Anda di halaman 1dari 27

EKONOMI MONETER

“KRISIS MONETER 1998”


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Moneter
Dosen : Moh. Aep Nurjamad, S.Sos., M.M

Disusun Oleh :
Tresnawati 171802004

PRODI AKUNTANSI
STIE DHARMA NEGARA
BANDUNG
2019
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Krisis Moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Oleh karena itu semoga makalah ini
dapat memberikan pengetahuan dan pengembangan wawasan mahasiswa/i dalam
memahami ilmu ekonomi.

Kami menghaturkan terima kasih kepada para penulis yang telah


menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Semoga makalah ini dapat
memberi manfaat untuk kita semua. Kami mengharapkan dapat menggunakan
makalah ini dengan sebaik baiknya. Segala kritik dan saran kami harapkan dan
kami terima dan akan dijadikan masukan yang berharga untuk perbaikan makalah
kami selanjutnya, kami mengucapkan terima kasih.

Hormat Kami

Penulis

3
Daftar Isi

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Pembahasan 2

BAB II PEMBAHASAN 3

2.1 Penyebab Terjadinya Krisis Moneter 1998 3

2.2 Dampak Krisis pada Perekonomian Indonesia 11

2.3 Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Krisis Moneter 15

BAB III PENUTUP 18

3.1 Kesimpulan 18

3.2 Saran 18

Daftar Pustaka 19

4
5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebelum masa krisis moneter 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat
pesat, kurs rupiah cenderung relatif stabil. Demikian pula iklim investasi baik
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun penanaman Modal asing
(PMA) meningkat terus menerus. Stabilnya nilai rupiah ini membuat para investor
dan pemerintah selaku pihak yang berperan besar dalam pembangunan ekonomi
cenderung mengabaikan pinjaman terhadap mata uang asing, khususnya Dollar
Amerika Serikat. Dengan tidak adanya perlindungan terhadap rupiah itu,
belakangan membawa dampak yang kurang baik pada saat terjadinya resesi
ekonomi secara global pada tahun 1998. Permasalahan krisis moneter ini bermula
dari gonjang-ganjing krisis di sejumlah negara-negara Asia, seperti Jepang,
Thailand, Malaysia dan sebagainya, termasuk Indonesia. Krisis di negara-negara
maju dan berkembang pada masa itu diawali merosotnya nilai tukar rupiah
terhadap mata uang Dollar Amerika Serikat. Gejolak ini membuat banyak
bank-bank di Indonesia mengalami kerugian, terutama yang mempunyai pinjaman
uang dalam bentuk mata uang asing. Kerugian ini di dukung pula oleh kurang
tanggapnya pemerintah dalam mengantisipasi resesi ekonomi yang ditambah
dengan memburuknya arus kas (cash flow) bank-bank selaku penyimpan dana
masyarakat.
Kenyataan ini berakibat pada sulitnya bank-bank untuk melakukan likuidasi,
sehingga mendorong sejumlah nasabah menarik dananya dari bank secara
bersama-sama. Kepercayaan masyarakat terhadap bank pun menjadi suatu
pertanyaan besar, khususnya Bank Indonesia selaku Bank Sentral yang bertugas
melakukan pengawasan terhadap bank-bank konvensional maupun bank

6
perkreditan, sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 Jo. UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa penyebab terjadinya krisis ekonomi di tahun 1998?
2. Apa dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat Indonesia?
3. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam mengatasi krisis moneter?

1.3 Tujuan Pembahasan


Diharapkan seluruh pembaca dari makalah ini dapat mengetahui tentang apa yang
terjadi di Indonesia pada tahun 1998, dan bisa memahami isi makalah dengan
baik.

