Anda di halaman 1dari 64

Bab 1

Sejarah Pembangunan Ekonomi

T
anpa disadari sejarah dunia telah berumur sangat lama, tak terkecuali
perjalanan pembangunan ekonomi dunia. Bahkan, dalam lintasan yang paling
panjang, sejarah pembangunan dunia telah berumur 5000 tahun, persis
seperti yang dituliskan oleh Frank (2000:218). Dengan kurun waktu yang
selama itu, tentu ada banyak sekali fakta-fakta sejarah pembangunan
ekonomi yang bisa disampaikan sebagai modal untuk meneruskan
pencapaian pembangunan ekonomi yang lebih beradab di masa mendatang.
Sungguh pun begitu, melacak sejarah pembangunan ekonomi dalam kurun
waktu 5000 tahun tentu bukanlah perkara gampang. Kesulitan itu bermuara
dari dua hal. Pertama, kerumitan untuk menelusuri dokumen-dokumen yang
mengisahkan perjalanan pembangunan ekonomi sejak masa itu, apalagi pada
kurun waktu itu tradisi penulisan/publikasi belum intensif seperti saat ini.
Kedua, kalaupun ada dokumen atau makalah yang membahas pembangunan
ekonomi pada kurun waktu tersebut, tentu juga sulit untuk melakukan
verifikasi atas kebenarannya. Dengan dua pertimbangan itu, bagian ini hanya
akan trasikan sejarah pembangunan dalam kurun waktu 500 tahun terakhir.
Pada bagian akhir bab ini akan disodorkan tentang pentingnya aspek
kelembagaan sebagai penentu keberhasilan pembangunan ekonomi.

1
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

Depresi dan Rehabilitasi Ekonomi

Dalam merunut sejarah globalisasi ekonomi, Walerstein (2000:250) membagi


kurun waktu globalisasi dalam dua periode. Pertama, tentang waktu tahun 1450
sampai saat ini. Pada periode itu dia menyebutnya sebagai siklus hidup ‘capitalist
world-economy,’ di mana diandaikan telah terjadi pembangunan ekonomi yang
normal, namun saat ini sedang masuk dalam episode krisis ekonomi. Kedua, kurun
waktu antara tahun 1945 sampai kini, yang disebut oleh Wallerstein sebagai abad
transisi (age of transition). Penyebutan istilah tersebut mengacu' kepada teori
'Kondratieff Cycle' yang membagi dua fenomena ekonomi mulai abad 20, yakni:
(i) fase A antara tahun 1945 sampai 1967-1973, yang menandai perekonomian
dalam kondisi puncak (upward swing or economic expansion); dan (ii) fase B
antara tahun 1967-1973 sampai kini, yang menandai perekonomian dalam situasi
krisis (downward swing or economic contraction). Periodesasi tersebut mungkin
terlihat sangat menyederhanakan, tetapi dengan bekal gambaran tersebut
setidaknya sebuah petunjuk awal bisa diberikan. Sederhananya, lewat pendekatan
tersebut dapat dibuat skema perjalanan pembangunan ekonomi dunia secara lebih
jernih dengan bukti-bukti empirisnya.
Fakta lain yang harus diungkap adalah, sejak tahun 1450-an tersebut mulai marak
juga fenomena kolonialisme, yang secara harfiah berarti pencaplokan satu negara
(establishment of full state) terhadap wilayah/negara lain.1 Pemikiran terpenting
1 Di sini harus dibedakan atas tiga konsep yang saling tumpang tindih: kolonisasi (colonizatiori), kolonialisme
(colonialism), dan imperialisme (imperialism). Kolonisasi adalah penciptaan komunitas yang permanen di wilayah negara

asing (foreign lands). Sedangkan imperialisme adalah tindakan memperluas dominasi politik suatu negara terhadap
teritori negara lain, baik secara langsung maupun tidak, yang bertujuan untuk memapankan kekuatan militer,
melindungi perdagangan, atau kepentingan-kepentingan lain. Lihat Ted C. Lewellen, 1995, Dependency and Development:
An Introduction to the Third World, Bergin and Garvey, Westport - Connecticut, London, hal. 23

2
pada zaman itu, kesejahteraan ekonomi suatu negara bisa dicapai dengan jalan
menguasai sebanyak mungkin sumber daya ekonomi

Bab 1

Sejarah Pembangunan Ekonomi

yang tersebar di banyak negara, dan itu baru dapat diperoleh bila negara kaya
ekonomi/sumber daya alam tersebut dijajah. Oleh karena itu, wilayah- wilayah
kaya sumber daya alam, yang sekarang diidentifikasi sebagai negara
berkembang/dunia ketiga, merupakan daerah jajahan dari negara-negara kaya saat
ini, seperti Inggris, Belanda, Rusia, Perancis, Belgia, Portugis, dan Spanyol.
Negara-negara tersebut menguasai hampir seluruh negara di wilayah benua Asia,
Afrika, dan Amerika Latin selama berabad-abad. Indonesia, misalnya, sejak abad
16 mulai dijajah Portugis, yang kemudian diteruskan oleh Belanda dan Jepang.
Hal yang sama dialami oleh negara-negara Afrika, seperti Algeria, Tunisia, dan
Subsahara Afrika; yang menjadi daerah jajahan Perancis. India dijajah oleh Inggris
dan Peru merupakan daerah kolonial (Lewellcn, 1995:19). Dari sejarah itu bisa
pula dipelajari bahwa pembelahan strata ekonomi dunia sekarang tidak lepas dari
struktur politik (kolonialisme) yang terjadi di masa lampau.

Dari proses kolonialisme itulah tanpa disadari telah memunculkan sistem tata
ekonomi dunia yang membelah negara menjadi dua kutub: maju dan terbelakang.
India, Peru, dan Bushmen menjadi negara yang terbelakang, pertama-tama bukan
karena wilayah itu secara ekonomi tidak berkembang. Negara-negara tersebut,
sebelum kolonialisme meluas, setidaknya dapat mencukupi kebutuhan makanan
secara baik kepada peduduknya. Namun, begitu kolonialisme meruyak, negara-
negara jajahan menjadi terkoyak, baik secara ekonomi maupun politik. Sehingga,
bisa disaksikan India menjadi terbelakang setelah dijajah oleh Inggris; Peru
3
mundur setelah dijajah Spanyol; dan Bushmen nyaris bangkrut setelah terintegrasi
dengan perekonomian nasional Afrika Selatan. Dengan begitu, persoalan
keterbelakangan sesungguhnya sebagian bisa dilacak dari praktik kolonialisme
yang sudah terjadi sejak sekian abad lalu tersebut. Secara teknis, prosedurnya
negara-negara jajahan diperas sumber daya ekonominya (raw material) yang dibeli
dengan harga murah, di antaranya karena upah tenaga kerjanya sangat rendah,
untuk kemudian diekspor ke negara penjajah (pemerintah kolonial). Selanjutnya,
bahan-bahan mentah it

4
uEkonomi Kelembagaan

Definisi, Teori, dan Strategi

diolah menjadi barang jadi (finished goods) dengan harga yang tinggi dan. diekspor
kembali ke negara asal (negara jajahan).2
Tabel 1.1: Ciri Khas dan Jenis Kebijakan yang Biasa Diterapkan dalam Merkantilisme

Ciri Khas Jenis Kebijakan

Persepsi statis mengenai Semua kegiatan ekonomi dipusatkan pada


pertumbuhan ekonomi tujuan politis tunggal: untuk memperkuat
negara-kebangsaan yang baru timbul, di bawah
kekuasaan raja

Doktrin state power Pemupukan aset untuk membiayai militer darat


dan mengembangkan teritorial di Eropa

Regulasi kegiatan ekonomi Pengembangan angkatan laut untuk


mengembangkan teritori kolonial di seberang
lautan di luar Eropa

Restriksi dalam perdagangan Regulasi dalam kegiatan pelayaran dan armada


logam mulia maritim

Monopoli dalam perdagangan Pengembangan wilayah kolonial untuk


kepentingan pemerintah metropole

Regulasi dalam pelayaran Monopoli dan regulasi dalam kegiatan


perdagangan, restriksi dalam perdagangan
logam mulia

Pengembangan teritorial wilayah Perijinan untuk melaksanakan profesi dan


kolonial pengembangan keahlian teknis dan ekonomis

Sumber: Kartadjoemena, 1996:18-19 (diolah)

2
Kilasan sejarah menunjukkan bahwa proses industrialisasi juga bergerak berbarengan dengan
terjadinya kolonialisme. Pengembangan industri tekstil di Inggris pada tahun 1780 dan
bisa dilacak dari waktu setengah abad sebelumnya. AS sendiri memuliai industri agak
lebih lambat, yakni pada tahun 1840-an dan 1850-an, namun peisiapannya; Sidab dimuai
sekitar tahun 1790-an. Sedangkan Ru& memulai proses industrialisasi pada tahun 1861,
yang kemudian benar-benar dilakukan secara intensif sejak sebelum tahun 1914. Lihat
WW. Rostow, The Take-Off into Self-sustained Growth. Dalam A.N. Agarwala dan S.P.
Singh, The Economics of Underdevelopment, Oxford University Press, New York, 1971, hal.
155

Bab 1

Sejarah Pembangunan Ekonomi

Proses itu sejak awal berbarengan dengan semangat 'merkantilisme' yang


menjangkiti negara-negara, khususnyâ, Eropa. Merkantilisme sebagai sistem
ekonomi, kurang lebih bisa dimaknai sebagai keinginan untuk mengoleksi tingkat
kesejahteraan ekonomi yang tinggi dengan jalan memperbesar ekspor dan
meminimalisasi impor.3 Untuk itu, segala cara harus ditempuh demi menggapai
kesejahteraan tersebut, bila perlu dengan mempraktikkan kolonialisme (lewat
doktrin state power) dan monopoli dalam perdagangan (lihat Tabel 1.1.). Pada aras
ini, sebagai pola pikir, merkantilisme merupakan suatu sistematika yang menyeluruh
dan mencerminkan dasar intelektual yang dianut pada periode 1500 hingga 1750
(Kartadjoemena, 1996:14). Dalam menggambarkan merkantilisme, ekonom
Perancis, Montchretien, menulis: "We must have money, and if we have none from our
own productions, then we must have some from foreigners' (Lewellen, 1995:21). Para
merkantilis itu umumnya menguasai sektor perdagangan, bisnis, dan kerajinan.
Sedangkan dalam sektor perkebunan, dalam zaman feodalisme, pemilik lahan besar
(land- lords) memeroleh laba yang menggiurkan dari eksploitasi buruh yang bekerja
dengan upah rendah. Dengan deskripsi ini bisa dilukiskan bahwa antara kolo-
nialisme dan merkantilisme merupakan teman seiring untuk memuluskan tujuan
kesejahteraan ekonomi {god, gold, glory). Pendeknya, merkantilisme adalah ideologi
kesejahteraan yang harus direngkuh dan kolonialisme adalah cara untuk
menggapainya.
Setelah semua itu berjalan, barulah dikenal konsep kapitalisme yang merujuk
kepada upaya untuk mengakumulasi modal secara terus-menerus agar diperoleh
profit sebanyak-banyaknya. Konsep dasar kapitalisme adalah pemberian hak milik
individu (private property right) yang seluas-luasnya sehingga mereka bisa melakukan
kegiatan ekonomi (transaksi). Dalam pengertian ini, tentu

4
3
Pengertian lainnya, merkantilisme didefinisikan sebagai keyakinan bahwa kesejahteraan ekonomi
negara dapat dijamin hanya melalui peraturan pemerintah yang berdasarkan nasionalisme. Atau,
definisi lain menyatakan bahwa merkantilisme merupakan penawaran dan permintaan akan hak-hak
monopoli melalui perangkat pemerintahan negara. Lihat Hemando de Soto, Masih Ada Jalan Lain:
Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga, Terjemahan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992,
hal. 264-265

Ekonomi Kelembagaan

Definisi, Teori, dan Strategi

saja peran negara sangat dibatasi dalam kegiatan ekonomi, semuanya dise-
rahkan kepada individu (private). Jika pun negara hadir dalam kegiatan eko-
nomi, fungsinya tidak lebih sebagai agen yang melindungi dan memperkuat
kapitalisme swasta {private capitalism). Tugas negara adalah menciptakan
infrastruktur yang memungkinkan para kapitalis dapat melakukan proses
produksi dan distribusi barang/jasa, menyediakan jasa keamanan untuk
melindungi pasar (market), dan menekan pekerja agar bersedia dibayar
dengan upah murah (Lewellen, 1995:22-23). Hal ini agak berbeda dengan
merkantilisme yang memberi ruang bagi intervensi negara untuk mencapai
tujuan kesejahteraan ekonomi (meskipun untuk pelaku-pelaku ekonominya
sebagian besar sudah dikerjakan oleh private sector), misalnya melalui
praktik perdagangan langsung maupun kolonialisme.
Sistem ekonomi berdasarkan pasar yang memberi porsi amat besar bagi pela-
ku ekonomi swasta (private sector) itulah yang kemudian menjadi tata
ekonomi dunia baru dengan segala keriuhannya. Dalam beberapa aspek,
sistem ekonomi tersebut telah mendonorkan perkembangan yang begitu
cepat, baik dari sisi domestik maupun internasional, khususnya bisa dilihat
dari volume
Tabel 1.2: Relasi Siklus Ekonomi dari Perang di Berbagai Dunia

Spring (expansion) Summer (recession) Autumn Winter (depression)


(plateu)
1784-1800 1800-1816 1816-1835 1835-1844

(Perang 1812) (Masa (Perang Meksiko Amerika)


Perdamaian)

1845-1858 1859-1864 1864-1874 1875-1896

(Perang Sipil Amerika) (Rekonstruksi) (Perang Spanyol \ Amerika)

1896-1907 1907-1920 1920-1929 1929-1949 ,

(Perang Dunia 1) (Roaring 20's) (Perang Dunia II)

1949-1996 1966-1982 1982-2000 2000-?

Perang Vietnam (Tata Dunia Baru) (Perang atas Teror? Atau..?)

Sumber: Union Securities Ltd, tt:2

7
Bab 1

Sejarah Pembangunan Ekonomi

perdagangan internasional dan peningkatan investasi dunia. Proses ini telah


berjalan cukup lama dengan pelbagai masa gelombang naik-turun, yang
kemudian sering dimaknai sebagai siklus ekonomi. Merujuk pada gelombang
siklus jangka panjang Kondratieff (K-wave), yang diperkenalkan oleh
ekonom Rusia -Nickolai Kondratieff- fase ekonomi bisa dibagi dalam empat
siklus berikut: inflasi (expansion), stagflasi (recession), deflasi (plateu), dan
depresi (depression) [Union Securities Ltd, tt:l]. Kebetulan pula, siklus itu
bisa pula disepa- dankan dengan empat musim yang terjadi di negara-negara
bagian utara, yakni spring (expansion), summer (recession), autumn (plateu),
dan winter (depression). Bila siklus ekonomi itu dianalisis sejak abad ke-18,
maka ringkasannya bisa dilihat pada Tabel 1.2. Dari tabel tersebut bisa
dilihat bahwa setiap terjadinya perang selalu diikuti adanya fase resesi (price
peak) dan depresi.
Sungguh pun demikian, siklus tersebut tidak menggoyahkan deskripsi umum
tentang kekuatan kapitalisme yang kian menggurita dan menjadi
penyumbang pertumbuhan ekonomi dunia. Namun, menjelang sejak akhir
dekade 1920- an, ketika Perang Dunia II bermula, keperkasaan kapitalisme
mulai agak goyah akibat kerusakan fisik yang hebat dan goncangan
perekonomian yang kuat (aggregate demand merosot tajam). Pada kondisi
inilah kemudian proyek rehabilitasi ekonomi dilakukan, dengan Amerika
Serikat sebagai pemimpinnya. Instrumen dalam pembangunan (atau tepatnya
rekonstruksi) ini adalah program bantuan besar-besaran dari Amerika Serikat
(AS), yakni Marshal Aid. Program ini memiliki tujuan ganda, untuk
menjalankan ekonomi dunia (menurut sistem Bretton Woods) dan menahan
laju komunisme (Hettne, 2001:82). Di luar itu, program tersebut dirancang
untuk menyokong stabilitas permintaan dunia (aggregate demand). Pada saat
yang sama, AS juga berupaya menjaga stabilitas perekonomian dunia melalui
pembentukan multilateral, seperti IMF (International Monetary Fund),4
World Bank, dan PBB (Perseri-

4
Secara eksplisit disebutkan bahwa IMF diciptakan untuk mengatasi depresi besar (great
depression) setelah Perang Dunia II sebagai wadah untuk memajukan kerjasama moneter,

8
stabilitas finansial, dan pertumbuhan ekonomi di seluruh negara. Lihat The IMF Story, Finance
and Development, September 2004, hal. 14

Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

katan Bangsa-Bangsa); serta membuat kesepakatan Yalta dengan Uni Soviet


(Wallerstein, 2000:251). Dengan pondasi ini, AS berharap mendapat keun-
tungan ekonomi dan penguatan politik sekaligus.
Tampak -sejak awal- gagasan pembangunan yang mulai marak dijalankan
setelah Perang Dunia II itu memiliki dua tujuan penting, khususnya lewat
program Marshal Aid (sering juga disebut dengan istilah Marshai Plan).
Pertama, pembangunan dipakai sebagai alat untuk menyebarkan tata
ekonomi tunggal dunia (dengan pelopor Amerika Serikat), di mana model ini
mendasarkan diri pada mekanisme pasar dan liberalisasi perdagangan. Tata
ekonomi tersebut diharapkan bisa mengintegrasikan setiap negara dalam
sebuah ikatan perekonomian dan menimbulkan efisiensi alokasi sumber daya
pada level internasional. Kedua, pembangunan juga memiliki tujuan politis
untuk menahan perluasan ide dan penerapan komunisme yang dianggap
membahayakan kepentingan Amerika Serikat. Bagi negara-negara penganjur
kapitalisme, komunisme merupakan virus jahat yang tidak saja bertentangan
dengan nilai-nilai kapitalisme, tetapi juga berpotensi mematikan kebebasan
individu, khususnya dalam mengerjakan aktivitas ekonomi dan politik.
Realitas inilah yang pantas dicatat untuk memahami peta pembangunan
dunia yang berlangsung saat ini.
Untungnya, proses rehabilitasi tersebut segera menampakkan hasilnya
ketika perekonomian dunia kembali dalam posisi stabil, setidaknya bila
dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang tercipta. Berbarengan dengan
itu, Amerika Serikat semakin memperkokoh posisi ekonominya ketika
proposal globalisasi ekonomi kemudian disetujui pada tahun 1994 di
Marakesh (Maroko), di mana saat itu WTO (WorldTrade Organization)
diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia, setelah sempit lertatih-
tatih selama puluhan tahun. Dengan ratifikasi tersebut masing-masing
negara menjadi kehilangan otoritas secara penuh untuk mengurusi
ekonomi domestiknya, sebab semuanya telah diatur dalam regulasi
internasional. Tanpa disadari pula, globalisasi sekaligus menyerahkan
perkara-perkara distribusi ekonomi kepada pasar, dengan anggapan
pasar merupakan instrumen yang bisa menyelenggarakan efisiensi
secara penuh. Pencapaian ini telah menandai perubahan mendasar
dalam perekonomian

Bab 1

Sejarah Pembangunan Ekonomi

dunia, di mana pasar menjadi instrumen utama untuk menggerakkan


perekonomian dan negara kembali ke tempatnya semula: mengurusi
pertahanan, mata uang, dan administrasi. Rangkuman sejarah sistem
perekonomian/perdagangan dunia tersebut bisa dilihat pada Tabel 1.3.
Tabel 1.3: Sejarah Sistem Perdagangan Dunia 1500-sekarang

Periode Keterangan

9
1500-1750 Regulasi yang ketat oleh pemerintah
Merkantilisme
Monopoli dalam semua usaha

Pembatasan ketat dalam perdagangan

Hubungan ekonomi yang tegang dengan negara lain

Tujuan ekonomi dipusatkan pada akumulasi emas sebagai tujuan nasional

1815-1914 Perdagangan bebas


Liberalisme
perdagangan (zaman Kebebasan lalu lintas alat pembayaran
keemasan sistem Kebebasan lalu lintas modal
perdagangan dunia)
Kebebasan lalu lintas imigrasi

Pengembangan sendi-sendi yang menunjang perdagangan bebas di bidang


finansial, perbankan, asuransi, pelayaran, dan bursa komoditi

1918-1941 Kontrak kegiatan ekonomi (depresi 1930-an)


Fragmentasi sistem
perdagangan dunia Peningkatan proteksionisme
Restriksi dalam lalu lintas devisa

Restriksi dalam lalu lintas modal

Peningkatan hambatan terhadap imigrasi

Saling relasiasi dalam mengatasi krisis ekonomi (bcftf>ar-thy- neighbor


policv)

1945 - 1994 Periode Perkembangan positif:


paska Perang Dunia
II Upaya mengurasi proteksionisme melalui sistem dan aturan GATT

Upaya mengadakan sistem moneter dan pembayaran internasional yang


lebih teratur dan bebas (IMF)

Upaya mengerahkan dana bagi rekonstruksi pembangunan (Bank Dunia)

Upaya untuk membantu pembangunan negara berkembang melalui


bantuan luar negeri dan bantuan teknis

Perkembangan negatif:

11
Timbulnya persaingan yang menegangkan antara dunia Marxis dan non-
Marxis serta antara Blok Barat dan Blok Timur

Perbedaan kepentingan negara maju dan negara berkembang

Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

Periode Keterangan
1989 - paska Perang Dingin Runtuhnya rejim Marxis di seluruh dunia

;» Meningkatnya persaingan dagang dan ekonomi antara negara maju


dan non-Marxis

Meningkatnya blok regional (yang bisa saling bertentangan atau


saling bekerjasama)

Meningkatnya peranan negara berkembang

Timbulnya negara industri baru

Sumber: Kartfidjoemena, 1996:11-12

Globalisasi: Negara Kaya dan Negara Miskin

Ide globalisasi sesungguhnya merupakan isu lama, yang kemudian


intens dibahas sejak awal abad 20 (kemudian dikenal dengan istilah
Putaran Uruguay (Uruguay Round).1 Gagasan globalisasi ini memiliki
inti untuk memperdalam dan mempercepat interaksi ekonomi

1 Putaran Uruguay merupakan putaran yang kedelapan. Secara resmi putaran tersebut dimulai
September 1986 berdasarkan Punta del Este Ministerial Declaration, Januari 1986. Semula
ditargetkan untuk bisa disepakati pada bulan Desember 1990, tetapi ternyata molor. Lihat Syaam
Maarif, Ketidakadilan Sistem Perdagangan Internasional, Prisma,No. 7 Tahun XXII, 1993 hal.21
12
antarnegara, yang salah satunya bisa dicapai bila seluruh negara
menghilangkan hambatan-hambatan (barriers) perdagangan
internasional, seperti kebijakan kuota, bea impor, maupun proteksi
pasar domestik. Tentu saja aspirasi globalisasi ml sepaket dengan ide
kaum neoklasik yang menghendaki kegiatan ekonomi berjalan lewat
mekanisme pasar, karena hanya dengan model seperti itulah efisiensi
alokasi ekonomi internasional akan terjadi. Jadi, mudah dipahami
apabila ide globalisasi ini sejak awal banyak disokong oleh negara-
negara maju (kapitalis) karena secara ekonomi sangat menguntungkan
mereka, walaupun pada akhirnya hampir seluruh negara (termasuk
negara berkembang) ikut menyetujuinya.6

Bab 1

Sejarah Pembangunan Ekonomi

Memaknai globalisasi sendiri sesungguhnya bukan perkara yang


mudah, karena banyaknya dimensi yang harus ditelisik. Bahkan sampai
hari ini tidak juga ditemukan definisi universal yang disepakati untuk
memetakan globalisasi, Namun dari beragam perspektif tersebut,
setidaknya terdapat lima karakteristik penting dari globalisasi (Singh,
13
1998:3-4), yakni: (i) pertumbuhan transaksi keuangan internasional
yang cepat; (ii) pertumbuhan perdagangan yang cepat, terutama di
antara perusahaan-perusahaan transnasional; (iii) gelombang investasi
asing langsung (foreign direct investment), yang mendapat dukungan
luas dari kalangan perusahaan transnasional; (iv) timbulnya pasar
global; dan (v) penyebaran teknologi dan berbagai pemikiran sebagai
akibat dari ekspansi sistem transportasi dan komunikasi yang cepat dan
meliputi seluruh dunia. Dengan ciri-ciri tersebut, globlisasi dengan
sendirinya merupakan proses "pemadatan" (ekonomi) dunia, atau
dengan kata lain merupakan proses integrasi ekonomi dunia.
Tetapi pembukaan pasar yang begitu luas di setiap negara sudah barang
tentu menimbulkan beberapa konsekuensi ekonomi yang serius, bukan
saja sekadar efisiensi alokasi faktor produksi seperti yang diniati oleh
globalisasi. Persoalan paling serius adalah munculnya pihak yang kalah
(losers) akibat persaingan bebas dengan negara-negara yang telah
mapan ekonominya. Hal ini bisa dimaklumi mengingat dalam proses
globalisasi ini berlaku hukum "zero sum gfime", di mana negara yang
perekonomiannya tidak efisien bakal mati dilindas oleh negara yang
sudah menjalankan proses produksi secara matang (mature). Memang
dalam aturan GATT terdapat beberapa klausul yang masih
membolehkan negara-negara tertentu melakukan proteksi produk dalam
negeri, misalnya dengan kebijakan tarif atau bea masuk terhadap
barang impor;

14
Terdapat tiga prinsip utama yang menjadi dasar GATT. Pertama, prinsip most-favoured- nation atau
nondiskriminasi. Secara ringkas, seluruh perdagangan internasional antaranggota GATT harus
dilakukan secara nondiskriminatif. Kedua, prinsip fair competition (persaingan yang adil). Ketiga,
prinsip tariff binding. Suatu negara harus menjalankan ketentuan aturan yang sudah termuat dalam
daftar binding, misalnya komitmen bea impor. Lihat H.S. Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem,
Forum, dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, UI Press, 1996, hal. 109-110Ekonomi
Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

tetapi tetap saja previllege ini masih kurang memadai untuk membentengi
perekonomian domestik karena ketimpangan ekonomi antarnegara tersebut
berlangsung secara massif dan bersifat struktural.
Fenomena itulah yang kemungkinan besar sudah dan tengah berlangsung ketika
proses globalisasi mulai diberlakukan setahap demi setahap. Bahkan, sebelum
proses globalisasi itu berlangsung, sudah muncul realitas semakin mundurnya
keadaan ekonomi negara-negara berkembang akibat tertimpa krisis ekonomi yang
cukup parah, seperti yang dialami oleh sebagian negara Asia Tenggara dan
Amerika Latin. Sedangkan negara-negara di belahan Afrika, seperti telah
dimaklumi bersama, sampai detik ini cuaca ekonominya masih redup karena
ketersediaan modal alam dan uang yang sangat tipis. Sebagian besar penduduk di
Afrika masih hidup terbelakang dan terjerat kemiskinan, sehingga terpaut jauh
jaraknya dalam hal kesiapan negara itu untuk melakukan "persaingan ekonomi"
dengan negara-negara maju lainnya. Seperti yang terlihat dalam Tabel 1.4, di
wilayah Sub Sahara Afrika hampir separuh penduduknya hidup dengan
pendapatan di bawah US$ 1 per hari, tingkat buta huruf penduduk dewasa
mencapai 39%, angka usia hidup saat lahir cuma 47
Tabel t .4: Indikator Sosial Beberapa Negara Berpendapatan Rendah dan Menengah

Wilayah Penduduk dg Tingkat Tingkat usia Tingkat ke-


pendapatan < buta huruf* hidup pada matian bayi
US$1/hari* saat lahir** (per 1000)
Asia Timur dan Pasifik 14,7 15 69 35

Eropa Timur dan Asia Tengah 3,7 3 69 21

Amerika Latin & Karibia 12,1 12 70 30

Timur Tengah & Afrika Utara 2,1 36 68 44

Asia Selatan 40,0 46 63 7,4

Sub Sahara Afrika 48,1 39 47 92

Seluruh Wilayah 23,4 25 64 59

15
*dalam persen ** dalam tahun

Sumber: IMF, Finance and Development, Desember 2001:11

Bab 1

Sejarah Pembangunan Ekonomi

tahun, dan tingkat kematian bayi mencapai 92 jiwa tiap 1000 kelahiran. Seba-
liknya, negara-negara maju terus mengakumulasi kekayaan dan kesejahteraan
ekonomi karena tingkat kompetisi barang dan jasanya yang sangat tinggi bila
berhadapan dengan negara berkembang.
Fakta lainnya, menurut IMF dan Bank Dunia (2001; dalam Istiqomah, 2005:4- 5),
nilai perdagangan dunia tumbuh rata-rata 10% selama periode 1970-1999,
melampaui pertumbuhan output. Dalam periode yang sama, ekspor negara
berkembang tumbuh 12% dan pangsa pasarnya naik dari 1/4 menjadi 1/3 dari total
ekspor dunia. Selain itu, pangsa manufaktur dalam ekspor negara berkembang
juga meningkat tajam, dari 15% pada tahun 1965 menjadi 80% pada tahun 1988.
Namun demikian, menurut kedua badan dunia itu, kemajuan perdagangan dunia
tidak merata. Kemajuan tersebut sangat mengesankan di sejumlah negara
berkembang di Asia, dan pada tataran yang lebih sedikit, di Amerika Latin.
Negara-negara ini berhasil karena mereka berpartisipasi dalam perdagangan
dunia, yang membantu menarik investasi asing, misalnya Cina dan India, dan juga
negara berpenghasilan tinggi di Asia, seperti Korea dan Singapura, yang sampai
tahun 1970-an masih miskin. Sayangnya, pangsa negara-negara miskin dalam
perdagangan dunia menurun drastis, yang dialami sekitar 75 negara berkembang
dan negara-negara eks Blok Timur, yang disebabkan masalah struktural, kebijakan
dan institusi yang lemah, dan proteksi. Selama periode 1977-1999, LDC (least
developed countries) mengalami tingkat pertumbuhan perdagangan yang jauh
lebih rendah daripada perdagangan dunia (5,7% vs 10%) dan pangsanya dalam
perdagangan global turun dari 1,9% menjadi 0,5%. Negara-negara Afrika Sub-
Sahara berpenampilan sedikit lebih baik, dengan tingkat pertumbuhan 7,9% tapi
pangsanya juga turun dari 3,7% menjadi 1,4%.
Data komparatif lain menunjukkan, bahwa pada dekade 1990-an perdagangan
dunia tumbuh rata-rata tiap tahun sebesar 6,8%; lebih dari dua kali lipat »

16
pertumbuhan output dunia tahunan yang cuma 3,2%. Untuk negara berkemih
bang secara keseluruhan, selama dekade 1990-an perdagangan meningkat ;. 8,3%
tiap tahun, sementara pertumbuhan GDP riil tahunan meningkat 5,5%. Sungguh
pun begitu, keuntungan dari globalisasi tidaklah sama untuk semua
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

negara atau wilayah. Negara-negara Afrika justru mendapat bagian yang terus
menurun selama dekade terakhir ini. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2000 wilayah
Sub Sahara Afrika ini mendapatkan penerimaan sebanyak 69 miliar dolar dari
ekspor nonmigas. Padahal jika wilayah ini bisa mempertahankan pangsa pasar
ekspor (market share export) seperti halnya pada dekade 1980-an, maka
sebenarnya pada tahun 2000 penerimaan ekpor nonmigas tersebut harusnya
mencapai 161 miliar dolar (lebih dua kali lipat dari kenyataan). Jadi, itulah nilai
pendapatan yang hilang dari wilayah Afrika akibat globalisasi (Gondwe, 2001:31)
Tabel 1.5: Distribusi Pendapatan Dunia, 1989

Proporsi Distribusi (%)


20% terkaya 82,7

20% kuantil ke-2 11,7

20% kuantil ke-3 2.3

20% kuati I ke-4 1,9

20% termiskin 1,4

Sumber: UNDP, 1992; dalam Wade, 2001:37

17
Bahkan, secara lebih detail lagi, terlihat data yang lebih mengerikan. Jika negara-
negara di dunia ini dibagi secara proporsional dalam lima kategori (dari mulai
negara yang termiskin sampai yang terkaya), maka 20% negara j terkaya di dunia
menguasai 82,7% dari distribusi pendapatan (kemakmuran) dunia. Sedangkan
20% negara yang masuk dalam kuantil kedua terkaya di dunia memeroleh bagian
11,7% dari pendapatan dunia. Sisanya, masing- masing kuantil hanya
mendapatkan kurang dari 3% pendapatan dunia (Tabel 1.5). Data tersebut secara
eksplisit menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan antarnegara di dunia
sudah sedemikian parah, yang oleh sebagian ekonom dianggap merupakan buah
dari sistem tata relasi ekonomi dunia yang tidak adil. Meskipun data tersebut
hanya memotret wajah perekonomianBab 1
Sejarah Pembangunan Ekonomi

dunia sekitar 15 tahun yang lalu, namun bisa dipastikan tidak ada perubahan
yang mencolok dalam tahun-tahun terakhir ini. Bahkan, jika pun ada perubahan
tersebut, mungkin arahnya adalah semakin timpang. Oleh karena itu, globalisasi
pada titik ini lebih banyak dipahami sebagai upaya negara maju untuk
melanggengkan kemakmuran ekonomi yang sudah mereka nikmati selama
beberapa abad terakhir ini.
Melihat fakta yang miris tersebut membuat munculnya fenomena lain yang
kelihatannya berbeda secara diametral dengan proses globalisasi, yakni men-
jamurnya blok-blok perdagangan yang esensinya adalah melindungi pereko-
nomian domestik/regional. Blok-blok perdagangan semacam NAFTA di Amerika
Utara, AFTA di Asia Tenggara, APEC di Asia Pasifik, dan EEC di Eropa;
merupakan "jaring pengaman" (security net) bagi negara-negara anggota untuk
menahan laju penetrasi negara asing (maju) ke pasar ekonomi domestik ataupun
regional. Dari sini bisa dilihat bahwa sesungguhnya keberadaan blok-blok
perdagangan tersebut merupakan antitesis dari globalisasi, di mana beberapa
tujuan dari blok-blok perdagangan tersebut secara jelas melanggar atau
meniadakan aturan yang tertuang dalam prinsip globalisasi (GATT). Sulit untuk
diraba bagaimana masa depan dari blok perdagangan ini, apakah ia akan tetap
eksis atau akan segera pamit setelah globalisasi mulai dijalankan secara penuh
(Yustika, 2002:6).
Sebelum semua itu ketahuan akhirnya, ada beberapa kemungkinan yang bisa
dideteksi dari munculnya blok-blok perdagangan tersebut. Pertama, sangat boleh
jadi blok perdagangan merupakan instrumen yang dipakai sebagai batu loncatan
(step stone) untuk menapak pada proses globalisasi (Thurow, 1996:120-121).

18
Bagi banyak negara (berkembang), proses globalisasi merupakan lompatan yang
terlampau jauh (two steps forward), padahal negara- negara ini tidak memiliki
infrastruktur persaingan ekonomi yang memadai. Negara-negara ini akan
mengalami keterkejutan yang sangat dalam apabila langsung dihadapkan pada
"pertempuran bebas" dengan negara-negara maju, padahal sejatinya level
perekonomiannya masih jauh tertingal. Dengan adanya blok perdagangan ini
diharapkan diperoleh dua manfaat sekaligus, yakni mencari pengalaman
melakukan interaksi ekonomi secara terbatas dengan negara-

Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

negara tertentu dan mengerjakan langkah mundur (one step backward) dari
persaingan ekonomi yang lebih luas. Sungguh pun begitu, fenomena blok
perdagangan ini bukan cuma dibutuhkan oleh negara yang ekonominya belum
mapan, tetapi negara maju pun juga terlibat di dalamnya; seperti Jepang di
AFTA, Amerika Serikat di AFTA dan NAFTA, dan Jerman di EEC. Bagi negara-
negara maju, partisipasi dalam blok perdagangan lebih ditekankan untuk
mengidentifikasi dan menjajaki negara mitra dagang (ekonomi) yang paling
menguntungkan dalam masa-masa mendatang.

19
Kedua, dalam perkembangannya nanti blok perdagangan akan digunakan
sebagai "induk" bagi negara-negara tertentu yang kalah dari kompetisi glo-
bal. Skenario ini mudah ditangkap mengingat setiap negara selalu butuh
tempat "bergantung" apabila perekonomiannya hendak roboh. Jika dulu
tempat bergantung itu adalah kebijakan proteksi pemerintah (govemment
protec- tion policies), namun karena model tersebut tidak diabsahkan lagi
oleh prinsip globalisasi, maka tempat berpegangan itu dipindahkan dengan
jalan mengge- ! layut pada lembaga induk, yakni blok perdagangan. Proses
kerjasama antar- negara dalam blok perdagangan mungkin bisa mengambil
dalam banyak wujud, namun yang paling mungkin prosedur itu dikerjakan
dengan cara melakukan transfer faktor produksi secara lebih efektif
antaranggota agar daya saing produknya menjadi meningkat. Jalan ini paling
rasional sebab di samping tidak menyalahi ketentuan GATT/WTO, juga
sekaligus memenuhi tujuan efisiensi alokasi faktor produksi tanpa harus
saling merugikan.Bab 1
Sejarah Pembangunan Ekonomi

Pandangan Klasik dan Ketergantungan


Menyimak peta negara-negara di dunia yang terbagi dalam kelompok negara
kaya dan negara terbelakang,1 para ekonom terbelah dua kutub dalam
melihat penyebab disparitas kesejahteraan tersebut (Jaffee, 1998:176-177).
Ekonom- ekonom aliran ketergantungan (dependency) menganggap sistem
tata ekonomi dunia sebagai akar penyebab keterbelakangan negara-negara,
khususnya, di wilayah selatan. Rinciannya, sistem perdagangan internasional
menempatkan negara bekembang hanya mampu mengekspor produk bahan
baku (raw material) ke negara maju, sebaliknya negara maju mengekspor
komoditas olahan (final goods) yang bernilai tinggi ke negara berkembang.
Akibatnya, kondisi neraca pembayaran (balance ofpayment) negara
berkembang selalu defisit. Belum lagi ditambah dengan operasi perusahaan-
perusahaan multinasional (multinational corporations/MNC's) yang hanya

17 Makna keterbelakangan (underdevelopment) sebenarnya bisa dibedakan dalam tiga kategori. Pertama,
keterbelakangan dipahami sebagai kegagalan untuk menggunakan seluruh potensi ekonomi melalui
teknologi yang ada. Kedua, keterbelakangan dimengerti sebagai ketertinggalan level dan karakter dari
kinerja ekonomi dibandingkan dengan negara-negara lain. Ketiga, keterbelakangan dimaknai sebagai
kegagalan untuk menyediakan standar hidup yang layak bagi sebagian besar penduduk sehingga
mengakibatkan kesengsaraan dan kekurangan material. Lihat Simon Kuznets, Underdeveloped Countries
and the Pre-Industrial Phase in the Advanced Countries. Dalam A.N. Agarwala dan S.I! Singh, The
Economics of Underdevelopment, Oxford University Press, New York, 1971, hal. 135-137.
menjadikan negara bcrkem- W bang sebagai tempat mencari bahan baku,
menyerap tenaga kerja murali, ' dan menjual produk; sementara profitnya
dibawa ke negara asal (repatriasi), r' Di sisi lain, ekonom-ekonom dari alian
klasik/neoklasik menganggap analisis ^ tersebut salah alamat. Menurut
mereka, di antaranya Warren dan Amsdcin, yang menjadi penyebab
keterbelakangan negara-negara berkembang adalah perilaku pemimpin
negara tersebut yang salah dalam memproduksi kebijakan ekonomi,
misalnya
kasus monopoli, dan hubungan antarpelaku ekonomi
domestik (local class relationship) yang asimetris.
Pandangan mereka, justru kehadiran pihak asing
(misalnya melalui MNC's) akan membantu
memperbaiki iklim kompetisi di negara
berkembang.Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

Tabel 1.6: Kebijakan Washington Consensus

Elemen Kebijakan Washington Consensus


Disiplin fiskal
Pengeluaran publik untuk kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur
Reformasi pajak
Nilai tukar yang kompetitif
Jaminan hak kepemilikan
Deregulasi
Liberalisasi perdagangan
Privatisasi
Pembukaan akses terhadap PMA
Liberalisasi sektor keuangan

Sumber: Williamson, dalam Rodrik, 1996:17

Secara lebih spesifik aliran ekonomi klasik percaya bahwa perekonomian


dunia akan maju bila semua rintangan bagi terjadinya perdagangan dunia
dihapus. Setiap regulasi yang menghambat aliran barang dan jasa (termasuk
keuangan) dipastikan akan menghambat efisiensi dalam alokasi sumber daya
ekonomi, khususnya pada level internasional. Sedangkan pada level
domestik, paham klasik menekankan kepada pentingnya mekanisme pasar
sebagai instrumen untuk menggerakkan perekonomian. Pasar dianggap
sebagai institusi yang bisa mengalokasikan sumber daya ekonomi secara
efisien. Kon-1 sekuensinya, intervensi negara harus benar-benar dibatasi
dalam kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan yang disarankan oleh
ekonom-ekonom i klasik/neoklasik menekankan kepada pembuatan
kebijakan finansial dan! makro ekonomi yang hati-hati (prudent), nilai tukar
mata uang yang kompetitif, i liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan,
privatisasi, dan deregulasi (Tabel 1.6). Kebijakan ini kemudian lebih dikenal
dengan istilah 'Washington Con- sensus' (Rodrik, 1996:17). Kebijakan-
kebijakan itu secara implisit mengajak i pemerintah/negara "menahan diri"

22
untuk tidak turut campur langsung dalam I kegiatan ekonomi, melainkan
justru lebih memfokuskan kepada kebijakan ? moneter, menjamin hak
kepemilikan (property rights), dan menyiapkan infrastruktur pendidikan dasar.

Bab 1

Sejarah Pembangunan Ekonomi

Kurang lebih dengan cara pandang itulah aliran klasik/neoklasik percaya


bahwa negara-negara berkembang dalam jangka panjang akan segera meng-
akumulasi kesejahteraan ekonomi, seperti yang juga telah dinikmati oleh
negara-negara maju. Pada level domestik, kebijakan deregulasi dan
privatisasi akan membuat iklim kompetisi ekonomi di negara berkembang
menjadi sehat sehingga memperkuat daya saing produk/jasa yang dihasilkan.
Sebaliknya, tanpa deregulasi dan privatisasi iklim kompetisi di negara
berkembang akan f' terus terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan,
yakni terpeliharanya |>iklim monopoli yang merusak efisiensi
perekonomian. Sementara itu, pada ^ level internasional, kebijakan
liberalisasi keuangan dan niai tukar yang kompetitif akan memfasilitasi
pelaku ekonomi di negara berkembang untuk mc- meroleh sumber
pembiayaan investasi, sekaligus membuka pintu untuk melakukan kegiatan
perdagangan internasional (ekspor-impor). Jika skenario ini berjalan, maka
perekonomian negara-negara berkembang akan terus bergerak ke arah
kemajuan.
Sungguh pun begitu, perspektif klasik di atas dibantah oleh aliran
dependensia, yang menganggap instrumen ULN (Utang Luar Negeri) dan
PMA (Penanaman Modal Asing) sebagai biang dari kemerosotan
perekonomian negara-negara berkembang. Negara-negara maju, melalui
kerjasama bilateral maupun lewat lembaga multilateral (seperti IMF dan
World Bank), mengucurkan dana (utang) dalam jumlah yang cukup besar ke
negara berkembang dengan kedok “bantuan”. Sementara itu, negara
berkembang sendiri menerima utang tersebut dengan senang hati karena
utang itu memang memiliki tingkat bunga rendah dan masa pengembalian
(gestation period) yang lama. Dibandingkan dengan mendapatkan dana dari
lembaga swasta (perbankan) asing maupun domestik, jelas ULN mempunyai
keunggulan dalam aspek itu. Langsung saja ULN menjadi instrumen yang
populer dan diterima sebagai jalan alternatif untuk mengatasi persoalan
"saving-investment gap" di negara berkembang (Nafziger, 1990:351).
Persisnya fenomena ini sudah mulai berlangsung sejak Perang Dunia II,
yang kemudian lebih intensif lagi terjadi sejak dekade 1960- an dengan AS
sebagai inisiator terpentingnya.

Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

Namun, banyak aspek yang dilupakan oleh pemerintah negara berkembang


dalam mencermati instrumen ULN ini. Setidaknya terdapat beberapa alasan
kritis yang menyebabkan ULN memiliki implikasi yang sangat serius
terhadap negara berkembang. Pertama, tidak seperti yang dipahami oleh
banyak kalangan, ULN tidak datang dalam wujud uang melainkan sebagian
besar justru dalam bentuk barang atau teknologi. Dengan kedaan seperti itu,
jelas penggunakaan ULN menjadi tidak fleksibel karena produk atau
teknologi tersebut hanya bisa dipakai untuk program-program tertentu saja.
Kedua, karena yang datang dalam bentuk barang atau teknologi,
kemungkinannya besar barang atau teknologi itu tidak lagi sesuai dengan
program yang digunakan, baik menyangkut kesesuaian maupun kualitas dari
teknologi yang bersangkutan. Ketiga, sudah menjadi persyaratan bahwa
setiap program yang disetujui selalu disertai dengan konsultan asing dengan
bayaran yang sangat mahal, padahal uang tersebut diambilkan dari ULN itu
sendiri. Keempat, hampir pasti di balik kesepakatan pemberian ULN
dibarengi dengan kesanggupan dari negara berkembang untuk berbagi
kebijakan (ekonomi) sesuai dengan kepentingan lembaga donor (dan negara
maju). Kebijakan tersebut dalam banyak hal berkaitan dengan structural
adjusment program yang dirintis oleh lembaga multilateral agar negara
berkembang perekonomiannya lebih terbuka dan ramah terhadap pasar
(Yustika, 2000:132-134).8
Dengan segala kelemahan ULN tersebut, terjadilah peristiwa-peristiwa
memilukan yang bertebaran di negara berkembang, khususnya di Asia,
Afrika, dan Amerika Latin. Tercatat pada tahun 1982 perekonomian Meksiko
default gara-gara lilitan ULN yang menggunung (Corbridge, 1993:42),
demikian pula

24
Studi yang dilakukan oleh Clements et. al. menunjukkan bahwa negara-negara penerima utang
luar negeri {foreign aid), khususnya dalam bentuk hibah (gratit), justru penerimaan negaranya
(govemment revenue) menurun. Kondisi ini semakin mengenaskan ketika terjadi di negara yang
tingkat korupsinya tinggi. Kesimpulan dari riset ini amat jelas: utang/ hibah tidak digunakan
untuk menggerakkan perekonomian (sehingga meningkatkan penerimaan negara), tetapi malah
dikorupsi habis-habisan oleh penguasa di negara- negara miskin. Lihat Benedict Clements
et.al., Foreign Aid: Grants versus Loans, Vinance' and Development, Vol. 41, No. 3,2004, hal.
46-49
Bab 1

Sejarah Pembangunan Ekonomi

dengan yang dialami Argentina pada akhir tahun 2001. Belum lagi bila
terjadi praktik 'odious debt’, atau utang najis. Ungkapan ini untuk
menerangkan praktik penggelapan ULN yang dilakukan oleh para penguasa
negara-negara debitor. Laporan yang ditulis oleh Kremer dan Jayachandran
(2002:36) menyebutkan beberapa penguasa negara lalim yang menyedot
utang luar negeri untuk kepentingan pribadi. Misalnya, Anastasio Somoza
(Nikaragua) menilap 100-500 juta, Ferdinand Marcos (Filipina) menggasak
20 miliar, Jean-Claude Duvalier (Haiti) menggondol 900 juta, Mobutu Sese
Seko (Kongo) menyedot 4 miliar, dan Sani Abacha (Nigeria) mengantongi 2
miliar (semuanya dalam dolar AS. Sayang, untuk Indonesia, data itu tidak
terungkap). Tidak bisa disangkal bila utang yang diberikan kepada negara-
negara tersebut tergolong sebagai 'utang najis', yang menyebabkan negara-
negara berkembang kian melarat dan menenggelamkan rakyatnya dalam
kubang kemiskinan.
Mengenai operasi PMA (lewatMNCs/multinational corporations) dalam
praktiknya tidak jauh berbeda dari ULN, juga merupakan alat negara maju
untuk mencengkeram perekonomian negara berkembang. Dalam kajian
teoritik, MNCs merupakan organisasi yang memfasilitasi pergerakan modal
internasional. Keputusan dari PMA sendiri mendeskripsikan sebuah
imperialisme, di mana pada waktu yang bersamaan keputusannya tidak saja
merefleksikan kekuatan eksternal tetapi juga bentuk organisasinya itu sendiri
sudah merupakan konsekuensi dari imperialisme. PMA ini mengontrol
seluruh produksi lintas negara dan sekaligus mengatasi hambatan-hambatan
politik. Keputusan- keputusan strategis biasanya diambil di perusahaan
induk (center), sedangkan kebijakan-kebijakan taktis cukup dibuat di
perusahaan cabang di negara berkembang (Evans, 1979:34-35). Oleh karena
alasan inilah, biasanya PMA sangat berkuasa sehingga secara tidak langsung
mengikis kedaulatan/otonomi sebuah negara untuk mengaturnya. Jika
sebuah negara (berkembang) berusaha membatasi operasi PMA, maka
mereka langsung mengancam akan memindahkan usahanya ke negara lain
yang lebih longgar aturannya. Dalam posisi seperti Ini, biasanya pemerintah
negara berkembang tidak berkutik dan membatalkan mengeluarkan
kebijakan restriktif tersebut.

26
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dart Strategi

Pada dekade 1960-an dan 1970-an banyak negara berkembang yang mulai
melirik foreign direct investment (FDI/PMA) sebagai alternatif penyelesaian
kekurangan investasi domestik. Pada periode ini banyak keuntungan yang
bisa diraup oleh PMA oleh karena kelemahan sistem hukum dan politik di
negara berkembang, bahkan seringkah banyak dari PMA tersebut yang
mendapatkan kedudukan monopoli. Semenjak dekade 1980-an peran PMA
tersebut semakin meningkat di negara berkembang hingga menjadi salah
satu. pilar pertumbuhan ekonomi. Antara tahun 1986 sampai 1997 nilai PMA
di negara berkembang meningkat dari semula 10 miliar dolar menjadi 163
miliar 1 dolar. Nilai PMA yang masuk ke negara berkembang tersebut
ekuivalen dengan 45% dari total bersih aliran sumber dana luar negeri pada
tahun 1997, dibandingkan 16% pada tahun 1986 (Perkins, et. al, 2000:523).
Namun pada tahun 1998 nilai PMA mengalami penurunan akibat krisis
ekonomi yang melanda beberapa negara, seperti Korea Selatan, Malaysia,
Thailand, dan Indonesia.

Operasi PMA tersebut tentu saja dalam penyelenggaraannya memerlukan


organisasi perusahaan yang besar, di mana perusahaan-perusahaan itu me-
nyebar produksinya di banyak negara (berkembang). Oleh karena karakter-
istik semacam itulah, perusahaan besar tersebut sering disebut dengan istilah
MNCs (multinational corporations) atau juga TNCs (transnational corpora-
tions). Bahkan, karena terlalu besarnya MNCs tersebut banyak di antaranya
yang memiliki aset melebihi PDB sebuah negara (berkembang). Misalnya
saja General Motors dari Amerika Serikat yang menempati urutan pertama
MNCs : terbesar, pada tahun 1997 berhasil mengakumulasi asetnya senilai
594 miliar dolar AS. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan PDB-nya
Argentina atau Polandia. Atau ambil contoh lain seperti Nothrop Grumman
(AS) yang menempati urutan nomor 500 MNCs dunia, pada tahun 1997
mempunyai aset setara dengan PDB-nya Algeria, bahkan melebihi
pendapatan nasionalnya Kenya dan Kongo (Perkins, et. al., 2000:523). Dari
deskripsi tersebut bisa disimpulkan betapa besarnya kekuatan MNCs untuk
mempengaruhi pereko- nomian negara berkembang akibat kepemilikan aset
ekonomi yang melebihi pendapatan nasional suatu negara.

27
1

Bab 1

Sejarah Pembangunan Ekonomi

Perspektif Alternatif: Kelembagaan yang Rapuh

28
Banyak ekonom yang membahas persoalan tersebut dengan menempatkan
beberapa faktor sebagai penjelas mengapa sebuah negara bisa memeroleh
kemakmuran ekonomi, sementara negara lainnya tetap dalam kondisi di
bawah tingkat kesejahteraan rata-rata di luar pendekatan klasik/neoklasik dan
ketergantungan. Setidaknya Yeager (1999:5-8) mencatat empat hipotesis
yang diperkirakan banyak ahli menjadi sumber kemajuan ekonomi sebuah
negara, yang sekaligus disanggahnya melalui fakta-fakta penunjang.
Pertama, modal sumber daya manusia (human capital) dianggap merupakan
stok kekayaan pengetahuan yang sangat berharga sehingga setiap negara
yang memilikinya dapat memajukan kegiatan ekonomi melalui pencapaian
tenaga kerja yang produktif. Keyakinan ini didukung oleh kenyataan bahwa
negara-negara kaya biasa tenaga kerjanya memiliki tingkat masuk sekolah
(enrollment rate) lebih dari 90 persen. Namun hipotesis ini segera gugur
ketika dihadapkan pada tiga fakta berikut: (i) terdapat beberapa negara,
misalnya Polandia, Rusia, dan Korea Selatan, yang rakyatnya memiliki
tingkat pendidikan sangat baik, tetapi pendapatan per kapitanya jauh
dibelakang Jepang, Jerman, Kanada, dan Perancis; (ii) berkaitan dengan
pernyataan kausalitas: apakah pendidikan yang menyebabkan pertumbuhan
ekonomi atau justru sebaliknya, pertumbuhan ekonomi mendorong perbaikan
tingkat pendidikan. Setidaknya pada tahun 1970-an banyak negara di Sub
Sahara Afrika yang meningkatkan pengeluaran pada sektor pendidikan
(budget spending) tetapi tidak menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan per kapitanya malah menurun (Clague, et. al, 1997:82); dan (iii)
kasus imigran dari Haiti dan Jerman yang pindah ke Amerika Serikat
menunjukkan ketidakselarasan antara tingkat pendidikan dan pendapatan per
kapita. Imigran dari Haiti memeroleh pendapatan separuh dari imigran
Jerman (US$ 10,900 berbanding US$ 21,900 per tahun), sehingga
diasumsikan pendidikan orang Jerman dua kali lebih baik dari orang Haiti.
Tetapi faktanya, pendapatan per kapita Haiti sendiri hanya sepersepuluh dari
pendapatan per kapita Jerman.Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

Kedua, sumber daya alam (natural resources) juga dapat dipandang sebagai
sumber pertumbuhan ekonomi bagi sebuah negara. Argumentasinya, sumber
daya alam bisa mempermudah bagi sebuah negara untuk menumbuhkan eko
nominya dengan biaya input yang lebih rendah. AS merupakan contoh negara
yang kaya dengan sumber daya alam (mineral, lahan, dan kayu) sekaligus
makmur ekonominya. Namun anggapan ini dengan mudah bisa dibantah
karena banyak negara, seperti Sigapura dan Jepang, tidak memiliki kekayaan
SDA tetapi pertumbuhan ekonominya sangat tinggi. Dilain pihak, justru
banyak negara yang memiliki kelimpahan SDA mempunyai kinerja ekonomi
yang buruk. Dalam literatur ekonomi hal tersebut dikenal dengan istilah
"Dutch Disease", di mana pada dekade 1960-an Belanda memeroleh tingkat

29
kesejahteraan ekonomi akibat melimpahnya SDA yang mereka miliki. Tetapi
sejak dekade 1970-an ekonomi negara tersebut ambruk setelah terjadi
kenaikan angka inflasi, penurunan ekspor sektor manufaktur, pertumbuhan
eko nomi yang menurun, dan peningkatan pengangguran (Nafziger,
1990:171).
Ketiga, setelah dua faktor di atas gugur, ditengarai pertumbuhan ekonomi
lebih disebabkan oleh tingkat kepadatan penduduk. Suatu negara yang memi-
liki tingkat kepadatan penduduk rendah (low population density) dianggap
fakan memiliki peluang untuk bisa mensejahtarakan rakyatnya. Alasannya,
Japabila kepadatan penduduk sangat tinggi, maka kegiatan ekonomi
penduduk hanya akan berada pada level subsistensi karena rendahnya rasio
penduduk dan lahan (man-land ratio). Negara-negara berkembang, seperti
Indonesia, juga dicirikan oleh penguasaan lahan yang rendah akibat jumlah
penduduk yang tinggi. Hal ini dengan mudah dijumpai pada pelaku ekonomi
di sektor pertanian (baca: petani), di mana setiap kepala rumah tangga hanya
memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar (khususnya di Pulau Jawa). Akibatnya,
kegiatan pertanian yang dilakukan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
sendiri (subsisten), bukan untuk tujuan komersial. Namun, kembali fakta ini
ter-) bantah karena negara-negara lain dengan tingkat kepadatan penduduk
yang - cukup tinggi, seperti Jepang dan Hongkong, tetap mempunyai tingkat
pendapatan per kapita yang tinggi. Sebaliknya, negara seperti Brazil, Cina,
dan Rusia, yang tingkat kepadatan penduduknya relatif rendah, justru penda-
patan per kapitanya jauh lebih kecil dibandingkan Swiss atau Jerman.

Bab 1

Sejarah Pembangunan Ekonomi

Terakhir, pandangan mutakhir menganggap teknologi merupakan faktor


kunci yang menjadi penjelas mengapa Suatu negara bisa mengakumulasi
kekayaan dan pertumbuhan ekonomi. Teknologi akan membawa suatu negara
selalu bisa memperbarui kegiatan ekonomi secara lebih efisien dan membuat
pekerjaan menjadi lebih produktif, Dalam pengertian yang seluas-luasnya,
kemampuan teknologi merupakan faktor yang sangat penting dalam
menentukan kinerja ekspor hasil-hasil industri suatu negara (Wie, 1997:4).
Tetapi pemikiran ini segera menimbulkan keraguan, bukankah teknologi juga
bisa diserap oleh negara-negara berkembang dengan mudah dan bebas? Bu-
kankah teknologi yang baru saja ditemukan di negara pembuatnya (maju)
pada saat yang slima seringkah juga sudah diterapkan di negara berkembang?
Bukankah sudah sekian dekade ini negara berkembang menghamburkan dana

30
pembangunan hanya untuk mentransfer teknologi dari negara maju?
Pertanyaan-pertanyaan ini segera saja membuat sinyalemen bahwa teknologi
merupakan sumber keunggulan bagi pertumbuhan ekonomi menjadi
ijiienguap.9 Artinya, tidak selamanya penguasaan teknologi yang memadai
lan- tas secara otomatis menolong negara tersebut bisa mengakumulasi
kesejahteraan ekonomi. Negara India barangkali bisa mewakili kasus ini, di
mana

Di luar pandangan di atas, juga masih tersedia satu pandangan yang menyatakan bahwa letak
geografis bisa menyebabkan suatu negara menjadi makmur atau, sebaliknya, miskin. ¡L Jika
dibuka peta dunia, maka di situ akan terlihat bahwa negara-negara yang terletak di dekat ekuator,
yang berhawa sangat panas, dikenal sebagai wilayah yang memiliki kantong- kantong
kemiskinan secara massif. Di wilayah tropis tersebut banyak ragam penyakit (diseases) yang
membuat penduduknya tidak memiliki tingkat kesehatan hidup yang m memadai. Seterusnya,
negara-negara tropis yang kaya sumber daya alam justru memberi insentif kepada penduduknya
untuk mengeksploitasi sumber daya alam, sehingga dalam jangka panjang akan menyebabkan
terjadinya kemiskinan (karena sumber daya alamnya habis). Lihat Daron Acemoglu, Root
Cause§: A Historical Approach to Assessing the fitule of Institutions in Economic Development,
Finance and Oei'elopmcnt, Vol. 40, No. 2, 2003, hal. 27. Pemikiran yang mirip juga
dikemukakan oleh Jellrey I). Sachs, yang berpendapat bahwa negara-negara semacam Bolivia,
Ethiopia, Kyrgystan, atau Tibet, faktor kultur tidak dapat digunakan untuk menganalisis sebab
kemiskinan; tetapi kemis- i{ kinan yang terjadi di negara tersebut lebih banyak bersumber dari
keadaan geografi yang tidak mendukung. Lihat Jeffrey D. Sachs, The End of ¡'overty: Economic
l'ossibilitics 1 for Our Time, The Penguin Press, New York, 2005, hal. 60-61

Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

tingkat penguasaan teknologi yang dipunyai cukup tinggi, tapi hingga kini
negaranya masih terperosok dalam kubang kemiskinan.
Pencarian penjelasan terhadap faktor yang menyebabkan diperolehnya per-
tumbuhan ekonomi tersebut terus mengalami pembaruan. Dalam satu dekade
terakhir ini muncul diskursus yang lebih intensif mengenai pentingnya faktof
"kelembagaan" (institutions) sebagai variabel yang mendorong pertumbuhan
ekonomi sebuah negara. Kelembagaan -berbeda dengan faktor pendidikan,
SDA (sumber daya alam), penduduk, dan teknologi- dipandang bisa
menjelaskan fenomena perbedaan pencapaian kemajuan ekonomi
(pertumbuhan ekonomi) antarnega. Jika faktor pendidikan (human capita),
SDA kepadatan penduduk dan teknologi lebih merupakan faktro sederhana
yang bisa dipisahkan dengan realitas sosial; maka kelembagaan (rules of the
game) justru hidup dan berjalan di atas realitas sosial masyarakat.
Kelembagaan yang baik dicirikan oleh tiga hal berikut (Acemoglu, 2003:27).
Pertama, pemaksaan terhadap hak kepemilikan (enforcement of property right).
Adanya hak kepemilikan di dalam masyarakat akan memberi insentif bagi
individu J untuk melakukan kegiatan ekonomi, misalnya investasi. Kedua,
membatasi tindakan-tindakan para politisi, elite ,dan kelompok-kelompok
berpengaruh lainnya yang berupaya untuk memeroleh keuntungan ekonomi
tanpa prosedur yang benar, seperti perilaku mencari rante (rent-seeking
behavior). Ketiga memberi kesempatan yang sama (equal opportunity) bagi
semua individu untuk mengerjakan aktivitas ekonomi/investasi khususnya
dalam meningkatkan kapasitas individu (human capital) maupun berpartisipasi
dalam kegiatan ekonomi produktif.

32
Tentu saja dalam jangka panjang kelembagaan tidak berhenti hanya menjadi
fasilitator bagi pencapaian investasi dan kevarausahaan (enterpreneurship)?
Tugas terpenting dari kelembagaan adalah menciptakan pasar (market-creat-
ing) yang bisa melindungi hak kepemilikan dan melaksanakan kontrak.
Untuk itu, dalam perekonomian yang berbasis pasar, fungsi terpenting
kelembagaan bisa dipilah dalam tiga klasifikasi berikut (Rodrik dan
Subramanian, 2003:32) (i) meregulasi pasar (market regulating§, khususnya
untuk mengatasi persoalan-persoalan ekternalitas (externalities), skala
ekonomi (economiesBab 1
Sejarah Pembangunan Ekonomi

Of scale), dan informasi yang tidak sempurna (imperfect information).


Contoh dari regulasi pasar termasuk peraturan di bidang telekomunikasi,
transportasi, dan jasa keuangan; (ii) menstabilisasi pasar (market
stabilizing), yang bertujuan untuk menurunkan inflasi, meminimalisasi
volatilitas makro ekonomi, dan mencegah krisis keuangan. Contoh dari
stabilisasi pasar ini adalah pemapanan bank sentral, rejim nilai tukar, serta
aturan fiskal dan anggaran; dan (iii) Melegitimasi pasar (market
legitimizing), yakni kebijakan untuk menopang ‘kegagalan pasar’, seperti
asuransi dan perlindungan sosial, redistribusi, dan manajemen konflik.
Kebijakan-kebijakan yang bisa diciptakan antara lain: sistem pensiun, skema
asuransi pengangguran, dan dana sosial lainnya.
Kembali kepada soal kondisi geografi, terdapat beberapa penjelasan yang
bisa diterangkan, khususnya berkaitan dengan pencapaian kemakmuran
ekonomi (pendapatan). Bagan 1.1 memperlihatkan bahwa kondisi geografis
menang dapat memengaruhi pendapatan secara langsung, misalnya lewat
produktivitas pertanian, maupun tidak langsung, seperti dampaknya terhadap
integrasi pasar dan kualitas kelembagaan. Namun, hubungan sebab akibat
antara integrasi pasar dan kelembagaan tersebut bisa dari dua arah. Di satu
sisi, integrasi pasar dapat meningkatkan pendapatan, tetapi di sisi lain mung-
kin juga perdagangan (integrasi ekonomi) merupakan hasil dari peningkatan
produktivitas perekonomian. Selebihnya, meskipun kelembagaan dan
jaminan hak kepemilikan yang lebih baik dapat meningkatkan investasi dan
mempercepat kemajuan teknologi; namun kelembagaan yang baik bisa pula
merupakan hasil dari pembangunan ekonomi, setidaknya permintaan
terhadap kelembagaan yang baik meningkat seiring negara dan warga
negaranya memeroleh kesejahteraan. Dengan begitu, kesimpulan umum
yang bisa diberikan adalah kelembagaan merupakan unsur terpenting dari
pencapaian kemajuan ekonomi di suatu negara. Kondisi geografis yang baik,

33
sumber daya alam yang melimpah, teknologi yang memadai, dan penduduk
yang bermutu sangat mungkin menjadi sumber pertumbuhan ekonomi;
namun semua itu tidak bisa menjadi pemicu kesejahteraan apabila tidak
dipandu dengan sistem kelembagaan ekonomi yang baik. Inilah yang terjadi
di banyak negara berkembang, kesesehingga seluruh potensi ekonominya
menjadi mubazir dan terjerembab dalam keterbelakangan/kemiskinan yang
tiada berujung.

Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

Bagan 1.1: Determinan Penting yang Menentukan Tingkat Pendapatan

Sumber: Rodrik dan Subramanian, 2003:32

34
Pada akhirnya, menurut Ikhsan (2000:36-37), kelembagaan memiliki sum- bangan
yang penting dalam pembangunan ekonomi mengingat adanya kega- galan pasar
sebagai akibat mahalnya informasi dan pelaku pasar tidak meng- gunakan semua
informasi yang diperoleh atau tidak mampu diperoleh Ketidaksempurnaan informasi
dan keterbatasan kapasitas untuk mengolaK informasi akan memengaruhi biaya
transaksi yang mendasari pembentukan kelembagaan. Biaya transaksi muncul akibat
informasi mahal dan asimetris Biaya yang muncul bukan hanya untuk menjamin
terjadinya transaksi, melain kan juga biaya monitoring dan Penegakan. Pelaku ekonomi
yang menguasaiBab 1
Sejarah Pembangunan Ekonomi

informasi dapat dengan mudah merenggut keuntungan karena kelembagaan


merupakan modal sosial yang -sebagaimana mana faktor produksi lain seperti
modal, tenaga kerja dan teknologi, serta human capital ikut menentukan
tingkat output atau kesejahteraan dari suatu negara. Kasus dalam sektor
finansial merupakan salah satu contoh tentang bagaimana pentingnya kelem-
bagaan dalam pembangunan ekonomi. Masalah-masalah ketidaksempurnaan
informasi ini muncul hampir disetiap kegiatan ekonomi selama terdapat
potensi kegagalan mekanisme pasar yang diakibatkan oleh eksternalitas
produksi, eksistensi barang publik, ketidaksempurnaan pasar, hidden action10
dan hidden type, dan unforeseen contingencies.11

10
Contoh klasik yang sering digunakan adalah kasus shareeropping dalam produksi hasil pertanian, di mana
walaupun shareeropping merupakan keseimbangan yang tidak efisien dibandingkan sistem lain, tetapi sering
digunakan di banyak negara. Fenomena tingginya *biaya monitoring telah menciptakan masalah ageney
yang akhirnya menyebabkan inefficient mode yang terpilih. Lihat Mohamad Ikhsan, Reformasi Institusi dan
Pembangunan Ekonomi, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 2, September - November, 2000, hal. 37

35
11
Masalah ini muncul karena ketidakmampuan manusia untuk melihat masa depan dan
menimbulkan ketidakpastian. Jenis ini terutama muncul dalam pasar modal. Lihat Mohamad
Ikhsan, ibid, hal. 37

36
Bab 2

Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan

1
eyakinan bahwa kelembagaan (institutions) bisa menjadi sumber efisiensi
dan kemajuan ekonomi telah diterima oleh sebagian besar ekonom, bahkan
yang paling liberal sekalipun. Hanya saja, sampai kini masih belum
terdapat kejelasan mengenai makna dan definisi dari pelembagaan itu
sendiri. Sekurangnya, walaupun dengan tingkat subtansi yang mina, banyak
ekonom yang mendefinisikan kelembagaan dengan perspektif yang
beraneka. Tentu saja hal ini tidak menjadi persoalan bila fenomena tersebut
dianggap memberikan kontribusi terhadap kekayaan dimensi terhadap
perkembangan ilmu ini. Namun, jika multiragam definisi tersebut jalan ke
arah yang saling menegasikan, dikhawatirkan yang terjadi bukanlah menuju
kepada penambahan kekayaan sudut pandang, melainkan kekaburan
terhadap konsep kelembagaan itu sendiri. Oleh karena itu, saat ini tugas
terberat bagi para ahli ekonomi kelembagaan adalah mencoba merumuskan
secara definitif pengertian kelembagaan Sehingga mendonorkan panduan
bagi siapapun yang berminat untuk mengkajinya. Pada bagian ini, akan
dikupas makna kelembagaan dari mulai aspek paling fundamental yang
mendasari Sihirnya teori ekonomi kelembagaan.Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

Perilaku dan Nilai-nilai Fundamental Manusia


Jika mengikuti sejarah pemikiran ekonomi, maka akan dijumpai
beberapaisu yang berkaitan dengan kelembagaan dan perubahan
kelembagaan (institui tional change) sebagai sebuah disiplin ilmu. Dalam
kajian historis, akar dari teori kelembagaan sendiri sesungguhnya sudah
dimulai sejak lama, ter- utama ahli kelembagaan dari tradisi AS (American
institutionalist tradition) seperti Thorstein Veblen, Wesley Mitchell, John R.
Commons, dan Clarendf Ayres. Di samping itu ada juga varian lain yang
melekat pada ekonom klasik semisal Adam Smith dan John Stuart Mill;
Karl Marx dan aliran Marxiaif lainnya; Mazhab Austria seperti Menger,
von Wieser, dan Hayek; Schum- peter ; dan tokoh neoklasik, khususnya
Marshall. Tradisi yang pertama (Ameni can institutionalist tradition),
kemudian dikenal sebagai “Ilmu Ekonomi Kelembagaan Lama” (‘old’
institutional economics), sedangkan yang berikutnya -umumnya dipandang
sebagai kelanjutan dan perluasan dari elemen-elemen kelembagaan yang
ditemukan dalam aliran ekonomi klasik, neoklasik dan mazhab Austria
(Austrian economics) ; biasanya disebut sebagai “Ilmu Ekonomi
Kelembagaan Baru” (‘neiw’ institutional economics). Penggunaaam istilah
"lama" dan "baru" tidak berarti yang lama telah mati atau tidak aplikatif)
lagi, melainkah lebih dalam konteks pembedaan tradisi berpikir dan
konsentrasi isu. Istilah "New Institutional Economics" (NIE) diambil däri

2
Oliven Williamson (19752). Biasanya NIE juga disebut dengan
“Matbematical Instim tutional Economics”, “Theofitical Institutional
Economics”, "Modern Insttutional Economics” dan "Neo-inistitutional
Economics" (Shubik, 1975;1 Schotter, 1981; Coase, 1984) [Rutherford,
1994:1].

3
Menyangkut Ekonomi Kelembagaan sebagian besar bersumber dari dua proyek
penelitian yakni penelitian pertama yang dipelopori oleh Thorsteiril Veblen
(yang kemudian dikembangkan dan dimodifikasi oleh Clarence Ayres) dan
penelitian kedua dipandu oleh John R. Commons (Rutherford, 1994;1- 2).
Veblen memusatkan perhatiannya pada dikotomi antara bisnis dan aspek
industrial dalam perekonomian, yang selanjutnya fokus kajian ini
mengembangkan dikotomi antara kelembagaan dan teknologi. Dalam
penjelasan yang lebih mendalam, riset ini difokuskan kepada investigasi efek
teknologi barui terhadap skema kelembagaan, serta mendeskripsikan bagaimana
kesepakatan-Bab 2
Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan

Kesepakatan sosial (social conventions) dan kelompok kepentingan (vested


Wttterest) dimapankan untuk menolak perubahan. Ide tersebut sering disan-
dingkan dengan pandangan tentang struktur ekonomi modern yang melihat
Kekuasaan politik dan ekonomi dari kepentingan korporasi besar. Sedangkan
Commons lebih berkonsentrasi kepada hukum, hak kepemilikan (propefty
rights), dan organisasi yang memiliki implikasi terhadap kekuatan ekonomi,
transaksi ekonomi, dan distribusi pendapatan. Di sini, kelembagaan dilihat
sebagai pencapaian dari proses formal dan informal dari resolusi konflik. Jika
tersebut bermuara kepada penciptaan (perubahaan) kelembagaan yang ‘nilai
yang masuk akal’ (reasonable value) atau menghasilkan ‘irama yang saling
menguntungkan’ (workable mutually), maka bisa dikatakan proses tersebut telah
berhasil; demikian sebaliknya.
Di luar latar belakang tersebut, sesungguhnya apabila hendak menjelaskan ilmu
ekonomi kelembagaan kesulitan terbesar adalah pada saat mendefinisikan
pelembagaan itu sendiri. Kadang-kadang, untuk mudahnya, kelembagaan diberi
predikat sebagai kerangka hukum atau hak-hak alamiah (natural rights) yang
mengatur tindakan individu. Pada saat yang lain, kelembagaan dimengerti
Sebagai apapun yang bernilai tambahan atau kritik terhadap ilmu ekonomi
klasik atau hedonik (hedonic economies). Bahkan, kelembagaan juga dimaknai
sebagai apapun yang berhubungan dengan ‘perilaku ekonomi’ (economic
behavior). Lebih rumit lagi, apapun yang berupaya untuk menghadapkan hal-
hal yang ‘dinamis’ dengan ‘statis’, ‘proses dengan komoditas’, kegiatan dengan
perasaan, tindakan kolektif dengan tindakan individu, manajemen dengan
Keseimbangan, dan pengawasan dengan kebebasan (laissez faire); dilihat
sebagai ekonomi kelembagaan (Commons, 1931;648). Namun, seperti yang

1
dikonsepkan oleh Bardhan (1989:3), kelembagaan akan lebih akurat bila
didefinisikan sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan (conventions), dan
elemen lain dari struktur kerangka kerja interaksi sosial.
secarara definitif, kelembagaan bisa pula dimaknai sebagai regulasi perilaku
yang secara umum diterima oleh anggota-anggota kelompok sosial, untuk
perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik yang bisa diawasi sendiri
maupun dimonitor oleh otoritas luar (extemalauthority) [Rutherford, 1994:1 ].
Manig (1991:18) mencatat bahwa kelembagaan merefleksikan sistem nilai

Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

dan norma dalam masyarakat; tetapi, nilai dan norma itu bukanlah kelembagaan
itu sendiri.1 Ekspresi lainnya, North (1994:360) memaknai kelembagaan sebagai
aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia (hm manly
devised) untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi, datf sosial.
Melalui rentetan sejarah, kelembagaan yang bisa meminimalisasi pe| rilaku
manusia yang menyimpang telah berhasil menciptakan ketertiban daiy
mengurangi ketidakpastian dalam melakukan pertukaran (exchange). Dalang
konteks ini kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni aturan formal (/bri
mal institutions), aturan informal (informal institutions), dan mekanisme^
penegakan (enforcement mechanism)1. Aturan formal meliputi konstitusi,^
statuta, hukum, dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal mem-j
bentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem,
ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumber daya, kontrak), !
dan sistem keamanan (peradilan, polisi). Sedangkan aturan informal meliputi.
pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama, dan seluruh faktor yang memenga-^
ruhi bentuk persepsi subyektif individu tentang dunia di mana mereka hidupi
(Pejovich, 1999:4-5). Terakhir adalah penegakan, bahwa semua kelembagaan |
tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme pene- .
gakan.1 Contohnya, suatu negara bisa saja memiliki UU antitrust yang men-

1Dalam sumber lain, Manig mendefinisikan kelembagaan sebagai regulasi yang stabil dani prinsip-prinsip atau aturan-aturan organisasi yang mengelola
proses interaksi antara; orang-orang. Lihat Winfried Manig, Structural and Institutional Changes in Rural North- west Pakistan, The Journal of Development
Studies, Vol. XII-XII, 1992, hal. 2

2
Bab 2

Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan

cegah monopoli, namun bila pemerintah gagal untuk menegakkan regulari


tersebut, maka dunia bisnis mungkin akan tetap berperilaku layaknya undang-
undang antitrust tersebut tidak ada.
akhirnya, dalam pengertian yang kurang lebih sama, Yeager .(1999:9) secara
ringkas menjelaskan kelembagaan sebagai aturan main (rules of the game)
dalam masyarakat. Aturan main tersebut mencakup regulasi yang memapankan
masyarakat untuk melakukan interaksi. Kelembagaan dapat mengurangi
ketidakpastian yang inheren dalam interaksi manusia melalui penciptaan pola
perilaku (Pejovich, 1995:30). Termasuk dalam kelembagaan adalah efektivitas
penegakan hak kepemilikan (property rights), kontrak dan jaminan formal,
trademarks, limited liability, regulali kebangkrutan, organisasi korporasi besar
dengan struktur tata kelola yang membatasi persoalan-persoalan agency, dan
-seperti yang ditekankan oleh Williamson- kontrak yang tidak lengkap dan
oportunisme paska-kontrak (ex-post opportunism) | Bardhan, 1996:4]. Dengan
definisi dan makna yang begitu banyak tersebut, ruang lingkup dari
kelembagaan memang sangat luas. Pada aras ini, pendefinisian kelembagaan
bisa dipilah dalam dua klasifikasi. Pertama, bila berkaitan dengan proses, maka
kelembagaan merujuk kepada upaya untuk mendesain pola interaksi antarpelaku
ekonomi sehingga mereka bisa melakukan kegiatan transaksi. Kedua, jika
berhubungan dengan tujuan, maka kelembagaan berkonsentrasi untuk
menciptakan efisiensi ekonomi berdasarkan struktur kekuasaan ekonomi,
politik, dan sosial antarpelakunya.
Sebagai abstraksi, Challen (2000:13-14) mengungkapkan beberapa karakte-
ristik umum dari kelembagaan, yakni:

3
1. Kelembagaan secara sosial diorganisasi dan didukung (Scott, 1989), yang
biasanya kelembagaan membedakan setiap rintangan-rintangan atas peri laku
manusia, misalnya halangan biologis (biological constraints) dan SR. rintangan
fisik (physical constraints).
2. Kelembagaan adalah aturan-aturan formal dan konvensi informal, serta tata
perilaku (codes of behavior) [North, 1990].
3.Kelembagaan secara perlahan-lahan berubah atas kegiatan-kegiatan yang telah
dipandu maupun dihalangi.

Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

4. Kelembagaan juga mengatur larangan-larangan (prohibitions) dan


persyaratan-persyaratan (conditional permissions) [North, 1990].
Selanjutnya, sementara Robbins menyeleksi wujud khusus dari perilaku, yang
merupakan subyek ilmu ekonomi pada saat berbicara mengenai kelangkaan dan
rasionalitas; definisi-definisi dari ekonomi kelembagaan justru memfokuskan
kepada studi mengenai struktur dan fungsi dari sistem hubungan manusia atau
budaya, yang secara eksplisit mencakup perilaku dan keinginan individu,
dengan mempertimbangkan perilaku kelompok dan tujuan-tujuan umum
masyarakat (public). Dengan kata lain, ekonomi kelembagaan tidak berupaya
untuk mempelajari perilaku rasional, atau dalam bahasa Jevons 'usaha mekanik
untuk menggapai kepuasan clan kepentingan pribadi,' tetapi juga berusaha
untuk mengenali bentuk-bentuk perilaku, seperti pola perilaku tradisional dari
individu-individu dan kelompok-kelompok, yakni pola yang mendonorkan
stabilitas dan keseragaman yang bisa dilembagakan (institutionalized) [Kapp,
1988a:93]. Dalam pengertian ini, perilaku individu atara kelompok tidak harus
dipahami secara sempit hanya sebagai upaya untuk memeroleh keuntungan
(dalam ilmu ekonomi klasik disebut sebagai 'rationality'), namun secara luas
harus diberi ruang bagi munculnya tindakan yang secara ekonomi dianggap
menyimpang.

4
i,

Dalam konteks sektor industri, kelembagaan merupakan seperangkat aturan


aturan yang memengaruhi bagaimana perusahaan mengorganisasi untuk
mem produksi dan menyediakan barang/jasa maupun berinteraksi dengan
pelaku ekonomi lain. Aturan-aturan sektor industri tersebut meliputi
charthers, stat utes, panduan dan petunjuk regulasi, dan standard
practices. Di Amerika Serikat, misalnya, aturan-aturan industri tersebut
mencakup penciptaan negara dan parlemen negara bagian (federal
legislators) yang secara publik dipilih maupun badan regulasi (regulatory
agency) yang ditunjuk dan dipilih oleh eksekutif serta dikonfirmasikan
kepada lembaga legislatif. Banyak badan- badan regulasi tersebut yang
memiliki kewenangan diskretif atau -setidaknya- posisi yang
memungkinkan badan tersebut berperan dalam persoalan pokok- di mana
hal itu faktor penting untuk mendesain kelembagaan. Sementara itu, praktik
industri standar adalah kepemilikan yang krusial (emergent prop-Bab 2
Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan

erty) dari struktur industri yang merefleksikan pelaksanaan keputusan-


Keputusan yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan individu (individual
firrns) [Polski, 2001:14-15]. Dengan model desain kelembagaan semacam
itu, bisa dilihat saat ini kinerja perekonomian Amerika Serikat merupakan
salah satu yang terunggul di dunia.

Solusi Pragmatis dan Evolusi Sistem Sosial


Jika pengertian kelembagaan dimaknai seperti yang telah diulas di muka,
maka ekonomi kelembagaan tidaklah terlalu berhubungan dengan batang
pemikiran ekonomi sebagai metode untuk mendekati masalah-masalah eko-
nomi. Jika metode ekonomi konvensional berkonsentrasi untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan praktis (practical problems approach),
maka ekonomi kelembagaan (institutional economics) tidak tertarik kepada
penjelasan atas seluruh fenomena ekonomi. Ekonomi kelembagaan hanya
peduli kepada penyelesaian persoalan ekonomi yang spesifik sehingga
dapat menghasilkan perbaikan yang signifikan. Lebih detail, ekonomi
kelembagaan peduli dengan jawaban-jawaban yang benar atas pertanyaan-
pertanyaan kebijakan publik. Dalam upaya pencarian penyelesaian atas
problem-problem praktis, pendekatan ekonomi kelembagaan mencoba
untuk memberi pertimbangan terhadap terhadap seluruh aspek dari masalah
tersebut: ekonomi, sosial, psikologi, sejarah, hukum, politik, administrasi,
dan bahkan teknik (technical). Meskipun ekonomi kelembagaan (atau
orang-orang yang menggunakannya) tidak ahli terhadap seluruh aspek
tersebut, tetapi mereka wajib untuk memahami seluruh area bidang itu,
yakni dengan jalan masuk ke dalam situasi/masalah spesifik yang
ifcnenjadi perhatiannya (Witte, 1988:30).
Dengan begitu, ekonomi kelembagaan mencakup dua arus hubungan (two-
way relationship): antara ekonomi (economics) dan kelembagaan (institu-).
Maksudnya, pendekatan ini menguliti dampak dari kelembagaan terhadap
ekonomi dan -sebaliknya- pengembangan kelembagaan untuk me-Ekonomi
Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

respons pengalaman-pengalaman ekonomi (economic experiences) [Kaspet dan Streit,


1998:30].Secara praktikal, aturan main (kelembagaan) yang teri sedia dalam
kegiatan ekonomi akan menentukan seberapa efisien hasil ekonomi yang
didapatkan, sekaligus akan menentukan seberapa besar distribusi ekonomi
yang diperoleh oleh masing-masing partisipan. Pada titik ini bisa dikatakan
kelembagaan mempunyai pengaruh terhadap pencapaian ekonomi:
Sementara itu, dalam jangka waktu tertentu, pencapaian ekonomi yang
diperoleh partisipannya akan menentukan pandangan terhadap aturan main
yang digunakan saat ini. Bila dipandang kelembagaan sekarang tidak
efisien, misalnya gagal mencapai pertumbuhan ekonomi maupun kedap
dalam membagi kesejahteraan antarpelakunya, maka hasrat untuk
mengubah kelembagaan (institutional change) dipastikan akan terjadi.
Melalui ilustrasi tersebut, bisa disimpulkan bahwa antara ekonomi dan
kelembagaan memiliki hubungan resiprokal.

1
Demikian pula, menurut Witte (1988:31-32), ekonomi kelembagaan tidak
memfokuskan kepada apa yang disebut oleh beberapa ahli ekonomi
(ekonom) sebagai 'motif-motif ekonomi' (economic motives), yakni
konsentrasi untuk memeroleh pendapatan (gain), motif laba (profit motive),
atau memaksimalisasikan sesuatu yang memiliki nilai material. Selama ini,
motif nonekonomi dipandang sebagai faktor yang tidak termaktub dalam
operasi hukum ekonomi (economic laws), tetapi disadari sebagai bagian
yang esensial dari situasi total yang harus dipertimbangkan dalam
mengambil penjelasan yang benar dari aspek ekonomi dan hukum-hukum
yang mengatur aspek-aspek nonekonomi tersebut. Oleh karena itu,
pendekatan ekonomi kelembagaan sering dikritik oleh para pembela
ekonomi konvensional (orthodox approach) hanya sebatas
mendeksripsikan, bukan menganalisis. Dalam hal ini, mungkin benar
bahwa ahli ekonomi kelembagaan hanya bertumpu kepada upaya-upaya
pencari dan mempresentasikan dari fakta-fakta yang berhasil dipungut.
Namun, sesungguhnya, para ahli kelembagaan (institutionalists) juga
memiliki empati yang sangat besar terhadap statistik, bukan hanya studi
lapangan. Hanya saja yang memang dipentingkan adalah fakta, bukan
sekadar asumsi-asumsi. Pendeknya, fakta merupakan segalanya-galanya,
namun bukan 'fakta ekonomi yang sangat kaku' (strictly economic facts).Bab
2

Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan

Sedangkan dalam mengambil kesimpulan, ekonomi kelembagaan secara


umum memilih pendekatan induktif daripada deduktif. Pendekatan ini terus
mencoba untuk menjelaskan dan mengembangkan teori, meskipun mereka
tidak mempunyai teori umum yang dapat menjawab seluruh pertanyaan-
per- tanyaan ekonomi. Tambahan lagi, dalam melakukan teorisasi, mereka
menekankan kepada fakta, bukan model. Ekonomi kelembagaan tidak
berorientasi untuk membangun manusia ekonomi (economic man), tetapi
mengenai apa yang manusia lakukan dan pikirkan (real man do and think).
Commons secara terus-menerus selalu bilang kepada para mahasiswanya:
"Go out and observe, as well as read and think. Find out what are the fact
and all the pertinents facts, and then reach conclusions on the basis of the
facts." Para ekonom kelembagaan menyediakan sebagian besar waktu dan
pikirannya untuk melakukan pengamatan secara langsung dibandingkan
membangun model yang tidak memiliki isi, sehingga menuntun ilmu
ekonomi kepada sebuah analisis yang logis (exercise in logic). Meskipun
begitu, semua atau sebagian besar dari ekonom kelembagaan adalah
pragmatis, mempelajari fakta; bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan
untuk menyelesaikan masalah-masalah dan membuat kehidupan menjadi
lebih baik (Witte, 1988:32).
Faktanya, menurut Kapp (1988b:72-73), ekonomi kelembagaan selalu ber-
tujuan untuk menciptakan representasi yang menyeluruh dari proses
ekonomi, baik di dalam maupun bagian dari sistem sosial yang kompleks
dan interaksi yang terjadi di dalamnya. Ahli kelembagaan berupaya keras
untuk membuat eksplisit saling keterhubungan dan relasi timbal balik
antara satu bagian dengan lainnya dan juga dengan keseluruhan (whole).
Jauh sebelum aliran strukturalis ( structuralism) dan fungsional
(funetionalism) mengudara dalam khasanah akademik, para ahli
kelembagaan telah terlebih dulu menempatkan hubungan timbal balik ini
sebagai pusat dari penyelidikan teoritis (theoretical investigation) mereka.
Ahli-ahli kelembagaan telah menemukan permasalahan-permasalahan yang
menyangkut hubungan timbal balik itu dan juga keengganan untuk
mengklasifikasikan kembali perbedaan antara faktor-faktor ekonomi dan
nonekonomi, serta antara ekonomi dan proses sosial. Oleh karena itu,
pendekatan kelembagaan lebih memerhatikan kepada fenomena evolusi
sistem sosial dan proses sosial itu sendiri. Dengan begitu, analisis terhadap
faktor-
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

faktor yang memengaruhi elemen dinamis dari proses evolusi tersebut


menjadi pusat kajian dari ekonomi kelembagaan. Dalam konteks ini,
adanya inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi, konflik kepentingan,
kekuasan dan pemaksaan (coercion) dalam kehidupan ekonomi dan sosial
harus menjadi bagian penting dari investigasi dalam tradisi pendekatan
ekonomi kelembagaan.
Pendeknya, ciri ekonomi kelembagaan bisa ditandai dari tiga karakteristik
berikut (Kapp, 1988a:99):
1. Adanya kritik umum terhadap anggapan awal (preconceptions) dan
elemen normatif yang tersembunyi dari analisis ekonomi tradisional
(konvensional).
2. Pandangan umum proses ekonomi sebagai sebuah sistem terbuka dan
sebagai bagian dari jaringan sosio-kultural sebuah hubungan (socio-
cultural network of relationship).

3
3. Penerimaan umum atas prinsip 'aliran sebab akibat' (circular causation)
sebagai hipotesa utama untuk menjelaskan dinamika proses ekonomi,
termasuk proses keterbelakangan dan pembangunan.

4
Jika dikomparasikan antara ekonomi kelembagaan dan ekonomi neoklasik maka keduanya
meyakini bahwa esensi dari ilmu ekonomi adalah bagaimana menghasilkan dan
mendistribuskan barang dan jasa yang sangat terbatas. Ke- duanya juga mengasumsikan
kemampuan manusia untuk mengelola hal itu, serta percaya pada sistem dan mekanisme
insentif dan disinsentif. Ekonomi kelembagaan dan ekonomi neoklasik percaya terhadap
prinsip-prinsip kegunaan (utility) yang makin lama makin berkurang. Keduanya juga
percaya bahwa apabila terdapat kenaikan harga, jumlah barang dan jasa yang diproduksi
akan meningkat, serta jumlah barang dan jasa yang diminta akan menurun. Hal yang paling
penting adalah baik ekonomi kelembagaan maupun ekonomi neoklasik merasa yakin akan
kemampuannya untuk mengatasi kompetisi pasar tidak sempurna (Paarlebrg, 1993|; dalam
Arifin, 2005:18-19). Namun, terlalu banyak hal yang membedakan antara ekonomi
kelembagaan dan ekonomi neoklasik, bahkan sampai pada cakupan kajian dan fokus
analisis, sehingga cukup sukar untuk membandingkan keduanya. Ekonomi neoklasik jelas
sangat peduli terhadap perubahan atau konsekuensi yang terjadi akibat perubahan
Bab 2

Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan

kegunaan kepuasaan individu. Sedangkan ekonomi kelembagaan lebih memfokuskan


analisisnya pada transaksi yang terjadi antara dua atau lebih pelaku ekonomi. Tabel 2.1
menampilkan ikhtisar perbandingan antara ekonomi neoklasik dan ekonomi kelembagaan,
sekaligus untuk mencari titik temu (common interest) yang dapat dikembangkan lagi (Arifin,
2005:19-20).
Bftel 2.1: Ikhtisar Ekonomi Neoklasik dan Ekonomi Kelembagaan

Elemen Ekonomi Neoklasik Ekonomi Kelembagaan

Pendekatan Materialistik Idealistik

Satuan observasi Komoditas dan harga Transaksi

'Tujuan individu Diri sendiri (self-interest) Diri sendiri dan orang lain

"Hubungan dengan ilmu-ilmu Hanya ilmu ekonomi Hampir semua ilmu sosial
sosial lain"

Konsep nilai Nilai dalam pertukaran Nilai dalam penggunaan

Konsep ekonomi Mirip ilmu-ilmu alam Pendekatan budaya

falsafah Pra-Dewey Pasca-Dewey

Tingkah laku sosial Percaya free-will Behaviorist

Postulat Keseimbangan Ket idakseimbangan

Fokus Sebagian (particularism) Keseluruhan(holism)

Metode ilmiah Hampir pasti positif Kebanyakan normatif

Data Kebanyakan kuantitatif Kebanyakan kualitatif

5
Sistem Tertutup Terbuka

Ekonometrika Dipakai secara baik Tidak/kadang dipakai

Visi ekonomi Mengarah ke statis Lebih ke arah dinamis

Peranan Memberikan pilihan Merekomendasi pilihan

Sikap terhadap .kegiatan kolektifMelawan Tidak dapat dihindari

Tokoh Adam Smith, Alfred Marshall Thorstein Veblen, John R.


Commons

Sumber: Paarlberg, »-dalam Arifin 2005:19

6
Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

Hal ini berarti bahwa kegiatan ekonomi merupakan interaksi manusia yaitu beroperasi
pada dua level. Pertama, pengembangan dan spesifikasi kelembagaan. Kedua, kegiatan
ekonomi yang mencakup interaksi manusia di dalam kelembagaan yang sudah tersedia
(the prevailing institutions). Jika yang pertama menyangkut aturan main (rules of the
game), maka yang kedua adalah permainan (game) itu sendiri (Pejovich, 1995:30).
Seperti yang dikemukakan oleh Alston (1996:25), hampir seluruh ilmuwan sosial setuju
bahwa pemahaman terhadap kelembagaan merupakan hal yang kritikal untuk dapat
memahami pembangunan ekonomi dan mengidentifikasi kinerja ekonomi dari sebuah
perekonomian. Hanya saja, bila riset tentang kelembagaan oleh banyak ilmuwan sosial
terlalu ekstrem dan sangat abstrak, maka akan menyebabkan hal itu kurang berguna bagi
penyusunan kebijakan.
Akhirnya, Samuels (1995:573; seperti diikuti oleh Prasad, 2003:744-745) menyimpulkan
delapan aspek dari ekonomi kelembagaan:
1.Ekonomi kelembagaan cenderung menekankan kepada proses evolusioner melalui
penolakannya terhadap teori ekonomi klasik yang percayai terhadap mekanisme
penyesuaian otomatis (automatic adjustment mechanism) lewat perubahan-perubahan
dalam sistem harga.
2.Ahli-ahli kelembagaan menolak pandangan neoklasik mengenai pasar bebas dan pasar
yang efisien (free and efficient market). Mereka mengutamakan pandangan tentang
eksistensi kelembagaan yang mengandalkan adanya tindakan kolektif dari individu-
individu di dalam masyarakat- Mereka juga berargumentasi bahwa sistem pasar itu
sendiri merupakan hasil dari perbedaan kelembagaan yang telah eksis dalam kurun waktu
tertentu.
3.Ide penting yang dibuat oleh ekonom kelembagaan adalah bahwa faktor, teknologi
tidaklah 'given'. Teknologi merupakan proses perubahan yang berkesinambungan dan hal
itu menyebabkan perubahan yang penting pula. Dengan pandangan itu, teknologi bisa
menentukan ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya fisik (physical resouces).

1
Bab 2

Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan

4.Ahli kelembagaan mengampanyekan pandangan yang menyatakan bahwa sumber daya


dialokasikan melalui struktur kelembagaan yang bermacam- macam dan dalam beragam
hubungan kekuasaan yang hidup di masyarakat. Faktanya, di negara-negara berkembang
sebagian besar sumber daya hanya dipegang oleh elite lokal dan di dalam kantor-kantor
pemerintahan (political offices). Bahkan, seringkali terjadi kolusi antara elite usahawan
lokal dan pemegang kekuasaan terhadap proses alokasi sumber daya negara (national
resources). 5.Menurut Samuels, ‘teori kelembagaan merupakan nilai (value) yang tidak
melihat harga-harga relatif (relative prices), namun nilai kepentingan terhadap
kelembagaan, struktur sosial, dan perilaku.
6. Kultur dan kekuasaan (culture and power) menentukan cara bagaimana individu
berperilaku. Individu-individu diikat oleh masyarakat melalui norma-norma dan nilai-nilai,
sehingga mereka cenderung bertindak secara kolektif ketimbang pribadi-pribadi. Pandangan
ini tentu saja mereduksi keyakinan dalam ekonomi neoklasik tentang perilaku untuk
memini- malisasikan kepentingan pribadi (individual maximizing behavior).
7. Samuels berpandangan bahwa ahli ekonomi kelembagaan lebih 'pluralistik atau
demokratis dalam orientasinya.' Dia berkeyakinan bahwa pandangan neoklasik kerapkali
menerima struktur seperti apa adanya, dan berdasarkan hal itu menganggap struktur sosial
dan kekuasaan juga telah ada dengan sendirinya (given).
8.Akhirnya, ekonom kelembagaan melihat ekonomi merupakan cara pandang yang
menyeluruh (holistic way) dan mencoba untuk menjelaskan aktivitas ekonomi dalam
perspektif multidisipliner.

1
Ekonomi Kelembagaan

Definisi, Teori, dan Strategi

Ekonomi Kelembagaan Baru


Pada saat ini para ekonom memberikan perhatian yang besar kepada seperangkat ide yang
kemudian dikenal dengan istilah "ekonomi kelembagaan baru"; (new institutional
economics /NIE).1 Ide dari NIE tersebut dikembangkan oleh penulis yang berbeda-beda,
yang lebih kurang dimulai dari kerja-kerja mereka pada dekade 1930-an. Namun, hanya
pada waktu terakhir ini saja kesamaan ide yang mereka usung itu kemudian
dipertimbangkan menjadi satu payung yang bernama NIE. Secara garis besar, NIE sendiri
merupakan upaya? 'perlawanan' terhadap dan -sekaligus- pengembangan ide ekonomi
neoklasik- (neoclassical economics). Lebih dari itu, NIE sendiri memiliki parsi penyumbang
pikiran dari beragam pengaruh politik(political persuasions), Ronald Coase, satu dari
'founding fathers' NIE, mengembangkan gagasan tentang organisasi ekonomi untuk
mengimbangi gagasan intelektual kebijakan kompetisi dan regulasi industri Amerika Serikat
pada dekade 1960-an, yan menganggap semua itu bisa dicapai oleh kekebasan ekonomi dari
kewirausahaan (economic and entrepreneurial freedom). Tetapi, NIE sendiri juga sangat
atraktif bagi sebagian pemikir 'sayap kiri' (left-wing thinkers) yakni mereka yang merasa
NIE bisa menyediakan dasar intelektual (teoritis) untuk menggoyang dominasi mazhab
neoklasik, atau ekonomi pasar bebas (free-maret economics) [Poulton, et. al., 1998:8].

1 New Institutional Economics keberadaannya menjadi penting setidaknya karena tigal alasan. Pertama, teori ini berangkat dari luar kerangka neoklasik tetapi menyediakan!
jawaban-jawaban yang masih menjadi teka-teki dalam pendekatan neoklasik. Kediu& pada dekade 1990-an banyak kebijakan ekonomi yang dijalankan di negara berkembang tidak
sukses akibat kegagalan pasar, sehingga di sini perlu masuk peran negara untu'J mendesain kelembagaan. Ketiga, teori ini berpotensi besar bisa menghubungkan dengan, banyak
faktor lain dalam teori-teori kontemporer. Lihat John Harriss, Janet Hunter an|| Colin M. Lewis, Introduction: Development and Significance of NIE. Dalam John Harrisjj Janet
Hunter and Colin M. Lewis, The New institutional Economics and Third Wor> Development, Routledge, London and New York, 1995, hal. 1

2
Bab 2

Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan

Dengan begitu, NIE menempatkan diri sebagai pembangun teori kelembagaan Bon-pasar
(non-maket institutitons) dengan pondasi teori ekonomi neoklasik. Seperti yang North
ungkapkan, NIE masih memakai dan menerima asumsi dasar dari neoklasik mengenai
'kelangkaan' dan 'kompetisi', tetapi menanggalkan asumsi rasionalitas instrumental
(instrumental rationalité di mana asumsi tersebut membuat ekonomi neoklasik menjadi
'teori bebas/nir-kelembagaan' (institution-free theory). Oleh karena itu, sebagai langkah
untuk menjalankan hal itu, NIE mengeksplorasi gagasan kelembagaan non-pasar '(hak
kepemilikan, kontrak, partai revolusioner, dan lain-lain) sebagai jalan untuk mengompensasi
kegagalan pasar (market failure). Dalam pendekatan NIE, kehadiran informasi yang tidak
sempurna, eksternalitas produksi (production externalities), dan barang-barang publik
(public goods) diidentifikasi sebagai sumber terpenting (key sources) terjadinya kegagalan
pasar, sehingga meniscayakan perlunya kehadiran kelembagaan non-pasar. Sebaliknya,
dalam pendekatan neoklasik, ketiga variabel di atas diasumsikan tidak eksis, sehingga biaya-
biaya transaksi (transaction costs) yang diasosiakan dengan variabel tersebut dianggap tidak
ada (Mburu, 2002:21). Di samping itu, literatur NIE juga menambahkan beberapa poin
penting tentang kegagalan kelembagaan (institutional failures) yang menjadi penyebab
terjadinya keterbelakangan di banyak negara. Kegagalan kelembagaan tersebut merujuk
kepada struktur kontrak dan hukum, serta regulasi dari penegakan pihak ketiga (rules of
third §arty enforeement) yang lemah, padahal semua itu harus diperkuat untuk dapat
menjalankan transaksi pasar (Bardhan, 1996:3).
Dalam satu cara pandang, fungsi pasar yang berjalan dengan baik merupakan kumpulan dari
kelembagaan yang meregulasi beberapa hal berikut (Chang, 1998:67):
 Apa yang dapat diperdagangkan/what can be traded (misalnya banyak negara
melarang transaksi/jual beli darah atau organ manusia, tidak berbicara mengenai
manusia itu sendiri)

3
Siapa dapat melakukan perdagangan/who can trade (seperti banyak negara melarang anak-
anak masuk dalam pasar kerja, atau hanya orang-orang ahli yang dapat memberikan
pelayanan hukum atau medis pada semua negara)Ekonomi Kelembagaan
Definisi, Teori, dan Strategi

 Apa aturan untuk menyelenggarakan perdagangan yang adil/what constitute


"fair trading" (semacam aturan-aturan untuk mengatasi penggelapan/fraud atau
misinformasi)
 Berapa banyak variasi harga diperkenankan/how much prices can vary (semisal
banyak komoditas dan pasar saham yang bergantung kepada perdagangan ketika
harga-harga jatuh secara drastis dalam waktu yang cepat)
Selanjutnya, bekerjanya pasar dipengaruhi oleh sifat dan efektivitas dag kelembagaan
nonpasar yang mengitarinya, seperti (Chang, 1998:67):
 Kelembagaan negara menyiapkan koordinasi masyarakat
 Hak-hak kepemilikan nonpasar (misalnya aturan-aturan meregulasi pemanfaatan
kepemilikan bersama yang dapat memengaruhi peran faktog perdesaan dan pasar
produk)
 Aturan-aturan umum/general code of conduct) (seperti level kejujuran
pemberlakuan dalam masyarakat dapat memengaruhi efektivitas aturaij yang
meregulasi penggelapan dalam pasar tertentu)
 Perusahaan-perusahaan bisnis (menggantungkan logika pasar berdasarkan
pikiran mereka sendiri) dan asosiasi mereka (mengkoordinasi kepentingan-
kepentingan anggota perusahaan melalui ukuran-ukuran nonpasar)
 Aturan-aturan tata kelola interaksi antara sektor pemerintah - swasta
Menurut Williamson sendiri, istilah NIE digunakan untuk memisahkan dengan

istilah lain, yakni OIE (old institutional economics), yang dipelopori oleh

Common dan Veblen (Kherallah dan Kirsten, 2002:2; Coase, 1998:72; Nabli

4
dan Nugent, 1989:3). Mazhab OIE berargumentasi bahwa kelembagaan
merupakan faktor kunci dalam menjelaskan dan memengaruhi perilaku
ekonomi namun dengan sedikit analisis dan tanpa kerangka teoritis yang
mumpuni. Pendekatan ini murni beroperasi di luar pendekatan ekonomi
neoklasik dai tanpa menggunakan teori kuantitatif, di mana dari pendekatan
kuantitatif tersebut biasanya suatu generalisasi diambil atau pilihan-pilihan
kebijakan yang tepat dapat dibuat. Ekonomi neoklasik -sebaliknya-
mengabaikan secara total peran kelembagaan; diasumsikan pelaku-pelaku
ekonomi beroperasiBab 2
Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan

Dalam ruang yang bebas nilai (vacuum).1 Oleh karena itu, NIE mencoba
memperkenalkan pentingnya peran dari kelembagaan, namun tetap
berargumentasi bahwa pendekatan ini bisa dipakai dengan menggunakan
kerangka ekonomi neoklasik. Dengan kata lain, di bawah NIE beberapa
asumsi yang tidak realistik dari neoklasik (seperti informasi yang sempurna,
tidak ada biaya transaksi/zero transaetion costs, dan rasionalitas yang
lengkap) diabaikan, tetapi asumsi individu yang berupaya untuk mencari
keuntungan pribadi (self-seek-ing individuaIs) untuk memeroleh kepuasan
maskimal tetap diterima, Selebihnya, kelembagaan dimasukkan sebagai
rintangan tambahan di bawah kerangka kerja NIE (Kherallah dan Kirsten,
2002:2).2
Kunci perbedaaan antara OIE dan NIE adalah bahwa pendekatan yang per
tama sangat memfokuskan kajiannya mengenai 'kebiasaan' (habit). Bagi para
ahli OIE, kebiasaan/perilaku dianggap sebagai faktor krusial yang akan
menentukan formasi dan sustenance kelembagaan. Sebaliknya, di ujung
spektrum yang lain, NIE lebih memberikan perhatian kepada kendala yang
menghalangi proses penciptaan/ pengondisian kelembagaan, dan utamanya
memfokuskan kepada pentingnya kelembagaan sebagai kerangka interaksi
antarindividu (Hodgson, 19981180-181; Williamson, 1998:75). Karakteristik
dari para ahli

1 ¡memfokuskan kepada asumsi inti mengenai zero transaetion costs yang diusung oleh '"model ekonomi neoklasik, sebagai masalah
penting yang harus segiH ïB^ikàn'ft'mula ■i penggantinya. Oleh karena itu, NIE mencoba mengintegrasikan StaHsis kelembagaan
dengan kerangka ekonomi neoklasik, dan tentu saja memasukkan pMiMMt) kelentkt- ' gaan sebagai variabel penting yang harus
dikaji. Lihat Anil Hira dag R«m Hira, (bid, li.vL

2'0269

5
Ekonomi Kelembagaan

Definisi, Teori, dan Strategi

NIE adalah selalu mencoba menjelaskan pentingnya kelembagaan


(emergency of institutions), seperti perusahaan atau negara, sebagai model
referensi bagi perilaku individu yang rasional, untuk mencegah kemungkinan
yang tidak diiinginkan dalam interaksi manusia. Faktor penjelasnya adalah
dari individu ke kelembagaan, dengan menganggap individu sebagai apa
adanya (given)Pendekatan ini kemudian dideskripsikan sebagai
'methodological individualism' (Hodgson, 1998:176)
Pada akhirnya, NIE (dan ekonomi biaya transaksi) membangun gagasan
bahwa kelembagaan dan organisasi berupaya mencapai efisiensi,
meminimalisasikan biaya menyeluruh (bukan hanya ongkos produksi seperti
yang disuara oleh pendekatan ekonomi neoklasik, tetapi juga biaya
transaksi). Kadang beban tugas ini dipermudah oleh fakta bahwa pasar
produk yang kompetitif memuat seleksi alamiah, seperti tekanan dari luar
agar setiap pelaku ekonomi mencapai efisiensi; di mana korporasi dengan
organisasi terbaik akan mengerjakan yang terbagus, memeroleh banyak
modal, dan terus tumbuh; sementara perusahaan yang organisasinya lembek
akan memicu biaya tinggi dan seterusnya akan mati dalam ekonomi pasar.
Dalam realitasnya, mekanisme seleksi tersebut juga berjalan secara tidak
sempurna; di mana dalam lingkungan dunia nyata yang tidak pasti dan tidak
ajeg (nonstationary), sebuah perusaha dengan struktur organisasi yang telah
ada mungkin akan bekerja secara baik| dan kemudian bertemu dengan
kondisi baru yang menyulitkan bagi perusahaan tersebut untuk melakukan
adaptasi. Namun, eksistensi dari mekanisme seleksi tersebut menyodorkan
beberapa kelemahan yang eksis dalam organisasi (Dixit, 1996:58-59).

6
Tetapi, Veblen membantah pendapat yang menyatakan bahwa individu selalu berprilaku
maksimal dan bertindak rasional. Dia menganjurkan pandangan yang menyatakan bahwa
perilaku individu dikondisikan oleh perbedaan tata social dan budaya yang berlaku pada tempo
tertentu( particular time). Lihat Bisman C PRASAD, Institutional Economic and economic
development;The theory of property rights, Economic development, Good governance ang the
environment, International journal of social economics, Vol. 30,No. 6, 2003, hal. 743Bab 2

Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan

Cabang Ekonomi Kelembagaan Baru


Penting pula untuk dicatat, bahwa NIE beroperasi pada dua level, yakni
lingkungan kelembagaan/institutional environment (makro level) dan
kesepakatan kelembagaan/institutional arrangement (mikro level).
Williamson mendeskripsikan institutional environment ini sebagai
seperangkat struktur aturan politik, sosial, dan legal yang memapankan
kegiatan produksi, pertukaran, dan distribusi. Aturan mengenai tata cara
pemilihan, hak kepemilikan, dan hak-hak didalam kontrak merupakan
beberapa contoh dari lingkungan/kebijakan ekonomi. Sebaliknya,level
analisis mikro berkutat dengan masalah tata kelola kelembagaan (institutions
of governance). Singkatnya, institutional arrangement merupakan
kesepakatan antara unit ekonomi untuk mengelola dan mencari jalan agar
hubungan antarunit tersebut bisa berlangsung, baik lewat cara kerjasama
maupun kompetisi. Sebuah kesepakatan kepemilikan merupakan institutional
arrangement, karena di dalamnya mengalokasikan hak-hak keji pemilikan
kepada individu, kelompok, atau pemerintah (Tian, 2001:387; kherallah dan
Kirsten, 2001:4; Groenewegen, et. al., 1995:5). Dengan begitu, menurut
Williamson, kesepakatan kelembagaan merujuk kepada cara untuk
Mengelola transaksi, baik melalui pasar, pasar bayangan (quasi-market),
maupun model kontrak yang memakai hirarkhi. Jadi, fokusnya adalah
transaksi individu dan pertanyaan berkaitan dengan bentuk organisasi
(integrasi vertikal versus out-contracting) dianalisis pula. Bagi Williamson,
kesepakatan kelem- bagaan mungkin istilah yang paling mendekati dengan
istilah yang terpopuler disebut sebagai 'kelembagaan' (institutions)
[Kherallah dan Kirsten, 2001:5].
Nabil dan Nugent (1989; seperti dikutip oleh Poulton et. al., 1998:8-9)
menglasifikasikan ide NIE ke dalam dua mazhab utama: aliran biaya
transaksi (transaction cost school) dan aliran tindakan kolektif (Collective
action school). Aliran kedua ini diasosiakan dengan tulisan Mancur Olson,
Eleanor dan Vincent Ostrom, Serta yang lainnya; yang mencoba
mengeksplorasi keadilan di mana pelaku ekonomi akan memeroleh
keberhasilan bila melakukan kerjasama, baik dalam domain ekonomi
maupun politik. Hal ini sekaligus dapat memberikan bukti, sebagai contoh,
bahwa usaha tani yang dikontrol oleh petani lebih mungkin berhasil dalam
menyediakan jasa pemasaran bagi para

7
Ekonomi Kelembagaan

Definisi, Teori, dan Strategi

anggotanya. Tetapi, pandangan ini tetap akan berkonsentrasi kepada mazhab


biaya transaksi, yakni merefleksikan sifat individu dari pelaku ekonomi kecil
(smallholder) dan kegiatan pemasaran pedagang. Seluruh definisi tersebut
baik OIE maupun NIE, memasukkan konsep yang secara relatif lebih luas
Definisi itu bukan hanya secara sederhana berbicara mengenai organisasi,
seperti korporasi, bank dan universitas; tetapi juga mengintegrasikan dan
mewujudkan sistematika sosial, misalnya uang, bahasa, dan hukum. Kasus
ini dalam definisi kelembagaan yang luas memasukkan beberapa
karakteristik umum berikut (Hodgsons 1998:179):
 Seluruh kelembagaan memasukkan interaksi pelaku (interaction
of agents) dengan adanya umpan balik (feedbacks) yang penting.
 Seluruh kelembagaan memiliki satuan karakteristik, serta
konsepsi dani rutinitas umum.
 Kelembagaan berlanjut, dan dilanjutkan oleh, ekspektasi dan
konsepsip yang terbagi.
 Meskipun kelembagaan tidak abadi, namun mempunyai
kemampuan relative untuk bertahan (durable), memaksakan sendiri
(self-enforcing),dan kualitas kegigihan.
 Kelembagaan memasukkan nilai-nilai dan proses evaluasi
normatif. Secara khusus, kelembagaan memaksakan kembali legitimasi
moral yang dimiliki: bahwa daya tahan seringkali -benar atau salah-
merupakan soal apakah secara moral diterima atau tidak.
Seperti yang telah dicatat di muka, NIE menyerap metodologi umum dari
teori marginalis kontemporer (contemporary marginalist therory). Untuk tu-
juan analisis kelembagaan, beberapa perubahan krusial diperkenalkan ke-
dalam teori ortodoks mengenai produksi dan pertukaran (Furubotn dan Rich-
1 ter, 1991:4):
• Metodologi individualisme (methodological individualism): merupakan
interpretasi baru yang telah diberikan untuk peran individu sebagai
pengambil keputusan (decision makers) dalam sebuah organisasi. Pusat
gagasan ini adalah 'masyarakat', 'negara', 'perusahaan', atau 'partai' tidaklah
dipahami sebagai entitas kolektif yang menyikapi aktor-aktor individu. Orga-

8
Bab 2

Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan

nisasi atau kolektif itu sendiri bukanlah menjadi fokus, tetapi teori unit
sosial harus memulai dengan -dan berdasarkan kepada- penjelasan
posisi dan tindakan masing-masing individu.
 Maksimalisasi kegunaan (utility maximization): individu
diasumsikan mencari keuntungan pribadi dan berupaya
memaksimalkan kepuasan berhadapan dengan rintangan-rintangan
yang eksis dalam struktur organisasi. Sebaliknya dengan praktik
konvensional, di mana dikotomi antara teori pilihan konsumen dan
teori perusahaan berakhir melalui perluasan hipotesa maksimalisasi
kepuasan terhadap seluruh pilihan-pilihan individu. Hasilnya, sebagai
individu, apakah dia manajer birokrasi pemerintah atau wirausahawan
kapitalis, dipahami untuk membuat pilihan-pilihannya dan untuk
memburu tujuan sendiri dengan keterbatasan yang diperbolehkan
dalam sistem yang beroperasi.
 Rasionalitas terikat (bounded rationality): mendekati kondisi
dunia nyata melalui kelembagaan secara dekat. Adalah penting untuk
memahami ide bahwa individu memiliki keterbatasan kemampuan
untuk mendapatkan dan memproses informasi. Simon (1975)
menggunakan terma 'bounded rationality' untuk merefleksikan fakta
pengambil kebijakan, yakni orang yang diasumsikan rasional
(intendedly rational), bukan hiperrasional.
 Perilaku oportunistik (opportunistic behavior): seperti
Williamson (1975) kemukakan, sementara rasionalitas terikat/terbatas
mencegah pembuatan kontrak yang lengkap, di mana hal itu secara
umum tidaklah menjadi masalah apabila seluruh pelaku ekonomi
berlaku jujur. Nyatanya, beberapa individu (baik prinsipal maupun
agen) cenderung untuk berperilaku menipu dalam rupa
menyembunyikan preferensi, mendistorsi data, mengaburkan isu, dan
lain sebagainya. Dalam kata-kata Williamson, perilaku itu disebut
dengan "self-seeking with guile", yang secara normal biasanya sangat
mahal untuk mencegah kemungkinan itu terjadi, sehingga mau tidak
mau sebuah kontrak yang menyeluruh harus diupayakan terjadi.

9
NIE ini beranjak dari realitas bahwa informasi jarang

Dari cabang ilmu ekonomi kelembagaan baru tersebut


terlihat adanya spectrum /cakupan yang sangat luas,
bahkan melintas di luar disiplin ilmu ekonomi
konvensional itu sendiri, seperti modal sosial dan tindakan
kolektif. Secara eksplisit, cabang-cabang ilmu ekonomi
kelembagaan itu ingin menunjukkan bahwa fenomena
ekonomi tidak dapat dilihat hanya dari perspektif ekonomi
(ortodoks) semata, tetapi harus ditangani secara lebih luas.
Inilah yang membedakan dengan teori ekonomi
konvensional (klasik/neoklasik) yang melihat kegiatan
transaksi sebagai peristiwa ekonomi saja. Sebaliknya,
ekonomi ke-lembagaan melihat transaksi sebagai kejadian
sosial yang berdimensi luas. Secara lebih spesifik, perilaku
manusia dalam semua kegiatan (termasuk aktivitas
ekonomi) sebetulnya ditujukan oleh dua hal, yakni
keuntungan ekono-
Ekonomi Kelembagaan

Definisij Teori, dan Strategi

mi (economic gain) dan penerimaan sosial (social acceptance) [Harsanyi, 1969


dalam Gachter dan Fehr, 1999:341]. Motif yang terakhir ini kerap kali justru
dominan dalam kegiatan ekonomi tertentu sehingga menimbulkan perilaku
yang sulit dianalisis dari sudut pandang ekonomi saja. Di sinilah peran eknomi
kelembagaan menjadi sangat relevan untuk mengatasi kebuntuan jalan keluar
penyelesaian persoalan-persoalan ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai