Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1. Landasan Teori


2.1.1.Teori Pembangunan Desa

A. Definisi Pembangunan Desa


Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114
tahun 2014, pembangunan desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan
kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Perencanaan
pembangunan desa adalah proses tahapan kegiatan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Desa dengan melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dan unsur
masyarakat secara partisipatif guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya
desa dalam rangka mencapai tujuan pembangunan desa.
Adapun tujuan pembangunan desa menurut UU no 6 tahun 2014 adalah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta
penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan
sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
1. Pemberdayaan Masyarakat
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 bahwa definisi dari
pemberdayaan masyarakat desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan
kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap,
keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya
melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai
dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa.
Indikator keberhasilan masyarakat untuk mengukur pelaksanaan program
program pemberdayaan yaitu:
a) Jumlah warga yang secara nyata tertarik untuk hadir dalam kegiatan yang
dilaksanakan;
b) Frekuensi kehadiran tiap-tiap warga pelaksanaan tiap jenis kegiatan.
c) Tingkat kemudahan penyelenggaraan program untuk memperoleh
pertimbangan atau persetujuan warga atas ide baru yang dikemukakan.
d) Jumlah dan jenis ide yang dikemukakan oleh masyarakat yang ditunjukan
untuk penalaran pelaksanaan program pengendalian.
e) Jumlah dana yang dapat digali dari masyarakat untuk menunjang
pelaksanaan program kegiatan.
f) Intensitas kegiatan petugas dan pengendalian masalah.
g) Meningkatnya kapasitas skala partisipasi masyarakat dalam bidang
kesehatan.
h) Berkurangnya masyarakat yang menderita sakit.
i) Meningkatnya kepedulian dan respon terhadap perlunya peningkatan
kehidupan kesehatan.
j) Meningkatkan kemandirian kesehatan masyarakat.

2. Pembangunan Fisik
Pembangunan fisik dapat didefinisikan sebagai suatu usaha yang dilakukan
oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, dengan maksud untuk mengadakan
kegiatan ke arah perubahan yang lebih baik dan perubahan tersebut dapat dilihat
secara kongkrit, nyata dari bentuk perubahannya. Dengan kata lain bahwa
perubahan itu identik dengan adanya wujud atau bentuk dari pembangunan seperti
adanya gedung-gedung, sarana perumahan, sarana peribadahan, sarana pembuatan
jalan, sarana pendidikan, dan sarana umum lainnya (Fuji, 2015). Pembangunan
fisik, seperti jalan, jembatan, lapangan terbang, gedung, pelabuhan, dan lain
sebagainya jelas sekali berpijak pada ruang yang ada di permukaan bumi.
Pembangunan fisik dilakukan agar masyarakat dapat menggunakan sarana
infrastruktur yang ada untuk menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari.

B. Indikator Pembangunan Ekonomi Pedesaan


Beberapa indikator dalam pembangunan ekonomi pedesaan Adisasmita
(2006) adalah sebagai berikut :
1. Pendapatan Desa Per Kapita
Salah satu konsep penting dalam pembangunan ekonomi pedesaan
adalah nilai seluruh produksi (PDRB) dalam suatu desa atau (Produksi
Domestik Regional Bruto untuk tingkat kabupaten). Nilai seluruh
produksi ini merupakan ukuran prestasi ekonomi dari seluruh kegiatan
ekonomi, yang dihitung dengan menjumlahkan biaya atau penghasilan
yang diperlukan untuk memproduksi output. Nilai seluruh produksi
dikurangi pajak tak langsung netto dan penyusutan maka diperoleh
pendapatan pedesaan, jika dibagi dengan jumlah penduduk desa menjadi
sama dengan Pendapatan Pedesaan per kapita.
2. Ketimpangan Pendapatan
Analisis ketimpangan dimulai dengan pertanyaan tentang beberapa
persen dari total pendapatan yang diterima oleh 20 persen populasi yang
berpendapatan terendah, 50 persen terendah dan seterusnya. Dalam
keadaan ekstrim dimana pendapatan dengan mutlak di distribusikan
secara adil, 40 persen populasi terbawah akan menerima 40 persen dari
total pendapatan, dan 40 persen populasi sedang akan menerima 40
persen dari total pendapatan, dan 20 persen populasi teratas akan
menerima 40 persen total pendapatan.
3. Perubahan Struktur Perekonomian
Umumnya, struktur perekonomian daerah pedesaan masih berat
sebelah pada sektor pertanian (kontribusi sektor pertanian masih sangat
besar). Meskipun kontribusi sektor pertanian masih sangat besar, namun
pembangunan daerah pedesaan memperlihatkan perkembangan yang
nyata, seperti diterapkannya mekanisme sistem pertanian, penggunaan
bibit/benih unggul, dan sarana produksi lainnya yang lebih baik, telah
menunjukkan perkembangan yang menjanjikan. Orientasi pembangunan
daerah pedesaan diarahkan pada sasaran :
a. Penguatan ketahanan pangan
b. Menunjang pengembangan kegiatan sektor industri dan mendorong
ekspor
c. Memperluas lapangan kerja di daerah pedesaan yang diharapkan
dapat mengurangi arus penduduk pedesaan berurbanisasi ke kota-
kota besar.
d. Mengembangkan kerjasama antar daerah pedesaan untuk
memperkokoh struktur perekonomian pedesaan
4. Pertumbuhan Kesempatan Kerja
Masalah ketenagakerjaan dan kesempatan kerja merupakan suatu
masalah mendesak dalam pembangunan pedesaan karena mencakup
secara langsung upaya pencapaian Trilogi Pembangunan, yaitu :
a. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
b. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
c. Terciptanya stabilitas yang dinamis

C. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi


1. Pemberdayaan Mayarakat
Konsep pemberdayaan mencakup pengertian pembangunan
masyarakat (community development) dan pembangunan yang
bertumpu pada masyarakat (community-based development).
Pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata
‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Adi (2013), menjelaskan bahwa
menggambarkan proses pemberdayaan yang berkesinambungan sebagai
suatu siklus yang terdiri dari lima tahapan utama, yaitu:
a. Menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan
tidak memberdayakan;
b. Mendiskusikan alasan mengapa terjadi pemberdayaan dan
penidakberdayaan;
c. Mengidentifikasikan basis daya yang bermakna untuk melakukan
perubahan, dan
d. Mengembangkan rencana-rencana aksi dan
mengimplementasikannya.
2. Partisipasi
Partisipasi diartikan tidak saja sebagai keikutsertaan dalam
pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pihak luar desa
(outsider stakeholder) atau keterlibatan dalam upaya menyukseskan
program pembangunan yang masuk ke desanya, akan tetapi lebih dari
sekedar itu. Dalam partisipasi yang terpenting adalah bagaimana
pembangunan desa itu berjalan atas inisiatif dan prakarsa dari warga
setempat (lokal) sehingga dalam pelaksanaannya dapat menggunakan
kekuatan sumber daya dan pengetahuan yang mereka miliki. Sejalan dengan
itu, segala potensi lokal betapapun kecilnya tidak dapat diabaikan, karena ia
akan menjadi sumber dari sebuah pembangunan.
3. Tata Kelola
Otonomi daerah merupakan hak daerah untuk mengatur dan
mengembangkan potensi atau sumber daya yang ada di daerahnya sendiri.
Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari faktor tata kelola yang baik
dan benar. Tata kelola yang baik dan benar itu adalah tata kelola yang
mampu membuat makmur dan sejahtera masyarakat. Output dari pada tata
kelola yang baik dan benar adalah sistem pemerintahan yang good
governance. Good Governance merupakan suatu penyelegaraan manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan
prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, sehingga good governance
berfungsi sebagai penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan
korupsi baik secara politik maupun secara administrative. Untuk mencapai
good governance dalam tata kelola Pemerintahan maka prinsip-prinsip ini
hendaknya ditegakkan dalam berbagai institusi penting yang ada di dalam
pemerintahan. Untuk itu pemerintahan harus membuat aturan kerja atau
yang sering kita sebut tata kelola pemerintahan dalam sistem
pemerintahannya.
2.1.2.Penganggaran Pembangunan Desa
Penganggaran pembangunan desa merupakan salah satu kewenangan yang
melekat pada desa. Pada era implementasi UU Desa dimana terjadi peningkatan
sumber dana pembangunan di desa yang signifikan, penganggaran pembangunan
desa menjadi salah satu tahapan penting yang harus dilakukan. Oleh karenanya
kemampuan dan kesiapan aparatur desa untuk melakukan fungsi-fungsi
administrasi dan manajemen mengelola dana desa secara akuntabel menjadi
kebutuhan yang tak terelakkan. Di sisi lain, ketersediaan dan kemampuan
masyarakat dan lembaga-lembaga desa untuk melakukan pengawasan tentu saja
akan sangat berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya penyelewengan-
penyelewengan dan korupsi. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana
melalui keterlibatan masyarakat desa di dalam penganggaran desa, dana desa ini
dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menjawab kebutuhan desa yang
pada akhirnya bermuara pada kesejahteraan masyarakat desa.
Pengaturan tentang dorongan supaya Perencanaan dan Penganggaran
dilakukan secara partisipatif yang diatur melalui regulasi tentang desa
menunjukkan adanya kemauan baik pemerintah pusat untuk melakukan
pembenahan di desa. Penerapan perencanaan dan penganggaran secara partisipatif
di desa merupakan satu alternatif cita-cita mewujudkan penyelenggaraan
pemerintahan desa yang baik yang antara lain dicirikan dengan adanya ruang
keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran, serta terbukanya
akses informasi bagi masyarakat dalam pembangunan desa. Nilai-nilai tata
pemerintahan desa yang baik akan tercermin dari pendekatan pembangunan yang
memposisikan masyarakat sebagai sumber kedaulatan penyelengaraan
pemerintahan desa. Ruang bagi keterlibatan masyarakat ini memperlihatkan
adanya komunikasi yang baik dari masyarakat dengan penyelenggara
pemerintahan desa dalam proses pembangunan desa.
Urgensi perwujudan perencanaan dan penganggaran desa partisipatif ini
adalah dalam kerangka:
1. membatasi kekuasaan pemerintah desa,
2. melindungi dan memberi perhatian kepada kelompok rentan dan lemah di
desa,
3. menjamin dan memastikan bahwa kepentingan dan kebutuhan
masyarakat desa terakomodasi.
Dalam semangat perwujudan otonomi desa, proses penyusunan perencanaan
dan penganggaran desa dilakukan secara demokratis yang bercirikan antara lain
dibukanya ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalamnya. Dalam hal ini berarti
dalam proses perencanaan dan penganggaran harus memberi kesempatan yang
seluas-luasnya khususnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholdes)
untuk memberikan masukan, kritik, dan terlibat aktif dalam pengambilan
kebijakan. Selain dibukanya ruang bagi masyarakat, transparansi pemerintah desa
merupakan ciri lain dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran secara
demokratis. Dengan adanya keterbukaan dari pemerintah desa maka masyarakat
desa dapat mengetahui informasi tentang sumber daya yang akan digunakan
sebagai dasar dalam perencanaan desa, arah pembangunan desa dan
informasiinformasi lain yang terkait dengan penggunaan anggaran desa.

2.1.2.Efektivitas dan Efisiensi


1. Efektivitas
Efektivitas dalam pengertian yang umum menunjukkan pada taraf
tercapainya hasil, dalam bahasa sederhana hal tersebut dapat dijelaskan bahwa
efektivitas dari pemerintah daerah adalah bila tujuan pemerintah daerah tersebut
dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Sesuai dengan
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 pasal 4 ayat 4, efektif adalah pencapaian hasil
program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan
keluaran dengan hasil.
Efektivitas berfokus pada outcome atau hasil. Suatu organisasi, program
atau kegiatan dikatakan efektif apabila output yang dilaksanakan bisa memenuhi
target yang diharapkan (Mahmudi, 2007 dalam Irwin, 2017). Pengertian
efektivitas berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor
publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut
mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan
masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut Handoko (1995) dalam Novita (2017) efektivitas merupakan
kemampuan memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, dikatakan efektif jika
dapat memilih pekerjaan yang harus dilakukan atau metoda (cara) yang tepat
untuk mencapai tujuan. Efektivitas juga diartikan melakukan pekerjaan yang
benar. Sedangkan menurut Halim (2001) dalam Novita (2017), efektivitas adalah
hubungan antara output pusat tanggungjawabnya dan tujuannya. Makin besar
kontribusi output terhadap tujuan makin efektiflah satu unit tersebut.
Konsep efektivitas merupakan pernyataan secara menyeluruh tentang
seberapa jauh suatu organisasi telah mencapai tujuannya. Efektivitas juga dapat
berarti kegiatan yang selesai tepat pada waktunya sesuai rencana yang telah
ditetapkan, jadi apabila suatu organisasi tersebut telah mencapai tujuannya telah
berjalan dengan efektif.
Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa efektivitas adalah
perbandingan antara output (keluaran) dengan tujuan , sehingga untuk mengetahui
efektivitas pengelolaan keuangan yaitu dengan membandingkan antara realisasi
Dana Desa dengan target Dana Desa.
Dengan demikian untuk menganalisis efektivitas Anggaran Dana Desa dapat
dilihat dari perbandingan antara realisasi belanja dengan target belanja sebagai
berikut (Novita, 2016).

Realisasi Belanja
Efektivitas = X 100%
Target Belanja

Standar efektivitas menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 690.900-


327 tahun 1996 tentang kriteria penilaian dan kinerja keuangan dapat diketahui
efektif atau tidak dengan memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Hasil perbandingan atau tingkat pencapaian di atas 100% berarti sangat
efektif
b. Hasil pebandingan antara 90%-100% berarti efektif
c. Hasil perbandingan antara 80%-90% berarti cukup efektif
d. Hasil perbandingan antara 60%-80% berarti kurang efektif
e. Hasil perbandingan di bawah 60% berarti tidak efektif.

2. Efisiensi
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi,
efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, daerah
dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa
mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah
Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi
masyarakat.
Menurut Handoko (1995) dalam Novita (2017) efisiensi adalah kemampuan
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan benar. Ini merupakan perhitungan
perbandingan antara keluaran (output) dan masukan (input). Suatu organisasi
dikatakan efisien apabila mencapai keluaran yang lebih tinggi berupa hasil,
produktifitas, performance, dibanding masukan-masukan yang berupa tenaga
kerja, bahan, uang, mesin dan waktu yang digunakan. Dengan kata lain, dengan
meminimumkan biaya penggunaan sumberdaya untuk mencapai keluaran yang
telah ditentukan, atau sebaliknya disebut efisien apabila dapat memaksimumkan
keluaran dengan jumlah masukan yang terbatas.
Pengertian efisiensi menurut Halim (2001) dalam Novita (2017) adalah
perbandingan antara output dengan input. Ukuran efisien dapat dikembangkan
dengan menghubungkan antara biaya yang sesungguhnya dengan biaya standar
yang telah ditetapkan sebelumnya (misalnya anggaran). Efisiensi merupakan
perbandingan antara output dengan input atau dengan istilah lain output/ unit
input (Mahmudi, 2007 dalam Irwin, 2017). Efisiensi juga mengandung beberapa
pengertian antara lain :
a. Efisiensi pada sektor usaha swasta (private sector efficiency).
Efisiensi pada sektor usaha swasta dijelaskan dengan konsep input output
yaitu rasio dari output dan input.
b. Efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang
dilakukan dengan pengorbanan seminimal mungkin; atau dengan kata lain
suatu kegiatan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan
tersebut telah mencapai sasaran dengan biaya yang terendah atau dengan
biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan.
c. Efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dicapai dengan
memperhatikan aspek hubungan dan tata kerja antar instansi pemerintah
daerah dengan memanfaatkan potensi dan keanekaragaman suatu daerah.
Suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan
pekerjaan tersebut telah mencapai sasaran (output) dengan biaya (input) yang
terendah atau dengan biaya (input) minimal diperoleh hasil (output) yang
diinginkan.

Faktor penentu efisiensi adalah :


1) Faktor teknologi pelaksanaan pekerjaan.
2) Faktor struktur organisasi yaitu susunan yang stabil dari jabatan-jabatan
baik itu struktural maupun fungsional.
3) Faktor sumber daya manusia seperti tenaga kerja, kemampuan kerja,
maupun sumber daya fisik seperti peralatan kerja, tempat bekerja serta
dana keuangan.
4) Faktor dukungan kepada aparatur dan pelaksanaannya baik pimpinan
maupun masyarakat.
5) Faktor pimpinan dalam arti kemampuan untuk mengkombinasikan
keempat faktor tersebut kedalam suatu usaha yang berdaya guna dan
berhasil guna untuk mencapai sasaran yang dimaksud.

Efisiensi merupakan rasio antara biaya yang dikeluarkan untuk belanja


kegiatan Pemerintah Desa Kalimas Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten
Kuburaya. Ukuran ini dipakai untuk memperoleh pendapatan tertentu digunakan
seminimal mungkin sebagaimana motif ekonomi. Karena itu tingkat efisiensi yang
terjadi akan lebih besar apabila biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan
penerimaan ditekan serendah mungkin, sehingga realisasi penerimaan semakin
meningkat, maka efisiensi untuk melihat upaya mengoptimalkan kombinasi
penggunaan input, atau untuk menghasilkan tingkat output tertentu dengan jumlah
ongkos yang minimum, atau kemampuan untuk menghasilkan output sebesar
mungkin dari jumlah input tertentu.
Efisiensi merupakan perbandingan antara output dengan input atau dengan
istilah lain output/unit input (Mahmudi, 2007 dalam Irwin, 2017). Dengan
demikian efisiensi atau daya guna adalah perbandingan antara output dengan
input. Output merupakan realisasi biaya untuk memperoleh penerimaan daerah
dalam hal ini adalah belanja dan input merupakan realisasi dari penerimaan daerah
dalam hal ini adalah pendapatan. Untuk menganalisis tingkat efisiensi dalam
pengelolaan keuangan dengan melihat perbandingan antara realisasi anggaran
belanja dengan realisasi anggaran pendapatan sebagai berikut (Novita, 2016).

Realisasi Belanja
Efisiensi = X 100%
Realisasi Pendapatan

Kriteria untuk mengukur efisiensi pengelolaan Dana Desa sesuai dengan


Kepmendagri Nomor 690.900-327 tahun 1996, yaitu :
a. Hasil perbandingan atau tingkat pencapaian di atas 100% berarti tidak efisien
b. Hasil pebandingan antara 90%-100% berarti kurang efisien
c. Hasil perbandingan antara 80%-90% berarti cukup efisien
d. Hasil perbandingan antara 60%-80% berarti efisien
e. Hasil perbandingan di bawah 60% berarti sangat efisien.

