Anda di halaman 1dari 14

FAKTOR PENYEBAB KORUPSI

Sarwo Prasojo, S.Sos


DUA FAKTOR PENYEBAB KORUPSI

FAKTOR INTERNAL

FAKTOR EKSTERNAL

Faktor internal
merupakan
penyebab korupsi yang faktor penyebab
datang dari diri pribadi terjadinya korupsi karena
sebab-sebab dari luar.
PENDAPAT YANG MENGARAH PADA
FAKTOR INTERNAL

1. Sifat tamak manusia,


2. Moral yang kurang kuat menghadapi
godaan,
3. Gaya hidup konsumtif,
4. Tidak mau (malas) bekerja keras

Isa Wahyudi
1. Aspek perilaku individu
2. Aspek organisasi, dan
3. Aspek masyarakat tempat individu dan
organisasi berada

M. Arifin
PENDAPAT YANG MENGARAH PADA
FAKTOR EKSTERNAL
1.Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa,
2.Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil,
3. Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan
hukum dan peraturan perundangan,
4. Rendahnya integritas dan profesionalisme,
5. Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga
perbankan, keuangan, dan birokrasi belum mapan,
6. Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan
masyarakat, dan
7. Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan
etika

Erry Riyana Hardjapamekas


1. Faktor politik,
2. Faktor hukum,
3. Faktor ekonomi dan birokrasi
4. Faktor transnasional.

Indonesia Corruption Watch | ICW


1. FAKTOR POLITIK
Perilaku korup seperti penyuapan, politik uang merupakan
fenomena yang sering terjadi.
2. FAKTOR HUKUM
Faktor hukum ini bisa lihat dari dua sisi, di satu sisi dari
aspek perundang-undangan dan sisi lain adalah lemahnya
penegakan hukum.
Tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan dalam
aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan
yang tidak jelas-tegas (non lex certa) sehingga multi tafsir;
kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain (baik
yang sederajat maupun yang lebih tinggi).
Praktik penegakan hukum juga masih dililit berbagai
permasalahan yang menjauhkan hukum dari tujuannya.
Secara kasat mata, publik dapat melihat banyak kasus
yang menunjukan adanya diskriminasi dalam proses
penegakan hukum termasuk putusan-putusan pengadilan.
3. FAKTOR EKONOMI
Faktor ekonomi juga merupakan penyebab terjadinya
korupsi. Hal itu dapat dijelaskan dari pendapatan atau
gaji yang tidak mencukupi kebutuhan.
4. FAKTOR ORGANISASI
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang
luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan
masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau
di mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya
korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk
terjadinya korupsi
UPAYA PENANGGULANGAN
KEJAHATAN KORUPSI
JALUR PENAL JALUR NON-PENAL
• Kebijakan penerapan Hukum
Pidana (Criminal Law • Kebijakan pencegahan tanpa
Application); hukum pidana (prevention
• Sifat repressive without punishment);
(penumpasan/ • Kebijakan untuk mempengaruhi
penindasan/pemberantasan) pandangan masyarakat
apabila kejahatan sudah mengenai kejahatan dan
terjadi; pemidanaan lewat mass media
• Perlu dipahami bahwa: (influencing views of society on
upaya/tindakan represif juga crime and punishment/mass
dapat dilihat sebagai media atau media lain seperti
upaya/tindakan preventif penyuluhan, pendidikan dll);
dalam arti luas • Sifat preventive (pencegahan)
(Nawawi Arief : 2008)
UPAYA PENAL DAN NON-PENAL
• Sasaran dari upaya non-penal adalah menangani faktor-
faktor kondusif penyebab terjadinya korupsi, yang berpusat
pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi politik,
ekonomi maupun sosial yang secara langsung atau tidak
langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan
kejahatan (korupsi);
• Upaya penal dilakukan dengan memanggil atau
menggunakan hukum pidana yaitu dengan menghukum
atau memberi pidana atau penderitaan atau nestapa bagi
pelaku korupsi;
• Upaya non-penal seharusnya menjadi kunci atau memiliki
posisi penting atau posisi strategis dari keseluruhan upaya
penanggulangan korupsi  karena sifatnya preventif atau
mencegah sebelum terjadi.
KETERBATASAN SARANA PENAL

• Sarana penal memiliki ‘keterbatasan’,


mengandung ‘kelemahan’ (sisi negatif). Fungsi
sarana penal seharusnya hanya digunakan secara
‘subsidair’.
• Secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis
sanksi yang paling tajam dalam bidang hukum,
sehingga harus digunakan sebagai ultimum
remedium (obat yang terakhir apabila cara lain
atau bidang hukum lain sudah tidak dapat
digunakan lagi);
• Secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan
aplikasinya menuntut biaya yang tinggi;
• Sanksi pidana mengandung sifat
kontradiktif/paradoksal, mengadung efek
sampingan yang negatif. Lihat realita kondisi
overload Lembaga Pemasyarakatan;
• Hukum pidana dan pemidanaan bukanlah ‘obat
yang manjur’ atau ‘panacea’ atau ‘bukan segala-
galanya’ untuk menanggulangi kejahatan.
• Penggunaan hukum pidana dalam
menanggulangi kejahatan hanya merupakan
‘kurieren am symptom’ (menyembuhkan
gejala), hanya merupakan pengobatan
simptomatik bukan kausatif karena sebab-
sebab kejahatan demikian kompleks dan
berada di luar jangkauan hukum pidana;
• Hukum pidana hanya merupakan bagian
kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial
yang tidak mungkin mengatasi kejahatan
sebagai masalah kemanusiaan dan
kemasyarakatan yang sangat kompleks;
• Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan
individual/personal; tidak bersifat struktural
atau fungsional;
• Efektifitas pidana (hukuman) bergantung
pada banyak faktor dan masih sering
diperdebatkan oleh para ahli.
• Hukum pidana dan pemidanaan bukanlah
‘obat yang manjur’ atau ‘panacea’ atau
‘bukan segala-galanya’ untuk menanggulangi
kejahatan.

(Nawawi Arief : 1998)

Anda mungkin juga menyukai