Anda di halaman 1dari 46

SEJARAH FILSAFAT

ETIKA
Disampaikan Oleh : Muhsinah Annisa
Sejarah Relativisme Etika
Zaman Kuno

Zaman Modern

Zaman
Kontemporer

Posmodernisme
Tokoh pada
Zaman Kuno

Hecateus Herodotus
Protagoras Parminides
dari Miletus dari Abdera (Awal Abad Socrates
(485-430 SM)
(550-480 SM) (490-420 SM) ke-5 SM)

Buku Travel
Around the World
Herodotus (485-430 SM)
 Sejarawan Pertama Yunani dan Barat
dalam History (Buku 3) Darius
 Menjelaskan tentang pengalaman
Darius (Raja Persia Kuno) mengenai
pengalamannya saat mengembara.
 Budaya yang berbeda memiliki
putusan atau praktik moral yang Callatian Yunani
berbeda pula.
 Putusan mengenai benar dan salah
berbeda dari satu budaya ke budaya
lain. Memakan Membakar
Jasad Bapak Jasad Bapak
mereka yang mereka yang
sudah mati sudah mati
Jika seseorang, siapapun dia, diberi kesempatan
memilih diantara semua umat di dunia seperangkat
kepercayaan yang menurutnya paling baik, tentunya –
setelah mempertimbangkan secara cermat
kegunaannya yang relatif—ia akan memilih sistem
kepercayaan negerinya sendiri. Semua orang, tanpa
kecuali, memercayai ada istiadat sendiri, dan agama
tempat ia dibesarkan, sebagai yang terbaik.
--Herodotus--
Dalam dan melalui ajaran socrates,
Filsafat moral mulai menempati posisi
penting dalam pemikiran Yunani, yang
menjadi kuat sejak saat itu. Sokrates
adalah titik penting yang menjadi awal
munculnya garis pemikiran etika Yunani
masa berikutnya. Spekulasi tentang
perilaku sebelum Socrates, menurut
hemat kami, hanya merupakan fase
pembuka bagi pertunjukan
sesungguhnya. (Sidwick, 1967 : 58
Herodotus (485-430 SM)

— Someone Famous
Protagoras dari Abdera (490-420 SM)
• Pelopor sejarah relativisme etika
• Pandangannya diriwayatkan orang lain, khususnya Plato
dalam dialog Theaetetus dan Protagoras
• “manusia adalah ukuran segala sesuatu”, artinya tidak
ada standar nilai universal, dan bahwa sesuatu prinsip
moral diciptakan kita sendiri
Protagoras

Pandangan moral tidak Orang harus mengikuti


dapat dibuktikan benar kesepakatan tak tertulis
bagi setiap orang di kelompoknya
Parmenides dari Elea(Awal abad ke 5 SM)

Yang ada, ada; yang tidak ada, tidak ada; dan karena
indra tampaknya tidak dapat seutuhnya menangkap
wujud sesuatu, maka wujud itu sama sekali tidak
memiliki realitas.
Socrates
• Kita memiliki akal budi untuk hanya mendengarkan orang bijak
di tengah-tengah kita (Crito, 44SM)
• Mencoba mengembangkan sebuah sistem etika yang
didasarkan atas akal budi itu sendiri, bukan apa yang
disetujui secara tradisional.
Zaman Modern
Tokoh

Montaigne Hume Palademes Nietzsche


Montaigne (1533-1592)
• Filsuf Prancis yang memelopori skeptisisme Yunani versi
zaman Renaisans.
• Montaigne meragukan adanya nilai-nilai moral yang
universal atau mutlak
• “penerimaannya terhadap agama yang didasarkan atas
adat-istiadat dan keyakinan memberikan skeptisisme
menyeluruh kepada jalan hidupnya.”
Setiap orang menyebut apa yang tidak dilakukannya sebagai
barbarisme… karena kita tidak memiliki kriteria lain kecuali
contoh dan gagasan dari berbagai pendapat dan adat-istiadat
di negeri tempat kita tinggal
--Montaigne--

(Dikutip dari Geertz, 1988, hlm. 14)


• Montaigne percaya bahwa pemahaman perseptual dan
rasional kita tidak dapat diandalkan
• Montaigne juga menekankan peran agama sembari
mengemukakan bahwa orang harus mempertahankan agama
yang dianutnya sejak kecil dan hanya menerima prinsip-
prinsip yang diwahyukan
Hume
• Dinyatakan (Fieser, 1996) bahwa dalam esai Hume pada 1751, “A
Dialogue”, untuk pertama kalinya muncul pembelaan sistematis
terhadap relativisme moral.
• Hume mengungkapkan argumen relativis melalui dialog fiktif yang
terjadi antara narator dan sahabatnya, Palamedes.
• Dialog tersebut menunjukkan pendirian Hume melalui narator
yang menolak relativisme dan lebih jauh menekankan beberapa
kepercayaan moral aktual yang bersifat umum
• Palamedes hanya mewakili tesis keragaman dan bukan relativisme
Palamedes
• Palamedes: kebiasaan, adat-istiadat dan hukum merupakan dasar
penting semua ketentuan moral
• Narator: semua perilaku moral didasarkan atas empat prinsip universal:
(1) kegunaan bagi masyarakat, (2) kegunaan bagi si pelaku, (3)
kesenangan bagi masyarakat, (4) kesenangan bagi si pelaku. Sehingga
moralitas tidaklah serelatif yang dikira Palamedes
• Palamedes: setuju keempat prinsip itu secara luas dianut oleh berbagai
masyarakat yang sistem nilainya berkembang secara alamiah. Tetapi,
tak ada standar moralitas universal yang berlaku bagi sejumlah besar
budaya yang dikembangkan secara artifisial
Saya harus menyimpulkan pembahasan panjang ini dengan
memerhatikan bahwa adat-istiadat dan situasi yang berbeda,
bagaimanapun juga, tidak mengubah konsep-konsep sejati
tentang kebaikan, sebagian konsekuensi dalam setiap hal
yang mendasar, dan berlaku terutama bagi para pemuda yang
menginginkan sifat-sifat yang menyenangkan… “Apa yang
anda tekankan,” jawab Palamedes, “mungkin memiliki
beberapa pijakan”
--Hume,1751, hlm 172--
Jadi, Anda lihat bahwa prinsip yang dipikirkan oleh orang-
orang dalam persolan moral selalu sama, meski kesimpulan
yang mereka Tarik sering kali sangat berbeda.
--Hume--
• Hume memandang moralitas sebagai urusan manusia yang
sepenuhnya didasarkan atas sifat dan keadaan manusia.
• Sifat manusia sama dalam diri semua individu, dan manusia
memiliki perasaan yang sama di mana pun mereka berada
• Meyakini adanya semacam nilai-nilai moral yang bersifat
mutlak.
Nietzsche
• Nietzsche (1844-1900) adalah salah satu tokoh penting dalam
sejarah moral khususnya relativisme moral
• Tidak ada “kebenaran yang benar-benar identik, dan tidak ada
“dunia wujud yang sejati”
• Kebenaran: “sepasukan metafor, metonimi, dan
antropomorfisme yang bergerak. Pendeknya sejumlah
hubungan manusiawi yang secara puitis dan retorik telah
diintensifkan, diubah, dan dihiasi sehingga setlah lama lantas
dibakukan dalam kanon yang mengikat bagi orang-orang.”
Dalam The Genealogy of Morals (1887) dan karya-karya lain, Nietzsche tidak
berupaya menolak teori Kantian dan Utilitarian. Sebaliknya, dia mengemukakan
apa yang menurutnya merupakan kekuatan psikologis yang membawa orang-
orang untuk menyatakan pandangan semacam itu. Dalam pandangannya,
perjuangan untuk berkuasa, rasa iri, serta kebencian terhadap orang yang telah
mencapainya, merupakan akar moralitas modern. Bahkan, berbagai klaim abstrak
tentang rasionalitas tak luput juga ditelanjangi oleh Nietzsche. Klaim-klaim
semacam itu, menurutnya, merupakan kedok yang di baliknya bersemayam
perjuangan terselubung untuk meraih kekuasaan. Tak ada petunjuk impersonal
bagi perbuatan. Semua yang dapat dilakukan oleh seseorang adalah memutuskan
jenis orang apa yang diinginkan dan diperjuangkannya.

(Schneewind, 1996, hlm. 154)


Zaman Kontemporer
Tokoh

Westermar Foot dan


Sumner Benedict
ck Arrington
Sumner, antropolog awal abad ke-20
• Sumner dalam bukunya Folkways (1906): Moralitas de facto adalah
satu-satunya moralitas yang harus diperhatikan
• Ketika kita melihat bagaimana orang berperilaku secara aktual, kita
akan menemukan dengan jelas bahwa moralitas didasarkan atas
tradisi-tradisi rakyat yang ada dalam sebuah budaya. Oleh sebab itu,
nilai-nilai moral bersifat relatif, sebab tradisi rakyat akan berbeda dari
satu budaya ke budaya lain
• Sumner juga mengembangkan sebuah versi fungsionlis dari
relativisme etika. Argumen yang menekankan pentingnya mempelajari
masyarakat sebagai keseluruhan organik yang bagian-bagiannya
bergantung satu sama lain secara fungsional
Jalan yang “benar” adalah jalan yang dipakai oleh para leluhur dan
yang telah diwariskan. Tradisi adalah jaminan itu sendiri. Tradisi
tidak perlu disahkan melalui pengalaman. Ajaran tentang kebenaran
ada dalam kebiasaan. Ia tidak ada di luar kebiasaan, tidak memiliki
asal-usul yang independen, dan tidak mengujinya. Dalam kebiasaan,
apa pun benar adanya. Ini dikarenakan, kebiasaan tersebut sudah
mentradisi, sehingga di dalam dirinya mengandung kuasa hantu-
hantu leluhur. Ketika kita sampai pada kebiasaan, kita tengah
mengakhiri analisis kita
--Sumner, 1906, hlm. 28--
Antropolog Amerika Serikat, Benedict
(1887-1948)
Dalam karyanya, Patterns of Culture (1934), berbagai budaya
ditata menurut nilai-nilai yang berbeda dan tidak dapat
diperbandingkan, yang bergantung pada sejarah dan lingkungan
budaya yang berbeda.
Kebanyakan budaya yang lebih sederhana tidak mendapatkan
dukungan dari sesuatu yang secara tanpa sadar, kita identifikasi
sebagai hakikat manusia. Akan tetapi, ini dikarenakan berbagai
alasan historis, dan sama sekali bukan karena apa pun yang
melakukan monopoli kesejahteraan dan kesehatan sosial terhadap
kita. Dari sudut pandang ini, peradaban modern tidak menjadi
puncak logis prestasi manusia, melainkan jalan masuk ke dalam
serangkaian penyesuaian yang mungkin
--Benedict—
Westermarck (1862-1939)
• Antropolog dan filsuf Finlandia dengan karya penting The Origin and
Development of the Moral Ideas (2 jilid, 1906-1908) dan Ethical
Relativity (1932)
• Keragaman budaya pada dasarnya tidak membuktikan relativisme
etika. Tetapi, ada begitu banyak perbedaan fundamental yang
komprehensif, sehingga menjadi alasan kuat untuk mendukung
relativisme
• Putusan-putusan moral didasarkan atas dasar-dasar emosional,
bukannya intelektual
Saya berkesimpulan bahwa putusan-putusan moral akhirnya
didasarkan atas emosi, dan konsep-konsep moral menjadi
generalisasi terhadap berbagai kecenderungan emosional, meski
pada saat yang sama, saya mengakui sejumlah pengaruh yang
ditimbulkan oleh pertimbangan intelektual terhadap putusan-putusan
tersebur, terutama melalui kesadaran yang menjadi penentu emosi
moral
--Westermarck, 1932, hlm. xvii—
Untuk menemukan perubahan dalam perdebatan tentang relativisme moral
sebelum dan sesudah Westermarck, dan menyadari peran Westermarck dalam
mengembangkan relativisme moral pada paruh kedua abad ke-20, mesti
mempertimbangkan seperti dirumuskan Bunting (1996, hlm. 73), relativisme
moral tradisional biasanya terdiri atas beberapa gagasan berikut:
1. Masyarakat yang berbeda meyakini prinsip-prinsip dasar moral yang tidak
selaras
2. Masing-masing prinsip yang tidak selaras ini benar dalam pengertian tertentu
3. Moralitas memiliki landasannya dalam beragam sifat afektif manusia
4. Karena itu, tak ada satu pun moralitas yang benar
Bunting menambahkan bahwa Westermarck menarik perhatian para filsuf moral
terhadap dua hal penting: peran kebenaran bagi relativisme dan peran emosi
dalam moralitas
Ada dua penafsiran atas pendapat Westermarck tentang kebenaran pernyataan
moral;
1. Semua pernyataan moral itu salah (teori kesalahan)
2. Kebenaran dan kesalahan tidak dapat diterapkan terhadap pernyataan-
pernyataan moral (Bunting (1996, hlm. 75) menyebutnya pandangan
irealisme)

Nielson, komentator simpatik yang telah mengajukan dua belas penafsiran


atas pandangan Westermarck, mengatakan: “Pendapatnya terlalu samar,
kabur, dan terlalu memberi ruang penafsiran bagi skeptisisme etika”
(Nielson, 1982, hlm. 28 seperti dikutip Bunting, 1996, hlm. 77)
Foot dan Arrington
• P. foot dalam “Moral Relativism” (1982) dan R. Arrington dalam “A
Defense of Ethical Relativism” (1983) dan Rationalism, Realism and
Relativism (1989) mengajukan kembali gagasan Protagoras mengenai
kebenaran relatif
• Relativisme Protagoras tidak pernah mendapatkan perhatian yang
wajar. Benar dana salah mungkin saja bertentangan, tetapi benar bagi
suati masyarakat tidaklah bertentangan dengan salah bagi masyarakat
lain
Jika kita bicara mengenai pandangan masyarakat lain, kita akan
bicara tentang apa yang benar menurut standar mereka, tanpa
sedikit pun berpikir bahwa standar kita “benar”. Jika orang Meksiko
kuno memuji paras seseorang yang berkepala gundul, maka
ungkapan pujian ini mungkin saja benar ketika diucapkan oleh
mereka, meski salah ketika diucapkan oleh kita
--Foot, 1982, hlm. i55—
Poin utama dari pendirian relativis adalah bahwa kita tidak dapat
menyatakan bahwa sebuah putusan moral benar semata. Kita hanya
dapat menyatakan bahwa sebuah putusan moral benar bagi orang
atau kelompok sosial tertentu
--Arrington, 1983, hlm. 228—
Harman
• G. Harman dalam “Moral Relativism Defended” (1975), The Nature of Morality
(1977), “Relativism Ethics: Morality as Politics” (1978), “What is Moral
Relativism?” (1978) dan Moral Relativism and Moral Objectivity (1996) dan B.
William dalam “The Truth in Relativism” (1974-1975)
• Aspek penting teori etika Harman adalah paham internalismenya
• Ketentuan-ketentuan moral, berbeda dengan ketentuan hukum, hanya mengikat
setelah agen moral dapat menerima ketentuan itu
• Moralitas mesti didasarkan atas kesepakatan, setidaknya secara implisit
• Moralitas tidak memiliki dasar yang dapat digunakan orang-orang dalam
perdebatan moral mereka
• Memadukan internalisme dan konvesionalisme (atau kontraktualisme) untuk
membangun kembali versi moderat mengenai relativisme etika yang dapat
menghindari keberatan-keberatan klasik
Jean Paul Sartre (1905-1980)
• Teori “eksistensialisme” yang dikembangkan sebagian filsuf
kontinental yang percaya bahwa moralitas hanya bersandar
sepenuhnya pada keputusan bebas setiap individu.
• Sartre tidak mengakui setiap prinsip yang secara umum dianggap
benar atau hukum-hukum yang bersifat universal.
• Berbuat secara moral sekadar berarti memiliki “keyakinan baik”,
yakni berbuat menurut moralitas yang telah dianutnya dan
menjauhkan diri dari kemunafikan
Tren “etika-situasi”
• Asal-usul pandangan dan istilah ini berasal dari karya Eberhard
Grisebach, Gegenwart: eine kritische Ethik (1928)
• Etika keagamaan tidak dapat memungkinkan adanya prinsip, hukum,
norma dan kaidah yang benar secara universal
• Etika-situasi, dengan demikian, berarti bahwa agen moral tidak
terlibat dalam perdebatan mengenai berbagai isu moral dengan
pilihannya yang telah ditentukan; boleh jadi karena pilihan itu
memang tidak ada. Sebaliknya, ia akan mendekati isu ini secara
pragmatis, seraya mencari pilihan terbaik di atas meja. Dengan
menghadapi persoalan yang sama namun dalam keadaan yang
berbeda, ia mungkin saja mencapai kesimpulan yang berbeda
(Billington, 1993, hlm. 39).
Posmodernisme
Posmodernisme bukanlah sebuah teori tunggal, ia adalah serangkaian
reaksi terhadap filsafat modern dan asumsi-asumsinya. Dinyatakan
bahwa unsur-unsur berikut terkandung dalam apa yang biasanya
dianggap sebagai posmodernisme: antiesensialisme,
antifondasionalisme, antirealism, penolakan terhadap gambaran
pengetahuan sebagai representasi yang akurat, penolakan kebenaran
sebagai pertautan dengan realitas, dan penolakan terhadap prinsip-
prinsip, pembedaan dan kategori-kategori yang dianggap secara mutlak
bersifat mengikat di sepanjang zaman, orang, dan tempat
Karakterisasi Posmodernisme
Di sini hanya menyebutkan dua karakter saja yang memang relevan dengan
pembahasan:
• “penolakan untuk memandang kriteria positivistik, rasionalistik, dan
instrumental sebagai standar eksklusif atau satu-satunya bagi pengetahuan yang
berguna”
• “keinginan untuk meninggalkan kebutuhan terhadap mitos-mitos, narasi, atau
bingkai pengetahuan yang berlebihan”
Keduanya terfokus pada proses menemukan realitas dan bukan realitas itu sendiri.
• Karakteristik yang diperlukan untuk memandang sesuatu sebagai “baik”
dibentuk secara sosial, sehingga apa yang dianggap baik dalam sebuah
masyarakat belum tentu dianggap baik dalam masyarakat yang lain
Etika Terapan

Pendirian posmodernisme menyiratkan bahwa moralitas yang


berkenaan dengan maslah-masalah seperti polusi, tenaga kerja,
kesajahteraan, dan bisnis yang melibatkan masyarakat, dibentuk
secara sosial dan mungkin berbeda dalam berbagai masyarakat
dan zaman
Agama dalam pendirian Posmodernisme
Menghendaki agama agar dikatikan dengan bentuk
pragmatisme dan relativisme

Sebagai ganti narasi otoritatif atau bentuk-bentuk pengetahuan lain yang


memberikan kebenran, “kebenaran” dianggap sebagai “apa yang efektif
bagi saya”. Orang harus memiliki apa yang mereka anggap sebagai
pengalaman “spiritual” tanpa harus meyakini kepercayaan religious… dan
ini menimbukan sebentuk relativisme: agam yang melampaui kepercayaan
adalah agama di mana “kebenaran” bersifat relatif terhadap apa yang
harus dilakukan seseorang untuk memuaskan kebutuhannya (Healas, 1998,
hlm. 5).
• Posmodernisme belum menemukan jalannya menuju Filsafat
moral
• “banyak pemikiran posmodernis yang dapat dianggap sebagai
pernyataan relativisme yang agak using” (Blacburn, 1994, hlm.
326).
• Posmodernisme belum menemukan jalannya menuju Filsafat
moral
• “banyak pemikiran posmodernis yang dapat dianggap sebagai
pernyataan relativisme yang agak using” (Blacburn, 1994, hlm.
326).

Anda mungkin juga menyukai