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penyebab Terjadinya Krisis Moneter 1998


Krisis moneter merupakan suatu sejarah baru dalam pencapaian ekonomi
global, sekaligus babak baru dalam sistem ekonomi liberal yang membawa
dampak langsung terhadap perekonomian negara-negara berkembang, seperti
Indonesia. Krisis moneter yang terjadi pada sejak pertengahan 1997, bahkan
berkembang menjadi krisis ekonomi dan telah menjadi krisis kepercayaan pula.
Masyarakat mempunyai mosi tidak percaya terhadap pemerintahan yang ada. Hal
ini ditandai dengan runtuhnya Rejim Orde Baru yang nota bene dimata dunia
dianggap sebagai salah satu pemerintahan yang dipandang sebagai rejim yang
membangun ekonomi Indonesia secara pesat. Sehingga, dimasa rejim ini tidak
heran apabila Indonesia dipandang negara yang menyandang predikat
swasembada dalam berbagai sektor kehidupan. Kondisi krisis moneter yang
dialami pada masa 1998 merupakan masa-masa sulit yang sangat berbeda dengan
kondisi sebelum-sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi
kurun waktu antara tahun 1969-1997 yang tidak pernah mengalami penurunan,
bahkan berdasarkan data Bank Dunia, Indonesia merupakan salah satu negara
yang mengalami pertumbuhan ekonomi paling pesat, bila dibandingkan dengan
negara-negara berkembang lainnya.
Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) perhitungan pertumbuhan ekonomi
Indonesia kurang lebih secara merata 7% pertahun masa itu. Demikian pula
pendapatan perkapita menggambarkan tingkat kemakmuran bangsa naik sebesar
5% pertahun. Sedangkan dalam kurun waktu 1985-1997 dapat diketengahkan
disini, bahwa pertumbuhan ekonomi mencapai 7,5% pertahun dengan pendapatan
perkapita naik sebesar 5,8% pertahun. Sementara itu dari sisi sumber daya
manusia, angkatan kerja semakin dapat ditampung oleh lapangan pekerjaan yang

8
tersedia, seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi dalam rangka
memenuhi kebutuhan ekspor Indonesia terhadap negara asing lainnya. Perlu
ditambahkan pula, bahwa pada masa-masa itu, nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing relatif konstan. Bahkan yang lebih mencegangkan lagi, pada masa
antara tahun 1993-1994 pendapatan negara mengalami surplus.
Berdasarkan perhitungan angka-angka diatas, seharusnya secara fakta
pemerintah Indonesia mampu dengan mudah mengatasi krisis moneter yang
terjadi pada tahun 1998. Namun kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan,
karena krisis yang melanda dibarengi dengan multi-dimensi krisis (crisis
multidimetion) seperti semakin melemahnya daya saing ekonomi nasional
terhadap ekonomi negara asing, dan adanya faktor-faktor pemicu krisis, seperti :
a. Rendahnya produktivitas kerja,
b. Minimnya upah pekerja,
c. Pengawasan keuangan yang tidak pada trek yang tepat,
d. Bermunculan praktek oligopoli maupun monopoli dalam berbagai situasi
pasar.
Berbagai kelemahan-kelemahan yang menyebabkan sulitnya mengatasi krisis
moneter sebagaimana disebutkan diatas, yang dipacu pula oleh situasi politik yang
tidak menentu. Pada akhirnya, keseluruhan faktor-faktor pemicu krisis tersebut
merupakan bentuk nyata dari ketidaksigapan Indonesia (baca : pemerintah) dalam
mengatisipasi krisis. Bahkan apabila dihubungkan dengan cadangan devisa, maka
telah terbukti bahwa pemerintah tidak mempunyai modal yang cukup untuk
mengatasi krisis yang berkepanjangan. Hal ini ditandai dengan ditandatanganinya
Nota Kesepahaman pinjaman Luar Negeri yang diajukan oleh pemerintah
Indonesia yang selanjutnya disetujui oleh International Moneter Fund (IMF).
Tujuan dana talangan tersebut adalah untuk menyelamatkan bank-bank yang
dimungkinkan dilakukan penyehatan. Implikasi dari berbagai kelemahan yang
dinyatakan diatas, adalah :

9
1. Aliran modal berbalik arah dari arus masuk (capital inflow) menjadi keluar
(capital outflow).
2. Terjadinya kontraksi PDB yang bersumber dari menurunnya permintaan
domestik.
3. Meningkatnya jumlah pengangguran dan setengah pengangguran.
Ketiga implikasi ini, telah mengurangi dan menurunkan kesejahteraan rakyat
terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah. Faktor-faktor
penyebab krisis moneter tersebut telah secara merata menggangu sector
kehidupan mayarakat secara luas. Bahkan setelah satu dasawarsa lebih sejak krisis
terjadi, dampak krisis masih begitu mencengkeram, hal ini ditandai dengan masih
cenderung tingginya nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing,
khususnya Dollar Amerika Serikat.
Penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini
bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut
sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman
dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya :
1. Masalah perekonomian tidak pernah terlepas dari masalah politik. Respon
pertama dari pemerintah terhadap krisis mencerminkan kesombongan dan
kurangnya kesadaran terhadap realitas. Reformasi diumumkan, namun proyek
para kroni dan keluarga, seperti mobil nasional Tommy, terus dilindungi.
Nampaknya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) semakin menambah
keruh keadaan. Praktik KKN menyebabkan keruntuhan perekonomian rakyat.
Karena praktik korupsi menyebabkan keuangan negara menjadi tidak sehat,
praktik kolusi menyebabkan pelaksanaan tatanan hukum berjalan timpang,
sedangkan nepotisme memberikan keistimewaan kepada kerabat.
2. Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang
memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk
secara bebas berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena

10
Indonesia menganut rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel,
sehingga membuka peluang yang sebesar-besarnya untuk orang bermain di
pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening valas di dalam negeri atau
di luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah
juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri.
3. Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993)
hingga 5,8% (1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah
nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif
sangatovervalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam
nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan
nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama makin kalah
bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti
juga proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi
relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat
memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam
negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetitif dan impor
meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap
serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar
yang nyata.
4. Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek
dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat
karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo
beserta bunganya (bandingkan juga Wessel et al.: 22), ditambah sistim
perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang swasta luar negeri yang
sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan
sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir
malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada tiga pihak
yang bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah
adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi

11
dengan membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued dan suku bunga
rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal
dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya,
tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana
ke luar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam
rupiah. Jadi disini pemerintah dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini
menguntungkan pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi
selama bertahun-tahun sehingga memberi rasa aman dan orang terus
meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin besar. Dengan
demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan
oleh pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan
pengawasan terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang
berkaitan dengan proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN. Bagi
debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar
ini, disamping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala yang
dalam teori ekonomi dikenal sebagai fallacy of thinking, dimana
pengusaha beramai-ramai melakukan investasi di bidang yang sama
meskipun bidangnya sudah jenuh, karena masing-masing pengusaha hanya
melihat dirinya sendiri saja dan tidakmemperhitungkan gerakan pengusaha
lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati-hati
dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan (bandingkan
IMF, 1998: 5). Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut
menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.
Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800
perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar,
sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman
luar negeri swasta ini tidak di hedge (Nasution: 12). Sebagian orang
Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmatiselisih biaya bunga
antara dalam negeri dan luar negeri (Wessel et al., hal. 22),

12
misalnya bank-bank. Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta
bunganya menjadi tambah besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang
melemah (bandingkan IDE). Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar
rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan
menyulitkan pembayaran kembalinya.
Pinjaman luar negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan,
banyak yang dikelola secara tidakprudent, yakni disalurkan ke kegiatan
grupnya sendiri dan untuk proyek-proyek pembangunan realestat dan
kondomium secara berlebihan sehingga jauh melampaui daya beli
masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali (Nasution: 28;
Ehrke: 3). Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar
yang dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi
yang tidak menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti
pembangunan hotel, resort pariwisata, taman hiburan, taman
industri, shopping malls dan realestat (Nasution: 9; IMF Research
Department Staff: 10). Proyek-proyek besar ini umumnya tidak menghasilkan
barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri, maka
sedikit sekali pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar
kembali utang luar negeri. Krugman melihat bahwa para financial
intermediaries juga berperan di Thailand dan Korea Selatan dengan moral
nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisis di Asia Timur.
Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga
terjadi investasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood).
Mereka mulai mencari dollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan
membeli dollar AS untuk di hedge (World Bank, 1998, hal. 1.4).
5. Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing (bandingkan juga Ehrke: 2-3)
yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan
melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena
praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil

13
bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi
komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini
juga meminjam dari sistim perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka.
Itu sebabnya mengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di
pasar valas karena tidak akan ada gunanya. Meskipun pada awalnya spekulan
asing ikut berperan, tetapi mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas
pecahnya krisis moneter ini. Sebagian dari mereka ini justru sekarang
menderita kerugian, karena mereka membeli rupiah dalam jumlah cukup
besar ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar AS
dengan pengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat,
dan pada saat itu mereka akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS
(Wessel et al., hal.1). Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang
berawal dari Thailand antara Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih
dahulu oleh spekulan dan kemudian menyebar ke negara Asia lainnya
termasuk Indonesia (Nasution: 1; IMF ResearchDepartment Staff: 10; IMF,
1998: 5). Krisis moneter yang terjadi sudah saling kait-mengkait di kawasan
Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (butir 16
dari persetujuan IMF 15 Januari 1998).
6. Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar
dengan pita batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai
tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas
intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997 (Nasution: 2). Terkesan
tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang
bagaimana mengatasi krisis (Nasution: 1) dan keadaan ini masih berlangsung
hingga saat ini. Ketidak mampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan
krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi
bantuan finansial dengan cepat (World Bank, 1998: 1.10).
7. Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department
Staff: 10; IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan

14
jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman.
Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat
harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan
produk dalam negeri.
8. Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham
besar-besaran dimingimingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh
perkembangan moneter yang relative stabil kemudian mulai menarik dananya
keluar dalam jumlah besar (bandingkan World Bank, 1998, hal. 1.3, 1.4;
Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan luar negeri
yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif
besar dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi
yang relatif stabil sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan banyak
modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai tukar Rupiah tambah
melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus mengalir ke
luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang tinggi atas
surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga terletak pada
investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko (IMF,
1998: 5). Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World Bank,
1998, p. 2.1).
9. IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana
bantuan yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50
butir kesepakatan dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan
membantu Indonesia juga menunda mengucurkan bantuannya menunggu
signal dari IMF, padahal keadaanperekonomian Indonesia makin lama makin
tambah terpuruk. Singapura yang menjanjikan l.k. US$ 5 milyar meminta
pembayaran bunga yang lebih tinggi dari pinjaman IMF, sementara Brunei
Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar baru akan mencairkan
dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji
akanmembantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF

15
sendiri dinilai banyak pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di
Indonesia dan malah telah mempertajam dan memperpanjang krisis.
10. Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal. 22). Para spekulan inipun
tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana
dari sistim perbankan untuk bermain.
11. Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas
menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah
bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah
snowball effect, di mana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin besar.
Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah sejak
tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri
mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri. Sejak awal
Desember 1997 hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal
besar-besaran ke luar negeri karena ketidak stabilan politik seperti isu
sakitnya Presiden dan Pemilu (World Bank, 1998: 1.4, 1.10). Kerusahan
besar-besaran pada pertengahan Mei yang lalu yang ditujukan terhadap etnis
Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat ini akan keamanan harta,
jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal
dan kegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar
harta kekayaan mereka dan untuk sementara tidak melaukan investasi baru.
12. Terdapatnya keterkaitan yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah
terhadap dollar AS (lihat IDE). Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar
AS dan juga mata uang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen
Jepang, karena mata uang negaranegara Asia ini dipatok dengan dollar AS.
Daya saing negara-negara Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga
banyak perusahaan Jepang melakukan relokasi dan investasi dalam jumlah
besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalik menguat
terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam

16
dollar AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan
krisis keuangan. (Ehrke: 2).

