Anda di halaman 1dari 8

Rentenir di Era Digital Berbasis Aplikasi Online Mulai Menjerat Masyarakat

Penulis :

Atila Genta Jati K 2120202076

Tegar Taqqiyudin Zaki 2120202062

Eni Octavia Ariyana 2120202055

Nikmatur Rohmah 2120202056

Program Studi Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Tidar

2022
Pinjaman Online dan Penyebaran Data Nasabah: Aksi 'Rentenir Digital'

Industri Fintech (Financial Technology) adalah sebuah produk baru dari kemajuan
teknologi digital yang kombinasikan dengan industri keuangan. Fintech telah menjadi sebuah
terobosan dalam sektor perekonomian yang implementasinya telah menjadi trend di
masyarakat mulai dari jual beli saham, pembayaran, sistem pinjaman uang (lending), transfer
dana, investasi retail, perencanaan keuangan (personal finance), dan lain sebagainya (Palinggi
& Allolinggi, 2020)

Gambar 1.1 Contoh Aplikasi Fintech

Beberapa aplikasi yang tertera pada Gambar 1.1 merupakan contoh sistem pinjaman
online berbasis web, sebuah aplikasi yang terintegrasi antara produk pinjaman dengan
teknologi informasi mulai dari proses pengajuan, persetujuan dan pencairan dilakukan secara
online dan didukung dengan SMS. Sehingga pemberi dan penerima pinjaman tidak perlu
bertemu atau bertatap muka langsung. Dahulu, debitor harus pergi ke bank atau lembaga
keuangan lainnya untuk mencari pinjaman, Namun sekarang dengan adanya aplikasi
pinjaman online, semua orang dapat mengajukan pinjaman kapanpun dan dimanapun selama
dia memiliki smartphone dan komputer yang digunakan terkoneksi dengan internet. Sistem
pinjaman online ini akan menjadi solusi efektif, efisien dan sangat membantu bagi orang
yang mengalami kesulitan keuangan tanpa harus mengabiskan waktu, biaya, dan tenaga.
persyaratan yang tidak rumit dan proses pencairan yang cepat (Supriyanto & Ismawati, 2019).
Akhir-akhir ini banyak kasus pinjaman online yang mulai muncul beserta dengan
dampaknya, Seperti pada saat penagihan yang bermasalah hingga penyalahgunaan data
pribadi nasabah. (Darmiwati & Syahfitri, 2021) . Banyak kita temukan di media sosial kisah
– kisah dari nasabah pinjaman online, yang mengeluhkan perilaku para penagih hutang yang
dianggap melanggar privasi.
Gambar 1.2 Ancaman Pinjol (Sumber : google)

Gambar 1.2 menunjukkan adanya pesan yang berisi ancaman dari pihak penyedia dana
(pinjaman), pesan yang dikirimkan melalui whatsapp di atas berisi nama lengkap nasabah
bahkan jumlah nominalnya pun juga disebutkan. Berdasarkan informasi yang didapat pesan
tersebut meneror nasabah secara berulang ulang hingga hutang dinyatakan lunas, bahkan ada
juga beberapa admin pinjaman online yang melakukan penagihan melalui fitur chat whatsapp
menggunakan kata kata kasar yang dirasa kurang sopan. Pihak pinjaman online mengancam
akan menyebarkan data pribadi tentang dirinya beserta nominal hutangnya kepada kontak
yang tersimpan di ponselnya, dengan adanya hal ini disimpulkan bahwa pihak pinjaman
online menyebarkan data nasabah tanpa izin dari pemilik data. Harga diri seseorang
terkadang bisa saja jatuh hanya karena pesan penagihan ini di kirimkan secara random pada
daftar kontaknya, sehingga nama baik dari nasabah pun dapat tercoreng.

Ada mekanisme pengumpulan, pengambilan dan penyebaran data pribadi yang


dilakukan oleh aplikasi pinjaman online, yang sebenarnya itu tidak boleh. Pengambilan data
pribadi yang dilakukan juga, menurutnya, tidak terbatas pada apa yang diizinkan, tapi juga
pada yang “secara ilegal” diambil, seperti foto-foto dan video dari media, selain juga
penagihan yang dilakukan tidak hanya pada peminjam. Untuk praktik penyebaran data
pribadi dalam penagihan pinjaman online, dapat di nilai "berlebihan". Sudah melampaui apa
yang di maksud sebagai consent, maka berpotensi melanggar ketentuan perlindungan data
pribadi.

Setiap orang pasti memiliki data pribadi. Data pribadi merupakan sesuatu yang
melekat pada setiap orang. Data pribadi merupakan sesuatu yang bersifat sensitif. Data
pribadi adalah sesuatu yang harus dilindungi karna sejatinya merupakan hak privasi setiap
orang. Hak privasi adalah hak konstitusional warga negara yang telah diatur dalam Undang –
Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 (Kusnadi, 2021). Hak konstitusional
adalah kewajiban dari suatu negara terhadap warga negaranya. Di Indonesia saat ini banyak
terjadi permasalahan hukum yang menyalahgunakan data pribadi seseorang untuk
kepentingan pribadi. Tetapi, saat ini penanganan permasalahan hukum tersebut belum
maksimal dikarenakan kekosongan norma dalam perlindungan hukum data pribadi
(Purnomosidi, 2017). Privasi merupakan hak yang dimiliki baik oleh individu, kelompok,
maupun lembaga untuk menentukan sendiri sampai sejauh apa, bagaimana informasi mereka
dikomunikasikan tanpa diketahui oleh publik. Jadi pada dasarnya privasi adalah hak untuk
menentukan apa, dengan siapa, dan seberapa jauh informasi mengenai dirinya boleh
diungkap kepada orang lain. Beberapa contoh seperti privasi atas tubuh, privasi identitas,
privasi data, privasi korespondensi, privasi lokasi, privasi wilayah dan privasi keuangan. Pada
praktik penagihan yang dilakukan oleh pinjol ini telah melanggar privasi data, yakni privasi
yang berkaitan dengan jejaring digital seperti, foto, dokumen, data.

Di Indonesia, pasca-amandemen konstitusi, hak atas privasi diakui sebagai salah satu
hak konstitusional warga negara yang harus dilindungi. Perlindungan ini ditegaskan di dalam
Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945, yang diantaranya menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi (privasi), keluarga, kehormatan, martabat, dan harta bendanya
(termasuk data-data pribadi). Pernyataan tersebut juga ditegaskan di dalam Pasal 32 UU No.
39 Tahun 1999 tentang HAM, yang antara lain menyatakan bahwa kemerdekaan dan rahasia
komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu kecuali atas perintah hakim atau
kekuasaan lain yang sah menurut undang-undang. Penyebaran data yang dilakukan oleh
pinjol ini dilakukan dengan harapan agar nasabah segera melunasi hutangnya, walaupun
demikian cara yang dilakukan tetaplah salah karena telah melanggar hak privasi dari
nasabahnya dan merupakan sebuah tindakan pidana

Intersepsi komunikasi secara melawan hukum yang dilakukan di internet juga


dilarang menurut hukum Indonesia. Larangan ini ditegaskan di dalam Pasal 31 ayat (1) UU
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam ketentuan tersebut
dinyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk melalukan intersepsi atau penyadapan atas
informasi atau dokumen elektronik dalam suatu komputer atau sistem elektronik milik orang
lain. Intersepsi komunikasi hanya dibolehkan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan atau institusi penegak hukum lainnya. Pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut diancam pidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan/atau denda
sebanyak-banyaknya 800 juta rupiah. Penyadapan daftar kontak yang dimiliki oleh nasabah
juga dianggap sebagai pelanggaran yang telah dilakukan oleh pihak pinjol.

Menurut (Jafar W, 2014) selain masalah centang-perenang hukum penyadapan,


problem lain yang mengemuka dalam perlindungan privasi di Indonesia adalah tidak
memadainya perlindungan terhadap data pribadi warga negara. Bahkan sampai saat ini,
Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang secara khusus menjamin
perlindungan data pribadi seseorang. Ketentuan mengenai perlindungan data pribadi
seseorang, khususnya yang dalam bentuk elektronik diatur secara terbatas di dalam Pasal 26
dan Pasal 43 ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun pelanggaran terhadap
ketentuan ini tidak diancam dengan pidana, hanya diberikan ruang untuk melakukan ganti
kerugian. Lemahnya pengaturan mengenai perlindungan data pribadi berakibat pada
maraknya praktik pembocoran dan pemindatangan data pribadi seseorang di Indonesia,
khususnya untuk kepentingan komersial seperti “Aksi Rentenir Digital” ketika menagih
nasabahnya.

Pasal 29 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), “Setiap


Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara
pribadi.” Dilihat dari sanksinya yaitu pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).” Dari pasal ini,
pinjol juga melakukan pelanggaran dimana pihak pinjol mengancam atau menakut-nakuti
peminjam yang belum membayar pada saat jatuh tempo.

Selain telah melanggar hak privasi dalam kasus penyebaran data yang dilakukan oleh
penagih pada penyedia pinjaman online tersebut telah melanggar netiket (network etiket).
Sebagai mahluk sosial pelaku internet memiliki kode etik universal sebagai acuan dalam
menjaga perilakudan kehormatan dalam pergaulan komunitas dunia maya. Setiap lingkungan
punya nilai etika tersendiri dan tidak ada nilai baku yang berlaku identik, tiap orang dapat
memiliki interprestasi yang berbeda terhadap prinsip yang disepakati (Nurhadi, 2016). Dalam
kasus tertentu pelanggaran etika dapat diajukan ke pengadilan melalui mekanisme hukum
positif yang berlaku pada diri seseorang (warga negara) maupun lembaga/organisasi. Yang
paling sering terjadi tuntutan hukum adalah menyangkut soal pelanggaran Hak Cipta, Hak
Privacy dan serangan illegal (Spamming, Pirating, Cracking dan sejenisnya) terhadap suatu
produk, perseorangan maupun institusi yang dilindungi hukum positif secara internasional.
Seperti salah satu poin netiket yang berbunyi “Menghargai privasi sesame pengguna
jaringan internet”, dengan adanya penyebaran data pada media sosial dirasa tidak
menghormati privasi dari nasabah tersebut, karena hal yang bersangkutan dengan utang
piutang merupakan hal pribadi yang tidak sepatutnya menjadi konsumsi publik.

Gambar 1.3 Tabel Keamanan Digital (Sumber : Modul Aman Bermedia Digital)

Dikutip dari modul Aman Bermedia Digital Tahun 2021 bahwa keamanan digital
dapat dimaknai sebagai sebuah proses untuk memastikan penggunaan layanan digital, baik
secara daring maupun luring dapat dilakukan secara aman dan nyaman (Sammons & Cross,
2017). Tidak hanya untuk mengamankan data yang kita miliki melainkan juga melindungi
data pribadi yang bersifat rahasia. Tingginya aktivitas digital membuka potensi buruk bagi
pengguna internet baru baru ini, seperti yang tertera pada Gambar di atas yaitu grafik
keamanan digital dari konteks keamanan akun yang di terbitkan oleh pihak Direktorat Tindak
Pidana Siber Bareskrim Polri Tahun 2020 di Indonesia terlihat bahwa semakin tahun
keamanan digital di Indonesia semakin rawan, jika dilihat dari segi perkembangan teknologi
yang semakin canggih bisa jadi hal inilah yang menjadi salah satu pemicu kejahatan cyber.
Maka dari pribadi masing masing hendaknya menambah kewaspadaan terhadap media
digital.

Timbulnya berbagai kasus yang terjadi baru baru ini membuat kita perlu memahami
aspek kompetensi literasi digital. Kompetensi literasi digital merupakan alat ukur untuk
mengetahui sejauh mana kemampuan literasi digital seseorang. Namun di masyarakat pada
umumnya, literasi digital dipandang sebagai kemampuan untuk mengoperasikan teknologi
berupa perangkat digital dan internet. Pengertian literasi digital, dikutip dari modul “Aman
Bermedia Digital” Kominfo, adalah kecakapan pengguna media digital dalam melakukan
proses mediasi media digital yang dilakukan secara produktif. Untuk dapat mengetahui
seberapa jauh kemampuan literasi digital kita, maka diperlukan indikator-indikator berupa
kompetensi literasi digital.

Salah satu nya di gagas oleh Japelidi (Jaringan Pegiat Literasi Digital) – 2018, yang
memuat :

1. Akses: Kompetensi dalam mendapatkan informasi dengan mengoperasikan media


digital

2. Paham: Kompetensi memahami informasi yang sudah diseleksi sebelumnya

3. Seleksi: Kompetensi dalam memilih dan memilah berbagai informasi dari berbagai
sumber yang diakses dan dinilai dapat bermanfaat untuk pengguna media digital

4. Distribusi: Kompetensi dalam membagikan informasi dengan mempertimbangkan


siapa yang akan mengakses informasi tersebut

5. Produksi: Kompetensi dalam menyusun informasi baru yang akurat, jelas, dan
memperhatikan etika

6. Analisis: Kompetensi menganalisis dengan melihat plus minus informasi yang sudah
dipahami sebelumnya

7. Verifikasi: Kompetensi melakukan konfirmasi silang dengan informasi sejenis

8. Evaluasi: Kompetensi dalam mempertimbangkan mitigasi risiko sebelum


mendistribusikan informasi dengan mempertimbangkan cara dan platform yang akan
digunakan

9. Partisipasi: Kompetensi untuk berperan aktif dalam berbagi informasi yang baik dan
etis melalui media sosial maupun kegiatan komunikasi daring lainnya
10. Kolaborasi: Kompetensi untuk berinisiatif dan mendistribusikan informasi yang jujur,
akurat, dan etis dengan bekerja sama pemangku kepentingan lainnya

Kompetensi menyeleksi dalam 10 kompetensi itu, artinya kemampuan pengguna


untuk memilih dan memilah informasi yang didapatkannya maupun yang akan disampaikan
dari media baru. Individu yang memiliki kompetensi ini akan menimbang informasi yang
didapatnya apakah benar atau palsu dan privasi atau bukannya. pengguna pemula perlu
memahami benar berbagai fitur, seperti chatting yang menyediakan layanan perpesanan
instan atau langsung dan interaksi yang seharusnya dioperasikan secara privat agar aman di
media sosial. Platform yang menyediakan layanan untuk berbagi konten dan informasi yang
terjaring sosial seperti keluarga, sahabat, dan rekan kerja. saat ini internet menjadi semakin
kompleks seiring perkembangan teknologi informasi dan digital. Sebagai pengguna
sebaiknya tidak hanya memanfaatkan kelebihannya, namun juga aturan khususnya untuk
melindungi data-data pribadi kita, jangan sampai data pribadi dengan mudah kita serahkan
justru dengan persetujuan kita sendiri tanpa meneliti lebih jauh persyaratan yang ditawarkan,
penggunaan internet serampangan dan tanpa pengamanan bisa membuat piranti mudah
diakses pihak luar untuk tujuan kejahatan digital.

Penutup

Kusnadi, S. A. (2021). PERLINDUNGAN HUKUM DATA PRIBADI SEBAGAI HAK PRIVASI. AL WASATH Jurnal
Ilmu Hukum, 2(1). https://doi.org/10.47776/alwasath.v2i1.127

Palinggi, S., & Allolinggi, L. R. (2020). Analisa Deskriptif Industri Fintech di Indonesia: Regulasi dan
Keamanan Jaringan dalam Perspektif Teknologi Digital. Ekonomi Dan Bisnis, 6(2).
https://doi.org/10.35590/jeb.v6i2.1327

Purnomosidi, A. (2017). KONSEP PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL PENYANDANG DISABILITAS DI


INDONESIA. Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 1(2). https://doi.org/10.24246/jrh.2017.v1.i2.p161-
174
Supriyanto, E., & Ismawati, N. (2019). Sistem Informasi Fintech Pinjaman Online Berbasis. Jurnal Sistem
Informasi, Tekhnologi Informasi Dan Komputer, 9(2).

https://eprints.uny.ac.id/7229/1/M-20%20-%20Nur%20Hadi%20W.pdf

https://literasidigital.id/books/modul-aman-bermedia-digital/

Kominfo, Siberkreasi, & Deloitte (2020) Roadmap literasi digital 2021-2024. Jakarta:
Kominfo, Siberkreasi, & Deloitte.

Anda mungkin juga menyukai