T
anpa disadari sejarah dunia telah berumur sangat lama, tak terkecuali
perjalanan pembangunan ekonomi dunia. Bahkan, dalam lintasan yang paling
panjang, sejarah pembangunan dunia telah berumur 5000 tahun, persis
seperti yang dituliskan oleh Frank (2000:218). Dengan kurun waktu yang
selama itu, tentu ada banyak sekali fakta-fakta sejarah pembangunan
ekonomi yang bisa disampaikan sebagai modal untuk meneruskan
pencapaian pembangunan ekonomi yang lebih beradab di masa mendatang.
Sungguh pun begitu, melacak sejarah pembangunan ekonomi dalam kurun
waktu 5000 tahun tentu bukanlah perkara gampang. Kesulitan itu bermuara
dari dua hal. Pertama, kerumitan untuk menelusuri dokumen-dokumen yang
mengisahkan perjalanan pembangunan ekonomi sejak masa itu, apalagi pada
kurun waktu itu tradisi penulisan/publikasi belum intensif seperti saat ini.
Kedua, kalaupun ada dokumen atau makalah yang membahas pembangunan
ekonomi pada kurun waktu tersebut, tentu juga sulit untuk melakukan
verifikasi atas kebenarannya. Dengan dua pertimbangan itu, bagian ini hanya
akan trasikan sejarah pembangunan dalam kurun waktu 500 tahun terakhir.
Pada bagian akhir bab ini akan disodorkan tentang pentingnya aspek
kelembagaan sebagai penentu keberhasilan pembangunan ekonomi.
1
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
asing (foreign lands). Sedangkan imperialisme adalah tindakan memperluas dominasi politik suatu negara terhadap
teritori negara lain, baik secara langsung maupun tidak, yang bertujuan untuk memapankan kekuatan militer,
melindungi perdagangan, atau kepentingan-kepentingan lain. Lihat Ted C. Lewellen, 1995, Dependency and Development:
An Introduction to the Third World, Bergin and Garvey, Westport - Connecticut, London, hal. 23
2
pada zaman itu, kesejahteraan ekonomi suatu negara bisa dicapai dengan jalan
menguasai sebanyak mungkin sumber daya ekonomi
Bab 1
yang tersebar di banyak negara, dan itu baru dapat diperoleh bila negara kaya
ekonomi/sumber daya alam tersebut dijajah. Oleh karena itu, wilayah- wilayah
kaya sumber daya alam, yang sekarang diidentifikasi sebagai negara
berkembang/dunia ketiga, merupakan daerah jajahan dari negara-negara kaya saat
ini, seperti Inggris, Belanda, Rusia, Perancis, Belgia, Portugis, dan Spanyol.
Negara-negara tersebut menguasai hampir seluruh negara di wilayah benua Asia,
Afrika, dan Amerika Latin selama berabad-abad. Indonesia, misalnya, sejak abad
16 mulai dijajah Portugis, yang kemudian diteruskan oleh Belanda dan Jepang.
Hal yang sama dialami oleh negara-negara Afrika, seperti Algeria, Tunisia, dan
Subsahara Afrika; yang menjadi daerah jajahan Perancis. India dijajah oleh Inggris
dan Peru merupakan daerah kolonial (Lewellcn, 1995:19). Dari sejarah itu bisa
pula dipelajari bahwa pembelahan strata ekonomi dunia sekarang tidak lepas dari
struktur politik (kolonialisme) yang terjadi di masa lampau.
Dari proses kolonialisme itulah tanpa disadari telah memunculkan sistem tata
ekonomi dunia yang membelah negara menjadi dua kutub: maju dan terbelakang.
India, Peru, dan Bushmen menjadi negara yang terbelakang, pertama-tama bukan
karena wilayah itu secara ekonomi tidak berkembang. Negara-negara tersebut,
sebelum kolonialisme meluas, setidaknya dapat mencukupi kebutuhan makanan
secara baik kepada peduduknya. Namun, begitu kolonialisme meruyak, negara-
negara jajahan menjadi terkoyak, baik secara ekonomi maupun politik. Sehingga,
bisa disaksikan India menjadi terbelakang setelah dijajah oleh Inggris; Peru
3
mundur setelah dijajah Spanyol; dan Bushmen nyaris bangkrut setelah terintegrasi
dengan perekonomian nasional Afrika Selatan. Dengan begitu, persoalan
keterbelakangan sesungguhnya sebagian bisa dilacak dari praktik kolonialisme
yang sudah terjadi sejak sekian abad lalu tersebut. Secara teknis, prosedurnya
negara-negara jajahan diperas sumber daya ekonominya (raw material) yang dibeli
dengan harga murah, di antaranya karena upah tenaga kerjanya sangat rendah,
untuk kemudian diekspor ke negara penjajah (pemerintah kolonial). Selanjutnya,
bahan-bahan mentah it
4
uEkonomi Kelembagaan
diolah menjadi barang jadi (finished goods) dengan harga yang tinggi dan. diekspor
kembali ke negara asal (negara jajahan).2
Tabel 1.1: Ciri Khas dan Jenis Kebijakan yang Biasa Diterapkan dalam Merkantilisme
2
Kilasan sejarah menunjukkan bahwa proses industrialisasi juga bergerak berbarengan dengan
terjadinya kolonialisme. Pengembangan industri tekstil di Inggris pada tahun 1780 dan
bisa dilacak dari waktu setengah abad sebelumnya. AS sendiri memuliai industri agak
lebih lambat, yakni pada tahun 1840-an dan 1850-an, namun peisiapannya; Sidab dimuai
sekitar tahun 1790-an. Sedangkan Ru& memulai proses industrialisasi pada tahun 1861,
yang kemudian benar-benar dilakukan secara intensif sejak sebelum tahun 1914. Lihat
WW. Rostow, The Take-Off into Self-sustained Growth. Dalam A.N. Agarwala dan S.P.
Singh, The Economics of Underdevelopment, Oxford University Press, New York, 1971, hal.
155
Bab 1
4
3
Pengertian lainnya, merkantilisme didefinisikan sebagai keyakinan bahwa kesejahteraan ekonomi
negara dapat dijamin hanya melalui peraturan pemerintah yang berdasarkan nasionalisme. Atau,
definisi lain menyatakan bahwa merkantilisme merupakan penawaran dan permintaan akan hak-hak
monopoli melalui perangkat pemerintahan negara. Lihat Hemando de Soto, Masih Ada Jalan Lain:
Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga, Terjemahan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992,
hal. 264-265
Ekonomi Kelembagaan
saja peran negara sangat dibatasi dalam kegiatan ekonomi, semuanya dise-
rahkan kepada individu (private). Jika pun negara hadir dalam kegiatan eko-
nomi, fungsinya tidak lebih sebagai agen yang melindungi dan memperkuat
kapitalisme swasta {private capitalism). Tugas negara adalah menciptakan
infrastruktur yang memungkinkan para kapitalis dapat melakukan proses
produksi dan distribusi barang/jasa, menyediakan jasa keamanan untuk
melindungi pasar (market), dan menekan pekerja agar bersedia dibayar
dengan upah murah (Lewellen, 1995:22-23). Hal ini agak berbeda dengan
merkantilisme yang memberi ruang bagi intervensi negara untuk mencapai
tujuan kesejahteraan ekonomi (meskipun untuk pelaku-pelaku ekonominya
sebagian besar sudah dikerjakan oleh private sector), misalnya melalui
praktik perdagangan langsung maupun kolonialisme.
Sistem ekonomi berdasarkan pasar yang memberi porsi amat besar bagi pela-
ku ekonomi swasta (private sector) itulah yang kemudian menjadi tata
ekonomi dunia baru dengan segala keriuhannya. Dalam beberapa aspek,
sistem ekonomi tersebut telah mendonorkan perkembangan yang begitu
cepat, baik dari sisi domestik maupun internasional, khususnya bisa dilihat
dari volume
Tabel 1.2: Relasi Siklus Ekonomi dari Perang di Berbagai Dunia
7
Bab 1
4
Secara eksplisit disebutkan bahwa IMF diciptakan untuk mengatasi depresi besar (great
depression) setelah Perang Dunia II sebagai wadah untuk memajukan kerjasama moneter,
8
stabilitas finansial, dan pertumbuhan ekonomi di seluruh negara. Lihat The IMF Story, Finance
and Development, September 2004, hal. 14
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
Bab 1
Periode Keterangan
9
1500-1750 Regulasi yang ketat oleh pemerintah
Merkantilisme
Monopoli dalam semua usaha
Perkembangan negatif:
11
Timbulnya persaingan yang menegangkan antara dunia Marxis dan non-
Marxis serta antara Blok Barat dan Blok Timur
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
Periode Keterangan
1989 - paska Perang Dingin Runtuhnya rejim Marxis di seluruh dunia
1 Putaran Uruguay merupakan putaran yang kedelapan. Secara resmi putaran tersebut dimulai
September 1986 berdasarkan Punta del Este Ministerial Declaration, Januari 1986. Semula
ditargetkan untuk bisa disepakati pada bulan Desember 1990, tetapi ternyata molor. Lihat Syaam
Maarif, Ketidakadilan Sistem Perdagangan Internasional, Prisma,No. 7 Tahun XXII, 1993 hal.21
12
antarnegara, yang salah satunya bisa dicapai bila seluruh negara
menghilangkan hambatan-hambatan (barriers) perdagangan
internasional, seperti kebijakan kuota, bea impor, maupun proteksi
pasar domestik. Tentu saja aspirasi globalisasi ml sepaket dengan ide
kaum neoklasik yang menghendaki kegiatan ekonomi berjalan lewat
mekanisme pasar, karena hanya dengan model seperti itulah efisiensi
alokasi ekonomi internasional akan terjadi. Jadi, mudah dipahami
apabila ide globalisasi ini sejak awal banyak disokong oleh negara-
negara maju (kapitalis) karena secara ekonomi sangat menguntungkan
mereka, walaupun pada akhirnya hampir seluruh negara (termasuk
negara berkembang) ikut menyetujuinya.6
Bab 1
14
Terdapat tiga prinsip utama yang menjadi dasar GATT. Pertama, prinsip most-favoured- nation atau
nondiskriminasi. Secara ringkas, seluruh perdagangan internasional antaranggota GATT harus
dilakukan secara nondiskriminatif. Kedua, prinsip fair competition (persaingan yang adil). Ketiga,
prinsip tariff binding. Suatu negara harus menjalankan ketentuan aturan yang sudah termuat dalam
daftar binding, misalnya komitmen bea impor. Lihat H.S. Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem,
Forum, dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, UI Press, 1996, hal. 109-110Ekonomi
Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
tetapi tetap saja previllege ini masih kurang memadai untuk membentengi
perekonomian domestik karena ketimpangan ekonomi antarnegara tersebut
berlangsung secara massif dan bersifat struktural.
Fenomena itulah yang kemungkinan besar sudah dan tengah berlangsung ketika
proses globalisasi mulai diberlakukan setahap demi setahap. Bahkan, sebelum
proses globalisasi itu berlangsung, sudah muncul realitas semakin mundurnya
keadaan ekonomi negara-negara berkembang akibat tertimpa krisis ekonomi yang
cukup parah, seperti yang dialami oleh sebagian negara Asia Tenggara dan
Amerika Latin. Sedangkan negara-negara di belahan Afrika, seperti telah
dimaklumi bersama, sampai detik ini cuaca ekonominya masih redup karena
ketersediaan modal alam dan uang yang sangat tipis. Sebagian besar penduduk di
Afrika masih hidup terbelakang dan terjerat kemiskinan, sehingga terpaut jauh
jaraknya dalam hal kesiapan negara itu untuk melakukan "persaingan ekonomi"
dengan negara-negara maju lainnya. Seperti yang terlihat dalam Tabel 1.4, di
wilayah Sub Sahara Afrika hampir separuh penduduknya hidup dengan
pendapatan di bawah US$ 1 per hari, tingkat buta huruf penduduk dewasa
mencapai 39%, angka usia hidup saat lahir cuma 47
Tabel t .4: Indikator Sosial Beberapa Negara Berpendapatan Rendah dan Menengah
15
*dalam persen ** dalam tahun
Bab 1
tahun, dan tingkat kematian bayi mencapai 92 jiwa tiap 1000 kelahiran. Seba-
liknya, negara-negara maju terus mengakumulasi kekayaan dan kesejahteraan
ekonomi karena tingkat kompetisi barang dan jasanya yang sangat tinggi bila
berhadapan dengan negara berkembang.
Fakta lainnya, menurut IMF dan Bank Dunia (2001; dalam Istiqomah, 2005:4- 5),
nilai perdagangan dunia tumbuh rata-rata 10% selama periode 1970-1999,
melampaui pertumbuhan output. Dalam periode yang sama, ekspor negara
berkembang tumbuh 12% dan pangsa pasarnya naik dari 1/4 menjadi 1/3 dari total
ekspor dunia. Selain itu, pangsa manufaktur dalam ekspor negara berkembang
juga meningkat tajam, dari 15% pada tahun 1965 menjadi 80% pada tahun 1988.
Namun demikian, menurut kedua badan dunia itu, kemajuan perdagangan dunia
tidak merata. Kemajuan tersebut sangat mengesankan di sejumlah negara
berkembang di Asia, dan pada tataran yang lebih sedikit, di Amerika Latin.
Negara-negara ini berhasil karena mereka berpartisipasi dalam perdagangan
dunia, yang membantu menarik investasi asing, misalnya Cina dan India, dan juga
negara berpenghasilan tinggi di Asia, seperti Korea dan Singapura, yang sampai
tahun 1970-an masih miskin. Sayangnya, pangsa negara-negara miskin dalam
perdagangan dunia menurun drastis, yang dialami sekitar 75 negara berkembang
dan negara-negara eks Blok Timur, yang disebabkan masalah struktural, kebijakan
dan institusi yang lemah, dan proteksi. Selama periode 1977-1999, LDC (least
developed countries) mengalami tingkat pertumbuhan perdagangan yang jauh
lebih rendah daripada perdagangan dunia (5,7% vs 10%) dan pangsanya dalam
perdagangan global turun dari 1,9% menjadi 0,5%. Negara-negara Afrika Sub-
Sahara berpenampilan sedikit lebih baik, dengan tingkat pertumbuhan 7,9% tapi
pangsanya juga turun dari 3,7% menjadi 1,4%.
Data komparatif lain menunjukkan, bahwa pada dekade 1990-an perdagangan
dunia tumbuh rata-rata tiap tahun sebesar 6,8%; lebih dari dua kali lipat »
16
pertumbuhan output dunia tahunan yang cuma 3,2%. Untuk negara berkemih
bang secara keseluruhan, selama dekade 1990-an perdagangan meningkat ;. 8,3%
tiap tahun, sementara pertumbuhan GDP riil tahunan meningkat 5,5%. Sungguh
pun begitu, keuntungan dari globalisasi tidaklah sama untuk semua
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
negara atau wilayah. Negara-negara Afrika justru mendapat bagian yang terus
menurun selama dekade terakhir ini. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2000 wilayah
Sub Sahara Afrika ini mendapatkan penerimaan sebanyak 69 miliar dolar dari
ekspor nonmigas. Padahal jika wilayah ini bisa mempertahankan pangsa pasar
ekspor (market share export) seperti halnya pada dekade 1980-an, maka
sebenarnya pada tahun 2000 penerimaan ekpor nonmigas tersebut harusnya
mencapai 161 miliar dolar (lebih dua kali lipat dari kenyataan). Jadi, itulah nilai
pendapatan yang hilang dari wilayah Afrika akibat globalisasi (Gondwe, 2001:31)
Tabel 1.5: Distribusi Pendapatan Dunia, 1989
17
Bahkan, secara lebih detail lagi, terlihat data yang lebih mengerikan. Jika negara-
negara di dunia ini dibagi secara proporsional dalam lima kategori (dari mulai
negara yang termiskin sampai yang terkaya), maka 20% negara j terkaya di dunia
menguasai 82,7% dari distribusi pendapatan (kemakmuran) dunia. Sedangkan
20% negara yang masuk dalam kuantil kedua terkaya di dunia memeroleh bagian
11,7% dari pendapatan dunia. Sisanya, masing- masing kuantil hanya
mendapatkan kurang dari 3% pendapatan dunia (Tabel 1.5). Data tersebut secara
eksplisit menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan antarnegara di dunia
sudah sedemikian parah, yang oleh sebagian ekonom dianggap merupakan buah
dari sistem tata relasi ekonomi dunia yang tidak adil. Meskipun data tersebut
hanya memotret wajah perekonomianBab 1
Sejarah Pembangunan Ekonomi
dunia sekitar 15 tahun yang lalu, namun bisa dipastikan tidak ada perubahan
yang mencolok dalam tahun-tahun terakhir ini. Bahkan, jika pun ada perubahan
tersebut, mungkin arahnya adalah semakin timpang. Oleh karena itu, globalisasi
pada titik ini lebih banyak dipahami sebagai upaya negara maju untuk
melanggengkan kemakmuran ekonomi yang sudah mereka nikmati selama
beberapa abad terakhir ini.
Melihat fakta yang miris tersebut membuat munculnya fenomena lain yang
kelihatannya berbeda secara diametral dengan proses globalisasi, yakni men-
jamurnya blok-blok perdagangan yang esensinya adalah melindungi pereko-
nomian domestik/regional. Blok-blok perdagangan semacam NAFTA di Amerika
Utara, AFTA di Asia Tenggara, APEC di Asia Pasifik, dan EEC di Eropa;
merupakan "jaring pengaman" (security net) bagi negara-negara anggota untuk
menahan laju penetrasi negara asing (maju) ke pasar ekonomi domestik ataupun
regional. Dari sini bisa dilihat bahwa sesungguhnya keberadaan blok-blok
perdagangan tersebut merupakan antitesis dari globalisasi, di mana beberapa
tujuan dari blok-blok perdagangan tersebut secara jelas melanggar atau
meniadakan aturan yang tertuang dalam prinsip globalisasi (GATT). Sulit untuk
diraba bagaimana masa depan dari blok perdagangan ini, apakah ia akan tetap
eksis atau akan segera pamit setelah globalisasi mulai dijalankan secara penuh
(Yustika, 2002:6).
Sebelum semua itu ketahuan akhirnya, ada beberapa kemungkinan yang bisa
dideteksi dari munculnya blok-blok perdagangan tersebut. Pertama, sangat boleh
jadi blok perdagangan merupakan instrumen yang dipakai sebagai batu loncatan
(step stone) untuk menapak pada proses globalisasi (Thurow, 1996:120-121).
18
Bagi banyak negara (berkembang), proses globalisasi merupakan lompatan yang
terlampau jauh (two steps forward), padahal negara- negara ini tidak memiliki
infrastruktur persaingan ekonomi yang memadai. Negara-negara ini akan
mengalami keterkejutan yang sangat dalam apabila langsung dihadapkan pada
"pertempuran bebas" dengan negara-negara maju, padahal sejatinya level
perekonomiannya masih jauh tertingal. Dengan adanya blok perdagangan ini
diharapkan diperoleh dua manfaat sekaligus, yakni mencari pengalaman
melakukan interaksi ekonomi secara terbatas dengan negara-
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
negara tertentu dan mengerjakan langkah mundur (one step backward) dari
persaingan ekonomi yang lebih luas. Sungguh pun begitu, fenomena blok
perdagangan ini bukan cuma dibutuhkan oleh negara yang ekonominya belum
mapan, tetapi negara maju pun juga terlibat di dalamnya; seperti Jepang di
AFTA, Amerika Serikat di AFTA dan NAFTA, dan Jerman di EEC. Bagi negara-
negara maju, partisipasi dalam blok perdagangan lebih ditekankan untuk
mengidentifikasi dan menjajaki negara mitra dagang (ekonomi) yang paling
menguntungkan dalam masa-masa mendatang.
19
Kedua, dalam perkembangannya nanti blok perdagangan akan digunakan
sebagai "induk" bagi negara-negara tertentu yang kalah dari kompetisi glo-
bal. Skenario ini mudah ditangkap mengingat setiap negara selalu butuh
tempat "bergantung" apabila perekonomiannya hendak roboh. Jika dulu
tempat bergantung itu adalah kebijakan proteksi pemerintah (govemment
protec- tion policies), namun karena model tersebut tidak diabsahkan lagi
oleh prinsip globalisasi, maka tempat berpegangan itu dipindahkan dengan
jalan mengge- ! layut pada lembaga induk, yakni blok perdagangan. Proses
kerjasama antar- negara dalam blok perdagangan mungkin bisa mengambil
dalam banyak wujud, namun yang paling mungkin prosedur itu dikerjakan
dengan cara melakukan transfer faktor produksi secara lebih efektif
antaranggota agar daya saing produknya menjadi meningkat. Jalan ini paling
rasional sebab di samping tidak menyalahi ketentuan GATT/WTO, juga
sekaligus memenuhi tujuan efisiensi alokasi faktor produksi tanpa harus
saling merugikan.Bab 1
Sejarah Pembangunan Ekonomi
17 Makna keterbelakangan (underdevelopment) sebenarnya bisa dibedakan dalam tiga kategori. Pertama,
keterbelakangan dipahami sebagai kegagalan untuk menggunakan seluruh potensi ekonomi melalui
teknologi yang ada. Kedua, keterbelakangan dimengerti sebagai ketertinggalan level dan karakter dari
kinerja ekonomi dibandingkan dengan negara-negara lain. Ketiga, keterbelakangan dimaknai sebagai
kegagalan untuk menyediakan standar hidup yang layak bagi sebagian besar penduduk sehingga
mengakibatkan kesengsaraan dan kekurangan material. Lihat Simon Kuznets, Underdeveloped Countries
and the Pre-Industrial Phase in the Advanced Countries. Dalam A.N. Agarwala dan S.I! Singh, The
Economics of Underdevelopment, Oxford University Press, New York, 1971, hal. 135-137.
menjadikan negara bcrkem- W bang sebagai tempat mencari bahan baku,
menyerap tenaga kerja murali, ' dan menjual produk; sementara profitnya
dibawa ke negara asal (repatriasi), r' Di sisi lain, ekonom-ekonom dari alian
klasik/neoklasik menganggap analisis ^ tersebut salah alamat. Menurut
mereka, di antaranya Warren dan Amsdcin, yang menjadi penyebab
keterbelakangan negara-negara berkembang adalah perilaku pemimpin
negara tersebut yang salah dalam memproduksi kebijakan ekonomi,
misalnya
kasus monopoli, dan hubungan antarpelaku ekonomi
domestik (local class relationship) yang asimetris.
Pandangan mereka, justru kehadiran pihak asing
(misalnya melalui MNC's) akan membantu
memperbaiki iklim kompetisi di negara
berkembang.Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
22
untuk tidak turut campur langsung dalam I kegiatan ekonomi, melainkan
justru lebih memfokuskan kepada kebijakan ? moneter, menjamin hak
kepemilikan (property rights), dan menyiapkan infrastruktur pendidikan dasar.
Bab 1
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
24
Studi yang dilakukan oleh Clements et. al. menunjukkan bahwa negara-negara penerima utang
luar negeri {foreign aid), khususnya dalam bentuk hibah (gratit), justru penerimaan negaranya
(govemment revenue) menurun. Kondisi ini semakin mengenaskan ketika terjadi di negara yang
tingkat korupsinya tinggi. Kesimpulan dari riset ini amat jelas: utang/ hibah tidak digunakan
untuk menggerakkan perekonomian (sehingga meningkatkan penerimaan negara), tetapi malah
dikorupsi habis-habisan oleh penguasa di negara- negara miskin. Lihat Benedict Clements
et.al., Foreign Aid: Grants versus Loans, Vinance' and Development, Vol. 41, No. 3,2004, hal.
46-49
Bab 1
dengan yang dialami Argentina pada akhir tahun 2001. Belum lagi bila
terjadi praktik 'odious debt’, atau utang najis. Ungkapan ini untuk
menerangkan praktik penggelapan ULN yang dilakukan oleh para penguasa
negara-negara debitor. Laporan yang ditulis oleh Kremer dan Jayachandran
(2002:36) menyebutkan beberapa penguasa negara lalim yang menyedot
utang luar negeri untuk kepentingan pribadi. Misalnya, Anastasio Somoza
(Nikaragua) menilap 100-500 juta, Ferdinand Marcos (Filipina) menggasak
20 miliar, Jean-Claude Duvalier (Haiti) menggondol 900 juta, Mobutu Sese
Seko (Kongo) menyedot 4 miliar, dan Sani Abacha (Nigeria) mengantongi 2
miliar (semuanya dalam dolar AS. Sayang, untuk Indonesia, data itu tidak
terungkap). Tidak bisa disangkal bila utang yang diberikan kepada negara-
negara tersebut tergolong sebagai 'utang najis', yang menyebabkan negara-
negara berkembang kian melarat dan menenggelamkan rakyatnya dalam
kubang kemiskinan.
Mengenai operasi PMA (lewatMNCs/multinational corporations) dalam
praktiknya tidak jauh berbeda dari ULN, juga merupakan alat negara maju
untuk mencengkeram perekonomian negara berkembang. Dalam kajian
teoritik, MNCs merupakan organisasi yang memfasilitasi pergerakan modal
internasional. Keputusan dari PMA sendiri mendeskripsikan sebuah
imperialisme, di mana pada waktu yang bersamaan keputusannya tidak saja
merefleksikan kekuatan eksternal tetapi juga bentuk organisasinya itu sendiri
sudah merupakan konsekuensi dari imperialisme. PMA ini mengontrol
seluruh produksi lintas negara dan sekaligus mengatasi hambatan-hambatan
politik. Keputusan- keputusan strategis biasanya diambil di perusahaan
induk (center), sedangkan kebijakan-kebijakan taktis cukup dibuat di
perusahaan cabang di negara berkembang (Evans, 1979:34-35). Oleh karena
alasan inilah, biasanya PMA sangat berkuasa sehingga secara tidak langsung
mengikis kedaulatan/otonomi sebuah negara untuk mengaturnya. Jika
sebuah negara (berkembang) berusaha membatasi operasi PMA, maka
mereka langsung mengancam akan memindahkan usahanya ke negara lain
yang lebih longgar aturannya. Dalam posisi seperti Ini, biasanya pemerintah
negara berkembang tidak berkutik dan membatalkan mengeluarkan
kebijakan restriktif tersebut.
26
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dart Strategi
Pada dekade 1960-an dan 1970-an banyak negara berkembang yang mulai
melirik foreign direct investment (FDI/PMA) sebagai alternatif penyelesaian
kekurangan investasi domestik. Pada periode ini banyak keuntungan yang
bisa diraup oleh PMA oleh karena kelemahan sistem hukum dan politik di
negara berkembang, bahkan seringkah banyak dari PMA tersebut yang
mendapatkan kedudukan monopoli. Semenjak dekade 1980-an peran PMA
tersebut semakin meningkat di negara berkembang hingga menjadi salah
satu. pilar pertumbuhan ekonomi. Antara tahun 1986 sampai 1997 nilai PMA
di negara berkembang meningkat dari semula 10 miliar dolar menjadi 163
miliar 1 dolar. Nilai PMA yang masuk ke negara berkembang tersebut
ekuivalen dengan 45% dari total bersih aliran sumber dana luar negeri pada
tahun 1997, dibandingkan 16% pada tahun 1986 (Perkins, et. al, 2000:523).
Namun pada tahun 1998 nilai PMA mengalami penurunan akibat krisis
ekonomi yang melanda beberapa negara, seperti Korea Selatan, Malaysia,
Thailand, dan Indonesia.
27
1
Bab 1
28
Banyak ekonom yang membahas persoalan tersebut dengan menempatkan
beberapa faktor sebagai penjelas mengapa sebuah negara bisa memeroleh
kemakmuran ekonomi, sementara negara lainnya tetap dalam kondisi di
bawah tingkat kesejahteraan rata-rata di luar pendekatan klasik/neoklasik dan
ketergantungan. Setidaknya Yeager (1999:5-8) mencatat empat hipotesis
yang diperkirakan banyak ahli menjadi sumber kemajuan ekonomi sebuah
negara, yang sekaligus disanggahnya melalui fakta-fakta penunjang.
Pertama, modal sumber daya manusia (human capital) dianggap merupakan
stok kekayaan pengetahuan yang sangat berharga sehingga setiap negara
yang memilikinya dapat memajukan kegiatan ekonomi melalui pencapaian
tenaga kerja yang produktif. Keyakinan ini didukung oleh kenyataan bahwa
negara-negara kaya biasa tenaga kerjanya memiliki tingkat masuk sekolah
(enrollment rate) lebih dari 90 persen. Namun hipotesis ini segera gugur
ketika dihadapkan pada tiga fakta berikut: (i) terdapat beberapa negara,
misalnya Polandia, Rusia, dan Korea Selatan, yang rakyatnya memiliki
tingkat pendidikan sangat baik, tetapi pendapatan per kapitanya jauh
dibelakang Jepang, Jerman, Kanada, dan Perancis; (ii) berkaitan dengan
pernyataan kausalitas: apakah pendidikan yang menyebabkan pertumbuhan
ekonomi atau justru sebaliknya, pertumbuhan ekonomi mendorong perbaikan
tingkat pendidikan. Setidaknya pada tahun 1970-an banyak negara di Sub
Sahara Afrika yang meningkatkan pengeluaran pada sektor pendidikan
(budget spending) tetapi tidak menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan per kapitanya malah menurun (Clague, et. al, 1997:82); dan (iii)
kasus imigran dari Haiti dan Jerman yang pindah ke Amerika Serikat
menunjukkan ketidakselarasan antara tingkat pendidikan dan pendapatan per
kapita. Imigran dari Haiti memeroleh pendapatan separuh dari imigran
Jerman (US$ 10,900 berbanding US$ 21,900 per tahun), sehingga
diasumsikan pendidikan orang Jerman dua kali lebih baik dari orang Haiti.
Tetapi faktanya, pendapatan per kapita Haiti sendiri hanya sepersepuluh dari
pendapatan per kapita Jerman.Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
Kedua, sumber daya alam (natural resources) juga dapat dipandang sebagai
sumber pertumbuhan ekonomi bagi sebuah negara. Argumentasinya, sumber
daya alam bisa mempermudah bagi sebuah negara untuk menumbuhkan eko
nominya dengan biaya input yang lebih rendah. AS merupakan contoh negara
yang kaya dengan sumber daya alam (mineral, lahan, dan kayu) sekaligus
makmur ekonominya. Namun anggapan ini dengan mudah bisa dibantah
karena banyak negara, seperti Sigapura dan Jepang, tidak memiliki kekayaan
SDA tetapi pertumbuhan ekonominya sangat tinggi. Dilain pihak, justru
banyak negara yang memiliki kelimpahan SDA mempunyai kinerja ekonomi
yang buruk. Dalam literatur ekonomi hal tersebut dikenal dengan istilah
"Dutch Disease", di mana pada dekade 1960-an Belanda memeroleh tingkat
29
kesejahteraan ekonomi akibat melimpahnya SDA yang mereka miliki. Tetapi
sejak dekade 1970-an ekonomi negara tersebut ambruk setelah terjadi
kenaikan angka inflasi, penurunan ekspor sektor manufaktur, pertumbuhan
eko nomi yang menurun, dan peningkatan pengangguran (Nafziger,
1990:171).
Ketiga, setelah dua faktor di atas gugur, ditengarai pertumbuhan ekonomi
lebih disebabkan oleh tingkat kepadatan penduduk. Suatu negara yang memi-
liki tingkat kepadatan penduduk rendah (low population density) dianggap
fakan memiliki peluang untuk bisa mensejahtarakan rakyatnya. Alasannya,
Japabila kepadatan penduduk sangat tinggi, maka kegiatan ekonomi
penduduk hanya akan berada pada level subsistensi karena rendahnya rasio
penduduk dan lahan (man-land ratio). Negara-negara berkembang, seperti
Indonesia, juga dicirikan oleh penguasaan lahan yang rendah akibat jumlah
penduduk yang tinggi. Hal ini dengan mudah dijumpai pada pelaku ekonomi
di sektor pertanian (baca: petani), di mana setiap kepala rumah tangga hanya
memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar (khususnya di Pulau Jawa). Akibatnya,
kegiatan pertanian yang dilakukan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
sendiri (subsisten), bukan untuk tujuan komersial. Namun, kembali fakta ini
ter-) bantah karena negara-negara lain dengan tingkat kepadatan penduduk
yang - cukup tinggi, seperti Jepang dan Hongkong, tetap mempunyai tingkat
pendapatan per kapita yang tinggi. Sebaliknya, negara seperti Brazil, Cina,
dan Rusia, yang tingkat kepadatan penduduknya relatif rendah, justru penda-
patan per kapitanya jauh lebih kecil dibandingkan Swiss atau Jerman.
Bab 1
30
pembangunan hanya untuk mentransfer teknologi dari negara maju?
Pertanyaan-pertanyaan ini segera saja membuat sinyalemen bahwa teknologi
merupakan sumber keunggulan bagi pertumbuhan ekonomi menjadi
ijiienguap.9 Artinya, tidak selamanya penguasaan teknologi yang memadai
lan- tas secara otomatis menolong negara tersebut bisa mengakumulasi
kesejahteraan ekonomi. Negara India barangkali bisa mewakili kasus ini, di
mana
Di luar pandangan di atas, juga masih tersedia satu pandangan yang menyatakan bahwa letak
geografis bisa menyebabkan suatu negara menjadi makmur atau, sebaliknya, miskin. ¡L Jika
dibuka peta dunia, maka di situ akan terlihat bahwa negara-negara yang terletak di dekat ekuator,
yang berhawa sangat panas, dikenal sebagai wilayah yang memiliki kantong- kantong
kemiskinan secara massif. Di wilayah tropis tersebut banyak ragam penyakit (diseases) yang
membuat penduduknya tidak memiliki tingkat kesehatan hidup yang m memadai. Seterusnya,
negara-negara tropis yang kaya sumber daya alam justru memberi insentif kepada penduduknya
untuk mengeksploitasi sumber daya alam, sehingga dalam jangka panjang akan menyebabkan
terjadinya kemiskinan (karena sumber daya alamnya habis). Lihat Daron Acemoglu, Root
Cause§: A Historical Approach to Assessing the fitule of Institutions in Economic Development,
Finance and Oei'elopmcnt, Vol. 40, No. 2, 2003, hal. 27. Pemikiran yang mirip juga
dikemukakan oleh Jellrey I). Sachs, yang berpendapat bahwa negara-negara semacam Bolivia,
Ethiopia, Kyrgystan, atau Tibet, faktor kultur tidak dapat digunakan untuk menganalisis sebab
kemiskinan; tetapi kemis- i{ kinan yang terjadi di negara tersebut lebih banyak bersumber dari
keadaan geografi yang tidak mendukung. Lihat Jeffrey D. Sachs, The End of ¡'overty: Economic
l'ossibilitics 1 for Our Time, The Penguin Press, New York, 2005, hal. 60-61
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
tingkat penguasaan teknologi yang dipunyai cukup tinggi, tapi hingga kini
negaranya masih terperosok dalam kubang kemiskinan.
Pencarian penjelasan terhadap faktor yang menyebabkan diperolehnya per-
tumbuhan ekonomi tersebut terus mengalami pembaruan. Dalam satu dekade
terakhir ini muncul diskursus yang lebih intensif mengenai pentingnya faktof
"kelembagaan" (institutions) sebagai variabel yang mendorong pertumbuhan
ekonomi sebuah negara. Kelembagaan -berbeda dengan faktor pendidikan,
SDA (sumber daya alam), penduduk, dan teknologi- dipandang bisa
menjelaskan fenomena perbedaan pencapaian kemajuan ekonomi
(pertumbuhan ekonomi) antarnega. Jika faktor pendidikan (human capita),
SDA kepadatan penduduk dan teknologi lebih merupakan faktro sederhana
yang bisa dipisahkan dengan realitas sosial; maka kelembagaan (rules of the
game) justru hidup dan berjalan di atas realitas sosial masyarakat.
Kelembagaan yang baik dicirikan oleh tiga hal berikut (Acemoglu, 2003:27).
Pertama, pemaksaan terhadap hak kepemilikan (enforcement of property right).
Adanya hak kepemilikan di dalam masyarakat akan memberi insentif bagi
individu J untuk melakukan kegiatan ekonomi, misalnya investasi. Kedua,
membatasi tindakan-tindakan para politisi, elite ,dan kelompok-kelompok
berpengaruh lainnya yang berupaya untuk memeroleh keuntungan ekonomi
tanpa prosedur yang benar, seperti perilaku mencari rante (rent-seeking
behavior). Ketiga memberi kesempatan yang sama (equal opportunity) bagi
semua individu untuk mengerjakan aktivitas ekonomi/investasi khususnya
dalam meningkatkan kapasitas individu (human capital) maupun berpartisipasi
dalam kegiatan ekonomi produktif.
32
Tentu saja dalam jangka panjang kelembagaan tidak berhenti hanya menjadi
fasilitator bagi pencapaian investasi dan kevarausahaan (enterpreneurship)?
Tugas terpenting dari kelembagaan adalah menciptakan pasar (market-creat-
ing) yang bisa melindungi hak kepemilikan dan melaksanakan kontrak.
Untuk itu, dalam perekonomian yang berbasis pasar, fungsi terpenting
kelembagaan bisa dipilah dalam tiga klasifikasi berikut (Rodrik dan
Subramanian, 2003:32) (i) meregulasi pasar (market regulating§, khususnya
untuk mengatasi persoalan-persoalan ekternalitas (externalities), skala
ekonomi (economiesBab 1
Sejarah Pembangunan Ekonomi
33
sumber daya alam yang melimpah, teknologi yang memadai, dan penduduk
yang bermutu sangat mungkin menjadi sumber pertumbuhan ekonomi;
namun semua itu tidak bisa menjadi pemicu kesejahteraan apabila tidak
dipandu dengan sistem kelembagaan ekonomi yang baik. Inilah yang terjadi
di banyak negara berkembang, kesesehingga seluruh potensi ekonominya
menjadi mubazir dan terjerembab dalam keterbelakangan/kemiskinan yang
tiada berujung.
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
34
Pada akhirnya, menurut Ikhsan (2000:36-37), kelembagaan memiliki sum- bangan
yang penting dalam pembangunan ekonomi mengingat adanya kega- galan pasar
sebagai akibat mahalnya informasi dan pelaku pasar tidak meng- gunakan semua
informasi yang diperoleh atau tidak mampu diperoleh Ketidaksempurnaan informasi
dan keterbatasan kapasitas untuk mengolaK informasi akan memengaruhi biaya
transaksi yang mendasari pembentukan kelembagaan. Biaya transaksi muncul akibat
informasi mahal dan asimetris Biaya yang muncul bukan hanya untuk menjamin
terjadinya transaksi, melain kan juga biaya monitoring dan Penegakan. Pelaku ekonomi
yang menguasaiBab 1
Sejarah Pembangunan Ekonomi
10
Contoh klasik yang sering digunakan adalah kasus shareeropping dalam produksi hasil pertanian, di mana
walaupun shareeropping merupakan keseimbangan yang tidak efisien dibandingkan sistem lain, tetapi sering
digunakan di banyak negara. Fenomena tingginya *biaya monitoring telah menciptakan masalah ageney
yang akhirnya menyebabkan inefficient mode yang terpilih. Lihat Mohamad Ikhsan, Reformasi Institusi dan
Pembangunan Ekonomi, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 2, September - November, 2000, hal. 37
35
11
Masalah ini muncul karena ketidakmampuan manusia untuk melihat masa depan dan
menimbulkan ketidakpastian. Jenis ini terutama muncul dalam pasar modal. Lihat Mohamad
Ikhsan, ibid, hal. 37
36
Bab 2
1
eyakinan bahwa kelembagaan (institutions) bisa menjadi sumber efisiensi
dan kemajuan ekonomi telah diterima oleh sebagian besar ekonom, bahkan
yang paling liberal sekalipun. Hanya saja, sampai kini masih belum
terdapat kejelasan mengenai makna dan definisi dari pelembagaan itu
sendiri. Sekurangnya, walaupun dengan tingkat subtansi yang mina, banyak
ekonom yang mendefinisikan kelembagaan dengan perspektif yang
beraneka. Tentu saja hal ini tidak menjadi persoalan bila fenomena tersebut
dianggap memberikan kontribusi terhadap kekayaan dimensi terhadap
perkembangan ilmu ini. Namun, jika multiragam definisi tersebut jalan ke
arah yang saling menegasikan, dikhawatirkan yang terjadi bukanlah menuju
kepada penambahan kekayaan sudut pandang, melainkan kekaburan
terhadap konsep kelembagaan itu sendiri. Oleh karena itu, saat ini tugas
terberat bagi para ahli ekonomi kelembagaan adalah mencoba merumuskan
secara definitif pengertian kelembagaan Sehingga mendonorkan panduan
bagi siapapun yang berminat untuk mengkajinya. Pada bagian ini, akan
dikupas makna kelembagaan dari mulai aspek paling fundamental yang
mendasari Sihirnya teori ekonomi kelembagaan.Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
2
Oliven Williamson (19752). Biasanya NIE juga disebut dengan
“Matbematical Instim tutional Economics”, “Theofitical Institutional
Economics”, "Modern Insttutional Economics” dan "Neo-inistitutional
Economics" (Shubik, 1975;1 Schotter, 1981; Coase, 1984) [Rutherford,
1994:1].
3
Menyangkut Ekonomi Kelembagaan sebagian besar bersumber dari dua proyek
penelitian yakni penelitian pertama yang dipelopori oleh Thorsteiril Veblen
(yang kemudian dikembangkan dan dimodifikasi oleh Clarence Ayres) dan
penelitian kedua dipandu oleh John R. Commons (Rutherford, 1994;1- 2).
Veblen memusatkan perhatiannya pada dikotomi antara bisnis dan aspek
industrial dalam perekonomian, yang selanjutnya fokus kajian ini
mengembangkan dikotomi antara kelembagaan dan teknologi. Dalam
penjelasan yang lebih mendalam, riset ini difokuskan kepada investigasi efek
teknologi barui terhadap skema kelembagaan, serta mendeskripsikan bagaimana
kesepakatan-Bab 2
Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan
1
dikonsepkan oleh Bardhan (1989:3), kelembagaan akan lebih akurat bila
didefinisikan sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan (conventions), dan
elemen lain dari struktur kerangka kerja interaksi sosial.
secarara definitif, kelembagaan bisa pula dimaknai sebagai regulasi perilaku
yang secara umum diterima oleh anggota-anggota kelompok sosial, untuk
perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik yang bisa diawasi sendiri
maupun dimonitor oleh otoritas luar (extemalauthority) [Rutherford, 1994:1 ].
Manig (1991:18) mencatat bahwa kelembagaan merefleksikan sistem nilai
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
dan norma dalam masyarakat; tetapi, nilai dan norma itu bukanlah kelembagaan
itu sendiri.1 Ekspresi lainnya, North (1994:360) memaknai kelembagaan sebagai
aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia (hm manly
devised) untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi, datf sosial.
Melalui rentetan sejarah, kelembagaan yang bisa meminimalisasi pe| rilaku
manusia yang menyimpang telah berhasil menciptakan ketertiban daiy
mengurangi ketidakpastian dalam melakukan pertukaran (exchange). Dalang
konteks ini kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni aturan formal (/bri
mal institutions), aturan informal (informal institutions), dan mekanisme^
penegakan (enforcement mechanism)1. Aturan formal meliputi konstitusi,^
statuta, hukum, dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal mem-j
bentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem,
ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumber daya, kontrak), !
dan sistem keamanan (peradilan, polisi). Sedangkan aturan informal meliputi.
pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama, dan seluruh faktor yang memenga-^
ruhi bentuk persepsi subyektif individu tentang dunia di mana mereka hidupi
(Pejovich, 1999:4-5). Terakhir adalah penegakan, bahwa semua kelembagaan |
tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme pene- .
gakan.1 Contohnya, suatu negara bisa saja memiliki UU antitrust yang men-
1Dalam sumber lain, Manig mendefinisikan kelembagaan sebagai regulasi yang stabil dani prinsip-prinsip atau aturan-aturan organisasi yang mengelola
proses interaksi antara; orang-orang. Lihat Winfried Manig, Structural and Institutional Changes in Rural North- west Pakistan, The Journal of Development
Studies, Vol. XII-XII, 1992, hal. 2
2
Bab 2
3
1. Kelembagaan secara sosial diorganisasi dan didukung (Scott, 1989), yang
biasanya kelembagaan membedakan setiap rintangan-rintangan atas peri laku
manusia, misalnya halangan biologis (biological constraints) dan SR. rintangan
fisik (physical constraints).
2. Kelembagaan adalah aturan-aturan formal dan konvensi informal, serta tata
perilaku (codes of behavior) [North, 1990].
3.Kelembagaan secara perlahan-lahan berubah atas kegiatan-kegiatan yang telah
dipandu maupun dihalangi.
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
4
i,
1
Demikian pula, menurut Witte (1988:31-32), ekonomi kelembagaan tidak
memfokuskan kepada apa yang disebut oleh beberapa ahli ekonomi
(ekonom) sebagai 'motif-motif ekonomi' (economic motives), yakni
konsentrasi untuk memeroleh pendapatan (gain), motif laba (profit motive),
atau memaksimalisasikan sesuatu yang memiliki nilai material. Selama ini,
motif nonekonomi dipandang sebagai faktor yang tidak termaktub dalam
operasi hukum ekonomi (economic laws), tetapi disadari sebagai bagian
yang esensial dari situasi total yang harus dipertimbangkan dalam
mengambil penjelasan yang benar dari aspek ekonomi dan hukum-hukum
yang mengatur aspek-aspek nonekonomi tersebut. Oleh karena itu,
pendekatan ekonomi kelembagaan sering dikritik oleh para pembela
ekonomi konvensional (orthodox approach) hanya sebatas
mendeksripsikan, bukan menganalisis. Dalam hal ini, mungkin benar
bahwa ahli ekonomi kelembagaan hanya bertumpu kepada upaya-upaya
pencari dan mempresentasikan dari fakta-fakta yang berhasil dipungut.
Namun, sesungguhnya, para ahli kelembagaan (institutionalists) juga
memiliki empati yang sangat besar terhadap statistik, bukan hanya studi
lapangan. Hanya saja yang memang dipentingkan adalah fakta, bukan
sekadar asumsi-asumsi. Pendeknya, fakta merupakan segalanya-galanya,
namun bukan 'fakta ekonomi yang sangat kaku' (strictly economic facts).Bab
2
3
3. Penerimaan umum atas prinsip 'aliran sebab akibat' (circular causation)
sebagai hipotesa utama untuk menjelaskan dinamika proses ekonomi,
termasuk proses keterbelakangan dan pembangunan.
4
Jika dikomparasikan antara ekonomi kelembagaan dan ekonomi neoklasik maka keduanya
meyakini bahwa esensi dari ilmu ekonomi adalah bagaimana menghasilkan dan
mendistribuskan barang dan jasa yang sangat terbatas. Ke- duanya juga mengasumsikan
kemampuan manusia untuk mengelola hal itu, serta percaya pada sistem dan mekanisme
insentif dan disinsentif. Ekonomi kelembagaan dan ekonomi neoklasik percaya terhadap
prinsip-prinsip kegunaan (utility) yang makin lama makin berkurang. Keduanya juga
percaya bahwa apabila terdapat kenaikan harga, jumlah barang dan jasa yang diproduksi
akan meningkat, serta jumlah barang dan jasa yang diminta akan menurun. Hal yang paling
penting adalah baik ekonomi kelembagaan maupun ekonomi neoklasik merasa yakin akan
kemampuannya untuk mengatasi kompetisi pasar tidak sempurna (Paarlebrg, 1993|; dalam
Arifin, 2005:18-19). Namun, terlalu banyak hal yang membedakan antara ekonomi
kelembagaan dan ekonomi neoklasik, bahkan sampai pada cakupan kajian dan fokus
analisis, sehingga cukup sukar untuk membandingkan keduanya. Ekonomi neoklasik jelas
sangat peduli terhadap perubahan atau konsekuensi yang terjadi akibat perubahan
Bab 2
'Tujuan individu Diri sendiri (self-interest) Diri sendiri dan orang lain
"Hubungan dengan ilmu-ilmu Hanya ilmu ekonomi Hampir semua ilmu sosial
sosial lain"
5
Sistem Tertutup Terbuka
6
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
Hal ini berarti bahwa kegiatan ekonomi merupakan interaksi manusia yaitu beroperasi
pada dua level. Pertama, pengembangan dan spesifikasi kelembagaan. Kedua, kegiatan
ekonomi yang mencakup interaksi manusia di dalam kelembagaan yang sudah tersedia
(the prevailing institutions). Jika yang pertama menyangkut aturan main (rules of the
game), maka yang kedua adalah permainan (game) itu sendiri (Pejovich, 1995:30).
Seperti yang dikemukakan oleh Alston (1996:25), hampir seluruh ilmuwan sosial setuju
bahwa pemahaman terhadap kelembagaan merupakan hal yang kritikal untuk dapat
memahami pembangunan ekonomi dan mengidentifikasi kinerja ekonomi dari sebuah
perekonomian. Hanya saja, bila riset tentang kelembagaan oleh banyak ilmuwan sosial
terlalu ekstrem dan sangat abstrak, maka akan menyebabkan hal itu kurang berguna bagi
penyusunan kebijakan.
Akhirnya, Samuels (1995:573; seperti diikuti oleh Prasad, 2003:744-745) menyimpulkan
delapan aspek dari ekonomi kelembagaan:
1.Ekonomi kelembagaan cenderung menekankan kepada proses evolusioner melalui
penolakannya terhadap teori ekonomi klasik yang percayai terhadap mekanisme
penyesuaian otomatis (automatic adjustment mechanism) lewat perubahan-perubahan
dalam sistem harga.
2.Ahli-ahli kelembagaan menolak pandangan neoklasik mengenai pasar bebas dan pasar
yang efisien (free and efficient market). Mereka mengutamakan pandangan tentang
eksistensi kelembagaan yang mengandalkan adanya tindakan kolektif dari individu-
individu di dalam masyarakat- Mereka juga berargumentasi bahwa sistem pasar itu
sendiri merupakan hasil dari perbedaan kelembagaan yang telah eksis dalam kurun waktu
tertentu.
3.Ide penting yang dibuat oleh ekonom kelembagaan adalah bahwa faktor, teknologi
tidaklah 'given'. Teknologi merupakan proses perubahan yang berkesinambungan dan hal
itu menyebabkan perubahan yang penting pula. Dengan pandangan itu, teknologi bisa
menentukan ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya fisik (physical resouces).
1
Bab 2
1
Ekonomi Kelembagaan
1 New Institutional Economics keberadaannya menjadi penting setidaknya karena tigal alasan. Pertama, teori ini berangkat dari luar kerangka neoklasik tetapi menyediakan!
jawaban-jawaban yang masih menjadi teka-teki dalam pendekatan neoklasik. Kediu& pada dekade 1990-an banyak kebijakan ekonomi yang dijalankan di negara berkembang tidak
sukses akibat kegagalan pasar, sehingga di sini perlu masuk peran negara untu'J mendesain kelembagaan. Ketiga, teori ini berpotensi besar bisa menghubungkan dengan, banyak
faktor lain dalam teori-teori kontemporer. Lihat John Harriss, Janet Hunter an|| Colin M. Lewis, Introduction: Development and Significance of NIE. Dalam John Harrisjj Janet
Hunter and Colin M. Lewis, The New institutional Economics and Third Wor> Development, Routledge, London and New York, 1995, hal. 1
2
Bab 2
Dengan begitu, NIE menempatkan diri sebagai pembangun teori kelembagaan Bon-pasar
(non-maket institutitons) dengan pondasi teori ekonomi neoklasik. Seperti yang North
ungkapkan, NIE masih memakai dan menerima asumsi dasar dari neoklasik mengenai
'kelangkaan' dan 'kompetisi', tetapi menanggalkan asumsi rasionalitas instrumental
(instrumental rationalité di mana asumsi tersebut membuat ekonomi neoklasik menjadi
'teori bebas/nir-kelembagaan' (institution-free theory). Oleh karena itu, sebagai langkah
untuk menjalankan hal itu, NIE mengeksplorasi gagasan kelembagaan non-pasar '(hak
kepemilikan, kontrak, partai revolusioner, dan lain-lain) sebagai jalan untuk mengompensasi
kegagalan pasar (market failure). Dalam pendekatan NIE, kehadiran informasi yang tidak
sempurna, eksternalitas produksi (production externalities), dan barang-barang publik
(public goods) diidentifikasi sebagai sumber terpenting (key sources) terjadinya kegagalan
pasar, sehingga meniscayakan perlunya kehadiran kelembagaan non-pasar. Sebaliknya,
dalam pendekatan neoklasik, ketiga variabel di atas diasumsikan tidak eksis, sehingga biaya-
biaya transaksi (transaction costs) yang diasosiakan dengan variabel tersebut dianggap tidak
ada (Mburu, 2002:21). Di samping itu, literatur NIE juga menambahkan beberapa poin
penting tentang kegagalan kelembagaan (institutional failures) yang menjadi penyebab
terjadinya keterbelakangan di banyak negara. Kegagalan kelembagaan tersebut merujuk
kepada struktur kontrak dan hukum, serta regulasi dari penegakan pihak ketiga (rules of
third §arty enforeement) yang lemah, padahal semua itu harus diperkuat untuk dapat
menjalankan transaksi pasar (Bardhan, 1996:3).
Dalam satu cara pandang, fungsi pasar yang berjalan dengan baik merupakan kumpulan dari
kelembagaan yang meregulasi beberapa hal berikut (Chang, 1998:67):
Apa yang dapat diperdagangkan/what can be traded (misalnya banyak negara
melarang transaksi/jual beli darah atau organ manusia, tidak berbicara mengenai
manusia itu sendiri)
3
Siapa dapat melakukan perdagangan/who can trade (seperti banyak negara melarang anak-
anak masuk dalam pasar kerja, atau hanya orang-orang ahli yang dapat memberikan
pelayanan hukum atau medis pada semua negara)Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi
istilah lain, yakni OIE (old institutional economics), yang dipelopori oleh
Common dan Veblen (Kherallah dan Kirsten, 2002:2; Coase, 1998:72; Nabli
4
dan Nugent, 1989:3). Mazhab OIE berargumentasi bahwa kelembagaan
merupakan faktor kunci dalam menjelaskan dan memengaruhi perilaku
ekonomi namun dengan sedikit analisis dan tanpa kerangka teoritis yang
mumpuni. Pendekatan ini murni beroperasi di luar pendekatan ekonomi
neoklasik dai tanpa menggunakan teori kuantitatif, di mana dari pendekatan
kuantitatif tersebut biasanya suatu generalisasi diambil atau pilihan-pilihan
kebijakan yang tepat dapat dibuat. Ekonomi neoklasik -sebaliknya-
mengabaikan secara total peran kelembagaan; diasumsikan pelaku-pelaku
ekonomi beroperasiBab 2
Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan
Dalam ruang yang bebas nilai (vacuum).1 Oleh karena itu, NIE mencoba
memperkenalkan pentingnya peran dari kelembagaan, namun tetap
berargumentasi bahwa pendekatan ini bisa dipakai dengan menggunakan
kerangka ekonomi neoklasik. Dengan kata lain, di bawah NIE beberapa
asumsi yang tidak realistik dari neoklasik (seperti informasi yang sempurna,
tidak ada biaya transaksi/zero transaetion costs, dan rasionalitas yang
lengkap) diabaikan, tetapi asumsi individu yang berupaya untuk mencari
keuntungan pribadi (self-seek-ing individuaIs) untuk memeroleh kepuasan
maskimal tetap diterima, Selebihnya, kelembagaan dimasukkan sebagai
rintangan tambahan di bawah kerangka kerja NIE (Kherallah dan Kirsten,
2002:2).2
Kunci perbedaaan antara OIE dan NIE adalah bahwa pendekatan yang per
tama sangat memfokuskan kajiannya mengenai 'kebiasaan' (habit). Bagi para
ahli OIE, kebiasaan/perilaku dianggap sebagai faktor krusial yang akan
menentukan formasi dan sustenance kelembagaan. Sebaliknya, di ujung
spektrum yang lain, NIE lebih memberikan perhatian kepada kendala yang
menghalangi proses penciptaan/ pengondisian kelembagaan, dan utamanya
memfokuskan kepada pentingnya kelembagaan sebagai kerangka interaksi
antarindividu (Hodgson, 19981180-181; Williamson, 1998:75). Karakteristik
dari para ahli
1 ¡memfokuskan kepada asumsi inti mengenai zero transaetion costs yang diusung oleh '"model ekonomi neoklasik, sebagai masalah
penting yang harus segiH ïB^ikàn'ft'mula ■i penggantinya. Oleh karena itu, NIE mencoba mengintegrasikan StaHsis kelembagaan
dengan kerangka ekonomi neoklasik, dan tentu saja memasukkan pMiMMt) kelentkt- ' gaan sebagai variabel penting yang harus
dikaji. Lihat Anil Hira dag R«m Hira, (bid, li.vL
2'0269
5
Ekonomi Kelembagaan
6
Tetapi, Veblen membantah pendapat yang menyatakan bahwa individu selalu berprilaku
maksimal dan bertindak rasional. Dia menganjurkan pandangan yang menyatakan bahwa
perilaku individu dikondisikan oleh perbedaan tata social dan budaya yang berlaku pada tempo
tertentu( particular time). Lihat Bisman C PRASAD, Institutional Economic and economic
development;The theory of property rights, Economic development, Good governance ang the
environment, International journal of social economics, Vol. 30,No. 6, 2003, hal. 743Bab 2
7
Ekonomi Kelembagaan
8
Bab 2
nisasi atau kolektif itu sendiri bukanlah menjadi fokus, tetapi teori unit
sosial harus memulai dengan -dan berdasarkan kepada- penjelasan
posisi dan tindakan masing-masing individu.
Maksimalisasi kegunaan (utility maximization): individu
diasumsikan mencari keuntungan pribadi dan berupaya
memaksimalkan kepuasan berhadapan dengan rintangan-rintangan
yang eksis dalam struktur organisasi. Sebaliknya dengan praktik
konvensional, di mana dikotomi antara teori pilihan konsumen dan
teori perusahaan berakhir melalui perluasan hipotesa maksimalisasi
kepuasan terhadap seluruh pilihan-pilihan individu. Hasilnya, sebagai
individu, apakah dia manajer birokrasi pemerintah atau wirausahawan
kapitalis, dipahami untuk membuat pilihan-pilihannya dan untuk
memburu tujuan sendiri dengan keterbatasan yang diperbolehkan
dalam sistem yang beroperasi.
Rasionalitas terikat (bounded rationality): mendekati kondisi
dunia nyata melalui kelembagaan secara dekat. Adalah penting untuk
memahami ide bahwa individu memiliki keterbatasan kemampuan
untuk mendapatkan dan memproses informasi. Simon (1975)
menggunakan terma 'bounded rationality' untuk merefleksikan fakta
pengambil kebijakan, yakni orang yang diasumsikan rasional
(intendedly rational), bukan hiperrasional.
Perilaku oportunistik (opportunistic behavior): seperti
Williamson (1975) kemukakan, sementara rasionalitas terikat/terbatas
mencegah pembuatan kontrak yang lengkap, di mana hal itu secara
umum tidaklah menjadi masalah apabila seluruh pelaku ekonomi
berlaku jujur. Nyatanya, beberapa individu (baik prinsipal maupun
agen) cenderung untuk berperilaku menipu dalam rupa
menyembunyikan preferensi, mendistorsi data, mengaburkan isu, dan
lain sebagainya. Dalam kata-kata Williamson, perilaku itu disebut
dengan "self-seeking with guile", yang secara normal biasanya sangat
mahal untuk mencegah kemungkinan itu terjadi, sehingga mau tidak
mau sebuah kontrak yang menyeluruh harus diupayakan terjadi.
9
NIE ini beranjak dari realitas bahwa informasi jarang