2.2 Dampak Krisis pada Perekonomian Indonesia


Dampak Krisis Moneter sangat besar bagi perekonomian Indonesia secara
khususnya, namun sektor lain pun terkena dampak dari terjadi krisis moneter ini
mulai dari sektor pemerintahan sampai pada sektor sosial masyarakat.
Dari sektor ekonomi Indonesia, nilai rupiah yang turun drastis berakibat pada
naiknya harga produk-produk impor berimbas pula pada turunnya nilai
pendapatan masyarakat ditambah lagi banyak terjadinya PHK pada
pekerja-pekerja. Kenaikan harga produk-produk dipasaran menaikkan nilai inflasi
antara pertengahan tahun 1997-1998. Inflasi adalah salah satu dampak krisis
moneter dilihat dari sektor ekonomi. Dari sektor ekonomi secara umum akibat
dari menurunnya nilai rupiah menurut ‘Krisis Moneter Indonesia : Sebab,
Dampak, dan Peran IMF’ berimbas pada  kesulitan menutup APBN, harga
telur/ayam naik, utang luar negeri dalam rupiah melonjak, hargaBBM/tarif listrik
naik, tarif angkutan naik, perusahaan tutup atau mengurangi produksinya karena
tidak bisa menjual barangnya dan beban utang yang tinggi, toko sepi, PHK di
mana-mana, investasi menurun karena impor barang modal menjadi mahal, biaya
sekolah di luar negeri melonjak. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia
mengalami kontraksi sebesar 13,7% pada tahun 1998 dibandingkan dengan tahun
1997 yang terlihat masih mengalami ekspansi 4,9% terlihat pada tabel 2.1
(Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999). Dampak lain yang terjadi adalah
tingginya tingkat inflasi seperti terlihat pada tahun 1997 inflasi sudah mulai
tinggi. Tingginya tingkat inflasi terjadi antara pertengahan tahun 1997 sampai
1998.
Pada sektor sosial masyarakatnya banyak jatuh miskin akibat semakin
tingginya tingkat pengangguran sekaligus harga-harga beberapa bahan pokok
yang mulai merangkak naik dan mengancam kehidupan masyarakat pada masa

17
itu. Pada tahun 1998, persentase penduduk miskin tercatat sebanyak 24,23% (49,5
juta orang) (DataStrategis BPS). Tingginya angka kemiskinan tersebut
dikarenakan krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997 yang
berakibat pada meroketnya harga-harga kebutuhan dan berdampak parah pada
penduduk miskin (Data Strategis BPS). Semakin tingginya pengangguran tinggi
pula tingkat kriminalitas yang terjadi. Seiring dampak sektor sosial yang terjadi
dimasyarakat, dampak sektor sosial ini memicu pada sektor politik dimana
Soeharto sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mulai diragukan keberadaannya.
Berbagai tindakan kekerasan terjadi akibat berbagai masalah politik yang terjadi.
Pada akhirnya, tanggal 21 Mei 1998 Soeharto secara resmi digantikan wakil
presiden BJ.Habibie.
Dewasa ini semua permasalahan dalam krisis ekonomi berputar-putar sekitar
kurs nilai tukar valas, khususnya dollar AS, yang melambung tinggi jika
dihadapkan dengan pendapatan masyarakat dalam rupiah yang tetap, bahkan
dalam beberapa hal turun ditambah PHK, padahal harga dari banyak barang naik
cukup tinggi, kecuali sebagian sektor pertanian dan ekspor. Imbas dari
kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam secara umum sudah kita ketahui
kesulitan menutup APBN, harga telur/ayam naik, utang luar negeri dalam rupiah
melonjak, harga BBM/tarif listrik naik, tarif angkutan naik, perusahaan tutup atau
mengurangi produksinya karena tidak bisa menjual barangnya dan beban
utang yang tinggi, toko sepi, PHK di mana-mana, investasi menurun karena impor
barang modal menjadi mahal, biaya sekolah di luar negeri melonjak. Dampak lain
adalah laju inflasi yang tinggi selama beberapa bulan terakhir ini, yang bukan
disebabkan karena imported inflation4 , tetapi lebih tepat jika dikatakan foreign
exchange induced inflation. Masalah ini hanya bias dipecahkan secara mendasar
bila nilai tukar valas bisa diturunkan hingga tingkat yang wajar atau nyata (riil).
Dengan demikian roda perekonomian bisa berputar kembali dan harga-harga bisa
turun dari tingkat yang tinggi dan terjangkau oleh masyarakat, meskipun tidak
kembali pada tingkat sebelum terjadinya krisis moneter.

18
Pada sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah secara tajam juga membawa
hikmah. Secara umum impor barang menurun tajam termasuk impor buah,
perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri,
kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar, daya saing produk dalam
negeri dengan tingkat kandungan impor rendah meningkat sehingga bisa menahan
impor dan merangsang ekspor khususnya yang berbasis pertanian, proteksi
industri dalam negeri meningkat sejalan dengan merosotnya nilai tukar rupiah,
pengusaha domestik kapok meminjam dana dari luar negeri. Hasilnya adalah
perbaikan dalam neraca berjalan. Petani yang berbasis ekspor penghasilannya
dalam rupiah mendadak melonjak drastis, sementara bagi konsumen dalam negeri
harga beras, gula, kopi dan sebagainya ikut naik. Sayangnya ekspor yang secara
teoretis seharusnya naik, tidak terjadi, bahkan cenderung sedikit menurun pada
sektor barang hasil industri. Meskipun penerimaan rupiah petani komoditi ekspor
meningkat tajam, tetapi penerimaan ekspor dalam valas umumnya tidak berubah,
karena pembeli di luar negeri juga menekan harganya karena tahu petani dapat
untung besar, dan negara-negara produsen lain juga mengalami depresiasi dalam
nilai tukar mata uangnya dan bisa menurunkan harga jual dalam nominasi
valas. Hal yang serupa juga terjadi untuk ekspor barang manufaktur, hanya di sini
ada kesulitan lain untuk meningkatkan ekspor, karena ada masalah dengan
pembukaan L/C dan keadaan sosial-politik yang belum menentu sehingga pembeli
di luar negeri mengalihkan pesanan barangnya ke negara lain.
Sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, pada Oktober
1998 ini jumlah keluarga miskin diperkirakan meningkat menjadi 7,5 juta,
sehingga perlu dilancarkan program-program untuk menunjang mereka yang
dikenal sebagai social safety net. Meningkatnya jumlah penduduk miskin tidak
terlepas dari jatuhnya nilai tukar rupiah yang tajam, yang menyebabkan terjadinya
kesenjangan antara penghasilan yang berkurang karena PHK atau naik sedikit
dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat inflasi yang tinggi,

19
sehingga bila nilai tukar rupiah bisa dikembalikan ke nilai nyatanya maka biaya
besar yang dibutuhkan untuk social safety net ini bisa dikurangi secara drastis.
Namun secara keseluruhan dampak negatifnya dari jatuhnya nilai tukar rupiah
masih lebih besar dari dampak positifnya. Inflasi adalah salah satu dampak dari
krisis moneter 1998. Laju inflasi pada tahun1998 yang diukur berdasarkan Indeks
Harga Konsumen (IHK) mencapai angka 77,6 %.(Laporan Tahunan Bank
Indonesia tahun 1998/1999). Tingkat inflasi yang hampir mencapai pada tingkat
hyperinflasi. Menurut Laporan Tahunan Bank Indonesia tahun1998/1999
penyebab dari tingginya laju inflasi adalah tingginya tingkat penawaran
sedangkan pasokan yang menipis, menurunnya tingkat rupiah sehingga
menaikkan harga barang-barang import sehingga meningkatkan harga barang
secara umum. Selain itu, produksi barang yang menurun akibat menurunnya
kegiatan produksi, kurang berhasilnya pertanian, dan distribusi yang terhambat
akibat kerusuhan Mei 1998.

Penyebab Inflasi menurut beberapa referensi memiliki beberapa perbedaan.


Menurut Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF, dan Saran
menyatakan bahwa penyebab inflasi bukan dikarenakan imported inflation tapi
lebih tepat dikatakan foreign exchange induced inflation. Karena krisis ini
berkaitan dengan nilai tukar valas yang tinggi berakibat pada harga-harga barang
import yang tinggi, bukan dikarenakanmnaiknya harga barang-barang import itu
sendiri.. Jadi, lebih tepat dikatakan sebagai foreignexchange induced inflation.
Berbeda halnya menurut Jurnal Akuntansi dan Keuangan Inflasi di Indonesia yang
menyatakan bahwa, penyebab inflasi dikarenakan imported inflation.
Permintaan dipasar pada krisis moneter ini sangat tinggi sehingga
memunculkan inflasi. Namun, tidak selamanya konsep akan inflasi dan
pengangguran berhubungan negatif. Seperti yang terlihat inflasi yang terjadi di
Indonesia pada krisis moneter 1998 mencapai 77,6 % tapi pengangguran pun juga
tinggi. Hal ini dikarenakan inflasi yang terjadi di Indonesia disebabkan turunnya

20
nilai mata uang rupiah terhadap dollar AS yang memicu harga-harga barang
import naik sehingga menaikkan harga barang secara umum selain itu, banyaknya
perusahaan yang bangkrut akibat utang luar negeri mereka sudah mulai jatuh
tempo.
Jadi, tidak selamanya suatu konsep dalam ilmu pengetahuan sesuai dengan
kenyataan yang harus dihadapi. Konsep inflasi dan pengangguran yang
berhubungan negatif tidak dapat diberlakukan dalam inflasi yang terjadi di
Indonesia karena penyebab terjadinya inflasi pun menjadi penentu.

2.3 Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Krisis Moneter


Dengan berbagai dampak negatif sebagaimana uraian diatas, secara serius
telah diupayakan diatasi dengan melaksanakan kebijakan ekonomi, baik makro
maupun mikro. Dalam jangka pendek kebijakan ekonomi pemerintah sejak masa
krisis dimaksudkan memiliki dua sasaran strategis, yakni pertama : mengurangi
dampak negatif krisis terhadap masyarakat berpendapatan rendah dan rentan, dan
kedua : pemulihan pembangunan ke jalur semula. Upaya-upaya yang ingin
dicapai oleh pemerintah dalam rangka memulihkan perekonomian negara dari
dampak krisis moneter 1998 diatas diuraikan sebagai berikut :
1. Kebijakan Ekonomi Makro
Kebijakan ekonomi makro yang telah dilaksanakan pemerintah dalam upaya
menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing
adalah melalui kebijakan moneter yang ketat disertai anggaran berimbang, dengan
membatasi anggaran sampai pada tingkat yang dapat diimbangi dengan tambahan
dana dari pinjaman luar negeri, seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
walaupun pada akhirnya sebagian dana BLBI tesebut ditemukan banyak
penyimpangan dalam penggunaannya. Kebijakan moneter yang ketat dengan
tingkat bunga yang tinggi selain dimaksukan untuk menekan laju inflasi dan
memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, juga dimaksudkan untuk
menahan permintaan aggregate dan mendorong masyarakat untuk meningkatkan

21
tabungan di lembaga perbankan, sehingga dalam hal ini dibutuhkan deregulasi
aturan perbankan yang ketat agar masyrakat si pemilik dana mempunyai
kepercayaan terhadap bank. Meskipun demikian pemerintah menyadari
sepenuhnya bahwa tingkat bunga yang tinggi dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap kegiatan ekonomi dan bersifat kontradiktif terhadap PDB. Oleh karena
itu, tingkat suku bunga yang tinggi tidak akan selamanya dipertahankan, tetapi
akan diturunkan secara sewajarnya sampai ke level lajimnya seiring dengna
menurunya laju inflasi. Mekanisme pemberian suku bunga yang tinggi untuk
penyimpanan dana oleh nasabah merupakan langkah-langkah yang ditempuh
pemerintah sejak krisis moneter, hal ini dimaksudkan untuk menarik minat
masyarakat menyimpan dananya di bank, sehingga bank mempunyai modal yang
cukup untuk disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman
(kredit).
Secara umum langkah yang diambil dalam mengatasi masalah krisis moneter
ini berpijak pada empat bidang pokok (Makalah Bank Indoensia : Peran
Kebijakan Moneter dan Perbankan DalamMengatasi Krisis Ekonomi Indonesia) :
a. Di bidang Moneter, ditempuh kebijakan moneter ketat untuk mengurangi laju
inflasi dan penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal secara berlebihan.
b. Di bidang Fiskal, ditempuh dengan kebijakan yang terfokus pada upaya
relokasi pengeluaran-pengeluaran untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.
c. Di bidang Pengelolaan (governance), ditempuh dengan berbagai kebijakan
untuk penngelolaan baik di sektor publik atau swasta.
d. Di bidang Perbankan, ditempuh dengan berbagai kebijakan untuk mengurangi
kelemahan dunia perbankan.

2. Kebijakan ekonomi Mikro


Kebijakan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah adalah dengan
mengangkat kembali sektor-sektor usaha kecil menegah masyarakat (pelaku

22
usaha) dengan mekanisme pemberian pinjaman dana dengan prioritas bunga yang
rendah. Tujuan pemerintah mengambil langkah ini dimaksudkan untuk :
1) Untuk mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap kelompok
penduduk berpenghasilan rendah dengan dikembangkannya jaringan
pengaman sosial yang meliputi penyediaan pokok dengan harga
terjangkau, mempertahankan tingkat pelayanan pendidikan dan kesehatan
pada saat krisis, serta penanganan pengangguran dalam upaya
mempertahankan daya beli kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi
pengangguran saat krisis moneter adalah dengan mencanangkan dan atau
membuat program padat karya untuk menampung tenaga kerja produktif.
2) Menyehatkan sistem lembaga perbankan dan memulihkan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga perbankan Indonesia. Upaya ini diwujudkan
oleh pemerintah dengan mencari dana talangan yang dipinjamkan ke
bank-bank yang mengalami krisis saldo-debet, sehingga dapat bertahan
dari arus krisis. Pemerintah pun melalui Bank Setral (Bank Indonesia)
memberikan kucuran dana ke bank-bank swasta yang diperoleh melalui
pinjaman luar negeri.
3) Merestrukturisasi hutang luar negeri. Tindakan ini dimaksudkan
pemerintah untuk memprioritaskan pendanaan-pendanaan yang sangat
urgen terhadap perkembangan ekonomi untuk mengatasi krisis yang ada,
sehingga dengan adanya restrukturisasi utang maka pemerintah dapat
melakukan penundaan pembayaran utang luar negeri Indonesia.
4) Mereformasi struktural di sektor rill
5) Mendorong ekspor.

23
24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Krisis moneter merupakan suatu sejarah baru dalam pencapaian ekonomi
global, sekaligus babak baru dalam sistem ekonomi liberal yang membawa
dampak langsung terhadap perekonomian negara-negara berkembang, seperti
Indonesia.
Dampak Krisis Moneter sangat besar bagi perekonomian Indonesia secara
khususnya, namun sektor lain pun terkena dampak dari terjadi krisis moneter ini
mulai dari sektor pemerintahan sampai pada sektor sosial masyarakat.
Upaya-upaya yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam rangka memulihkan
perekonomian negara dari dampak krisis moneter 1998 diatas diuraikan sebagai
berikut :
1. Kebijakan Ekonomi Makro
Secara umum langkah yang diambil dalam mengatasi masalah krisis
moneter ini berpijak pada empat bidang pokok (Makalah Bank Indoensia : Peran
Kebijakan Moneter dan Perbankan DalamMengatasi Krisis Ekonomi Indonesia),
antara lain : fiskal, moneter, pengelolaan, dan melakukan restrukturisasi utang luar
negeri.
2. Kebijakan Ekonomi Mikro
Kebijakan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah adalah dengan
mengangkat kembali sektor-sektor usaha kecil menegah masyarakat (pelaku
usaha) dengan mekanisme pemberian pinjaman dana dengan prioritas bunga yang
rendah.

25
3.2 Saran
Dari segala paparan materi yang telah disampaikan pada makalah ini kami
memang masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami menerima saran
berupa kritik dan saran kepada kami, agar kedepannya kami dapat membuat
makalah dengan lebih baik.

26
Daftar Pustaka

https://www.slideshare.net/septianbarakati/makalah-krisis-moneter-42077801
https://www.slideshare.net/annasherley/kelompok-3-makalah-krisis-ekonomi

http://muhammadbayu05.blogspot.com/2015/04/analisis-tentang-krisis-moneter.ht
ml
https://www.kompasiana.com/kristinajoo/5af6b518f133441519500cd2/krisis-mon
eter-yang-di-alami-indonesia-pada-tahun-1997-1998?page=all

27

Anda mungkin juga menyukai