2.1.3. Pengelompokan dan Penentuan Tingkat Perkembangan Desa


Berdasarkan perumusan kebijakan pembangunan, desa dikelompokkan
menjadi tiga bagian sebagai berikut:
a. Desa cepat berkembang, yaitu desa yang dekat atau mudah berhubungan
dengan kota. Kegiatan ekonominya tidak tergantung pada sektor primer atau
agraris saja. Masyarakatnya menunjukkan perubahan dalam adat dan
kebudayaannya. Desa cepat berkembang biasanya telah mencapai desa
swasembada.
b. Desa berkembang, yaitu desa yang mempunyai potensi untuk dikembangkan.
Kegiatan utama masyarakatnya pada sektor primer, yaitu pertanian atau
pertambangan. Kegiatannya masih terbatas, masyarakatnya masih homogen
dalam adat dan kebudayaan. Lokasi desa relatif jauh dari kota atau bubungan
dengan kota tidak mudah. Tingkat perkembangan desa adalah swakarya.
c. Desa kurang berkembang, yaitu desa yang mempunyai masalah khusus atau
keterbatasan tertentu. Misalnya, keterbatasan sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan hubungannya hanya terbatas pada pusat-pusat permukiman
lainnya. Biasanya, desanya miskin, kondisinya tertinggal dari desa lain dalam
pembangunan nasional dan daerah. Kelompok desa ini akan didorong secara
khusus untuk mencapai tingkat perkembangan yang lebih baik.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tahun
2015 Tentang Evaluasi Perkembangan Desa dan Kelurahan, untuk menghitung
poin total dari subindikator masing-masing desa kemudian rujuk pada nilai ideal
yang ditentukan pada kolom 3 kategori di bawah. Mengklasifikasikan poin Desa
ke dalam kategori sebagai berikut:

No. Poin Kategori


1 2 3
1 ≤300 Kurang Berkembang
2 301-450 Berkembang
3 ≥451 Cepat Berkembang

Penilaian hasil perkembangan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5)


dengan kategori sebagai berikut:
1. Nilai di bawah atau sama dengan 300 dikategorikan desa Kurang
Berkembang
2. Nilai 301 sampai dengan 450 dikategorikan desa Berkembang
3. Nilai di atas atau sama dengan 451 dikategorkan desa Berkembang. Penilaian
Hasil Penilaian Desa

2.2. Kajian Empiris


Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi bahan referensi dan
perbandingan dalam penelitian ini yaitu:
Judul
No Tahun Nama Peneliti Kesimpulan
Penelitian
1 2017 Feiby Dampak Penelitian ini bertujuan untuk
Vencentia program dana menganalisis kebijakan dana desa,
Tangkumahat, desa terhadap khususnya pada proses penerapan
Vicky V. J. peningkatan dana desa dari perencanaan,
Panelewen, pembangunan pencairan, penggunaan sampai
Arie D. P. dan ekonomi di dengan pertanggungjawabannya.
Mirah kecamatan Hasil penelitian menunjukkan
Pineleng progam dana desa di Kecamatan
Kabupaten Pineleng berjalan cukup baik,
Minahasa namun untuk kedepannya
diperlukan adanya peningkatan
kapasitas dan skill dari aparatur
pemerintah desa dalam rangka
mendukung pelaksanaan program
ini guna meningkatkan ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat
yang lebih baik.
2 2016 I Wayan Efektivitas Penelitian ini bertujuan untuk
Saputra Pengelolaan mengetahui (1) tingkat efektivitas
Alokasi Dana pengelolaan alokasi dana desa
Desa Pada Desa pada Desa Lembean tahun 2009-
Lembean 2014, (2) hambatan yang dihadapi
Kecamatan dalam merealisasi alokasi dana
Kintamani, desa pada Desa Lembean, (3) cara
Kabupaten menanggulangi hambatan dalam
Bangli Tahun merealisasi alokasi dana desa
2009-2014 pada Desa Lembean. Jenis
penelitian ini adalah deskriptif.
Data dikumpulkan dengan metode
dokumentasi dan wawancara.
Analisis data menggunakan teknik
efektivitas dan rasio kreteria
efektivitas.
3 2015 Annivelorita Implementasi Dalam penelitian tersebut
Alokasi Dana menjelaskan bahwa pada Desa
Desa (ADD) Liang Butan Krayan dalam hal
Dalam komunikasi , dan sumber daya
Meningkatkan pendukung yang ada pada Desa
Pembangunan Liang Butan Krayan masih
Desa Liang rendah, sehingga penggunaan
Butan Krayan anggaran Dana Desa tersebut
Kabupaten belum sepenuhnya optimal,
Nunukan walaupun dari sikap pelaksanan
dan struktur birokrasi dalam
penggunaan Dana Desa sudah
cukup baik, namun perlu upaya
keras antara Pemerintah Desa
dalam memanfaatkan Dana Desa
tersebut.
4 2013 Thomas Pengelolaan Menurut Thomas Pengelolaan
Alokasi Dana Alokasi Dana Desa untuk belanja
Desa Dalam aparatur dan belanja operasional
Upaya di Desa Sebawang telah berjalan
Meningkatkan sesuai dengan panduan dan
Pembangunan peraturan yang ada dari segi
Di Desa Pengelolaan kegiatan untuk
Sebawang belanja publik dan pemberdayaan
Kecamatan masyarakat belum berjalan secara
Sesayap maksimal dikarenakan masih
Kabupaten Tana banyak pembangunan fisik yang
Tidung harus dilakukan oleh pemerintah
dibandingkan pembangunan non
fisik di Desa Sebawang
Kecamatan Sesayap Kabupaten
Tana Tidung. Sedangkan
pelaksanaannya, untuk kegiatan
yang dilakukan menggunakan
anggaran Alokasi Dana Desa di
Desa Sebawang Kecamatan
Sesayap Kabupaten Tana Tidung
mengalami berbagai hambatan-
hambatan yaitu sumber daya
manusianya yang kurang serta
kurangnya koordinasi antara tim
pelaksaan kegiatan dengan
instansi terkait. Sehingga
pemanfaatan Dana Desa yang ada
di Desa Sebawang Kecamatan
Sesayap Kabupaten Tana Tidung
masih kurang optimal.
5 2016 Dian Novita Analisis Penelitian ini bertujuan untuk
Efisiensi Dan menganalisis tingkat efisiensi dan
Efektivitas efektivitas serta efek pengganda
Pengelolaan pengolahan Dana Desa
Anggaran Dana Kecamatan Leuwiliang Bogor.
Desa Tahun Alat analisis yang digunakan
2015 Di dalam penelitian ini adalah
Kecamatan metode dekriptif kombinasi, yaitu
Leuwiliang menganalisis data target, realisasi
Kabupaten belanja dan pendapatan dengan
Bogor Provinsi menggunakan rasio efisiensi dan
Jawa Barat efektivitas, serta menganalisis
data wawancara dengan
mengukur pengganda pengeluaran
pemerintah.

2.3. Kerangka Konseptual


Dalam penelitian ini, kerangka konseptual menunjukan Pembangunan Dana
berhubungan dengan Pengetahuan dan Partisipasi Masyarakat serta Tata Kelola
Desa.

Pengetahuan dan Partisipasi


Masyarakat
Pembangunan Desa

Tata Kelola Desa

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Berdasarkan gambar 2.1 dapat dilihat bahwa pengetahuan dan partisipasi


masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting untuk kemajuan daerah
salah satunya melalui program dana desa. Pengetahuan masyarakat mengenai
program dana desa tersebut dapat menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat desa
bahwa mereka adalah pihak yang terlibat sehingga perlu berpartisipasi secara aktif
dalam pengelolaan dana desa baik sebagai perencana, pelaksana dan pengevaluasi
program yang telah dibuat. Jika hal tersebut sudah terlaksana maka akan
berdampak terhadap pembangunan desa sehingga hasilnya dapat berjalan secara
signifikan.
Kemudian dengan Tata Kelola Desa yang baik, diharapkan dapat menjadi
penggerak perekonomian masyarakat desa sehingga pembangunan desa menjadi
lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai