogenik (90%) Kista Nonodotogenik (10%)

 Kista Radikular (60-75%)  Kista Nasopalatinus (5-


10%)
 Kista Dentigerous (10-15%)
 Kista Nonodontogenik
 Keratosis Odontogenik (5-10%) lainnya dan Primary Bone
 Kista Paradental (3-5%) Cyst (1%)
 Kista Gingiva dan Periodontal
Lateral (< 1%)
GAMBARAN KLINIS
 Kista dapat menetap bertahun-tahun tanpa disertai gejala.
 Mayoritas kista berukuran kecil dan tidak menyebabkan
penggelembungan permukaan jaringan.
 Biasanya terlihat hanya pada saat pemeriksaan gigi rutin
dan pemeriksaan radiografik atau ketika lesi terkena infeksi
sekunder atau telah mencapai ukuran di mana telah terjadi
pembesaran atau asimetri yang terlihat jelas secara klinis.
 Kista juga biasa ditemukan pada saat dilakukan pemeriksaan
gigi nonvital atau abses gigi akut sehubungan dengan adanya
infeksi sekunder pada kista, atau pada kasus kehilangan gigi
dan fraktur rahang.
 Pada mandibula, fraktur patologis dapat terjadi saat lesi kista
telah menyebabkan resorpsi sebagian besar tulang.
 Saat tidak ada infeksi, secara klinis pembesarannya minimal dan
berbatas jelas.
 Kista yang terinfeksi menyebabkan rasa sakit dan sensitif bila
disentuh. Semua tanda klasik infeksi akut dapat terlihat ketika
terjadi infeksi.
 Pembesaran kista dapat menyebabkan asimetri wajah, pergeseran
gigi dan perubahan oklusi, hilangnya gigi yang terlibat atau gigi
tetangga, serta pergeseran gigi tiruan.
 Pada beberapa kasus, adanya infeksi dalam kista yang membesar
dan posisinya dekat dengan batang saraf dapat menyebabkan
perubahan sensasi pada distribusi saraf tersebut.
KANKER RONGGA MULUT
ANAMNESIS

 Anamnesis yang meliputi : Keluhan pasien, keluhan-


keluhan gigi sebelumnya, riwayat medis umum yang lalu
dan sekarang, gaya hidup dan kebiasaan, riwayat
keluarga, status sosioekonomi dan pekerjaan
(Bolden,1982).
 Sambil melakukan anamnese dokter gigi dapat juga
melihat keadaan ekstra oral pasien, seperti bibir dan
asimetri wajah.
PEMERIKSAAN KLINIS
 Pada pemeriksaan klinis, dokter gigi boleh memiliki teknik
yang berbeda antara pemeriksa yang satu dengan yang
lainnya, tetapi prinsip dasarnya adalah sama.
 Setiap pasien berhak mendapatkan pemeriksaan yang
lengkap dari jaringan mulut dan para oral.
Pemeriksaan ini meliputi :
 Perubahan warna, apakah mukosa mulut berwarna
abnormal, misalnya putih, merah atau hitam.
 Konsistensi,apakahjaringankeras,kenyal,lunak,fIuktuanata
unodular.
 Kontur, apakah permukaan mukosa kasar, ulserasi,
asimetri atau
 pembengkakan
 Temperatur.
 Apakah pasien dapat membuka mulut sempurna
 Lymphnodeservikal
Fraktur Maksilofasial
Fraktur Maksilofasial

Maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian :


 Sepertiga atas wajah (tulang frontalis,
regio supra orbita, rima orbita dan sinus
frontalis)
 Sepertiga tengah wajah (Maksila,
zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus,
nasal konka inferior, dan tulang vomer)
 Sepertiga bawah wajah (Mandibula)
Fraktur Sepertiga Atas Wajah

 Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressed ke


dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang
dapat meluas ke daerah wajah yang lain.
Fraktur Sepertiga Tengah Wajah

Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)


 Fraktur membentang secara horizontal
menyeberangi basis sinus maksila.
 Terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum
durum.
 Rahang atas mengalami pergerakan yang
disebut floating jaw. Hipoestesia nervus
infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari
adanya edema.
Fraktur Le Fort tipe II (fraktur piramidal)
 Sutura zygomaticomaxillary dan
frontomaxillary mengalami fraktur
keseluruhan maksila akan bergeser
terhadap basis kranium.
Fraktur Le Fort III (fraktur tarnsversal)

 Fraktur terjadi pada zygomatic


arch berjalan ke sutura
zygomaticofrontal membelah
lantai orbita sampai ke sutura
nasofrontal.
 Garis fraktur seperti itu akan
memisahkan struktur midfasial
dari kranium sehingga fraktur
ini juga disebut dengan
craniofacial dysjunction.
Diagnosis

 Anamnesis • Pemeriksaan Radiologi


 Pemeriksaan Fisik Foto Polos
 Inspeksi CT Scan
 Palpasi
 Manipulasi Digital
 Cerebrospinal Rhinorrhea atau
Otorrhea
 Maloklusi Gigi
Fraktur Sepertiga Bawah Wajah

a. Regio b. Ada tidaknya gigi


Badan, simfisis, sudut, ramus, Menentukan jenis terapi yang akan kita
prosesus koronoid, prosesus ambil.
kondilar, prosesus alveolar. • Fraktur kelas 1 : gigi terdapat di 2 sisi
fraktur,
• Fraktur kelas 2 : gigi hanya terdapat di
salah satu fraktur
• Fraktur kelas 3 : tidak terdapat gigi di
kedua sisi fraktur,
Diagnosis

 Anamnesis
 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Penunjang
 Foto Polos
 Panoramic
 CT Scan
Tatalaksana

Langkah awal : • Terapi Definitif


 ABC • Terapi Medis
 Penanganan Luka dan Jaringan • Terapi Bedah
lunak
 Immobilisasi
 Evaluasi kemungkinan cidera
otak
INFEKSI

 Infeksi odontogenik (odontogenic infections)


 Necrosis pulpa, gingivitis, periodontitis,
perikoronitis
 Polimikrobial:
bakteri anaerobik (65%) dan aerobik
(35%)  anaerob gram (-), anaerob gram (+),
anaerob gram (+) Streptococcus fakultatif
 Berlanjut menjadi abses, parulis, selulitis, atau
space infections.
Abses fosa kanina

 Fosa kanina sering merupakan


tempat infeksi yang bersal dari gigi
rahang atas pada regio ini terdapat
jaringan ikat dan lemak, serta
memudahkan terjadinya akumulasi
cairan jaringan.
 Gejala klinis : Edema pelupuk mata
bawah, Bibir atas bengkak, seluruh
muka terasa sakit disertai kulit yang
tegang berwarna merah.
Abses spasium bukal

 Spasium bukal berada diantara m. masseter ,m.


pterigoidus interna dan m. Businator.
Abses spasium submandibula

 Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang


memisahkannya dari spasium sublingual.
 Biasanya disebabkan oleh infeksi yang berasal dari molar
pertama dan kedua mandibula.
Abses spasium submental

 Spasium ini terletak diantara m. milohioid dan m.plastima


Ludwig’s Angina (Phlegmon)

Bilateral melibatkan ruang submandibular, sublingual, dan


submental serta dapat berakibat fatal
>>> infeksi gigi yang memiliki apeks di bawah musculus
mylohyoid.
 Abses intra oral:
 Abses palatal
 Abses sublingual
 Abses subginggival

 Sangat jarang menimbulkan asimetri wajah berlanjut menjadi abses


submukosa fistel intra oral
Daftar Pustaka

 Avery, J. K., et.al., 2001, Oral Development and Histology,


Thieme, pp. 123, 125, 127, 138
 Cawson, R.A : Cawson’s essentials of oral pathology and
oral medicine, 8th edition
 Neville, et al : Oral and Maxillofacial Pathology 3rdEdition
 Regezi, Joseph et al : Oaral Pathology, Clinical Pathologica
correlations 5th Edition
 Shafer, et al : A Textbook of Oaral patholog,3rd Edition
Thank You
Proses Erupsi Gigi
 Pra Erupsi
 Pra oklusal/ Pra Fungsional
 Oklusal/ Fungsional
Tahap Pra Erupsi
 Inisiasi (Bud Stage)
Permulaan pembentukan benih gigi (bud) dari jaringan
epitel mulut (epithelial bud stage)
 Proliferasi (Cap Stage)
Pembiakan dari sel-sel dan perluasan dari organ enamel
(cap stage)
 Histodiferensiasi (Bell Stage)
Spesialisasi dari sel-sel yang mengalami perubahan
histologist dalam susunannya (sel-sel epitel bagian dalam
dari organ enamel menjadi ameloblas, sel-sel perifer dari
organ dentin pulpa menjadi odontoblas)
 Tahap morfodiferensiasi / bell stage
Susunan dari sel-sel pembentuk sepanjang dentinoenamel dan
dentinocemental junction yang akan datang, yang memberi
garis luar dari bentuk dan ukuran korona dan akar yang akan
datang
 Tahap aposisi
Pengendapan matriks dari struktur jaringan keras gigi.
Pertumbuhan aposisi dari enamel dan dentin adalah
pengendapan yang berlapis-lapis dari matriks ekstraseluler.
Pertumbuhan aposisi ditandai oleh pengendapan yang teratur
dan berirama dari bahan ekstraseluler yang tidak mempunyai
kemampuan sendiri untuk pertumbuhan yang akan datang.
 Tahap kalsifikasi.
Kalsifikasi terjadi dengan pengendapan garam-garam
kalsium anorganik selama pengendapan matriks. Kalsifikasi
dimulai selama pengendapan matriks oleh endapan dari
suatu nidus kecil, selanjutnya nidus garam-garam kalsium
anorganik bertambah besar oleh tambahan lapisan-lapisan
yang pekat. Apabila kalsifikasi terganggu, butir kalsium
individu di dalam dentin tidak menyatu, dan tertinggal
sebagai butir kalsium dasar yang terpisah di dalam daerah
matriks eosinofilik tersendiri yang tidak terkalsifika
Tahap erupsi prefungsional
 Tahap ini dimulai dengan inisiasi pembentukan akar gigi
dan akan berakhir ketika gigi mulai mencapai kontak
oklusal.
 Ada 5 kejadian utama selama tahap ini, yaitu:
a) Tahap sekretoris dari amelogenesis telah lengkap,
tepat sebelum pembentukan akar dimulai.
b) Tahap intraoseus terjadi ketika pembentukan akar
dimulai sebagai hasil dari proliferasi epitel pelindung
akar dan jaringan mesenkim dari papila dan folikel
gigi.
c) Tahap supraoseus dimulai ketika bagian oklusal gigi
yang sedang bererupsi bergerak melalui bagian bawah
tulang dan jaringan ikat dari mukosa mulut.
d) Ujung mahkota melewati rongga mulut dengan cara
merusak pusat lapisan ganda sel epitel. Terobosan ini
kemudian dipenuhi oleh ujung mahkota.
e) Gigi yang sedang erupsi kemudian bergerak ke oklusal
pada jarak yang maksimal dan terlihat paparan secara
berangsur-angsur dari munculnya mahkota klinis
Tahap Fungsional/Tahap Oklusal
 Tahap ini dimulai sejak gigi difungsikan dan berakhir
ketika gigi telah tanggal (berlangsung bertahun-tahun).
 Selama tahap ini gigi bergerak ke arah oklusal, mesial,
dan proksimal.
Waktu erupsi

Anda mungkin juga menyukai