Anda di halaman 1dari 14

MENJELASKAN TENTANG

KEDATANGAN ISLAM KE NUSANTARA


ISLAM DAN JARINGAN PERDAGANGAN ANTAR
PULAU
Kedatangan Islam Ke Nusantara (Indonesia)

Secara umum terdapat 3 teori besar tentang asal-usul penyebaran Islam di Indonesia, yaitu teori Gujarat, teori Mekkah dan teori Persia.

1. Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari
teori ini adalah :

1. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
2. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
3. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh yang bercorak khas Gujarat.
• Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke.
• Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya
kerajaan Samudra Pasai.
• Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia
menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan
ajaran Islam.
2. TEORI ARAB (MEKKAH)
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama
yaitu teori Gujarat. Teori Mekkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada
abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:

a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat
perkampungan Islam (Arab), dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah
mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita
Cina.
b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab
Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat atau India
adalah penganut mazhab Hanafi.
c. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari
Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang
mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam,
jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan
besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
3. Teori Persia

Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 di Sumatra


dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah
kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia
seperti:
Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein
cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah atau Islam
Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik
atau Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur
Syuro.
Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syekh Siti Jennar dengan sufi dari Iran
yaitu Al – Hallaj.
Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk
tanda-tanda bunyi Harakat.
Proses Awal Penyebaran Islam di Indonesia

1. Perdagangan dan Perkawinan


Dengan menunggu angin muson (6 bulan), pedagang mengadakan perkawinan
dengan penduduk asli. Dari perkawinan itulah terjadi interaksi sosial yang
menghantarkan Islam berkembang (masyarakat Islam).Pembentukan masyarakat
Islam dari tingkat ‘bawah’ dari rakyat lapisan bawah, kemudian berpengaruh ke
kaum birokrat (J.C. Van Leur).

2. Gerakan Dakwah, melalui dua jalur yaitu:


a. Ulama keliling menyebarkan agama Islam (dengan pendekatan Akulturasi dan
Sinkretisasi atau lambang-lambang budaya).
b. Pendidikan pesantren (ngasu ilmu atau perigi atau sumur), melalui lembaga
atau sistem pendidikan Pondok Pesantren, Kyai sebagai pemimpin, dan santri
sebagai murid.
Dari ketiga model perkembangan Islam itu, secara realitas Islam sangat diminati
dan cepat berkembang di Indonesia. Meskipun demikian, intensitas pemahaman
dan aktualisasi (penerapan) keberagaman islam bervariasi menurut kemampuan
masyarakat dalam mencernanya.
Sumber Sejarah

1. Sumber Eksternal (Luar Negeri) :

a. Berita Arab
Diketahui dari para pedagang Arab yang melakukan aktivitasnya dalam bidang
perdagangan dengan bangsa Indonesia
b. Berita Eropa
Di bawa oleh Marcopolo (italia) yang menjadi orang Eropa pertama yang datang ke
Indonesia. Marcopolo datang ke Indonesia kemudian dia singgah di Sumatera utara,
didaerah tersebut Marcopolo menemukan adanya Kerajaan Islam pertama yaitu
Samudera Pasai
c. Berita India
Para pedagang Gujarat dari India selain melakukan perdagangan juga menyebarkan
agama Islam di pesisir pantai
d. Berita Cina
Ma Huan (Sekretaris Laksamana Cheng Ho) mengatakan bahwa pada tahun 1400 telah
ada pedagang-pedagang islam yang tinggal di Pantura
2. SUMBER INTERNAL

a. Batu Nisan Fatimah Binti Maimun


Peninggalan batu nisan ini menjadi bukti bahwa agama islam sudah masuk ke daerah Jawa Timur
b. Makam Sultan Malik As Saleh (Raja Samudera Pasai di Sumatera)
Berdasarkan peninggalan ini, dapat disimpulkan bahwa untuk pertama kalinya muncul seorang
Raja beragama Islam dengan gelar “Sultan”
c. Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik
Makam tersebut didatangkan dari gujarat dan berisi tulisan-tulisan Arab. Agama Islam mudah
masuk ke Indonesia,karena:
1. Syarat memeluk agama Islam sangat mudah (mengucap 2 kalimat syahadat)
2. Tata cara peribadatan islam sangat sederhana
3. Islam tidak mengenal kasta
4. Agama Islam yang masuk ke Indonesia disesuaikan dengan adat dan tradisi Bangsa Indonesia
5. Faktor politik juga ikut memperlancar proses penyebaran agama islam di Indonesia (runtuhnya
sriwijaya dan majapahit sebagai kerajaan besar)
6. Penyebaran agama islam dengan cara damai tanpa peperangan atau kekerasan
Islam dan Jaringan Perdagangan Antarpulau-Sejarah
Sejarah
Islam dan Jaringan Perdagangan Antarpulau - Sudah ada perdagangan, sejak abad
pertama Masehi di kepulauan Indonesia berdasarkan data arkeologi berupa prasasti-
prasati serta data historis berupa berita-berita asing. Jalur – jalur pelayaran maupun
perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan beberapa negara di Asia Tenggara, cina,
dan India (Berdasarkan berita cina yang telah dikaji, diantaranya oleh W.Wolters (1967).
Islam dan Jaringan Perdagangan Antarpulau

Dari catatan-catatan di sejarah Indonesia dan Malaya yang telah di himpun dari
sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, telah menunjukkan adanya jaringan perdagangan
antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dengan berbagai negeri terutama
dengan Cina. Kontak dagang itu sudah berlangsung sejak abad-abad pertama Masehi
hingga abad ke-16. Kemudian kapal-kapal dagang Arab juga mulai berlayar ke
wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-7. Dan dari literatur Arab juga banyak
sumber berita tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara.
Adanya jalur pelayaran tersebut menyebabkan muncul jaringan perdagangan dan pertumbuhan
yang disertai perkembangan kota- kota pusat kesultanan dengan kota- kota bandar pada abad ke-13
hingga abad ke-18 misalnya, Samudera Pasai, Malaka, Banda Aceh, Palembang, Demak, Siak Indrapura,
Jambi, Minangkabau, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar, dan kota- kota lainnya.
Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan bercorak Islam atau kesultanan, antara
lain, Malaka dan Samudera Pasai yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke- 13 sampai abad ke- 15,
sedangkan Ma Huan juga memberitakan ada komunitas- komunitas Muslim di pesisir utara Jawa Timur.
Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) juga memberikan gambaran terkait keberadaan jalur
pelayaran jaringan perdagangan, baik regional ataupun internasional. Ia menceritakan tentang lalu lintas
maupun kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Persia, Gujarat,
Arab, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam. Selain itu Tome Pires juga telah mencatat kehadiran para pedagang
di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Persia, Ormuz, Rum, Turki, Kristen Armenia,
Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam,
Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura,
Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal,
Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva.
Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang dari berbagai negeri dan bangsa di
Samudera Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di pesisir utara Jawa dapat disimpulakan
adanya jalur- jalur pelayaran dan jaringan perdagangan antara beberapa kesultanan di
Kepulauan Indonesia baik yang bersifat regional maupun internasional. Hubungan
pelayaran yang disertai perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat
menjadi hubungan langsung dan dalam intensitas tinggi. aktivitas perdagangan dan
pelayaran di Samudera Hindia menjadi semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut
berkaitan erat dengan semakin maju perdagangan di masa jaya pemerintahan Dinasti
Abbasiyah (750-1258). Dengan ditetapkan Baghdad menjadi pusat pemerintahan yang
menggantikan Damaskus (Syam) aktivitas pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia
menjadi lebih ramai.
dari abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka perjalanan menuju
ke Cina. Meskipun hanya transit, tetapi hubungan Arab dengan kerajaan- kerajaan di
Kepulauan Indonesia menjadi langsung. Hubungan itu menjadi semakin ramai manakala
pedagang Arab di larang masuk ke Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang
Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H.
Orang–orang Islam pun melarikan diri dari pelabuhan Kanton dan meminta perlindungan dari Raja Kedah dan
Palembang. Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, dan usaha Portugis selanjutnya untuk menguasai lalu
lintas di selat tersebut telah mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif yakni dengan melintasi
Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda.
Pergeseran ini melahirkan pelabuhan perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten,
Makassar serta lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh perompak laut
(bajak laut) yang sering terjadi pada jalur perdagangan yang ramai, akan tetapi kurang mendapat
pengawasan oleh penguasa setempat. Perompakan itu sendiri sesungguhnya merupakan bentuk kuno
kegiatan dagang. Kegiatan itu dilakukan karena merosotnya keadaan politik serta mengganggu
kewenangan pemerintahan yang berdaulat penuh atau kedaulatannya di bawah penguasa kolonial.
Akibat aktivitas bajak laut tersebut, rute pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa
lalu berubah melalui pesisir Sumatra dan Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di
Pelabuhan Barus, Tiku, dan Pariaman. Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih pada
perdagangan cengkih dan pala. Dari Ternate dan Tidore (Maluku) di bawa barang komoditi itu menuju
Somba Opu, yakni ibukota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada abad ke-16 telah
menjalin hubungan perdagangan dengan Patani, Johor, Blambangan, Banjar, dan Maluku. Adapun Hitu
(Ambon) menjadi pelabuhan yang menampung komoditi cengkih dari Huamual (Seram Barat),
sedangkan komoditi pala pusatnya di Banda. Semua pelabuhan itu umumnya didatangi oleh para
pedagang Jawa, Arab, Cina, dan Makassar. Kehadiran pedagang tersebut mempengaruhi corak
kehidupan serta budaya setempat, misalnya ditemui bekas koloninya seperti Maspait (Majapahit), Kota
Jawa (Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar).
Pada abad ke- 15, Sulawesi Selatan didatangi pedagang
Muslim dari Malaka, Sumatra, dan Jawa,. Dalam
perjalanan sejarah, masyarakat Muslim di Gowa yakni Raja
Gowa Muhammad Said (1639-1653) serta putra
penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin
hubungan dagang yakni dengan bangsa Portugis. Bahkan
Sultan Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang juga
turut memberikan saham dalam perdagangan yang
dilakukan Fr. Vieira, meskipun mereka beragama Katolik.
Kerjasama tersebut didorong oleh adanya usaha
monopoli perdagangan rempah- rempah yang
dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku. Hubungan
Ternate, Hitu dengan Jawa sangat erat. Dengan ditandai
adanya seorang raja yang dianggap benar-benar telah
memeluk Islam yaitu Zainal Abidin (1486-1500) yang
pernah belajar di Madrasah Giri.
Ia dijuluki sebagai Raja Bulawa yang artinya raja cengkih, karena ia membawa cengkeh dari Maluku
sebagai persembahan. Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli) itu, hanya terdapat di Kepulauan Indonesia
bagian timur, sehingga banyak barang yang sampai ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang
amat panjang dari Maluku sampai ke Laut Tengah. Cengkih yang diperdagangkan yaitu putik bunga
tumbuhan hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang telah dikeringkan. Satu pohon
tersebut ada yang menghasilkan cengkih hingga 34 kg. Hamparan cengkih di tanam di perbukitan di
pulau- pulau kecil Ternate, Tidore, Makian, maupun Motir di lepas pantai barat Halmahera dan baru
berhasil di tanam di pulau yang relatif besar, yakni Bacan, Ambon dan Seram.
Meningkatnya ekspor lada dalam perdagangan internasional, membuat pedagang nusantara
mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama untuk pasaran Eropa yang telah
berkembang dengan cepat. Selama periode (1500- 1530) banyak sekali terjadi gangguan di laut
sehingga bandar- bandar Laut Tengah harus mencari pasokan hasil bumi dari Asia ke Lisabon.
Oleh karena itu secara berangsur- angsur jalur perdagangan yang ditempuh pedagang muslim
bertambah aktif, di tambah dengan adanya perang di laut Eropa, penaklukan Ottoman atas
Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538) memberikan dukungan yang besar untuk
berkembangnya pelayaran Islam di Samudera Hindia.

Anda mungkin juga menyukai