Anda di halaman 1dari 46

Ir. Mohammad Sholichin MT., Ph.

D
Website. www.water.lecture.ub.ac.id
email : sholichin67@gmail.com
 Dalam UU Sumber Daya Air daerah aliran air
tanah disebut Cekungan Air Tanah (CAT) atau
groundwater basin. Definisi CAT adalah suatu
wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis,
tempat semua kejadian hidrogeologis seperti
proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan
air tanah berlangsung
 Sehingga dapat dikatakan bahwa CAT adalah
batas teknis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk
air tanah.
 Basin dalam Bahasa Indonesia berarti cekungan
(Echols & Shadily, 2002a).
A. Mempunyai batas hidrogeologis yang dikontrol
oleh kondisi geologis dan/atau kondisi
hidraulik air tanah. Batas hidrogeologis adalah
batas fisik wilayah pengelolaan air tanah.
Batas hidrogeologis dapat berupa batas antara
batuan lulus dan tidak lulus air, batas pemisah
air tanah, dan batas yang terbentuk oleh
struktur geologi yang meliputi, antara lain,
kemiringan lapisan batuan, patahan dan
lipatan.
B. Mempunyai daerah imbuhan dan daerah
lepasan air tanah dalam satu sistem
pembentukan air tanah. Daerah imbuhan
air tanah merupakan kawasan lindung air
tanah, di daerah tersebut air tanah tidak
untuk didayagunakan, sedangkan daerah
lepasan air tanah secara umum dapat
didayagunakan, dapat dikatakan sebagai
kawasan budi daya air tanah.
C. Memiliki satu kesatuan sistem akuifer: yaitu
kesatuan susunan akuifer, termasuk lapisan
batuan kedap air yang berada di dalamnya.
Akuifer dapat berada pada kondisi tidak
tertekan atau bebas (unconfined) dan/atau
tertekan (confined).
Luas pulau, jumlah CAT, Luas CAT dan Non-CAT dan % luas nya tiap pulau
(KepPres No. 26 Tahun 2011 Tentang CAT; Pusat Lingkungan Geologi, 2009)
Beberapa komponen CAT meliputi: akuifer
(aquifer), akuiklud (aquiclude) dan akuitar
(aquitard)
1. Akuifer (aquifer)
 Akuifer merupakan tempat penyimpanan air
tanah. Akuifer dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu akuifer bebas dan tertekan. Pada
dasarnya, yang membedakan antara air tanah
bebas dan air tanah tertekan.
 Akuifer menurut Freeze dan Chery (1979)
adalah lapisan geologi yang permeabel yang
dapat membawa air dalam jumlah besar di
bawah gradien hidraulik.
2. Akuiklud (aquiclude)
 Definisinya ialah suatu lapisan-lapisan,
formasi, atau kelompok formasi satuan
geologi yang impermeable dengan nilai
konduktivitas hidraulik yang sangat kecil
sehingga tidak memungkinkan air
melewatinya. Dapat dikatakan juga
merupakan lapisan pembatas atas dan bawah
suatu confined aquifer (Kodoatie, 1996).
 Aquiclude adalah formasi yang mungkin
mengandung air (kadang-kadang dalam
jumlah yang besar), tetapi tidak bisa
mengalirkan air dalam jumlah yang signifikan
di bawah kondisi biasa (Bear, 1979).
3. Akuitar (aquitard)
 Definisinya ialah suatu lapisan-lapisan, formasi,
atau kelompok formasi satuan geologi yang
permeabel dengan nilai konduktivitas hidraulik
yang kecil namun masih memungkinkan air
melewati lapisan ini walaupun dengan gerakan
yang lambat. Dapat dikatakan juga merupakan
lapisan pembatas atas dan bawah suatu semi
confined aquifer (Kodoatie, 1996).
 Aquitard atau lapisan batuan lambat air adalah
suatu lapisan batuan yang sedikit lulus air dan
tidak mampu melepaskan air dalam arah
mendatar, tetapi mampu melepaskan air cukup
berarti ke arah vertikal, misalnya lempung
pasiran (Danaryanto dkk., 2005).
 Batuan beku (igneous rock) dan batuan
metamorf yang terekspose pada atau dekat
dengan muka bumi berada dalam kondisi fisik
dan kondisi kimia yang tidak stabil. Dalam
waktu geologi batuan-batuan tersebut
berubah (break down atau destruct) menjadi
komponen-komponen yang lebih halus.
 Perubahan batuan (rock destruction),
redistribusi dan penyimpanan (depostion)
partikel-partikel batuan mempunyai peran
yang penting dalam pembentukan atau
pembuatan jenis/tipe sistem akuifer
(Driscoll, 1987).
 Akuifer aluvial
 Glacial Aquifer
 Sedimentary Aquifer
 Igneous Aquifer
 Metamorphic Aquifer
 Dasarpengelompokkan akuifer di Indonesia
adalah terdapatnya air tanah dan produktivitas
akuifer. Direktorat Geologi Tata Lingkungan
Dep. Pertambangan dan Energi (1982) telah
menerbitkan peta hidrogeologi Indonesia
dengan sebaran akuifer berdasarkan
pengelompokan tersebut yang dibagi menjadi 4
akuifer, yaitu:
1. Kelompok 1: Akuifer dengan aliran melalui
ruang antar butir.
2. Kelompok 2: Akuifer dengan aliran melalui
celahan dan ruang antar butir.
3. Kelompok 3: Akuifer dengan aliran melalui
celahan, rekahan dan saluran.
4. Kelompok 4: Akuifer bercelah atau sarang
produktif kecil dan daerah air tanah langka.
Berdasarkan produktivitas akuifer maka setiap
kelompok akuifer tersebut dibedakan lagi
sebagai berikut:

I. Kelompok 1: Akuifer dengan aliran melalui ruang


antar butir
1a. Akuifer dengan produktif sangat tinggi dengan
penyebaran luas
1b. Akuifer produktif tinggi dengan penyebaran
luas
1c. Akuifer produktif sedang dengan penyebaran
luas
1d. Setempat akuifer berproduksi sedang
2. Kelompok 2: Akuifer dengan aliran melalui celahan
dan ruang antar butir
2a. Akuifer produktif tinggi dengan penyebaran luas
2b. Akuifer produktif sedang, dengan penyebaran luas
2c. Setempat, akuifer produktif
3. Kelompok 3: Akuifer dengan aliran melalui celahan,
rekahan dan saluran
3a. Akuifer berproduksi tinggi
3b. Akuifer produktif sedang
4. Kelompok 4: Akuifer bercelah atau sarang dengan
produktif rendah dan daerah air tanah langka
4a. Akuifer produktif kecil
4b. Daerah air tanah langka
 Daerah CAT, manajemen air tanah berbasis
cekungan air tanah (karena ada groundwater
dan soil water) merupakan suatu pengelolaan
air tanah secara menyeluruh, terpadu, dan
berwawasan lingkungan hidup di mana pada
pengelolaan air tanah harus berbasis pada
suatu wilayah yang dibatasi suatu batas
hidrogeolgis
 Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan
air tanah adalah terbatasnya ketersediaan air
tanah di alam dan maraknya pengambilan
sumber air ini karena tuntutan kebutuhan
akan air yang dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan.
 Salah satu penyebab krisis air di dunia
sebagaimana terungkap pada 2nd World
Water Forum di Den Haag adalah kelemahan
penyelenggaraan (governance) pengelolaan
air di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia.
Dalam pelaksanaan pengelolaannya masih ditemui berbagai
permasalahan, antara lain:
1. Kebijakan pengelolaan yang belum menjamin:
a) Hak setiap individu untuk mendapatkan air termasuk air tanah
guna memenuhi kebutuhan pokok hidup.
b) Hak dasar masyarakat memperoleh akses penyediaan air
untuk berbagai keperluan.
c) Pemanfaatan air tanah yang berkelanjutan bagi kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat.
d) Perlindungan air tanah agar senantiasa tersedia dalam
kuantitas dan kualitas yang memadai demi kesejahteraan
umat manusia.
e) Wewenang dan tanggung jawab pelaksanaan pengelolaan air
tanah.
f) Pelaksanaan koordinasi pengelolaan air tanah antar instansi
Pemerintah dan atau antar Pemerintah Daerah guna
mengoptimalkan pelaksanaan konservasi dan pendayagunaan
air tanah.
g) Keterpaduan antara air tanah dan air permukaan sebagai
upaya mengefektifkan pengelolaan sumber daya air.
h) Pelaksanaan penggunaan yang saling menunjang antara air
tanah dan air permukaan guna mengatasi kekurangan air.
2) Pengelolaan sumber daya air, yang terdiri dari air hujan,
air permukaan, air tanah, air laut di darat dan
pendukungnya tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh satu
institusi, akan tetapi dalam pelaksanaannya sulit
terkoordinasi.
3) Sentralisasi pengelolaan yang terlalu kuat, berakibat
memperpanjang sistem pengambilan keputusan.
4) Desentralisasi pengelolaan sampai tingkat
kabupaten/kota cenderung mengabaikan prinsip
pengelolaan cekungan air tanah lintas batas.
5) Belum terbentuk jaringan data dan informasi air tanah
yang baik antar lembaga pengumpul atau pengelola data
air tanah.
6) Pemanfaatan air tanah yang parsial, kurang berkeadilan,
terutama bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan air
guna memenuhi kebutuhan dasarnya.
7) Pemanfaatan lebih menitikberatkan pada
eksploitasi untuk mendapatkan pendapatan
bagi daerah dari pada konservasinya.
8) data dan informasi air tanah yang kurang
memadai baik kuantitas maupun
kualitasnya.
9) Degradasi kualitas, kuantitas, dan
lingkungan air tanah akibat pengambilan air
tanah yang berlebihan, pencemaran, serta
perubahan fungsi lahan, terutama di
cekungan air tanah di perkotaan.
10) Keterbatasan sumber daya (manusia,
peralatan, biaya) baik di pusat maupun
daerah, menyebabkan pengelolaan air
tanah kurang efektif dilaksanakan.
7) Pengawasan dan penegakan hukum yang
lemah atas setiap pelanggaran yang terjadi
terhadap peraturan pengelolaan air tanah
yang ada.
8) Konsep pengelolaan dan konservasi air
tanah tidak didasarkan pada konsep
pengelolaan cekungan air tanah, tetapi
lebih mendasarkan pada pengelolaan sumur
(well management) dan juga mendasarkan
pada batas administrasi.
9) Masih terbatasnya pengetahuan masyarakat
terhadap pemahaman air tanah, sehingga
kurang peduli terhadap keberadaan dan
fungsi air tanah, baik kualitas, kuantitas
dan kontinuitasnya.
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah,
maka pelaksanaan pengelolaan air tanah
menghadapi beberapa tantangan, antara lain seperti
berikut:
1) Pengelolaan secara terpadu antara air tanah dan
air permukaan, hal ini dengan menyadari, bahwa
air tanah adalah bagian tak terpisahkan dari
ekosistem dan berinteraksi dengan air
permukaan.
2) Menerapkan konsep dasar pengelolaan air tanah
secara total yang memadukan konsep
pengelolaan Groundwater Basin dan River Basin.
3) Desentralisasi pengelolaan dengan cara
memberdayakan daerah untuk mengelola air
tanah dalam lingkup wilayahnya tanpa
mengabaikan sifat keterdapatan dan aliran air
tanah serta prinsip-prinsip pengelolaan akuifer
lintas batas.
4) Pemenuhan hak dasar yang menjamin hak setiap
orang untuk mendapatkan air dari air tanah di
daerah yang kondisi air tanahnya memungkinkan,
bagi kebutuhan pokok sehari-hari guna memenuhi
kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif
5) Ketersediaan data, informasi, dan jaringan
informasi air tanah yang terpadu didasarkan pada
data keair-tanahan yang andal, tepat, akurat, dan
berkesinambungan, yang mencakup seluruh
wilayah Indonesia.
6) Keberlanjutan ketersediaan air tanah dengan
menjamin keseimbangan antara pemanfaatan dan
ketersediaan air tanah sebagai bagian dari
ekosistem.
7) Pemanfaatan air saling menunjang, yaitu
menciptakan keterpaduan pemanfaatan air
tanah, air permukaan, dan air hujan.
8) Ketersediaan sumber daya (keahlian, peralatan,
dan biaya) pengelolaan, yaitu dengan
memberdayakan sumber daya dari masyarakat,
swasta, para pihak berkepentingan, pemerintah
daerah, dan pemerintah pusat.
 Kegiatan pengelolaan air tanah meliputi
kegiatan perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi, konservasi,
pengendalian daya rusak dan pendayagunaan.
 Telaah manajemen air tanah dilakukan
berdasarkan pada kebijakan dan peraturan yang
sudah ada, sehingga menghasilkan suatu konsep
manajemen air tanah yang menjamin
ketersediaannya dan pendayagunaannya secara
berkelanjutan:
 Pengelolaan SDA berdasarkan GWP (2001)
 Pengelolaan SDA berdasarkan UU No.7 Tahun
2004
 Pengelolaan Air Tanah berdasarkan PP Air
Tanah No. 43 Tahun 2008
 Pengelolaan Air Tanah Ideal yang merupakan
gabungan dari butir 1, 2 dan 3.
 Manajemen Sumber Daya Air Terpadu yaitu:
1) The enabling environment adalah kerangka
umum dari kebijakan nasional, legislasi,
regulasi dan informasi untuk pengelolaan
SDA oleh stakeholders. Fungsinya merangkai
dan membuat peraturan serta kebijakan.
Sehingga dapat disebut sebagai rules of the
games.
2) Peran-Peran Institusi (institutional roles)
merupakan fungsi dari berbagai tingkatan
administrasi dan stakeholders. Perannya
mendefinisikan para pelaku.
3) Alat-alat manajemen (management
instruments) merupakan instrumen
operasional untuk regulasi yang efektif,
monitoring dan penegakkan hukum yang
memungkinkan pengambil keputusan untuk
membuat pilihan yang informatif diantara
aksi-aksi alternatif.
Segitiga keseimbangan sosial, ekonomi dan ekosistem
untuk PSDA Terpadu dan Berkelanjutan (GWP, 2001 dalam
Kodoatie dan Sjarief, 2004)
 Ada empat wilayah/daerah teknis atau
hidrologis Pengelolaan Sumber Daya Air
yaitu: Cekungan Air Tanah (CAT), Non-CAT,
Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Wilayah
Sungai.
 Oleh karena itu UU No. 7 Tahun 2004 perlu
dilakukan penyempurnaan seperti berikut:
 Untuk pengelolaan air permukaan, daerah
aliran sungai (DAS) merupakan konsep
dasarnya atau sebagai batas hidrologisnya
bukan wilayah sungai.
 Untuk pengelolaan air tanah, goundwater
basin atau suatu cekungan air tanah (CAT)
sebagai dasarnya atau sebagai batas
hidrogeologisnya.
 Untuk pengelolaan air hujan, DAS, CAT, Non-
CAT dan ruang udara (batas
hidrometeorologis) sebagai dasarnya.
 Untuk pengelolaan air laut di darat maka
DAS, CAT dan Non-CAT sebagai dasarnya.
 Untuk soil water maka DAS, CAT dan Non-CAT
sebagai dasarnya.

Anda mungkin juga menyukai