Anda di halaman 1dari 22

"Etika Bisnis Global dan

Korporasi Multinasional"

Sri Wahyuni Mansyur (1701035054)

Mata Kuliah : Etika Bisnis dan Profesi


• Globalisasi dan Korporasi Multinasional

Kini kita hidup dalam era globalisasi ekonomi, kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua
negara tercantum dalam “pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar
ekonomis. Gejala globalisasi ekonomi ini bisa berakibat positif maupun negatif. Disatu pihak globalisasi dapat
meningkatkan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan antara bangsa-bangsa dan dengan demikian melanjutkan tradisi
perdagangan internasional sejak dulu. Di lain pihak, gejala yang sama bisa berakhir dalam suasana konfrontasi dan
permusuhan, karena mengakibatkan pertentangan ekonomi dan perang dagang, melihat kepentingan-kepentingan
raksasa yang di pertaruhkan di situ.

Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak
mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis
internasional.
• Globalisasi dan Korporasi Multinasional

Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis dunia adalah korporasi multinasional (multinational
corporations) / korporasi transnasional (transnational corporations). Yaitu perusahaan yang memiliki inventasi
langsung dalam 2 negara atau lebih. Jadi, perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri
tapi belum mencapai status korporasi multinasional (KMN), namun perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa
negara termasuk didalamnya.

Bentuk pengorganisasian KMN bisa berbeda-beda. Biasanya perusahaan di negara lain sekurang-kurangnya
untuk sebagian dimiliki oleh orang setempat sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis yang umum ditanggung
oleh pimpinan perusahaan di negara asalnya.

 
• Globalisasi dan Korporasi Multinasional

Kita semua mengenal KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson, AT & T, General Motors, IBM, Mitsubishi,
Toyota, Sony, Philips, Unilever yang mempunyai kegiatan di seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan
orang. Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar dan beroperasi di berbagai tempat yang
berbeda dan memiliki mobilitas tinggi KMN menimbulkan masalah etis tersendiri. Terutama dipraktekan di negara
berkembang yang sebagian lemah terhadap yang kuat. Negara berkembang sudah mengambil berbagai tindakan
untuk melindungi dirinya. Misalnya tidak mengizinkan masuk KMN yang bisa merusak atau melemahkan suatu
industri dalam negeri. Mengizinkan jika mayoritas saham (sekurang-kurangnya 50,1 %), berada dalam tangan
warga negara setempat.
• Globalisasi dan Korporasi Multinasional

Ada juga beberapa usaha internasional untuk membuat kode etik bagi kegiatan korporasi
multinasional di dunia ketiga seperti Guidelines for Multinational Enterprises dari Organization for
Economis Coorporations and Development (OECD) (1976 direvisi 1984) dan aturan-aturan yang
diusulkan oleh Commission on Transnational Corporations dari PBB (1990). Tetapi peraturan itu hanya
bersifat anjuran dan belum dapat dipaksakan.

Karena kekosongan hukum pada taraf internasional itu, kesadaran etis bagi KMN lebih mendesak
lagi. De George telah berusaha menjawab konteks bisnis dengan negara-negara berkembang. Ia
merumuskan 10 aturan etis yang dianggap paling mendesak. Tujuh norma pertama berlaku untuk
semua KMN sedangkan 3 aturan terakhir terutama dirumuskan untuk industri beresiko khusus seperti
pabrik kimia / instalasi nuklir.
• Globalisasi dan Korporasi Multinasional

Berikut usulan De George :


1. Koorporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung.
2. Koorporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi
negara dimana mereka beroperasi.
3. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada pembangunan
negara dimana dia beroperasi.
4. Korporasi multinasional harus menghormati HAM dari semua karyawannya.
5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional harus
menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan menantangnya.
• Globalisasi dan Korporasi Multinasional

6. Koorporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair”


7. Koorporasi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkan dan
menegakkan “backgroud institutions” yang tepat
8. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab moral atas
kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
9. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib menjaga supaya
pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, korporasi multinasional wajib
merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara
yang belum berpengalaman.
• Kode Etik Perusahaan Global

Di negara yang kegiatan bisnisnya sudah maju, seperti di Amerika Serikat dan Eropa, sebagian
besar perusahaan besar sudah mengembangkan kode etik perusahaannya masing-masing. Kode etik
itu antara lain menjelaskan harapan perusahaan agar karyawan mampu mengenali masalah-masalah
etis terkait kebijakan perusahaan, dan harapan menyangkut perilaku karyawan dalam situasi tertentu.
Sebagai contoh, di dalam pedoman Etika Bisnis dari perusahaan Ericsson, dimuat tata tertib
mengenai tanggung jawab individu, serta tanggung jawab terhadap karyawan, pelanggan, pemasok,
pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya, termasuk :
1.mematuhi undang-undang, tata tertib dan peraturan;
2.melindungi informasi rahasia perusahaan dan informasi para pelanggan serta vendor perusahaan;
3.perlindungan dan penggunaan aset perusahaan yang layak;
4.memperlakukan karyawan dengan hormat dan melindungi hak azasi manusia;
• Kode Etik Perusahaan Global

5. menangani konflik kepentingan;

6. mendukung pengungkapan secara lengkap, adil, akurat, tepat waktu dan dapat dipahami dalam laporan

keuangan dan komunikasi publik lainnya;

7. melindungi lingkungan

8. mendukung pelaporan tentang setiap perilaku yang melanggar hukum atau yang tidak etis.

Saat ini, perusahaan-perusahaan bisnis internasional, terutama yang besar, pada umumnya sudah memiliki

pedoman etika bisnis di dalam perusahaannya. Kode etik internasional pertama di bidang bisnis adalah ”The

Caux Round-Table Principles for Business” yang disepakati pada tahun 1994 oleh eksekutif puncak dari

berbagai perusahaan multinasional dari Jepang, Eropa dan Amerika Serikat (seperti Matsuhita, Philips, Ciba-

Geigy, Cummins, 3M dan Honeywell).


• Kode Etik Perusahaan Global

Prinsip Caux berakar pada dua nilai ideal dasar dalam etika, yaitu konsep Jepang “kyosei” yang
berarti hidup dan bekerja bersama-sama demi kesejahteraan umum, dan konsep barat “human
dignity” (martabat manusia) yang mengacu pada kesucian atau bernilainya setiap pribadi sebagai
tujuan, tidak semata-mata sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan orang lain atau bahkan
untuk melaksanakan kehendak mayoritas.

Kode etik ini terbagi dalam tiga bagian utama, yaitu mukadimah, prinsip-prinsip umum, dan
prinsip-prinsip stakeholder. Prinsip-prinsip umum dari ”The Caux Round-Table Principles for Business”
adalah sebagai berikut
• Kode Etik Perusahaan Global

1. Tanggung Jawab Bisnis Dari “Shareholders” ke “Stakeholders”

2. Dampak Ekonomis dan Sosial dari Bisnis : Menuju Inovasi, Keadilan dan Komunitas Dunia

3. Perilaku Bisnis : Dari Hukum Tersurat ke Semangat Saling Percaya

4. Sikap Menghormati Aturan

5. Dukungan Bagi Perdagangan Multilateral

6.  Sikap Hormat Bagi Lingkungan Alam

7. Menghindari Operasi-Operasi Yang Tidak Etis


• Kemitraan Kolaboratif

Kemitraan kolaboratif adalah perjanjian dan tindakan yang dibuat oleh organisasi yang menyetujui untuk

berbagi sumber daya untuk mencapai tujuan bersama. Kemitraan kolaboratif bergantung pada partisipasi oleh

setidaknya dua pihak yang setuju untuk berbagi sumber daya, seperti keuangan, pengetahuan, dan orang-

orang. Organisasi dalam kemitraan kolaboratif berbagi tujuan Bersama. Inti dari kemitraan kolaboratif adalah

agar semua pihak saling menguntungkan dari bekerja bersama.

Kolaborasi ataupun kemitraan merupakan hubungan antara perusahaan dan pihak lain untuk memenuhi

tujuan bersama dalam prinsip kerjasama, dan keadilan. Kolaborasi pada umumnya dilakukan karena adanya

saling membutuhkan. Kolaborasi tumbuh secara alami dalam dunia usaha. Tidak ada satu perusahaan

mampu berdiri sendiri tanpa bermitra.


• Kemitraan Kolaboratif

Walaupun begitu melakukan kolaborasi tidaklah mudah, sedikitnya dibutuhkan komitmen yang kuat dan
kesepahaman antara pelakunya. Dalam kolaborasi juga hendaknya terdapat kesepahaman antar pelaku. Para
pelaku hendaknya tidak hanya berpikir pada pembagian keuntungan namun juga berbagi resiko dan tanggung
jawab. Untuk itu harus ada perhitungan dan kesepahaman di awal sebelum menjalankan kemitraan.

Walaupun begitu melakukan kolaborasi tidaklah mudah, sedikitnya dibutuhkan komitmen yang kuat dan
kesepahaman antara pelakunya. Dalam kolaborasi juga hendaknya terdapat kesepahaman antar pelaku. Para
pelaku hendaknya tidak hanya berpikir pada pembagian keuntungan namun juga berbagi resiko dan tanggung
jawab. Untuk itu harus ada perhitungan dan kesepahaman di awal sebelum menjalankan kemitraan.
• Kemitraan Kolaboratif

Ada beberapa contoh di mana kemitraan kolaboratif berkembang di antara mereka di bidang yang berbeda
untuk melengkapi keahlian satu sama lain. Hubungan antara mitra kolaboratif dapat mengarah pada kemitraan
jangka panjang yang saling bergantung satu sama lain. Kemitraan kolaboratif dalam bisnis mendapat manfaat dari
hubungan dekat dan saling percaya antar mitra. Kekuatan dan keterbukaan jaringan menciptakan keuntungan di
antara bisnis yang telah menciptakan kepercayaan di antara mereka. Kemitraan kolaboratif antara bisnis
menghasilkan tingkat produktivitas dan pendapatan yang lebih tinggi ketika ada komunikasi dua arah yang stabil
antara para pihak. Kemitraan ini berkembang menjadi praktik dan hubungan lama yang dapat melampaui satu
proyek.
• Keterlibatan dalam Politik

Keterlibatan politisi dan pemerintah di sektor korporasi bukan lagi hal yang asing di Indonesia maupun negara
berkembang lainnya. Tapi masih terdapat kekhawatiran dalam masyarakat terhadap potensi tindak korupsi dan kapitalisme
kroni. Hubungan politik dan bisnis tidak dapat sepenuhnya dilarang namun harus ada transparasi dan akunbilitas yang jelas
dalam pelaksanaannya.

Koneksi politik diharapkan dapat meningkatkan nilai perusahaan, karena perusahaan yang terhubung secara politik
dapat memanfaatkan koneksi pemerintah tersebut untuk mendapatkan peluang bisnis yang menguntungkan. Di sisi lain,
koneksi politik juga dikhawatirkan dapat mengurangi nilai perusahaan, karena potensi terjadinya transaksi yang meragukan
antara pendukung politik dan orang dalam.

Terlebih lagi, transparasi untuk mengungkapkan keterlibatan direktur dan komisaris bisnis dalam politik – atau
sebaliknya keterlibatan politikus sebagai anggota dewan direktur dan komisaris bisnis perusahaan – tidak sepenuhnya
diatur oleh undang-undang dan regulasi di Indonesia selain peraturan yang sudah ditetapkan oleh OJK menyangkut
Politically Exposed Person (PEP) dalam industri jasa keuangan.
• Keterlibatan dalam Politik

Iman Harymawan, dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga mengatakan, secara etika, keterlibatan politik
oleh para pengambil keputusan di sebuah perusahaan, seperti anggota dewan direktur dan komisioner, seharusnya diungkap
secara detil dan konsisten dalam laporan tahunan. Namun masih banyak perusahaan yang belum transparan karena sifatnya
sebatas sukarela.

“Praktik pengawasan etika hubungan politik dan bisnis sangat diperlukan, dan dapat direalisasikan apabila adanya
regulasi resmi dari pemerintah yang mendorong perusahaan transparasi dan akunbilitas perusahaan-perusahaan tersebut,”
ucap Iman.

Keterlibatan aktivitas politik dalam bisnis sebetulnya tidak ada manfaat positif bagi keberhasilan perusahaan tersebut
bahkan dapat berdampak negatif, berdasarkan sejumlah riset. Perusahaan dengan direktur atau komisioner yang
mempunyai hubungan politik tidak mempunyai dampak positif yang signifikan terhadap penghasilan bisnis, dan justru
mempunyai dampak negatif terhadap nilai perusahaan karena besarnya potensi tindak korupsi dan nepotisme yang sudah
ramai diberitakan oleh media.
• Keterlibatan dalam Politik

Keterlibatan aktivitas politik dalam bisnis sebetulnya tidak ada manfaat positif bagi keberhasilan perusahaan
tersebut bahkan dapat berdampak negatif, berdasarkan sejumlah riset. Perusahaan dengan direktur atau
komisioner yang mempunyai hubungan politik tidak mempunyai dampak positif yang signifikan terhadap
penghasilan bisnis, dan justru mempunyai dampak negatif terhadap nilai perusahaan karena besarnya potensi
tindak korupsi dan nepotisme yang sudah ramai diberitakan oleh media.

Menurutnya, sangat penting bagi ekonomi berkembang seperti Indonesia untuk menumbuhkan budaya
whistleblowing dalam sikap profesionalisme. Profesi akuntan yang bertanggung jawab adalah salah satu garis
depan yang mempunyai peran penting dalam menjaga etika bisnis, apalagi yang sudah melibatkan hubungan
politik.
• Simpulan

Permasalahan mengenai standar etika di dalam suatu negara seringkali tidak didefinisikan secara jelas.
Disamping itu, penilaian masyarakat terhadap suatu perilaku bisnis seringkali berbeda dikarenakan perbedaan
budaya yang ada di suatu negara dengan budaya di negara lain. Walaupun demikian, bertindak secara etis dan
memiliki tanggung jawab sosial dalam melakukan bisnis, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, merupakan
suatu tuntutan bagi perusahaan di dalam era globalisasi saat ini.

Saat ini, dengan keterbukaan pasar internasional, setiap perusahaan yang ada di bisnis internasional harus
memiliki daya saing. Daya saing ini di antaranya dihasilkan dari produktivitas dan efisiensi. Untuk itu diperlukan
etika dalam berusaha atau berbisnis, karena praktik usaha yang tidak etis dapat menimbulkan kegagalan pasar,
mengurangi produktivitas dan meningkatkan ketidakefisienan.
• Kasus

 CONTOH KASUS ETIKA BISNIS INDOMIE DI TAIWAN

Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan
mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk
berkembang mengikuti mekanisme pasar. Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam
memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku.
Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena
harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya. Kasus Indomie yang mendapat
larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan
ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid
(asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik. 
Lanjutan kasus

Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM
Kustantinah. Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadi, apalagi pihak
negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk
Indomie. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk
kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%. Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas
ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per
kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa
mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker. 
Lanjutan kasus

Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu
kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan.
Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan
seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka
timbulah kasus Indomie ini.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai