GERAKAN PENDIDIKAN
Disusun Oleh :
Kelompok 3
Faktor Internal
1. Sikap beragama Umat Islam
Kelemahan praktek ajaran agama Islam dapat dijelaskan
melalui dua bentuk:
Tradisionalisme
Pemahaman dan praktek Islam tradisionalisme ini
ditandai dengan pengukuhan yang kuat terhadap khasanah
intelektual Islam masa lalu dan menutup kemungkinan untuk
melakukan ijtihad dan pembaharuan-pembaharuan dalam
bidang agama. Paham dan praktek agama seperti ini
mempersulit agenda umat untuk dapat beradaptasi dengan
perkembangan baru yang banyak datang dari luar (barat).
Sinkretisme
Pertemuan Islam dengan budaya lokal disamping telah
memperkaya khasanah budaya Islam, pada sisi lainnya
telah melahirkan format-format sinkretik, percampur
adukkan antara sistem kepercayaan asli masyarakat-
masyarakat budaya setempat. Sebagai proses budaya,
percampuradukkan budaya ini tidak dapat dihindari, namun
kadang-kadang menimbulkan persoalan ketika percampur
adukkan itu menyimpang dan tidak dapat di
pertanggungjawabkan dalam tinjauan aqidah Islam.
2. Kelemahan Lembaga Pendidikan Agama Islam
Lembaga pendidikan tradisional Islam, Pesantren, merupakan
sistem pendidikan Islam yang khas Indonesia. Transformasi nilai-
nilai keIslaman ke dalam pemahaman dan kesadaran umat secara
institusional sangat berhutang budi pada lembaga ini. Namun terdapat
kelemahan dalam sistem pendidikan Pesantren yang menjadi kendala
untuk mempersiapkan kader-kader umat Islam yang dapat tumbuh dan
berkembang sesuai dengan zaman. Salah satu kelemahan itu terletak
pada materi pelajaran yang hanya mengajarkan pelajaran agama, seperti
Bahasa Arab, Tafsir, Hadist, Ilmu Kalam, Tasawuf dan ilmu falak.
Pesantren tidak mengajarkan materi-materi pendidikan umum seperti
ilmu hitung, biologi, kimia, fisika, ekonomi dan lain sebagainya, yang
justru sangat diperlukan bagi umat Islam untuk memahami
perkembangan zaman dan dalam rangka menunaikan tugas sebagai
khalifah di muka bumi. Ketiadaan lembaga pendidikan yang
mengajarkan kedua materi inilah yang menjadi salah satu latar belakang
dan sebab kenapa K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah,
yakni untuk melayani kebutuhan umat terhadap ilmu pengetahuan yang
seimbang antara ilmu agama dan ilmu duniawi.
Faktor Eksternal
1. Kristenisasi
Faktor eksternal yang paling banyak mempengaruhi
kelahiran Muhammadiyah adalah Kristenisasi, yakni
kegiatan- kegiatan yang terprogram dan sistematis untuk
mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun
bukan, menjadi Kristen. Kristenisasi ini mendapatkan
peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah
Kolonialisme Belanda. Misi Kristen, baik Katholik maupun
Protestan di Indonesia, memiliki dasar hukum yang kuat
dalam Konstitusi Belanda. Bahkan kegiatan-kegiatan
Kristenisasi ini didukung dan dibantu dana-dana negara
Belanda. Efektifitas penyebaran agama Kristenisasi inilah
yang terutama menggugah K.H. Ahmad Dahlan untuk
membentengi umat Islam dari pemurtadan.
2. Kolonialisme Belanda
Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang
sangat buruk bagi perkembangan Islam di wilayah
Nusantara ini, baik secara sosial politik, ekonomi maupun
kebudayaan. Ditambah dengan praktek politik Islam
Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana
ingin menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan
umat Islam untuk melakukan perlawanan. Menyikapi hal
ini, K.H. Ahmad Dahlan dengan mendirikan
Muhammadiyah berupaya melakukan perlawanan terhadap
kekuatan penjajahan melalui pendekatan kultural, terutama
upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui
jalur pendidikan.
3. Gerakan Pembaharuan Timur Tengah
Gerakan Muhammadiyah di Indonesia pada dasarnya
merupakan salah satu mata rantai dari sejarah panjang
gerakan pebaharuan yang dipelopori oleh Ibnu
Taymiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul
Wahhab, Jamaluddin al - Afgani, Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Persentuhan itu
terutama diperoleh melalui tulisan-tulisan Jamaluddin
al-Afgani yang dimuat dalam majalah al-Urwatul
Wutsqa yang dibaca oleh K.H. Ahmad Dahlan. Tulisan-
tulisan yang membawa angin segar pembaharuan itu,
ternyata sangat mempengaruhi K.H. Ahmad Dahlan, dan
merealisasikan gagasan-gagasan pembaharuan ke dalam
tindakan amal yang riil secara terlembaga.
Cita-cita Pendidikan Muhammadiyah
1. Pendidikan Integralistik
Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu
memproduksi ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali
menarik disimak. Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama
Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang
mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya diresapi dengan
suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem
madrasah/sekolah. Madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah
bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik.
2. Pendidikan Agama
Mengadopsi Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern
Belanda dalam Madrasah-Madrasah Sebagai catatan,
tujuan umum lembaga pendidikan di atas baru disadari
sesudah 24 tahun Muhammadiyah berdiri, tapi Amir
Hamzah menyimpulkan bahwa tujuan umum pendidikan
Muhammadiyah menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah:
a. Baik budi, alim dalam agama;
b. Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum);
c. Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Memberi Muatan Pengajaran Islam pada Sekolah-Sekolah
Umum Modern Belanda Sekolah Muhammadiyah
mempertahankan dimensi Islam yang kuat, tetapi dilakukan
dengan cara yang berbeda dengan sekolah-sekolah Islam yang
lebih awal dengan gaya pesantrennya yang kental. Dengan
contoh metode dan sistem pendidikan baru yang diberikannya.
K.H. Ahmad Dahlan juga ingin memodernisasi sekolah
keagamaan tradisional. Untuk meningkatkan kualitas
pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah
Muallimin dan Muallimat, Muballighin dan Muballighat.
Dengan demikian diharapkan lahirlah kader-kader Muslim
sebagai bagian inti program pembaharuannya yang bisa
menjadi ujung tombak gerakan Muhammadiyah dan membantu
menyampaikan misi-misi dan melanjutkannya di masa depan.
Pemikiran dan Praktis Pendidikan
Muhammadiyah
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang
memelopori pendidikan Islam modern. Salah satu latar
belakang berdirinya Muhammadiyah menurut Mukti Ali ialah
ketidak efektifan lembaga pendidikan agama pada waktu
penjajahan Belanda, sehingga Muhammadiyah memelopori
pembaruan dengan jalan melakukan reformasi ajaran dan
pendidikan Islam. Kini pendidikan Muhammadiyah telah
berkembang pesat dengan segala kesuksesannya, tetapi masalah
dan tantangan pun tidak kalah berat. Dalam sejumlah hal
bahkan dikritik kalah bersaing dengan pendidikan lain yang
unggul. Pendidikan AIK pun dipandang kurang menyentuh
subtansi yang kaya dan mencerahkan. Kritik apapun harus
diterima untuk perbaikan dan pembaharuan.
Pendidikan Muhammadiyah merupakan bagian yang
terintegrasi dengan gerakan Muhammadiyah dan telah berusia
sepanjang umur Muhammadiyah. Jika diukur dari berdirinya
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (1 Desember 1911)
Pendidikan Muhammadiyah berumur lebih tua ketimbang
organisasinya. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari
“sekolah” (kegiatan Kyai dalam menjelaskan ajaran Islam) yang
dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam pelajaran
yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di
beranda rumahnya. Lembaga pendidikan tersebut sejatinya
sekolah Muhammadiyah, yakni sekolah agama yang tidak
diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat
Islam pada waktu itu, tetapi bertempat tinggal di dalam sebuah
gedung milik ayah K.H. Ahmad Dahlan, dengan menggunakan
meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan cara
baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
Tantangan dan Revitalisasi Pendidikan
Muhammadiyah