Week 7
Multikulturalisme
OUTLINE MATERI:
1. Monisme-Kulturalisme-Multikulturalisme
2. Hakikat Multikulturalisme
3. Multikulturalisme di Indonesia
Manusia tidak pernah ditakdirkan untuk sama, tetapi kita sejatinya ditakdirkan untuk
berbeda. Realitas sosial kita tampil dalam wajah multidimensi atau beraneka ragam. Terdapat
perbedaan-perbedaan mendasar identitas manusia sebagai makhluk individu maupun
makhluk sosial. Perbedaan-perbedaan ini pada awalnya menjadi fakta kajian dan
menimbulkan debat filosofis-historis dalam kurun waktu yang panjang. Terdapat aliran
pemikiran yang coba memberikan penilaian kritis atas realitas perbedaan manusia yang ada di
kolong langit ini. Aliran pemikiran paling purba (awal) terepresentasi dalam pemikiran
monisme moral.
Monisme moral mengklaim bahwa hanya ada satu jalan hidup yang sungguh
manusiawi, paling benar dan paling baik dan yang lainnya tidak utuh (Parekh: 2008, hal.
33). Artinya hanya ada satu nilai tertinggi dalam hidup manusia dan nilai-nilai lain hanyalah
sebagai instrument atau sarana saja bagi manusia untuk mencapai nilai tunggal itu. Monisme
mengklaim bahwa nilai kebenaran misalnya harus bersifat tunggal/singular. Bagi kaum
monisme, kejahatan, seperti kesalahan bisa terjadi dalam berbagai bentuknya, namun yang
baik seperti kebenaran, pada dasarnya bersifat tunggal atau seragam menurut kodratnya
(Parekh: 2008, hal. 33). Setiap budaya manusia bisa berbeda dalam menghayati nilai
kebaikan/kebenaran itu, namun toh sama-sama menjunjung tinggi satu moralitas yang sama.
Moralitas yang sama itu tampil dalam hal dimensi kemanusiaan, struktur alam dunia, dan ide
tentang Tuhan yang menyatukan umat manusia dari latar belakang budaya apapun.
b). Terdapat keunggulan moral dan ontologis akan kesamaan atas perbedaan yang ada.
e). Kodrat manusia sebagai dasar hidup baik menegaskan kesatuan kebaikan dan kebenaran
Bentuk paling riil monisme tampak dalam dua (2) aliran besar yakni: naturalisme dan
kulturalisme. Naturalisme menekankan kesetaraan subjek manusia pada segala lapisan
budaya masyarakat. Artinya, manusia secara natural sama saja, di mana saja ia berada di
bumi ini. Menurut Parekh (2008, hal. 158), naturalisme paling kukuh berdiri di atas
argumentasi dasar bahwa manusia pada hakikatnya sama dalam seluruh masyarakat,
perbedaan-perbedaan mereka dangkal dan tidak penting secara moral. Klaim naturalisme ini
lalu melecut reaksi dari aliran kulturalisme. Kulturalisme menegaskan manusia tidak sama
secara individual, tetapi harus sama secara kultural. Kulturalisme mengkonstruksi kesamaan-
kesamaan universal yang de facto terdapat pada semua budaya di bumi. Sisi lain kulturalisme
yaitu dirancangnya titik-titik temu bersama secara kultural yang diangkat dan diresmikan
menjadi hukum budaya misalnya persatuan atau keikaan dalam kebanggaan nasional; namun
soal yang langsung muncul adalah bersumber pada agama atau identitas kultural mana:
mayoritaskah atau yang paling memberi kontribusi dalam sejarah bernegara (Sutrisno: 2011,
hal 151). Rancangan universalitas budaya seperti ini akan membentuk model budaya yang
homogen. Muncullah istilah monokulturalisme yang mengidealkan keseragaman, penyatuan
dan kesatuan budaya-budaya bangsa manusia. Monokulturalisme ekuivalen dengan
homogenitas. Homogenitas jelas anti heterogenitas! Di sini kita melihat bahwa naturalisme
dan kulturalisme sama-sama terjebak dalam mainstream (arus utama) klaim yang ekstrem,
parsial, dan saling mempersalahkan. Keduanya sama-sama mendukung pandangan monisme
moral. Padahal monisme moral memiliki kekurangan fundamental dalam memposisikan
manusia sebagai makhluk berbudaya dalam keanekaragaman. Monisme moral memiliki cacat
dalam dirinya karena memandang perbedaan sebagai sebuah penyimpangan atau suatu
patologi moral (Parekh: 2008, hal.75).
Vico adalah orang yang pertama kali menggunakan pandangan historis mengenai
manusia dan menekankan keunikan dari setiap masyarakat (Parekh: 2008, hal. 77). Menurut
Vico, faktor geografis, sejarah dan refleksi diri, organisasi masyarakat berbeda
memungkinkan setiap masyarakat tidak seragam, melainkan berdiri di atas prinsip-prinsip
hidup yang berbeda. Setiap masyarakat mengembangkan kemampuan diri, menciptakan
kebutuhan dan menggagas cita-cita (tujuan hidup) sendiri, dan mengembangkan keyakinan
serta filosofi masing-masing dengan cara yang unik-khas. Setiap masyarakat
mengekspresikan pikiran dan menghayati bentuk/cara hidup yang berbeda satu sama lain.
Fenomena ini menentukan kompleksitas setiap masyarakat dan kebudayaa manusia. Karena
masyarakat sangat berbeda, Vico berpendapat bahwa memahami masyarakat merupakan
aktivitas yang sangat kompleks (Parekh: 2008, hal. 78). Tiap masyarakt memiliki
rasionalitas internal sendiri, yang sering kali berbeda dari rasionalitas eksternal penilaian
orang lain dari luar. Akal budi biasanya hanya memperhatikan hal-hal yang universal dari
setiap budaya, sehingga terkadang mengabaikan dimensi kekhususan dan spesifikasinya.
Bagi Herder, setiap kebudayaan secara unik dihubungkan dengan pengalaman sebuah
kelompok masyarakat (volk), nenek moyang dan keturunan historisnya, dan mengungkapkan
cara di mana para anggota kelompok masyarakat tersebut memahami dan secara imajinatif
menafsirkan pengalaman-pengalaman (Parekh: 2008, hal. 98). Faktor lingkungan alam
berperan sangat sentral dalam pembentukan budaya setiap masyarakat. Alam telah membuat
setiap manusia dan budaya ada secara berbeda. Dimensi akal budi manusia memungkinkan
setiap manusia melakukan kreativitas-inovatif dalam alam untuk mengembangkan dirinya.
Tiap kebudayaan memiliki identitas tunggal, bagus, tak dapat dipahami, identitas yang tidak
dapat dihilangkan, melekatkan visi berbeda tentang kehidupan manusia, merealisasikan
kapasitas manusia yang berbeda, menanamkan kebaikan dan perilaku yang berbeda, dan
memiliki keunikan „inti kebahagiaan‟, spirit, etos dan atmosfir berbeda (Parekh: 2008, hal
98). Setiap komunitas budaya memiliki bahasa/verbalisme masing-masing yang digunakan
dalam cara berkomunikasi. Tiap manusia bertumbuh utuh dalam kemanusiaan di dalam
budaya. Di luar budaya, manusia pincang dalam pertumbuhannya!
Kendatipun masih memiliki kelemahan, pemikiran pluralisme ini sudah lebih maju
dari monisme dan meletakkan dasar penting bagi konstruksi sebuah multikulturalisme
budaya. Kelemahan gagasan ketiga pemikir pluralisme budaya (Parekh: 2008, hal. 110-112)
di atas dapat dijabarkan dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
3.Menuju Multikulturalisme
Hans George Gadamer pernah mengatakan: “Wir muessen doch miteinander leben
lernen!”. Terjemahan kata-kata berbahasa Jerman ini kira-kiranya bermakna: “Kita harus
belajar hidup bersama”. Gadamer sesungguhnya mendeklarasikan suatu kebenaran mendasar
bahwa kita manusia masih harus terus belajar untuk hidup bersama dalam praksis sosial kita.
Dan kita mampu untuk melakukan hal itu. Karena manusia mampu mengubah dunia
lingkungannya menjadi dunia budaya (Noerhadi: 2013, hal. 9). Kapasitas rasio manusia
sebagai homo rationale (Aristoteles) mampu menggerakkan setiap manusia untuk
mengembangkan diri dan dunianya ke arah yang lebih baik dan berkeadaban.
Kebersamaan kita sebagai makhluk berbudaya dalam konteks Indonesia selalu tak
pernah bebas dari masalah. Kebersamaan kita masih mencuatkan seabrek persoalan dalam
berbagai ekspresinya: konflik agama, konflik suku, konflik kelompok, konflik golongan dll.
Kebersamaan kita bukan tanpa masalah! Namun justru eksistensi kita masih saja
menimbulkan masalah itulah, maka multikulturalisme hadir sebagai term yang urgen-relevan
bagi wacana diskursif kita akan realitas perbedaan (diversity) kita. Kita tidak cukup hanya
sampai pada monisme atau pun pluralisme budaya saja. Kita perlu bergerak lebih maju lagi
menuju capaian puncak peradaban yang lain. Dari monisme moral dan pluralisme budaya,
kita lalu bergerak menuju filosofi multikulturalisme.
B.Hakikat Multikulturalisme
Multikulturalisme sudah diuraikan oleh banyak pemikir budaya yang menaruh minat
besar pada persoalan manusia sebagai makhluk berbudaya di antaranya Raz dan Will
Kymlicka. Kedua tokoh ini dan beberapa tokoh lain sudah membuka ruang wacana penting
ke arah munculnya fajar matahari multikulturalisme. Multikulturalisme, ideologi semacam
apakah itu?
Yang dimaksud multikulturalisme adalah kajian yang berkembang dekade ini ketika
kenyataan pluralisme kebudayaan, agama dan identitas etnik dalam sistem politik demokrasi
terbuka tidak mendapatkan ruang ekspresi toleransinya untuk tumbuh unik dan berbeda
terutama ketika sistem politik negara hukum dengan „equality before the law’, menisbikan
identitas-identitas unik kultural keragaman (Sutrisno: 2011, hal. 148).
Walau istilah multikulturalisme pertama kali muncul di Swedia tahun 1957, Kanada
adalah negara pertama yang mengakui multikulturalisme sebagai bagian integral dari
identitas nasional dan diadopsi sebagai kebijakan nasional pada tahun 1960 (International
Encyclopedia: 2010, hal. 2979). Sesudah Kanada baru diikuti beberapa negara lain seperti
Australia, New Zealand, Swedia, Inggris dan Belanda. Multikulturalisme dianggap sebagai
kebijakan politik (politic policy) yang mampu mengatur realitas pluralisme negara-negara
yang berbeda dalam aspek ras, etnis, keyakinan spiritual, hak-hak minoritas, orientasi
seksual, ledakan arus imigrasi dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, Kanada patut dicatat
sebagai negara pertama yang memberikan apresiasi positif terhadap multikulturalisme cara
pendekatan kebudayaan efektif menyiasati pluralisme sosial. Pendekatan kebudayaan melihat
realitas masyarakat dari sudut pandang mentalitas orang, nilai yang diacu individu atau
bersama, penyatu nilai bersama yang merekatkan bangsa majemuk dengan keikaan „saling
hormat‟ menghormati, toleransi pada perbedaan serta hak hidup etnik, agama, golongan tanpa
saling mendiskriminasi satu sama lain (Sutrisno: 2011, hal. 137-138).
D. Multikulturalisme di Indonesia
Indonesia patut diklaim sebagai realitas bangsa yang pluralistis atau heterogen. Dalam
kondisi pluralistik inilah setiap kita menenun dan merajut hidup bersama menuju peningkatan
kualitas kehidupan lebih baik. Dan jalan terbaik untuk merajut hidup kita ke arah lebih baik
itu yakni jalan budaya! Bingkai kebudayan ditaruh pada kesadaran tiap orang yang selalu
berkepentingan untuk merajut hidup yang lebih baik dan mengusahakan jalan kebudayaan
sebagai „in leading a good life‟ (Sutrisno: 2011, hal. 148). Di jalan budaya itulah kita
Indonesia bisa bertahan hidup sebagai nation state di planet bumi yang sudah berusia 4
miliaran tahun ini.
Ketika meneropong realitas nation state Indonesia, maka kita tidak mungkin
memungkiri kenyataan pluralisme yang ada. Lalu dari pluralisme itu kita perlu berlangkah
lebih jauh menuju apa yang disebut multikulturalisme itu. Kalau begitu, persoalannya
sekarang adalah apa relevansi term multikulturalisme dalam konteks Negara Kesatuan
Republik Indonesia alias NKRI itu?
Ketiga, komplikasi mulai muncul manakala formalisasi lima (5) agama resmi yang
secara hukum diakui di R.I. ternyata‟melupakan‟ religi “Nusantara” yaitu kepercayaan pada
Ketuhanan atau religiositas identitas-identitas kultural etnik, religi-religi lokal. Akibatnya
dalam formalisme hukum positif kenegaraan “terasa” timpang manakala yang resmi formal
“hanyalah”: Islam; Kristen; Katolik dan Kristen Protestan; Hindu; Budha. Dan kesadaran
bersama pasca era reformasi menggumpal mencantumkan Konfucianisme sebagai bagian dari
formalisme religi itu.
Keempat, konteks relevansi paling menjadi pekerjaan rumah kita adalah kebutuhan
perumusan strategi kebudayaan dari bahasa budaya ke peradaban sampai bahasa politik
kebudayaan manakala “banjir” dan arus deras acuan-acuan nilai yang meretak-retakan
„goodlife” kebersamaan kita menantang dan sudah masuk ke dalam wujud materialisasi;
ekonomisasi yang melulu kepentingan untung nomor satu serta politisasi yang menafsirkan
kebenaran absolut identitas kelompok sebagai satu-satunya yang paling benar dan tidak
toleran lagi pada pluralisme. Pekerjaan rumah kita bersamakah?
Bertitik tolak dari ke-4 relevansi di atas, maka menjadi keharusan mutlak kultural kita
sebagai bangsa yang pancasilais untuk merefleksikan lebih lanjut koeksistensi kita bersama
dalam realitas pluralisme kita! Kalau kita masih mau komit bersama menjadi bangsa
Indonesia dalam bingkai negara kesatuan Indonesia, maka kita perlu kritis, arif dan bijak
untuk merefleksikan kenyataan hidup bersama: bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
dalam konteks persatuan dan kesatuan bangsa. Kita mesti sadar hanya dengan merefleksikan
diri kita dengan berbagai identitas budaya yang ada, maka semangat persatuan dan kesatuan
kita sebagai satu entitas ber-Indonesia semakin langgeng di masa-masa yang akan datang.
Kalau bukan diri kita siapa lagi, dan kalau bukan sekarang, lalu kapan lagi?
Multikulturalisme itu sudah ada sejak dahulu kala di Indonesia. Semuanya ini
memungkinkan suku-etnis di Indonesia berbeda dalam dimensi sosio-budaya
(agama/spiritual, adat-tradisi, kebiasaan, pola pikir, pola perilaku dll). Multikulturalisme
perlu terus disadari, dihayati dan diperjuangkan dalam praksis hidup harian kita orang
Indonesia untuk meng-Indonesia menuju kebaikan bersama sebagai negara bangsa. Semangat
multikulturalisme memiliki relevansi penting untuk kita hayatidi Indonesia menuju persatuan
dan kesatuan dalam keanekaragaman, bukan keseragaman.