Anda di halaman 1dari 20

KASUS PELANGGARAN

ETIKA TIK
Pertemuan 2
RAGAM KASUS
 PEMBAJAKAN SOFWARE
 PEMBAJAKAN FILM DAN LAGU
 BULLYING DI DUNIA MAYA
 PENYEBARAN BERITA HOAX

 CARDING (jual beli informasi kartu kredit)

 HACKING by HACKER (Ethical Hacker,

Craker,Script kiddes, Hacktivist, phreaker)


 PENIPUAN ON LINE
UPAYA-UPAYA PENANGGULANGAN
KEJAHATAN TIK
UU ITE (CYBER CRIME DAN CYBERLAW)
PETA OKUPASI KKNI CYBER SECURITY
10 PELANGGARAN ETIKA MORAL
 HACKING BY HACKER (White Hat Hacker dan
Black Hat Hacker)
 CRAKING BY CREAKER (Criminal Minded

Hacker)
 POLITICAL HACKING
 DENIAL OF SERVICE ATTACK(DoS): Land

Attack, latierra, ping broadcast (smurf), ping


of Death(PoD),
 VIRUS
 FRAUD (MANIPULASI INFORMASI)
 PHISING (penggunaan email palsu)
 PERJUDIAN DUNIA MAYA
 CYBER STALKING BY CYBER STALKER
 PIRACY
PEMBAGIAN KELOMPOK
 TENTUKAN ANGGOTA KELOMPOK ( 1KELOMPOK
TERDIRI MAKSIMAL 2 - 3 ORANG)
 PILIH MASALAH/KASUS
 Tiap kelompok tidak boleh membahas kasus

yang sama
 Jika contoh ragam kasus tersebut telah dipilih

dan ada kelompok yang belum mendapat topik,


maka boleh memilih kasus lain/ fenomena yang
terjadi saat ini
 Susunlah makalah dengan topik yang telah dipilih
SUSUNAN MAKALAH
 LATAR BELAKANG MASALAH
 TINJAUAN TEORI HUKUM DAN ETIKA YANG

RELEVAN
 PEMBAHASAN ( IMPLIKASI DAN SOLUSI)
 KESIMPULAN
 DAFTAR PUSTAKA
CONTOH
CARDING DAN PELANGGARAN ETIKA DALAM TEKNOLOGI INFORMASI KOMPUTER DI BIDANG PERBANKAN
Penulis : Gerry Armando, Holilah, Dewa Gede Rama,Theresia Agnes, dan Tri Reski

Latar Belakang
 Perkembangan teknologi yang sangat pesat pada saat ini membawa dunia transaksi finansial ke

arah yang semakin maju dan memudahkan pengguna. Transaksi finansial saat ini telah
mengarah ke mode cashless, yaitu mode transaksi elektronik dengan penggunaan kartu debit,
kartu kredit, dan beragam fasilitas pembayaran lainnya yang tidak menyertakan uang tunai
dalam bertransaksi. Seluruh fasilitas transaksi ini dikelola secara digital dan disediakan oleh
dukungan teknologi informasi. Kartu kredit maupun kartu debit menyimpan berbagai informasi
nasabah yang sangat sensitif. Selain nama nasabah, di dalamnya juga terdapat informasi
penerbit kartu, nomor kartu, masa aktif, hingga nomor CID yang merupakan kunci dalam
melakukan transaksi nasabah melalui mesin ATM maupun EDC.
 Mengutip salah satu jurnal mengenai analisis penanganan carding dan perlindungan nasabah

dalam kaitannya dengan peraturan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, No. 11, Tahun 2008,
bisnis kartu kredit menjadi salah satu mesin profit setiap bank dan lembaga bukan bank baik
dalam meraih nasabah baru maupun mencetak portofolio bisnis secara variatif. Namun
demikian, praktik industri kartu kredit di Indonesia belum sepenuhnya aman dari ancaman
penyalahgunaan dan kejahatan kartu kredit. Carding adalah bentuk cyber crime yang masih
menjadi modus operandi para pelaku, yang kemudian dikenal sebagai fraudster. Pada Januari
2004, Verisign melaporkan bahwa Indonesia pernah dinobatkan sebagai negara nomor 1
dalam top countries by percentage of fraudulent transaction, dan negara nomor 3 dalam top
countries by total volume of fraudulent transaction dalam penelitian tentang keamanan internet
di dunia (Verisign, 2006).
Carding adalah tindakan pencurian informasi kartu kredit atau rekening bank untuk digunakan
sendiri atau dibagikan kepada orang lain. Dengan mendapatkan informasi tersebut,
pelaku carding dapat menggunakan akun kartu kredit tersebut dan menguras semua isinya tanpa
harus mendapat izin dari pemiliknya. Atau dengan kata lain, berbelanja menggunakan nomor dan
identitas kartu kredit orang lain, yang diperoleh secara ilegal, biasanya dengan mencuri data di
internet.
Modus ini muncul pada tahun 1990an, dimana mulai dikembangkannya kartu debit maupun kartu
kredit untuk transaksi. Namun dari tahun ke tahun, semakin berkembangnya teknologi dan
metode pembayaran elektronik menjadikan lebih banyak nasabah yang memilih bertransaksi
tanpa menggunakan uang tunai karena kecepatan dan kemudahannya. Saat ini
kejahatan carding cukup marak terjadi baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya.
Berikut adalah beberapa modus carding yang umumnya dilakukan oleh para fraudster (Council of
Europe, 2005):
Sindikat peretas dan pembobol kartu kredit ini mengirim email kepada calon korban. Setelah itu,
calon korban yang berminat harus mencantumkan identitas pribadi dan data kartu kredit via situs
buatan pelaku yang ternyata merupakan situs palsu. Pelaku ini tidak menggesek kartu kredit, tapi
menggunakan data kartu kredit milik korban hasil scamming untuk bertransaksi.
Mereka membagi tugas dan peran yakni mengelola website, menghimpun data calon korban, dan
meretas kartu kredit korban. Hasil menggandakan kartu kredit mereka gunakan untuk melakukan
pembelian secara online hingga limit kartu kredit habis.
Kegiatan sindikat dengan mengcopy data kartu debit maupun kartu kredit kemudian digunakan
untuk mengambil dana tunai melalui ATM dengan menggandakan data kartu kredit atau kartu
debit serta menggandakan fisik kartu tersebut dengan membuat kartu tiruan.
Tinjauan Etika dan Moral

Carding sebagai sebuah aktivitas elektronik terkadang mengundang berbagai perdebatan dari


aspek etika dan hukum. Perdebatan mengenai baik atau buruknya perbuatan tersebut umumnya
didasarkan oleh prinsip-prinsip etika apa saja yang telah diterima oleh masyarakat terkait
dengan aktivitas digital dan transaksi elektronik. Saat ini masyarakat telah menganggap
pencurian secara fisik sebagai sebuah pelanggaran etika dan hukum. Namun demikian,
pencurian informasi elektronik masih belum dianggap sebagai sebuah pelanggaran etika. Ini
dibuktikan dari masih rendahnya respect pada kerahasiaan informasi orang lain, serta masih
kurangnya hukum yang mengatur aktivitas-aktivitas tersebut.
Dengan demikian, pembahasan mengenai etika informasi, khususnya carding tidak akan lepas
dari berbagai teori dan prinsip etika umum. Pada tahap ini kami akan mencoba mengidentifikasi
kualitas perbuatan dari aktivitas carding yang ditinjau dari berbagai teori moral yang umum
digunakan. Pertama-tama kami akan menguraikan terlebih dahulu prinsip utama dari beberapa
teori moral. Selanjutnya kami akan mencoba menganalisis, apakah carding dapat dinyatakan
sebagai sebuah pelanggaran etika berdasarkan prinsip moral yang ada.
Teori Moral Aristotelian
Berdasarkan teori moral Aristotelian, tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan, dan dengan
dicapainya kebahagiaan maka ia akan memperoleh pembebasan. Hidup manusia akan semakin
bermutu ketika ia semakin dapat mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya. Apapun yang
dilakukan oleh manusia merupakan sesuatu yang baik, demi suatu nilai. Dengan demikian
prinsip moral ini mengajarkan bahwa kualitas perbuatan dinilai dari sudut pandang individu,
yaitu mencapai kebahagiaan untuk memperoleh pembebasan.
Teori moral Aristotelian didasarkan oleh pemikiran bebas
untuk memperoleh pembebasan individu. Tujuan manusia
adalah untuk memperoleh kebahagiaan, dan kebahagiaan
tertinggi adalah kebebasan itu sendiri. Dengan demikian
prinsip moral dari teori ini terbatas pada nilai-nilai individu,
yang pada akhirnya kontradiktif saat dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari. Kenyataannya, manusia akan saling
berinteraksi satu sama lain, yang menjadikan perilaku bebas
suatu individu dapat mempengaruhi individu lainnya.
Prinsip moral Aristotelian umumnya berakhir pada bentuk
kompromi, yaitu keadaan di mana setiap individu pada
akhirnya menyepakati batas-batas kebebasan yang dapat
diakui dan digunakan bersama-sama
Carding dari sudut pandang Aristotelian dapat dianggap
sebagai sebuah aktivitas yang bebas, karena dapat
memberikan kebahagiaan bagi pelakunya. Ia dapat
berbelanja produk tanpa menggunakan uang pribadinya.
Namun demikian, perbuatan tersebut telah mengganggu
kebebasan dan kebahagiaan individu lainnya. Sehingga
individu tersebut dapat memberikan respon yang kurang
menyenangkan bagi pelaku carding tersebut. Respon ini
dapat menghilangkan kebahagiaan dan kebebasan dari
pelaku carding itu sendiri. Pada akhirnya, terjadi sebuah
kompromi, di mana setiap individu menyepakati
bahwa carding merupakan pelanggran etika, karena dapat
merugikan individu lainnya dan individu itu sendiri.
Teori Moral Utilitarian

 Berdasarkan teori moral Utilitarian, kualitas baik atau buruknya suatu


tindakan dinilai dari akibat yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Melalui
prinsip ini, Utilitarian mencoba menekankan prinsip moral berdasarkan
sudut pandang yang lebih luas, tidak hanya individu, melainkan juga dari
sudut pandang kelompok masyarakat yang terlibat di dalamnya. Dengan
demikian sebuah perbuatan dapat dikatakan baik jika perbuatan tersebut
dapat memberikan akibat yang baik bagi individu tersebut, beserta seluruh
pihak yang terlibat di dalamnya.
 Teori moral Utilitarian memiliki sudut pandang yang lebih universal, di mana

prinsip-prinsip moralnya mengajarkan kesetaraan kualitas perbuatan yang


diukur dari hasil perbuatan tersebut. Namun demikian, teori moral ini masih
berpotensi memunculkan beberapa standar ganda, karena sebuah aktivitas
yang sama bisa memberikan dampak yang berbeda pada masyarakat yang
berbeda. Selain itu, prinsip moral Utilitarian juga sama sekali tidak
mengakomodasi nilai-nilai individu, seperti motif perbuatan dan desakan
pribadi. Hal ini karena Utilitarian semata-mata hanya mengukur kualitas
perbuatan dari akibat yang dihasilkan.
 Carding dari sudut pandang Utilitarian jelas merupakan sebuah pelanggaran etika.
Hal ini dikarenakan hampir setiap aktivitas carding pada akhirnya akan merugikan
pihak lain dalam sebuah masyarakat. Namun demikian, berat tidaknya ukuran
pelanggaran etika carding dapat memunculkan standar ganda, yang mana ini
bergantung pada seberapa buruk dampak kerugian yang dirasakan oleh
korban carding tersebut. Jika korban adalah seorang pelajar, tentu
perbuatan carding tersebut dapat mengancam studi dan seluruh masa depan
pelajar tersebut. Namun jika korban carding adalah seseorang yang sangat kaya
dan bahkan tidak menyadari sama sekali aktivitas carding yang ia hadapi, maka
perbuatan carding tersebut secara prinsip belum dapat dikatakan pelanggaran
etika, karena belum merugikan korban.
 Kenyataan inilah yang menjadikan carding umumnya dilakukan pada individu yang

benar-benar kaya, yang tidak sempat mendeteksi transaksi-transaksi berukuran


kecil. Kemampuan teknologi informasi dalam mengidentifikasi fraud
transaction juga bisa diterobos jika pelaku telah mengenal pola transaksi korban
melalui riwayat belanja yang mereka pelajari. Hal ini juga yang
menjadikan carding pada beberapa negara tertentu sebagai sebuah kejahatan yang
besar, namun tidak direspon secara serius karena belum menimbulkan dampak
negatif yang besar.
Pembahasan
 Teori etika teknologi informasi adalah sekumpulan prinsip yang digunakan
untuk mengevaluasi praktik moral yang melibatkan teknologi komputer,
serta untuk merancang kebijakan etika secara praktis dalam penggunaan
teknologi informasi dan komputer oleh individu, kelompok, maupun
organisasi. Melalui beberapa teori dan prinsip moral yang telah dibahas
pada bagian sebelumnya, secara umum dapat disimpulkan
bahwa carding merupakan tindakan pelanggaran etika. Hal ini
dikarenakan carding mengakibatkan kerugian bagi korban. Selain
itu, carding juga umumnya didasarkan oleh motif yang tidak baik, untuk
keuntungan sendiri.
 Serangkaian kekhawatiran dalam masalah teknologi terdapat dalam
kehidupan sehari-hari dan mempengaruhi perkembangan moral
masyarakat, khususnya kaum muda yang memiliki paparan intens dari
teknologi dan konten yang relatif baru. Hal ini menuntut perhatian di dalam
kebijakan dan membutuhkan peraturan karena kehidupan dan kepentingan
orang banyak berpotensi terkena dampak informasi dan komputer
Seorang ataupun sindikat carding bisa mendapatkan informasi
tentang kartu kredit milik nasabah melalui beberapa hal berikut
ini:
 Membeli informasi kartu kredit
Sindikat atau orang yang tidak memiliki akses pada sistem peretasan kartu
kredit dapat membeli database mengenai informasi kartu kredit yang aktif.
Database ini umumnya dikumpulkan dari riwayat transaksi elektronik pada
beragam website dan e-commerce. Beberapa pemilik e-commerce yang tidak
menghargai etika dapat menjual informasi sensitif ini.
 Memanfaatkan kecerobohan pemilik kartu
Melakukan transaksi menggunakan kartu kredit dengan meminta bantuan
orang lain, sehingga orang tersebut memiliki kesempatan untuk melakukan
pelanggaran atau penyalahgunaan kartu kredit tersebut. Informasi dan identitas
kartu kredit ini disimpan, untuk kemudian digunakan bertransaksi atas nama
pemiliknya.
 Perangkap melalui online
Seorang ataupun sindikat melakukan pembuatan situs palsu yang biasanya
menyediakan jasa e-commerce, dimana website ini didesain untuk menyerupai
website e-commerce tertentu, atau didesain sedemikian rupa sehingga diyakini
seperti sebuah website e-commerce yang wajar. Jika ada nasabah yang tertarik
maka mereka akan memasukan data informasi diri dari kartu kredit mereka
Lanjutan pembahasan
 Hack situs e-commerce
 Beberapa situs e-commerce menyatakan untuk tidak menggunakan informasi nasabah dengan pihak ketiga. Hal
ini tentu memberikan kenyamanan bagi nasabah dalam bertransaksi pada situs tersebut. Namun demikian,
terdapat beberapa situs yang tidak dibangun di atas teknologi yang aman. Situs tersebut kemudian diretas
dengan memanipulasi pemrosesannya sehingga penyerang dapat mengumpulkan informasi sensitif, seperti data
kartu kredit dari database situs tersebut.
 Perbuatan carding melanggar Pasal 35, 51 Ayat 1, UU RI, No. 11, Tahun 2008 tentang ITE. Dalam undang-
undang ini disebutkan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Pada bagian penjelasan umum,
undang-undang ini telah dengan jelas menyebutkan bahwa pencurian informasi dan dana melalui
penyalahgunaan kartu kredit merupakan sebuah kejahatan siber yang menyebabkan kerugian kepada pengguna
kartu kreedit (Kemenkumham, 2008).
 UU ITE lahir dari tuntutan global tentang perlunya negara-negara memiliki hukum siber atau cyber law, yang
secara internasional digunakan untuk menegakkan hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi
dan komunikasi. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian
informasi, komunikasi, dan transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian, serta hal-hal yang
terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
 Dari adanya UU ITE tersebut, maka tindakan carding serta kejahatan transaksi elektronik lainnya telah diatur, dan
diharapkan dapat mengurangi risiko nasabah terhadap ancaman carding. Namun demikian, nasabah tetap perlu
dalam melakukan  tindakan pencegahan agar tindakan kejahatan ini benar-benar dapat diatasi.
 Dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip etika yang telah dijelaskan di atas, maka carding dapat
dikategorikan sebagai sebuah pelanggaran etika komputer, di mana individu ataupun sindikat telah melakukan
kegiatan dengan mecuri data orang, yang artinya telah mengambil sesuatu yang bukan miliknya untuk
digunakan dalam memperoleh keuntungan pribadi ataupun sekelompok melalui teknologi informasi
Implementasi Prinsip Etika pada
Carding
 Sebagai sebuah aktivitas yang melanggar etika, aktivitas  carding perlu diatur untuk mengurangi dampak negatif yang
dihasilkan pada masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan implementasi prinsip etika, melalui serangkaian tahapan, mulai
dari disclosure level, theoretical level, sampai dengan application level. Melalui tahapan ini masyarakat dapat mulai dididik
mengenai etika negatif carding melalui sosialisasi, sampai dengan penyusunan hukum-hukum yang mewujudkan keadilan.
 Tahap 1: Disclosure Level
 Pada tahap ini disusun sebuah kebijakan bagi setiap vendor penyedia jasa finansial untuk melakukan disclosure, yaitu
pernyataan secara terbuka terkait bagaimana suatu teknologi transaksi digital bekerja. Melalui keterbukaan ini, pemerintah,
akademisi, dan masyarakat dapat bersama-sama mengevaluasi kehandalan dan keamanan suatu sistem. Vendor juga
berkewajiban untuk memberikan deskripsi serinci mungkin terkait dengan bagaimana profil nasabah diperoleh, disimpan,
dikelola, dan diolah. Vendor juga harus menyebutkan data nasabah apa saja yang dikoleksikan, serta harus menjamin
bahwa data tersebut tidak akan digunakan dan diperjualbelikan dengan pihak ketiga.
 Tahap 2: Theoretical Level
 Pada tahap ini dilakukan serangkaian analisis teoretis pada setiap lapisan teknologi yang telah diungkapkan pada tahap
sebelumnya. Setiap proses pada setiap lapisan dianalisis dengan berbagai pendekatan moral dan etika, yang akan
melibatkan berbagai teori dan prinsip. Pada tahap ini mulai dibangun teori moral yang berhubungan dengan setiap aspek
dalam bagaimana sebuah transaksi digital seperti kartu kredit bekerja. Dengan depahaminya proses kerja ini, maka dapat
dibangun teori moral yang mengatur kegiatan transaksi digital, baik pada vendor, nasabah, serta pihak yang melakukan
pelanggaran. Teori ini yang kemudian akan menjadi dasar dibangunnya pendekatan sosialisasi, dan dasar bagi
pengembangan hukum.
 Tahap 3: Application Level
 Pada tahap ini dibangun berbagai implementasi dari teori yang telah dikembangkan pada tahapan sebelumnya. Sejumlah
aturan hukum mulai ditetapkan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung pada teori moral dan teori etika. Tahap ini juga
mengatur bagaimana indikasi pelanggaran etika dibuktikan, serta seperti apa denda dan hukuman yang harus dibebankan
kepada pelanggar. Dari sisi industri, tahap ini akan terkait dengan penerapan sejumlah kebijakan dalam standar teknologi
keamanan transaksi elektronik. Dari sisi pengguna, setiap nasabah maupun pengguna kartu, termasuk pengguna kartu
yang menyalahgunakan akses, harus dinyatakan tunduk pada syarat dan ketentuan yang berlaku.
KESIMPULAN
 Sebagai bentuk preventif dalam melindungi nasabah dari ancaman  carding dan
penyalahgunaan informasi, maka pemerintah, institusi pendidikan, dan pelaku
bisnis perlu bersama-sama membangun sebuah standar yang aman, baik dari sisi
sistem, aplikasi, kebijakan, dan prosedur dalam setiap adopsi teknologi,
khususnya di bidang transaksi finansial.
 Perkembangan teknologi informasi dalam mendukung transaksi elektronik tidak
hanya harus fokus pada keamanan dan perlindungan nasabah dari
ancaman carding, tetapi juga harus dibarengi dengan penyempurnaan undang-
undang, yang secara khusus mengatur tindakan pelanggaran etika informasi.
 Dengan disusunnya undang-undang yang mengatur transaksi elektronik, maka
selanjutnya pemerintah harus secara kontinu melakukan sosialisasi,
implementasi, dan penindakan yang tegas pada setiap kasus pelanggaran etika
informasi, khususnya carding.
 Carding sebagai sebuah tindakan yang melanggar etika informasi, menjadikannya
sebagai sebuah tindakan kriminal. Namun demikian, selain penerapan standar
keamanan dan perancangan undang-undang, nasabah juga harus senantiasa
berhati-hati dalam melakukan transaksi serta menjaga kerahasiaan kartu kredit
dan informasi sensitif lainnya.
REFERENSI
 Floridi, Luciano (2010) The Cambridge Handbook of Information
and Computer Ethics. Cambridge University Press. Cambridge,
United Kingdom.
 Schultz, Robert (2006) Contemporary Issues in Ethics and
Information Technology, International Edition. IRM Press, Idea
Group, Inc. Hershey, United States.
 Verisign, Inc. (2006) Money Mules: Sophisticated Global Cyber
Criminal Operations. The iDefense Security Report. Virginia, United
States.
 Council of Europe (2005) Organised Crime Situation Report 2005:
Focus on the Threat of Economic Crime. Council of Europe.
Strasbourg, France.
 Kemenkumham (2008) Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor
11, Tahun 2008, Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Jakarta, Indonesia

Anda mungkin juga menyukai