Anda di halaman 1dari 14

PERAN NU DALAM KEHIDUPAN

BERBANGSA DAN BERNEGARA


(POLITIK KEBANGSAAN)
Nama : Irfan Izzulkhoer
NIM : 20210209002
Pokok Pembahasan Poitik Kebangsaan
Menurut K.H.
Abdul Wahab
Hasbullah
Politik
Daftar Pustaka Kebangsaan
Nahdlatul Ulama

Pedoman Politik
Kesimpulan
Nahdlatul Ulama

Pemikiran
Tujuan Politik
Politik Nahdlatul
Nahdlatul Ulama
Ulama
Doktrin Politik
Nahdlatul
Ulama
Politik Kebangsaan Menurut K.H.
Abdul Wahab Hasbullah
Sepuluh tahun sebelum berdirinya Nahdlatul Ulama, K.H. Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan
(kebangkitan tanah air) yang berusaha menumbuhkan rasa nasionalisme melalui pendidikan. Organisasi ini
adalah langkah kongkret dari forum diskusi Taswirul Afkar (kebangkitan pemikiran) yang sebenarnya
merupakan antisipasi Wahab Hasbullah menghadapi eksistensi gerakan pembaharuan yang menjadi ancaman
bagi eksistensi tradisi Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam perkembangannya, Nahdlatul Wathanlah sebenarnya
dapur pemikiran lahirnya Nahdlatul Ulama.
Bagi Kiai Wahab politik bukan sebagai tujuan, akan tetapi sekedar alat dan wadah untuk membangun
masyarakat, bangsa dan Negara. Tetapi tujuan yang terakhir tentulah mencapai keridlaan Allah SWT di dunia
dan di akhirat. Karena politik merupakan bagian dari ibadah dan pengabdian, sementara pengabdian itu tidak
mengenal batas waktu dan batas usia, karena itu Kiai Wahab berpolitik dan memimpin Nahdlatul Ulama
sampai akhir hayatnya dengan penuh optimisme dan penuh kesungguhan. Kiai Wahab memiliki peran politik
besar saat negara ini mau berdiri dan setelah negara ini berdiri, terutama dalam revolusi kemerdekaan dan
juga dalam perundingan Renville, Perjanjian Linggarjati maupun Konferensi Meja Bundar (KMB).
Politik Kebangsaan Nahdlatul Ulama
NU adalah organisasi modern dan isinya tradisional. Jama’ah sudah lahir sejak pesantren ada di dunia Nusantara dan
Jam’iyah baru lahir tahun 1926. Nahdlatul Ulama sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia ikut
bertanggung jawab untuk memberikan kontribusi dalam membangun cita-cita bangsa. Hal ini tidak lain karena kontribusi
Nahdlatul Ulama tidak hanya dialamatkan kepada jama’ah Nahdlatul Ulama, tetapi lebih besar dari itu bagaimana
Nahdlatul Ulama bisa berkontribusi kepada bangsa.
Sebagai organisasi keagamaan, NU adalah bagian yang tidak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa
berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (al-ukhuwah) dan toleransi (attasamuh), kebersamaan dan hidup
berdampingan warga negara baik sesama umat islam maupun dengan sesama warga negara yang mempunyai keyakinan
atau agama lain untuk sama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.
Politik kebangsaan Nahdlatul Ulama sejatinya ialah membangun Indonesia menjadi Baldatun Thayyibun Warobun
Ghafur, tempat dimana Jama’ah dan Jam’iyah Nahdlatul Ulama tinggal bersama saudara sebangsa yang lainnya.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi kemasyarakatan bertujuan ikut membangun, mengembangkan insan dan
masyarakat Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, adil, berakhlak mulia, tenteram dan sejahtera.
Pedoman Politik Nahdlatul Ulama
K.H. Abdul Muchith Muzadi menggaris bawahi apa yang tercantum dalam
“Pedoman Berpolitik bagi Warga Nahdlatul Ulama”
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Berpolitik bagi warga Politik bagi Nahdlatul Politik bagi warga Berpolitik bagi warga Berpolitik bagi warga Berpolitik bagi warga Berpolitik bagi warga Perbedaan pandangan Berpolitik bagi
Nahdlatul Ulama Ulama adalah politik Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama diantara aspirasi- Nahdlatul Ulama
mengandung arti yang berwawasan adalah haruslah dilakukan dilakukan dengan dilakukan untuk dengan dalil apapun, aspirasi politik warga menuntut adanya
keterlibatan warga kebangsaan, dan pengembangan nilai- dengan moral, etika kejujuran nurani dan memperkokoh tidak boleh dilakukan Nahdlatul Ulama komunikasi
Negara dalam menuju integrasi nilai kemerdekaan dan yang ber moral agama, konsensus-konsensus dengan harus tetap berjalan kemasyarakatan
kehidupan berbangsa bangsa dengan yang hakiki dan Ketuhanan Yang konstusional, adil nasional dan mengorbankan dalam suasana timbal balik dalam
dan bernegara secara langkah-langkah yang demokratis, mendidik Maha Esa, sesuai dengan dilaksanakan sesuai kepentingan bersama persaudaraan, pembangunan
menyeluruh sesuai senantiasa kedewasaan bangsa berkepribadian yang peraturan dan norma- dengan akhlakul dan memecah belah tawadhu, dan nasional untuk
dengan Pancasila dan menjunjung tinggi untuk menyadari hak, adil dan beradab, norma yang karimah sebagai persatuan menghargai antara menciptakan iklim
UUD 1945 persatuan dan kewajiban dan menjunjung tinggi disepakati serta dapat pengamalan ajaran yang satu dengan yang memungkinkan
kesatuan untuk tanggung jawab untuk persatuan Indonesia, mengembangkan Islam ahlussunnah yang lain, sehingga perkembangan
mencapai cita-cita mencapai berkerakyatan yang mekanisme wal jama‟ah dalam politik itu tetap organisasi
bersama yaitu kemaslahatan dipimpin oleh musyawarah dalam dijaga persatuan dan kemasyarakatan yang
terwujudkan bersama permusyawaratan memecahkan masalah kesatuan lingkungan lebih mandiri dan
masyarakat yang adil perwakilan dan bersama Nahdlatul Ulama‟ mampu
lahir dan batin dan keadilan sosial bagi melaksanakan
dilakukan sebagai seluruh rakyat fungsinya sebagai
amal ibadah menuju Indonesia sarana masyarakat
kebahagiaan di dunia untuk berserikat,
dan diakhirat menyalurkan aspirasi
dalam pembangunan.
Pemikiran Politik Nahdlatul Ulama
Seiring kompleksitas perkembangan politik di Indonesia, perjalanan politik Nahdlatul Ulama
juga berkembang. Nahdlatul Ulama juga mulai bersentuhan dengan politik kenegaraan
(kebangsaan), terutama menjelang dan pasca kemerdekaan. Kontribusi politik kenegaraan
Nahdlatul Ulama yang paling jelas adalah dukungan Wahid Hasyim, wakil Nahdlatul Ulama
pada PPKI, untuk tidak mencantumkan Piagam Jakarta di dalam dasar negara kita. Selain itu,
selama menjadi organisasi sosial, juga politik keagamaan, Nahdlatul Ulama tidak pernah terlibat
kasus-kasus pemberontakan Islam. Komitmen terhadap negara dan bangsa diletakan di atas
segala-galanya karena Nahdlatul Ulama menyadari, eksistensi negara adalah hal utama bagi
kehidupan agama dan manusia sesuai dengan garis Ahlus Sunnah wal Jama‟ah. Nahdlatul
Ulama dalam menjalankan perpolitikannya tidak hanya untuk organisasinya sendiri melainkan
untuk kepentingan negara.
Dua model inilah yang menjadikan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi
Nahdlatu keagamaan yang berorientasi pada kebaikan dan kepentingan umum.
Namun, NU ternyata tidak mampu mempertahankan dua model politik ini
l Ulama • Kerakyatan karena godaan politik kekuasaan, baik dari tokoh Nahdlatul Ulama sendiri
maupun dari luar Nahdlatul Ulama. Keterlibatan pertama Nahdlatul
memiliki Ulama dengan politik kekuasaan adalah dukungan organisasi terhadap
pendiri Masyumi.
dua Keterlibatan Nahdlatul Ulama terhadap politik kekuasaan bukan hanya
• Kenegaraan karena godaan politik tersebut. Melainkan adanya faktor-faktor
model pendorong lain kepada Nahdlatul Ulama untuk memasuki ranah
perpolitikan. Karena keterlibatan itu dimulai dari bergabungnya Nahdlatul
politik Ulama ke dalam Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama Sarekat
Islam, Muhammadiyah, Al Irsyad dan beberapa organisasi Islam lainnya.

Nahdlatul Ulama juga mendukung berdirinya Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI) pada tahun 1939. Secara
formal, keterlibatan dalam dunia politik dimulai pada saat Nahdlatul Ulama menjadi salah satu unsur organisasi dalam
partai politik Islam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Namun kiprah Nahdlatul Ulama di Masyumi tidak
berlangsung lama. Persinggungan kepentingan dan konflik lama antara kubu tradisional dengan modern kembali
mengemuka di partai itu. Pergusuran peran politik kader Nahdlatul Ulama di Masyumi yang dilakukan oleh
sekelompok Islam modernis dan intelektual Islam melahirkan kekecewaan politik pada kalangan Nahdlatul Ulama.
Setelah Reformasi
Pemilu 1995 5 Januari 1973 Pemilu 2004
1998
Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama Partai Kebangkitan PKB memperoleh
mampu menempati menggabungkan diri Bangsa yang 52 Kursi DPR.
posisi ketiga setelah dengan Partai dideklarasi oleh
Partai Nasionalis Persatuan Abdurahman Wahid
Indonesia (PNI) dan Pembangunan atas pada pemilu 1999
Masyumi dengan desakan penguasa PKB memperoleh
memperoleh 45 Orde Baru dan 51 kursi di DPR dan
kursi DPR (18,4% Mengikuti pemilu mengantarkan
suara). 1977 dan 1982 Abdurahman Wahid
bersama PPP. sebagai Presiden RI.

Dengan mendapatkan peluang memperoleh kursi di DPR, Nahdlatul Ulama semakin jauh
memasuki ranah perpolitikan dan tidak hanya menjadi ormas Islam akan tetapi Nahdlatul
Ulama telah menjadi organisasi politik atau parpol.
Doktrin Politik Nahdlatul Ulama
Sebagai partai Islam, Nahdlatul Ulama mengambil gagasan-gagasan politik Sunni klasik sebagai rujukan teoritis utama.
Kutipan dari karya-karya al-Mawardi, al-Ghazali, al-Baqillani, dan yang lainnya banyak ditemukan dalam teks-teks
Nahdlatul Ulama. Kebanyakan tokoh Nahdlatul Ulama pada 1950-an dan 1960-an adalah produk pendidikan pesantren,
yang mata ajarannya adalah ilmu fiqh. Bagi kaum tradisionalis, fiqh merupakan ratu ilmu pengetahuan. Prinsip-prinsip
yang paling sering dijadikan dasar pengambilan keputusan politik Nahdlatul Ulama dapat dibagi menjadi tiga kategori
utama diantaranya ialah kebijaksanaan, keluwesan, dan moderatisme. Ketiga kategori ini saling berkaitan dan dalam
tingkatan yang berbeda berdasarkan pada prinsip-prinsip fiqh.

Kebijakan Luwes Moderatisme

Istilah kebijakan dalam hal ini Keluwesan dalam pengambilan Moderatisme dapat diartikan
digunakan dalam pengertian yang keputusan itu sebagian merupakan sebagai suatu keinginan untuk
netral, yaitu pengambilan tindakan wujud penerapan kaidah fiqh suatu menghindari tindakan yang
yang kondusif bagi upaya manfaat krisis memerlukan perhitungan- ekstrem dan bersikap hati-hati
atau menghindari kerugian. perhitungan baru tentang dalam bertindak dan menyatakan
keuntungan dan kerugian sehingga pendapat.
sikap atau posisi sebelumnya dapat
dipertimbangkan kembali.
Tujuan Politik Nahdlatul Ulama
Cara yang paling jelas bagaimana politik dapat digunakan untuk mencapai tujuan Islam adalah melalui penegakan
hukum dan pembuatan undang-undang. Tujuan utamanya adalah memastikan agar syariat Islam dilaksanakan sebaik-
baiknya. Dalam hal ini, mencakup penerapan aspek-aspek hukum pernikahan dan waris, peraturan pembayaran dan
penyaluran zakat, penetapan waktu pelaksanaan shalat Jum’at atau kegiatan keagamaan di bulan Ramadhan, dan
sebagainya. Tujuan politik Nahdlatul Ulama terdiri dari tiga bagian utama yang dalam teori sangat behubungan dengan
tujuan keagamaan.
Pertama Kedua Ketiga

