Anda di halaman 1dari 17

Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

Volume 5 Issue 2, August 2023: pp. 675-691.


Copyright © 2023 Halu Oleo Legal Research. Faculty of Law, Halu Oleo University, Kendari,
Southeast Sulawesi, Indonesia.
Open Access at: https://journal.uho.ac.id/index.php/holresch/

Halu Oleo Legal Research is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License, which permits unrestricted use,
distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.

Pertanggungjawaban Pidana Penggunaan Bitcoin dalam


Kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang

Criminal Responsibility for Using Bitcoin in Money Laundering Crimes

Herman1, Handrawan2, Oheo Kaimuddin Haris3, Sabrina Hidayat4,


Muhammad Sabaruddin Sinapoy5, Hendrawan6

1. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: man.herman@uho.ac.id.


2. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: handrawansaranani84@gmail.com.
3. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: oheokh@gmail.com.
4. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: sabrina.hidayat54@yahoo.com.
5. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: sabaruddinsinapoy@yahoo.com.
6. Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara, Indonesia, E-mail: hendra93wan@gmail.com.

Abstract: Research shows that Bitcoin does not fulfill the money requirements in theory and currency law in
Indonesia only recognizes rupiah as legal tender. Therefore, Bitcoin is not considered money or electronic money by
law. Even though Indonesia prohibits the use of Bitcoin and other virtual currencies as a means of payment, over
time, Bitcoin is recognized as a commodity traded on futures exchanges. Regulations in Indonesia focus on the
principle of knowing your customer to prevent crimes using Bitcoin and virtual currencies. However, challenges
include the pseudonymity and decentralization of Bitcoin, which makes identification of criminals difficult to trace.
This complicates criminal liability regarding Bitcoin. The responsibility of perpetrators of money laundering by
using digital money, such as Bitcoin, has a negative impact on Indonesia. Law No. 8 of 2010 concerning the
prevention and eradication of money laundering crimes is used to punish perpetrators of such crimes. Money
laundering crimes can be committed within or across national borders.
Keyword: Criminal Liability; Bitcoin; Money Laundering
Abstrak: Penelitian menunjukkan bahwa Bitcoin tidak memenuhi syarat uang secara teori dan hukum mata uang
di Indonesia hanya mengakui rupiah sebagai alat tukar sah. Oleh karena itu, Bitcoin tidak dianggap uang atau
uang elektronik menurut undang-undang. Meskipun Indonesia melarang penggunaan Bitcoin dan mata uang
virtual lain sebagai alat pembayaran, seiring waktu, Bitcoin diakui sebagai komoditi diperdagangkan di bursa
berjangka. Regulasi di Indonesia berfokus pada prinsip pengenalan nasabah untuk mencegah kejahatan
menggunakan Bitcoin dan mata uang virtual. Meski demikian, tantangan yang dihadapi termasuk pseudonimitas
dan desentralisasi Bitcoin, yang membuat identifikasi pelaku kejahatan sulit dilacak. Ini menyulitkan
pertanggungjawaban pidana terkait Bitcoin. Tanggung jawab pelaku tindak pidana pencucian uang dengan
menggunakan uang digital, seperti Bitcoin, memiliki dampak negatif bagi Indonesia. Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang digunakan untuk
menghukum pelaku kejahatan semacam itu. Kejahatan pencucian uang dapat dilakukan di dalam atau lintas batas
teritorial negara.
Kata kunci: Pertanggungjawaban Pidana; Bitcoin; Pencucian Uang

PENDAHULUAN
Pada tahun 2014, terjadi pencurian 850.000 Bitcoin yang saat itu setara dengan 500 juta
dolar AS. Kejadian itu dialami oleh Mt. Gox, perusahaan perdagangan Bitcoin terbesar yang

675
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

berbasis di Jepang. Di tahun yang sama, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mengumumkan
bahwa mereka sedang mengumpulkan dana melalui Bitcoin untuk organisasi dan aktivitas
terorismenya. Pada tahun 2015, Rose Ulbricht, pendiri Silk Road, dihukum penjara seumur
hidup. Silk Road merupakan platform e-commerce yang beroperasi di deep web atau bawah
tanah (underground). Platform tersebut memperdagangkan narkoba dan menerima
pembayaran dengan Bitcoin. Area deep web juga diketahui menjadi sarana bagi organisasi
teroris untuk mengampanyekan penggalangan dana bagi organisasi mereka melalui
Bitcoin.1

Daftar tindak pidana dengan memanfaatkan Bitcoin terus berlanjut. Di Indonesia sendiri
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya
penggunaan Bitcoin untuk pendanaan terorisme. Terlebih lagi, pada tahun 2021, Kejaksaan
Agung (Kejagung) menduga tersangka dugaan korupsi pengelola dana investasi dan
keuangan PT Asabri melakukan tindakan pidana pencucian uang (TPPU) lewat Bitcoin.
Kasus pencucian uang hasil korupsi melalui Bitcoin ini dianggap sebuah modus baru
mengingat sebelumnya Bitcoin kerap digunakan untuk penggelapan pajak, pendanaan
terorisme, dan perdagangan barang atau jasa ilegal lainnya.2

Beberapa kasus pidana dengan memanfaatkan Bitcoin di atas mendorong negara-negara di


dunia terus berupaya merumuskan regulasi yang tepat untuk mengatur Bitcoin dan mata
uang kripto (cryptocurrency) lainnya. Secara umum, regulasi dirumuskan dengan mengacu
pada kerangka anti pencucian uang, pencegahan pendanaan terorisme, dan perdagangan
barang atau jasa ilegal lainnya. Namun demikian, sekalipun regulasi telah dirumuskan,
semua pihak pada dasarnya menyadari bahwa Bitcoin dan mata uang kripto lainnya tetap
menjadi tantangan berat. Ini karena sifat pseudonimitas dan desentralisasi yang melekat
pada sistem Bitcoin.

Pseudonimitas membuat identitas pengguna Bitcoin tak bisa terungkap, sedangkan


desentralisasi membuat Bitcoin dapat dipertukarkan melintasi batas geografis tanpa
melibatkan satu pun lembaga keuangan yang sah (legitimate). Alih-alih melibatkan pihak
ketiga seperti bank, Bitcoin justru menggantungkan sistem transaksi pada jaringan peer-to-
peer. Akibatnya, tidak ada satu pun institusi yang berwenang untuk mewajibkan prinsip
pengenalan nasabah (Know Your Customer/KYC), penerapan program anti pencucian uang,
dan pencegahan pendanaan terorisme. Inilah yang memudahkan sistem Bitcoin
dieksploitasi untuk tindak kejahatan. Singkatnya, meskipun tindak kejahatan telah
terdeteksi, seperti pencurian, pencucian uang, pendanaan terorisme, dll., penegak hukum
tetap menghadapi kesulitan untuk melacak siapa subjek hukum yang akan dikenai
pertanggungjawaban pidana. Karena pada prinsipnya, Bitcoin hanya mengungkapkan
alamat akun dan transaksi yang dilakukannya, tapi tidak dengan identitas penggunanya.
Oleh karena itu, sejumlah studi tentang Bitcoin tidak hanya fokus untuk merumuskan
regulasi, akan tetapi juga telah berupaya mengembangkan metode yang diharapkan paling
efektif dan efisien untuk "membongkar" pseudonimitas Bitcoin. Berdasarkan latar belakang

1
Oscar Darmawan, Bitcoin Mata Uang Digital Dunia (Jakarta: Jasakom, 2014), 32.
2
Ibid.

676
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

di atas, permasalahan yang diangkat penulis adalah mengenai pengaturan hukum terkait
potensi kejahatan dalam penggunaan Bitcoin di Indonesia dan pertanggungjawaban pidana
pengguna Bitcoin dalam kejahatan tindak pidana pencucian uang.

METODE PENELITIAN
Penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan studi kasus normatif
berupa produk hukum3, misalnya mengkaji undang-undang. Pokok kajiannya adalah hukum
yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi
acuan perilaku setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada
inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum, sistematik
hukum, taraf sinkronisasi.

POTENSI KEJAHATAN DALAM PENGGUNAAN BITCOIN


Pencucian uang (money laundering) adalah proses menyembunyikan hasil dari kegiatan
terlarang atau ilegal untuk menguburkan hubungan antara kegiatan kriminal asli dan dana
terlarang. Uang pencucian sering kali hanya merupakan Tindakan sekunder yang didahului
oleh perbuatan melawan hukum yaitu kejahatan asal.4Dengan demikian pencucian uang
adalah proses membersihkan uang kotor-hasil dari tindak kejahatan agar menjadi bersih
sehingga uang tersebut akhirnya dapat digunakan untuk tujuan yang legal.

Pencucian uang merupakan masalah global yang serius karena memiliki dampak ekonomi
yang menghancurkan dan juga terkait erat dengan pendanaan teroris. Tindakan ini merusak
integritas dan stabilitas lembaga keuangan serta ekonomi berbagai negara. Selain itu,
pencucian uang juga berpotensi menghambat investasi.5

Financial Action Task Force (FATF), badan kerja sama antar pemerintah yang didirikan pada
1989, telah membangun dan mempromosikan standar internasional dalam memerangi
pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pada 1940, 40 rekomendasi dibuat sebagai
kerangka kerja dalam upaya memerangi pencucian uang dan menyediakan seperangkat
penanggulangan yang meliputi sistem peradilan pidana dan penegakan hukum, sistem
keuangan dan pengaturannya, dan langkah-langkah untuk meningkatkan kerja sama
internasional.6

3
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 21.
4
Nicholas Ajello, “Fitting a Square Peg in a Round Hole: Bitcoin, Money Laundering, and the Fifth
Amendment Privilege Against Self-Incrimination,” Brooklyn Law Review 80, no. 2 (Januari 1, 2015): 80,
https://brooklynworks.brooklaw.edu/blr/vol80/iss2/4.
5
National Drug Intelligence Centre, Money Laundering in Digital Currencies (Washington, D.C.: U.S.
Department of Justice, 2008).
6
Kt Firnanda Pramudiya, “Pertanggungjawaban Pelaku Money Laundering Melalui Binance Coin,” Jurnal
Hukum dan Pembangunan Ekonomi 9, no. 1 (Juli 17, 2021): 106,
https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/52518.

677
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

Proses pencucian uang yang melibatkan uang kripto umumnya terdiri dari tiga tahap, yaitu
penempatan (placement), penyamaran (layering), dan integrasi (integration).

1. Pada tahap penempatan, pelaku menempatkan uangnya pada instrumen non moneter,
seperti membelanjakannya untuk barang antik, karya seni, logam mulia, dan mata uang
kripto.
2. Pata tahap penyamaran, setelah uang tersebut masuk ke dalam sistem keuangan dan
instrumen non moneter, pelaku melakukan serangkaian transaksi guna menjauhkan
uang tersebut dari sumbernya. Pelaku dapat mentransfer uang tersebut ke akun mata
uang kripto lainnya. Selain itu, mereka juga dapat mendirikan. perusahaan atau
merekrut individu untuk membeli mata uang kripto sehingga memberikan kesan sah.
Upaya lain adalah berusaha menyamarkan pembelian barang dan jasa.
3. Pada tahap integrasi, seluruh dana telah terselubung. Semuanya tampak diperoleh
secara legal. Oleh karena itu, pada tahap ini sangat sulit membedakan antara kekayaan
legal dan kekayaan ilegal.7

Sejak diperkenalkan ke publik, Bitcoin dicurigai karena dianggap anonim dan tidak dapat
diubah. Hal ini memicu kekhawatiran para regulator keuangan dan pemerintah. Pasalnya,
anonimitas Bitcoin dinilai dapat memfasilitasi tindak kejahatan, seperti pencucian uang dan
pendanaan terorisme. Anonimitas itu diduga tidak bisa dikendalikan oleh entitas pusat,
seperti bank sentral, dan oleh karena itu tidak tunduk pada peraturan yang ada.8

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan para ahli, mata uang kripto harus menjadi salah
satu entitas yang diperhatikan oleh program anti pencucian uang global. Hal ini
berlandaskan dua alasan. Pertama, program anti pencucian uang memfokuskan perhatian
pada transaksi yang mencurigakan (ilegal). Fokus ini berupaya memerangi upaya pelaku
menempatkan (placement) hasil kegiatan terlarang, seperti korupsi, penggelapan pajak,
pendanaan terorisme, ke dalam sistem keuangan yang sah. Kedua, mata uang kripto perlu
menjadi fokus dalam program anti pencucian uang global karena menawarkan cara-cara
baru yang memungkinkan pelaksanaan, verifikasi, dan publikasi transaksi yang hampir real-
time melintasi batas-batas politik.9

Program anti pencucian global pada dasarnya berupaya menugaskan bank multinasional
sebagai titik yang tersentralisasi.10 Penugasan ini bertujuan untuk melaporkan setiap
dugaan pencucian uang dan pendanaan aktivitas ilegal lainnya. Sebaliknya, Bitcoin dan mata
uang kripto lainnya berlandaskan pada sistem desentralisasi. Sistem ini meniadakan otoritas
(pihak ketiga) dalam transaksi, termasuk transaksi yang dilakukan lintas negara. Dengan

7
Ibid.
8
Sinta Anggraeni, “Bitcoin di Indonesia Perspektif Maslahah” (UIN Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri,
2022), 45.
9
Hanafi Amrani, Hukum Pidana Pencucian Uang (Yogyakarta: UII Press, 2015), 39.
10
Anwar Nasution, “Sistem Keuangan dan Proses Money Laundering,” Jurnal Hukum Bisnis 3 (1998): 3.

678
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

demikian, tidak ada satu pun institusi yang dapat diandalkan untuk menerapkan program
anti pencucian uang pada mata uang kripto.11

Mata uang kripto juga beroperasi secara pseudonim. Dalam hal ini, alamat pengguna tidak
bisa dihubungkan dengan identitas di dunia nyata. Hal ini merupakan tantangan dalam
menerapkan program anti pencucian uang. Pasalnya, pseudonimitas bertolak belakang
dengan inti dari program anti pencucian uang, yakni penerapan prinsip Know Your Customer
(KYC). Prinsip ini dijalankan dengan tujuan untuk mengenal dan memiliki data-data nasabah
di sektor jasa keuangan. Dengan mengetahui siapa nasabah, lembaga keuangan seperti bank
dapat dengan mudah mendeteksi setiap transaksi mencurigakan dan mengaitkannya
dengan sebuah akun. Hal ini sangat berbeda dengan pseudonimitas yang ditawarkan Bitcoin.
Pseudonimitas membuat pengguna tidak bisa dikenali. Di waktu yang sama, setiap transaksi
Bitcoin tercatat di blockchain. Seluruh catatan transaksi itu juga dapat dilihat oleh semua
pengguna. Dengan demikian, dalam sistem Bitcoin, pengguna tidak dapat dikenali, tapi
transaksi dapat ditelusuri.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terorisme
perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan
suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat
massal, dan menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis,
lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik,
atau gangguan keamanan. Secara singkat, terorisme adalah penyerangan terhadap mereka
yang bukan pertempur (nonkombatan) untuk menimbulkan ketakutan di tengah
masyarakat dan memiliki orientasi politik.

Secara umum, organisasi teroris memiliki tiga sumber utama pendanaan:

1. Pendanaan dari organisasi induk teroris


Ini merupakan sumber pendanaan terbesar. Pendanaan ini umumnya mencakup
berbagai aktivitas perekrutan anggota baru dan pembentukan jaringan antarnegara.
2. Donasi dan pendanaan virtual
Pendanaan dari donasi dapat berjumlah kecil karena berasal dari perorangan
(pendukung). Namun, donasi juga bisa datang dari kelompok atau suatu organisasi yang
memiliki afiliasi dengan organisasi teroris. Donasi biasanya dipromosikan melalui
media sosial.
3. Crowdfunding dan crowdlending
Platform virtual ini dipakai sebagai alat yang seolah-olah menjadi lazim untuk
melakukan penggalangan dana melalui akun-akun virtual di dunia maya, bahkan dapat

11
M Meima dan Yoga Nugraha Pratama, “Penggunaan Mata Uang Virtual (Bitcoin) dalam Transaksi Pasar
Modal Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang Dihubungkan dengan UU No. 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal,” Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum 17, no. 2 (Februari 25, 2018): 13–23,
http://paramarta.web.id/index.php/paramarta/article/view/59.

679
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

digunakan sebagai bentuk pertolongan untuk mendanai perjalanan anggota teroris


untuk masuk ke dalam suatu negara.12

Organisasi telah mengubah transaksi keuangan mereka. Awalnya, transaksi mereka


dilakukan secara fisik dengan mengandalkan broker lokal untuk mentransfer uang antar
lokasi. Transaksi tradisional ini dikenal dengan Hawala. Namun, seiring hilangnya kawasan
kekuasaan mereka dan tekanan militer yang semakin ketat, organisasi teroris
mengeksplorasi cara baru untuk melakukan transaksi keuangan. Mereka pun menemukan
teknologi baru yang cocok dengan sifat organisasi dan aktivitas mereka yang cenderung
tersembunyi. Cara baru itu adalah bertransaksi dengan mata uang kripto.13

Sebagai contoh adalah organisasi teroris di Jalur Gaza yang mendanai operasi mereka
dengan mata uang kripto. Hal ini sebagaimana para anggota dan pendukung ISIS (Islamic
State of Iraq and Syria) yang secara khusus menggunakan mata uang kripto di Indonesia dan
Amerika Serikat.14 Secara umum, alasan organisasi teroris menggunakan mata uang kripto
untuk melakukan transaksi adalah karena anonimitasnya, kecepatan proses transaksi,
desentralisasi, model pemerintahan sendiri (self-governance), integritas keuangan, terhindar
dari pajak, kemudahan penggunaan, independen dari sistem keuangan pusat, dan akses ke
dark web.

Dalam konteks anonimitas, mata uang kripto menyediakan kerahasiaan nama dalam
transaksinya. Konsep ini bertolak belakang dengan prinsip Know Your Customer (KYC) atau
Customer Due Diligence (CDD) yang mengharuskan pelaporan transaksi guna memenuhi
skema Anti-Money laundering (AML) dan Counter-Terrorist Financing (CFT). Lebih dari itu,
mata uang kripto juga menyediakan layanan anonim tambahan yang mengombinasikan
penyembunyian transaksi dan lokasi/identitas.

Mata uang kripto menyediakan kecepatan dalam transaksi antarnegara. Faktor ini menjadi
daya tarik bagi organisasi kriminal dan teroris untuk membangun saluran transaksi
keuangan yang menembus batas geografis. Sistem desentralisasi yang ditawarkan mata uang
kripto juga menguntungkan bagi organisasi kriminal dan teroris. Dalam hal ini, meskipun
terdapat sejumlah aktor, seperti penjual (exchanger), penambang, penyedia wallet, dll.,
sejatinya tidak ada pihak yang bertanggung jawab secara resmi terhadap keberlangsungan
sistem uang kripto. Sistem pencatatan transaksi juga tidak mengikuti kaidah. kaidah sistem
keuangan. Dalam kondisi ini, penegak hukum sering kali kesulitan dalam menginvestigasi
lokasi transaksi atau menyita aset. Desentralisasi juga mencerminkan sebuah model
pemerintahan sendiri (self-governance) dalam mata uang kripto. Hal ini karena mata uang

12
Aloysius Harry Mukti dan Yohanes Febrian, “Kesiapan Mendeteksi Kegiatan Pendanaan Terorisme
dalam Era Digital Keuangan (Fintech),” Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum 1, no. 1 (Oktober 29,
2018): 1–6, https://e-journal.trisakti.ac.id/index.php/hpph/article/view/3537.
13
Ibid.
14
Adhitya Yuda Prasetya, Athor Subroto, dan Amanah Nurish, “Model Pendanaan Terorisme Melalui Media
Cryptocurrency,” Journal of Terrorism Studies 3, no. 1 (Mei 30, 2021): 1–15,
https://scholarhub.ui.ac.id/jts/vol3/iss1/3/.

680
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

kripto dibentuk dan dikelola oleh para pengembang yang tak memiliki sistem pemerintahan
yang jelas.

Dalam hal integritas finansial, organisasi kriminal dan teroris mempercayai integritas mata
uang kripto dalam menyamarkan transaksi gelap mereka. Di sini mata uang kripto dinilai
mampu memfasilitasi aktivitas pencucian uang, penghindaran sanksi, cybercrime, penipuan,
dan pendanaan terorisme. Setiap elemen dalam mata uang kripto bisa menghindari pajak
yang diberlakukan oleh pemerintah. Ini dapat dipahami sebagai konsekuensi dari ketiadaan
regulasi yang terpusat dari suatu lembaga otoritas.

Mata uang kripto menawarkan kemudahan tampilan muka (user-friendly interface). Dalam
hal ini, organisasi teroris dapat membuat tampilan pembayaran otomatis yang mengandung
ransomware. Sistem itu dapat diperluas apabila pengguna mata uang kripto semakin besar.
Dalam kondisi tersebut, organisasi teroris bisa saja menjalankan bisnis kriminal melalui
ransomware untuk memeras uang dari korban dan menyembunyikan transaksi. Hal ini
didukung pula oleh kedudukan mata uang kripto yang independen dari pengawasan institusi
keuangan.
Terakhir, faktor yang membuat organisasi kriminal dan teroris menggunakan mata uang
kripto adalah terbukanya akses ke situs-situs underground (dark web). Situs-situs ini
menyediakan pembayaran dengan Bitcoin, transaksi dengan multi identitas, dan smart
contract. Penggunaan mata uang kripto di dark web pada umumnya digunakan untuk
pembelian narkoba, senjata, dan layanan-layanan terlarang lainnya. Di situs-situs tersebut
organisasi teroris juga mempromosikan ajakan donasi melalui mata uang kripto.

Terdapat tiga transaksi keuangan dengan mata uang kripto yang dilakukan oleh organisasi
teroris. Pertama, organisasi teroris mempromosikan dan mengajak para pendukung untuk
berdonasi dengan mata uang kripto di internet. Kedua, organisasi teroris menggabungkan
metode Hawala dengan mata uang kripto. Ketiga, menggunakan kupon mata uang kripto.15

Pertama, proses transaksi melibatkan tiga entitas utama, yakni organisasi teroris, pengirim,
dan platform exchange (bursa jual-beli uang kripto). Pengirim dapat berupa individu atau
kelompok yang mendukung isu dan aksi terorisme yang diusung organisasi terkait. Platform
exchange dapat dianggap entitas "netral", namun memiliki peran penting dalam
memindahkan, menyimpan, dan menukar mata uang kripto ke mata uang fiat. Dengan
demikian, kerja sama ketiga entitas ini membentuk skema satu dalam pendanaan terorisme
melalui mata uang kripto. Berikut diuraikan skema satu pendanaan tersebut:

1. Organisasi teroris dan afiliasinya menyebarkan pemahaman dan tujuan gerakan mereka
untuk meraih simpatisan. Kampanye mereka biasanya dimulai dengan narasi
propaganda dan diakhiri dengan penggalangan dana untuk amal (sedekah).
2. Mereka menggunakan media konvensional dan internet. Aneka platform di internet
dimanfaatkan untuk mendukung aktivitas organisasi, misalnya komunikasi dan
kampanye, baik secara pribadi maupun publik.

15
Ibid.

681
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

3. Penggalangan dana dilakukan dengan mencantumkan alamat atau kode QR mata uang
kripto.
4. Pengirim akan mengirimkan sejumlah dana dalam bentuk mata uang kripto ke alamat
yang tercantum. Pengirim dapat terdiri dari anggota organisasi, afiliasi, dan simpatisan.
5. Dana yang telah terkumpul masih berbentuk mata uang kripto. Dana ini dapat
dikirimkan lagi oleh organisasi teroris ke alamat mata uang kripto lain. Tujuannya
adalah untuk mencuci dana, menyimpannya di wallet, atau mengubahnya menjadi mata
uang fiat.
6. Organisasi teroris akan menukar sejumlah mata uang kripto menjadi mata uang fiat
melalui sebuah platform exchange.
7. Mata uang kripto yang telah menjadi mata uang fiat siap digunakan untuk memenuhi
kebutuhan organisasi dan aksi terorisme.

Kedua, mengombinasikan antara keberadaan mata uang kripto dengan metode pendanaan
tradisional terorisme yang dikenal dengan Hawala. Skema ini seperti yang pernah dilakukan
oleh Brigade al-Qassam (militer Hamas) dalam kampanye pendanaan aktivitasnya. Berikut
langkah-langkah pendanaan pada skema kedua:

1. Pihak organisasi (militer Hamas) merilis video yang menjelaskan bagaimana melakukan
donasi dengan Bitcoin. Pada video itu dijelaskan pula bahwa donasi dengan Bitcoin akan
berlangsung secara anonim.
2. Para simpatisan yang ingin berdonasi hanya perlu menyetor sejumlah dana (mata uang
fiat) ke Hawala (broker).
3. Hawala selanjutnya mengonversi dana donasi menjadi Bitcoin dan meneruskannya ke
alamat Bitcoin milik organisasi.

Ketiga adalah mengubah mata uang kripto ke dalam bentuk "kupon." "Kupon" yang berisi
sejumlah dana tersebut dapat dikirimkan ke penerima melalui email atau media komunikasi
lain. Skema ini diketahui berdasarkan temuan pihak keamanan Perancis ketika
menginvestigasi jaringan pendanaan yang dijalankan jihadis Perancis sejak tahun 2013.
Dalam investigasi tersebut ditemukan bahwa terdapat pengiriman dana ke organisasi teroris
di Suriah. Proses pengiriman itu dilakukan dengan cara mengubah sejumlah mata uang
kripto ke dalam bentuk "kupon" yang selanjutnya dikirimkan menggunakan aplikasi pesan
rahasia (secure messaging) kepada jihadis di Suriah. Dengan menerapkan skema tersebut,
setidaknya mereka telah mengirimkan ratusan ribu euro yang dapat dicairkan di platform
exchange.16

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGUNA BITCOIN DALAM KEJAHATAN


PENCUCIAN UANG
Pencucian uang sederhananya adalah melakukan bersih-bersih terhadap uang atau harta
agar pihak lain tidak mengetahui bahwa uang tersebut sebenarnya berasal dari hasil

16
Ibid.

682
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

kejahatan atau tindak pidana. Jika kita lihat ke belakang, usaha pencucian uang dapat melalui
bank karena bank tempat yang aman dan memang fungsinya untuk menyimpan uang.
Namun seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan kompleksitas sistem keuangan
serta semakin canggihnya modus operasi pelaku pencucian uang, maka semakin banyak alat
untuk pencucian uang, salah satu contohnya adalah pencucian uang melalui virtual currency
(mata uang virtual), fungsi sebenarnya mata uang digital ini adalah dirancang sebagai
alternatif alat pembayaran yang sah, pada masa awal pembuatannya mata uang ini dipakai
hanya dalam komunitas virtual saja, dan situs game online tertentu. Mata uang digital ini
mengalami perkembangan dan masuk ke dalam kegiatan nyata sehari-hari masyarakat. Pada
masa sekarang ada banyak macam mata uang digital yang hadir di tengah masyarakat luas
dan bisa didapat secara langsung yang meliputi pertambangan atau dari perusahaan yang
menjual mata uang digital dan lain-lain) dan juga bisa melalui cara tidak langsung seperti
pertukaran mata uang digital.17

Arti mata uang digital secara sederhana adalah sebagai uang atau satuan nilai yang bisa
disimpan dan digunakan dalam media elektronik, mata uang digital bukan dibuat oleh suatu
negara namun mata uang digital di buat oleh sekelompok orang atau badan hukum, dengan
tujuan untuk memudahkan pertukaran barang atau jasa dalam anggota kelompok tersebut.
Mata uang digital sendiri bisa dikatakan terbuka dan tertutup, hal ini tergantung sudut
pandang bisa atau tidaknya diubah ke dalam mata uang yang legal. Mata uang digital ini tidak
memakai data lengkap para penggunanya atau bisa disebut anonim, hal ini menyebabkan
pengguna sulit dilacak, dan menimbulkan alat baru bagi munculnya kejahatan dan pelaku
dapat menyimpan atau menginvestasikan uang dari hasil ia berbuah kejahatan dengan baik.
Banyak kasus yang terjadi dimana mata uang digital dipakai sebagai alat kejahatan
pencucian uang secara digital.18

Jika kita lihat ke belakang maka di luar negeri sendiri sudah ada kasus yang terjadi pada
tahun 2013 yaitu Liberty Reserve, yang merupakan penyedia jasa money transmitting dan
mengklaim lembaga institusinya sebagai sistem pembayaran online tertua serta paling aman
dalam hal melayani jutaan pengguna di seluruh dunia. Untuk dapat mengirimkan uang
memakai Liberty Reserve, pelanggan hanya mencantumkan nama, alamat serta tanggal lahir.
namun demikian pelanggan tidak wajib mencantumkan identitasnya. Pelanggan
mengonversi uang mereka ke dalam mata uang Virtual yang telah disediakan Liberty Reserve,
dengan itu maka uang akan dengan cepat sampai dan uang digital itu dikonversi kembali ke
uang tunai. Maka dengan itu si pengirim dan penerima tidak terdeteksi jika ia melakukan
money laundering. Hal ini sama seperti yang terjadi pada kasus yang heboh juga yaitu
pencucian uang terindikasi terjadi di Indonesia yaitu melalui kasus pencucian uang yang
dilakukan pada kasus ASABRI. Jika melihat dari kasus-kasus pencucian uang yang
menggunakan mata uang virtual sebagai sarananya maka kejadian tersebut akan menjadi

17
I Ketut Suarbawa, Hari Purwadi, dan Supanto, “Optimalisasi Proses Pengembalian Uang Pengganti
dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Poso),” Jurnal Hukum dan
Pembangunan Ekonomi 7, no. 1 (April 9, 2019): 74–84,
https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/29196.
18
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), 43.

683
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

ancaman baru dalam dunia kejahatan yang harus diantisipasi sedini mungkin oleh
Indonesia.19

Berkembangnya suatu teknologi informasi dan komunikasi yang semakin cepat, memiliki
suatu keharusan secara teliti dan optimis. Melihat kemajuan peluang bisnis yang mengarah
ke digital atau dunia maya adalah peluang yang dapat menjanjikan bagi setiap orang yang
berkecimpung di dalam bisnis tersebut. Dunia sekarang ini mengarah ke arah aktual yaitu
menggunakan uang virtual (cryptocurrency) tidak lagi menggunakan uang tunai seperti uang
kertas ataupun logam. Diketahui bahwa asal muasal adanya uang disebabkan masyarakat
merasakan kesusahan dalam menjalankan tukar menukar yang dapat disebut dengan barter.
Barter merupakan suatu kegiatan tukar menukar barang ataupun jasa. Disisi lain wilayah
cakupan barter ini lebih sempit disebabkan kesulitan orang tersebut untuk bertemu satu
sama lain. Cryptocurrency diciptakan menggunakan kriptografi yang bertujuan untuk tidak
mudah ditiru dengan mekanisme yang sangat rumit yang menyebabkan tidak dapat
digandakan dan mudah berpindah tangan jika tidak memiliki akses atau jaringan pada
cryptocurrency tersebut. Saat ini ditemukan mulai banyaknya cryptocurrency yang
digunakan di kalangan masyarakat dengan tujuan bermacam bertransaksi. Cryptocurrency
dapat melakukan pemeriksaan setiap pengiriman dana yang melaksanakan kegiatan
tersebut tanpa campur pihak ketiga seperti bank sentral. Saat ini di Indonesia sudah beredar
mata uang virtual (cryptocurrency), seperti Bitcoin, Centcoin, dan juga BNB Coin.
Sebagaimana dalam karakteristik cryptocurrency yang memanfaatkan teknik-teknik
kriptografi dalam sistemnya terdapat dua teknik yang penting dalam sistem cryptocurrency
yaitu tanda tangan digital dan fungsi hash.20

a. Tanda tangan digital


Tanda tangan digital ini adalah komponen yang penting dikarenakan secara umum
terdapat manfaat yaitu untuk memastikan dan mengetahui identitas dari tanda tangan
digital tersebut, memastikan orang tersebut agar tidak bisa menyangkal, memastikan
dokumen yang dibubuhi tanda tangan tidak adanya perubahan.
b. Fungsi hash
Fungsi hash adalah fungsi yang bertujuan untuk mengalkulasi nilai dari sebuah data.
merupakan sebuah fungsi yang digunakan untuk menghitung nilai unik dari sebuah data
berukuran sembarang. Manfaat fungsi hash bertujuan untuk melindungi data
kerahasiaan dan memastikan data tidak dapat diubah serta dapat memproduksi
mempresentasikan data.

Kemunculan mata uang virtual cryptocurrency di Indonesia saat ini sangat mendapatkan
respons yang positif serta memberikan efek keingintahuan seseorang mengenai

19
Satriawan Sulaksono, Widodo Tresno Novianto, dan Supanto, “Perlindungan Hukum dalam Pemulihan
Aset Bagi Korban Tindak Pidana Pencucian Uang yang Tercampur dengan Aset Pelaku,” Jurnal Hukum
dan Pembangunan Ekonomi 7, no. 1 (April 9, 2019): 107–119,
https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/29202.
20
Haris Budiman et al., “The Application of Criminal Sanctions on the Distribution of Alcoholic Drinks,”
Journal of Morality and Legal Culture 1, no. 1 (Juli 30, 2020): 7–11,
https://jurnal.uns.ac.id/jmail/article/view/44740.

684
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

cryptocurrency tersebut. Seiring berjalannya waktu cryptocurrency berkembang pesat


karena dapat dipergunakan sebagai sarana investasi, berniaga, ataupun pembayaran melalui
sistem elektronik. Diperhatikan berdasarkan konsep cryptocurrency merupakan jembatan
alternatif mata uang dunia yang benar-benar berpedoman pada supply dan demand,
berhubungan antara banyaknya permintaan sehingga terjadinya kenaikan harga serta
banyaknya jumlah barang yang ditawarkan sehingga sebaliknya mengalami penurunan
harga. Penggunaan cryptocurrency di kalangan masyarakat mendorong Bank Indonesia
memberi himbau bagi pengguna cryptocurrency agar bijak dan berhati-hati dalam
menggunakan cryptocurrency. Disebabkan cryptocurrency belum memiliki aturan secara
spesifik mengatur dan mata uang digital cryptocurrency tidak diakui sebagai alat
pembayaran yang legal di Indonesia. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi
(BAPPEBTI) bersinergi melakukan suatu penilaian dan relevansi adanya cryptocurrency bagi
perkembangan perekonomian ataupun dalam hal bisnis. Sejatinya BAPPEBTI telah
menyatakan cryptocurrency sebagai subjek komoditi dalam bursa perdagangan berjangka.
Jika kita membahas tentang uang, maka bisa diketahui uang mengalami evolusi dari dahulu
hingga sekarang. Jika uang pada awalnya hanya berbentuk fisik, maka pada saat ini ada uang
dalam bentuk digital. Dengan perkembangan teknologi pada masa secara, timbul lah
berbagai cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk menyimpan harta yang dimiliki
contohnya dengan cara hartanya di jual-belikan untuk mendapatkan mata uang digital
sebagai salah satu investasi yang mereka dapatkan.

Penggunaan mata uang virtual Bitcoin dapat diklasifikasikan menjadi tindak pidana
pencucian uang apabila mata uang digital tersebut berasal dari hasil kejahatan. Hasil tindak
pidana yang dimaksud yaitu sudah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 berisi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian hasil dari peredaran
atau penjualan narkotika tersebut, akan diperoleh Bitcoin sebagai hasil tindak pidana
penjualan narkotika, yang kemudian Bitcoin tersebut di olah dalam suatu transaksi
keuangan atau di investasi bisnis yang bersifat legal, sebelum adanya kasus ASABRI sudah
ada kasus serupa yang menggunakan mata uang digital sebagai objek pencucian uang yaitu
di Amerika Serikat yang melibatkan penyedia jasa pertukaran uang virtual (money
transmitting), yaitu “liberty reserve”.21

Dimana para pelaku kejahatan melalui penyedia jasa money transmitting tersebut
mengonversi mata uang digital mereka yang berasal dari penjualan Narkotika ke mata uang
konvensional sehingga uang hasil tindak pidana dari peredaran narkotika yang semula
merupakan uang hasil kejahatan, lalu dihilangkan jejaknya agar tidak terlihat bahwa uang
tersebut adalah hasil kejahatan. Dengan kata lain telah terjadi tindak pidana pencucian uang.
Menerima atau melakukan penukaran Mata Uang Digital yang bersumber dari hasil tindak
pidana Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 disebutkan bahwa
setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentrasferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya

21
Iswantoro, “Juridical Analysis of Environmental Law Enforcement in Forestry Crimes Regulation in the
Regional Autonomy,” Journal of Morality and Legal Culture 1, no. 1 (Juli 30, 2020): 45,
https://jurnal.uns.ac.id/jmail/article/view/45589.

685
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

atau patut diduga merupakan hasil dari tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 2 ayat 1 dipidana dengan hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan memberi
denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00.

Jika dikaitkan dengan penggunaan mata uang virtual Bitcoin sebagai sarana tindak pidana
pencucian uang, Menerima atau melakukan pertukaran (Konversi) dalam hal ini adalah
setiap orang baik itu perorangan Yang mendapatkan Bitcoin berupa sumbangan, hibah, dan
penitipan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil/berasal dari tindak
pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta
penyedia jasa pertukaran uang virtual (Bitcoin Exchange Money Transmitting) yang
memfasilitasi maupun menyediakan layanan pembayaran, pentransferan, dan Pertukaran
(konversi) uang Virtual (Bitcoin) yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil/berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, maka dalam hal ini telah terjadi upaya penempatan aset hasil tindak pidana
(placement) dan upaya untuk memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya (layering)
guna menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Bitcoin tersebut berupa mengonversi
harta/aset hasil tindak pidana yang semula mata uang virtual Bitcoin tersebut adalah dirty
money, kemudian menjadi clean money. Dengan demikian telah terjadi tindak pidana
pencucian uang.

Hukum Pidana merupakan hukum yang mengandung peraturan-peraturan yang di


dalamnya terdapat suatu kemestian, kewajiban, dan larangan kepada pelanggarnya yang
dapat diancam hukuman yaitu suatu siksa. Pesatnya kemajuan teknologi memunculkan
berbagai bentuk kejahatan yang memiliki jaringan internasional dimana lembaga keuangan
merupakan suatu sarana dan sasarannya, hal ini dapat dikatakan seperti kejahatan tindak
pidana pencucian uang (money loundering). Tindak pidana pencucian uang tidak berdiri
sendiri karena harta kekayaan yang ditempatkan, dipindahkan, atau dialihkan dengan cara
pembaruan yang diperoleh dari tindak pidana, dalam hal ini telah ada tindak pidana lain yang
mendahuluinya.22

Menurut Sutedi, pencucian uang adalah kegiatan yang memiliki tujuan untuk
menyembunyikan asal muasal uang ataupun harta kekayaan itu berasal dan selanjutnya
dimanipulasi sedemikian rupa menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari
kegiatan yang legal. Adanya cryptocurrency menimbulkan indikasi kejahatan tindak pidana
pencucian uang, mekanisme utama dalam tindakan ini adalah dengan melakukan mengikuti
uang. BNB Coin merupakan salah satu mata uang serupa yang sering kali digunakan secara
luas untuk kejahatan, tetapi mereka belum sepenuhnya berada dalam radar peradilan
pidana. Adanya BNB Coin sebagai salah satu mata uang virtual telah menimbulkan risiko
yang signifikan dan bisa menjadi ancaman potensial dimana ini sebuah kewajiban lembaga

22
Febry Wulandari dan Waluyo Waluyo, “Efektivitas Pemanfaatan Dana bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
dalam Bidang Kesehatan di Kota Surakarta Tahun 2018,” BESTUUR 7, no. 2 (Juli 7, 2020): 15–25,
https://jurnal.uns.ac.id/bestuur/article/view/28418.

686
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

penegak hukum untuk memastikan bahwa risiko yang ada atau potensial lebih diakui dan
dipahami secara luas.23

Maka kejahatan money laundering merupakan kejahatan yang sangat mungkin menjangkau
teritorial negara dan lintas negara, karena harus adanya jalinan kerja sama antar negara
terkait untuk dapat memerangi secara bersama-sama dalam upaya pencegahan cyber money
laundering, hal ini penting karena efek dari ini sangat signifikan terhadap perkembangan
perekonomian masyarakat baik di tingkat lokal, regional, nasional bahkan tingkat
internasional. Cara yang mungkin bisa dilakukan pemerintah dalam hal regulasi di
antaranya.

Membuat aturan khusus terkait mengenai pemakaian dan keberadaan mata uang virtual
Bitcoin di Indonesia melihat pemakai dan peminat mata uang digital ini semakin naik dan
nilai transaksi mata uang digital di Indonesia, memang sudah saatnya dibuat aturan khusus
mengenai pemakaian dan persebaran mata uang digital khususnya Bitcoin di Indonesia. Jika
dilihat Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang,
disebutkan bahwa Rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunya tujuan
pembayaran; penyelesaian kewajiban lainya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
transaksi keuangan lainya yang dilakukan diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemudian Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang,
bahwa setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam setiap transaksi yang
mempunyai tujuan pembayaran; penyelesaian Kewajiban lainya yang harus dipenuhi
dengan uang; dan/atau transaksi keuangan lainya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Artinya, dalam setiap transaksi yang memiliki maksud guna untuk pembayaran atau
kewajiban lainya yang wajib menggunakan uang atau transaksi keuangan lainya dengan
memakai mata uang digital Bitcoin, maka saat itu masih berada di wilayah Negara kesatuan
republik Indonesia bisa mendapat hukuman pidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Dari
Undang-undang yang telah dijelaskan sudah jelas Mata Uang digital tidak dapat dipakai
sebagai alat pembayaran yang sah di negara Indonesia. Tapi, Otoritas Keuangan Indonesia
bisa mengambil pengalaman belajar terkait apa yang dilakukan oleh Internal Revenue
Service (IRS atau lembaga pajak Amerika Serikat) yang memberi istilah Mata uang digital
sebagai aset properti dan wajib membayar pajak, di lain sisi pula hasil dari penambangan
Bitcoin diberi kewajiban pajak juga Internal Revenue Service (IRS) telah memberi panduan
terkait pajak atas transaksi yang memakai mata uang digital, yaitu Binance atau mata uang
sejenis “IRC Notice 2014-21 About Enforcement of Virtual Currency Takes” yang diwajibkan
untuk orang dan kelompok yang memakai mata uang digital. IRS mengumpamakan Bitcoin
sama halnya dengan investasi properti, dimana keuntungan yang diperoleh wajib dikenakan

23
Yosua Gabriel Pradipta dan Dona Budi Kharisma, “Proses Penyelesaian Sengketa di Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI),” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 7, no.
2 (Agustus 2, 2019): 293–301, https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/43020.

687
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

dengan pajak dan bisa disamakan juga dengan perdagangan saham atau reksa dana yang
wajib laporkan.

Jika dilihat dari Perbandingan Hukum, maka dilihat dari unsur hukum asing yang aktual
dalam sebuah masalah hukum dapat untuk digali dan penerapannya dilakukan di Indonesia,
Negara kita dapat mencontoh apa yang dilakukan oleh dari IRC, maka sudah sewajarnya
pihak terkait seperti OJK tidak wajib tahu Bitcoin sebagai uang dalam setiap transaksi
pembayaran, namun OJK sudah sewajarnya melihat Mata Uang digital Bitcoin dari sudut
pandang lain, yaitu dengan mengeluarkan Regulasi yang berisi terkait hal-hal Mata Uang
digital Bitcoin sebagai aset bukan semata-mata uang alat tukar saja yang dapat di kenai Pajak.
Aturan-aturan dari luar negeri tentu dapat dijadikan contoh studi perbandingan Hukum
yang akan menjadi regulasi di Indonesia. maka setiap exchange yang terkait dalam penjualan
mata uang digital wajib memakai aturan terkait prinsip Know Your Customer (KYC), yang bisa
diambil dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 Terkait hal Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah. Dimana dalam menjalankan kegiatan usahanya, penyedia jasa
mata uang digital wajib:

a. Menetapkan kebijakan penerimaan nasabah;


b. Menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi nasabah;
c. Menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi
nasabah;
d. Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan
penerapan prinsip mengenal nasabah.

Selain itu, penyedia jasa Mata uang digital diwajibkan dalam hal pelaporan terkait aktivitas
transaksi yang mencurigakan dalam hal money laundering. Perubahan (amandemen)
terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Berhubungan dengan pemakaian mata uang digital yang
digunakan untuk alat tindak pidana pencucian uang, sampai sekarang Undang-Undang yang
ada belum bisa menjangkau upaya pencegahan dan pemberantasannya tindak pidana
pencucian uang dengan Binance sebagai alat. Undang-undang sebagai aturan dalam
penegakan hukum diperlukan adanya usaha pembaharuan hukum pidana yang pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya pembaharuan legal substance dalam usaha lebih
menjangkau dan penegasan terhadap penegakan hukum. Maka, perlu dilakukan perubahan
terhadap undang-undang guna mengakomodasi Pencegahan dan pemberantasan terhadap
penggunaan Mata Uang digital ini sebagai sarana tindak pidana pencucian uang. Adapun
Pasal yang bisa diperbarui dan diubah dalam undang-undang, yaitu di Pasal 17 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang. Pada Pasal ini bisa rubahan dengan adanya penambahan “Penyedia
jasa pertukaran uang konvensional ke mata uang digital sebaliknya” sebagai salah satu pihak
pelapor. dengan begitu, setiap penyedia Jasa mata uang digital memiliki kewajiban Untuk
melaksanakan pelaporan, pengawasan kepatuhan dan Penerapan prinsip mengenali

688
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

pengguna jasa (KYC) sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang
nantinya akan diubah.24

KESIMPULAN
Bitcoin jelas tidak memenuhi syarat uang secara teori dan UU Mata Uang hanya mengakui
rupiah sebagai alat tukar yang sah, dan berdasarkan UU Mata Uang, Bitcoin tidak dapat
dikatakan sebagai uang. Selain tidak dapat dikatakan sebagai uang Bitcoin juga tidak dapat
dikatakan sebagai uang elektronik. Indonesia melarang penggunaan Bitcoin dan mata uang
virtual lainnya sebagai alat pembayaran. Namun seiring waktu Bitcoin dan lainnya diakui
sebagai komoditi yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka. Regulasi Indonesia
berfokus pada prinsip pengenalan nasabah guna mencegah tindak kejahatan menggunakan
Bitcoin dan mata uang virtual lainnya. Pada perkembangannya Indonesia juga dikabarkan
sedang mempersiapkan skema pemajakan bagi perdagangan aset kripto. Namun, seperti
halnya negara-negara lain, Indonesia masih menghadapi tantangan terkait pseudonimitas
dan desentralisasi Bitcoin. Kedua aspek ini akan terus mempersulit pertanggungjawaban
pidana terkait Bitcoin. Karena selama masih menerapkan pseudonimitas dan desentralisasi,
penegak hukum hanya dapat menelusuri setiap transaksi Bitcoin, tapi tidak bisa
mengungkapkan identitas di balik transaksi tersebut. Ada pun tanggung jawab pelaku tindak
pidana pencucian uang yang memakai uang digital sebagai sarana alat investasi berdampak
negatif bagi Negara Indonesia, terutama yang menyangkut terkait bisnis ini disebabkan
orang atau kelompok yang melakukan kejahatan tersebut menggunakan kemajuan teknologi
dengan tujuan yang kotor sehingga pelaku bisa dihukum menggunakan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang dan juga kejahatan money laundering adalah kejahatan yang dapat dilakukan hingga
batas teritorial negara atau lintas negara.

DAFTAR PUSTAKA
Ajello, Nicholas. “Fitting a Square Peg in a Round Hole: Bitcoin, Money Laundering, and the
Fifth Amendment Privilege Against Self-Incrimination.” Brooklyn Law Review 80, no.
2 (Januari 1, 2015). https://brooklynworks.brooklaw.edu/blr/vol80/iss2/4.
Amrani, Hanafi. Hukum Pidana Pencucian Uang. Yogyakarta: UII Press, 2015.
Anggraeni, Sinta. “Bitcoin di Indonesia Perspektif Maslahah.” UIN Profesor Kiai Haji Saifuddin
Zuhri, 2022.
Budiman, Haris, Ela Nurlaela, Diding Rahmat, dan Suwari Akhmaddhian. “The Application of
Criminal Sanctions on the Distribution of Alcoholic Drinks.” Journal of Morality and
Legal Culture 1, no. 1 (Juli 30, 2020). https://jurnal.uns.ac.id/jmail/article/
view/44740.

24
Sara Hersriavita, Lego Karjoko, dan Widodo Tresno Novianto, “Upaya Pengembalian Kerugian Negara
dari Perkara Tindak Pidana Korupsi oleh Kejaksaan Negeri Sukoharjo,” Jurnal Hukum dan Pembangunan
Ekonomi 7, no. 1 (April 9, 2019): 15–28, https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/29172.

689
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

Darmawan, Oscar. Bitcoin Mata Uang Digital Dunia. Jakarta: Jasakom, 2014.
Gabriel Pradipta, Yosua, dan Dona Budi Kharisma. “Proses Penyelesaian Sengketa di
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI).” Jurnal
Hukum dan Pembangunan Ekonomi 7, no. 2 (Agustus 2, 2019).
https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/43020.
Hersriavita, Sara, Lego Karjoko, dan Widodo Tresno Novianto. “Upaya Pengembalian
Kerugian Negara dari Perkara Tindak Pidana Korupsi oleh Kejaksaan Negeri
Sukoharjo.” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 7, no. 1 (April 9, 2019).
https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/29172.
Iswantoro. “Juridical Analysis of Environmental Law Enforcement in Forestry Crimes
Regulation in the Regional Autonomy.” Journal of Morality and Legal Culture 1, no. 1
(Juli 30, 2020). https://jurnal.uns.ac.id/jmail/article/view/45589.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Meima, M, dan Yoga Nugraha Pratama. “Penggunaan Mata Uang Virtual (Bitcoin) dalam
Transaksi Pasar Modal Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
Dihubungkan dengan UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.” Wacana
Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum 17, no. 2 (Februari 25, 2018).
http://paramarta.web.id/index.php/paramarta/article/view/59.
Mukti, Aloysius Harry, dan Yohanes Febrian. “Kesiapan Mendeteksi Kegiatan Pendanaan
Terorisme dalam Era Digital Keuangan (Fintech).” Hukum Pidana dan Pembangunan
Hukum 1, no. 1 (Oktober 29, 2018). https://e-journal.trisakti.ac.id/index.php/
hpph/article/view/3537.
Nasution, Anwar. “Sistem Keuangan dan Proses Money Laundering.” Jurnal Hukum Bisnis 3
(1998).
National Drug Intelligence Centre. Money Laundering in Digital Currencies. Washington, D.C.:
U.S. Department of Justice, 2008.
Pramudiya, Kt Firnanda. “Pertanggungjawaban Pelaku Money Laundering Melalui Binance
Coin.” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 9, no. 1 (Juli 17, 2021).
https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/52518.
Prasetya, Adhitya Yuda, Athor Subroto, dan Amanah Nurish. “Model Pendanaan Terorisme
Melalui Media Cryptocurrency.” Journal of Terrorism Studies 3, no. 1 (Mei 30, 2021).
https://scholarhub.ui.ac.id/jts/vol3/iss1/3/.
Suarbawa, I Ketut, Hari Purwadi, dan Supanto. “Optimalisasi Proses Pengembalian Uang
Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Studi Kasus di Pengadilan
Negeri Poso).” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 7, no. 1 (April 9, 2019).
https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/29196.
Sulaksono, Satriawan, Widodo Tresno Novianto, dan Supanto. “Perlindungan Hukum dalam
Pemulihan Aset Bagi Korban Tindak Pidana Pencucian Uang yang Tercampur dengan
Aset Pelaku.” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 7, no. 1 (April 9, 2019).
https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/29202.
Sutedi, Adrian. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008.

690
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 2, August 2023

Wulandari, Febry, dan Waluyo Waluyo. “Efektivitas Pemanfaatan Dana bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau dalam Bidang Kesehatan di Kota Surakarta Tahun 2018.” BESTUUR 7, no.
2 (Juli 7, 2020). https://jurnal.uns.ac.id/bestuur/article/view/28418.

691

Anda mungkin juga menyukai