Menyalurkan dana pemerintah kepada Berusaha mendapatkan peluang bisnis dari Mendapatkan kedudukan bagi anggota
masyarakat Nahdlatul Ulama, terutama untuk pemerintah bagi Nahdlatul Ulama dan Nahdlatul Ulama dalam birokrasi.
meningkatkan fasilitas pendidikan dan penduduknya. Peluang yang semacam ini akan
keagamaan, seperti pesantren, madrasah, dan memberikan keuntungan langsung kepada
masjid; dan juga membangun perasarana sosial, mereka yang mampu mendapat kedudukan dan
seperti klinik kesehatan, panti asuhan, dan balai dianggap dapat membantu Islam dan umat pada
pertemuan. umumnya. Semakin sejahtera anggota
masyarakat semakin meningkat pula
kemampuan mereka untuk memenuhi
kewajiban sosial dan keagamaannya, seperti
menunaikan ibadah haji, membayar zakat, dan
mendukung upaya peningkatan pendidikan
Islam dan kesejahteraan.
Kaitan antara kesejahteraan masyarakat dan religiusitas terkandung
dalam konsep Izzul Islam wal Muslimin, yang arti harfiahnya adalah
“keagungan Islam dan umatnya”. Ini didasarkan pada keyakinan dalam
sikap dan tindakan umat Islam. Mereka harus mempunyai kebanggaan
akan agamanya, berjuang menegakkan dan menyebarkan ajarannya serta
menciptakan umat yang adil, makmur, dan dinamis.

Konsep lain yang serupa adalah Mabadi Khaira Ummah, yang


merupakan prinsip-prinsip kebaikan bagi umat, yang dirumuskan pertama
kalinya oleh Machfoedz Siddiq pada akhir 1930-an. Konsep ini
difokuskan pada masalah sosial-ekonomi dan bertujuan untuk
membangun kemampuan swadaya umat melalui usaha-usaha bersama
dan yang melandasinya adalah keyakinan bahwa Islam tidak akan dapat
mewujudkan aspirasi dan keagamaannya tanpa landasan ekonomi yang
kuat.

Menurut Ali Haidar, walaupun pada awalnya tujuan Nahdlatul Ulama


dicapai melalui kegiatan nonpolitik di sektor swasta, organisasi ini
ternyata semakin tenggelam dalam kegiatan politik selama 1930-an
dalam upaya untuk melindungi kepentingan ekonominya dalam
persaingan dengan orang-orang Belanda dan Cina.
Kesimpulan
Bagi K.H. Abdul Wahab Hasbullah politik bukan sebagai tujuan, akan tetapi sekedar alat dan wadah untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negara. Sama halnya bagi Nahdlatul Ulama tujuan politik adalah
membangun bangsa yang bertaqwa dan berakhlak luhur untuk membangun suatu Negara yang aman dan
makmur yang menjunjung tinggi keadilan. Kiai Wahab memiliki peran politik besar saat negara ini mau berdiri
dan setelah negara ini berdiri, terutama dalam revolusi kemerdekaan dan juga dalam perundingan Renville,
Perjanjian Linggarjati maupun Konferensi Meja Bundar (KMB).
Politik Kebangsaan Nahdlatul Ulama merupakan Politik yang berwawasan kebangsaan, dan menuju integrasi
bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai
cita-cita bersama yaitu terwujudnya masyarakat yang adil lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah
menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan
demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk
mencapai kemaslahatan bersama. Politik yang dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional
dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Daftar Pustaka
◦ Zada, Khamami dan A. Fawaid Sjadzili. 2010. Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara.
◦ Amir, Zainal Abidin dan Imam Anshori Saleh. 2012. NU dan Soekarno. Jogjakarta: LKiS.
◦ Sutarto, Ayu. 2008. Menjadi NU Menjadi Indonesia: Pemikiran K.H. Abdul Muchith Muzadi. Surabaya: Khalista.
◦ Ulum, Bahrul. 2002. Bodohnya NU apa NU DI Bodohi? Jejak Langkah NU Era Reformasi; Menguji Khittah, Meneropong Paradigma
Politik. Semarang: Ar Ruzz Press & PWIPNU Jawa Tengah.
◦ Hidayat, Asep Ahmad dkk. 2014. Studi Islam di Asia Tenggara. Bandung: Pustaka Setia.
◦ Bruinessen, Martin Van. 1994. NU, Tradisi: Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS.
◦ Mansurnoor, Lik Arifin. 1990. Islam in Indonesia World: Ulama of Madura. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
◦ Siddiq, Achmad. 1969. Pedoman Berpikir Nahdlatul Ulama (fikiran Nahdliyah). Jember: PMII Djember.
◦ Haidar, Ali. 1994. Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam Politik. Jakarta: Gramedia.
◦ Karim, Gaffar. 1995. Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama Dengan LkiS.
◦ Mun’im, Abdul (Ed). 2015. KH Abdul Wahab Hasbullah: Kaidah Berpolitik dan Bernegara. Depok: Langgar Swadaya Nusantara.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai